• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaminan untuk Mendapatkan Tenaga Keperluan Eksploitasi Tanah

DAN MADURA

VI. Jaminan untuk Mendapatkan Tenaga Keperluan Eksploitasi Tanah

Pem berian hak atas tanah m em erlukan jam inan untuk mendapatkan tenaga mengerjakan tanah tersebut. Pemberian hak kon sesi diikuti den gan “Un dan g-Un dan g Kuli” den gan poenale sanctie-ny a (kekuasaan yang diberikan untuk meng- hukum kuli yang tidak memenuhi kontraknya).

Tan ah yan g m em ben tan g d an u an g yan g ber on ggok- onggok masih meminta tenaga untuk menggali dan menum- buhkan kekayaan alam. Maka erat hubungannya soal pembe- rian tanah dengan pemberian jaminan tenaga.

J ika kelangsungan ondernem ing gula di Yogyakarta dan Surakarta dulu dijamin tenaga ‘herendienst’, sedang di Suma- tera Timur dengan “Koeli Ordonnantie”. Sejak berdirinya Deli M aatschaapijj di Sum atera Tim ur pada tahun 18 69, un tuk m em buka ondernem ing dari tanah yang berupa belukar itu, memerlukan tenaga yang harus didatangkan dari daerah lain. Karena penduduk di daerah itu sangat sedikit dan juga para penduduk aslinya kurang suka bekerja sebagai kuli onderne- m in g yang harus teratur waktunya. Mereka “kurang cakap” untuk m enjadi kuli on dern em in g. Pada m ulan ya, on dern e- m in g m em pergunakan tenaga-tenaga di daerah itu. Setelah makin lama makin banyak tenaga yang diperlukan, onderne- m in g m en d atan gkan ku li-ku li Tion gh oa. Mu la-m u la d ar i Singapura dan Penang, kem udian m encari sendiri langsung dari Tiongkok. Antara tahun 1880 , tiap-tiap tahun didatang- kan kuli-kuli bangsa Tionghoa 8 0 0 0 orang untuk on dern e- m ing tembakau dan tambang. Baru beberapa tahun kemudian didatangkan kuli-kuli dari J awa.

kopi, karet, teh dan sebagain ya. On dern em in g m akin luas, keperluan tenaga kuli menjadi masalah yang lebih penting lagi. Orang-orang Tionghoa dianggap sangat baik dan cakap untuk pekerjaan ini, terutam a perkebunan tem bakau. Boleh dika- takan, perusahaan tembakau di Deli menjadi demikian besar- nya tidak lain karena tenaga mereka itu.

Di waktu perang dunia pertama tahun 1919/ 1918, Suma- tera Timur terpaksa tidak mendatang kuli dari bangsa Tiong- hoa. Perkebunan tembakau mengalami kesulitan yang besar. Tetapi akhirnya ternyata kuli-kuli dari J awa yang dapat dida- tangkan secara besar-besaran, sangat baik juga untuk bekerja di perkebunan tem bakau. Karena itu, sesudah perang dunia pertam a, m akin berkuran g m en datan gkan pekerja-pekerja bangsa Tionghoa. Akhirnya pada tahun 1932 sudah tidak lagi mendatangkan pekerja-pekerja dari bangsa Tiongkok, karena sudah tidak perlu lagi. Cukup mendatangkan kuli dari J awa yang bersedia bekerja di ondernem ing tembakau dari onder- nem ing lainnnya di Sum atera. Selam a setengah abad lebih, dari 30 0 .0 0 0 orang Tionghoa telah didatangkan di onderne- m ing Sumatera Timur, sebagian sudah dikembalikan karena habis waktunya. Berhubung dengan keperluan dan pemakaian tenaga itu, Pem erintah Hindia Belanda m em buat peraturan untuk menjamin tenaga bagi ondernem ing-ondernem ing baru yang memerlukan tenaga yang dapat bekerja untuk beberapa tahun dengan kontrak yang panjang (langjarig contract).

Beribu-ribu kuli yang didatangkan dari J awa yang dipe- kerjakan untuk membuka hutan yang lebat dan belum didiami m an usia un tuk dijadikan perkebun an . Un tuk m en guran gi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan pihak onderne- m ing kepada para pekerjanya seperti diterlantarkan dan hidup

dalam hutan karena dianggap kurang cakap, maka pada tahun 18 8 0 Pem erin tah H in dia Belan da m em ben tuk Koeli-ordo- nnantie. Awalnya hanya berlaku bagi daerah Sumatera Timur, kem udian m enjam ur juga di daerah-daerah lainnya. Dalam ordonansi Kuli ini diatur perjanjian tertulis yang menyebutkan jen is pekerjaan yan g harus dikerjakan , lam an ya perjan jian kerja, upah, dan lain-lain. Kewajiban kuli harus bertindak seba- gai pekerja yan g baik-baik dan tidak boleh m en in ggalkan pekerjaan ondernem ing jika tidak dengan izin kuasa kebun. Pihak ondernem ing diwajibkan memperlakukan kuli-kuli ini dengan baik, memberi upah yang tentu, penjagaan kesehatan, dan berkewajiban m engem balikan kuli itu ke tanah asalnya dengan ongkos ondernem ing kalau kontraknya habis. Pihak ondernem ing memerlukan jaminan bahwa kuli-kuli itu tidak lari sebelum kon trakn ya habis. Biasan ya diten tukan waktu kon trak 3 tahun . Keten tuan waktu kon trak dian ggap tidak m em b a wa h a sil, ka r en a t id a k a d a ket en t u a n h u ku m a n (san ctie) yan g m en gan cam bagi siapa yan g m en in ggalkan kewajiban dengan sem au sendiri. Sebab itu ditetapkan satu peraturan bahwa barang siapa yang dengan sengaja mening- galkan kewajibannya tersebut dalam kontraknya m aka akan dih ukum den gan h ukum an kerja 3 bulan (tan pa bayaran , h an ya m en dapat m akan ). Kuli itu bisa dipaksa (term asuk dengan kekerasan) untuk kembali bekerja sampai habis kon- trakn ya. Pada pihak on dern em in g ada juga an cam an , jika mengusir kuli dengan semaunya atau tidak memenuhi kewaji- bannya terhadap kuli, m aka ondernem ing dihukum denda f 10 0 atau hukuman penjara. Tentu saja berbeda arti hukuman ini bagi ondernem ing dengan yang dikenakan kepada kuli se- bagai perampasan hak asasi kemanusiaan. Hal ini tidak sesuai

dengan kekuasaan menghukum terhadap kuli. Ordonansi kuli den gan poen ale san ctien y a itu sebagai pen gesahan perbu- dakan, di mana kuli-kuli tidak lain diperlakukan sebagai budak belian .

Cerita penghidupan “kuli kontrak Deli” merupakan cerita sedih dan dahsyat yang cukup m em buat bulu rom a berdiri. Poenale Sanctie yang terkenal itu kemudian menggoncangkan masyarakat, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.

Ordon an si kuli den gan poen ale san ctie-n ya dikatakan untuk perbaikan kedudukan kuli-kuli, mengenai jam bekerja, waktu istirahat, pengembalian ke tanah asalnya, namun diper- gunakan sewenang-wenang oleh pihak ondernem ing. Kuli-kuli itu diperlakukan sebagai budak belian. Perbaikan yang lebih dengan adanya kem erdekaan bagi kuli-kuli selalu m endapat tan tan gan dari pihak on dern em in g yan g m erasa teran cam kedudukan dan keselam atannya dengan kem erdekaan kuli- kuli. Pada tahun 1889 diadakan perubahan atas beberapa pera- turan dalam Ordonansi Kuli, di mana ditetapkan bahwa kuli- kuli dari J awa tidak diharuskan m engikat kontrak m enurut ordon an si kuli-kuli. Mulai diusahakan bagaim an a jalan n ya supaya tetap mendapat tenaga kuli yang cukup dengan tidak memakai kontrak perbudakan yang kurang baik namanya itu. Usaha yang dijalankan di antaranya m enganjurkan kuli-kuli membawa keluarganya dari J awa. Dengan begini maksudnya agar kuli-kuli betah menetap dan tinggal untuk selama-lama- nya di daerah ondernem ing untuk bekerja padanya.

Untuk pengawasan diangkat Inspektur Pangawasan Kerja (Arbeidsinspecteur) di Medan dan dua Adjunct Inspecteur di Tebingtinggi dan Binjai. Namun dengan tenaga-tenaga penga- wasan ini belum juga dicapai maksud untuk mengawasi dan

mengurangi perbuatan yang memberatkan kuli-kuli oleh pihak ondernem ing. Pada tahun 190 9 didirikan Kantor Pengawasan Kerja untuk daerah Luar J awa, dengan beberapa pegawai yang berkewajiban untuk m engawasi secara teliti hubungan kerja antara kuli-kuli dengan ondernem ing dan m enerim a penga- duan-pengaduan, baik dari kuli maupun pihak perkebunan.

Tun tutan un tuk m en gubah ordon an si kuli pada tahun 1910 dengan secara radikal tidak dapat disetujui oleh Pem e- rintah. Pada tahun 1911 diadakan Peraturan Kerja Merdeka (Vrije Arbeidsregeling), dengan peraturan yang ringkas, me- nentukan kewajiban-kewajiban pihak ondernem ing terhadap kuli-kulinya. Di antaranya dengan adanya ancaman hukuman denda f 10 0 bagi yang melanggarnya, dan diberi kemungkinan bagi kuli-kuli untuk melepaskan kontraknya. Pihak onderne- m ing sangat keberatan dengan peraturan ini dan menghendaki tetap adan ya hukum an bagi kuli-kuli yan g in gkar terhadap kon trakn ya.

Pada permulaanya sedikit sekali orang yang bekerja seba- gai “kuli merdeka”. Tetapi lambat laun makin banyak kuli-kuli m erdeka yang ternyata sam a hasilnya bagi ondernem ing di- bandingkan dengan pemakaian “kuli kontrak”.

Pada perubahan Ordonansi Kuli tahun 1915 straf sanctie tetap dipertahankan. Tetapi ada beberapa perubahan, seperti lam an ya kon trak dapat dikuran gi. Gubern ur J en dral dapat m en ghilan gkan keten tuan hukum an itu bila keadaan tidak m en ghen daki.

Pemerintah sendiri pada tahun 1919 mulai condong kepa- da pihak yang menghendaki dihapusnya ordonansi kuli. Pen- dapat ini muncul sebab untuk keperluan ondernem ing menda- p atkan ku li cu ku p d ip en u h i d en gan jalan p em boyon gan .

Maksud itu terhalan g karen a m alaise pada kira-kira tahun 1920 , kekurangan tempat tinggal dan biayanya dianggap ter- lalu besar. Karena itu kembali lagi kepada peraturan yang lama. Parlem en Negeri Belanda turut cam pur dalam soal per- tentangan m engenai penghapusan poen ale san ctie. Muncul suara dalam Tw eede Kam er untuk segera menghapuskan poe- nale sanctie. Terutam a bagi ondernem ing tem bakau di Deli yang mengalami perubahan dengan seketika pada tahun 1931 karena putusan Amerika Serikat. Dalam perubahan Tarief w et di Amerika Serikat diusulkan supaya tidak lagi menerima pro- duksi dari hasil kerja paksa (forced labour), juga yang muncul dari bantuan “indentured labour” dengan kerja paksa menurut poenale sanctie itu. Pada waktu peraturan ini akan dijadikan Undang-Undang pada tahun 1925, dianjurkan kepada Hindia Belanda supaya sejak sat itu Ordonansi Kuli ditinjau 5 tahun sekali dan sejak taun 1930 supaya beran gsur-an gsur dapat dikurangi sedapat mungkin, dan ditetapkan penghapusannya. Untuk menarik supaya kuli-kuli dapat tetap (lama) bekerja pada ondernem ing, kepada kuli-kuli yang sudah berkeluarga dan sudah bekerja lima tahun diberi rumah sendiri sekadar- nya. Peninjauan Ordonansi Kuli yang pertama pada tahun 1931 diputuskan mulai mengurangi jumlah kuli-kuli dengan kontrak. Bagi on dern em in g-on dern em in g yan g dibuka sejak tah un 1921, mulai tahun 1936 ditetapkan: 50 % dari pekerjanya ter- diri dari kuli yang tidak kontrak (vrije arbeiders). Keberatan yang selalu ada pada pihak ondernem ing ialah kekhawatiran bahwa dengan kem erdekaan kuli-kuli itu nanti akan dengan m udah m ondar-m andir dari satu ondernem ing ke onderne- m ing lainnya. Untuk menjaga hal ini, pada tahun 1931 di Me- dan didirikan Kantor Pendaftaran (Registratie Kam er). Kantor

ini mencatat semua orang-orang yang akan diterima bekerja pada salah satu ondernem ing, dengan mendaftar semua kuli sekaligus “cap jem poln ya” (d acty loscop isch sign alem en t). Sem ua kuli di Sum atera Tim ur kem udian harus didaftarkan dengan tanda cap jem pol oleh Dacty loscopish Bureau. Biro ini sebagai badan partikelir dari ondernem ing yang bekerja sama dengan kantor Pendaftaran Pemerintah. Semua kuli yang m em inta pekerjaan harus diselidiki, apakah orang itu pada waktu yan g terakhir bekerja pada on dern em in g atau tidak. Kalau betul, bagaim anakah pekerjaannya di situ, apakah ia bekerja dengan baik-baik, atau lari dari on dern em in g. Kuli yang lari dari satu ondernem ing, tidak akan diterima di onder- nem ing-ondernem ing itu. Dengan begitu, m aka jalan untuk “melarikan diri” tidak ada. Semua ondernem ing menutup pin- tu, begitu pula untuk melepaskan diri dari daerah dan pulang ke J awa, penjagaannya rapi dan teratur.

Ordonansi Kuli dihapuskan dan diganti dengan peraturan lainnya yang dapat m encapai m aksudnya dengan jalan lain. Tiap-tiap penerimaan kuli ondernem ing harus membayar ke- pada Kantor Pendaftaran, begitu juga kuli harus m em bayar tiap-tiap bulan kepada Kantor tersebut. Uang ini tiap tahun dibagikan di antara mereka yang mendatangkan kuli dari J awa. Kantor pendaftaran ini hanya bekerja untuk on dern em in g- ondernem ing di Sumatera Timur, karena dianggap di daerah- daerah lainnya belum memerlukan kuli-kuli dengan cap jem- pol itu.

Lam bat laun ondernem ing-ondernem ing m endapatkan dengan mudah kuli-kuli merdeka, yang baik-baik, dan cakap bekerja. Pada tahun 1929 masih terdapat 86,5% dari sejumlah kuli di Sumatera Timur sebagai kuli kontrak, sedang yang 13,5%

kuli yan g tidak kon tr ak. Pada tah un 1934 keadaan sudah berganti yaitu 3,7% kuli kontrak dan 96,3% sebagai kuli mer- deka. Tetapi pada waktu itu jum lah kuli sudah berkuran g separonya, sampai menjadi 167.0 0 0 orang. Di antara kuli yang tinggal itu term asuk kuli-kuli yang baik, kuli-kuli yang tidak m em punyai pikiran untuk lari. Banyaknya orang J awa yang minta pekerjaan mempercepat penghapusan kontrak poenale sanctie. Tanpa melalui paksaan dan tidak perlu diikat, onder- n em in g sudah cukup m en dapatkan pekerja, sebab saat itu sangat sulit mencari penghidupan di Indonesia, khususnya di J awa.

Ordonansi Kuli tahun 1936 menghabisi kontrak poenale san ctie. Sebagai penghabisan dijalankan perusahaan perta- nian dan kerajinan, dan tidak boleh lagi untuk perdagangan dan pengangkutan. Waktu kontrak dikurangi menjadi 2 tahun dan tidak diperkenankan memperpanjangnya. Pada 1 J anuari 1940 ondernem ing-ondernem ing lama yang dibuka sebelum tahun 1921, harus sudah m em akai 10 0 % kuli m erdeka. Se- dangkan untuk ondernem ing-ondernem ing yang dibuka sesu- dahn ya diten tukan waktu un tuk m en etapkan hal tersebut. Hanya on dern em in g-on dern em in g yang dibuka tahun 1931 sampai 1941 yang masih diperbolehkan memakai kuli kontrak 50 % dari jumlah semua kuli sesudah tahun 1942. Mulai tahun 1940 dari jumlah 250 .0 0 0 kuli di sana sebagian masih terdiri dari kuli-kuli kontrak. Keberadaan Ordonansi Kuli dianggap sudah tidak perlu. Awalnya, para kuli ini perlu diperlakukan dengan keras oleh tuan-tuan ondernem ing. Maka dipersiap- kanlah m andor-m andor yang m enjilat m ajikannya dan ber- buat keras terhadap kuli-kuli yang baru datang dari J awa, yang belum biasa hidup dan bekerja di ondernem ing. Namun, lama-

kelamaan setelah mendapat tenaga kuli-kuli yang baik dengan latihan kekerasan, kuli yang taat, rajin bekerja, dan tidak suka lari, m aka kekerasan itupun dihentikan. Kalau dulu poenale sanctie diadakan untuk menjamin para kuli tetap dan terikat, setelah m alaise karena berlebih-lebihan orang mencari peker- jaan dan malah minta diikat katanya, maka cara kontrak diang- gap sudah tidak perlu lagi. Toh sudah berlebih-lebihan menda- patkan kuli. Kem elaratan dan kelaparan rakyat terutam a di J awa, menguntungkan ondernem ing. Sebab itu banyak pena- waran tenaga yang m inta pekerjaan. Kuli-kuli itu dikatakan mendapat upah yang cukup untuk hidup yang layak. Banyak di antara m ereka yang m em punyai sepeda, m esin jahit, ba- rang-barang mewah (lux), dan suka menabung; satu hal yang luar biasa bagi or an g J awa katan ya. Tidak seper ti h aln ya dengan kuli-kuli orang Tionghoa yang sudah biasa menabung. Mereka selalu m engirim uang kepada keluarganya di J awa. Satu tanda bahwa di sana merupakan masyarakat buruh yang teratur dan sehat. Kaum modal menepuk dada dan mengata- kan: “Siapa bilang kehidupan di ondernem ing jelek? Lihatlah, 75% dari jumlah kuli-kuli yang dikembalikan ke J awa karena habis kontraknya, pulang kembali ke ondernem ing! Bukankah itu tandanya bahwa penghidupan di ondernem ing baik?”

Mem ang, tuan-tuan boleh m enepuk dada karena sudah berjasa membuat dunia ini menjadi kandang orang miskin yang bersedia digiring ke ondernem ing untuk turut m em eras ke- ringat bagi kekayaan Tuan-tuan. Tuan-tuan boleh m enepuk dada dan bangga di hadapan lautan manusia yang berjongkok minta pekerjaan dan bersedia menerima upah sekadar untuk penyambung nyawa dan mendapat sesuap nasi sambil mene- rima upah cambuk dan palu.

Pem bela ondernem ing dan poenale sanctie-nya m enga- takan bahwa berlakunya poenale sanctie bukanlah hal yang mengherankan. Kalau dilihat ke belakang bahwa pada permu- laan pem bukaan on dern em in g dari hutan belukar, m ereka memerlukan tenaga yang diikat dengan kontrak untuk dapat bekerja dengan baik di atas pengawasan yang keras. Tetapi sesudah itu, lam bat laun dengan sendirinya, m akin kurang keras dan akhirnya hilang dengan sendirinya. Satu hal yang dibesar-besarkan oleh percakapan dan tulisan dan dijadikan bahan oposisi dan agitasi politik yaitu kalau memang waktunya sudah datang akan hilang dengan sendiri. Dan akhirnya berla- kulah Peraturan Kerja Merdeka tahun 1911. Waktu Ordonansi Kuli itu berangsur-angsur akan dikurangi tahun 1938, terha- lang oleh beberapa keadaan. Rancangan ke arah itu dikirimkan kep ad a kau m on d er n em in g, t et ap i m er eka ber keber at an dengan rancangan tersebut. Mereka menganggap bahwa ran- can gan itu akan m em bah ayakan kedudukan dan per kem - ban gan on dern em in g. Pada tahun 1940 ren can a itu belum juga dibawa ke Dewan rakyat (Volk sraad), dan karen a an - caman perang maka soal itu tidak dapat lagi dibicarakan.

Untuk m encari kuli, ordernem ing m engunakan berm a- cam-macam cara. Mayoritas penduduk di J awa adalah petani, pada um um nya para petani ini tidak m udah m eninggalkan daerahn ya. Bahkan berat juga m en in ggalkan kam pun g ha- lam an dan desanya, sekalipun keadaan penghidupannya su- dah sangat mendesak. Hanya di beberapa daerah yang sangat padat penduduknya, yang hidupnya sudah sangat sukar, ka- dang-kadang orang terpaksa meninggalkan tempat kediaman- n ya un tuk m er an tau ke tem pat lain m en car i sesuap n asi, dengan maksud kemudian akan kembali ke kampung halaman-

nya. Karena sebab ini pula m akanya ondern em ing m encari jalan dengan m engadakan penghubung antara ondernem ing dengan orang-orang desa untuk memikat mereka agar tertarik m enjadi kuli.

Pemikatan (w erving) untuk menjadi kuli ini pertama kali dikerjakan oleh badan-badan partikelir yang bertujuan men- cari untung dengan menjual kuli-kuli yang didapat dari desa- desa di J awa kepada ondernem ing. Mereka menerima pesanan dari ondernem ing untuk menyerahkan kuli dengan upah (har- ga pembelian kuli) yang tidak kecil. Mereka berusaha dengan segiat-giatn ya dan den gan segala akal un tuk m em ikat para petan i, m eskipun itu dilakukan den gan bujuk dan tipuan . Adakalanya dengan menipu bahwa orang itu akan diajak untuk menemani pergi haji ke Mekah. Ketika sampai di Belawan, dika- takan supaya m ereka turun dulu dan m enunggu waktu be- rangkatnya. Tetapi tahu-tahu dimasukkan ke dalam los untuk seterusnya digiring ke ondernem ing dan dipaksa bekerja seba- gai kuli. Berbagai m acam cara dijalankan term asuk dengan bujuk, tipu, culik, dan serobot. Saat itu sangat ramai dibicara- kan di desa-desa kasus pen culikan oran g-oran g yan g akan dijadikan korban dan dijadikan alas (tumbal) membuat jem- batan dan akan dijadikan korban mangsa Nyai Blorong (ular besar yang bersisik emas) di Deli. (Nama Deli diartikan Suma- tera Timur, atau daerah ondernem ing di luar J awa).

Pem erasan dan penindasan dijalankan terhadap orang- orang yang terkena perangkap penculikan. Mereka diangkut dari depot pengumpulan di salah satu tempat, lalu dibawa ke tempat pelabuhan dengan gerbong kereta api tertutup. Seperti kerbau dan lembu yang akan dibawa ke tempat pembantaian. Sesampainya di pelabuhan dimasukkan ke dalam los gudang

yang tertutup supaya mereka tidak dapat lari. Setelah mereka disuruh (dipaksa) m en an datan gan i kon trak, barulah tah u bahwa mereka terjebak dan akan menjadi mangsa tengkulak pedagang kuli. Tapi apa boleh buat, ibarat ikan sudah masuk lukah (perangkap). Tidak dapat lagi melepaskan diri, menyerah kepada takdir, dari orang yang biasanya sehari-harinya beker- ja dengan m erdeka, jadilah m ereka kuli kontrak dan budak belian yang dijual oleh pedagang manusia. Perdagangan “bu- dak belian” berjalan pada abad ke 20 . Budak belian gelap yang diketahui oleh Pem erintah.

Sejak tahun 1896 Pemerintah Hindia Belanda ikut campur dalam usaha pencarian kuli. Kepada pegawai diinstruksikan untuk turut m engawasi pengangkutan orang-orang ke pela- buhan. Tetapi pekerjaan ini tidak membawa perubahan apa- apa, karena tidak jarang pegawai mendapat suap dari pedagang kuli. J ual beli kuli ini berlaku sampai tahun 190 9. Selanjutnya diatur agar “em igr an ” (or an g-or an g pin dah an ) itu ber h u- bungan dengan pihak pemerintah. Kontraknya dibuat di muka Komisaris Pemikat (W ervings Com m issaris) sebelum mereka