• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hukum Administrasi Negara Terhadap Pemungutan Pajak Hotel Di Kota Rantau Prapat Berdasarkan Perda Kabupaten Labuhanbatu Nomor 6 Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hukum Administrasi Negara Terhadap Pemungutan Pajak Hotel Di Kota Rantau Prapat Berdasarkan Perda Kabupaten Labuhanbatu Nomor 6 Tahun 2011"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwasanya pajak merupakan iuran wajib kepada Negara. Dari pajak ini yang mana akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah. Sejak Tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang dipunggut oleh pemerintah pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Untuk pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri. Dasar dilakukan pemungutan pajak oleh pemerintah daerah sesuai dengan Undang – Undang No.23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tanggana sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat dalam konteks Desentralisasi ini adalah melakukan supervise, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.. Dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Langkah – langkah yang perlu diambil dengan cara menggali segala kemungkinan sumber keuangannya sendiri sesuai dengan dan dalam batas – batas peraturan perundang – undangan.

Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung kepada peranan Pendapatan Asli Daerah ( PAD). Hal ini diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah.

(2)

Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.2

Pelaksanaan otonomi daerah dipandang sebagai suatu strategi yang bertujuan

untuk mencapai tuntutan masyarakat daerah terhadap permasalahan-permasalahan

yang dihadapi seperti distribusi pendapatan dan pembagian kewenangan. Disamping

itu dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam

rangka memperkokoh perekonomian nasional menghadapi era globalisasi.

Untuk meningkatkan peran anggaran pendapatan dan belanja daerah secara bertahap dan berencana menuju ke arah kemandirian pembiayaan daerah, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) terus diupayakan peningkatannya. Untuk meningkatkan kemampuan penerimaan daerah khususnya penerimaan dari PAD harus diarahkan pada usaha-usaha yang terus menerus dan berlanjut agar PAD tersebut meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperkecil ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah pusat.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

tersebut ditentukan Pajak Daerah yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Daerah. Mengenai perpajakan, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “ pajak dan pungutan lain yang

bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

2

(3)

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila

penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber

penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa

kepastian tersediannya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah

yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak daerah dan

mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada didaerah dan

dana perimbangan lainnya.

Prinsip otonomi daerah pada dasarnya dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

bahwa “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah

pusat”. Dalam hal ini daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di

luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam pelaksanaan otonomi tersebut,

daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,

peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kewenangan otonomi luas adalah

keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup

kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar

negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta

kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan,

(4)

Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom adalah urusan yang berskala provinsi

atau yang bersifat lintas kabupaten / kota. Sejalan dengan itu, kewenangan

Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota adalah urusan pemerintahan yang berskala

kabupaten / kota. Perbedaan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan

Pemerintah Kabupaten / Kota akan ditemukan pada sifat dan wilayah berlakunya

urusan pemerintahan. Proses pembangunan sangat berpengaruh terhadap kemajuan di segala . bidang dan pembangunan diharapkan juga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat baik spiritual maupun material. hampir dalam setiap proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah selalu didengarkan bahwa proyek yang dibangun dibiayai dari dana pajak yang telah dikumpulkan dari masyarakat, sehingga masyarakat juga menjaga proyek yang ada untuk dapat dipakai bagi kepentingan bersama. Berkaitan dengan itu sudah selayaknya jika setiap individu dalam masyarakat dapat memahami dan mengerti akan arti pentingnya peran pajak dalam kehidupan sehari-hari.

(5)
(6)

daerah bagi penyelenggara rumah tangganya. Sekalipun demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia, bukan hanya diukur dari jumlah PAD yang dapat dicapai, tetapilebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi daerah dapat berperan dalam mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Apabila ditinjau dari sejarahnya, masalah pajak ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, walaupun saat itu belum dinamakan pajak. Pada jaman dahulu tersebut “ pajak “ yang dimaksud merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela, yang diberikan oleh rakyat kepada rajanya. Besar kecilnya pemberian sukarela tersebut ditentukan/ditetapkan oleh pihak rakyat. Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi pemberian yang sifatnya dipaksakan dalam arti pemberian tersebut bersifat wajib, dan segala ketentuannya ditetapkan oleh negara secara sepihak.3

Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak bukan merupakan suatu pemungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan – pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu

3

diakses pada tanggal 29

(7)

tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang – orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang menggantikan melakukan pekerjaan itu, yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki stastus sosial yang tinggi dan orang kaya tadi.4

Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Berarti negara pertama kali yang men undang-undangkan hukum pajak dari benua eropa sana, tapatnya di daerah inggris, tapi sebenarnya dalam dunia hukum islam pajak lebih di kenal dengan sebutan zakat yang pada intinya fungsi dari zakat dan pajak tidak jauh berbeda(kompas). Zakat sudah ada dari zaman nabi Muhammad s.a.w.5

Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah ” a person’s faculty, personal faculties and abilitites”, Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada “returns and gain”. “Tersonal faculty and

4

Rochmat Soemitro, Dasar – Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, cet. 8 (Bandung: Eresco, 1977), hlm. 1.

5

(8)

abilities” secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan “Returns and gain” berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

Pajak Penghasilan di Indonesia

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

(9)

penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan [[asas sumber]].

pada abad ke 19 di Pulau Jawa, yaitu pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811 – 1816. Pada waktu itu diadakan pungutan landrente yang diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan Gubernur yang diangkat oleh Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun 1813 dikeluarkanlah Peraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya.6

Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungiitan Pajak

6

(10)

Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%.

(11)

Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana diketahui Pajak Hotel adalah salah satu sumber pendapatan yang mampu meningkatkan jumlah pendapatan Pemerintah daerah. Dengan lancarnya pemungutan Pajak Hotel maka akan dapat meningkatkan pendapatan Pemerintah Daerah dengan baik pula. Sebab dengan baiknya pemungutan Pajak Hotel ini maka pembangunan pun akan dapat baik pula dilakukan.

(12)

1. Bagaimana Pengertian Pajak dalam Persepektif Hukum Administrasi Negara?

2. Bagaimana Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel di Kota Rantau Prapat Berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel?

3. Bagaimana hambatan dalam melakukan Pemungutan Pajak di Kota Rantau Prapat ?

C. Tujuan Penulisan

Pajak Hotel sebagaimana diketahui adalah salah satu pemasukan dari daerah di setiap daerahnya. Dimana setiap hotel yang ada di daerah harus lah wajib membayar pajak hotel kepada dinas terkait. Sebagaimana wujud dari pajak hotel tersebut dapat meningkatkan pendapatan suau daerah.

Pemungutan pajak hotel juga dapat membantu pembangunan infrakstruktur daerah. Bagaimana diketahui bahwa pembangunan infrasturktur di daerah Rantau Prapat juga kurang memadai. Jadi dengan rutinnya setiap hotel yang ada di Rantau Praapat membayar pajak maka sedikit banyaknya proses pembangunan di daerah tersebut juga akan terbantu.

(13)

D. Manfaat Penulisan

Dengan tujuan penulisan tersebut maka besar harapan penulis akan manfaat yang akan didapatkan dari penulisan ini. Dimana manfaat penulisan ini adalah agar hendaknya penyelenggaraan atau pelaksanaan pemungutan pajak hotel dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan – ketentuan dan peraturan – peraturan yang ada di dalam daerah tersebut.

E. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, yaitu dengan pengumpulan data-data serta studi kepustakaan maupun studi lapangan dan menggambarkan kondisi dengan melakukan riset langsung kelapangan untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan penulisan skripsi tersebut .7

2. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis dan Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan data yang diperoleh langsung dari narasumber atau langsung dari sumber pertama dan data sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari dokumen – dokumen yang resmi, buku – buku , hasil – hasil penelitiandata yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder8

Data skunder diperoleh dari :

.

7

Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Hal 71

8

(14)

a).Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya

b) Bahan Hukum Skunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang perpajakan seperti : seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan perpajakan dan pajak hotel juga beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalnya diatas.

c) Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan sekunder9

3. Teknik Pengumpulan Data

Sedangkan data primer diperoleh dari wawancara dengan Dinas Pendapatan Daerah Rantau Prapat.

Adapun data tersebut dapat diperoleh :

1. Penelitian Pustaka,yaitu data-data dan keterangan yang

dikumpulkan dari bahan-bahan tulisan seperti buku-buku bacaan dan undang – undang yang ada hubungannya dengan pembahasan yang dilakukakan. Data ini merupakan data sekunder

2. Penelitian Lapangan, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan melakukan riset ke kantor Dinas terkait seperti Dinas Pendapatan Daerah , Badan Perencanaan Daerah juga Bagian Hukum di kabupaten Labuhan Batu.

9

(15)

4. Analisis Data

Data primer dan skunder yang telah diperloeh melalui penelitian melalui penelitian keperpustakaan dan penelitan lapangan kemudian dia analisi secara kualitatif. Analisis Kualitatif digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat didalam skripsi

F. Keaslian Penulisan

Setelah menelusuri kepustakaan, sejauh pengamatan penulis mengetahui bahwa dalam penelitian tentang “TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DI RANTAU PRAPAT BERDASARKAN PERDA NO.6TAHUN 2011 sampai saat ini belum ada ditemukan.

Sehubungan judul skirpsi ini telaj dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum USU untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Dengan demikian, penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara akedemik dan juga secara moral.

G. TINJAUAN PUSTAKA

Sebagaimana kita ketahui bahwa pajak adalah salah satu pendapatan Negara dan daerah dimana iuran – iuran pajak tersebut masuk kedalam kas suatu Negara

maupun daerah.

(16)

1.Penggolongan Tentang Pajak

A. Pajak Negara Dan Pajak Daerah

Penggolongan pajak sesuai dengan wewenang pemungutannya, pajak dapat dikelompokkan menjadi :

1. Pajak Negara

Pajak Negara, sering dikenal sebagai Pajak Pusat atau Pajak Umum. Wewenang pemungutannya oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini dilaksanakan oleh Departemen Keuangan / Direktur Jenderal Pajak / Direktur Bea dan Cukai. Dimana pun pajak pusat itu dipungut merupakan penerimaan Negara atau Penerimaan Pemerintah Pusat yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Oleh karena itu, realisasi dari penerimaan pajak dan realisasi pemanfaatannya merupakan bagian dari perhitungan Anggaran negara yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. 2. Pajak Daerah

(17)

diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terhutang termasuk pemungut atau pemotong pajak. Badan yang menjadi Wajib Pajak Daerah adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas , perseroan komanditer, persereoan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. Ruang lingkup pemungutan Pajak Daerah tidak boleh ruang lingkup yang sudah menjadi lapangan pemungutan Pajak Negara. Pajak Daerah terdiri dari pajak daerah yang menjadi wilayah pemungutan daerah tingkat I dan pajak daerah yang menjadi wilayah pemungutan daerah tingkat II.

- Jenis – Jenis Pajak Daerah Pemungutan Daerah Tingkat I ( Provinsi)

a) Pajak Kendaraan Bermotor

Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

(18)

keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah dll.

c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. d) Pajak Permukaan Air

Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. e) Pajak Rokok

Pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. - Jenis – Jenis Pajak Daerah Pemungutan Daerah Tingkat II (

Kabupaten/Kota ) a) Pajak Hotel

Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.

b) Pajak Restoran

Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

c) Pajak Hiburan

Pajak atas penyelenggaraan hiburan d) Pajak Reklame

Pajak Reklame adalahPajak atas penyelenggaraan rekalame e) Pajak Penerangan Jalan

(19)

f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

g) Pajak Parkir

Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. h) Pajak Air Tanah

Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

i) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

j) Pajak Sarang Burung Walet

(20)

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan

l) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

B. Pajak Langsung Dan Pajak Tidak Langsung

Pajak dari segi administrasi pemungutan dan pembebanan pajak dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung :

1. Pajak Langsung

(21)

tidak boleh memindahkan beban pajaknya kepada pihak lain.

b) Pajak langsung dalam pengertian ekonomis adalah suatu pajak yang pengenaannya dibebankan kepada wajib pajak sendiri langsung atau kewajiban wajib pajak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan. 2. Pajak Tidak Langsung

a) Pajak tidak langsung secara administratif adalah suatu pajak yang pemungutannya tidak dilakukan secara berkala atau periodik, tetapi pemungutannya dilaksanakan pada saat terjadinya peristiwa atau perbuatan; pemungutannya tidak didasarkan pada suatu ketetapan pajak (kohir).

b) Pajak tidak langsung dalam pengertian ekonomis adalah suatu pajak yang beban pajaknya secara ekonomis dapat dipindahkan kepada pihak lain.

C. PAJAK SUBYEKTIF DAN PAJAK OBYEKTIF 1. PAJAK SUBYEKTIF

Pajak subyektif adalah pajak yang pengenaanya pertama-tama memperhatikan subyeknya dan baru dicari obyeknya atau pajak yang dimulai timbulnya kewajiban pajak diawali dengan adanya subyek pajak.

2. PAJAK OBYEKTIF

(22)

yang menyebabkan timbulnya kewajiban pajak dan baru dicari subyeknya. Atau pajak yang mulai timbulnya kewajiban pajak diawali dengan adanya obyek pajak.

2.Undang – Undang Yang Mengatur Hukum Pajak

Hukum pajak adalapublic dalam mengatur

hubungan Selain itu, hukum pajak diartikan sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mencakup tentang kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui uang

Undang-undang yang mengatur sistem perpajakan:

1. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1993 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

3. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang

direvisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000. 5. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

(23)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari IV Bab yang masing – masing bab memiliki sub – babnya tersendiri, yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini diatur mengenai pendahuluan yang merupakan uraian awal terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Pada bab ini membahas mengenai pengertian dari pajak dan pajak hotel, tujuan dan maanfaat pemungutan pajak, dan penyelenggaraan pemungutan pajak.

BAB III Pada bab ini mulai membahas bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak hotel berdasarkan Perda Kabupaten Labuhanbatu Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel juga hambaan yang terjadi dalam pelaksanaannya.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan keadaan eksisting bahwa balok dan kolom berukuran besar sehingga penggunaan ruang gerak sedikit terbatas, diharapkan dari kelemahan struktur bangunan beton

a) Hasil dari capability level pada COBIT 5 untuk manajemen risiko yaitu domain APO12 (Manage Risk). Dari 9 responden yang didapat pada domain APO12 cenderung berada di level 3

• Menjelaskan beberapa aspek pengelolaan yang menjadi kelemahan atau yang perlu ditingkatkan pada masa yang akan datang sampai dengan tahun 20195.

Dari biaya-biaya yang telah ditelusuri dan dihitung tadi didapat harga pokok produksi berdasarkam metode Job Order costing dikelompokan

Target pelanggan Nucleus-Plant Based Desserts ini adalah semua kalangan dan usia khususnya para vegetarian, vegan, dan pelaku gaya hidup sehat meng- ingat produk berbasis

Manajemen berkeyakinan bahwa asumsi-asumsi yang digunakan dalam estimasi cadangan kerugian penurunan nilai persediaan dalam laporan keuangan konsolidasian adalah

Kegiatan yang dilakukan pada langkah perencanaan adalah: merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dari proses pembelajaran dengan menggunakan media

Perat Peraturan Pe uran Pemerin merintah N tah Nomor 2 omor 23 T 3 Tahun 2 ahun 2010 te 010 tentang ntang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Pelaksanaan Kegiatan