• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN KEARIFAN LOKAL BERBASIS PROTEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN KEARIFAN LOKAL BERBASIS PROTEK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KEARIFAN LOKAL BERBASIS PROTEKSI UNTUK

MEMINIMALISIR DEGRADASI LINGKUNGAN DI INDONESIA: STUDI KELINGKUNGAN DAN KEBUDAYAAN

LOCAL WISDOM PROTECTION BASED ASSEMBLING TO MINIMALIZE INDONESIAN ENVIRONMENT DEGRADATION: AN ENVIRONMENTAL AND CULTURAL RESEARCH

Muhammad Raad Assidiqy1

1Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Malang protection based making a degradation problems become remarkable to solve, including deforestation, land degradation, water degradation, and air degradation. This journal is used by the mid semester test of the environmental geography and with Indonesian living environmental status 2010. Data analizing using qualitative descriptive method. This detailed shows that environment degradation cause by neglectful condition for local wisdom protection based for the priority of the people or the community, but the priority is the economic side only.

Keywords: Environment degradation, local wisom protection based, demography

ABSTRAK

Kondisi degradasi lingkungan di Indonesia merupakan permasalahan integrative antara permasalahan kependudukan, serta prespektif global masyarakat berkaitan dengan kearifan lokal berbasis proteksi. Kondisi abainya terhadap kearifan lokal berbasis proteksi membuat kondisi degradasi semakin pelik untuk dapat diselesaikan, termasuk kondisi degradasi hutan, degradasi lahan, degradasi air, dan degradasi udara. Penelitian jurnal ini mendasarkan pada data utama ujian tengah semester geografi lingkungan serta berdasarkan data status lingkungan hidup Indonesia trahun 2010. Analisis data menggunakan analisis kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai mutlak degradasi lingkungan disebabkan karena prespektif nilai kearifan lokal berbasis proteksi sudah tidak menjadi prioritas masyarakat atau komunitas, namun lebih pada faktor ekonomi saja.

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara berbentuk fragmen dengan ratusan pulau yang terpisahkan dengan perairan. Terletak pada koordinat 6º08.5’LU-11°15’LS, 94°45’BT-141°05’ atau secara relatif Indonesia terletak di kawasan Asia tenggara, terapit benua asia pada bagian utara, dan benua Australia pada bagian selatan, serta diantara samudra pasifik dan samudra hindia, menyebabkan Indonesia memiliki iklim tropis basah (SLHI, 2010:19). Kondisi tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh garis yang melalui Indonesia, yaitu khatulistiwa, yang menyebabkan intensitas penyinaran matahari senantiasa tinggi sepanjang tahun, dan berakibat pada tingginya suhu nisbi (Assidiqy, 2015:1). Berdasarkan kondisi tersebut, bentang alam Indonesia menjadi sangat variatif, bukan hanya dikarenakan kondisi kawasannya yang terpecah seperti fragmentasi, namun dikarenakan kondisi iklimnya mampu mempengaruhi, baik flora, fauna, maupun kondisi alam. Pada umumnya, kondisi biodiversitas yang tinggi akan menyebabkan kondisi sumberdaya menjadi melimpah dan tingkat kesuburan tanah tinggi.

Keadaan fisik tersebut tentu berpengaruh terhadap dua aspek utama dalam titik kajian jurnal, yaitu lingkungan dan kebudayaan. Berdasarkan kondisi alam tertentu, suksesi mengenai makhluk hidup dapat terbentuk, sehingga lambat laun membentuk kehidupan yang disebut sebagai lingkungan, lengkap dengan komponen yang ada didalamnya. Sedangkan budaya merupakan kondisi adaptif dari komponen yang ada didalam lingkungan. Hal ini dikarenakan budaya merupakan bentuk atau produk dari adanya adaptasi satuan unit komponen lingkungan terhadap fluktuasi lingkungan (disebut dengan seleksi alam). Sehingga kedua bentukan tersebut, baik lingkungan maupun budaya tidak akan bias terpisahakan, bahkan saling terkait antara satu sama lainnya, atau dalam artian, lingkungan merupakan faktor dependen dan budaya merupakan factor dependen, atau dapat berupa sebaliknya tergantung pada acuan yang digunakan, apakah possibilisme ataukah determinisme.

(3)

atau produk lingkungan dan kebudayaan adalah kearifan lokal. Kearifan local merupakan bentuk kebudayaan yang melekat dalam diri komunitas tertentu berkaitan dengan prespektif atau pandangan mengenai lingkungan, termasuk didalamnya adalah pemanfaatan, pelindungan, bahkan pembaharuan apabila terjadi kerusakan (recovery). Bentuk kearifan lokal tersebut di Indonesia sangat banyak bahkan hampir mencapai ribuan. Hal ini dikarenakan banyaknya kebudayaan sebagai akibat terpisahnya lingkungan-lingkungan yang ada di Indonesia, lengkap dengan kondisi iklim yang cenderung berbeda-beda pula. Sehingga mengakibatkan terbentuknya komunitas budaya yang pada akhirnya melahirkan kearifan lokal.

Konsep kearifan lokal merupakan suatu bentuk integrasi antara transformasi nilai serta aplikasi karakter budaya. Sebagai contohnya, pada masyarakat gorontalo dikenal sebagai Huyula atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gotong royong. Kegiatan Huyula merupakan kegiatan berbasis gotong royong yang digunakan sebagai sarana bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan yang bersifat kepentingan umum (Yunus, 2014:7). Sebagai contoh lainnya, kearifan lokal masyarakat dayak dalam memanfaatkan hutan secara integrative, mulai dari cara pembukaan lahan, pengelolaan lahan hasil pembukaan hutan, pengolahan hasil hutan, bahkan sampai proses peremajaan hutan merupakan bentuk transformasi nilai-nilai karakter kearifan lokal. Selain itu kebudayaan suku badui yang ada di jawa barat bahkan dapat dikategorikan sebagai transformasi nilai karakter kearifan lokal yang cenderung proteksi atau perlindungan saja.

(4)

Sedangkan pada dewasa ini degradasi lingkungan sudah secara terang-terangan dan besar terjadi pada setiap lini dunia, tidak terkecuali Negara-negara tropis penghasil oksigen terbesar (paru-paru dunia). Degradasi lingkungan menjadi masalah pelik yang ingin dipecahkan oleh berbagai kalangan di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia mengalami degradasi lingkungan yang bahkan dapat dikategorikan sebagai permasalah yang pelik. Permasalahn tersebut antara lain kebakaran hutan atau degradasi sumberdaya hutan, membeludaknya masalah antropologis termasuk didalamnya masalah kepadatan penduduk, hingga masalah pencemaran dan penurunan kadar oksigen di udara maupun di air, sehingga degradasi lingkungan di Indonesia dikategorikan integrative penyelesaiannya.

Kajian jurnal ini bertujuan untuk menjabarkan seberapa penting peranan kearifan lokal berbasis proteksi dalam kaitannya mengendalikan permasalahan degradasi lingkungan yang ada di Indonesia melalui kajian kelingkungan dan kajian budaya. Selain itu, jurnal ini akan mencoba mengkorelasikan antara penurunan kesadaran komunitas masyarakat modern dan masyarakat yang masih mengangungkan kearifan lokal terhadap kerusakan dan degradasi lingkungan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pemenuhan beban ujian tengah semester ganjil pada mata kuliah Geografi Lingkungan. Data acuan yang diperoleh secara mutlak berasal dari dosen pengampu mata kuliah, sedangkan data dukungan seperti referensi terkait dengan jurnal bahasan diperoleh melalui media cetak berupa buku maupun media digital berupa e-jurnal hasil karya peneliti yang memiliki konsentrasi pada bidang terkait kajian jurnal yang dibahas. Analisis data sertaan menggunakan analisis kualitatif sedangkan data sekunder menggunakan analisis kuantitatif (apabila ditemukan data yang harus dikaji melalui kuantitatif).

KAJIAN TEORI

(5)

komunitas tertentu yang pada dasarnya berasal dari para pendahulu mereka sebagai bentuk kombinasi antara interaksi dan solusi berkaitan dengan lingkungannya. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di seluruh Indonesia lebih menekankan pada basis proteksi atau konservasi dibandingkan dengan basis yang lainnya. Proteksi dalam artian bahwa keterbutuhan komunitas lokal akan lingkungan masih melalui perspektif determinis fisik yang sebagian besar diadopsi oleh masyarakat Indonesia dalam baurannya pada masing-masing suku yang ada di Indonesia seperti halnya badui dan dayak.

Mulanya Kearifan lokal adalah sebagai bentuk alat barrier tingkah laku manusia didalam komunitas tertentu dalam suatu suku tertentu dalam memanfaatkan lingkungan. Sebagaimana contoh dalam suku badui, masyarakat dilarang untuk dapat memanfaatkan listrik, menggunakan kendaraan bermotor, mandi disungai, memelihara hewan ternak, dalam rangka melakukan proteksi penuh terhadap kuantitas dan kualitas lingkungan dimana tempat komunitas badui tinggal. Hal ini menyangkut pandangan atau perspektif masyarakat badui terhadap lingkungan, bahwa lingkungan merupakan salah satu bentuk perwujudan pemberian tuhan yang tidak ternilai sehingga mutlak diperjuangkan kelestariannya. Konsep inilah yang disebut sebagai kearifan lokal berbasis proteksi, yang mana sikap atau tindakan komunitas tertentu yang lebih mengutamakan pandangan konservasi mengenai lingkungan dibandingkan dengan pengelolaan dan pemanfaatan, disamping porsi pengelolaan dan pemanfaatan tersebut tetap dapat maintain secara baik.

(6)

komunitas masyarakat juga dapat memanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Contoh lainnya yang dapat diambil adalah keraifan lokal meninggalkan lahan sebagai bentuk peremajaan agar lahan dapat beregenerasi. Konsep ini diadopsi bahwa lahan akan mampu bekerja maksimal apabila diberikan waktu jeda atau waktu istirahat untuk tidak dilakukan pengelolaan dalam jangka waktu tertentu. System kearifan lokal berbasis proteksi ini sudah diadopsi turun temurun oleh suku dayak misalnya, mereka meninggalkan lahan bekas kelola dalam jangka waktu tertentu untuk dimaksudkan agar lahan dapat mengalami peremajaan kembali dan dapat dimanfaatkan kembali di masa yang akan datang.

Namun perubahan perspektif mengenai pemanfaatan lingkungan hidup menjadi pengelolaan lingkungan hidup nampaknya berakibat pada keterbukaan komunitas tertentu akan eksploitasi sumberdaya. Konsep-konsep kearifan lokal berbasis proteksi yang sudah dianut secara turun temurun nampaknya tidak berpengaruh sama sekali. Konsep penanaman lahan pada topografi tajam dengan tanaman tegakan keras dewasa ini diganti dengan tanaman holtikultura yang dinilai lebih ekonomis dan berimbang dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, seperti pemanfaatan lahan pertanian yang harusnya diberikan waktu untuk melakukan peremajaan, sekarang sepanjang tahun digunakan secara terus menerus, sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas, serta kualitas tanah atau lahan pertanian. Kondisi tersebut didukung oleh adanya eksternal berupa kebijakan otoda yang mewajibkan kawasan dapat dikembangkan secara maksimal. Maka kondisi yang terjadi adalah degradasi lingkungan.

(7)

keterbutuhan akan lahan oleh komunitas memungkinkan perubahan serta alih fungsi lahan konservasi menjadi pertambangan. Cara yang ditempuh oleh komunitas tertentu cenderung mengabaikan kearifan lokal berbasis proteksi yang ada di kawasan tersebut. Sebagai contohnya adalah masyarakat dayak dalam, apabila menghendaki untuk dapat memanfaatkan lahan hutan untuk dijadikan lahan kelola, maka yang dilakukan adalah membersihkan kawasan sekitar hingga tidak menyebabkan rambatan api yang dapat mengakibatkan kebakaran. Setelah itu, pembakaran dilakukan secara bersama-sama dan dikelilingi oleh banyak orang agar tidak terjadi kebakaran hutan. Informasi mengenai pembukaan lahan tersebut juga mutlak disebarluaskan kepada kawasan didekatnya dalam rangka system peringatan dini.

Hal tersebut menjadi kondisi kearifan lokal berbasis proteksi yang sudah ditinggalkan oleh beberapa komunitas di Indonesia. Pembukaan lahan secara besar-besaran dengan cara cepat menyebabkan kebakaran lahan gambut di Indonesia. Selain itu degradasi hutan di Indonesia akibat pembukaan hutan tersebut berdampak sangat massif, antara lain:

1. Kebakaran hutan menyebabkan kabut asap yang berkepanjangan dan melibatkan bencana antar Negara .

2. Penyakit yang membunuh sebagian besar komponen lingkungan hidup, baik flora, fauna, serta manusia.

3. Kuantitas penghasil oksigen yang jauh dibawah rata-rata.

4. Peningkatan suhu permukaan bumi, diikuti dengan peningkatan muka air laut, sehingga pulau-pulau kecil akan tenggelam.

5. Hilangnya serta berkurangnya keanekaragaman hayati. 6. Kerusakan permanen pada lingkungan hidup.

(8)

Lingkungan merupakan suatu kesatuan komponen, baik ruang, benda, daya, energy, serta makhluk hidup termasuk manusia beserta tingkah lakunya, yang dapat memengaruhi komponen didalamnya secara langsung. Lingkungan merupakan bentuk system dari segala komponen yang ada, sehingga karakteristik komponennya akan terpengaruh satu sama lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan degradasi lingkungan adalah penurunan kondisi baik kuantitas maupun kualitas lingkungan biogeofisik, akibat adanya aktivitas alami (proses alam, seperti bencana alam, dan bahaya alam), serta aktivitas dipercepat (perusakan lingkungan oleh manusia), sehingga berdampak negative berupa kondisi tidak seimbang dan dapat dirasakan oleh seluruh komponen lingkungan secara global.

Degradasi akan meliputi segala bentuk life layers seperti air, udara, tanah bahkan komponen hidup juga akan dapat mengalami degradasi. Degradasi air dapat berupa pencemaran oleh zat kimia berbahaya akibat aktivitas pabrik, pencemaran akibat zat berbahaya penambangan logam berat, bahkan dapat diakibatkan oleh adanya aktivitas biotik, seperti kandungan ammonia yang akan mencemari air apabila dalam kadar zat terlarut terlalu tinggi. Selain itu degradasi air juga akan menyebabkan degradasi udara dan tanah secara langsung. Apabila air mengalami degradasi, maka tanah akan mengalami degradasi dan kerusakan akibat zat hara hilang karena erosi, serta cemaran zat kimia berbahaya. Sebagai contohnya, dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian (Atmojo, 2006:2). Sehingga dalam segala bentuk aktivitas manusia pada dasarnya secara langsung akan menyebabkan percepatan degradasi lingkungan, baik aktivitas pengelolaan maupun pengolahan lingkungan.

(9)

lingkungan. Masalah kependudukan, yang berarti tidak terkontrolnya jumlah penduduk yang ada di Indonesia, bukan hanya berdampak pada jumlah, namun juga akan berdampak terhadap seluruh komponen yang akan berinteraksi dengan masyarakat. Apabila ditinjau lebih jauh, jumlah penduduk di Indonesia semakin lama akan semakin banyak, dan jumlah yang semakin banyak akan juga memerlukan ruang yang besar, termasuk kebutuhan untuk dapat survive bahkan mencukupi kebutuhan sekunder dan tersier.

Kebutuhan untuk survive bahkan untuk mencukupi kebutuhan sekunder dan tersier bersumber dari lingkungan. Sebagai contohnya, kebutuhan primer, yaitu makanan hanya dapat dicukupi melalui ekstraksi lingkungan khususnya lahan pertanian. Maka semakin banyak jumlah penduduk, akan memerlukan jumlah bahan pangan yang lebih besar pula. Begitu juga hal tersebut diaplikasikan pada kebutuhan manusia yang bersifat sekunder dan tersier. Sebagai contohnya, kebutuhan tersier seperti emas, perak, dan perhiasan lainnya hanya mampu dicukupi oleh lingkungan. Maka, segala bentuk kebutuhan hanya mampu dicukupi oleh lingkungan. Namun kendala utama yang menghambat ketercukupan tersebut adalah, maka semakin banyak jumlah penduduk, akan menyebabkan kapasitas lingkungan pada kondisi tidak mampu mencukupi kebutuhan manusia, atau dalam artian mencapai puncak efektif. Sebagai analoginya, apabila jumlah penduduk meningkat 100% dari jumlah awal, dan lingkungan hanya mampu menampung 50% peningkatan, maka kapasitas lingkungan untuk dapat mencukupi kebutuhan tersebut akan rendah. Manusia secara tidak langsung akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Apabila lahan yang dapat mencukupi kebutuhan pangan digunakan sebagai lahan permukiman, maka kuantitas jumlah bahan pangan melalui lahan pertanian akan menurun dan tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan manusia. Sehingga diperlukan analisis integrates berkaitan dengan permasalahan degradasi lingkungan tersebut.

PEMBAHASAN

(10)

kearifan lokal berbasis proteksi, yang mana segala bentuk aktivitas, dan interaksi manusia kepada lingkungan bertujuan untuk dapat melakukan perlindungan, konservasi, dan regenerasi kawasan naungan, sebelum melakukan tindakan pengelolaan maupun pengolahan. Sedangkan tindakan-tindakan diluar hal-hal tersebut tidak seharusnya dapat dilakukan atau diterapkan dalam rangka survive atau memenuhi kebutuhan yang lainnya. Berdasarkan data deforestasi hutan (departemen kehutanan) yang tersaji pada lembar soal ujian tengah semester mata kuliah geografi

lingkungan menunjukkan bahwa:

Laju deforestasi hutan yang cenderung fluktuatif, merupakan gambaran bahwa kuantitas kebutuhan mengenai lahan sangat besar. Bahkan masih diatas 0.5 juta hektar setiap tahunnya. Kondisi tersebut diperparah dengan kerusakan lahan yang parah hingga menyebabkan gejala bencana dalam skala besar, seperti kabut asap dan penyakit.

(11)

1. Membersihkan lahan-lahan disamping lahan yang akan dibuka dengan tujuan agar tidak terjadi perembetan api yang dapat membakar habis hutan.

2. Komunitas masyarakat membuat jalur sungai kecil yang dialiri air sebagai system pemadaman darurat apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. 3. Masyarakat secara bersama-sama mengelilingi kawasan yang terbakar

tersebut sebagai upaya untuk menjaga agar tidak terjadi kebakaran secara meluas.

4. Komunitas pembakar hutan mutlak memberi tahu desa terdekat bahwa terdapat aktivitas pembakaran hutan dan sebagai upaya warning kepada daerah sekitar

5. Setelah pembakaran berakhir, pemadaman hingga tidak terdapat asap lagi. 6. Pemanfaatan menunggu beberapa selang waktu agar tanah siap, sebagai

upaya agar tanah dapat berproduksi maksimal

Kondisi seperti diatas sudah sangat jarang ditemukan oleh para pengembang khususnya diluar komunitas masyarakat lokal atau masyarakat asli karena dinilai tidak efisien dan membutuhkan waktu lama. Namun dampak dari proses yang begitu cepat adalah kerusakan lahan, bahkan menimbulkan degradasi yang sangat luas cakupannya, meliputi udara (kabut asap), tanah (hilangnya unsur hara), air (matinya sumber air akibat hilangnya komunitas hutan dalam skala luas).

Namun kondisi tersebut mengalami penurunan berdasarkan data diatas, dimungkinkan terdapat dua factor utama yang menyebabkan, yaitu:

1. Penurunan disebabkan karena sudah berkurangnya jumlah hutan yang ada di Indonesia, khususnya kawasan komunitas lokal. Sehingga pembakaran hutan atau alih fungsi hutan yang menyebabkan degradasi hutan menurun seiring berjalannya waktu.

(12)

Sedangkan permasalahan lainnya yang juga sangat pelik adalah permasalahan kependudukan. Masalah tersebut digolongkan sebagai permasalahan integrative dan sulit untuk dipecahkan dalam suatu sisi saja. Berdasarkan data studi SLHI tahun 2010, maka didapatkan bahwa:

(13)

1971, menjadi 2 kali lipat. Kondisi ini menyebabkan masalah kependudukan yang pelik. Beberapa diantaranya pada suatu sisi akan menyebabkan dampak negative dibandingkan dampak positif. Seperti halnya Negara cina, jumlah penduduk yang luar biasa besar dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Negara cina untuk dapat menunjang GDP Negara, sehingga masyarakat dapat tertunjang. Namun berkebandingan terbalik dengan Negara cina, Indonesia, memiliki masalah yang pelik berkaitan dengan kependudukan yang besar seperti halnya kemacetan, pemukiman kumuh, serta pengangguran.

(14)

sebagai komunitas lokal, mampu mengendalikan prinsip hidup menggunakan system kearifan lokal berbasis proteksi.

Selain itu, konstruksi dasar dari pencemaran lingkungan muncul atas dasar kebutuhan hidup manusia. Maka sebagai bentuk responsibility hendaknya manusia dapat mengendalikan laju kerusakan lingkungan dengan cara proteksi maupun recovery. Dengan hal itu, maka biaya untuk melakukan peremajaan terhadap lingkungan akan menurun dan menyebabkan pertumbuhan perekonomian menjadi lebih baik. Apabila pertumbuhan perekonomian menjadi baik, maka tunutan kebutuhan manusia dapat ditekan, apalagi untuk melakukan peremajaan kawasan

badland.

(15)

operasional yang dimanfaatkan. Maka dengan alokasi seperti itu, basis utama yang digunakan adalah proteksi penuh.

Gejala lainnya seperti kerusakan dan degradasi air juga berkaitan dengan kawasan permukiman yang semakin memadat. Presentasi keterbutuhan air sangat berbanding terbalik dengan ketersediaan air. Ketersediaan air yang minim dan pemanfaatan air yang beragam macam, membuat degradasi sumberdaya air menjadi massif. Aktivitas masyarakat seperti mandi, cuci, kakus, membuat ketersediaan air berkurang dan terdegradasi. Ditambah lagi dengan mindset masyarakat pada umumnya bahwa air tidak dapat habis. Melalui konsep kearifan lokal berbasis proteksi, sebagai contohnya adalah suku badui dalam. Pemanfaatan baik air permukaan maupun air tanah sangat konservatif. Komunitas lokal menggunakan air tanah sebagai pencukup kebutuhan pada ambang batas kebutuhan mereka, dan bukan pada ambang batas ketersediaan airmya. Selain itu, masyarakat dilarang menggunakan deterjen secara besar-besaran dalam rangka agar kondisi air tidak rusak dan tercemar. Pemanfaatan air sungai pun terbilang sangat terbatas, karena mereka menilai bahwa kekayaan biota yang ada didalam ekosistem sungai, merupakan karunia tuhan yang mutlak disandingkan dengan komunitas badui. Maka dengan pandangan kearifan lokal seperti inilah mampu memproteksi secara penuh mengenai kelestarian sumberdaya air khususnya air tanah dan air permukaan.

(16)

kerusakan lingkungan, maka daya dukung lingkungan juga akan mengecil, setara dengan jumlah masyarakat yang dinamis untuk bertambah.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dan data–data mengenai status lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa degradasi lingkungan mencapai pada taraf degradasi hutan, degradasi lahan, degradasi air, serta degradasi udara. Dengan kapasitas serta trigger berupa tindakan manusia yang cenderung abai dan meninggalkan konsep kearifan lokal berbasis proteksi. Kondisi tersebut semakin lama diperparah dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Sehingga diperlukan adopsi mengenai kearifan lokal kembali kepada prespektif masyarakat untuk menanggulangi degradasi lingkungan yang semakin massif terjadi.

DAFTAR RUJUKAN

Atmojo, Suntoro Wongso. 2006. Degradasi Lahan Ancaman Bagi Pertanian. Solo: Solo POS.

Assidiqy, Muhammad Raad. 2015. Potensi Bencana Alam di Indonesia. Malang: Pendidikan Geografi UM

Hastuti, Erni et al. 2013. Kearifan Lokal Sosial Budaya Masyarakat Minang Pedagang Rantau di Jakarta. Bandung: Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil).

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2010. Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Yunus, Rasid. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terlihat bahwa kementerian/Lembaga menjalankan kebijakannya sesuai dengan kepentingan masing-masing, termasuk membuat kebijakan mengenai perbatasan cenderung

Seorang pelaku usaha harus memiliki skill (kemampuan) untuk berwirausaha karena tanpa skill (kemampuan) seorang pelaku usaha tidak akan mungkin bisa

Syaiful Anwar, Wakil Rektor III UIN Raden Intan Lampung, wawancara , dicatat pada tanggal 13/05/2018.. kepemimpinan yang demokratis. Teori ini ternyata diaplikasikan oleh Prof.

Model tersebut berupa suatu sistem persamaan diferensial dengan lima variabel, yang menyatakan banyaknya vektor pada masa inkubasi, banyaknya vektor terinfeksi,

Jalan Raya Cirendang - Cigugur - Kuningan.. SMK

KETIGA : Daftar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Dikecualikan dari Perizinan Tata Niaga Impor Dalam

Memperhatikan masalah-masalah tersebut maka diperlukan suatu metode pembelajaran dan media pembelajaran yang efektif untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keaktifan

Simpulan dari penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe NHT yang dilengkapi dengan Word Square efektif untuk meningkatkan aktivitas, keterampilam