WP/4/2013
Transformasi Perekonomian Indonesia
Membangun Kapabilitas Industrial untuk Mendukung Migrasi ke High Income Country
Reza Anglingkusumo
Yenny Fridayanti
Fenty Tri Suryani
Harry Satriyo Hendharto
Grup Riset Ekonomi
ii
Transformasi Perekonomian Indonesia
Membangun Kapabilitas Industrial untuk Mendukung Migrasi ke High Income Country
Reza Anglingkusumo, Yenny Fridayanti, Fenty Tri Suryani, Harry Satriyo Hendharto 1
Working Paper No. 4/2013 Desember 2013
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang transformasi perekonomian Indonesia paska krisis Asia. Hasil kajian menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan struktural baik di sisi permintaan maupun penawaran di Indonesia paska krisis Asia. Struktur sisi permintaan semakin mencerminkan perbaikan tingkat kesejahteraan dalam perekonomian, sementara struktur sisi penawaran mengalami hambatan dalam merespon. Implikasi dari ketidakseimbangan tersebut adalah pada potensi terjadi perlambatan migrasi Indonesia ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Untuk mengatasi ketidakseimbangan struktural tersebut direkomendasikan untuk melakukan penguatan kapabilitas industrial (industrial upgrading) dan pembangunan kapasitas inovasi. Diajukan pula sebuah gagasan tentang pembangunan technoparks sebagai ekosistem inovasi yang terintegrasi secara spasial di Nusantara sebagai upaya memperkuat kapabilitas industrial di Indonesia.
JEL classification: O1, O2, O3, O5
Keywords: Economic development, economic transformation, structural reform
1
Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi – Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak semata-mata merefleksikan pandangan DKM atau Bank Indonesia.
iii
I.3. Pertanyaan-Pertanyaan Riset ... 2
I.4. Skematika Pembahasan... 3
I.5. Rangkuman Makalah ... 3
BAB II ... 4
LANDASAN KONSEPTUAL ... 4
II.1. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Struktural Produksi ... 4
II.2. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Prasyarat Modal Dasar Pembangunan ... 7
II.3. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Struktur Permintaan Agregat... 10
II.4. Transformasi Perekonomian dan Ketimpangan Pendapatan... 11
II.5. Transformasi Perekonomian dan Penguatan Kapabilitas Industrial Dalam Konteks Globalisasi ... 13
BAB III ... 18
METODOLOGI DAN DATA ... 18
III.1. Metodologi ... 18
III.2. Deskripsi Data dan Indikator ... 18
BAB IV ... 22
PEMBAHASAN ... 22
IV.1. Perubahan Struktural di Sisi Permintaan ... 22
IV.2. Perubahan Struktural di Sisi Penawaran ... 28
IV.3. Implikasi Perubahan Struktural ... 33
iv
BAB V ... 63
KESIMPULAN ... 63
BIBLIOGRAFI ... 64
ANNEX I ... - 1 -
ANNEX II ... - 6 -
v
Daftar Diagram
Diagram 1 Eksposisi Transformasi Perekonomian (Timmer, 2007) ... 4
Diagram 2 Titik Balik Lewis dalam Perekonomian Dualistik ... 6
Diagram 3 Skematika Transformasi Perekonomian Menurut World Economic Forum ... 8
Diagram 4 Kurva Kuznets ... 12
Diagram 5 Rantai Nilai Porter (Porter, 1985) ... 13
Diagram 6 Smiley Curve: 1970an VS 2000an (Stan Shih, 1992 dan deBacker, 2013) ... 14
Diagram 7 Industrial Upgrading VS Service Upgrading ... 15
Diagram 8 Pendekatan Trade in Value Added dalam Menghitung Aktifitas Perdagangan ... 15
Diagram 9 Evolusi Tatanan Industri dan Perdagangan Dunia (WTO & IDE – JETRO, 2012) ... 17
Diagram 10 Struktur Konsumsi Rumah Tangga ... 25
Diagram 11 Evolusi Konsumsi Seiring Peningkatan Pendapatan per Kapita ... 43
Diagram 12 Paradigma Sektoral (Lama) VS Paradigma Trade-in-Task (Baru), (Safadi, 2013) .. 46
Diagram 13 Analisis Akar Masalah Terkait Industrial Upgrading Di Kawasan Jawa ... 59
Diagram 14 Analisis Akar Masalah Terkait Industrial Upgrading Di Kawasan Luar Jawa ... 60
vi
Daftar Grafik
Grafik 1 Perubahan Peran Sektor Pertanian di 86 Negara: 1965 – 2000 (Timmer, 2007) ... 5
Grafik 2 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Indonesia 1970-2012 (World Development Indicators, World Bank) ... 23
Grafik 3 Ekspansi Kelas Menengah dan Perubahan Struktur Permintaan Agregat ... 24
Grafik 4 Perubahan Pola Konsumsi Penduduk ... 25
Grafik 5 Proporsi Urban Perbandingan Antar Kawasan ... 28
Grafik 6 PDRB Perkapita Nominal ... 28
Grafik 7 Dinamika Nilai Tukar Nominal Rp/USD (EXPRL) dan Nilai Tukar Riil Efektif (REER).. 30
Grafik 8 Ekspor Neto Aktifitas Ekstraktif Berbasis SDA dan Sektor Manufaktur Padat Karya Berteknologi Rendah ... 32
Grafik 9 Fenomena Boom Harga Komoditas Global ... 32
Grafik 10 Perkembangan & Proyeksi Ukuran Perekonomian Negara-Negara di Dunia (Sumber: World Economic Outlook, IMF) ... 34
Grafik 11 Bonus Demografi Indonesia (Sumber: MP3EI) ... 35
Grafik 12 Ketergantungan Teknologi dan Kapabilitas Industrial di Nusantara ... 38
Grafik 13 Ketergantungan Teknologi dan Penetrasi Impor di Berbagai Wilayah Berdasarkan Klasifikasi Produk ... 40
Grafik 14 Kapabilitas Industrial dan Penetrasi Ekspor di Berbagai Wilayah Berdasarkan Klasifikasi Produk ... 41
Grafik 15 Kapabilitas Industrial dan Ketergantungan Teknologi di Nusantara ... 42
Grafik 16 Dinamika Upah Sektoral dan Spasial ... 44
Grafik 17 Perbandingan Posisi Pencapaian Negara-Negara Dalam Melakukan Industrial Upgrading, 2000 & 2009... 47
Grafik 18 Komparasi CA/GDP R&D intensive, labor intensive, energy intensive, dan others, Indonesia dengan Peers ... 48
Grafik 19 Kurva Kuznet, Gini Ratio VS Pendapatan per Kapita, Selected Countries ... 49
Grafik 20 Plot Kapabilitas Industri VS Pendapatan per Kapita ... 50
Grafik 21 Plot Innovation Index Vs Education, Innovation Index Vs Ict ... 50
Grafik 22 Plot Gni/Cap Vs Pendidikan Tersier Untuk Masing-Masing Bidang Pendidikan ... 51
Grafik 23 % Komposisi Tenaga Peneliti Menurut Bidang Penelitiannya ... 53
Grafik 24 Daya Saing Upah Di Jawa Akan Menipis ... 55
vii
Grafik 26 Kualitas Jalan & Ketersediaan Listrik, Per Wilayah... 56
Grafik 27 GERD-Gross Expenditure on R&D ... 57
viii
Daftar Tabel
Tabel 1 Klasifikasi Negara Menurut Pendapatan Per Kapita (GNI, Atlas Method, World Bank) ... 9
Tabel 2 Indikator Utama ... 18
Tabel 3 Dynamic Panel SYS-GMM Estimation of Determinant of Inequality ... 52
Tabel 4 Estimasi GNI/Cap: SDM, Energi, Jalan, Pelabuhan, Investasi ... 54
ix
Daftar Grafik (LAMPIRAN)
Grafik (Lampiran) 1 Identifikasi break pada Pertumbuhan PDB riil ... - 3 -
x
Daftar Tabel (LAMPIRAN)
Tabel (Lampiran) 1 Proses AR(1) dari Pertumbuhan PDB Riil ... - 3 -
Tabel (Lampiran) 2 Konstanta, Slope Regresi, dan Tingkat Rata-rata Pertumbuhan Jangka Panjang Pertumbuhan Ekonomi Riil ... - 4 -
Tabel (Lampiran) 3 Analisa Perbandingan Daya Saing Statik VS Dinamik ... - 9 -
Tabel (Lampiran) 4 Mapping Produk Berdasarkan Analisis Daya Saing Statik & Dinamik ... - 10 -
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dalam literatur studi pembangunan, transformasi perekonomian sebagai sebuah konsep
memiliki setidaknya dua konotasi. Pertama adalah konotasi transformasi perekonomian sebagai
perubahan struktural yang mencakup perubahan komposisi, penyerapan tenaga kerja dan
produktifitas sektoral dalam perekonomian dari waktu ke waktu. Perubahan struktural tersebut
merupakan fitur daripada proses pembangunan yang terjadi dalam suatu periode yang panjang (lihat
misalnya pembahasan di UNECA (2011), Losch et al (World Bank dan AFD, 2012), Soubbotina (2000),
dan Timmer (2007)). Konotasi kedua adalah transformasi perekonomian sebagai perubahan
kapabilitas faktor modal dasar perekonomian (factor endowments). Dalam konotasi ini, transformasi
perekonomian identik dengan perubahan kapasitas penyerapan teknologi dan inovasi, peningkatan
kapasitas modal manusia dan peningkatan daya saing perekonomian yang menopang peningkatan
kesejahteraan dari waktu ke waktu (lihat misalnya pembahasan dalam laporan WEF Global
Competitiveness, Malunda & Musana (ACET, 2012), dan Hausmann et al (2011)).
Transformasi perekonomian Indonesia yang akan dibahas dalam makalah ini meminjam
se a gat dari kedua konotasi tersebut. Pertama adalah dengan memandang transformasi perekonomian yang telah terjadi di Indonesia (ex post), khususnya pada periode paska krisis Asia
1997/98, melalui kacamata perubahan yang telah terjadi pada struktur sisi permintaan dan
penawaran dalam perekonomian. Kedua adalah dengan menggagas sebuah pandangan idealistik
tentang arah transformasi perekonomian ke masa depan (ex-ante) sebagai sebuah perubahan
kapabilitas industrial dalam perekonomian dalam rangka menjawab tantangan-tantangan struktural
terkait proses migrasi Indonesia menuju ke negara maju berpenghasilan tinggi. Penulis memandang
pendekatan yang demikian sangat fungsional karena selain memungkinkan terbangunnya diskursus
tentang transformasi perekonomian Indonesia, juga sekaligus membuka ruang bagi advokasi
kebijakan publik oleh Bank Indonesia dalam rangka transformasi tersebut.
Advokasi kebijakan publik oleh Bank Indonesia terkait arah transformasi perekonomian kedepan
menjadi sangat penting dilakukan terutama karena, pertama, pada tahun 2014 yang akan datang
2 Tahap II (RPJMN II). Terkait itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) saat ini tengah menyusun draft RPJMN III
sebagai basis bagi program-program pembangunan sampai dengan 2019. Kedua, tidak terhindar
bagi Bank Indonesia bahwa dalam melaksanakan mandatnya memelihara stabilitas nilai rupiah untuk
senantiasa berkoordinasi dengan Kementerian / Lembaga Pemerintah terkait upaya-upaya untuk
membangun suatu fondasi perekonomian yang kokoh. Dalam konteks perekonomian domestik yang
sangat terbuka, advokasi publik terkait arah transformasi perekonomian dalam kerangka koordinasi
kebijakan ekonomi menjadi penting. Gejolak siklus boom-bust dalam perekonomian global adalah
sebuah keniscayaan yang menuntut kemampuan perekonomian domestik untuk menyerapnya.
Untuk itu dibutuhkan sebuah struktur perekonomian domestik yang kokoh dan sekaligus fleksibel
(agile). Oleh karenanya, makalah yang dapat menjadi salah satu rujukan bagi Pimpinan Bank
Indonesia dalam menyampaikan pandangan terkait arah transformasi perekonomian Indonesia di
masa depan menjadi relevan untuk ditulis.
I.2. Tujuan Penulisan
Dengan latar belakang singkat diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
i. Mengulas tentang perubahan struktural terkait sisi permintaan dan penawaran di Indonesia
pada periode setelah krisis Asia, khususnya periode 2000 - 2012.
ii. Menyampaikan pandangan tentang peluang dan tantangan perekonomian Indonesia saat ini
yang dipandang akan tetap relevan sampai dengan lima tahun kedepan.
iii. Menggagas tentang arah transformasi perekonomian dalam RPJMN III (2015-2019) sebagai
sebuah sumbang saran yang dapat dijadikan rujukan oleh Pimpinan Bank Indonesia dalam
melakukan advokasi kebijakan publik terkait pembangunan ekonomi.
I.3. Pertanyaan-Pertanyaan Riset
Untuk membantu penulisan makalah ini beberapa pertanyaan riset berikut ini akan dijawab
dalam pembahasan, yaitu:
1. R1: Perubahan-perubahan struktural apa saja yang telah terjadi di sisi permintaan dan
penawaran di Indonesia pada periode 2000 – 2012?
2. R2: Apa implikasi perubahan struktural tersebut pada keseimbangan ekonomi makro
dan kesinambungan migrasi Indonesia menuju tingkat pendapatan yang lebih tinggi
3 3. R3: Apa peluang dan tantangan global d an domestik yang dipandang sedang dan akan
melingkupi lingkungan strategis perekonomian Indonesia sampai dengan lima tahun
kedepan?
4. R4: Apa rekomendasi yang dapat disampaikan terkait penguatan fondasi perekonomian
Indonesia dalam rangka menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang global dan
domestik yang ada?
I.4. Skematika Pembahasan
Demi memudahkan pembaca dalam mengikuti alur pembahasannya, makalah ini telah dibagi
menjadi beberapa bagian setelah bab pendahuluan ini. Bab II akan mengulas landasan konseptual
terkait transformasi Perekonomian secara umum. Bab III menyampaikan secara singkat tentang
metodologi analisis yang digunakan dalam pembahasan makalah, serta deskripsi tentang data dan
indikator yang digunakan. Bab IV menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan di Sub-Bab
I.3. Bab V akan menyimpulkan keseluruhan makalah ini.
I.5. Rangkuman Makalah
Pesan-pesan utama yang akan diulas secara lebih detil dalam makalah ini dapat dirangkum
sebagai berikut. Perekonomian Indonesia dalam satu dekade terakhir secara berangsur telah
bertransformasi kearah dimana terindikasi adanya ketidakseimbangan struktural yang semakin
menguat. Kapabilitas industrial di sisi penawaran tertinggal dalam merespon permintaan pasar
barang domestik yang semakin kompleks terkait ekspansi kelas menengah. Ketidakseimbangan
tersebut menyebabkan proses migrasi Indonesia ke negara maju berpenghasilan tinggi dapat
melambat. Untuk mengatasi kendala pada pertumbuhan ekonomi diperlukan kebijakan struktural
yang kuat dalam rangka meningkatkan kapabilitas industrial domestik. Kuncinya terletak pada alih
teknologi, pembangunan modal manusia, penguatan faktor produksi komplementer dan
pembangunan ekosistem inovasi di seluruh Nusantara. Keseluruhan tuntutan ini menunjukkan
perlunya model pertumbuhan ekonomi baru (New Growth Model) yang menjadi basis bagi
4
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL
II.1. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Struktural Produksi
Sebagaimana telah sedikit disinggung sebelumnya di Bab I, konsep transformasi
perekonomian dapat dilihat dari sudut pandang perubahan struktural dalam perekonomian. Timmer
(2007) misalnya, setelah melakukan observasi historis di 86 negara sejak 1965 sampai 2000,
menyimpulkan transformasi perekonomian sebagai sebuah proses perubahan dalam struktur
perekonomian suatu negara yang meliputi setidaknya fitur-fitur berikut2. Pertama adalah
menurunnya pangsa output dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang diikuti oleh
meningkatnya produktifitas di sektor tersebut. Proses ini sebagaimana yang dapat diilustrasikan di
Diagram 1 dan observasi historis dari Timmer (2007) yang dapat dilihat di Grafik 1. Kedua, seiring dengan perubahan peran sektor pertanian tersebut adalah meningkatnya pangsa aktifitas
perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor urban terutama di sektor industri dan
jasa-jasa pendukungnya. Ini berarti bahwa dalam proses transformasi tersebut terjadi pula
peningkatan migrasi penduduk dari desa ke kota.
Diagram 1 Eksposisi Transformasi Perekonomian (Timmer, 2007)
2
5 Grafik 1 Perubahan Peran Sektor Pertanian di 86 Negara: 1965 – 2000 (Timmer, 2007)
Apa yang disampaikan dalam Timmer (2007) menegaskan kembali pandangan tentang
pentingnya konseptualisasi sebuah perekonomian dualistik sebagai conditio sine qua non sebelum
diskursus tentang transformasi perekonomian dimulai. Untuk ini bisa meminjam dari teori
perekonomian dualistik. Salah satu teori utama terkait perekonomian dualistik adalah sebagaimana
yang diajukan oleh Lewis (1954). Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada
dasarnya terbagi menjadi dua yaitu perekonomian tradisional di perdesaan yang didominasi oleh
sektor pertanian subsisten dan perekonomian modern di perkotaan (urban) dengan industri sebagai
sektor utama3. Diasumsikan pula bahwa pertumbuhan penduduk di pedesaan masih relatif lebih
tinggi dan perekonomiannya masih bersifat tradisional subsisten sehingga terjadi kelebihan suplai
tenaga kerja. Berlimpahnya tenaga kerja ini menyebabkan tingkat upah di perdesaan menjadi sangat
rendah.
3
Pembahasan mengenai model perekonomian dual ala Lewis dalam sub-bab ini banyak meminjam dari Das, Mitali, and P. N Dia e, , Ch o i le of a De li e Fo etold: Has Chi a ‘ea hed the Le is Tu i g Poi t? IMF Wo ki g Pape / (Washington: International Monetary Fund), dan Zhang, X., Yang J., and Wang S., , Chi a has ea hed the Le is Tu i g Poi t IFP‘I Dis ussio Pape . U tuk tulisa se i al te kait pe eko o ia dual lihat Sir Arthur Lewis
6 Sebaliknya di perkotaan, sektor industri mengalami kekurangan tenaga kerja sehingga upah
relatif lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Perbedaan upah inilah yang menarik banyak tenaga
kerja pindah dari sektor pertanian ke sektor industri sehingga terjadi suatu proses migrasi dan
urbanisasi. Secara agregat, berpindahnya sebagian tenaga kerja dari sektor dengan upah rendah ke
sektor dengan upah yang lebih tinggi membuat pendapatan di negara tesebut jadi meningkat.
Peningkatan pendapatan masyarakat di negara bersangkutan menyebabkan masyarakatnya
cenderung mengkonsumsi macam-macam produk industri dan jasa. Hal-hal inilah yang menjadi
motor utama pertumbuhan output di sektor manufaktur. Sektor manufaktur kemudian berkembang
dengan menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian subsisten di daerah perdesaan.
Diagram 2 Titik Balik Lewis dalam Perekonomian Dualistik
Jika dilihat da i sudut pa da g pe ilik odal da alat p oduksi kapitalis , teo i Le is
mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan, suplai tenaga kerja yang tidak terbatas dari
ekonomi subsisten memungkinkan para kapitalis untuk memperoleh tingkat kembalian investasi
yang tinggi sehingga dapat memperluas aktifitas akumulasi modal untuk beberapa waktu tanpa
harus menaikkan upah tenaga kerja. Pada gilirannya, hal ini akan meningkatkan stok kapital fisik dan
membantu proses pembagian kerja (division of labor) yang lebih luas sehingga menyerap lebih
7 sepanjang surplus tenaga kerja di sektor pertanian (rural) yang subsisten belum habis terserap
sehingga menjadi landasan bagi munculnya sektor-sektor industri yang semakin modern di
perkotaan.
Akan tetapi, pada satu titik tertentu dimana kelebihan tenaga kerja di sektor susbsisten
telah diserap secara penuh oleh sektor modern dan dimana akumulasi modal lebih lanjut mulai
meningkatkan upah tenaga kerja, akan terjadi apa yang disebut sebagai Titik Balik Lewis atau The
Lewisian Turning Point . Hal ini sebagaimana yang dapat diilustrasikan di Diagram 2. Kondisi dimana telah terjadi Lewis Turning Point, adalah kondisi dimana terdapat tendensi upah secara agregat
dalam perekonomian akan meningkat, sehingga pendapatan per kapita secara agregat dalam
perekonomian juga ikut meningkat.
II.2. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Prasyarat Modal
Dasar Pembangunan
Dalam konteks pembahasan mengenai transformasi ekonomi yang lebih kontemporer,
proses meningkatnya penghasilan pekerja dalam perekonomian ini dapat dilihat pula sebagai proses
transisi dimana sebagian masyarakat sudah mulai keluar dari kemiskinan, atau kehidupan yang
subsisten, dan masuk dalam kategori tidak miskin. Proses transisi ini menyebabkan terjadi
perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar negara yang selanjutnya dapat mencerminkan
perbedaan tingkat pembangunannya (level of development). Perbedaan-perbedaan ini mendasari
adanya pendekatan yang sedikit berbeda dalam melihat proses transformasi perekonomian, dimana
proses transformasi perekonomian dapat pula diidentifikasi sebagai proses perubahan pada
prasyarat kapabilitas modal dasar perekonomian (required factor endowments), untuk dapat
bermigrasi dari tingkat pendapatan per kapita yang rendah ke lebih tinggi. Satu pendekatan
berdasarkan perubahan prasyarat kapabilitas modal dasar perekonomian yang dapat menjadi
rujukan adalah pendekatan transformasi perekonomian sebagaimana yang digunakan oleh World
Economic Forum dalam membingkai analisis dalam laporan daya saing dunia (World Competitiveness
Report), sebagaimana yang dirangkum di Diagram 34.
4
8
Diagram 3 Skematika Transformasi Perekonomian Menurut World Economic Forum
Dalam skematika di Diagram 3, perekonomian dapat dibagi dalam jenjang kisaran
pendapatan per kapita yang mencerminkan tingkat pembangunan ekonominya. Pembagian tingkat
pendapatan per kapita dalam hal ini merujuk pada Country Income Classifications yang disusun oleh
World Bank. Country Income Classifications tersebut mengkategorikan negara berdasarkan
pendapatan per kapita-nya yang terbagi atas 4 klasifikasi, yaitu pendapatan rendah (low-income),
pendapatan menengah bawah (lower middle-income), pendapatan menengah atas (upper
middle-income) dan pendapatan tinggi (high-income)5. Metode perhitungan pendapatan per kapita tersebut
menggunakan nilai Gross National Income (GNI) per kapita atas dasar harga berlaku (current prices),
dimana World Bank Atlas method membagi klasifikasi negara berdasarkan kelompok pendapatan
sebagaimana di Tabel 1 berikut6:
5
Penjelasan secara lebih detil dapat di lihat di website Bank Dunia terkait Country Income Classifications:
http://data.worldbank.org/about/country-classifications.
6
9
Tabel 1 Klasifikasi Negara Menurut Pendapatan Per Kapita
(GNI, Atlas Method, World Bank)
Income group GNI per capita
Low income U“D .
Lower middle income USD 1.036 – USD 4.085
Upper middle income USD 4.086 – USD 12.615
High income U“D .
Kemampuan suatu perekonomian bermigrasi dari dari suatu tingkat rata-rata pendapatan
per kapita penduduk yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi ditentukan oleh ketersediaan
prasyarat kapabilitas modal dasar pembangunannya (Lihat Diagram 3). Negara-negara dalam
kategori berpendapatan rendah (low income) dapat bertransisi ke negara berpendapatan menengah
rendah (lower middle income) jika prasyarat kapabilitas modal dasarnya terpenuhi berupa
ketersediaan pekerja dengan pendidikan dasar, infrastruktur dasar yang memadai, fasilitas
kesehatan dasar yang memadai bagi penduduk, dan institusi publik yang berfungsi. Akan tetapi
ketika suatu perekonomian telah berhasil bertransisi ke perekonomian berpendapatan menengah
(lower middle income) maka diperlukan transformasi kapabilitas modal dasar pembangunan (factor
endowments) agar dapat bermigrasi ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Sebagaimana yang dirangkum di Diagram 3, pada tahapan lower middle income tersebut
prasyarat bermigrasi ke upper middle income adalah ketersediaan pekerja dengan pendidikan
tersier, pasar tenaga kerja dan barang yang efisien, pembangunan sektor keuangan, dan
pembangunan kesiapan teknologi. Selanjutnya, untuk dapat bermigrasi dari upper middle income ke
high income economy, diperlukan transformasi prasyarat kapabilitas modal dasar pembangunan
yang lebih kuat lagi, berupa pembangunan kehandalan dunia usaha dan kapasitas inovasi, dimana
pada prasyarat ini diperlukan pembangunan modal manusia dengan kompetensi tinggi dan
penguatan kemampuan melakukan aktifitas penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu
10
II.3. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Struktur Permintaan
Agregat
Transformasi perekonomian baik dari sisi sektoral maupun modal dasar pembangunan
sebagaimana disampaikan diatas secara umum dapat dilihat sebagai transformasi di sisi penawaran
dalam perekonomian. Sementara itu, sejalan dengan Hukum Say, sisi penawaran sejatinya adalah
pembentukan potensi permintaan (potential demand)7. Dalam konteks ini transformasi
perekonomian di sisi penawaran tentunya akan tercermin pula pada transformasi di sisi permintaan.
Dengan meningkatnya kemampuan memasok barang seiring migrasi ke tingkat pembangunan yang
lebih tinggi, akan muncul pula dalam perekonomian kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan
tidak miskin. Kelompok masyarakat ini dapat dila el se agai kelo pok kelas e e gah . Walaupun demikian, perlu kiranya dicatat bah a kelas e e gah dala ko teks ega a seda g e a gu (developing economy tidak dapat disa aka de ga kelas e e gah di ega a a g telah aju
(developed economy).
Hal ini dapat dilihat misalnya pada keragaman definisi kelas menengah yang diajukan oleh
pa a pe eliti da il u a ketika e o a ela el kelo pok tidak iski dala pe eko o ia
non-negara maju8. Ravallion (2009) misalnya membagi kelas menengah (middle class) atas 2
kelompok, yaitu kelompok de elopi g o ld iddle lass serta kelompok este o ld iddle
class . “e e ta a itu, Wo ld Ba k e defi isika ah a kelas e e gahadalah kelompok dengan pendapatan berada antara USD 4000 sampai dengan USD 17.000 (PPP 2000) per tahun.
Dalam pembahasan di makalah ini nantinya, kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok
penduduk dengan tingkat konsumsi USD 2 - USD 4 / orang / hari untuk kelas menengah bawah dan >
USD 4 – USD 20 untuk kelas menengah inti dan kelas menengah atas. Definisi ini merupakan adaptasi dari definisi yang digunakan di ADB (2010) dan Banerjee – Duflo (2009).
7
Perlu ditekankan bahwa pernyataan JM Keynes (1936) dalam the General Theory of Employment, Interest and Money bahwa Hukum Say adalah suppl eates its o de a d merupakan sebuah misinterpretasi. Proposal JB Say tentang sisi permintaan jauh lebih mendalam dibanding pernyataan dangkal dari Keynes. JB Say e gataka ah a p oduk di a a oleh p oduk atau ke a pua i di idu u tuk e eli suatu p oduk atau jasa te ga tu g pada ke a pua a untuk memproduksi produk atau jasa yang dapat dipertukarkan di pasar barang dan jasa. Tanpa adanya kemauan dan kemampuan untuk memasok barang dan jasa di pasar barang dan jasa maka seorang individu tidak akan mampu membeli (memuaskan permintaannya) terhadap produk atau jasa. Dalam konteks ini, esensi dari Hukum Say adalah proposal bahwa motor utama sebuah perekonomian adalah agregat jam kerja atau produksi dan aktifitas pertukaran (perdagangan) yang dilakukan oleh individu terhadap produk dan / atau jasa yang dihasilkannya, bukan agregat konsumsi. Dalam konteks ini, periode resesi perekonomian muncul ketika individu secara agregat berhenti (tidak mau) berproduksi bukan ketika mereka berhenti berkonsumsi. Terkait Hukum Say Lihat JB Say (1803, hal 138- 153): A Treatise on Political Economy. Lihat juga interpretasi tentang Hukum Say di James Mill (1808, Bab VI): Commerce Defended dan di Hutt, W. (1974): A Rehabilitation of “a s La , Ohio U i e sit P ess.
8 Lihat pe ahasa e ge ai kelas e e gah di Ho i Kha as ,
11 Mengkesampingkan keragaman definisi, kelas menengah atau kelompok penduduk tidak
miskin dalam masyarakat memberi warna tersendiri pada dinamika perekonomian, terutama karena
perannya sebagai penopang transformasi perekonomian secara berkelanjutan. Peran penting kelas
menengah ini telah banyak menjadi obyek kajian misalnya oleh Juliet Schor (1999) dan Murphy,
Shleifer dan Vishny (1989)9. Pada intinya, kajian-kajian tersebut melihat adanya perubahan struktur
permintaan dalam perekonomian terkait ekspansi kelas menengah.
Konsumen kelas menengah dengan kapasitas dan kapabilitas yang lebih baik dalam
memasok barang dan jasa akan cenderung pula meminta produk-produk yang lebih berkualitas,
bernilai tambah dan terdiferensiasi. Dalam konteks ini pula maka potensi permintaan yang muncul
dari ekspansi kelas menengah (middle class) adalah salah satu faktor yang dapat menopang
kesinambungan pertumbuhan ekonomi suatu negara, mendorong ekspansi perdagangan dunia, dan
selanjutnya pertumbuhan ekonomi dunia.
II.4. Transformasi Perekonomian dan Ketimpangan Pendapatan
Pembahasan tentang transformasi perekonomian belumlah lengkap tanpa ulasan tentang
ketimpangan pendapatan (inequality). Seiring dengan proses transisi ke tingkat pendapatan per
kapita yang lebih tinggi suatu negara niscaya akan dihadapkan pada fenomena transisional berupa
tingkat ketimpangan pendapatan yang meningkat. Middle income countries adalah kelompok negara
dimana fenomena transisional tersebut sangat terlihat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
proses transisi negara-negara dari low menjadi middle income country diikuti pula oleh ekspansi
kelas menegah dalam masyarakat. Akan tetapi, dengan keluarnya sebagian masyarakat dari
kelompok miskin / hampir miskin menjadi kelas menengah tersebut, maka secara alamiah
ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan indeks Gini) akan meningkat.
Bahkan terdapat sebuah ironi, yaitu middle income countries dengan ekspansi kelas
menengah yang menguat adalah juga tempat dimana porsi terbesar penduduk miskin dunia
bertempat tinggal10. Ditengah ironi ini pula, middle income countries adalah kelompok negara yang
sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk mendapatkan bantuan pembiayaan lunak untuk
pembangunan melalui concessional lending atau official development assistance dari
lembaga-lembaga donor multilateral. Artinya, dalam pembiayaan pembangunannya, middle income countries
9
Eksposisi terkait kelas menengah di bagian ini banyak meminjam dari Kharas (2010)
10
12 harus mengandalkan pembiayaan berbasis pasar (market based financing), seperti melalui obligasi
Pemerintah.
Akan tetapi cerita lengkap terkait ketimpangan pendapatan di middle income countries tidak
dapat pula mengkesampingkan sebuah proposal bahwa ketimpangan pendapatan yang meningkat
tersebut adalah sebuah fenomena transisional yang lambat laun dapat terkoreksi dengan sendirinya
jika lebih banyak lagi masyarakat yang sudah keluar dari kemiskinan.
Diagram 4 Kurva Kuznets
Proposal tentang fenomena transisional ini pertama kali digagas oleh Simon Kuznets, salah
satu pemenang Nobel di bidang ekonomi, dan dikenal sebagai hubungan non-linier berbentuk huruf
U-terbalik (inverted U-shaped) antara peningkatan pendapatan per kapita dan kesenjangan
pendapatan, atau Kurva Kuznets11 (Diagram 4). Adanya fenomena transisional ini, memberi tantangan unik yang tidak ringan bagi sebuah middle income country. Ketimpangan pendapatan yang
meningkat berpotensi memicu gejolak sosial yang bersumber dari ketidakpuasan sebagian
masyarakat yang masih tertinggal terhadap melebarnya kesenjangan ekonomi yang dirasakan
sebagai bentuk ketidak-adilan12. Untuk itu upaya-upaya transformasi struktural dalam rangka
membangun perekonomian yang mampu secara sinambung meningkatkan pendapatan per kapita
11
Tentang kurva Kuznets, lihat artikel klasik Kuznets, Simon (1955), Economic Growth and Income Inequality, American Economic Review 65, dan pembahasan kontemporernya di Acemoglu, D. dan J.A. Robinson (2002), The Political Economy of the Kuznets Curve, Review of Development Economics 6(2).
12
13 dan sekaligus menyediakan lapangan kerja yang berkualitas bagi sebanyak-banyaknya penduduk
menjadi sangat penting.
Dalam perekonomian global Abad 21 ini, upaya membangun integrasi perekonomian ke
rantai nilai global merupakan bagian penting dari upaya transformasi struktural tersebut.
Peningkatan kapabilitas industrial yang tercipta dari proses integrasi tersebut merupakan salah satu
jalan utama bagi terbangunnya suatu perekonomian yang inklusif dimana diversifikasi basis industri
ke arah yang lebih berkualitas akan pula memperkuat basis penyerapan tenaga kerja yang lebih luas
dan berkualitas. Hal ini akan diulas lebih lanjut berikut ini.
II.5. Transformasi Perekonomian dan Penguatan Kapabilitas Industrial
Dalam Konteks Globalisasi
Konsep rantai nilai global sebagaimana yang telah disinggung diatas perlu mendapat
klarifikasi. Konsep rantai nilai berangkat dari sebuah teori daya saing perdagangan yang
dikemukakan oleh Michael E. Porter pada tahun 1985 dalam sebuah buku yang berjudul Competitive
Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Dalam teori awal tersebut, rantai nilai
didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan didalam industri yang
spesifik, untuk menghasilkan produk atau jasa yang bernilai bagi pasar. Ide dibalik teori rantai nilai
berangkat dari sudut pandang bahwa manufaktur itu adalah sebuah sistem yang dibangun dari
sub-sistem, dengan masing-masing input, proses, dan output nya. Sehingga, aktivitas yang terjadi
disepanjang rantai nilai pada akhirnya akan menentukan biaya dan keuntungan dari suatu bisnis
(Diagram 5).
Diagram 5 Rantai Nilai Porter (Porter, 1985)
Aktivitas utama pada rantai nilai yang digambarkan dalam teori competitive advantage
(Porter, 1985) adalah aktivitas inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing& sales,
14 dan pengadaan. Konsep awal ini menggambarkan bagaimana tingkat kepentingan terbesar pada
rantai nilai masih berada di aktivitas operations (produksi).
Seiring dengan perkembangan teori rantai nilai global, maka tingkat kepentingan
masing-masing aktivitas tersebut bergeser. Stan Shih yang merupakan pendiri salah satu perusahaan
komputer terbesar di du ia aitu ACE‘, pada tahu e gu gkapka teo i “ ile Cu e a g menggambarkan bagaimana aktivitas di sepanjang rantai nilai tersebut memiliki nilai tambah
masing-masing (Diagram 6). Kemudian, deBacker pada tahun 2013 menyatakan terjadi pergeseran ku a “ ile Cu e ka e a se aki u ah a ia a p oduksi a a g aki at ke ajua tek ologi. Selain itu, dengan adanya fenomena trade-in-task dan global offshoring, aktivitas produksi juga
menjadi semakin fleksibel dalam konteks lokasi, jumlah, dan kualitas. Hal ini akan diulas lebih lanjut
dibawah.
Diagram 6 Smiley Curve: 1970an VS 2000an
(Stan Shih, 1992 dan deBacker, 2013)
Adanya globalisasi pada rantai nilai produksi mendorong Negara-negara untuk
meningkatkan daya saingnya di sepa ja g “ ile Cu e . Be dasa ka ko sep “ ile Cu e , suatu Negara memiliki 3 cara untuk tetap mempertahankan daya saingnya dalam rantai nilai global
(Diagram 7). Pertama adalah dengan terus meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi untuk menciptakan aktivitas produksi yang sangat murah, cara pertama ini menggambarkan posisi
te gah pada s ile u e . Kedua adalah de ga elakuka i dust ial upg adi g aitu
meningkatkan aktivitas inovasi serta R&D seiring berproduksi. Cara kedua ini menggambarkan posisi
ki i pada s ile u e . Ketiga adalah de ga elakuka se i e upg adi g , aitu de ga
meningkatkan kualitas layanan jasa, penjualan, dan pengantaran seiring dengan aktivitas produksi
15
Diagram 7 Industrial Upgrading VS Service Upgrading
Pada tahun 2013, OECD bekerjasama dengan WTO merilis pendekatan baru didalam
menghitung nilai perdagangan dari ekspor impor yang dilakukan suatu Negara. Ini merupakan
bentuk dari pendekatan yang telah mengakomodasi adanya globalisasi rantai nilai dalam
perdagangan internasional. Pendekatan ini berfokus pada nilai tambah sebenarnya yang dihasilkan
oleh suatu Negara, bukan hanya semata-mata melihat harga jual dari barang tersebut ketika
di-ekspor (Diagram 8).
Diagram 8 Pendekatan Trade in Value Added dalam Menghitung Aktifitas Perdagangan
16 Konsekuensinya adalah bisa terjadi selisih antara pencatatan yang selama ini dilakukan
(gross export) dengan nilai tambah yang sebenarnya disumbang oleh suatu negara (domestic value
added). Sehingga dapat disimpulkan, semakin tinggi selisih antara nilai gross export dengan value
added yang sebenarnya berarti menggambarkan semakin tingginya intensitas perdagangan barang
antara. Karena perdagangan barang antara identik dengan fenomena trade in task dalam rantai nilai
global, maka artinya, semakin besar selisih tersebut, suatu Negara semakin terintegrasi kedalam
aktivitas rantai nilai global.
Fenomena trade in task sendiri merupakan fenomena yang berkembang seiring dengan
semakin kuatnya arus globalisasi perdagangan dunia. Sebagaimana yang diilustrasikan di Diagram 9, perdagangan dunia Abad 21 sudah jauh berbeda dari era pra-Revolusi Industri. Pada era itu, biaya
transportasi dan komunikasi masih sangat mahal, sehingga produk biasanya diproduksi dekat
dengan pasarnya dan perdagangan dunia didominasi pertukaran antar-barang jadi (finished goods).
Biaya transportasi dan komunikasi yang semakin rendah di era global Abad 21 menyebabkan time &
space compression sehingga memungkinkan fragmentasi (global offshoring) proses produksi,
termasuk spesialisasi produksi untuk barang antara di berbagai lokasi yang berbeda13.
Mengapa suatu Negara memilih untuk melakukan perdagangan barang dan jasa dengan
Negara lain, bukan sebaliknya yaitu memproduksi seluruh kebutuhannya didalam negeri sendiri.
Teori David Ricardo yang dikenal sebagai teo i o pa ati e ad a tage e gataka ah a suatu Negara sebaiknya memproduksi barang yang sesuai dengan keahlian dan sumber daya yang
dimiliki negaranya (spesialisasi, sehingga menghasilkan efisiensi maksimal), sedangkan kebutuhan
barang lainnya cukup dipenuhi dengan membeli (berdagang) dari Negara lain. Teori yang kemudian
juga dike al de ga se uta ‘i a dia i i dapat de ga jelas e ja a pe ta aa te se ut
diatas.
Transportasi dan mekanisasi produksi yang semakin murah, mudah, dan cepat mendorong
adanya globalisasi lokasi konsumsi dan fragmentasi lokasi produksi. Ini berarti suatu produk dapat
dikonsumsi oleh pasar yang semakin luas, namun dengan lokasi produksi yang tersebar sesuai
spesialisasi masing-masing, semata-mata untuk mencapai efisiensi maksimal Ricardian. Kemudian
dengan semakin meningkatkanya kompleksitas produk yang diminta (Hausmann et al, 2011), maka
produksi tidak lagi melibatkan satu proses dan satu pabrik, namun banyak proses dan banyak pabrik.
13
Lihat pembahasan di Gene M. Grossman and Esteban Rossi-Hansberg (2006) dan juga tulisan oleh Thomas Friedman (2005);
17
Diagram 9 Evolusi Tatanan Industri dan Perdagangan Dunia (WTO & IDE – JETRO, 2012)
Hal inilah yang menciptakan rantai nilai global dengan fenomena Trade-in-Task nya. Dengan
semakin mudahnya memindahkan dan memproduksi barang, perdagangan barang sudah bukan lagi
e jadi fokus didala e apai efisie si aksi al ‘i a dia . Fokus saat i i adalah task apa a g
bisa dengan baik dilakukan (spesialisasi) sehingga efisiensi maksimal tercapai dalam memproduksi
dan mengkonsumsi berbagai jenis barang. Karena untuk memproduksi berbagai jenis barang
te se ut u gki e iliki ke utuha task a g i ip atau se upa.
Catatan akhir diatas menutup ulasan di bab ini. Berbagai ulasan terkait konsep-konsep
diseputar transformasi perekonomian yang telah disampaikan diatas akan menjadi basis bagi
analisa-analisa tentang transformasi perekonomian Indonesia di Bab IV. Namun sebelum itu, di Bab
III berikut akan disampaikan sedikit tentang metodologi analisis dalam makalah ini dan deskripsi data
18
BAB III
METODOLOGI DAN DATA
III.1. Metodologi
Tidak dapat dihindari bahwa pembahasan tentang transformasi perekonomian dalam makalah
ini akan sangat deskriptif sifatnya dengan menggunakan data dan indikator-indikator sebagaimana
yang dirinci di sub-bab III.2. dibawah. Pertanyaan riset R1 misalnya akan dijawab dengan
ulasan-ulasan deskriptif terkait perubahan-perubahan struktural yang telah terjadi di sisi permintaan dan
penawaran di Indonesia pada periode 2000 – 2012. Demikian pula pertanyaan riset R4. Namun demikian, pembahasan di Bab IV juga akan mengambil manfaat dari studi-studi empiris untuk
mendukung argumennya. Terkait ini agar tidak mengganggu alur pembahasan maka metodologi
empiris yang digunakan akan disajikan tersendiri dalam anneks-anneks di lampiran makalah ini.
III.2. Deskripsi Data dan Indikator
Selanjutnya, berikut ini disampaikan rincian dan uraian singkat tentang indikator-indikator utama yang digunakan didalam analisa di Bab IV (Tabel 2).
Tabel 2 Indikator Utama
20
7 Revealed
Comparative
Advantage
Variation (RCAV)
Lihat Cai et al (2009) Mengukur
21
Lihat Man (2013) Ukuran kualitas
22
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Perubahan Struktural di Sisi Permintaan
Sejak tahun 2004, pendapatan per kapita Indonesia telah melewati batas maksimal pendapatan
per kapita negara miskin yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu sebesar 1.048 USD (Lihat Tabel 1). Sejak saat itu, Indonesia telah bergabung dengan kelompok negara berpendapatan
menengah-rendah (lower middle income) dan dapat dikatakan telah berhasil keluar dari potensi masuk kedalam
jebakan kemiskinan (poverty trap) akibat krisis Asia tahun 1997/99. Kemampuan Indonesia untuk
masuk dalam kategori lower middle income country (lower MIC) menutup berbagai kemunduran
pencapaian pendapatan per kapita ketika krisis Asia. Setelah hampir masuk secara konsisten dalam
kategori lower MIC pada tahun 1996 – 1997, pendapatan per kapita Indonesia tergerus sekitar setengahnya ketika krisis Asia melanda. Pada puncak krisis Asia tahun 1998 sampai dengan tahun
2000 posisi pendapatan per kapita Indonesia menurun ke tingkat yang sama seperti di tahun
1980an (Grafik 2).
Program stabilisasi perekonomian yang dilakukan bersama dengan IMF sampai tahun 2003
secara bertahap mengembalikan kemampuan perekonomian untuk bangkit dari keterpurukan.
Secara bertahap pendapatan per kapita kembali meningkat. Tren peningkatan pendapatan per
kapita semakin kuat sejak Indonesia kembali masuk dalam kategori lower MIC di 2004. Pertumbuhan
ekonomi yang rata-rata di sekitar 6% sejak 2005 dan kondisi ekonomi makro dan sistem keuangan
yang relatif terjaga dan stabil, menopang kecepatan laju pertumbuhan pendapatan per kapita
tersebut. Sampai akhir 2012, posisi pendapatan per kapita Indonesia hanya kurang beberapa dolar
saja dari batas bawah kisaran untuk upper MIC. Jika tren pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
perekonomian dapat tetap terjaga maka bukan tidak mungkin pada tahun 2020 Indonesia telah
23
Grafik 2 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Indonesia 1970-2012
(World Development Indicators, World Bank)
Seiring dengan migrasi Indonesia dari low income country (LIC) ke lower MIC, terjadi pula
perubahan struktural yang cukup mendasar pada komposisi penduduk menurut kategori tingkat
kesejahteraannya. Dalam satu dekade terakhir, jumlah absolut kelompok penduduk kelas menengah
(tingkat konsumsi US$2 – US$20 per hari) berkembang cukup pesat. Berlipatnya jumlah penduduk yang berada pada kelompok kelas menengah ini berasosiasi dengan turunnya jumlah masyarakat
yang berada pada kelompok miskin dan hampir miskin. Di penghujung era 1980-an misalnya,
setidaknya 9 dari 10 orang Indonesia masuk dalam kategori miskin atau hampir miskin. Jumlah
penduduk yang miskin atau hampir miskin tersebut secara bertahap semakin berkurang dan
digantikan oleh kelompok kelas menengah. Pada akhir 2010, sekitar 5 dari 10 penduduk Indonesia
telah berada dalam kategori kelas menengah (Grafik 3).
Meski secara absolut, jumlah penduduk kelas menengah belum terpaut jauh dari penduduk
miskin dan hampir miskin, namun ukuran pasar konsumsi yang tercipta dari kelompok tersebut
sudah jauh lebih besar dibanding kelompok miskin dan hampir miskin. Selain meningkatkan ukuran
pasar konsumsi domestik, ekspansi penduduk dalam kategori kelas menengah meningkatkan pula
keragaman permintaan barang konsumsi dan jasa. Munculnya kelompok penduduk kelas menengah
juga telah memperbesar dengan segmen pasar yang juga bervariasi. Pada akhir 2010, ukuran pasar
yang dibentuk oleh konsumen kelas menengah secara total kurang lebih hampir 3,5 kali lipat ukuran
24
Grafik 3 Ekspansi Kelas Menengah dan Perubahan Struktur Permintaan Agregat
Berkembangnya kelas menengah di Indonesia menjelaskan kuatnya permintaan
barang-barang produk manufaktur. Analisa terhadap data input/output 2005 menunjukkan bahwa sebagian
besar dari konsumsi rumah tangga di Indonesia dipenuhi oleh sektor produksi domestik (Diagram 10). Sebagaimana juga yang terjadi di negara lain, konsumen kelas menengah Indonesia adalah tipe
ko su e a g au da a pu u tuk e a a le ih u tuk e dapatka p oduk a g variatif, berkualitas, dan bernilai tambah tinggi. Hal ini terlihat dari semakin beragamnya permintaan atas
barang-barang konsumsi oleh penduduk dalam 10 tahun terakhir, yang ditunjukkan oleh semakin
berkurangnya proporsi konsumsi barang-barang nondurables hasil pertanian dalam komposisi
konsumsi penduduk dan semakin besarnya proporsi permintaan untuk makanan olahan, perumahan
dan fasilitas rumah tangga, barang-barang tahan lama, aneka barang dan jasa serta barang
berteknologi tinggi (Grafik 4).
Oleh karenanya ekspansi kelas menengah dapat diartikan sebagai perubahan perilaku
konsumen, dimana mereka tidak sekedar mau untuk membeli, namun sudah mampu untuk
membeli. Mereka jeli memperhatikan kualitas produk dan mau untuk membayar lebih, guna
mendapatkan produk yang lebih berkualitas (value for money). Mereka juga mulai
25
Sumber : Tabel I/O2005, BPS diolah, OEI Edisi Agustus 2012 dan Decymus dan Tri Yanuarti (2011)
Diagram 10 Struktur Konsumsi
Rumah Tangga
Sumber : BPS diolah, OEI Edisi Agustus 2012 dan Decymus dan Tri Yanuarti (2011)
Grafik 4 Perubahan Pola
Konsumsi Penduduk
Dalam konteks ini, profil konsumsi masyarakat kelas menengah kemudian menjadi penting
untuk dimasukkan sebagai bagian dari analisis terkait transformasi perekonomian. Perilaku konsumsi
kelas menengah yang sudah sangat memperhatikan alue fo o e ketika berbelanja kebutuhan
mereka, menggambarkan tantangan sekaligus peluang bagi penyedia barang dan jasa. Berdasarkan
riset yang dilakukan oleh AC Nielsen (2012), profil konsumsi masyarakat kelas menengah Indonesia
saat ini adalah sebagai berikut:
Apa yang dibeli oleh konsumen kelas menengah di Indonesia?
o 37% pengeluaran bulanan masyarakat adalah untuk membeli makanan segar.
Produk konsumsi kelas menengah yang sangat dominan adalah konsumsi biskuit,
mie instan, dan es krim.
o 97% keputusan membeli yang dilakukan oleh kelas menengah di Indonesia
didasa ka pada alue fo o e
o 88% konsumen kelas menengah di Indonesia menginginkan pengalaman
menggunakan produk dengan merek tertentu
o Lebih dari setengah (53%) konsumen kelas menengah di Indonesia berbelanja di
toko ritel modern dua kali dalam satu bulan
o Konsumen kelas menengah di Indonesia memiliki rutinitas untuk mengunjungi
minimarket yang dekat dengan rumah mereka, namun aktivitas promosi dapat
26 o Konsumen kelas menengah di Indonesia peduli dengan variasi produk yang
ditawarkan, layanan yang ramah, dan tempat berbelanja yang nyaman.
o Tingkat konsumsi terbesar dihabiskan di minimarket, kemudian supermarket, baru
kemudian di pasar tradisional sebagai pemasok penting makanan segar bagi
keranjang konsumsi masyarakat kelas menengah di Indonesia14.
Apa yang ditonton oleh konsumen kelas menengah di Indonesia?
o 95% masyarakat kelas menengah Indonesia memiliki TV di rumah mereka
o 96% dari masyarakat kelas menengah pemilik TV akan menonton program acara di
TV setiap harinya
o 22% konsumen kelas menengah Indonesia memiliki akses kepada internet, dan
menghabiskan rata-rata 1,5 jam dalam sehari untuk mengakses internet
o 71% dari konsumen kelas menengah Indonesia di kota besar memiliki telepon
seluler, dengan 50%nya menggunakan telepon seluler juga untuk mengakses
internet. Dari jumlah tersebut, 35% sudah memiliki smartphone.
o Masyarakat kelas menengah Indonesia mencintai jejaring social, dengan 94%nya
terkoneksi ke jejaring social dan 89% dari jumlah tersebut memiliki akun Facebook.
o Rata-rata lama waktu menonton TV masyarakat kelas menengah di Indonesia adalah
4,5 Jam, dengan jenis acara yang paling popular ditonton adalah acara olahraga,
kemudian serial drama, dan diikuti terakhir dengan genre hiburan
o Media tradisional seperti radio dan Koran masih popular, namun mulai bergeser
cara konsumsinya dengan lewat media online.
o Konten local didalam media masih berperan sangat penting, menggambarkan
fenomena kebutuhan Koran lokal di setiap daerah di Indonesia.
Bagaimana tren konsumsi middle class di Indonesia kedepan?
o Peran anak-anak menjadi sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ritel.
% ko su e kelas e e gah di I do esia e ataka ah a sa gat sulit
untuk menolak ajakan anak mereka untuk pergi berbelanja ke minimarket.
o Kenyamanan adalah kunci. Konsumen kelas menengah di Indonesia saat ini memiliki
rutinitas kesibukan yang luar biasa besar, dengan tuntutan kehidupan pekerjaan dan
14
27 keluarga. Produk yang dapat mempermudah mereka jelas akan memenangkan
persaingan di pasar.
o Konsumen kelas menengah di Indonesia adalah konsumen yang pintar. Mereka
mengetahui berapa harga suatu produk dan dilokasi mana mereka bisa
mendapatkan produk tersebut. Sehingga pelaku usaha ritel harus menciptakan
suasana berbelanja yang a ah & a a , e p o osika alue fo o e untuk produk mereka, dan memenangkan loyalitas konsumen.
o Menjalin koneksi dengan konsumen menjadi penting. Peran media online dan
komunitas jejaring social dapat menjembatani diskusi mengenai kebutuhan
konsumen dan produk yang ditawarkan. Sehingga pelaku usaha ritel harus berusaha
untuk masuk kedalam jejaring di dunia maya tersebut dan bersentuhan langsung
dengan konsumen.
Dari pemaparan diatas cukup jelas kiranya bahwa ekspansi kelas menengah, telah
mengubah ukuran dan struktur permintaan barang dan jasa dalam perekonomian. Hal ini
menimbulkan pertanyaan apakah sisi pasokan dalam perekonomian mampu merespon perubahan
struktural di sisi permintaan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab lebih lanjut di sub-bab
berikutnya.
Sebelum beralih ke pembahasan terkait sisi penawaran, perlu untuk disampaikan satu aspek
tambahan terkait ekspansi kelas menengah yang penting untuk diangkat sebagi bagian dari diskusi
tentang transformasi perekonomian, yaitu meningkatnya laju urbanisasi. Sejalan dengan negara
berkembang Asia lainnya, poros dari perkembangan ekspansi kelas menengah di Indonesia juga
berjalan seiring dengan berkembangnya kota-kota besar (urban centers). Ekspansi kelas menengah
telah diikuti oleh perkembangan populasi penduduk di kota-kota industri dan perdagangan (urban
centers). Berdasarkan sensus penduduk 2010, penduduk urban di Indonesia mencapai 50% dari total
populasi penduduk. Porsi tersebut diperkirakan terus meningkat. PBB memprediksi penduduk urban
di Indonesia dapat mencapai 72% dari total populasi di tahun 2050. Fenomena sejenis juga
berlangsung di negara-negara Asia lainnya, seperti Malaysia, China, Filipina, Thailand, India, dan
28
Sumber : UN dan BPS, diolah
Grafik 5 Proporsi Urban Perbandingan
Antar Kawasan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6 PDRB Perkapita Nominal
Berkembangnya perkotaan dan urban centers secara alamiah memunculkan aglomerasi
urban (large metropolitan areas) sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Peran tersebut ditunjukkan
oleh kemampuannya dalam meningkatkan pendapatan per kapita penduduk didalamnya. Hal ini
paling tidak terlihat dari besarnya kontribusi aglomerasi urban terhadap PDB nasional (Grafik 6). Aspek terpenting dari aglomerasi urban adalah net positive externalities dalam bentuk potensi
peningkatan produktivitas dari unit-unit ekonomi didalamnya. Eksternalitas tersebut muncul dari
berlangsungnya aglomerasi industri yang mengikuti aglomerasi urban dalam bentuk penurunan
biaya transportasi dan meningkatnya rembesan ilmu pengetahuan akibat kedekatan spasial dari
unit-unit ekonomi yang beragam Dalam kaitan ini, pertumbuhan output, dan demikian juga
pendapatan per kapita, dapat semakin menguat seiring dengan aktivitas ekonomi yang semakin
terdiversifikasi dan terspesialisasi dalam suatu aglomerasi urban. Daya dorong aglomerasi urban
dengan diversitas tinggi pada pendapatan per kapita terletak pada kapasitas inovasi yang melekat
didalamnya, yang muncul karena tersedianya pool human capital di lokasi yang berdekatan dan
adanya knowledge spillovers akibat intensitas interaksi industri-industri dan modal manusia dalam
masyarakat urban.
IV.2. Perubahan Struktural di Sisi Penawaran
Transisi perekonomian Indonesia dari LIC menjadi lower MIC, ekspansi kelas menengah yang
mengikutinya, dan perubahan pada struktur permintaan dalam perekonomian tidak dapat terjadi
tanpa adanya dukungan dari aktifitas di sisi penawaran dalam jangka panjang. Sebagaimana yang
29 dari dukungan sisi penawaran. Bahkan lebih jauh dari itu, dengan merujuk pada
pandangan-pandangan Klasik dari Jean-Baptiste Say maka sisi permintaan hanyalah konsekuensi dari berbagai
aktifitas di sisi penawaran yang melandasinya. Dalam kalimat-kalimat J.B. Say (1803) di buku
seminalnya A Treatise on Political Economy:
1. It is o th hile to e a k that a p odu t is o soo e eated tha it, f o that instant, affords a market for other products to the full extent of its own value15.
2. Thus the mere circumstance of the creation of one product immediately opens a vent
[market] for other products .
3. P odu ts a e paid fo p odu ts .
Horwitz (1997) dalam analisisnya tentang pandangan JB Say diatas menegaskan bahwa Hukum
Say merupakan pernyataan bahwa awal dari segala aktifitas ekonomi adalah produksi (production
preceeds consumption). Mengutip Hutt (1974) tentang Hukum Say: ...the de a d fo a
commodity is a function of the supply of non-competing commodities dan ...All power to demand is
derived from production and supply...The process of supplying – i.e. the production and appropriate pricing of services or assets for replacement or growth – keeps the flow of demands flowing steadily
a d e pa di g . Oleh karena itu Hukum Say pada dasarnya ingin mengatakan bahwa: It is al a s
the level of production which determines the ability to demand Ho itz, 16.
Dengan alur pikir diatas maka, perubahan struktural di sisi permintaan sebagaimana yang
telah diulas di sub-bab sebelumnya merupakan implikasi dari dinamika di sisi penawaran. Pada titik
ini penting kiranya untuk melihat aktifitas-aktifitas apa saja di sisi penawaran yang telah mampu
membawa Indonesia keluar dari LIC menjadi lower MIC dengan ekspansi pasar kelas menengah yang
kuat paska krisis Asia 1998/1999. Untuk itu, diperlukan adanya konteks dalam melihat dinamika
perekonomian Indonesia paska krisis Asia, terutama pada periode lima tahun pertama paska krisis
yaitu 2000-2005.
Konteks penting yang pertama adalah bahwa perekonomian Indonesia paska krisis Asia
adalah perekonomian dengan rejim perdagangan terbuka dan devisa bebas (open current and
15
Kalimat JB Say diatas merupakan kalimat yang dapat mewakili Hukum Say dalam bentuk aslinya sebelum JM Keynes (1936) melakukan misinterpretasi dengan mengatakan bahwa Hukum Say adalah suppl eates its
o de a d dalam upayanya menegasi pandangan ekonom klasik dan menjustifikasi teorinya tentang permintaan efektif dalam The General Theory.
16
30
capital account) yang baru saja melakukan penyesuaian kurs nilai tukar secara signifikan dalam
konteks program stabilisasi perekonomian. Penyesuaian kurs tersebut perlu dilakukan untuk
membangun daya saing ekspor secara riil (expenditure switching) dan mengurangi tekanan impor di
sisi permintaan (expenditure reduction) dalam perekonomian. Dalam konteks pertama ini pula dapat
disampaikan bahwa warna kebijakan ekonomi makro dan keuangan yang ketat, baik itu dalam
rangka mendukung (a) stabilisasi harga dan kurs, (b) proses konsolidasi fiskal dan (c) pemulihan
sektor perbankan, sangat mendominasi lingkungan kebijakan di Indonesia dalam lima tahun pertama
paska krisis Asia. Konteks kedua yang tidak kalah penting adalah bahwa dalam lima tahun pertama
paska krisis Asia, Indonesia adalah LIC yang baru saja diterpa badai krisis dengan karakteristik modal
dasar pembangunan berupa tersedianya tenaga kerja murah yang melimpah (low skilled labor
surplus) baik di perdesaan maupun di perkotaan. Namun tidak hanya itu, Indonesia juga LIC yang
memiliki karakteristik khusus yaitu kekayaan sumber daya alam yang melimpah (natural resources
rich LIC).
Grafik 7 Dinamika Nilai Tukar Nominal Rp/USD (EXPRL)
dan Nilai Tukar Riil Efektif (REER)
Dengan adanya konteks diatas, maka pola ekspansi perekonomian di sisi penawaran paska
krisis Asia, dapat dipahami sebagai pola ekspansi yang memanfaatkan keunggulan komparatif dalam
perekonomian terbuka yang diperoleh dari modal dasar (factor endowments) yang tersedia
melimpah, yakni buruh murah berketrampilan rendah, khususnya di Jawa, dan warisan sumber daya
alam (SDA) di luar Jawa. Keunggulan komparatif tersebut didukung pula oleh daya saing kurs nilai
tukar riil yang telah mengalami depresiasi cukup tajam di saat puncak krisis Asia di tahun 1998
31 awal paska krisis Asia. Pemanfaatan modal dasar tersebut selaras pula dengan teori standar
perdagangan internasional berbasis keunggulan komparatif, dimana adanya keunggulan komparatif
menyebabkan opportunity cost yang bervariasi antar masing-masing negara dalam memproduksi
barang, sehingga memungkinkan keuntungan dari perdagangan17.
Sumber keunggulan komparatif bagi Indonesia adalah tingkat keberlimpahan modal dasar
perekonomian berupa buruh kerah biru di Jawa dan warian SDA di luar Jawa. Merujuk pada prediksi
Hecksher-Ohlin (H-O), suatu negara akan melakukan spesialisasi produksi dan kemudian mengekspor
barang-barang dimana untuk memproduksinya tersedia faktor-faktor produksi yang melimpah18.
Prediksi H-O tampaknya tidak meleset untuk kasus Indonesia. Jika ditinjau dari sudut pandang
perdagangan internasional maka sisi penawaran di Indonesia sejak krisis Asia dari waktu ke waktu
menunjukkan meningkatnya dominasi aktifitas ekstraktif padat SDA dan sektor manufaktur teknologi
rendah berbasis buruh murah kerah biru dengan ketrampilan rendah. Hal ini sebagaimana
ditunjukkan oleh statistik ekspor neto sejak 2000 dengan klasifikasi sektoral yang merujuk pada
klasifikasi UNIDO (2004). Grafik 8 dan rincian yang lebih lengkap menurut Wilayah Kerja Bank Indonesia di Apendiks adalah statistik ekspor neto tersebut. Terlihat bahwa net-ekspor aktifitas ekstraktif berbasis SDA yang terus membesar sejak krisis Asia terutama di luar Jawa, khususnya di
Kawasan Sumatera. Sementara itu, kegiatan manufaktur padat karya berteknologi rendah di Jawa
terus membukukan net-ekspor yang besar sejak tahun 2000.
Catatan khusus perlu disampaikan terkait ekspor neto aktifitas ekstraktif padat SDA di luar
Jawa. Salah satu faktor yang juga turut menopang kinerja ekspor aktifitas tersebut adalah fenomena
kenaikan harga komoditas dunia yang berlangsung cukup lama (Grafik 9). Fenomena ini terjadi terutama sejak tahun 2001 dimana harga komoditas dunia mengalami fase meningkat sampai
dengan 2010 dengan hanya 1 tahun jeda di 2008 akibat krisis keuangan global.
17
Teori perdagangan Ricardian mengajukan proposal bahwa perbedaan produktifitas (efisiensi jam kerja) relatif dalam memproduksi barang-barang yang dapat diperdagangkan antar negara menjadi landasan bagi keunggulan komparatif dan adanya perdagangan yang saling menguntungkan antar negara. Pandangan Ricardian ini berbeda dengan pandangan Smithian yang berbasis keunggulan absolut. Salah satu varian dari teori perdagangan Ricardian adalah teori perdagangan Hecksher-Ohlin yang mengatakan bahwa perdagangan internasional dipicu oleh adanya keunggulan komparatif yang berasal dari perbedaan ketersediaan modal dasar (factor endowments). Untuk diskusi tentang teori dasar perdagangan internasional lihat Salvatore, D (1987): International Economics, MacMillan Publishing Co.
18
32
Grafik 8
Ekspor Neto Aktifitas Ekstraktif Berbasis SDA dan
Sektor Manufaktur Padat Karya Berteknologi Rendah
Grafik 9
Fenomena Boom Harga Komoditas Global
Dinamika di sisi penawaran tersebut telah menimbulkan eksternalitas positif dalam
perekonomian domestik. Ditopang oleh implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
dalam satu dekade terakhir, boom sektor SDA telah memberi sumbangan yang tidak kecil pada
aktifitas ekonomi yang semakin meluas di seluruh nusantara, sehingga muncul sentra-sentra
33 berkembangnya berbagai aktifitas non-traded di luar Jawa sebagai aktifitas yang mendukung
aktifitas-aktifitas berbasis SDA. Sementara itu, kegiatan produksi di sektor manufaktur padat karya
dan berteknologi rendah di Jawa juga mendorong perkembangan sektor non-traded terutama di
kota-kota industri. Tingkat aglomerasi urban menjadi membesar yang selanjutnya mendorong
eksternalitas positif melalui keragaman aktifitas ekonomi. Hal ini telah disinggung di sub-bab
sebelumnya. Namun eksternalitas positif yang terpenting adalah:
1. Meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita dan ekspansi kelas menengah yang
mengikutinya, sehingga Indonesia dapat bertransisi dari LIC menjadi lower MIC dalam
waktu yang relatif sangat cepat paska krisis Asia, dan
2. Membesarnya ukuran dan keragaman pasar konsumsi domestik Indonesia yang
mencerminkan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Menutup sub-bab ini, dapat pula disimpulkan bahwa perubahan struktur di sisi permintaan
agregat di era paska krisis Asia telah banyak ditopang oleh dinamika dan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam struktur produksi di sisi penawaran.
IV.3. Implikasi Perubahan Struktural
Peluang dan Tantangan Indonesia Sebagai Middle Income Country
Salah satu implikasi terpenting dari masuknya Indonesia ke posisi lower MIC dan ekspansi kelas
menengah yang mengikutinya adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi salah satu perekonomian
terbuka terbesar di dunia. Per akhir 2012 lalu ukuran perekonomian Indonesia ada pada urutan
kelima terbesar di Asia setelah China, India, Jepang dan Korea (Grafik 10). Namun lebih dari itu, fakta bahwa Indonesia saat ini tengah (a) menikmati bonus demografi dengan jumlah penduduk usia
muda dan produktif yang besar (Grafik 11) dan (b) mengalami perkembangan aktifitas ekonomi yang pesat di daerah-daerah urban, menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia adalah perekonomian
yang ditopang oleh kelas menengah urban dan muda (young urban middle class). Hal ini tentunya
memberi peluang besar bagi Indonesia, terutama peluang untuk membangun kapasitas produksi
yang lebih besar lagi di sisi penawaran baik melalui PMA, PMDN maupun joint ventures. Peluang ini
dalam beberapa tahun belakangan ini telah dipahami oleh investor sejalan dengan meningkatnya
34
Grafik 10 Perkembangan & Proyeksi Ukuran Perekonomian Negara-Negara di Dunia (Sumber: World Economic Outlook, IMF)
Akan tetapi tantangan yang dihadapi oleh Indonesia sebagai MIC tidaklah ringan. Sebuah negara
berpendapatan menengah memiliki lingkungan strategis yang unik. Sejalan dengan ukuran aktifitas
di sektor produksi yang telah meningkat, surplus tenaga kerja di daerah rural dan sektor primer
akan semakin terserap ke perkotaan dan sektor sekunder maupun tersier. Transformasi struktural
seperti ini merupakan sebuah kelaziman dibanyak negara19.
Dengan adanya transformasi struktural tersebut, perekonomian sebuah negara middle income
lambat laun dapat semakin mendekat ke terjadinya titik balik Lewis (the Lewis Turning Point), yaitu
suatu keadaan dimana surplus tenaga kerja berketerampilan rendah yang menjadi ciri sebuah
perekonomian dualistik yang sedang bertransisi semakin berkurang, sehingga tingkat upah subsisten
menjadi tidak lagi konsisten dengan terus meningkatnya permintaan tenaga kerja di pasar kerja.
Dalam situasi tersebut tekanan kenaikan upah akan meningkat di sektor industri sehingga
19
Lihat diskusi di Bab II terkait analisa di Timmer, P. C. (2007): The Structural Transformation and the Changing Role of Agriculture in Economic Development, American Enterprise Institute, Washington DC.