• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kertas Posisi Koalisi Pembaruan Desa dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kertas Posisi Koalisi Pembaruan Desa dan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Kertas Posisi

Atas Rencana Perumusan UU Pemerintahan

Desa

“Pentingnya Pengakuan Agenda

Pembaruan Desa”

Disusun Oleh:

K

OALISI

P

EMBARUAN

D

ESA DAN

A

GRARIA

YO G Y A K A R T A

(2)

A.

Pendahuluan

Sejarah pengaturan desa ke dalam sistem pemerintahan yang lebih luas, sejak munculnya sistem ‘kerajaan-kerajaan pribumi’ hingga dikenalnya sistem negara modern, menunjukkan adanya ketegangan yang nyaris abadi antara Negara dan Desa (baca: komunitas). Pada masa Indonesia Merdeka, terlebih lagi sejak integralisasi birokrasi desa ke dalam sistem Pemerintahan Nasional sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ketegangan itu terus meningkat. Ini terjadi karena corak hubungan antara Negara dan Komunitas tidak lagi hanya sekedar interaksi melainkan berubah menjadi intervensi.

Dalam strategi birokratisasi desa itu, desa tidak hanya dirubah statusnya, yakni dari ‘masyarakat hukum’ menjadi ‘sekumpulan orang yang tinggal bersama…..’, melainkan juga dicangkokkan sebuah institusi baru, yaitu apa yang disebut sebagai Pemerintahan Desa. Dengan strategi transpalantasi governance system itu, yaitu suatu sistem pengelolaan hidup bersama yang ada dalam desa, digantikan oleh suatu sistem Pemerintahan Desa yang baru, yang sama sekali berbeda. Padahal, sejatinya, ada perbedaan ‘rasa keadilan’ yang amat besar antara desa sebagai suatu ‘persekutuan sosial’ dengan desa sebagai suatu ‘satuan administrasi pemerintahan’. Desa yang semula hidup atas dasar sentimen

paguyuban, diubah menjadi suatu institusi yang katanya lebih ‘rasional’. Dengan pemberlakuan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, desa atau yang disebut dengan nama lain, dipecah dan atau digabung satu sama lainnya, untuk menjadi sebuah ‘desa gaya baru’.

Perubahan itu berakibat langsung pada corak kesatuan teritorial wilayah yang kemudian terkait soal perubahan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan wewenang dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan, seperti lahan, pohon, sungai, air, dan lain sebagainya. Sejak itu warga desa menjadi ‘tergantung’ pada pihak di luarnya; menjadi ‘peminta-minta’ untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketergantungan itu tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik, bahkan moral sekalipun. Hal ini secara langsung berpengaruh pada mekanisme sosial bagi penciptaan solidaritas sosial. Desa sebagai suatu sistem pengorganisasian untuk memproduksi dan mereproduksi sistem nilai, norma, hukum, dan kesepakatan-kesepakatan sosial untuk menjadi pedoman hidup bersama menjadi macet total. Desa menjadi teralienasi sekaligus inferior, yang bermuara pada munculnya ‘sikap-sikap ekstrim’, seperti apatis, disparti-sipatif, dan radikal kritis terhadap pembangunan dan pemerintahan. Tekanan terhadap SDA menjadi besar. Dengan kata lain, intervensi Negara telah menimbulkan kerusakan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologis yang tidak kecil!

Memang benar bahwa selama pemberlakuan UU No.5/1979 tidak ada kebijakan resmi yang melarang kehadiran ataupun berfungsinya ‘lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya’, termasuk desa. Namun masalahnya adalah, karena seluruh energi yang dialirkan ke desa untuk memajukan kehidupan rakyat di desa disalurkan melalui Pemerintahan Desa, keberadaan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan desa

tersebut dengan sendirinya menjadi memudar. Situasi ini menjadi fatal karena, di satu pihak, lembaga desa baru tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, di pihak lain, desa

(3)

pemerintah Indonesia tidak berhasil bekerja dengan kapasitas yang tersedia untuk meningkatkan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan desa. Pemerintah di tingkat desa lebih lebih bersikap mewakili pemerintah di tingkat atasnya daripada bertindak sebagai wakil warga desa.

Berbagai catatan diatas menunjukkan bahwa desa adalah suatu “sistem pengaturan dan atau pengurusan diri sendiri” yang dapat menjadi modal dasar bagi pencapaian tujuan-tujuan mendirikan sebuah negara, melalui transformasi sosial lainnya.

Kalau pembangunan dimaknai sebagai cara pemberdayaan, meletakkan pembangunan pedesaan sangat penting karena ranah ini selalu berada dalam pinggiran. Tiga babak kebijakan politik pemerintahan desa telah menunjuk pada situasi dimana kebijakan berpengaruh terhadap dinamika yang ada di masyarakat. UU No. 5 tahun 1979 adalah cermin pertautan antara kebijakan dan kepentingan politik dari pemerintah Orde Baru pada waktu itu (Mahfud, 1998). Hubungan antara kebijakan dan kepentingan politik sangat erat dalam menentukan wajah pembangunan dan perubahan politik yang akan dilangsungkan. Dengan memahami bahwa masalah pembangunan, termasuk didalamnya adalah pembangunan politik, maka kita akan berhadapan dengan bentuk dan susunan pemerintahan desa yang akan menjadi “ruang” pembangunan. Ciri bagaimana relasi kepentingan antara negara dan masyarakat desa tercermin dalam inkonsistensi pemerintahan desa selama dua babak pemerintahan terakhir, orde baru dan reformasi. Setiap pemerintahan memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda mengenai pemerintahan desa, tergantung kepentingan apa yang akan digulirkan. Oleh karena itu tidak heran kalau setiap pergantian rezim selalu diikuti juga dengan perubahan kebijakan atas pemerintahan desa. Makna yang terkandung dalam setiap periode rezim adalah bagaimana UU pemerintahan desa dapat ditempatkan sebagai alat kontrol terhadap kehidupan politik, sehingga kepentingan pemerintah dapat dengan mudah dijalankan.

Perjuangan pembaruan desa yang selama ini dilakukan adalah memberikan perhatian kepada eksistensi desa, keberadaan desa yang tercermin dalam sistem otonomi dan desentralisasi desa. Pengabaian potensi lokal sistem sosial-budaya dan kekayaan desa lainnya yang diabaikan pemerintah dianggap telah menghancurkan mekanisme politik yang terbangun melalui kesadaran kolektif politiknya. Kehendak tersebut dapat dikatakan merupakan cermin dari latar belakang perjuangan yang mengharapkan capaian terhadap desa untuk menjadi lebih maju dalam beberapa pandangan ideal, yaitu:

(4)

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesusai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Kedua, memberikan desentralisasi kepada desa berdasarkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat desa. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam sistem asas desentralisasi diberikan dua porsi kegiatan yang berdasarkan kepada: 1) kebutuhan mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional; 2) kebutuhan mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Dari dua porsi kegiatan dan pendanaan yang berasaskan desentralisasi diharapkan memberikan kewenangan kepada desa untuk mengutamakan kehendak dan kepentingan kesejahteraan masyarakatnya.

c) Ketiga, menghidupkan kembali sistem demokratisasi desa melalui berbagai pendekatan, khususnya melalui peningkatan kapasitas pemerintahan desa agar dapat lebih terbuka terhadap prakarsa masyarakat.

d) Keempat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Basis kehidupan masyarakat desa merupakan hidupnya sistem pertanian rakyat yang juga menghidupi masyarakat kota. Kebijakan revolusi hijau yang menempatkan masyarakat desa sebagai objek (sasaran) pembangunan swasembada beras pada masa Orde Baru harus ditinjau ulang menjadi pertanian berbasis kepada masyarakat desa sebagai subjeknya (pelaku). Termasuk pemanfaatan lahan dan alih lahan pertanian untuk non pertanian perlu mendapatkan perhatian seksama, khususnya tanah desa yang menjadi asset desa perlu mendapatkan perlindungan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bebasis pada partisipasi demokrasi dapat mencerminkan sistem keadilan masyarakat. Meningkatnya kemiskinan di desa dan ketimpangan kekayaan di desa merupakan cermin kegagalan pembangunan Distribusi kekayaan di desa, khususnya yang berkaitan dengan agraria merupakan alat kontrol untuk menjawab peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Keadilan rakyat menjadi tujuan yang mengikat segala bentuk proses pembangunan desa.

Dalam kaitan dengan seluruh agenda atau tujuan tersebut kiranya perlu dirumuskan kembali mengenai latar belakang, makna dan tujuan pembaruan desa, khususnya berkaitan dengan rencana perumusan UU Pemerintahan Desa. Konsepsi ini sangat penting untuk meletakkan kebijakan yang memiliki orientasi politik yang berpihak kepada mereka yang paling dirugikan selama ini, khususnya yang berada dilapis bawah pedesaan.

B.

Pengantar

(5)

pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan” Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 itu tidak dapat pula dilepaskan dari keberadaan Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, yang pada bagian Bab II, butir B menyatakan bahwa: “Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tigapuluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistik dan kultur neo-feodalistiknya mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. (...) Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sistem sentralistik kekuasaan dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonom daerah yang luas, nyata, dan bertangungjawab. (...) Pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya”.

Dalam perkembangan kebijakan yang merupakan pengejawantahan atas TAP MPR tersebut, disusunlah satu kebijakan yang merupakan arus balik dari dua kebijakan sebelumnya mengenai Pemerintahan Desa dan Kabupaten yakni UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979. Dibawah tekanan politik yang kuat, pemerintahan Habibie segera merealisasikan dua TAP MPR tersebut dengan menyusun UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22/1999) dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU No. 25/1999). Meski masih banyak kelemahan yang dikandung dalam kedua UU tersebut, kemauan politik Pemerintah untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis telah ditunjukkan. Salah satu amanat penting yang terkandung dalam pemberlakuan UU/1999 ini adalah dicabutnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Paling tidak ada dua alasan mengapa kedua UU tersebut cukup progresif (khususnya UU No. 22/1999) ; (a) Dalam bagian Menimbang butir e. UU No.22/1999 dikatakan: “... bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan di Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”. Rumusan ini adalah ekspresi pengakuan Pemerintah terhadap akibat-akibat buruk yang muncul dari pemberlakuan UU No. 5/1979 selama ini. (b) Melalui pemberlakuan UU 22/1999, status desa dalam sistem pemerintahan Nasional dikembalikan lagi sesuai dengan jiwa UUD 1945. Pada Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1, butir o, disebutkan bahwa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten”.

(6)

catatan kami proses perumusan tersebut berwatak tertutup, elitis dan tergesa-gesa ditengah-tengah semua kesibukan rakyat menghadapi dan melaksanakan pemilu. UU tersebut telah menyalip di tikungan dengan memmanfaatkan waktu yang tersedia ketika seluruh kehidupan politik masyarakat sedang memuncak menghadapi pemilu 2004, UU tersebut disusun dan disyahkan oleh pemerintahan hasil pemilu 1999. Lebih jauh dari hal tersebut, pemerintah melakukan pengesahan atas UU tersebut ketika secara de facto sudah kalah dalam pemilu 2004, dimana ketika Presiden Megawati yang menandatangani UU tersebut sudah kalah oleh SBY dalam pemilu presiden secara langsung. Dengan demikian UU tersebut memiliki cacat politik karena disahkan oleh pemerintahan yang sudah tidak kridible di mata publik.

Kedua, mengenai isi dari UU No. 32/2004 yang semakin memarginalkan proses pemberdayaan politik desa. UU tersebut telah menghilangkan potensi partisipasi dan pendidikan politik rakyat desa. Sebagai contoh adalah mengenai fungsi Badan Perwakilan Desa (BPD). Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah lembaga perwakilan rakyat desa yang berfungsi sebagai legislatif desa dan dipilih langsung oleh rakyat desa. Tugas BPD bukan hanya mengawasi dan bersama-sama pemerintah desa menyusun ABPDes dan Peraturan Desa (Perdes), tetapi juga meminta pertanggungjawaban Kepala Desa. Dalam revisi kali ini nampaknya ada perubahan yang cukup penting dalam pasal-pasal mengenai BPD. BPD yang dalam UU No. 22/1999 singkatan dari Badan Perwakilan Desa, dalam UU No. 32/2004 berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Perubahan nama ini mengandung makna dan konsekuensi yang mendalam terhadap kehidupan politik di desa. Makna musyawarah yang terkandung dalam UU No. 32/2004 adalah pembonsaian partisipasi dan oposisi (kontrol) oleh BPD kepada pemerintah desa. Musyawarah berarti tidak dikehendakinya sifat oposisional dan digantikan dengan sifat loyal terhadap kebijakan pemerintah desa. Dengan demikian fungsi-fungsi legislasi di desa telah dicabut dalam UU No. 32/2004. UU No. 22/1999 dituduh telah menyebarkan konflik melalui posisi badan legislatif desa yang kuat. Sudah tentu ini adalah masalah dalam perumusan dan cara pendang negara terhadap kehidupan politik yang ada di desa. Demokrasi hanya dimaknai sebagai cara pengambilan keputusan, bukan sebagai momentum pendidikan politik. Perbedaan pendapat dan dinamika sejauh mungkin disingkirkan dari kehidupan politik yang ada di desa. Selain itu fungsi BPD dipangkas yang hanya sampai pada menerima “keterangan” laporan pertanggungjawaban . Kepala desa hanya berkewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban kepada Bupati melalui camat. Hal ini mengingatkan sistem hirarki politik sebagaimana yang pernah diatur dalam UU No. 5/1979 yang telah dikecam oleh UU No. 22/1999. Selain itu berbagai pengaturan mengenai sistem pemerintahan desa dalam UU No. 32/2004 telah menjadi blunder politik bagi pemerintah pusat, khususnya berkaitan dengan keberadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan desa. Tuntutan para sekretaris desa ke Jakarta untuk diangkat sebagai PNS telah membuat beban anggaran yang semakin besar dan ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan UU tersebut. Keseluruhan fakta yang terangkum secara singkat diatas menunjukkan bahwa UU No. 32/2004 disusun secara serampangan tanpa mempertimbangkan persoalan-persoalan yang akan berkembang kemudian, baik berkaitan dengan persoalan-persoalan teknis, administratif maupun politis.

(7)

berlangsung di desa. Secara khusus revisi tersebut harus meliputi prinsip-prinsip mendasar yang menjadi tuntutan pembaruan desa secara keseluruhan antara lain non diskriminatif, anti feodalism, kesetaraan, demokratis dan keadilan. Dalam bagian ini termasuk soal bagaimana proses penyempurnaan itu seharusnya dilakukan. Perlu ada kesamaan persepsi berbagai pihak tentang substansi-substansi hukum apa saja yang perlu dirubah dan atau ditambahkan dalam perngkat peraturan-perundangan yang akan mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan pemulihan desa. Untuk itulah Koalisi Pembaruan Desa dan Agraria merasa perlu menyampaikan Pokok-pokok Pikiran tentang Penyempurnaan Peraturan-perundangan tentang Keniscayaan Pembaruan Desa, khususnya yang berkaitan dengan masalah pengaturan desa, sebagaimana yang akan menjadi agenda pemerintah Jakarta. Di samping itu, dibutuhkan pula serangkaian peraturan-perundangan dan kebijakan yang mengatur tentang PEMBARUAN DESA, yang pada dasarnya merupakan serangkaian proses transformasi sosial, ekonomi, dan politik demi terciptanya tatanan kehidupan desa baru yang lebih baik dan bermakna. Proses yang bertumpu pada kekuatan dari dalam desa sendiri ini diharapkan dapat menjadi upaya konkrit untuk menata ulang hubungan antara Negara dengan komunitasnya. Sehingga kerusakan-kerusakan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologis yang telah terjadi sebelumnya dapat diatasi.

Saat ini pemerintahan SBY sedang melakukan upaya untuk menyusun kembali [amandemen] UU pemerintahan daerah [UU No. 32/2004] yang akan dipisah menjadi UU Pemerintahan Desa, UU Pemerintahan Daerah dan UU Pilkada. Tuntutan berbagai kalangan untuk segera merubah kebijakan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dan desa nampaknya direspon oleh parlemen sekalipun tidak dapat diputuskan dalam waktu dekat karena belum masuk program legislatif nasional. Pemerintahan SBY sangat berkepentingan dengan perubahan tersebut mengingat UU tersebut selain menimbulkan berbagai persoalan, juga pembentukannya merupakan proses yang cacat pada periode pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Beberapa proses perubahan, khususnya berkaitan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung yang terlambat diatur dalam UU juga nampaknya menjadi pemicu percepatan amandemen UU tersebut. Barangkali ini akan adalah produk kebijakan yang paling cepat diamandemen dalam sejarah kebijakan mengenai hubungan pusat dan daerah. Kebijakan pemerintahan desa harus diletakkan pada persoalan yang dihadapi oleh rakyat desa sekarang ini dan sekaligus meletakkan sendi-sendi partisipasi substansial bagi kepentingan kelompok yang selama ini terpinggirkan. Dalam merumsukan kebijakan politik yang akan disusun, paling tidak memuat lima hal pokok yang menjadi orientasi politik dari pembentukan pemerintahan desa ; pertama, pemerintahan desa harus menjadi ”alat politik” rakyat untuk melindungi kepentinganya dari kelompok dan kekuatan supra desa yang dipandang merugikan kepentingan rakyat. Dalam hal ini pemerintahan desa tidak hanya semata-mata diletakkan dalam struktur birokrasi penyelenggaraan pemerintahan supra desa, tetapi juga menjadi tempat bagi rakyat untuk membangun kapasitas politiknya sesuai degan kehendak dan kepentingannya. Meletakkan pemerintahan desa dalam mobilitas vertikal hanya akan menjadikannya boneka untuk kepentingan kekuasaan. Dalam praktek politik orde baru sebagaimana UU No. 5 /1979 pemerintahan desa ditempatkan sebagai mesin dukungan dan mobilisasi sumber daya.

(8)

bagi kekuasaan eksekutif pemerintahan desa melalui Badan Perwakilan Desa harus ditumbuhkan kembali sebagai alat kontrol kebijakan.

Ketiga, kelembagaan pemerintahan desa yang ada harus merupakan representasi dari rakyat, khususnya adalah kaum tani dan perempuan. Sedapat mungkin kelembagaan pemerintahan desa bukan merupakan proses liberal yang tidak memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok marginal untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi justru harus menjadi alat rakyat untuk memulai partisipasinya. Pengalaman diberbagai wilayah, kelembagaan-kelembagaan desa seperti BPD menjadi tempat bagi rakyat untuk belajar mengenai mekanisme politik sekaligus tempat kaderisasi politik. Penutupan ruang partisipasi dengan menjadikan BPD kembali ditunjuk [secara musyawarah] sebagaimana UU No. 5/1979 menjadikan rakyat kehilangan tempat untuk belajar menyusun ”tangga politiknya”.

Keempat, harus ada jaminan bahwa sumber-sumber ekonomi yang penting, khususnya sumber agraria diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Selama ini desa ditempatkan sebagai sumber ekstraksi sumber daya alam tanpa pernah memberikan konpensasi ekonomis kepada rakyat pemilik SDA tersebut. Pemerintah supra desa sesungguhnya telah ”utang politik” terhadap desa, sehingga Dana Alokasi untuk Desa yang tertuang dalam UU No. 32/2004 adalah penyelesaian utang politik tersebut, bukan balas budi ekonomi.

Kelima, harus ada jaminan bagi rakyat desa untuk bebas mengorganisir kepentingannya dan menyampaikan pendapatnya. Gagasan untuk menghidupkan kembali komando teritori militer, khususnya Babinsa adalah langkah mundur bagi kebijakan mendorong kemajuan politik di desa, setelah menghadirkan pemerintahan sipil melalui PNS sebagai sekretaris desa.

Perbedaan antara UU No. 5/1979; UU No. 22/1999 dan UU no. 32/2004

(9)

LKMD yang

(10)

C. Konsepsi Politik

Orde Baru telah membentuk watak kekuasaan yang menempatkan negara secara politis sangat dominan. Negara telah mengkooptasi makna kebangsaan , hasilnya justru suatu sikap kebangsaan yang semu, integrasi yang dipaksakan oleh kekuasaan fisik, sehingga ketika kekuasaan mengalami “dekonstruksi”, maka integrasi terancam bergerak ke arah disintegrasi. Pengembangan negara yang semata-mata mengandalkan kekuasaan, telah terbukti gagal dan pada gilirannya menuai kebangkrutan. Dalam konteks yang demikian maka konsepsi mengenai negara harus kembali dirumuskan. Konsepsi negara yang dimaksud adalah bersebrangan dengan konsepsi negara masa lalu. Makna yang ingin dikembangkan dalam bangunan “negara” yang baru ini adalah :

a)

Pertama, bahwa negara merupakan karya bersama melalui proses perjuangan pembebasan nasional – dengan demikian semua pihak (penghuni negara) memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses kehidupan. Negara dengan demikian dihindari sejauh-mungkin dikuasai oleh segelintir orang atau golongan untuk menindas orang atau kelompok lain. Dalam soal ini, pernyataan politik dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945), sangat layak untuk digaris-bawahi: “…untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…” Watak ini secara implisit hendak mengatakan bahwa negara pastilah memiliki jiwa kebangsaan. Posisi yang demikian sangat dibutuhkan, terutama didalam kenyataan kerasnya arus globalisasi, yang memaksa dibukanya pintu-pintu pembatas, dan pada gilirannya akan menantang nasionalisme

b)

Kedua, sebagai hasil dari proses perjuangan pembebasan nasional dan juga perjuangan pembebasan dari rejim sentralistik-otoriter, maka negara harus berfungsi sebagai sarana pembebas rakyat dari kedudukan yang marjinal. Secara imperatif, negara baru ini akan dan harus diefektifkan, untuk dua hal pokok, yakni: memberikan dasar hukum (legalitas) dan sekaligus pembenaran (legitimitasi) bagi rakyat agar mereka secara lebih bermakna dapat berpartisipasi dalam setiap aktivitas penyelenggaraan negara, guna memastikan proses perbaikan kualitas hidup rakyat – “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ….”

c)

Ketiga, negara tidak mungkin sepenuhnya netral. Hal yang tidak bisa diingkari adalah bahwa pada saat sekarang ini, kedudukan rakyat tidak dalam posisi yang serba setara, tetapi sebaliknya, dalam posisi yang serba tidak setara, penuh dengan ketimpangan. Dengan demikian, negara, di masa depan, memikul mandat untuk memfasilitasi suatu proses transformasi – yakni melakukan tindakan-tindakan untuk mengubah (mentransformasikan) struktur yang timpang, sehingga terdapat keadilan relatif, yang memungkinkan semua elemen dalam masyarakat, ambil bagian secara setara dalam proses pengambilan kebijakan, yang menyangkut hidup dan masa depan mereka sendiri – “…dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

(11)

dan bermakna1. Untuk mencapai kemerdekaan sendiri, tidak ada pilihan lain, kecuali membangun kekuatan guna merebut kekuasaan2. Dengan cara pandang demikian. Dengan cara pandang ini, menjadi sangat jelas mengapa konstitusi memiliki watak yang demikian etatis – serba negara, sebab pada awalnya yang terpenting adalah menyegerakan diakuinya “kedaulatan negara” – dalam mana kedaulatan negara diakui sebagai jelmaan dari kedaulatan rakyat. Pengalaman di bawah Orde Baru, memberikan pelajaran yang sangat penting bahwa kekuasaan yang dijalankan dengan watak etatis, sama sekali tidak memberi tempat pada rakyat, dan sangat terbuka peluang bagi manipulasi, dan kekuasaan yang sangat besar tersebut bisa digunakan untuk menindas.

e)

Kelima, kekuasaan yang demokratis, setidaknya diperlihatkan oleh tiga segi utama, yakni: (1) tidak merupakan klaim sebagai wakil mutlak dari rakyat, dan rakyat sendiri jangan sampai menyerahkan seluruh hidup dan matinya, pada badan penguasa (penyelenggara kekuasaan negara); (2) kekuasaan penyelenggara negara, dengan demikian, bukan sebuah kekuasaan yang mutlak tanpa batas, tetapi justru suatu kekuasaan yang terbatas dan dibatasi; (3) suatu kekuasaan yang terbatas dan dibatasi, hanya mungkin berjalan secara efektif bila dilandasi oleh hukum.

f)

Keenam, suatu kekuasaan yang tidak demokratis, tidak selalu bermakna fisik, melalui kekerasan atau ditutupnya aspirasi rakyat. Hal yang tidak bisa diingkari adalah suatu kenyataan dimana Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat besar, dengan pluralitas yang sangat tinggi. Pengalaman masa lalu dimana kekuasaan lebih tersentralisasi dan didominasi oleh satu-dua suku bangsa, tidak lagi boleh terjadi di masa yang akan datang. Menilik kenyataan ini, maka sistem perwakilan dalam proses penyelenggaran pemerintahan di masa depan, patut mengakomodasi pluralitas tersebut, bahkan bila kita hendak menjadi Bhineka Tunggal Ika sebagai sebuah kenyataan, maka keragaman itulah yang hendaknya menjadi dasar dalam proses pengambilan keputusan politik. Apa yang tidak ada di masa lalu, seperti keterwakilan daerah, harus ada di masa depan. Untuk keperluan ini, dibutuhkan suatu sistem pemilihan umum, sistem kepartaian dan sistem pemerintahan yang sama sekali baru3.

C.1. Masa Depan Pedesaan

4

Agenda pembangunan nasional yang menjadi produk politik Negara Orde Baru, pada dasarnya telah tunai memperoleh hasilnya: kegagalan berupa langgengnya kemiskinan dan kesenjangan sosial, dan bahkan membangkitkan masalah-masalah baru yang lebih serius dan kompleks. Oleh sebab itu, di masa depan kita membutuhkan arah dan kerja-kerja yang sama sekali baru, sebagai bentuk hijrah, perpindahan dari masa lalu yang kotor dan usang, kepada masa depan, yang bersih dan menjanjikan.

1

Dalam proses pengadilan kolonial (1930), Soekarno menyatakan: “…kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi perbaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu

2

Segi penting dalam pernyataan kemerdekaan adalah “...pemindahan kekuasaan....”

3

Untuk masalah ini bisa dilihat adanya pandangan alternatif yang pada saat ini juga mempengaruhi pemikiran mengenai sistem perwakilan di “MPR dan DPR” – pada intinya diharapkan dalam sistem politik yang demokratis keterwakilan daerah ada – lihat Tiro, Hasan Muhammad. 1999. Demokrasi Untuk Indonesia, Teplok Press. Jakarta.

4

(12)

Kenyataan bahwa kebijakan pembangunan Orde Baru telah menempatkan desa dalam posisi yang matginal, desa menjadi peri-peri dari seluruh kebijakan politik yang berjalan hampir tiga puluh lima tahun.

Dalam konteks itu apa yang hendak dirumuskan mengenai masa depan pembangunan yang bertumpu pada desa . Paling tidak ada tiga fondasi yang harus diletakkan terhadap pembangunan pedesaan yakni: (1) keadilan, (2) demokrasi dan (3) kemajuan.

Dalam konteks pemerintahan desa yang terbentuk harus merupakan bagian dari spirit demokrasi. Suatu pemerintahan desa yang demokratis adalah pemerintahan yang lahir dari bentukan masyarakat sendiri, dan bukan merupakan hasil rekayasa elit penguasa. Dengan demikian, pemerintahan jenis ini setidaknya mengakui penggerak utama pemerintahan desa yakni kedaulatan rakyat, parlemen desa yang demokratis dan pemerintah desa. Kedaulatan rakyat merupakan sumber utama dari kekuasaan yang ada. Pengakuan adanya kedaulatan rakyat merupakan cermin dari sebuah persepsi mengenai kekuasaan yang rasional, dimana kekuasaan datang dari rakyat dan karena itu harus dipertanggungjawabkan pada rakyat. Parlemen desa adalah badan yang berfungsi dalam skema demokrasi perwakilan. Posisi parlemen desa tidak lebih dari penyambung lidah rakyat, dan tidak memiliki otonomi dihadapan rakyat. Parlemen desa juga bukan sebuah badan yang menerima kekuasaan mutlak dari rakyat desa, sebab yang diberikan hanya sebagian, sehingga ketika sewaktu-waktu dirasakan terjadi pengingkaran suara rakyat, maka rakyat bisa menggunakan hak dasarnya. Pemerintah desa adalah badan eksekutif yang bertugas menjalankan aspirasi rakyat, untuk menjawab problem dan harapan rakyat. Pemerintah desa di masa depan perlu mengubah wataknya, agar bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai abdi (pelayan, atau pemberi layanan) masyarakat.

BOX 1

Keadilan hendak menunjuk pada suatu kondisi dimana tidak terjadi dominasi, eksploitasi manusia atas manusia, dan pemerataan dalam kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Konsep ini tidak saja berbicara mengenai suatu hubungan dalam struktur sosial, melainkan juga relasi gender, kelestarian lingkungan dan hubungan antar generasi. Keadilan merupakan koreksi mendasar atas praktek eksploitasi dan marjinalisasi yang telah berlangsung lama.

Demokrasi hendak menunjuk pada suatu kondisi dalam mana proses pengambilan kebijakan tidak dilakukan dengan cara paksa, militeristik, kekerasan dan segala bentuk tekanan yang mengabaikan dialog. Dalam arti yang lebih umum demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam demokrasi, rakyat yang memerintah, mengambil keputusan, dan merumuskan kebijakan-kebijakan1. Bagaimana bentuk demokrasi yang ideal? Hal ini sebaiknya diserahkan pada sejarah – bila mana demokrasi langsung dimungkinkan, maka tidak perlu dipaksakan suatu demokrasi perwakilan, demikian pula sebaliknya.

(13)

C.2. Arena Perubahan

Mencapai sebuah tatanan baru, sudah tentu merupakan pekerjaan besar yang akan memakan waktu tidak sebentar. Hal yang menjadi pertanyaan adalah segi-segi prinsip apa yang dapat dipandang sebagai wilayah-wilayah strategis yang dapat menjadi titik transformasi. Kita hendak menunjuk tiga arena utama yang memungkinkan gerak perubahan, yakni politik, sosial-budaya dan ekonomi politik. Adapun maksud dari masing-masingnya adalah:

a) Arena politik – arena ini merupakan wilayah pengaturan kekuasaan. Pada masa lalu, politik yang terbangun adalah sebuah tatanan yang menutup pintu bagi partisipasi massa rakyat. Sistem politik yang terbangun bekerja melayani kepentingan penguasa, dan bersifat anti rakyat. Upaya perubahan sudah tentu harus masuk dalam arena ini, yakni mendorong perubahan sistem politik, sehingga terbangun sebuah tata politik baru yang mencerminkan pembagian dan pembatasan kekuasaan.

b) Arena sosial-budaya – pengalaman desa-desa dengan proyek modernisasi meninggalkan akibat berupa terjadinya proses yang bisa dikatakan sebagai penghancuran institusi lokal. Namun persis di situ pula, gerakan masyarakat sipil, telah menjadikan masalah sosial-budaya, sebagai pintu untuk masuk dalam proses penguatan masyarakat (institusi lokal). Upaya-upaya membangun skema reproduksi sosial dan pengembangan identitas budaya, menjadi bagian penting dari proses tersebut. Ujungnya adalah bahwa proses rekonstruksi haruslah masuk pada upaya mentransformasi sistem sosial-budaya, untuk bisa mengembalikan komunitas lokal kepada kebudayaan mereka.

c) Arena ekonomi politik – arena ini merupakan wilayah yang menjadi tempat pengaturan masalah sarana produksi, sistem produksi dan distribusi hasil produksi. Kisah tentang negarisasi sumber-sumber ekonomi rakyat oleh negara, dan kemudian diperuntutan bagi modal besar, merupakan sebuah contoh kongkrit dari dikembangkannya skema ekonomi kapitalistik, yang anti rakyat. Masuknya upaya perubahan ke dalam arena ini lebih dimaksudkan untuk membangun tata ekonomi baru, yang bermakna upaya melakukan penataan produksi sebagai basis ekonomi baru, yang populistik.

C.3. Jalan Yang Ditempuh.

Segi dasar apa yang dibutuhkan untuk memungkinkan suatu pembaruan desa? Kita menyadari bahwa suatu perubahan yang mendasar, mengubah tatanan lama menjadi tatanan baru dibutuhkan, setidak-tidaknya tiga hal sekaligus5: (1) kekuatan – kekuasan

5

(14)

legal dan legitimit (mendapatkan legitimasi); (2) kebijakan-kebijakan yang mendukung6 dan dukungan dari massa rakyat, yang sadar dan terhimpun.

a) Kekuatan – yang dimaksudkan di sini adalah adanya kebutuhan untuk bekerjanya suatu tata kekuasaan yang mendukung atau memiliki komitmen mengenai realisasi pembaruan desa yang konsisten. Adanya kekuasaan yang mendukung proses perubahan ini, sudah tentu mengandaikan adanya perubahan dalam konfigurasi kekuasaan.

b) Kebijakan pendukung – suatu legalitas formal dibutuhkan, terutama untuk membenarkan, menjadi dasar hukum, dan sekaligus yang mampu menggerakkan sumberdaya untuk perubahan. Kebijakan ini sudah tentu bukan kebijakan eksklusif, melainkan kebijakan yang disusun bersama massa rakyat sendiri;

c) Dukungan nyata dari massa – hal dapat memberi sumbangan pada dua hal sekaligus: (1) keabsahan; dan (2) kemudahan – sebab memperoleh tenaga penggerak proses pembaruan. Adanya dukungan dari massa rakyat juga menjadi penyangga dan sekaligus kontrol atas massa rakyat – agar alamat yang dituju, sesuai dengan alamat yang dikehendaki massa rakyat. Dukungan ini hanya bisa terbit bila massa dalam kesadaran dan terhimpun.

Hal yang menjadi masalah adalah bagaimana memungkinkan ketiga hal tersebut agar bisa diraih? Tidak terhindarkan kita membutuhkan suatu strategi yang memungkinkan tiga elemen utama dalam proses pemerintahan bisa berjalan secara strategis. Strategi ini adalah strategi tiga kaki. Strategi ini diambil terutama karena jalan perubahan yang hendak diambil bukanlah jalan revolusi, melainkan perubahan evolusi – suatu perubahan bertahap, dan tidak menggunakan jalan kekerasan. Suatu perubahan jalan evolusi, yang bertahap, mengandaikan adanya sinergi yang besar dari berbagai elemen yang ada di masyarakat untuk bisa bekerjasama dengan baik, di bawah maksud yang sama.

Untuk memungkinkan tiga kaki bersinergi untuk perubahan (pembaruan desa), maka mutlak dibutuhkan transformasi ketiganya, sebagai syarat awal untuk mendorong gerak pembaruan.

ý Pertama, pembaruan dalam kerja dan watak kerja dari pemerintahan – yakni meninggalkan format kerja status quo, yang hanya menempatkan pemerintahan hanya sebagai ajang aktualisasi kepentingan para elite. Pembaruan ini hanya mungkin berlangsung jika pemerintah sudah berubah dalam bentuk dan watak, dan begitu pula parlemen7. Namun pembaruan dalam bentuk dan watak tidak mungkin

6 Yang meruapakan kombinasi dari sikap kekuasaan dan partisipasi rakyat – kebijakan yang menangkap

dinamika aspirasi, dan bukan saja kepentingan elite penguasa.

7

(15)

dilakukan dengan gerakan moral, atau khotban moral, melainkan harus dilakukan dengan tindakan-tindakan politik yang nyata. Masalah rekruitmen politik menjadi sangat penting –maka tidak terhindarkan untuk memikirkan sistem pemilu – termasuk membuka peluang bagi pemilu lokal, sistem kepartaian dan sistem perwakilan yang ada, agar bisa terhindar dari watak lama yang anti rakyat.

ý Kedua, pembaruan relasi kuasa – baik antara pusat dan daerah, antara daerah dan desa, ataupun antara negara dan rakyat. Pola hubungan kuasa antara eksekutif dan legislatif, di aerah, dari berpola subordinatif, menjadi mitra – bukan dalam arti kolusi, melainkan hubungan egaliter dan kritis; dan pembaruan hubungan rakyat dan pemerintahan – yakni sebuah format baru yang memungkinkan partisipasi rakyat.

ý Ketiga, pembaruan kedaulatan rakyat melalui penguatan basis organsiasi rakyat atau kelembagaan lokal. Segi terakhir ini dibutuhkan agar dalam proses perubahan, tetap ada yang memberikan kontrol efektif. Di belakang uraian ini akan dimuat upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam memperkuat ataun mentransformasikan kedaulatan rakyat dengan basis kesadaran dan keterhimpunan.

Arah. Arah dasar dari proses yang hendak dikembangkan adalah sebuah proses pemberdayaan. Pemberdayaan adalah upaya penguatan yang memperbesar dan memperluas kemungkinan masyarakat untuk bisa berperanserta aktif dalam proses pembangunan. Peran aktif yang dimaksud sudah tentu bukanlah partisipasi a’la Orde Baru yang tidak lain dari sebuah praktek mobilisasi. Pemberdayaan juga dimaksudkan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat perdesaan dalam kesatuan wilayah yang sebagian besar diakibatkan oleh kesenjangan terhadap akses modal, prasarana, informasi-pengetahuan-teknologi-ketrampilan, ditambah oleh kemampuan sumberdaya manusia serta perekonomian di sektor perdesaan yang tidak kompetitif sehingga tidak bisa menunjang pendapatan masyarakat, serta masalah akumulasi modal, sampai dengan struktur kuasa yang asimetri, sehingga peluang kontrol menjadi sangat kecil.

Tujuan. Proses ini pada dasarnya memiliki tiga maksud dasar, yakni: (1) memperkuat rakyat untuk bisa mengaktualisasi aspirasi dan kepentingan mereka terhadap gerak otonomi daerah, sehingga dapat mempengaruhi kebijakan publik, untuk lebih memihak pada kepentingan rakyat kebanyakan, melalui upaya pembentukan ‘parlemen desa’ yang merupakan prakarsa dari rakyat; (2) memperkuat akses rakyat dalam kontrol

(16)

terhadap proses realisasi pengembangan otonomi daerah-desa, melalui pengupayaan terbentuknya suatu koalisi (konsorsium) komunitas8; (3) memperkuat daya dukung untuk mempercepat proses pemulihan kondisi ekonomi masyarakat desa, termasuk untuk mendorong proses transformasi ekonomi desa, sehingga masyarakat makin berdaya dan lebih baik kondisi serta posisinya.

Langkah Penguatan Partisipasi Rakyat Desa. Suatu gerak baru yang memaksudkan untuk mengembalikan masyarakat ke dalam pusaran utama proses kehidupan bernegara, pada dasarnya adalah arus balik dari proses lama. Dalam bahasa yang paling umum, proses ini dipahami sebagai upaya untuk menumbuhkan partisipasi rakyat. Yang menjadi masalah bahwa pada saat sekarang ini, konsepsi dan skema partisipasi, telah didangkalkan, dan lebih bermakna sebagai sebuah proses mobilisasi, dalam kerangka meraih efisiensi pencapaian hasil-hasil pembangunan nasional. Oleh sebab itu, untuk mengembangkan partisipasi, yang akan dijadikan fondasi dari gerak perubahan, perlu dengan seksama memeriksa gagasan partisipasi lama, dan pada gilirannya perlu mengembangkan paradigma baru partisipasi.

Mengapa partisipasi. Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorganisasi diri, dan dengan demikian akan memudahkan rakyat menghadapi situasi-situasi sulit, serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi, tidak saja menjadi cermin kongkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi bagi tidak diabai-kannya kepentingan rakyat. Ketiga, bahwa persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan, akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi rakyat. Prinsip ini sekaligus menjadi titik pijak suatu kepercayaan kepada rakyat, bahwa rakyat tidak perlu dimaknai sebagai sumber kebodohan, melainkan subyek pembangunan yang juga memiliki kemampuan. Apa yang penting dari keseluruhan ini? Tidak lain dari suatu kehendak mengembangkan model pemerintahan yang tumbuh dan mengakar dari bawah, dan dengan demikian proses pembangunan, termasuk perencanaan pembangunan tidak dijalankan dari atas, melainkan dari bawah. Bagaimana hal ini dimungkinkan?

Suatu pengembangan partisipasi rakyat, membutuhkan dua langkah sekaligus, yakni: (1) memperkuat kapasitas kritis masyarakat; dan (2) memperkuat kelembagaan yang ada.

(17)

sini adalah: Pertama, program pendidikan politik9; dan (2) Kedua, program pengembangan arena-arena pengambilan kebijakan, saling belajar dan komunikasi di kalangan masyarakat.

1. Pendidikan politik – program ini memaksudkan untuk memungkinkan masyarakat (sebagai individu ataupun kelompok) memahami dengan “utuh” proses politik (proses pemerintahan) dan proses sosial-budaya-ekonomi, yang ada. Pemahaman yang “utuh” tidak didalam arti penguasaan sebuah pengetahuan tertentu, melainkan adanya kemampuan dan kemauan masyarakat untuk terus-menerus memeriksa realitas sosial yang ada, mengembangkan refleksi dari padanya dan mengambil sikap atas kondisi-kondisi yang ada. Dengan demikian dibutuhkan sejumlah pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan tertentu untuk mendukung proses partisipasi. Pendidikan politik dalam kerangka ini menjadi salah satu segi yang bisa dipertimbangkan untuk memungkinkan lahirnya kesadaran baru tersebut. Pendidikan politik yang dimaksudkan di sini, bukan lah melulu suatu bentuk pendidikan dalam kelas, melainkan juga pendidikan di luar kelas, atau suatu proses keterlibatan langsung masyarakat (individu atau kelompok) dalam proses-proses politik yang ada di desa. Media yang bisa digunakan seperti: proses pemilihan “pejabat publik –desa”; pertemuan reguler desa; dengar pendapat dengan parlemen daerah ataupun dengan parlemen desa; aksi protes; dan lain-lain.

2. Pengembangan Arena-arena Pengambilan Kebijakan – pengalaman di masa lalu, menunjukan bahwa hampir semua arena pengambilan kebijakan tersentralisasi pada figur kepala desa, dan juga telah terkooptasi pemerintah desa (negara). Kondisi yang demikian sudah barang tentu tidak mendukung suatu proses demokratisasi. Di masa depan, dibutuhkan arena baru yang lebih partisipatif – yang ditandai dengan pembentukannya yang lepas dari intervensi kekuasaan (negara) dan memungkinkan masyarakat sendiri yang mengelola dan membentuk aturan main dalam arena tersebut. Arena arus bawah ini akan memungkinkan berkembangkan pikiran-pikiran alternatif dan kritis, sehingga akan memperkaya gagasan yang berkembang dan akan memperluas keterlibatan masyarakat. Dalam konteks otonomi aktual dewasa ini, di desa telah ada suatu institusi baru, yang memperlebar arena partisipasi rakyat, yakni Badan Perwakilan Desa (BPD) merupakan arena baru yang bersifat formal, namun dalam pembentukannya dan posisinya, lebih mencerminkan berkembangnya suatu partisipasi dan kedekatan dengan masyarakat (desa).

ý Penguatan Kelembagaan Desa. Penguatan kelembagaan desa, bisa bermakna ke dalam, penguatan kelembagaan internal, yakni yang mengurus persoalan-persoalan internal desa, dapat pula bermakna sebagai proses penguatan eksternal melalui

9

(18)

pengembangan wahana “konsolidasi” kelembagaan desa untuk memperkuat kinerja kelembagaan desa sendiri. Adanya BPD pada dasarnya memungkinkan untuk mendorong suatu proses baru (yang berbasis arus bawah), baik melalui penguatan institusi BPD sendiri, dalam kiprahnya ke dalam, maupun penguatan institusi BPD dalam kiprahnya ke luar, dan juga pembukaan kemungkinkan kerjasama antar desa sebagai bagian dari upaya penguatan pedesaan secara luas.

D.

Kebijakan Otonomi Desa

Pengakuan terhadap otonomi desa dan atau pembaharuan desa, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya merupakan tuntutan yang hendaknya menjadi perhatian, ketika konsep otonomi desa dan atau pembaharuan desa yang hanya dipandang sebagai sistim pemerintahan, maka ada hal yang paling esensi yang ditinggalkan dalam cara pandang tersebut. cara pandang demikian paling tidak menyisakan beberapa masalah mendasar yaitu;

1. Otonomi yang ditempatkan hanya sekedar pemerintahan desa kembali menempatkan negara sebagai pengatur tunggal atas kehidupan masyarakat desa. Harus diakui keberagaman politik dan karakteristik lokal merupakan sebuah kenyataan yang terjadi di berbagai daerah. Dalam persoalan yang demikian maka sesungguhnya persoalan otonomii menyangkut hubungan-hubungan yang bukan hanya sekedar penyelenggaraan pemerintahan tetapi juga hubungan antar komunitas, bahkan individu dalam komunitas.

2. Ekonomi desa. Ekonomi bukan hanya berkaitan dengan persoalan internal desa, tetapi juga berkaitan dengan antar desa. Penataan produksi adalah agenda yang penting dalam konteks pembaruan desa untuk mendorong kelembagaan ekonomi yang kuat, khususnya menghadapi kekuatan ekstraktif yang mengancam rakyat desa.

3. Kenyataan agraria. Fakta bahwa di desa telah berlangsung ketidakadilan agraria diingkari dalam konsepsi otonomi desa. Keadilan agraria adalah agenda yang sangat penting dan mendasar dalam pembaruan desa. menciptakan keadilan agraria bukan hanya akan menempatkan otonomi dalam kotak mesiu bersumbu pendek.

Oleh karena pengakuan otonomi desa dan atau Pembaharuan desa adalah suatu kesatuan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang otonom. Dengan demikian maka dalam konteks pembaharuan desa hal-hal yang perlu dimasukan dalam undang-undang meliputi : Hak asal-usul, Ekonomi, Agraria dan pemerintahan desa Pemerintahan Desa. Dalam proses ini diperlukan sejumlah kebijakan yang dapat dijadikan instrumen untuk mewujudkan pembaruan desa. Sejumlah kebijakan tersebut antara lain ;

D.1. kebijakan transisi.

(19)

(1) Suatu kebijakan yang lebih merupakan implementasi dan konsistensi dari kebijakan yang sudah tertuang dalam UU No.32 tahun 1999, yakni memberikan subsidi ekonomi, dalam bentuk dana alokasi untuk desa (Dau-Desa). Di bidang ekonomi, melalui apa yang hendak disebut disini sebagai upaya memperkuat otonomi desa, melalui pengembangan dana perimbangan daerah desa. Di bidang politik melalui perubahan kebijakan mengenai parlemen daerah, khususnya untuk membuka pintu bagi perwakilan desa di parlemen. Segi terakhir ini dibutuhkan untuk memberikan saluran formal bagi masyarakat desa, sehingga bisa lebih dipastikan terakomodasinya aspirasi desa.

(2) Suatu kebijakan yang bermaksud untuk memperkuat infrastruktur pedesaan. Di masa lalu, infrastruktur pedesaan berkembang sangat lambat, sebagai akibat dari strategi pembangunan yang menyimpan watak ketidakadilan. Segi-segi penting seperti pengembangan sarana transportasi dan komunikasi, pendidikan, kesehatan, perlindungan atas kualitas lingkungan dan sumberdaya alam, sangat minim. Dalam sektor pendidikan, sebagai contoh, kualitas sekolah dasar di desa, bagaikan bumi dan langit, bila dibandingkan sekolah di kota. Lemahnya pengembangan infrastruktur pedesaan ini menjadikan desa sangat lamban berkembang dan kerapkali dituding sebagai pihak yang memperlambat pencapaian pertumbuhan ekonomi. Pengembangan infrastruktur ini dibutuhkan pula untuk memperluas akses dan kesempatan bagi desa dan masyarakat desa, dalam berbagai segi – seperti informasi, teknologi, finansial, pasar, dan lain-lain.

(3) Suatu kebijakan yang merupakan pelaksanaan yang konsisten dari TAP IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya alam. Pasal ini merupakan bagian integral bagi sebuah proses pembaruan yang menyeluruh yang berkait dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan materialnya dan juga dalam konteks meningkatkan produktivitas nasional bagi pemerataan dan kemakmuran. Pembaruan agraria dalam kerangka ini bukanlah suatu proses pembagian tanah, melainkan upaya untuk mentransformasikan struktur agraria yang timpang bagi keadilan.

D.2. Kebijakan Penguatan.

Yakni mengarah pada reformasi pemerintahan desa dan kabupaten. Kebijakan ini terdiri dari:

(20)

(2) Kebijakan yang merupakan upaya untuk melakukan reformasi dan penguatan kelembagaan lokal dan hukum. Kepastian dan keadilan merupakan segi penting untuk menggerakan proses perubahan. Kenyataan dari hasil proses masa lalu, memperlihatkan suatu kualitas buruk dari kelembagaan dan hukum. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan kelembagaan yang ada, sebagai akibat dari maraknya praktek KKN, telah menjadikan kendala tersendiri untuk proses perubahan di masa depan. Usaha ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, serta berfungsinya kelembagaan yang ada secara baik, yang dijamin pula oleh sebuah kepastian hukum. Destruksi sosial yang berkembang sebagai kerusuhan dan hilangnya kemampuan lokal untuk menyelesaikan masalah, sehingga harus mengundang intervensi eksternal, merupakan kerugian tersendiri, sebab persoalan yang berkepanjangan tentu sangat menguras sumberdaya lokal, yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan mencapai kemajuan-kemajuan.

D.3. Kebijakan Strategis.

Yakni mempersiapkan lapisa sosial baru yang menjadi penyokong demokratisasi, keadilan dan kemajuan desa. Kebijakan ini berupa langkah penguatan partisipasi masyarakat dan menurunkan tingkat intervensi “negara” (baca; penguasa). Inti dari kebijakan adalah memberikan perlindungan dan membuka kesempatan kepada masyarakat sendiri untuk menentukan pilihan-pilihannya yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan desa. Partisipasi sudah tentu tidak diletakkan dalam kerangka efisiensi, sebagaimana yang selama ini dijalankan, dimana masyarakat hanya diundang untuk mendukung program yang sudah ditetapkan, melainkan partisipasi, dalam arti masyarakat berkesempatan untuk menggali, mengidentifikasi, merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi. Kesemuanya dipentingkan, agar tidak terjadi suatu manipulasi dan program pembangunan yang salah alamat alias tidak tepat.

E.

Masalah Kebijakan Transisi: “Ganti Rugi” Politik dan Ekonomi

Ketika suatu pengakuan mengenai pelanggaran terhadap UUD 1945 dikeluarkan, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah cukup hanya sebuah pengakuan. Kita harus menyadari bahwa kebijakan lama yang dikeluarkan dan dijalankan, telah mengakibatkan banyak persoalan. Sebagai sebuah pelanggaran, maka kebijakan lama (UU No.5 tahun 1979), telah membawa korban. Proses lama dapat pula digolongkan sebagai sebuah pelangggaran hak-hak masyarakat, dan pelanggaran hak-hak-hak-hak asasi manusia yang panjang. Sebagai suatu pelanggaran hak, maka dibutuhkan langkah-langkah yang bukan saja mengembalikan hak, namun perlu kiranya dipikirkan upaya yang merupakan pemberian “ganti kerugian” atas proses yang sudah berlangsung lebih dua puluh tahun.

(21)

adanya proses “ganti kerugian”, desa akan sangat kesulitan bisa memanfaatkan momentum reformasi pemerintahan desa, sebagai akibat problem dasar yang disebutkan di depan. Barangkali yang akan menjadi masalah adalah bagaimana proses pemberian ganti kerugian bagi desa bisa dijalankan? Apa saja yang bisa diberikan ganti kerugian? Bagaimana proses penentuannya? Berapa besar “ganti kerugian” tersebut? Bagaimana organisasi kerja proses tersebut? Pertanyaan ini tentu bisa diperpanjang, sebab memang gagasan ini merupakan sebuah terobosan untuk menemukan jalan usaha percepatan realisasi otonomi daerah. Hanya dengan inilah proses realisasi otonomi desa bisa dijalankan dengan baik dan memberikan makna.

Sebagai langkah awal, dapat dipikirkan langkah percepatan pemberian ganti kerugian, melalui apa yang hendak disebutkan di sini sebagai subsidi khusus bagi desa. Gagasan subsidi di sini akan meliputi dua hal sekaligus, yakni subsidi ekonomi, berupa subsidi khusus anggaran untuk keperluan pembiayaan aktivitas demokratisasi, dan subsidi di bidang politik berupa “jatah bagi desa di parlemen daerah”.

Pada yang pertama dimaksudkan untuk memberikan “BBM” bagi desa untuk bisa bergerak. Harus diakui bahwa otonomi desa, yang lebih bernuansa politik, telah menyulitkan desa. Sebagai contoh, dengan adanya kelembagaan baru, seperti Badan Perwakilan Desa (BPD), tentu saja akan menambah beban bagi desa, jika tidak ada subsidi khusus bagi aktivitas BPD. Pada sisi yang lain, upaya untuk membangkitkan prakarsa masyarakat, yang sudah lama berada dalam cengkraman kekuasaan otoriter, pasti bukan hal yang mudah, dan kondisi yang demikian, memerlukan dukungan “yang lebih dari sekedar dukungan politik”. Oleh sebab itulah, parlemen daerah (DPRD) sejak awal harus peka dengan kebutuhan ini, dan mengupayakan agar anggaran subsidi khusus bagi desa bisa dimasukan sebagai anggaran daerah (APBD).

Pada yang kedua lebih mengarah pada penguatan politik. Usulan untuk memasukan subsidi desa ke APBD, sebagai contoh, tentu saja akan mendapatkan berbagai halangan, jika dari desa sendiri tidak memiliki hak suara yang cukup kuat. Dengan memberikan kursi bagi “utusan desa” di DPRD, sudah tentu akan memudahkan bagi desa untuk bisa memperjuangkan aspirasinya. Konsep mengenai utusan desa ini penting untuk menjadi perhatian, sebab dengan ini kita akan segera mendapatkan kendala hukum, dimana belum ada aturan yang memungkinkan konsep tersebut. Inilah agenda ke depan yang perlu menjadi perhatian dari kekuatan-kekuatan pro demokrasi.

(22)

kaitan inilah hendak dikembangkan gagasan mengenai perlunya dana perimbangan daerah-desa, dalam mana Dana Alokasi Untuk Desa (DAu-Desa), menjadi salah satu unsurnya. Gagasan Dana Perimbangan Daerah-Desa sudah tentu bukanlah suatu gagasan ekonomi (semata), melainkan suatu gagasan untuk memberikan dukungan bagi perkembangan proses politik dan proses reform di desa. Destruksi politik di masa lalu, tentunya membutuhkan sebuah proses rehabilitasi yang memadai. Sumberdaya desa yang terkuras ke luar, perlu “dikembalikan” dan prinsip pemerataan yang hilang, perlu pula segera diwujudkan – agar tidak terus menerus menjadi slogan politik. Dana perimbangan daerah-desa, akan memungkinkan beberapa hal penting:

(1) meningkatkan kemampuan desa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat, yang dengan demikian akan memicu kepercayaan masyarakat pada pemerintahan desa;

(2) meningkatkan kemampuan desa untuk memperbaiki infrastruktur desa yang memang menjadi tanggungjawab desa, sehingga dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap berbagai aspek, termasuk akses informasi; dan

(3) memugkinkan desa untuk membuat perencanaan mandiri berdasarkan “dana alokasi” yang ada, sehingga lebih memungkinkan proses perencanaan dari bawah; serta

(4) membuka kemungkinan yang lebih besar untuk masyarakat melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sehingga bisa memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi yang lebih luas.

Dana Alokasi untuk Desa – DAu-Desa.

Yang dimaksud dengan DAu-Desa adalah dana yang merupakan bagian dari dana DAU yang diterima kabupaten, yang diberikan sebagai wujud dari pemerataan kebutuhan pengeluaran, guna menyokong proses-proses pemberdayaan masyarakat pedesaan. DAu-Desa tidak bisa diartikan atau bukanlah suatu upaya untuk memindahkan urusan kabupaten ke desa. Artinya, melalui gagasan ini tidak dimaksudkan untuk “membangun negara” di desa - Artinya desa tidak akan memindahkan keseluruhan layanan pusat dan kabupaten ke desa, seperti layanan kesehatan (misalnya mendirikan rumah sakit sendiri), layanan pendidikan (misalnya mendirikan sekolah-sekolah sendiri), dan seterusnya.

DAu-Desa ditetapkan berdasarkan proses politik antara kabupaten dan desa (melalui konsorsium badan perwakilan desa atau konsorsium desa-desa10), dengan melandaskan pada telah adanya kejelasan mengenai wilayah dan tugas layanan masing-masing. Apa yang dimaksudkan? Yakni memperjelas apa saja yang akan dilakukan kabupaten, dan apa saja yang bisa dilakukan oleh desa. Kejelasan mengenai beban kerja ini, tentu akan memperjelas kebutuhan anggaran dari masing-masingnya. Proses inilah yang hendak diproyeksikan sebagai “jalan untuk merealisasi perencanaan dari bawah”. Dengan ini bermakna bahwa masyarakat di lapis bawah dilibatkan dalam perencanaan

10

(23)

strategis.

DAu-Desa (masing-masing desa) ditetapkan dengan mempertimbangkan porsi dari desa yang bersangkutan. Jadi DAu-Desa tidakah ditetapkan melalui pembagian sama rata (atau jumlah DAu-Desa keseluruhan dibagikan dengan jumlah desa yang ada), melainkan bagian desa dihitung dengan porsi desa tersebut. Apa yang dimaksud dengan porsi desa tidak lain dari penghitungan empiris yang lebih seksama antara kebutuhan dan potensi desa. Kebutuhan desa diperhitungkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis dan potensi alam, dan tingkat pendapatan masyarakat serta jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Potensi desa adalah gambaran mengenai peluang penerimaan desa – baik dari sektor pertanian ataupun yang lain. Penghitungan sendiri diharapkan merupakan penghitungan yang melibatkan atau bahkan dilakukan sendiri oleh masyarakat desa.

Rumus-rumus yang diusulkan: Rumus I.

DAu-Desa adalah bagian dari DAU Kabupaten yang dibagikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal (desa) setempat. Pembagian berdasarkan bobot masing-masing desa – jadi bukan bagi rata. (lihat rumus 1).

Di = ∑Di x Bi

∑Di = λ x DK

Di adalah DAu suatu desa tertentu

∑Di adalah jumlah DAu-Desa seluruh kabupaten. Atau bagian untuk desa dari DAU Kabupaten.

Bi adalah bobot dari sebuah desa.

λ = konstanta yang ditentukan dari proses politik desa dan kabupaten – apakah 25%; 10% atau yang lain. Yang hendak diusulkan di sini bahwa nilai λ tidak boleh lebih besar dari 0.25.

Bobot DAU-Desa = Kebutuhan DAu-Desa Sebuah Desa : DAu-Desa se-Kab. Kebutuhan DAu-Desa sebuah desa = Kebutuhan Desa – Potensi Desa

Kebutuhan Sebuah Desa adalah rata-rata pengeluaran desa tersebut yang dikaitkan dengan kondisi setempat – seperti pertimbangan atas jumlah penduduk, luas wilayah, sumberdaya alam dan jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.

Potensi adalah pendapatan rata-rata desa yang dikaitkan dengan kondisi setempat – potensi industri, sumberdaya alam, manusia, dan lain-lain.

Rumus 2.

(24)

Dmi adalah bagian dari sebuah yang diperoleh dari pembagian jumlah dana minimal keseluruhan desa

dibagi dengan jumlah desa-desa yang ada di kabupaten. Rumusan kedua ini mirip dengan rumusan pertama, hanya saja ada perbedaan dalam porsi. Prinsip dari rumus kedua ini adalah adanya suatu batas minimal yang bisa diterima oleh desa, dalam hal ini disebut dengan Dm atau DAu-Desa minimal.

Selanjutnya sisa DAu-Desa untuk keseluruhan desa yang sudah dikurangi jumlah DAu-Desa minimal tersebut. Dengan rumus ini lebih dimungkinkan untuk melihat angka yang dibagi sama ke seluruh desa

Rumus 3.

Di = Dmi + Dpi + DIi

Hampir sama dengan rumus kedua, rumus ini lebih menekankan pembedaan pada beberap faktor – seperti adanya dana DIi atau dana untuk stimulan (rangsangan) bagi desa-desa yang berprestasi.

Segi penting yang hendak ditegaskan untuk keseluruhan rumus yang ada adalah bahwa desa tidak bisa mengabaikan begitu saja kenyataan bahwa kabupaten memang sudah menanggung beban warisan masa lalu. Oleh sebab itu, mengenai besaran dari DAu-Desa ini patut dipikirkan agar tidak menimbulkan suatu konflik yang tidak perlu.

Skema Mengenai Dana Perimbangan

Desentralisasi

Dekonsentrasi

Tugas Pembantuan

Propinsi

Kabupaten/

kota

Desa

(skema ini hendak menjelaskan mengenai perlunya suatu garis baru dalam “alokasi dana APBD”, yakni adanya garis desentralisasi sampai ke desa. Garis inilah yang merupakan perwujudan dari

APBN

APBD

(25)

gagasan mengenai dana perimbangan daerah desa. Adanya dana yang langsung dikelola oleh desa, akan menjadikan desa memiliki kapasitas yang cukup untuk mewujudkan otonomi desa).

Masalah Perwakilan Desa di Parlemen (DPRD) Kabupaten. Pembaruan Desa, sudah tentu tidak hanya berbicara masalah internal desa, melainkan juga mengkait dengan masalah-masalah di luar desa. Bagaimana pun, apa yang akan terjadi di desa, sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, dalam hal ini kebijakan dari institusi di atas desa. Desa sebagai wilayah di bawah Kabupaten, tentunya akan juga dipengaruhi oleh kebijakan yang dilahirkan oleh pihak kabupaten.

Masalahnya, apakah format politik yang ada, dengan skema perwakilan yang kini berjalan, telah dapat memberikan jaminan bagi tersalurkannya aspirasi desa? Di sinilah masalahnya. Perjalanan yang ada sekarang ini, sangat memperlihatkan bahwa aspirasi desa, masih belum sepenuhnya terwakili dalam proses politik di tingkat kabupaten. Terdapat kesan kuat dimana suara desa tidak terwakili, akibatnya banyak keputusan politik yang diambil kabupaten, belum mencerminkan apa yang dibutuhkan oleh desa.

Dengan kenyataan itulah, muncul suatu kebutuhan mengenai perlunya langkah terobosan untuk menempatkan wakil desa di parlemen kabupaten. Pertanyaan utamanya adalah apakah hal ini mungkin? Jika merujuk pada format politik yang ada, maka gagasan ini sangat sulit untuk dipahami. Gagasan ini sendiri, merupakan suatu respon atas kenyataan politik masa kini. Secara teknis, gagasan ini membutuhkan pemikiran yang lebih jauh, antara lain:

a. berapa jumlah dan siapakah yang dimaksud dengan wakil desa? Apakah melalui pengangkatan atau melalui pemilihan langsung;

b. apakah akan dikembangkan suatu sistem kuota, atau model dua kamar (ada semacam Dewan Perwakilan Desa sendiri, dan DPRD sendiri.

c. Apakah perwakilan desa diambil dari unsur BPD? d. Dan lain sebagainya.

Terdapat banyak kemungkinan yang bisa dikembangkan. Namun ide dasar yang hendak dikembangkan di sini adalah adanya mekanisme keterwakilan langsung desa dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kabupaten.

F. Rekomendasi Bagi Agenda Gerakan Pembaruan Desa (dan agraria)

(26)

ý

Konsolidasi paradigma – seluruh pihak yang bekerja untuk desa, diharapkan bisa membangun suatu sinergi, bukan saja dalam kepentingan ke dalam, melainkan untuk kepentingan ke luar – kalau ada yang memasang, dan ada yang membongkar kembali; kapan pembaruan akan berakhir. Konsolidasi paradigma dimaksudkan untuk mengembangkan suatu kerangka kerja bersama yang bisa menjadi rujukan bersama, dan sekaligus mengembangkan semacam “organisasi pemikiran” atau “kepemimpinan pemikiran” – yang dibangun melalui proses interaksi, komunikasi, kritik dan riset bersama. Paradigma lama yang sentralistik, mementingkan yang kuat, berpihak pada kelompok the have, haruslah diubah, dengan mengutamakan yang terbawah. Paradigma di depan adalah paradigma yang bertumpu, berpijak atau mengandalkan partisipasi yang terbawah. Konsolidasi paradigma bermakna perlunya usaha internal dari para pekerja perubahan (pembaruan), untuk melakukan interaksi, diskusi, perdebatan dan kritik, guna mengkristalisasi pemikiran yang berpijak dan berpihak.

ý

Konsolidasi gerakan – jaringan kerja atau badan-badan kerja. Saling jegal, saling tuding, saling silang yang tidak perlu, yang tidak mengarah pada pendalaman, malah pendangkalan, patut dipikirkan untuk dihindari. Untuk memikul beban perubahan, tidak mungkin dilakukan oleh satu dua orang saja, melainkan membutuhkan kerjasama dan kerja bersama yang intensif dan sungguh-sungguh. Suatu koalisi nasional untuk pembaruan desa, koalisi nasional BPD, koalisi nasional akar rumput, patut dibentuk untuk menjadi pemikul beban pembaruan. Jaringan pendukung pembaruan tidak harus dan tidak hanya Ornop (LSM), melainkan juga jurnalis, tenaga kesehatan, guru (tenaga pendidik), perempuan, tenaga kebudayaan, dan lain-lain.

ý

Konsolidasi aksi – tindakan-tindakan yang dibutuhkan, setidaknya dua hal, yakni: (1) penguatan basis – diantaranya penguatan pendidikan politik, fasilitasi pembentukan jaringan akar rumput, termasuk fasilitasi pembentukan jaringan BPD, dan lain-lain; dan (2) usaha perubahan kebijakan, dari tingkat lokal, sampai dengan tingkat nasional – usaha perubahan perda, revisi UU sampai dengan pembentukan TAP MPR mengenai pembaruan desa. Konsolidasi aksi diharapkan menjadi semacam garis kerja dari seluruh elemen, sehingga keseluruhan tindakan mengarah pada muara yang sama, dan tidak saling silang.

(27)

G. Catatan-catatan.

Reformasi pedesaan, untuk mengubah wajah desa dalam kerangka otonomi daerah masih berhadapan dengan kendala-kendala yang kompleks. Berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang lebih luas, sudah tentu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Kenyataan ini perlu pula dilihat sebagai suatu keharusan bahwa perubahan di pedesaan tidak mungkin hanya mengandalkan perubahan di desa, melainkan juga membutuhkan suatu perubahan kebijakan di semua level. Dengan semua kekuatan-kekuatan yang menghendaki perubahan signifikan di pedesaan, sangat mutlak mempertimbangkan berbagai masalah yang berkembang di semua lini. Usaha-usaha perubahan sendiri, sudah barang tentu harus mengandalkan sinergi dari berbagai kalangan. Namun demikian hendak ditegaskan di sini bahwa bagaimana pun arah perubahan yang memadai (mengenai sasaran) hanya mungkin akan terwujud jika benar-benar bisa mengandalkan prakarsa dari masyarakat pedesaaan sendiri. Jalan ke arah sana perlu dibuka oleh semua kalangan, termasuk perlunya kebijakan yang lebih memungkinkan partisipasi masyarakat pedesaan.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh (Cahyono & Ir. Lantip Trisunarno, 2012) dengan judul “Penerapan Metode Value Engineering pada Pengembangan

Lembaga Kemasyarakatan Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan sesuai peraturan

1 PDBI t Produk Domestik Bruto Rp Miliar Biro Pusat Statistik 2 CONS t Total konsumsi Rp Miliar Biro Pusat Statistik 3 CGOV t Konsumsi pemerintah Rp Miliar Biro

Pada tahun 2012 hingga tahun 2013, kemampuan perusahaan menghasilkan modal kerja bersih dari total aktiva mengalami penurunan karena kenaikan harga bahan baku dan

aktivitas ini adalah rasa tidak nyaman pada fisik penderita rheumatoid arthritis karena sendi yang kaku dan sakit.. Saat pasien mengeluh rasa lemah dan lelah pada dokter

Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran proses produksi adalah masalah keseimbangan lintasan produksi yang berawal dari adanya ketidakseimbangan penugasan kerja

Pada ed!a koros!#$ kegagalan ter)ad! pada tegangan apapun yang d!apl!kas!kan )!ka )ulah perulangan (ukup "esar. Koros! lelah dapat )uga.. Kesesua!an loga dengan

Keunggulan Economic Value Added (EVA) menurut Mulia (2002: 133), yaitu (1) memfokuskan pada nilai tambah dengan memperhitungkan beban sebagai konsekuensi investasi, (2)