• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kualitas Tidur Dengan Ansietas Pada Penderita Asma Bronkiale

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Kualitas Tidur Dengan Ansietas Pada Penderita Asma Bronkiale"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN KUALITAS TIDUR DENGAN ANSIETAS PADA PENDERITA ASMA BRONKIALE

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Dhiandra Dwi Hapsari G.0009058

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)
(3)

commit to user

b. Perubahan Kardiovaskuler dan Respirasi Selama Tidur ... 38

c. Kuantitas dan Kualitas Tidur... ... 39

d. Gangguan Tidur... ... 41

6. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)... 42

7. Hubungan Asma dengan Tidur ... 43

8. Hubungan Asma, Ansietas, dengan Tidur ... 46

B. Kerangka Pemikiran ... 48

A. Karakteristik Sampel Penelitian ... 59

1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kontinyu … ... .. 59

2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kategorikal ... 60

B. Analisis Bivariat ... 62

(4)

commit to user

ix

BAB V. PEMBAHASAN ... 65

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Simpulan ... 70

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(5)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit paru-paru yang sering dijumpai di masyarakat salah satunya adalah asma bronkiale. Asma bronkiale merupakan gangguan inflamasi kronik yang melibatkan banyak sel dan elemennya sehingga mengakibatkan peningkatan hiperesponsif jalan napas dan menyebabkan penderitanya mengalami gejala episodik berulang seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama di malam hari (PDPI, 2004).

Asma masuk dalam kategori lima besar penyakit paru utama menurut World Health Organization (WHO) dalam World Health Report tahun 2000 yang bertanggung jawab pada 17,4% kematian di dunia dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir meningkat menjadi 50%. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1986, asma menduduki urutan ke lima dan sepuluh penyebab morbiditas di Indonesia. Tahun 1992, asma bersama dengan emfisema dan bronchitis merupakan penyebab kematian ke empat di Indonesia atau sekitar 5,6% (PDPI, 2004).

Berdasarkan International Study on Asthma and Allergies in

Childhood di Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan prevalensi asma

(6)

commit to user

Kesehatan Dasar (Riskedas) pada tahun 2009 menunjukkan prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 4% yang mana dengan jumlah penduduk Indonesia 240 juta maka terdapat kurang lebih sekitar sepuluh juta penderita asma di Indonesia yang sebagian besar merupakan anak-anak. Selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir asma cenderung meningkat dengan kasus kematian yang diprediksi mencapai 20% pada sepuluh tahun mendatang. WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat 255.000 penderita asma meninggal di seluruh dunia.

Asma merupakan penyakit yang menurunkan kualitas hidup penderitanya. Laporan dari Journal of Allergy and Clinical Immunology

pada tahun 2003 menyatakan dari 3.207 kasus yang diteliti, 44%-51% mengalami batuk pada malam hari dalam sebulan terakhir bahkan 28,3% pasien merasakan terganggu tidurnya dalam satu minggu sekali. Adanya keterbatasan dalam menjalankan aktivitas fisik dirasakan 44,1% penderita asma sedangkan pada aktivitas sosial dirasakan oleh 38% penderita asma. Kurang lebih selama dua belas bulan terakhir 36,5% anak-anak dan 26,5% dewasa absen dari sekolah maupun pekerjaan. Survei pada tahun 2002 menunjukkan anak-anak dan dewasa penderita asma kehilangan 14,7 juta hari sekolah dan 11,8 juta hari kerja (Apter dan Weiss, 2008).

(7)

commit to user

eksitasi yang hebat dapat mencetuskan adanya serangan asma. Ansietas dapat mempengaruhi kondisi somatik seseorang yang dapat menimbulkan masalah pernapasan (asma, emfisema, maupun emboli paru) (Greist, 2000).

Pada Scientific Meeting in Psychosomatic tahun 2010 menunjukkan epidemiologi di Indonesia mengenai asma yang disebabkan ansietas mencapai angka 20% dari data klinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Didapatkan adanya pengaruh kuat dari ansietas pada serangan asma yang melibatkan berbagai faktor antara lain, psikodinamika, psikofisiologi, psikopatologi, dan psikoneuroimun endokrinologi. Ansietas akan mempengaruhi jalur Th-2 yang akan memicu reaksi inflamasi dan memperberat gejala serangan asma (Hamzah, 2010).

Seorang penderita asma sering mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur merupakan keadaan di mana individu mengalami suatu perubahan dalam kualitas dan kuantitas tidurnya sehingga menyebabkan rasa kurang nyaman. Hal ini dapat menimbulkan masalah kesehatan dikarenakan adanya penurunan daya tahan tubuh (Japardi, 2002). Secara fisiologis selama tidur terjadi perubahan kontrol respirasi sentral, resistansi saluran pernapasan, dan kontraktilitas otot. Adanya perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan masalah pada pasien yang mengalami obstruksi saluran pernapasan (American Thoracic Society, 2009).

(8)

commit to user

penurunan kualitas dan kuantitas tidur yang ditandai dengan berkurangnya lama tidur serta kondisi yang masih merasa belum segar ketika bangun (Suwitowati, 2007). Penelitian di negara Eropa menunjukkan kesulitan induksi tidur dan terbangun dini hari muncul dua kali lebih sering, serta rasa kantuk di siang hari 50% lebih sering pada pasien asma dibandingkan dengan orang normal. Menurut data Internasional of Sleep Disorder, insidensi gangguan tidur 61%-74% disebabkan oleh penyakit asma, 40%-50% oleh gangguan pada pusat pernapasan, 15% psikopsikologikal, 10% ketergantungan alkohol, 5% demensia, dan 1%-2% gangguan obstruksi saluran napas (Japardi, 2002).

Prevalensi gangguan tidur semakin lama semakin meningkat sesuai dengan peningkatan usia dan faktor penyebabnya. Tiap tahunnya 20%-40% orang dewasa mengalami gangguan tidur dan 17% di antaranya merupakan masalah serius (Japardi, 2002). Data dari National Highway

Traffic Safety Administration memperkirakan 71.000 kecelakaan dan

1.500 kematian pertahun berkaitan dengan rasa kantuk (George dan Kryger, 2008).

(9)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

“Adakah hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui adanya hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale.

.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale.

b. Penelitian ini diharapkan dapat melatih kemampuan dan

meningkatkan pengetahuan penulis dalam bidang penelitian. 2. Manfaat aplikatif

(10)

commit to user

(11)

commit to user

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Asma Bronkiale

a. Definisi

Asma bronkiale didefinisikan oleh Global Initiative for

Asthma (GINA, 2011) sebagai suatu gangguan saluran

pernafasan kronik disebabkan hiperresponsifnya saluran pernafasan oleh karena paparan berbagai faktor pencetus. Faktor pencetus asma dapat berupa bahan-bahan alergen seperti debu rumah, bulu binatang, maupun berupa, asap rokok, bahan kimia, obat-obatan seperti aspirin dan beta blocker serta tingkat emosional seseorang. Adanya faktor-faktor ini dapat menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, dan meningkatnya sel-sel inflamasi yang dapat menimbulkan serangan asma.

Adapun menurut, Guidelines for the Diagnosis and

Management Asthma oleh National Heart, Lung, and Blood

Institute pada tahun 2003, asma didefinisikan sebagai gangguan

(12)

commit to user

sesak nafas yang berulang, obstruksi aliran udara, dan peradangan bronkhial dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.

Gambaran khas asma bronkial berupa sesak napas

(dyspnea) dan napas berbunyi (wheezing) adalah keluhan yang

diakibatkan oleh penyempitan (obstruction) saluran pernapasan (Kabat, 2004). Pada saat gejala asma muncul lebih buruk dari biasanya disebut dengan episode asma atau serangan asma (Fadden, 2005).

b. Patogenesis

Patogenesis dan etiologi asma masih berkembang dan mengalami evaluasi hingga saat ini. Namun, belum ada jawaban definitif mengenai hal ini. Berbagai teori menerangkan tentang kepekaan yang tinggi dari saluran pernapasan sebagai bentuk respon pertahanan normal saluran napas. Adanya respon ini mengakibatkan reaksi abnormal jaringan saluran pernapasan yang kemungkinan diakibatkan pengaruh imunologik maupun adanya gangguan keseimbangan neurohormonal (Kabat, 2004). Adanya faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa muda (Busse dan Lemanske, 2001; Stempel, 2003).

(13)

commit to user

(14)

commit to user Sumber: GINA, 2002

Pengaruh perubahan neurohormonal terjadi akibat aktivitas reseptor adrenergik. Pada jaringan paru terdapat dua tipe reseptor adrenergik yaitu α dan β reseptor. Rangsangan β reseptor akan

mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi mukus sedangkan rangsangan α akan mengakibatkan bronkokonstriksi. Pada individu normal, tonus saluran napas dalam keseimbangan antara bronkodilatasi karena rangsangan β-adrenergik dan

(15)

commit to user

kolinergik yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal (Kabat, 2004).

c. Patofisiologi

Penderita asma pada saluran pernapasannya sangat peka terhadap rangsangan berupa bahan iritan, zat kimia, maupun kegiatan fisik. Adapun kelainan yang sering terjadi pada penderita asma antara lain:

1) Obstruksi saluran napas

Penyempitan saluran pernapasan akibat inflamasi saluran pernapasan maupun peningkatan tonus otot polos bronkhioler dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Penyempitan saluran napas menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi, dan hiperesponsivitas bronkus (Price dan Wilson, 2004).

2) Hiperesponsivitas saluran napas

Mekanisme hiperesponsivitas saluran napas belum jelas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di peribronkial akan menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos (Rahmawati et al, 2003).

3) Hipersekresi mukus

(16)

commit to user

mengurangi gerak silia, menyebabkan inflamasi, dan kerusakan fungsi epitel (Donno et al, 2000).

4) Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan gambaran umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan bronkokonstriksi (inciter) seperti latihan, udara dingin, dan rangsangan inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat, dan infeksi saluran napas (GINA, 2006). 5) Asma nokturnal

Penderita asma nokturnal memiliki gejala yang khas yaitu terbangun antara jam 3 dan 5 pagi dengan batuk, mengi, sesak, dan tidak dapat tidur kembali tanpa bantuan bronkodilator aerosol. Faktor pencetus lain seperti refluks gastroesofagus, pendingin, tidur, maupun berkurangnya pembersihan mukus (Pelly, 1992).

6) Analisis gas darah

Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas. Derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi (Price dan Wilson, 2004).

d. Faktor Risiko

(17)

commit to user

terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger factor atau faktor pencetus. Berdasarkan GINA (2010), Danusaputro (2000), Handayani, dkk. (2004), dan Sundaru dan Sukamto (2006) faktor risiko yang berhubungan dengan berkembangnya asma, antara lain:

1) Faktor predisposisi a) Atopi

b) Jenis kelamin c) Ras

2) Faktor kausal

a) Alergen dalam ruangan (tungau debu rumah) b) Alergen luar ruangan (jamur, binatang) c) Obat-obatan (aspirin, NSAID)

3) Faktor kontribusi

a) Merokok aktif dan/atau pasif (1) Perokok pasif

(18)

commit to user

mengi) dan naiknya risiko asma maupun serangan asma (Venable, 1985; Chilmonsyzk, 1993). Beberapa penelitian menunjukkan risiko munculnya asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% Cl 1,41-5,74) (Danusaputro, 2000).

(2) Perokok aktif

Merokok dapat meningkatkan risiko berkembangnya asma. Hal ini disebabkan pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja (Danusaputro, 2000). b) Polusi udara

c) Infeksi saluran udara

Adapun faktor risiko yang berhubungan dengan eksaserbasi atau serangan asma, antara lain:

1) Asap rokok

(19)

commit to user 2) Tungau debu rumah

Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran napas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1-0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vita, 2005). Debu dapat berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dapat dari tumpukkan koran, buku, maupun pakaian lama (Danusaputro, 2000; Purnomo, 2008).

3) Jenis kelamin

(20)

commit to user

pada usia 14 tahun (Amu dan Yunus, 2006). Peningkatan risiko pada anak laki-laki kemungkinan disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respons bernapas. Adanya hipotesis yang menunjukkan tidak ada perbedaan rasio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan oleh perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi daripada perempuan mengalami perubahan dimana angka prevalensi pada anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada perempuan (GINA, 2006; Purnomo, 2008).

4) Binatang piaraan

(21)

commit to user

menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui (Purnomo, 2008).

5) Jenis makanan

Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin

(monosodium glutamate/MSG) juga dapat memicu

serangan asma (Handayani, dkk., 2004). Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi fatal adalah kacang, ikan laut, dan telur (Handayani, dkk., 2004). Alergi makanan sering tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokonstriksi pada 2%-5% anak dengan asma (Ramailah, 2006; Purnomo, 2008). 6) Perabot rumah tangga

Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formaldehid,

Volatile Organic Compounds (VOC), combustion products

(22)

commit to user

asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furniture, karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust selain akan menyebabkan ketidaknyamanan juga akan menyebabkan reaksi peradangan paru (Purnomo, 2008).

7) Perubahan cuaca

(23)

commit to user 8) Riwayat penyakit keluarga

Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma apabila anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua menderita asma (Sundaru dan Sukamto, 2006). Faktor ibu lebih kuat dalam menurunkan asma jika dibandingkan dengan bapak (Manfaati, 2004). Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih apabila anak alergi terhadap tungau debu rumah. Erlich dkk. (1996) menginformasikan adanya hubungan bermakna antara asma dengan riwayat penyakit keluarga (OR 2,77%: 95% CI = 1,11-2,48) (Purnomo, 2008).

9) Aktivitas fisik

Sebagian penderita asma akan merasakan serangan asma ketika melakukan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu

(24)

commit to user e. Diagnosis

Indikator-indikator yang dipergunakan untuk menegakkan diagnosis asma antara lain:

1) Mengi (wheezing)

Pada asma ringan, mengi dapat terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Namun, pada asma berat, mengi dapat terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi biasa.

2) Memiliki riwayat: a) Mengi berulang b) Sesak napas berulang c) Rasa berat di dada berulang

d) Batuk yang memburuk pada malam atau dini hari

3) Penyempitan saluran napas yang reversible dan variasi diurnal

Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter. Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang diukur pada pagi hari (sebelum inhalasi agonis β2) dan malam hari (setelah inhalasi agonis β2)

menunjukkan perbedaan ≥ 20%.

4) Gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus 5) Gejala terjadi memburuk malam hari dan menyebabkan

(25)

commit to user f. Klasifikasi asma

Secara klinis menurut GINA (2011), klasifikasi asma dibedakan atas tiga macam, yaitu, asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol.

1) Asma terkontrol

a) Gejala harian tidak ada (≤ 2 kali perminggu) b) Tidak ada pembatasan aktivitas

c) Gejala nokturnal/gangguan tidur tidak ada d) Kebutuhan akan reliever/terapi rescue tidak ada e) Fungsi paru (PEF atau FEV1) normal

f) Eksaserbasi tidak ada 2) Asma terkontrol sebagian

a) Gejala harian > 2 kali perminggu

b) Pembatasan aktivitas sewaktu-waktu dalam seminggu c) Gejala nokturnal/gangguan tidur sewaktu-waktu dalam

seminggu

d) Kebutuhan akan reliever/terapi rescue≥ 2 kali perminggu

e) Fungsi paru (PEF atau FEV1) < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur)

f) Eksaserbasi sekali atau lebih dalam setahun 3) Asma tidak terkontrol

(26)

commit to user

b) Eksaserbasi sekali dalam seminggu

Sedangkan, dalam penelitian dapat menggunakan derajat asma yang ditentukan oleh gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β2 agonis, dan uji faal paru) serta obat pengontrol (jenis,

kombinasi, dan frekuensi pemakaian). Berdasarkan GINA tahun 2006, klasifikasi derajat berat asma adalah sebagai berikut: 1) Asma intermitten

a) Gejala < 1x/minggu b) Serangan singkat

c) Gejala pada malam hari ≤ 2 kali sebulan

d) VEP1≥ 80% nilai prediksi atau APE ≥ 80% nilai terbaik e) Variabilitas APE < 20%

2) Asma persisten ringan a) Gejala > 1x/minggu

b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur c) Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

d) VEP1≥ 80% nilai prediksi atau APE ≥ 80% nilai terbaik e) Variabilitas APE 20%-30%

3) Asma persisten sedang a) Gejala setiap hari

(27)

commit to user

d) VEP1 60%-80% nilai prediksi atau APE ≥ 80% nilai terbaik

e) Variabilitas APE > 30% 4) Asma persisten berat

a) Gejala setiap hari b) Serangan terus-menerus c) Gejala pada malam hari sering d) Terjadi pembatasan aktivitas fisik

e) VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau APE ≤ 60% nilai terbaik f) Variabilitas APE > 30%

2. Ansietas

a. Definisi

Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang berlebihan tidak pada tempatnya yang ditandai dengan perasaan bersalah, tidak menentu, maupun takut (Maramis, 2009). Kecemasan merupakan sinyal adanya bahaya pada ketidaksadaran (Sadock, 2010).

(28)

commit to user

seumur hidup 19,2%). Dalam studi epidemiologi dan sampel klinis kurang lebih dua pertiga individu yang menderita kecemasan adalah perempuan (Barlow dan Durand, 2006).

b. Etiologi

Terjadinya kecemasan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologis, faktor emosional kognitif, pengalaman hidup, obat-obatan, keadaan medis, pasca kejadian trauma, faktor sosial, maupun faktor psikologis.

1) Faktor biologis

Kerentanan yang diturunkan untuk mengalami kecemasan dan aktivitas sirkuit-sirkuit otak, neurotransmitter, dan sistem neurohormonal tertentu (Barlow dan Durand, 2006). Orang tua yang memiliki gangguan neurotik cenderung akan mewariskan sifat tersebut pada perkembangan kepribadian anaknya (Maramis, 2005; Fricchione, 2004).

2) Faktor emosional kognitif

Sensitivitas meningkat terhadap situasi atau orang-orang yang dipersepsikan sebagai ancaman (Barlow dan Durand, 2006).

3) Pengalaman hidup

(29)

commit to user

akan menyebabkan individu mudah mengalami rasa cemas (Fricchione, 2004).

4) Obat-obatan

Obat-obatan seperti amfetamin, kokin, dan kafein juga obat serotonergik (LSD, MDMA), kortikosteroid, ginseng, rokok, dan alkohol dapat menyebabkan seseorang mengalami sindrom kecemasan akut maupun kronis (Sadock, 1997). 5) Keadaan medis

Kecemasan juga sering menyertai gangguan neurologis, gangguan endokrin, gangguan kardiovaskuler, defisiensi vitamin B12, hipoglikemi, dan depresi (Sadock, 1997). Ansietas yang disebabkan oleh keadaan medis cenderung dialami seseorang pada usia 35 tahun (Fricchione, 2004). 6) Pasca kejadian trauma

(30)

commit to user 7) Faktor sosial

Kurangnya dukungan sosial akan meningkatkan potensi timbulnya kecemasan pada seseorang (Barlow dan Durand, 2006).

8) Faktor psikologis

Kecemasan merupakan salah satu kondisi sebagai antisipasi untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang (Semiun, 2010).

c. Patofisiologi

Kecemasan merupakan respon dari persepsi terancam yang diterima oleh Sistem Saraf Pusat (SSP) akibat adanya rangsangan berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsang tersebut kemudian akan dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan, dan direspon oleh cortex cerebri menuju ke sistem limbik ke reticular activating system kemudian ke hipotalamus yang memberikan impuls ke kelenjar adrenal yang akan memacu sistem saraf otonom melalui mediator yang lain.

(31)

commit to user d. Gejala

Seseorang yang mengalami kecemasan memiliki karakteristik fisik, gelisah, gugup, gemetar, banyak berkeringat, pening, mengalami kesulitan dalam berbicara, jantung berdebar kencang, suara bergetar, merasa cemas, panas dingin, wajah terasa merah, dan mudah marah. Orang cemas akan cenderung memiliki perilaku menghindar, khawatir, sulit dalam berkonsentrasi, perasaan terganggu, dan merasa lebih sensitif (Nevid, 2005).

d. Jenis-jenis

Klasifikasi gangguan kecemasan menurut Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) antara lain

berupa kecemasan umum, kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis, serangan panik, agorafobia (rasa takut sendirian di tempat umum atau tempat sulit untuk keluar) dengan atau tanpa riwayat panik, panik dengan atau tanpa agorafobia, spesifik fobia, fobia sosial, obsesif kompulsif, post traumatic

stress disorder, dan stres akut (Sadock, 2010; Murtagh, 2003).

Berdasarkan Diagnosis Gangguan Jiwa, PPDGJ III (Maslim, 2003) gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan yang terkait dengan ansietas terbagi atas tujuh, antara lain:

1) Gangguan Ansietas Fobik

(32)

commit to user 1) Tanpa gangguan panik 2) Dengan gangguan panik b) Fobia sosial

c) Fobia khas (terisolasi)

d) Gangguan ansietas fobik lainnya

e) Gangguan ansietas fobik yang tidak tergolongkan 2) Gangguan Ansietas lainnya

a) Gangguan panik (ansietas paroksismal episodik) b) Gangguan ansietas menyeluruh

c) Gangguan campuran ansietas dan depresif d) Gangguan ansietas campuran lainnya e) Gangguan ansietas lainnya yang ditentukan f) Gangguan ansietas yang tidak tergolongkan 3) Gangguan Obsesif –Kompulsif

4) Reaksi terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian 5) Gangguan Disosiatif (Konversi)

6) Gangguan Somatoform

7) Gangguan Neurotik lainnya e. Diagnosis

(33)

commit to user

anamnesa yang dilakukan dengan pasien, kecuali jika seseorang tersebut mengalami gangguan organik (Murtagh, 2003). Berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, fitur-fitur kecemasan meliputi antara lain:

1) Kecemasan dan kekhawatiran eksesif selama enam bulan atau

lebih akan sejumlah kejadian atau aktivitas 2) Kesulitan dalam mengontrol kekhawatiran

3) Menunjukkan minimal tiga di antara gejala-gejala, antara lain:

a) Kegelisahan atau perasaan tegang b) Menjadi mudah lelah

c) Sulit dalam berkonsentrasi d) Iritabilitas

e) Ketegangan otot dan mengalami kualitas tidur yang buruk

4) Distress yang signifikan

5) Kecemasan tidak terbatas akan sebuah isu tertentu (Barlow dan Durand, 2006).

1. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)

(34)

commit to user

jawabannya memperhatikan dua hal, yaitu butir-butir pernyataan yang sesuai dengan kecemasan atau favourable dan butir-butir pernyataan yang tidak sesuai dengan kecemasan atau unfavourable

(Sudiyanto, 2003).

Adapun butir-butir pernyataan yang sesuai pada keadaan kecemasan atau pertanyaan favourable terdapat 35 butir antara lain nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 4, 45, 46, 47, 48, dan 49. Sedangkan butir-butir pernyataan yang tidak sesuai dengan keadaan kecemasan atau pertanyaan unfavourable terdapat 15 butir antara lain nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, dan 50 (Sudiyanto, 2003).

(35)

commit to user

Instrumen pengukur dapat dikatakan memiliki validitas tinggi bila dapat menjalankan sesuai dengan fungsi ukurnya dan memberikan hasil pengukuran yang sesuai dengan maksud pengukuran. Kuesioner TMAS mempunyai derajat validitas yang cukup tinggi. Akan tetapi, hal ini dipengaruhi oleh kejujuran dan ketelitian responden dalam mengisi kuesioner TMAS (Azwar, 2009).

Kriteria tingkat cemas berdasarkan skor TMAS oleh Stuart dan Sunden tahun 1998 adalah:

a. Skor TMAS ≤ 21 (0- <50% nilai TMAS) tidak cemas b. Skor TMAS 22-25 (50% nilai TMAS) cemas ringan c. Skor TMAS 26-38 (51%-75% nilai TMAS) cemas sedang d. Skor TMAS 39-50 (>75%-100% nilai TMAS) cemas berat

2. Hubungan Asma dengan Ansietas

(36)

commit to user

Gangguan kecemasan dapat meningkatkan jumlah serangan asma. Keadaan frustasi, tegang, cemas, takut, eksitasi yang hebat dapat mencetuskan timbulnya serangan asma. Ansietas dapat mempengaruhi kondisi somatik seseorang yang salah satunya dapat menimbulkan adanya masalah pernapasan misalnya asma, emfisema, emboli paru (Greist, 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wayne J. Katon et al. (2004) menunjukkan seseorang yang memiliki riwayat asma dipengaruhi pula oleh gangguan kecemasan. Studi hasil pada remaja dengan asma, sepertiga mengalami ansietas, sedangkan pada orang dewasa kurang lebih berkisar 6,5%-24%. Serangan asma disebabkan oleh ansietas dapat melalui berbagai mekanisme antara lain:

a. Mekanisme kolinergik

(37)

commit to user

pelepasan asetilkolin akan terhambat, sedangkan apabila pada reseptor M3 akan terjadi bronkokonstriksi (Widiyawati, 2004). b. Sistem endokrin

Ansietas menyebabkan hiperesponsif axis Hypothalami Pituitary

Adrenocortical (HPA axis) sehingga kadar kortisol dalam darah

akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan penurunan sistem imun individu dan berhubungan dengan kelainan inflamasi sehingga pada beberapa penderita asma dapat menyebabkkan timbulnya eksaserbasi asma (Widiyawati, 2004).

c. Sistem imunologi

(38)

commit to user

3. Tidur

a. Fisiologi

Tidur merupakan keadaan bawah sadar di mana seseorang dapat dibangunkan dengan diberikan rangsangan sensorik ataupun dengan pemberian rangsangan lainnya (Guyton dan Hall, 1997). Orang dewasa membutuhkan waktu kurang lebih sekitar tujuh setengah jam tiap malam untuk tidur (Kaplan dan Sadock, 2000). Saklar untuk tidur adalah nucleus preoptik ventrolateral (VLPO) di hipotalamus anterior. Area ini akan aktif saat tidur dan menggunakan neurotransmitter inhibisi GABA dan galanin untuk memulai tidur dengan menghambat daerah rangsangan otak. Nukleus VLPO akan menghambat daerah bangun. Neuron

hypocretin di hipotalamus lateral membantu menstabilkan saklar

ini. Jatuh tertidur merupakan hasil dari pemutusan fungsional antara batang otak dan thalamus rostral dengan korteks otak (Pinzon, 2010).

Pada orang dewasa, tahapan tidur dibagi menjadi tidur

Rapid Eye Movement (REM) dan tidur Non Rapid Eye Movement

(39)

commit to user

darah tubuh akan bergerak tenang dan teratur. Pada tahap ini seseorang akan mengalami empat macam tahapan, tidur ringan, tidur sebenarnya, tidur lebih pulas, dan tidur terpulas. Adapun tidur REM (gerakan mata cepat) merupakan tidur dimana seseorang mengalami mimpi. Pada saat tahap ini denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah umumnya berlangsung lebih aktif, cepat, dan tidak teratur (Anonim, 2011). Umumnya, empat sampai enam siklus NREM-REM terjadi tiap malam (Guyton dan Hall, 1997).

Fisiologi tidur dapat diterangkan melalui gambaran aktivitas sel-sel otak selama tidur. Aktivitas tersebut dapat direkam menggunakan alat elektroenchephalography (EEG). EEG merupakan prosedur pencatatan aktifitas listrik otak yang nantinya dapat dilihat beberapa macam bentuk gambaran gelombang, alfa, beta, teta, dan delta.

(40)

commit to user

2) Gelombang beta merupakan gelombang dengan frekuensi 14 Hz atau lebih dan amplitudo gelombang kecil rata-rata 25 mV. Gambaran glombang beta yang terjelas didapatkan pada daerah frontal. Gelombang ini merupakan gelombang dominan pada keadaaan jaga terutama apabila mata terbuka. Pada keadaaan REM juga muncul gelombang beta (Musadik, 1988).

3) Gelombang teta merupakan gelombang dengan frekuensi antara 4-7 Hz dengan amplitudo gelombang bervariasi. Gelombang teta dengan amplitudo rendah tampak pada keadaan jaga pada anak-anak sampai usia 25 tahun dan usia lanjut di atas 60 tahun. Pada keadaan normal orang dewasa, gelombang teta muncul pada keadaan tidur (stadium 1,2,3,4) (Musadik, 1988).

4) Gelombang delta merupakan gelombang dengan frekuensi

antara 0-3 Hz dengan amplitudo serta lokalisasi yang bervariasi. Pada keadaan normal gelombang delta muncul pada keadaan tidur (stadium 2,3,4) (Musadik, 1988).

Adapun tahapan tidur normal, antara lain:

(41)

commit to user

disertai dengan peningkatan rasa kantuk (Kaplan dan Sadock, 2000).

b) Tahap 1 adalah tahap permulaan tidur yang ditunjukkan dengan transisi singkat dari periode sadar menuju tidur. Pada tahapan ini didapatkan amplitudo rendah dan aktivitas beta dan theta lebih lambat (4-7 siklus per detik). Tahap ini merupakan 5% dari total periode ketika tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).

c) Tahap 2 adalah tahap yang didominasi oleh aktivitas theta dan dicirikan dengan sleep spindles berupa ritme gelombang komplek K yang berbentuk tajam, negatif, gelombang EEG tegangan tinggi, diikuti yang lebih lambat. Tahap ini merupakan 45%-55% dari total periode ketika tidur (Kaplan dan Sadock, 2000).

d) Tahap 3 memiliki ciri berupa 20%-50% aktivitas

gelombang delta tegangan tinggi dengan frekuensi 1-2 siklus per detik, disertai dengan peningkatan tonus otot seperti halnya pada tahap 2 tetapi tidak disertai dengan gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).

(42)

commit to user

sleep. Tahapan ini merupakan 15%-20% waktu tidur

(Kaplan dan Sadock, 2000).

Urutan tahapan tidur selama siklus tidur awal dimulai dengan tahap NREM 1, 2, 3, 4, 3, dan 2 kemudian tahap REM. Dewasa muda dari bangun sampai tahap NREM membutuhkan waktu kira-kira 90 menit sebelum periode REM pertama yang disebut dengan REM latency (Kaplan dan Sadock, 2000). Periode REM dan REM berikutnya lebih pendek pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi, periode REM muncul setiap 50-60 menit selama waktu tidur bayi dan secara bertahap meningkat dengan panjang siklus 70-100 menit selama masa dewasa (Saisan et al., 2008).

b. Perubahan kardiovaskuler dan respirasi selama tidur

(43)

commit to user

progresif dari stadium 1 ke stadium 2, 3, dan 4 fase tidur NREM (Bradley dan Phillipson, 2005).

Setelah stadium slow wave sleep terlewati, input respirasi mekanik berkurang dan pernapasan lebih diatur oleh sistem kontrol metabolik. Volume ventilasi per menit berkurang 1-2 L per menit, PCO2 artei meningkat 2-8 mmHg, dan PO2 arteri menurun 5-10 mmHg dibandingkan saat keadaan terjaga (Bradley dan Phillipson, 2005).

c. Kuantitas dan kualitas tidur

Kuantitas tidur merupakan total waktu individu tidur, sedangkan kualitas tidur seseorang menunjukkan kemampuan individu untuk tetap tertidur dan mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (George dan Kryger, 2008). Keduanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

1) Umur

(44)

commit to user 2) Rutinitas harian dan motivasi tidur

Semakin variatifnya rutinitas juga akan mempengaruhi aktivitas tidur. Seseorang yang bekerja shift malam dapat mengalami kesulitan dalam tidur. Berdasarkan siklus sirkadian, tubuh akan mempersiapkan untuk tidur di malam hari dengan menurunkan suhu tubuh dan melepaskan hormon melatonin. Hasrat untuk tetap terjaga dan siaga membantu mengatasi rasa kantuk dan tidur (Neubauer, 1999).

3) Aktivitas fisik dan latihan

Aktifitas fisik akan meningkatkan kelelahan dan mempromosikan relaksasi tidur. Berdasarkan Division of

Sleep Medicine Harvard University tahun 2007, aktifitas fisik

meningkatkan fase tidur REM dan NREM. 4) Kebiasaan konsumsi

(45)

commit to user

waktu yang singkat (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

5) Faktor lingkungan dan budaya

Lingkungan baru dapat mempengaruhi aktivitas tidur REM dan NREM. Budaya, keyakinan, dan kebiasaan seorang individu ikut dapat mempengaruhi aktivitas tidur (Kaplan dan Sadock, 2000; Saisan et al., 2008).

6) Stres psikologis dan ansietas

Stres psikologis dapat membuat seseorang mendapatkan kebutuhan tidur yang kurang. Ansietas dan stres juga dapat menurunkan jumlah fase tidur REM (Saisan et al., 2008). 7) Faktor penyakit

Seseorang yang memiliki kondisi medis kurang baik juga dapat menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan akan tidur. Faktor penyakit seperti hipertensi, stroke, kejang nokturnal, penyakit refluk gastroesofagus, maupun penyakit Parkinson dapat membatasi kedalaman tidur maupun episode singkat terbangun (Kaplan dan Sadock, 2000; Saisan et al., 2008). d. Gangguan tidur

International Classification Disorder (ICDS) dan DSM IV

(46)

commit to user

berdasarkan penyebabnya, gangguan tidur diklasifikasikan menjadi empat, antara lain:

1) Gangguan tidur primer (disomnia dan parasomnia), 2) Gangguan tidur karena kelainan mental,

3) Gangguan tidur karena kondisi medis umum, dan 4) Substansi penginduksi gangguan tidur (Durand, 2007).

ICSD membagi gangguan tidur berdasarkan hipoventilasi yaitu gangguan tidur terkait hipoventilasi alveolar nonobstruktif idiopatik, congenital central alveolar hypoventilation syndrome, gangguan tidur terkait hipoventilasi karena patologi jaringan parenkim paru atau vascular, gangguan tidur terkait hipoventilasi karena obstruksi saluran napas bawah, gangguan tidur terkait hipoventilasi karena kelainan dinding dada dan neuromuscular (Casey et al., 2007).

6. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

(47)

commit to user

obat-obat tidur, dan disfungsi pada siang hari. PSQI mengalami revisi pada sistem penilaian pada tahun 2005 (Rush et al., 2000; Busse, 1998).

PSQI tersusun atas 19 pertanyaan. Lima belas pertanyaan pilihan ganda untuk diri sendiri menanyakan frekuensi gangguan tidur dan kualitas tidur subjektif serta empat pertanyaan uraian menanyakan tentang jam tidur, jam bangun, masa laten tidur, dan durasi tidur. Lima pertanyaan untuk teman sekamar atau pasangan tidur merupakan soal pilihan ganda yang berfungsi untuk menilai gangguan tidur. Adapun pertanyaan diri sendiri saja yang dihitung dalam skor (Busse, 1998).

Setiap komponen pertanyaan mempunyai rentang nilai antara 0 sampai dengan 3. Nilai 0 berarti jika seseorang tidak mengalami kesulitan sedangkan nilai 3 merupakan nilai maksimum untuk kesulitan yang berat. Tiap komponen dijumlahkan dan menghasilkan nilai total yang berkisar antara 0-21. Total nilai PSQI > 5 menunjukkan seseorang mengalami kualitas tidur buruk. Hal ini signifikan dengan sensitivitas diagnostik 89,6% dan spesifitas 86.55 (kappa = 0,75; p < 0.001) (Backhause et al., 2002; Buysse, 1989).

7. Hubungan Asma dengan Tidur

(48)

commit to user

Janson et al. (1990) dan Bhagat et al. (1997) menyatakan seseorang yang menderita asma memiliki kualitas tidur buruk jika dibandingkan dengan orang normal. Majde dan Kruger (2005) menyatakan hubungan yang belum jelas antara keduanya, apakah gejala asma yang mengganggu tidur atau sebaliknya kualitas tidur buruk yang menimbulkan efek pada gejala asma. Chung et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan hubungan antara kualitas tidur buruk dengan peningkatan gejala asma.

Adanya gangguan respirasi selama tidur NREM akan mengganggu periode siklus normal REM sepanjang malam. Hal ini akan mencegah progesivitas dan mengurangi jumlah tidur REM yang berakibat tidur akan kurang nyenyak dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebih. Gangguan tidur akibat masalah pernapasan akan menunjukkan index apnea, hipopnea, derajat pemutusan tidur, dan derajat hipoksemia nokturnal yang berhubungan dengan peningkatan rasa kantuk pada siang hari dan dapat diukur menggunakan Multiple

Sleep Latency Test secara independent (Punjabi et al., 2002).

(49)

commit to user

resistensi saluran pernapasan bawah meningkat secara progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Fungsi paru dan responsivitas saluran napas bervariasi sesuai dengan ritme sirkadian dengan titik terendah dalam fungsi paru terjadi kurang lebih jam 4 pagi. Jumlah sel inflamasi dan level mediator inflamasi pada paru meningkat selama malam hari (Martin dan Schlegel, 1998).

Penderita asma sering mengalami rasa kantuk pada siang hari

(daytime sleepiness) dan sulit jatuh tertidur atau terbangun lebih awal

jika dibandingkan dengan orang normal. Pada pasien asma nokturnal menunjukkan adanya penurunan efisiensi tidur dan meningkatkan frekuensi terbangun. Variasi sirkadian dan fisiologi saluran napas pada beberapa pasien asma akan menyebabkan timbulnya sleep

disorderd breathing antara tengah malam sampai jam 8 pagi (Janson

et al., 1996; Bender dan Leung, 2005).

(50)

commit to user

8. Hubungan Asma, Ansietas, dengan Tidur

(51)

commit to user

dengan asma nokturnal. Adanya serangan ini akan menimbulkan gangguan tidur pada penderita asma. Gangguan saluran pernapasan pada penderita asma akan mengganggu periode siklus normal REM sepanjang malam. Hal ini akan mengakibatkan seseorang akan mudah mengalami daytime sleepiness pada siang hari dan penurunan akan kuantitas dan kualitas tidur (Janson et al., 1996, Punjabi et al., 2002, Bender dan Leung, 2005). Berdasarkan data International of

Sleep Disorder, insidensi gangguan tidur 61%-74% disebabkan oleh

(52)

commit to user

menyebabkan gangguan tidur,

Gangguan tidur akibat zat

Emosional kognitif, Pengalaman hidup,

Obat-obatan, Keadaan medis, Pasca

kejadian trauma, Sosial, Psikologis

Serangan asma (mengi, batuk, sesak napas dan dada tertekan)

(53)

commit to user

C.Hipotesis

(54)

commit to user

50 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2008).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pada bulan April - Mei 2012.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi Penelitian

Semua pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan April - Mei 2012.

2. Sampel Penelitian

(55)

commit to user 3. Kriteria Subjek Penelitian

a. Kriteria Inklusi:

1) Pasien berumur 18 tahun ke atas

2) Didiagnosis menderita asma oleh Dokter Ahli Paru di RSUD Dr. Moewardi

3) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani

informed consent

4) Pasien asma dengan pendidikan terakhir minimal SMP

b. Kriteria Eksklusi:

1) Tidak ada eksaserbasi dalam waktu satu bulan terakhir 2) Menderita penyakit lain dengan diagnosis banding asma 3) Menderita penyakit berat dan kronis maupun kelainan jiwa

berat

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling

yaitu purposive sampling di mana setiap yang memenuhi kriteria di atas dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu yang ditetapkan. Jenis purposive sampling yang akan digunakan adalah

fixed-exposure sampling. Fixed exposure sampling merupakan skema

(56)

commit to user

diduga mempengaruhi terjadinya penyakit, sedangkan status penyakit subjek bervariasi mengikuti status paparan subjek (Murti, 2006). Sampel yang sesuai dengan kriteria di atas menggunakan n = 30 tiap masing-masing kelompok sampel. Penentuan n = 30 didasarkan atas

Rule of Thumb” atau patokan dasar umum, setiap penelitian yang

(57)

commit to user

E. Alur Penelitian

Keterangan :

TMAS = Taylor Manifest Anxiety Scale

PSQI = Pittsburgh Sleep Quality Index

Mengisi

Analisis bivariat Uji Chi Square

(58)

commit to user

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Ansietas menurut kriteria TMAS 2. Variabel tergantung : Kualitas tidur menurut kriteria PSQI 3. Variabel perancu :

a. Terkendali : Umur, penyakit dengan diagnosis

banding asma, gangguan medis lain yang dapat menyebabkan gangguan tidur, gangguan tidur akibat zat

b. Tidak Tekendali : Subjektivitas responden dalam mengisi kuesioner

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Ansietas menurut kriteria Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) a. Definisi: Kategori ansietas adalah pasien dengan skor TMAS >

21, sedangkan kategori tanpa ansietas adalah pasien dengan skor ≤ 21 (Azwar, 2009).

b. Sumber data: Data primer pasien. c. Alat ukur: Kuesioner TMAS.

(59)

commit to user

2. Kualitas tidur menurut kriteria Pittsburgh Sleep Quality Index

(PSQI)

a. Definisi: Kualitas tidur baik jika total nilai PSQI ≤ 5 sedangkan kualitas tidur buruk jika total nilai PSQI > 5 (Backhaus et al., 2002).

b. Sumber data: Data primer pasien. c. Alat ukur: Kuesioner PSQI.

d. Skala pengukuran: Nominal dikotomik, mengkategorikan menjadi kualitas tidur baik dan buruk.

H. Alat dan Bahan Penelitian

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Informed Consent

2. Formulir Biodata

3. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)

4. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

5. Kuesioner riwayat penyakit penyerta dan riwayat konsumsi zat

I. Cara Kerja

1. Melakukan wawancara dengan pasien yang telah terdiagnosis asma dan bersedia untuk mengisi informed consent meliputi:

(60)

commit to user

b. Menjelaskan mengenai maksud, tujuan, serta manfaat penelitian kepada pasien dan mendapat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatangan informed

consent.

c. Mengisi kuesioner Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). d. Mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). e. Mengisi kuesioner riwayat penyakit penyerta dan riwayat

konsumsi zat.

2. Cara mengisi kuesioner TMAS dan PSQI

a. Memberikan penjelasan secukupnya pada pasien. b. Mendampingi pasien ketika akan mengisi kuesioner.

c. Mempersilakan pasien untuk bertanya ketika menemui kesulitan dalam mengisi kuesioner.

d. Jika pasien tidak dapat mengisi sendiri maka peneliti dapat melakukan wawancara terhadap pasien dalam pengisian kuesioner.

3. Menghitung skor TMAS dan mengelompokkannya dengan cara: a. Setiap soal pada kuesioner TMAS mempunyai sistem skoring

tersendiri tergantung termasuk pada pertanyaan favourable atau

nonfavourable. Pernyataan yang favourable bila dijawab

(61)

commit to user

dijawab dengan jawaban “ya” diberi nilai 0 dan jawaban “tidak” diberi nilai 1.

b. Skor tiap soal tergantung jawaban pasien.

c. Jumlah skor TMAS ≤ 21 dinyatakan responden tidak cemas sedangkan bila skor TMAS > 21 dinyatakan responden cemas (Azwar, 2009).

4. Menghitung skor total PSQI

a. Setiap soal pada kuesioner PSQI mempunyai sistem skoring tersendiri.

b. Skor tiap soal tergantung jawaban pasien.

c. Skor kemudian dijumlahkan dan dikelompokkan menjadi dua kualitas tidur baik atau buruk. Kualitas tidur baik jika total nilai PSQI ≤ 5 sedangkan kualitas tidur buruk jika total nilai PSQI > 5 (Backhaus et al., 2002).

5. Menilai perbedaan kualitas tidur menurut PSQI pada pasien asma

dengan ansietas dan tanpa ansietas menurut TMAS.

J. Teknik Analisis Data

Data penelitian dianalisis menggunakan program Statistical

Package for Social Sciences (SPSS) 18.0 for Windows. Karakteristik

(62)

commit to user

Deviasi (SD). Analisis data statistik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis bivariat uji Chi-Square. Variabel bebas dan variabel terikat akan dianalisis secara bivariat menggunakan uji

Chi-Square untuk mengamati apakah hubungan yang teramati antara kedua

variabel secara statistik bermakna ataukah peran peluang terlalu besar sehingga keterkaitan yang teramati tidak bermakna. Data diolah menggunakan uji Chi-Square (X2) dengan taraf signifikansi (α) 0,05. Hubungan antara kedua variabel dikatakan bermakna apabila faktor peluang atau nilai p kurang dari 5% (p < 0,05). Untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale maka dilakukan penghitungan dengan Odds

(63)

commit to user

59 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai hubungan antara ansietas dengan kualitas tidur telah dilaksanakan sejak bulan April - Mei 2012 di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi. Sampel penelitian berjumlah 60 sampel yang tediri dari 30 pasien asma dengan ansietas dan 30 pasien asma tanpa ansietas. Berikut disampaikan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

A. Karakteristik Sampel Penelitian

1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kontinyu

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Data Kontinyu

Variabel n Mean SD Min Maks Usia 60 46,75 13,468 18 70 Skor TMAS 60 19,45 8,926 3 35 Skor PSQI 60 6,18 2,908 1 12

(64)

commit to user

Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia

No Kelompok Usia Frekuensi (n) %

1 18-20 tahun 3 5

2 21-30 tahun 6 10

3 31-40 tahun 8 13

4 41-50 tahun 17 28

5 51-60 tahun 16 27

6 61-70 tahun 10 17

Jumlah 60 100

Gambar 4.1 Persentase Sampel Menurut Kelompok Usia

Tabel 4.2 dan Gambar 4.1 didapatkan penderita asma bronkiale pada kelompok usia 41-50 tahun menempati persentase terbanyak yaitu 17 orang (28%).

2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kategorikal

Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin n %

1 Laki-Laki 15 25 2 Perempuan 45 75

(65)

commit to user

Gambar 4.2 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin

Tabel 4.3 dan Gambar 4.2 menunjukkan selama penelitian penderita asma yang memeriksakan diri di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi paling banyak berjenis kelamin perempuan yakni berjumlah 45 orang (75%).

Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan

No Kelompok Umur Frekuensi (n) %

1 PNS 6 10

2 Swasta 23 38

3 Pedagang/Wiraswasta 4 7

4 Pelajar/Mahasiswa 4 7

5 Ibu Rumah Tangga 18 30

6 Pensiunan 5 8

(66)

commit to user

Gambar 4.3 Persentase Sampel Menurut Pekerjaan

Tabel 4.4 dan Gambar 4.3 didapatkan persentase pekerjaan sampel terbanyak adalah swasta 23 orang (38%), sedangkan persentase pekerjaan sampel terkecil adalah pedagang/wiraswata maupun pelajar atau mahasiswa sebanyak 4 orang (7%).

B. Analisis Bivariat

Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (ansietas menurut kriteria TMAS) terhadap variabel terikat (kualitas tidur menurut kriteria PSQI) serta arah hubungannya. Uji statistik menggunakan Chi Square Test dengan

(67)

commit to user

1. Hubungan Ansietas dengan Kualitas Tidur pada Penderita Asma

Tabel 4.5 Analisis bivariat tentang hubungan ansietas dengan kualitas tidur pada penderita asma bronkiale

Ansietas

Variabel Ya Tidak Total OR p n(%) n(%) n(%)

Kualitas Tidur:

Baik 6 (23,1) 20 (76,9) 26 (100)

Buruk 24 (70,6) 10 (29,4) 34 (100) 0,13 <0,05

Gambar 4.4 Persentase Ansietas dengan Kualitas Tidur

(68)

commit to user

(69)

commit to user

65 BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Hubungan Kualitas Tidur dengan Ansietas pada Penderita Asma Bronkiale” dilakukan pada bulan April - Mei 2012 di RSUD Dr. Moewardi dan setelah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien asma dengan ansietas dan 30 pasien asma tanpa ansietas.

Distribusi sampel penelitian berdasarkan usia pada tabel 4.1 didapatkan pasien yang menjadi sampel rata-rata berusia 46 tahun dengan usia terendah 18 tahun dan usia tertinggi 70 tahun. Rata-rata skor ansietas yang diukur menggunakan kuesioner TMAS adalah 19 dengan skor terendah 3 dan skor tertinggi 35, sedangkan, rata-rata skor kualitas tidur yang diukur menggunakan kuesioner PSQI adalah 6 dengan skor terendah adalah 1 dan skor tertinggi adalah 12.

(70)

commit to user

Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin pada tabel 4.3 didapatkan bahwa penderita asma bronkiale yang terbanyak adalah wanita, yaitu, berjumlah 45 orang (75%) dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 15 orang (25%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pada penderita asma bronkiale dewasa kebanyakan penderitanya adalah berjenis kelamin wanita (Sundaru dan Sukamto, 2007). Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan faktor predisposisi asma. Perempuan lebih rentan terhadap stres dan mengalami masalah hormonal (menstruasi, premenstruasi, kehamilan) yang menjadi faktor pencetus asma bronkiale (Surjanto, 2001).

Pekerjaan merupakan salah satu faktor pencetus asma bronkiale. Penelitian pada tahun 1995 yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan 15% penderita asma bronkiale memiliki hubungan dengan faktor lingkungan kerja (Yeung dan Malo, 1995). Pada tabel 4.4 menunjukkan 23 orang (38%) pasien asma bronkiale merupakan pekerja swasta. Adapun pekerja swasta dalam hal ini, sebagian besar adalah buruh pabrik yang memiliki lingkungan kerja dengan banyak agen polutan pencetus asma antara lain gas, debu, uap, bahan kimia, maupun bahan iritan lainnya.

(71)

commit to user

sering mengalami kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, mengalami rasa kantuk di siang hari (daytime sleepiness), terbangun terlalu pagi (early

morning awakening), mengeluhkan tidur kurang menyegarkan, dan penurunan

efisiensi tidur yang signifikan dibandingkan dengan orang normal.

Asma sering memburuk pada malam hari atau dikenal dengan asma nokturnal. Gejala asma nokturnal seperti batuk, dispneu dapat mengganggu kualitas tidur. Turner Warwick (1988) melaporkan hasil studinya bahwa 64% pasien asma mengalami serangan minimal tiga malam per minggu, 40% pasien asma mengalami serangan tiap malam. Penderita asma bronkiale, resistensi saluran pernapasan bawahnya meningkat secara progresif sepanjang malam dengan peningkatan lebih besar selama tidur. Fungsi paru dan responsivitas saluran napas bervariasi sesuai ritme sirkadian, dengan titik terendah dalam fungsi paru terjadi kira-kira jam 4 pagi. Beberapa pasien asma, variasi sirkadian dari fisiologi saluran napasnya memberikan peningkatan tercetusnya sleep disordered breathing antara tengah malam sampai jam 8 pagi (Janson et al., 1996; Bender dan Leung, 2005). Penelitian pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Hanson dan Chen menunjukkan adanya peningkatan gejala asma yang lebih parah pada keesokkan harinya diakibatkan kualitas tidur yang buruk.

(72)

commit to user

mencetuskan timbulnya serangan asma (Greist, 2000). Ansietas akan mempengaruhi jalur Th-2 yang akan memicu reaksi inflamasi dan memperberat gejala serangan asma (Hamzah, 2010). Kecemasan dapat memicu serangan asma melalui berbagai mekanisme, antara lain, mekanisme kolinergik, sistem endokrin, maupun sistem imunologi (Widyawati, 2004). Serangan ini dapat menimbulkan gangguan tidur pada penderita yang dapat menurunkan kualitas tidur dan mengakibatkan seseorang mudah mengalami

daytime sleepiness pada siang hari dan penurunan kualitas maupun kuantitas

tidur (Janson et al., 1996, Punjabi et al., 2002, Bender dan Leung, 2005). Data dari International of Sleep Disorder menyebutkan bahwa 61%-74% insidensi gangguan tidur disebabkan oleh penyakit asma (Japardi, 2002).

Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale. Tabel 4.5 menggambarkan distribusi subjek penelitian berdasarkan kualitas tidur. Pada kelompok pasien asma dengan ansietas, sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 6 orang (23,1%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 24 orang (70,6%). Sedangkan, kelompok pasien asma tanpa ansietas, sampel dengan kualitas tidur baik 20 orang (76,9%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 10 orang (29,4%).

(73)

commit to user

pasien dalam memberikan jawaban yang merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti.

Pada penelitian ini, pasien asma dengan ansietas memiliki risiko 0,13 kali lebih tinggi untuk mengalami kualitas tidur buruk daripada pasien asma tanpa ansietas (OR = 0,13; p < 0,05). Hubungan tersebut secara statistik signifikan (p < 0,05) dan menunjukkan hubungan yang kuat (0,10 ≤ OR ≤ 0,33). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale.

Hubungan antara kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale merupakan hubungan yang negatif (OR < 1). Semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita asma bronkiale semakin rendah kualitas tidurnya. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan serangan asma pada penderita asma bronkiale yang mengalami kecemasan.

(74)

commit to user

70 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan ansietas pada penderita asma bronkiale. Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan menunjukkan hubungan yang kuat. Pasien asma dengan ansietas memiliki risiko 0,13 kali lebih tinggi untuk mengalami kualitas tidur buruk daripada pasien asma tanpa ansietas (OR = 0,13; p < 0,05).

B. Saran

1. Edukasi terhadap penderita asma bronkhiale mengenai ansietas sehingga dapat dilakukan penanganan untuk menghindari timbulnya serangan asma. 2. Ada penelitian lanjutan mengenai hubungan kualitas tidur dengan ansietas

pada penderita asma bronkiale dengan lebih mengendalikan faktor luar lain yang turut mempengaruhi seperti tipe kepribadian yang belum dapat dikendalikan dalam penelitian ini.

(75)

commit to user

Gambar

   Tabel 2x2
Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Data Kontinyu
Gambar 4.1 Persentase Sampel Menurut Kelompok Usia
Gambar 4.2 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada: 1) pemilihan tema dan proses pelaksanaan integrated learning; 2) mewawancarai siswa tentang

Demikian Addenddum Dokumen ini dibuat dengan penuh rasa tanggung jawab dan merupakan bagian tak terpisahkan dengan dokumen pengadaan. SANGGAU, 15 OKTOBER 2014 POKJA BIDANG BARANG

[r]

Alfared Binnet dalam Susanto (2013: 15) membagi kecerdasan dalam 3 aspek kemampuan, yaitu: (a) kemampuan yang digunakan untuk memusatkan pada masalah yang akan diselesaikan;

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran matematika berupa RPP dan LKS dengan pendekatan kontekstual pada pokok bahasan trigonometri untuk

Tabel 2 Hasil pengujian sensor ultrasonik dan aplikasi notifikasi android No No.sensor pada tempat sampah Jarak (cm) Status (1/0) Kondisi aplikasi notifikasi kepenuhan

' This module file contains definitions, types, and declarations for accessing the ' functions provided by the Windows Win32

Data kuantatif yang terkait dengan pengelolaan LKP seperti dokumentasi dalam bentuk foto kegiatan aksi literasi berkelanjutan, booklet/leaflet, atau berita di koran