• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK ANTIFUNGI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP PERTUMBUHAN Trichophyton rubrum in vitro SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EFEK ANTIFUNGI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP PERTUMBUHAN Trichophyton rubrum in vitro SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK ANTIFUNGI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP PERTUMBUHAN

Trichophyton rubrum in vitro

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

SITA AULIA SARI G0006158

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ABSTRAK

Sita Aulia Sari, G0006158, 2010. Efek Antifungi Ekstrak Kelopak Bunga Rosella terhadap Pertumbuhan Trichophyton rubrum in vitro. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan penelitian : Dermatofitosis adalah infeksi jamur pada kulit yang salah satunya disebabkan oleh Trichophyton rubrum. Pengobatan dermatofitosis menggunakan obat kimiawi mempunyai kekurangan diantaranya adalah mahalnya harga dan resistensi beberapa obat. Kelopak bunga Rosella memiliki kandungan flavonoid, dimana flavonoid ini memiliki aktivitas antifungi. Flavonoid yang terkandung dalam kelopak bunga Rosella diantaranya adalah anthocyanin, gossypeptin (hexahydroxyflavone) 3-glucoside (Bisset, 1994), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid gossypeptin, delphinidine monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kelopak bunga Rosellaterhadap pertumbuhan Trichophyton rubrumin vitro. Metode penelitian : Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. Objek penelitian yang dipakai adalah Trichophyton rubrum di mana sampel diambil secara random sampling. Penelitian ini menggunakan Sabouraud Dextrosa Agar sebanyak 7 cawan petri yang ditanami dengan biakan

Trichophyton rubrum di mana masing-masing cawan petri dibuat sumuran dengan diameter 6 mm sebanyak 4 buah sehingga didapatkan sumuran sebanyak 28 buah. Masing-masing sumuran diisi dengan kontrol negatif (akuades steril), kontrol positif (flukonazol 25 µg/ml), dan ekstrak kelopak bunga Rosella konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Cawan petri kemudian diinkubasi pada suhu 25º C selama 7 hari dan diukur besar zona hambatan di sekitar sumuran. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji One Way ANOVA yang dilanjutkan dengan uji

Least Significance Difference (LSD) dengan menggunakan SPSS 16,0 for Windows.

Hasil penelitian : Uji One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan rata-rata diameter zona hambatan antara semua konsentrasi ekstrak kelopak bunga Rosella yang signifikan (p < 0,05). Adanya peningkatan rata-rata diameter zona hambatan pada masing-masing konsentrasi hingga konsentrasi 50 %.

Simpulan penelitian : Ekstrak kelopak bunga Rosella memiliki efek antifungi terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum in vitro.

(3)

ABSTRACT

Sita Aulia Sari, G0006158, 2010. The Antifungal Effect of Rosella Calyx Extract on Trichophyton rubrum Growth in vitro. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective : Dermatophytosis is a fungal infection on skin that one of them caused by Trichophyton rubrum. Dermatophytosis treatment using chemical drugs have many shortcomings like high cost and drug resistance. Rosella calyx contens flavonoids, which has antifungal effect. Flavonoids on Rosella calyx is anthocyanin, gossypeptin (hexahydroxyflavone) 3-glucoside (Bisset, 1994), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid gossypeptin, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside. The objective of this study is to know the effect of Rosella calyx on Trichophyton rubrum growth in vitro.

Methods : The study was performed as experimental laboratory. The object of the study is Trichophyton rubrum. The Trichophyton rubrum colonies sample of this study took by random sampling. The study used Trichophyton rubrum colonies on 7 Sabouraud Dextrosa Agar plate. Each plate has 4 holes. Each hole filled by aquades as negative control, fluconazole 25 µg/ml as positive control, and various Rosella calyx extract concentration (10%, 20%, 30%, 40%, and 50%). The plate was incubated in 25o C incubator for 7 days and measured the diameter of Rosella calyx extract inhibition effect. The data sample was collected and analyzed by One Way ANOVA test and Least Significance Difference (LSD) test on SPSS 16,0 for Windows.

Results : The One Way ANOVA test showed that there was difference of inhibition diameter means between all of the various Rosella calyx extract concentration groups (p < 0,05). The diameter of Rosella extract inhibition effect increased for each concentration up to 50 %. Positive control inhibition diameter compare to 20 % Rosella calyx extract concentration has no significantly.

Conclusion : The study was concluded that Rosella calyx extract has an antifungal effect to Trichophyton rubrum growth in vitro.

(4)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Efek Antifungi Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Pertumbuhan Trichophyton rubrum in vitro

Sita Aulia Sari, G0006158, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Selasa , Tanggal 8 Juni 2010

Pembimbing Utama

Sri Wahjono, dr., MKes.DAF (K)

NIP. 19450824 197310 1 001

Dekan FK UNS

Prof.Dr.H.A.A. Subijanto, dr., MS.

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daeah tropis dengan suhu

dan kelembapan yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur, sehingga

infeksi oleh karena jamur di Indonesia banyak ditemukan. Penyakit kulit

karena infeksi jamur prevalensinya cukup tinggi di Indonesia dan sangat

disayangkan lebih banyak ditemukan pada masyarakat yang berekonomi

lemah. Kondisi perekonomian yang memburuk saat ini berpengaruh pada

berbagai segi kehidupan, termasuk pada hygiene perorangan dan lingkungan

serta prioritas pemeliharaan kesehatan, akan mengakibatkan prevalensi

penyakit kulit akibat jamur meningkat (Bramono, 2008). Menurut data yang

diperoleh dari Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr.Moewardi

Surakarta, pada tahun 2009 kasus penyakit kulit akibat jamur ditemukan

sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus yang ditangani (data diambil pada

tanggal 25 Januari 2010).

Penyakit kulit akibat infeksi jamur paling banyak dijumpai di Indonesia

adalah dermatofitosis. Dermatofitosis adalah suatu infeksi pada rambut, kulit,

(6)

Walaupun dermatofitosis tidak sampai menimbulkan kematian, tetapi

akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang akibat gatal yang mengganggu

atau penampilan yang kurang baik (Bramono, 2008). Namun, pada

kenyataannya obat antijamur relatif sedikit bila dibandingkan dengan obat-obat

antimikroba yang lain (Pratiwi, 2001). Obat yang dipakai untuk infeksi jamur

superfisialis diantaranya adalah obat golongan mikonazole, bifonazole,

flukonazol, ketokonazole, griseofulvin, terbinafine, dan itrakonazole. Diantara

obat-obat tersebut hanya itrakonazole yang bersifat fungisid namun saying

harganya cukup mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat ekonomi

lemah, sedangkan obat yang lain bersifat fungistatik sehingga kekambuhan

dapat sering terjadi (Nasution, 2005). Selain hal tersebut, telah diketahui

adanya resistensi jamur dermatofit terhadap beberapa obat, diantaranya

griseofulvin, ketokonazol (Nasution, 2005), dan terbinafin (Mukherjee et al., 2003). Berdasarkan hal tersebut, penggunaan tanaman herbal sebagai obat

antijamur dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif.

Pemakaian tanaman obat cenderung meningkat sejalan dengan

berkembangnya industry jamu atau obat tradisional, kosmetik, farmasi,

makanan, dan minuman (Cheppy dan Hernani, 2002). Salah satu yang popular

akhir-akhir ini adalah Rosella (Hibiscus sabdariffa L) yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan diantaranya adalah dapat memperlambat pertumbuhan

jamur, bakteri, atau parasit (Buana dkk, 2008). Hal ini diduga karena

(7)

gossypeptin (hexahydroxyflavone) 3-glucoside (Bisset, 1994), flavonol

glucoside hibiscritin, flavonoid gossypeptin, delphinidine 3-monoglucoside,

cyanidin 3-monoglucoside (Maryani dan Kristiana, 2005). Senyawa flavonoid

ini memiliki aktivitas biologi sebagai antibakteri, antijamur, antiviral,

antiprotozoa, antioksidan, dan antiinflamasi (Cushnie dan Lamb, 2005; Hughes

et al., 2008)

Berdasarkan uraian di atas, untuk lebih memberikan dasar bagi bukti

kemanfaatan kelopak bunga Rosella sebagai antifungi, maka peneliti ingin

membuktikan adanya efek antifungi ekstrak kelopak bunga Rosella terhadap

pertumbuhan Trichophyton rubrum in vitro.

B. Perumusan Masalah

Apakah ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) memiliki efek antifungi terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum in vitro?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efek antifungi ekstrak kelopak bunga Rosella

(Hibiscus sabdariffa L) terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum in vitro.

D. Manfaat Penelitian

(8)

Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek antifungi

kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) terhadap pertumbuhan

Trichophyton rubrum in vitro.

2. Aspek Aplikatif

a. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat ilmiah pada

khususnya dan masyarakat luas pada umumnya tentang manfaat ekstrak

kelopak bunga Rosella yang dapat digunakan sebagai antifungi.

b. Memberi peluang kemungkinan

(9)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Rosella

a. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivision : Spermathophyta

Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Subclass : Dilleniidae

Ordo : Malvales

Family : Malvaceae

Genus : Hibiscus L

Species : Hibiscus sabdariffa L (USDA, 2009)

b. Nama daerah

1) Karkade : Arab, Afrika Utara

2) Asam susur : Malaysia

3) Kachieb priew : Thailand

4) Roselle : Inggris

(10)

6) Merambos hijau : Jawa Tengah

7) Asam Kecur : Meranjat

8) Kesew jawe : Pagar Alam

9) Asam jarot : Padang

10)Asam Rejang : Muara Enim

( Maryani dan Kristiana, 2005; Wangjaya, 2008)

c. Deskripsi Tanaman

Rosella merupakan herba tahunan yang bisa mencapai

ketinggian 0,5-3 meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan

berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan

menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi, dan pangkal berlekuk. Panjang

daun 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm. Tangkai daun bulat berwarna

hijau, dengan panjang 4-7 cm.

Bunga Rosella yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga

tunggal, artinya pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga

ini mempunyai 8-11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm,

pangkalnya saling berlekatan, dan berwarna merah. Bagian inilah

yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman.

Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari 5 helaian,

panjangnya sekitar 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat

melekatnya kumpulan benangsari berukuran pendek dan tebal.

(11)

Buahnya berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5

ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu,

dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji

berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu. (Maryani

dan Kristiana, 2005)

Gambar 1. Tanaman Bunga Rosella (Wangjaya, 2008)

d. Habitat dan Persebaran

Rosella dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis

dan subtropis yang hangat yang memiliki ketinggian kurang lebih

0-900 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya membutuhkan

rata-rata temperatur bulanan 25-30°C, curah hujan 140-270 mm per

bulan dan kelembapan udara (>70%). Tanaman ini mempunyai hábitat

asli di daerah yang terbentang dari India hingga Malaysia. Namun

sekarang tanaman ini telah menyebar di daerah tropis dan subtropis di

seluruh dunia (Maryani dan Kristiana, 2005).

(12)

Rosella mengandung beberapa zat gizi yang bermanfaat bagi

tubuh. Kandungan zat gizi Rosella dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 1. Kandungan Rosella

Nama

Kalori 49 kal 43 kal 44 kal

Air 84,5% 85,6% 86,2% 7,6%

Protein 1,9 gr 3,3 gr 1,6 gr 24%

Lemak 0,1 gr 0,3 gr 0,1 gr 22,3%

Karbohidrat 12,3gr 9,2 gr 11,2 gr

-Besi 2,9 gr 4,8 mg 3,8 mg

-Beta karoten 300 ig 4135 ig 285 ig

-Asam

Selain kandungan di atas, Rosella juga mengandung senyawa

flavonoid anthocyanin, gossypeptin (hexahydroxyflavone) 3-glucoside

(Bisset, 1994; Hughes, 2008), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid

gossypeptin, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin

3-monoglucoside (Maryani dan Kristiana, 2005). Senyawa flavonoid ini

bermanfaat sebagai antibakteri, antijamur, antiviral, antiprotozoa,

(13)

f. Aktifitas antifungi

Kelopak bunga Rosella (Hibicscus sabdariffa L) mengandung beberapa senyawa flavonoid yakni anthocyanin, gossypeptin

(hexahydroxyflavone) 3-glucoside (Bisset, 1994), flavonol glucoside

hibiscritin, flavonoid gossypeptin, delphinidine 3-monoglucoside,

cyanidin 3-monoglucoside (Maryani dan Kristiana, 2005). Flavonoid

termasuk senyawa phenolic yang disintesis tumbuhan sebagai respon

terhadap infeksi mikroorgansme, karena itu flavonoid merupakan

senyawa antimikrobial yang efektif (Al-Bayati dan Al-Mola, 2008).

Flavonoid ini bisa ditemukan pada buah , sayuran, kacang-kacangan,

batang,bunga, teh, dan madu. Aktifitas biologis yang dimiliki oleh

flavonoid diantaranya adalah antibakteri, antijamur, antiviral,

antiprotozoa, antioksidan, dan antiinflamasi (Cushnie dan Lamb,

2005). Mekanisme kerja flavonoid dalam menghambat pertumbuhan

jamur yakni dengan menyebabkan gangguan permeabilitas membrane

sel jamur. Gugus hidroksil yang terdapat pada senyawa flavonoid

menyebabkan perubahan komponen organik dan transport nutrisi yang

akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap jamur.

Efek antifungi flavonoid juga berhubungan dengan hambatan sintesis

protein DNA (Sabir, 2005; Salwa dan Neimat, 2007; Lima et al., 2008).

2. Trichophyton rubrum

(14)

Kingdom : Fungi

Divisi : Ascomycota

Kelas : Eurotiomycetes

Ordo : Onygenales

Famili : Arthgrodermataceae

Genus : Trichophyton

Spesies : Trichophyton rubrum

(Rippon, 1974)

b. Morfologi

Trichophyton rubrum dideskripsikan pertama kali oleh Malmsten pada tahun 1845. Jamur ini tumbuh secara lambat. Jamur

golongan dermatofita ini membentuk koloni filamen pada biakan

Sabouroud Dekstrosa Agar. Pada umumnya genus Trichophyton

memiliki dinding tipis, makrokonidia halus, mikrokonidia kecil,

berdinding tipis, berbentuk lonjong dan terletak pada konidiofora yang

pendek dan tersusun secara satu persatu pada sisi hifa (en thyrse) atau kelompok (en grappe). Hifa Trichophyton rubrum halus dan hampir semua jenis jamur ini mampu membentuk hifa spiral (Gandahusada

dkk., 1998).

Spesies jamur ditentukan oleh sifat koloni, hifa, dan spora

yang dibentuk. Pada media Sabouroud Dekstrosa Agar mikrokonodia kecil, perifer, atau seperti buah pear, berwarna putih, permukaan

(15)

bawah plate. Makrokonidia berdinding halus berbentuk silinder

(Lusia, 2004).

Gambar 2. Biakan dan Gambar Mikroskopis

Trichophyton rubrum (Wolff et al, 2008)

c. Habitat

Jamur Trichophyton adalah dermatofita yang habitatnya di tanah, binatang, dan manusia, terutama pada daerah yang beriklim

tropis dan basah. Berkaitan dengan afinitasnya, genus Trichophyton

dibagi menjadi geofilik (hidup di tanah), antropofilik (hidup pada

(16)

daerah di Asia Tenggara, dan sebagian di Afrika, Australia, dan

hampir di seluruh dunia (Robbins, 2005). Penyakit infeksi jamur yang

disebabkan karena Trichophton rubrum ini dapat ditularkan melalui kontak langsung pada bagian yang terinfeksi (Wolff et al, 2008).

d. Patogenesis

Dermatofita merupakan jamur yang menginfeksi jaringan

keratin seperti pada kulit, rambut, dan kuku. Infeksi dimulai dengan

perlekatan dermatofita pada jaringan keratin dan kemudian terjadi

penetrasi ke stratum corneum yang dibantu oleh enzim keratolitik

proteinase, lipase dan enzim mucinolitik yang dihasilkan oleh jamur

(Wolff et al, 2008). Enzim keratolitik proteinase tersebut berdifusi ke lapisan epidermis dan menimbulkan reaksi inflamasi. Pertumbuhan

jamur dengan pola radial menyebabkan timbulnya lesi kulit

melingkar, batas tegas dan meninggi yang disebut ringworm atau tinea

(Mansjoer dkk, 2000).

Berikut ini beberapa manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh

infeksi jamur Trichophyton rubrum: 1) Tinea pedis

Tinea pedis adalah dermatofitosis yang paling banyak di dunia

(Robbins, 2005). Tinea Pedis adalah infeksi jamur superficial

pada pergelangan kaki, telapak, dan sela jari-jari kaki. Penyakit

ini ditularkan pada semua usia terutama pada daerah tropis.

(17)

mempermudah infeksi. Manifestasi klinisnya berupa eritema,

maserasi serta sisik pada sela jari-jari kaki, dapat meluas pada

telapak kaki serta dapat berkembang menjadi pustula dan vesikula

(Siregar, 2004).

Gambar 3. Tinea Pedis (Daili dkk, 2005) 2) Tinea manus

Serupa dengan Tinea Pedis tapi pada pergelangan tangan, telapak

tangan, bahkan ujung-ujung jari tangan. Gambaran klinisnya

berupa vesikel-vesikel atau skuama dengan eritema, berbatas

tegas dengan disertai rasa gatal (Siregar, 2004).

Gambar 4. Tinea Manus (Daili dkk, 2005) 3) Tinea capitis

Menyerang kulit kepala dan rambut. Ciri khas penyakit ini adalah

(18)

pada laki-laki, lingkungan kotor dan panas serta udara yang

lembab ikut berperan dalam penularan. Kelainan yang tergantung

dari bentuknya. Keluhan penderita umumnya gatal dan nyeri

(Siregar, 2004).

Gambar 5. Tinea Capitis (Daili dkk, 2005) 4) Tinea corporis

Tinea corporis adalah infeksi jamur dermatofita yang mengenai

wajah, badan, lengan, serta tungkai. Dapat menyerang pada

semua umur, tetapi lebuh banyak pada dewasa, di daerah tropis

serta lembab,. Gejala berupa gatal, berkeringat, macula

hiperpigmentasi, lebih sering kronis (Siregar, 2004).

(19)

Tinea unguium adalah infeksi jamur dermatofit pada kuku, sering

pada dewasa biasanya bersama tinea pedis et manus, dan pada

daerah tropis. Gejala klinis berupa penampakan kuku suram,

lapuk dan rapuh, dan dimulai dari arah distal (Siregar, 2004).

Gambar 7. Tinea Unguium (Daili dkk, 2005) 6) Tinea cruris

Tinea cruris adalah infeksi jamur dermatofita yang menyerang

daerah cruris. Prevalensi lebih banyak pada orang dewasa

terutama laki-laki, dan mereka yang tinggal di daerah tropis

(Siregar, 2004).

Gambar 8. Tinea Cruris (Daili dkk, 2005)

B. Kerangka Pemikiran

(20)

C. Hipotesis

Ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) memiliki efek antifungi terhadap Trichophyton rubrum.

Flavonoid : Anthochyanin

Gossypetin (hexahydroxyflavone) 3-glucoside Flavonol glucoside hibiscritin

Flavonoid gossypeptine

Delphinidine 3-monoglucoside

Gangguan permeabilitas membran

(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas

Setia Budi Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Biakan Trichophyton rubrum yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Random Sampling

(Utarini, 2000). Sampel yang dipilih yaitu biakan Trichophyton rubrum

dalam agar miring yang berumur 7 hari. Koloni Trichophyton rubrum

diambil untuk diencerkan dengan NaCl 0,9 % sampai kekeruhannya

ekuivalen dengan standarisasi 0,5 Mc Farland (Santos et al, 2006).

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L)

2. Variabel tergantung : efek antifungi (diameter zona hambatan)

3. Variabel luar

(22)

1) Umur jamur

2) Jumlah sample (jumlah koloni)

3) Tumbuhnya kuman kontaminan

4) Volume ekstrak kelopak bunga Rosella pada sumuran

5) Suhu pengeraman

b. Variabel luar tidak terkendali

Kecepatan tumbuh Trichophyton rubrum pada media

F. Skala Variabel

1. Kadar ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) : skala rasio

2. Diameter zona hambatan (efek antifungi) : skala rasio

G. Definisi operasional variabel

1. Ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L)

Ekstrak kelopak bunga Rosella yang digunakan adalah ekstrak ethanol

kelopak bunga Rosella yang diencerkan dengan kadar pengenceran

yang berbeda-beda menggunakan akuades steril. Ethanol yang yang

merupakan pelarut dalam proses ekstraksi akan menguap saat

pemanasan pada proses ekstraksi, sehingga akuades steril sebagai

pengencer ekstrak kemudian dipakai sebagai kontrol negatif (Ngane et al, 2006). Pada uji pendahuluan, konsentrasi ekstrak yang dipakai adalah 20%, 40%, 60%, dan 80% (Olaleye, 2007). Sedangkan kadar

(23)

pendahuluan yang dibandingkan dengan kontrol positif dimana

konsentrasi yang memiliki hasil yang paling mendekati dengan kontrol

positif yang akan digunakan sebagai konsentrasi dasar untuk

menentukan konsentrasi yang akan dipakai. Kontrol positif yang

digunakan adalah flukonazol 25 µg/ml.

2. Efek antifungi

Zona hambatan pada penelitian ini dapat dilihat dari besarnya diameter

daerah halo atau zona jernih sekitar sumuran yang telah diberi ekstrak

kelopak bunga Rosella. Zona jernih tersebut menunjukkan hambatan

pertumbuhan Trichophyton rubrum. 3. Variabel luar yang terkendali

a. Umur jamur

Umur jamur dikendalikan dengan memilih biakan Trichophyton rubrum pada Saboraud Dextrose Agar Slant yang berumur 7 hari (Santos et al, 2006).

b. Jumlah sampel (jumlah koloni)

Jumlah Trichophyton rubrum dapat dikendalikan dengan mengencerkan jamur sebelum ditanam hingga ekuivalen dengan

standar 0,5 Mc Farland (Santos et al, 2006) yang kurang lebih sama dengan jumlah koloni sebesar 1x107 sampai 1x108 CFU/ml (Quelab,

2005).

(24)

Untuk mengendalikan tumbuhnya kuman kontaminan maka pada

Saboraud Dextrosa Agar ditambahkan ditambahkan kloramfenikol (Bridson, 1998).

d. Volume ekstrak kelopak bunga Rosella pada sumuran

Volume ekstrak yang digunakan adalah 0,05 ml.

e. Suhu pengeraman

Jamur diinkubasi pada suhu 25° C selama 7 hari (Ngane et al, 2006).

4. Variabel luar yang tidak terkendali

Kecepatan pertumbuhan Trichophyton rubrum merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan karena pertumbuhan dipengaruhi

oleh banyak faktor misalnya sebaran koloni.

H. Desain penelitian

1. Uji pendahuluan

Dilakukan untuk menentukan konsentrasi ekstrak kelopak bunga

Rosella yang dipakai pada penelitian. Pada uji pendahuluan ini, zona

hambatan pada masing-masing konsentrasi ekstrak kelopak bunga

Rosella akan dibandingkan dengan zona hambatan pada kontrol

positif. Konsentrasi ekstrak kelopak bunga Rosella yang memiliki

(25)

sebagai konsentrasi acuan untuk menentukan konsentrasi yang akan

digunakan pada penelitian.

2. Penelitian

Trichohyton rubrum yang telah setara dengan standar 0,5 Mc Farland

Dibiakkan dalam 3 Saboraud Dekstrosa Agar plate

Dibuat 4 sumuran berdiameter 6 mm

Plate 1-2

Sumuran 1 : konsentrasi 20% Sumuran 2 : konsentrasi 40% Sumuran 3 : konsentrasi 60% Sumuran 4 : konsentrasi 80%

Plate 3 ;

Sumuran 1-2 : kontrol positif (flukonazol 25µg/ml)

Sumuran 3-4 : kontrol negatif (akuades steril)

Seluruh cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 25°C selama 7 hari

Diameter zona hambatan diukur

Hasil dari uji pendahuluan akan digunakan untuk menentukan konsentrasi yang akan dipakai pada penelitian

(26)

I. Alat dan bahan penelitian

1. Alat penelitian

a. Cawan petri dengan diameter 10 cm

b. Osche kolong

c. Autoclave

Dibiakkan dalam 7 Saboraud Dextrosa Agar plate

dibuat 4 sumuran berdiameter 6mm pada masing-masing Sabouraud Dextrosa Agar plate untuk pemberian aquades steril, ekstrak kelopak

bunga Rosella dengan berbagai konsentrasi dan flukonazol

Rosella

Seluruh cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 25°C selama 7 hari

Diameter zona hambatan diukur

(27)

d. Inkubator

e. Pipet mikron

f. Bunsen

g. Tabung reaksi

h. Alat pembuat sumuran berdiameter 6 mm

i. Pipet ukur 0,01 ml

j. Penggaris

k. Standar 0,5 Mc.Farland

l. Timbangan digital

2 Bahan

a. Saboraud Dextrose Agar (SDA) b. Biakan Trichophyton rubrum

c. Ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) d. Akuades steril

e. Kapsul Flukonazol

f. Kloramfenikol

g. NaCl 0,9%

J. Cara Kerja

1. Pembuatan Ekstrak

a. Kelopak bunga Rosella diserbuk dengan mesin penyerbuk

(28)

b. Kemudian serbuk kelopak bunga Rosella ditambahkan

ethanol 70% diaduk selama 30 menit diamkan 24 jam, lalu

disaring. Proses ini diulang 3 kali.

c. Dipisahkan ampas dengan filtratnya. Filtrat yang diperoleh

diuapkan dengan vacuum rotary evaporator, pemanas water bath

suhu 70

d. Dari proses diatas diperoleh ekstrak kental, yang kemudian

dituang ke dalam cawan porselin, dipanaskan dengan pemanas

water bath sambil terus diaduk.

e. Proses ekstraksi selesai dan didapatkan ekstrak kelopak

bunga Rosella.

Pembuatan ekstrak dilaksanakan di LPPT Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

2. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi

ekstrak kelopak bunga Rosella yang nanti akan digunakan pada

penelitian.

a. Pembuatan media agar dari Saboraud Dextrose Agar

1) Sebanyak 5,85 gram Saboraud Dextrose Agar

bubuk ditambahakan dengan 90 ml akuades, diaduk

kemudian dipanaskan.

(29)

Setiap 1000 ml Saboraud Dextrose Agar memerlukan 400 mg kloramfenikol, maka :

Kloramfenikol yang diperlukan untuk 90 ml Saboraud Dextrose Agar adalah 90 ml x 400 mg = 36 mg

1000 ml

Setiap 250 mg kloramfenikol dilarutkan dalam 10 ml NaCl

0,9 % maka:

NaCl 0,9% yang diperlukan adalah 36 mg x 10 ml = 1,44 ml

250 mg

(Bridson, 1998)

3) Larutan kloramfenikol yang ditambahkan pada

Saboraud Dextrose Agar cair untuk mencegah tumbuhnya kuman kontaminan. (Bridson, 1998).

4) Saboraud Dextrose Agar cair disterilkan dengan autoclave dengan suhu 121 selama 15 menit bersama

peralatan penelitian lain yang akan digunakan.

5) Saboraud Dextrose Agar cair dituang ke dalam 3 buah cawan petri yang telah disterilkan dan dibiarkan dingin.

b. Penanaman Trichophyton rubrum

Biakan subkultur dari Trichophyton rubrum diambil menggunakan osche steril ke dalam larutan NaCl 0,9% sampai

(30)

Trichophyton rubrum dituang ke masing-masing cawan petri yang berisi Saboraud Dextrose Agar. Kemudian sampel diratakan. c. Pada setiap plate, sumuran diberi 0,05 ml ekstrak kelopak

bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. 0,05 ml flukonazol 25 µg (Ellis, 2009)

sebagai kontrol (+) dan aquades sebagai kontrol (-) (Ngane et al, 2006).

d. Semua cawan petri dimasukkan ke dalam incubator pada

suhu 25 selama 5-7 hari (Ngane et al, 2006)

e. Zona jernih disekeliling sumuran diukur dengan

meggunakan penggaris.

3. Tahap Penelitian

a. Penentuan besar sampel dihitung dengan rumus Federer

(Olaleye, 2007)

Keterangan :

n = besar sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Karena penelitian ini menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka:

(n-1) (t-1) > 15

(31)

6n > 21

n > 3,5

Dari perhitungan di atas, setiap kelompok perlakuan minimal

harus memiliki jumlah sampel sebesar 4 sampel. Pada penelitian

ini akan digunakan 4 sampel pada masing-masing kelompok

perlakuan.

b. Pembuatan media Saboraud Dextrose Agar

1) Sebanyak 13,65 gram Saboraud Dextrose Agar

bubuk ditambahkan dengan 210 ml aquades, diaduk

kemudian dipanaskan.

2) Kloramfenikol ditambahkan pada Saboraud

Dextrose Agar cair untuk mencegah tumbuhnya kuman kontaminan (Bridson, 1998)

Setiap 1000 ml Saboraud Dextrose Agar memerlukan 400 mg kloramfenikol, maka :

Kloramfenikol yang diperlukan untuk 330 ml Saboraud Dextrose Agar cair

= 210 ml x 400 mg = 84 mg

1000 ml

Setiap 250 mg kloramfenikol dilarutkan dalam 10 ml NaCl

0,9% maka :

NaCl 0,9% yang diperlukan= 84 mg x 10 ml = 3,36

(32)

250 mg

(Bridson, 1998)

c. Larutan kloramfenikol ditambahkan pada Saboraud

Dextrose Agar cair untuk mencegah tumbuhnya kuman kontaminan (Bridson, 1998)

d. Saboraud Dextrose Agar cair disterilkan dengan autoclave dengan suhu 121 selama 15 menit bersama peralatan penelitian

lain yang akan digunakan.

e. Saboraud Dextrose Agar cair dituang ke dalam 7 buah cawan petri yang telah disterilkan dan dibiarkan dingin

f. Setelah itu dibuat 4 sumuran pada masing-masing plate

dengan diameter 6 mm.

g. Penanaman biakan Trichophyton rubrum

0,2 ml sampel cair Trichophyton rubrum yang setara dengan kekeruhan 0,5 Mc Farland dituang ke masing-masing cawa petri yang berisi Saboraud Dextrose Agar. Cawan petri digoyang untuk meratakan koloni (Santos et al, 2006).

h. Ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) diencerkan dengan akuades dengan konsentrasi yang ditentukan

kemudian setelah melihat hasil penelitian pendahuluan. Jumlah

perlakuan yang akan dilakukan sebanyak 5 kelompok perlakuan.

i. Masing-masing sumuran diisi dengan 0,05 ml aquades

(33)

sabdariffa L) dengan 5 konsentrasi yang berbeda-beda dan 0,05 ml flukonazol 25 µg sebagai kontrol positif. Setiap kelompok

perlakuan diuji dalam 4 sumuran.

j. Semua cawan petri kemudian dimasukkan ke dalam

incubator dengna suhu 25 selama 5-7 hari (Ngane et al, 2006). k. Zona jernih di sekeliling sumuran diukur dengan

menggunakan penggaris.

K. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan membandingkan diameter zona hambat

disekeliling sumuran yang menggambarkan efek antifungi ekstrak kelopak

bunga Rosella pada berbagai konsentrasi. Dalam penelitian ini data akan

diolah dengan menggunakan uji statistik parametrik yakni One Way ANOVA kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test LSD. Uji ANOVA dilakukan untuk membandingkan rata-rata diameter ketujuh kelompok

sekaligus sehingga dapat diketahui apakah ketujuh kelompok perlakuan

memiliki rata-rata diameter zona hambatan yang berbeda secara signifikan

atau tidak dan untuk membandingkan perbedaan antara masing-masing

kelompok diuji dengan LSD. Data akan diolah dengan menggunakan

Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 16,0 for windows.

(34)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Sebelum uji penelitian, dilakukan terlebih dahulu uji pendahuluan

mengenai pengaruh ekstrak kelopak bunga Rosella terhadap pertumbuhan

Trichophyton rubrum secara in vitro yang didapatkan hasil seperti pada tabel berikut :

Tabel 2. Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambatan Trichophyton rubrum

pada Uji Pendahuluan

*Keterangan : Pengukuran diameter zona hambatan termasuk diameter sumuran 6 mm

Dari hasil uji pendahuluan di atas terlihat bahwa diameter zona

hambatan pada konsentrasi 20% menunjukkan hasil yang paling mendekati

dengan hasil diameter zona hambatan kontrol positif, sehingga konsentrasi

20% dipakai menjadi dasar atau acuan untuk menentukan konsentrasi yang

akan dipakai pada penelitian yang sebenarnya. Uji pendahuluan dilanjutkan Diameter zona hambatan (mm) *

(35)

dengan uji penelitian yang memakai konsentrasi 10 % hingga 50 % dengan

interval 10 % , diharapkan semakin pendek intervalnya dapat diperoleh hasil

yang lebih baik. Hasil uji penelitian dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambatan Trichophyton rubrum

pada Uji Penelitian

*Keterangan : Pengukuran diameter zona hambatan termasuk diameter sumuran 6 mm

Berdasarkan hasil uji penelitian (tabel 3), kemudian dibuat diagram

yang menggambarkan rata-rata diameter zona hambatan Trichophyton rubrum pada masing-masing kelompok perlakuan.

Diameter zona hambatan (mm) *

(36)

Gambar 9. Diagram Rata-rata Zona Hambatan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Kelopak Bunga Rosella

Pada diagram gambar 8 di atas dapat dilihat adanya perbedaan

diameter zona hambatan yang menunjukkan perbedaan efek antifungal pada

masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok ekstrak kelopak bunga

Rosella tampak bahwa efek antifungal terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak kelopak bunga Rosella yang digunakan. Kontrol negatif dengan

menggunakan aquadest steril tidak menunjukkan adanya efek antifungi,

angka 6 mm pada gambar 8 di atas merupakan diameter sumuran, bukan

merupakan diameter zona hambatan.

B. Analisis Data

Z O N A

H A M B A T (mm)

+ - 10% 20% 30% 40% 50%

(37)

Data hasil penelitian pada tabel 3 yang berupa diameter zona

hambatan dianalisis dengan uji One Way ANOVA yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test berupa uji Least Significance Difference

(LSD). Data diolah dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16,00 for Windows.

1. Uji One Way ANOVA

Hasil penelitian pada tabel 3, setelah diuji dengan uji One Way

ANOVA dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS)

16,00 for Windows, didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4. Hasil Uji Statistik One Way ANOVA ANOVA

diameter

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1762.357 6 293.726 347.507 .000

Within Groups 17.750 21 .845

Total

1780.107 27

Perbedaan rata-rata diameter zona hambatan antara seluruh kelompok

perlakuan dianalisis secara statistik dengan uji One Way ANOVA dan didapatkan p < 0,05 seperti pada tabel di atas, sehingga didapatkan bahwa

terdapat perbedaan rata-rata zona hambatan yang signifikan di antara ketujuh

kelompok perlakuan.

(38)

Karena ada perbedaan yang signifikan di antara kesembilan kelompok

perlakuan, maka dilanjutkan dengan Post Hoc Test berupa uji LSD untuk membandingkan rata-rata diameter zona hambatan antar kelompok perlakuan

sehingga dapat diketahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan atau

tidak dengan kelompok lain. Adapun hasil uji LSD didapatkan hasil sebagai

berikut :

Tabel 5. Hasil Uji Statistik Least Significance Difference (LSD) Multiple Comparisons

Error Sig. 95% Confidence Interval

(39)

konsentrasi 50% -15.250(*) .650 .000 -16.60 -13.90

* The mean difference is significant at the .05 level.

Hasil uji LSD menunjukkan perbandingan rata-rata diameter zona

hambatan kelompok kontrol negatif menunjukkan perbedaan yang signifikan

dengan semua kelompok lainnya. Perbandingan rata-rata diameter zona

hambatan kelompok kontrol positif menunjukkan perbedaan yang signifikan

dengan semua kelompok, kecuali dengan kelompok konsentrasi 20%.

Perbandingan rata-rata diameter zona hambatan kelompok konsentrasi 10%

menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok.

Perbandingan rata-rata diameter zona hambatan kelompok konsentrasi 20%

menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok, kecuali

dengan kelompok kontrol positif. Perbandingan rata-rata diameter zona

hambatan kelompok 30% menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan

(40)

40% menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok.

Perbandingan rata-rata diameter zona hambatan kelompok konsentrasi 50%

menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok.

BAB V PEMBAHASAN

Pada tahap persiapan sebelum penelitian, telah dilakukan uji pendahuluan

yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi ekstrak kelopak bunga Rosella

yang akan digunakan dalam penelitian. Pada uji pendahuluan, ekstrak kelopak

bunga Rosella dibuat dalam 4 konsentrasi, yaitu 20 %, 40 %, 60 %, dan 80%

(Olaleye, 2007) . Selain itu pada uji pendahuluan juga digunakan kontrol positif

flukonazol 25 µg/ml. Konsentrasi ini adalah konsentrasi standar yang biasa

digunakan untuk uji sensitifitas flukonazol terhadap Trichophyton rubrumin vitro

dimana flukonazol akan memberikan hasil yang positif (Ellis, 2009). Dari hasil uji

pendahuluan ini akan dicari konsentrasi ekstrak yang memberi hasil yang

mendekati hasil pada kontrol positif. Berdasarkan hasil uji pendahuluan pada tabel

2, hasil diameter pada konsentrasi 20% adalah hasil yang paling mendekati

(41)

sebagai dasar atau acuan untuk menentukan konsentrasi ekstrak yang akan dipakai

dalam uji penelitian. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini dimulai dari

konsentrasi 10% hingga 50 % dengan interval 10 %, diharapkan semakin pendek

intervalnya dapat diperoleh hasil yang lebih baik.

Pada penelitian ini, biakan Trichophyton rubrum dibagi dalam tujuh kelompok yang masing-masing diberi perlakuan yang berbeda. Kelompok

pertama diberi perlakuan dengan akuades steril sebagai kontrol negatif, kelompok

kedua diberi flukonazol 25 µg/ml sebagai kontrol positif, kelompok ketiga sampai

ketujuh masing-masing diberi ekstrak kelopak bunga Rosella konsentrasi 10%,

20%, 30%, 40%, dan 50%.

Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades steril.

Berdasarkan hasil pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pada kelompok pertama yang

menggunakan aquades steril sebagai kontrol negatif tidak terdapat zona hambatan.

Biakan Trichophyton rubrum yang diberi perlakuan dengan kontrol negatif akuades steril memperlihatkan pertumbuhan merata di sekitar sumuran. Hal ini

menunjukkan bahwa sampel Trichophyton rubrum yang digunakan untuk penelitian tumbuh dengan baik.

Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah flukonazol

dengan konsentrasi karena telah terbukti bekerja secara tepat dan efektif untuk

pengobatan infeksi jamur superficial dan sistemik (Adiguna, 2000). Konsentrasi

flukonazol yang dipakai dalam kontrol positif ini adalah konsentrasi yang

menunjukkan hasil sensitif pada uji sensitifitas terhadap Trichophyton rubrum in vitro dengan menggunakan metode difusi, yakni konsentrasi 25µg/ml (Ellis,

(42)

2009). Mekanisme antifungi flukonazol adalah dengan mengganggu struktur dan

fungsi membran sel jamur. Flukonazol menghambat biosíntesis ergosterol yang

merupakan sterol utama penyusun membran sel jamur. Berkurangnya ergosterol

akan menyebabkan membran sel jamur menjadi tidak stabil sehingga akan terjadi

kebocoran komponen penting dalam sel. Kebocoran

komponen-komponen penting dalam sel jamur tersebut akan mengganggu metabolisme sel

jamur sehingga pertumbuhan terhambat dan akan terjadi kematian sel jamur

(Neal, 2006).

Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak kelopak bunga

Rosella (Hibiscus sabdariffa L) memiliki efek antifungi terhadap Trichophyton rubrum in vitro. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyebutkan bahwa ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) memiliki efek antifungi terhadap Trichophyton rubrum in vitro. Efek antifungi ditunjukkan dengan adanya zona hambatan yang terbentuk pada kelompok perlakuan ekstrak kelopak bunga

Rosella konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40 %, dan 50%.Pada grafik batang (gambar

8)dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kelopak bunga Rosella

yang digunakan, semakin besar rata-rata diameter zona hambatan yang

dihasilkan. Hal ini juga bisa dinyatakan bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak kelopak bunga Rosella yang digunakan semakin tinggi pula efek antifungi yang

dihasilkan.

Uji One Way ANOVA digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata diameter zona hambatan yang signifikan pada ketujuh

(43)

menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata diameter zona hambatan pada ketujuh

kelompok perlakuan adalah signifikan dengan p < 0,05, yang menunjukkan bahwa

ekstrak kelopak bunga Rosella mempunyai pengaruh yang berbeda di setiap

konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro.

Uji LSD (tabel 5), terlihat bahwa kelompok kontrol negatif (aquadest

steril) memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok perlakuan.

Hal ini dikarenakan aquadest steril tidak mempunyai efek antifungal terhadap

Trichophyton rubrum. Kelompok kontrol positif juga memiliki perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok, kecuali dengan kelompok ekstrak kelopak

bunga Rosella dengan konsentrasi 20 %. Begitu pula dengan kelompok perlakuan

ekstrak kelopak bunga Rosella dengan konsentrasi 20%, kelompok ekstrak

kelopak bunga Rosella konsentrasi 20% memiliki perbedaan signifikan dengan

semua kelompok perlakuan kecuali dengan kontrol positif. Pemberian 0,05 ml

kelompok ekstrak kelopak bunga Rosella konsentrasi 20 % menghasilkan zona

hambatan yang hampir sama dengan pemberian 0,05 ml flukonazol konsentrasi

25µg/ml. Walaupun sedikit berbeda (sedikit lebih besar pada flukonazol), namun

dari analisis statistik menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut memiliki efek

antifungal yang tidak berbeda secara signifikan. Dengan ini dapat disimpulkan

bahwa ekstrak kelopak bunga Rosella konsentrasi 20% memiliki keefektifan yang

sama dengan flukonazol 25 µg/ml dalam menghambat pertumbuhan jamur

(44)

masing-masing memiliki perbedaan hasil yang signifikan dengan semua kelompok

perlakuan.

Dari hasil penelitian ini, ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) dapat digunakan sebagai alternatif terapi untuk infeksi jamur dermatofitosis khususnya jamur Trichophyton rubrum. Penggunaan ekstrak kelopak bunga Rosella sebagai infeksi dermatofitosis ini dapat digunakan secara

topikal maupun sistemik, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui dosis terapi yang tepat dan dosis toksiknya. Ekstrak tanaman Rosella

ini tergolong memiliki derajat toksisitas yang rendah. Berdasarkan penelitian yng

dilakukan pada tikus, ekstrak kelopak bunga Rosella memiliki dosis letal pada

dosis diatas 5000 mg/kg. Selain itu, pemakaian yang lama dan dengan dosis tinggi

juga dilaporkan mengganggu testis dari tikus (Ali et al., 2005).

Efek antifungi yang dihasilkan oleh kelopak bunga Rosella pada penelitian

ini diduga disebabkan karena kelopak bunga Rosella (Hibicscus sabdariffa L) mengandung beberapa senyawa flavonoid yakni anthocyanin, gossypeptin

(hexahydroxyflavone) 3-glucoside (Bisset, 1994), flavonol glucoside hibiscritin,

flavonoid gossypeptin, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside

(Maryani dan Kristiana, 2005). Pada penelitian ini tidak dilakukan ekstraksi

dengan isolasi zat flavonoid, namun pada ekstraksi digunakan pelarut ethanol

yang akan melarutkan zat flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polar, oleh

karena itu flavonoid larut dalam pelarut polar seperti ethanol, methanol, butanol,

aseton, dimetil sulfoksida, dimetilforfamid, dan air (Arini, 2003)

.

Ethanol ini akan

(45)

penelitian. Flavonoid disintesis tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi

mikroorganisme, karena itu flavonoid merupakan senyawa antimikrobial yang

efektif (Al-Bayati and Al-Mola, 2008). Aktifitas biologis yang dimiliki oleh

flavonoid diantaranya adalah antibakteri, antijamur, antiviral, antiprotozoa,

antioksidan, dan antiinflamasi (Cushnie and Lamb, 2005). Mekanisme antifungi

antara flukonazol dan ekstrak kelopak bunga Rosella dalam menghambat

pertumbuhan jamur pada dasarnya sama yakni senyawa flavonoid dapat

mengganggu struktur dan fungsi membran sel jamur. Mekanisme kerja flavonoid

dalam menghambat pertumbuhan jamur menyebabkan gangguan permeabilitas

membran sel jamur. Gugus hidroksil yang terdapat pada senyawa flavonoid

menyebabkan perubahan komponen dari membrane sel jamur dan transport nutrisi

yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap jamur (Sabir,

2005; Salwa dan Neimat, 2007; Lima et al., 2008).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Olaleye (2007) telah dibuktikan

bahwa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak methanol kelopak bunga Rosella

juga merupakan antibakteri yang efektif terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus stearothermophilus, Micrococcus luteus, Serratia mascences, Clostridium sporogens, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Bacillus cereus,

Pseudomonas fluorescence. Selain itu, anthocyanin yang terkandung dalam kelopak bunga Rosella ini memiliki efek kardioprotektif (Jonadet, 1990),

hipokolesterolemi (Chen et al., 2003), antioksidan dan hepatoprotektif ( Wang et al., 2000).

(46)

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) memiliki efek antifungi terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro

sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif terapi pada penyakit infeksi

dermatofitosis terutama infeksi jamur Trichophyton rubrum. B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan ekstraksi zat flavonoid

yang terkandung dalam kelopak bunga Rosella yang dimungkinkan

berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.

2. Perlu dilakukan penelitian secara in vivo untuk mengetahui pengaruh ekstrak kelopak bunga Rosella terhadap Trichophyton rubrum.

3. Perlu dilakukan penelitian tentang efek antifungi ekstrak kelopak

bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L) terhadap jamur dermatofita yang lain.

(47)

DAFTARPUSTAKA

Adiguna M.S. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam:

Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hh: 1-6.

Ali B.H., Wabel N.A., Blunden G. 2005. Phytochemical, pharmacological and toxicological aspects of Hibiscus sabdariffa L. Phytotherapy Research. volume 19 issue 5 pp 369 – 375.

Al-Bayati F.A., Al-Mola H.F. 2008. Antibacterial and antifungal activities of different part of Tribulus terrestris L. growing in Iraq. J Zhejiang Univ Sci B. 9 (2): 154-159.

Arini, S., Nurmawan D., Alfiani F., Hertiani T. 2003. Daya antioksidan dan kadar flavonoid hasil ekstraksi ethanol-air daging buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Buletin Penalaran Mahasiswa UGM. Vol 10 No.01.

Bisset N.G. 1994. Herbal Drug and Phytopharmaceuticals. Stuttgart: Medpharm GmbH Scientific Publisher.

Bramono K. 2008. Dermatomikosis dan Infeksi HIV/AIDS : Sebagai masalah dan sebagai Petunjuk?. http://perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-editorial/13. (8 September 2009).

Bridson E.Y. 1998. The Oxoid Manual. 8th Edition. England: Oxoid Limited Hampsire.

Buana M.F., Indrianto N., Setyawati L., Sari D.K., Islakhiyah K. 2008. Budidaya Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa) sebagai Makanan Tambahan yang Bergizi Tinggi dan Apotek Hidup di Pekarangan Rumah. Program Kreativitas Mahasiswa.

Chen C.C., Hsu J.D., Wang S.F., Chrang H.C., Yang M.Y., Kao E.S., Ho Y.O., Wang C.J. (2003). Hibscus sabdariffa extrac inhibit the development of atherosclerosis in cholesterol-fed rabbits. J. Agric. Food Chem. 51(18): 5472-5477.

(48)

Cheppy S., Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. hh:1-2.

Chusnie T.P., Lamb A.J. 2005. Antimikrobial activity of Flavonoids.

International Journal of Antimikrobial Agents. 26(5): 343-56.

Daili E.S., Menaldi S.L.,Wisnu I.M. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta : Medical Multimedia Indonesia.

Ellis D. 2009. Antifungal Susceptibility Testing. http://www.mycology.adelaide. (30 Januari 2009).

Gandahusada S., Ilahude H.D., Pribadi W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Pustaka.

Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. h: 75.

Hughes N.M., Vogelmann T.C., Smith W.K. 2008. Optical effects of abaxial anthocyanin on absorption of red wavelengths by understorey species : revisiting the back-scatter hyphotesis. Journal of Experimental Botany.

Jonadet M, Bastide J, Bastide P, Boyer B, Carnat A.P., Lamaison J.L. 1990. In vitro enzyme inhibitory and in vivo cardio-protective activities of Hibiscus sabdariffa L. J. Pharmacol. Belgium. 45(2): 120-124.

Lima B., Aguero M.B., Zydaglo J., Tapiai A., Solis C., Rojas De Arias A., Yaluff G., Zaccino S., Feresini G.E., Hirschmann G.S. 2008. Antimicrobial Activity of extracts, Essential Oil and Metabolites Obtained from Tagetas Mendocina. J.Chil. Chem. Soc.

Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W. (eds). 2000.Mikosis Superfisialis – Dermatofitosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. h : 93.

Maryani H., Kristiani L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosella. Jakarta : Agromedia Pustaka.

(49)

Nasution M.A. 2005. Mikrobiologi dan Mikologi Kedokteran ; Beberapa Pandangan Dermatologis.http://www.usu.ac.id. (8 September 2009).

Ngane A.N., Etame R.E., Ndifor F., Biyiti L., Zollo P.H., Bouchet P. 2006. Antifungal activity of Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) of Cameroon. Chemotherapy. 52: 103-106.

Olaleye M.T. 2007. Cytotoxicity and antibacterial activity of methanolic extract of Hibiscus sabdariffa.Journal of Medicinal Plants Research. Vol. 1(1).

Pratiwi S.F. 2001. Uji Daya Antijamur Minyak Atsiri beberapa Spesies Suku Zingiberaceae. Pharmacon. 2: 46-50

Quelab. 2005. Mc Farland Standar. http://www.quelab.com/htmleng/2900a.html. (15 Maret 2008).

Rippon J.W. 1974. Medical Mycology : The Pathogenic Fungi and The Pathogenic Actinomycetes. 1st edition. Philadelphia, London, Toronto : W. B. Saunders Company, pp: 1-9, 96-169.

Robbin M.C. 2005. Tinea Pedis. http;//www.emidicine.com (8 September 2009).

Sabir A. 2005. Aktivitas antibakteri flavonoid propolis Trigona sp trhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro). Majalah Kedokteran Gigi. 38:135-141.

Salwa A.A., Neimat A.E. 2007. The effect of Egyptian honeybee propolis on growth of Aspergillus versicolor and sterigmatocystin biosynthesis in Ras cheese. Journal of Dairy Research. 74: 74-78.

Santos D.A., Barros M.E.S., Hamdan J.S. 2006. Establishing a method of inoculums preparation for susceptibility testing of Trichophyton rubrum

and Trichophyton mentagrophytes. Journal of Clinical Microbiology. 44:98-101.

Siregar R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC.

United State Departement of Agriculture. 2009. Hibiscus sabdariffa L.

(50)

Utarini A., Trisnantoro L. (eds). 2000. Catatan Kuliah Metode Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hh: 42-43

Wang C.J., Wang J.M., Lin W.L., Chu C.Y., Chou F.P., Tseng T.H. 2000. Protective effect of Hibiscus anthocyanins against tert – butyl hydroperoxide – induced hepatic toxicity in rats. Food Chem. Toxicol. 38 (5): 411 – 416.

Wangjaya. 2008. Mengenal Tanaman Rosella. http://rosela-info.blogspot.com/. (3 Oktober 2009).

Gambar

Gambar 2. Biakan dan Gambar Mikroskopis
Gambar 3. Tinea Pedis (Daili dkk, 2005)
Gambar 6. Tinea Corporis (Daili dkk, 2005)
Gambar 7. Tinea Unguium (Daili dkk, 2005)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi mempunyai empat fungsi menurut kerangka yang dikemukakan, yakni: Komunikasi social Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis,mengidentifikasi kebutuhan informasi,memperbaiki dan merancang sistem informasi akuntansi pendapatan yang dibutuhkan oleh

berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud pada butir a dan b di atas, perlu menetapkan Keputusan Kepala Madrasah Aliyah Al-Azhar Ambat Tlanakan Pamekasan tentang

Untuk memperoleh data melalui observasi partisipasi ini peneliti terjun langsung mengikuti beberapa kegiatan pendidikan di MI Negeri Paju Ponorogo dan MI Terpadu

Throngh this experimental study, the writer wants to find out the effuct of using picture series and dialogues on the studer.rts' writing achievement and also to hnd out which one

Good impact of the implementation of the tax in an e-commerce trading transactions provide a clear legal certainty also in commerce e-commerce and also obtain

Bruto ( Gross National Product ) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun;

DATA INDUK PREVALENSI ONIKOMIKOSIS DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSUP HAJI ADAM MALIK.. MEDAN PERIODE JANUARI