• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

WAHYU AGUS KURNIAWATI AS E 0006288

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi pengaruh yang besar terhadap masalah Hak Kekayaan Intelektual. Seiring perjalanan waktu, ternyata pelanggaran-pelanggaran di bidang hak cipta semakin marak saja. Beberapa kebudayaan Bangsa Indonesia bahkan diklaim oleh negara lain misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet Bali dan lainnya. Hal ini memberikan suatu pukulan yang keras bagi Indonesia untuk lebih memberikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, yang sebenarnya sejalan dengan Misi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yaitu memberikan perlindungan hukum bagi karya-karya intelektual dan menggalakkan peningkatan karya kreatif dengan menyelenggarakan sistem Hak Kekayaan Intelektual. Penegakan hukum adalah faktor utama kesuksesan Hak Kekayaan Intelektual.

(3)

melindungi Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri, yang masing-masing mempunyai spesifikasi perlindungan yang berbeda-beda.

Masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan konsep Hak Kekayaan Intelektual yang ada sekarang ini, dikarenakan masyarakat Indonesia justru lebih senang apabila kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual mereka digunakan oleh orang lain. Menurut mereka, orang-orang yang menggunakan tersebut menyukai hasil karyanya sehingga ada suatu kepuasan tersendiri di dalam diri akan hal tersebut. Hal ini tanpa mempertimbangkan pembayaran sebuah royalti atas penggunaan barang tersebut. Apabila dibayangkan seseorang yang harus berjuang dengan daya upaya menciptakan suatu barang dan setelah jadi ternyata penciptanya tidak dapat menikmati hasil karyanya sebagai akibat adanya pembajakan maka tentu saja hal itu sangat merugikannya.

Masyarakat kurang mengetahui konsep Hak Kekayaan Intelektual ini, seperti yang dinyatakan Muhamad Djumhana bahwa pada umumnya masyarakat kurang mengetahui benar mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Bahkan, kalangan pencipta seperti seniman, desainer, dan juga penemu serta pemilik merek itu sendiri pun kurang mengetahui, apalagi mengenai kapan dan bagaimana harus menegakkan atau mempertahankan hak tersebut. Bila pun masyarakat telah sedikit memahaminya namun pemahamannya masih rancu (Muhamad Djumhana, 2003:1).

(4)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku tanggal 27 Juli 2003.

Hampir di seluruh daerah Indonesia memiliki kebudayaan batik yang beragam dan memiliki khas sendiri-sendiri. Beragam suku bangsa kaya akan hasil seni tradisional dengan nilai estetika yang tinggi seperti batik tradisional Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Jambi, dll. Batik tulis Kota Surakarta atau juga yang lebih dikenal dengan batik tulis Kota Solo merupakan karya seni tradisional yang harus memperoleh perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya hak cipta. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi sehingga jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan yang secara dapat menimbulkan suatu kerugian bagi penciptanya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Pasal 12 Ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan bahwa dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang di dalamnya mencakup seni batik.

Perkembangan bentuk dan fungsi batik tidak semata-mata untuk kepentingan busana saja, tetapi dapat juga dipergunakan untuk elemen interior, produk cinderamata, media ekspresi, bahkan merambah ke barang-barang mebel. ciptaan batik pada awalnya merupakan suatu ciptaan khas bangsa Indonesia yang dibuat secara konvensional. Batik mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif maupun gambarnya yang menjadi alasan karya-karya seperti ini memperoleh perlindungan. Termasuk pula di dalamnya pengertian seni batik yaitu karya tradisional yang ada di berbagai daerah, misalnya saja seni songket, tenun ikat, dan lain-lain yang terus dikembangkan.

(5)

mengenai keharusan berseragam batik itu walaupun bertujuan baik, namun sebenarnya agak kurang mengena sebab batik yang dikenakan sebagai pakaian seragam tersebut hampir selalu merupakan produk pabrik. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan pelestarian batik ini dengan memasukkan kurikulum batik di sekolah-sekolah khususnya sekolah di Kota Surakarta.

Kota Solo sebagai salah satu barometer perbatikan di Indonesia, ternyata memiliki kewajiban moral terhadap pelestarian dan pengembangan batik sebagai seni sekaligus asset ekonomi bangsa apalagi setelah Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tanggal 2 Oktober 2009 melegetimasikan batik sebagai warisan seni dan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Wali Kota Surakarta ini mensosialisasikan penggalakan pelestarian dan pengembangan batik. Dari hal ini Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga kota Solo akan memasukkan batik ke dalam Kurikulum Muatan Lokal Batik yang diajarkan mulai jenjang SD sampai SMA/SMK di kota Solo (Kuswilo, 2009: 39). Upaya untuk melestarikan seni batik tidak cukup hanya demikian. Hal yang paling mendasar adalah upaya memberikan penghargaan berupa perlindungan atas hasil karya intelektualnya melalui melalui hak cipta. Hal ini penting karena dalam proses menghasilkan suatu karya seni batik diperlukan sejumlah pengorbanan baik pikiran, tenaga, biaya, dan waktu (Afrillyanna Purba, 2005:7).

Kota Surakarta yang dikenal dengan Solo Kota Budaya, salah satu kebudayaan yang paling berkembang adalah dalam industri batik. Di Kota Surakarta sendiri ada suatu daerah-daerah (kampung) yang sebagian besar masyarakatnya merupakan perajin industri batik sampai akhirnya daerah tersebut dijadikan sebagai kampung wisata batik yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampoeng Wisata Batik Koeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Selain kampung-kampung industri batik, Kota Surakarta juga mempunyai beberapa perusahaan terkemuka yang bergerak dibidang produksi batik yang sudah dikenal banyak kalangan.

(6)

tidak segera mendapatkan perlindungan, dalam hal ini perlindungan hak cipta terhadap ciptaan batik, ditakutkan ciptaan tersebut akan semakin musnah dan bisa saja diklaim oleh daerah lain atau orang-orang asing yang lebih mengerti tentang adanya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap batik. Berdasar uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusunnya menjadi sebuah skripsi dengan judul “STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA’’.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang penting karena diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta?

2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar tepat mengenai sasaran yang dikehendaki dan dapat pula memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.

(7)

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data dan informasi secara jelas dan lengkap sebagai bahan penyusunan skripsi sebagai prasyarat guna menyelesaikan studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dibidang Hukum Perdata terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada khususnya.

c. Memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Perdata pada masalah Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait dengan masalah penelitian ini pada umumnya dan para pencipta seni batik agar semakin berkembang.

b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.

c. Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah dan lingkup yang dikaji dalam penelitian ini.

(8)

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi pengembangan ilmu dan bagi pemecahan suatu masalah. Metodologi penelitian merupakan cara utama untuk memperoleh data secara lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Metodologi penelitian juga merupakan cara atau langkah sebagai pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu gejala atau merupakan suatu cara untuk memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”; namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan, sebagai berikut:

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 2007 : 5).

Sesuai dengan tujuan penelitian sebagai suatu prasarat menyelesaikan studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum, maka penelitiannya merupakan penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu kegiatan, yang didasarklan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala tertentu, dengan jalan menganalisanya dengan mengadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa metedologi penelitian memanglah penting. Beberapa hal yang menyangkut metode penelitian dalam penelitian ini diuraikan penulis sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian Hukum

(9)

memberikan gambaran dan menguraikan tentang studi perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2007 : 10).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan oleh resonden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2007 : 250).

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Data adalah hasil dari penelitian, baik berupa fakta-fakta atau angka-angka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu sumber informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Jenis dan sumber data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer.

(10)

Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Laweyan, dan beberapa orang perwakilan pengusaha batik yang ada di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Wawancara ini dilakukan oleh peneliti guna menunjang penyajian dan analisis data.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dari lapangan. Data ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen atau arsip, bahan pustaka, laporan, internet, jurnal, makalah dan sebagainya yang terkait dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan untuk memperoleh data-data primer dan sekunder yang lengkap dan relevan. Teknik pengumpulan data tersebut adalah meliputi hal berikut :

a. Data Primer

1) Wawancara (interview)

Penulis terjun langsung ke lokasi penelitian dengan tujuan memperoleh data yang valid dan lengkap dengan cara mengadakan wawancara. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Untuk mempermudah perolehan informasi, penulis membuat panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan tersusun dalam bentuk interview guide.

(11)

secara dalam (HB. Sutopo, 1988 : 22). Penelitian selanjutnya menggunakan snow ball sampling yaitu peneliti pertama-tama datang pada seseorang yang menururt pengetahuannya dapat dipakai sebagai “key informant”, tetapi setelah berbicara secara cukup, informant

tersebut menunjukkan subyek lain yang dipandang mengetahui lebih banyak masalahnya sehingga peneliti menunjuknya sebagai informant baru, dan demikian pula seterusnya berganti informant berikutnya yang dianggap lebih dalam pula, sehingga data yang diperolehnya semakin banyak, lengkap, dan mendalam (HB. Sutopo, 1988 : 22). 2) Observasi

Observasi merupakan pengamatan terhadap obyek yang diteliti. Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan. Jenis Observasi yang dipakai pada penelitian ini observasi non partisipan dimana peneliti tidak berpartisipasi terhadap segala kegiatan yang terdapat di tempat penelitian.

b. Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang tentunya berkaitan dengan masalah yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data dan Model Analisis

Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut. Analisis data mempunyai kedudukan penting dalam penelitian guna mencapai tujuan penelitian. Data yang diperoleh tersebut akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga didapat suatu kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian.

(12)

pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Dalam bentuk ini, peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (H. B. Soetopo, 2002 : 94-95)

Untuk lebih jelasnya, tehnik analisa data kualitatif dengan model interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Bagan I : Interactive Model Of Analysis

Keterangan : a. Reduksi Data

Dalam reduksi data peneliti diharuskan memeriksa semua data yang diperoleh, apakah sudah lengkap, runtun atau masih diperlukan informasi tambahan sebagai pelengkap dalam penyususnan nantinya. Setelah semua data atau informsi sudah terkumpul lengkap, kemudian penulis melakukan proses pemilihan/seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari data-data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan. b. Penyajian Data

Dengan penyajian data, peneliti akan mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisa atau mengambil tindakan yang berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut dalam bentuk narasi yang memungkinkan

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

(13)

kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang akan diteliti.

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan-pencatatan, peraturan-peraturan, pola-pola, pertanyaan-pertanyaan, atau konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai proposisi kesimpulan yang diverifikasi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika Penulisan Hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam Penulisan Hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam Penulisan Hukum ini. Adapun sistematika Penulisan Hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika Penulisan Hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab pertama ini, diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : Tinjauan Pustaka

(14)

intelektual sebagai bagian dari hukum benda, pemanfaatan hak kekayaan intelektual, kemudian tinjauan tentang Hak Cipta yang meliputi ketentuan hak cipta dalam sejarah dan ruang lingkup hak cipta, yang terdiri dari : 1). istilah, hak-hak terkait, dan prinsip-prinsip hak cipta, 2). obyek hak cipta, 3). sifat-sifat hak cipta, 4). pendaftaran dan pembatalan hak cipta, 5). pengalihan hak cipta, kemudian tinjauan tentang pengetahuan tradisional yang terdiri dari pengertian dan ruang lingkup pengetahuan tradisional, perlindungan hukum hak cipta atas folklore dan pengetahuan tradisional, pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional di indonesia dan permasalahannya, tujuan perlindungan pengetahuan tradisional, tinjauan tentang penegakan hukum hak cipta yang meliputi penegakan hukum pada umumnya, dan penegakan hukum hak cipta, dan kemudian tinjauan tentang batik yang meliputi pengertian, perkembangan batik di Indonesia, macam batik dan proses singkat pembuatan batik, serta batik tradisional di Kota Surakarta. Setelah kerangka teori dilanjutkan dengan kerangka pemikiran.

BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai hasil penelitian yang diperoleh di lapangan dan pembahasannya yang dihubungkan dengan fakta dan data dari kepustakaan mengenai pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta dan kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap seni batik di Kota Surakarta. BAB IV : Penutup

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1 Tinjauan tentang Hak Kekayaan Intelektual a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Istilah Hak Kekayaan Intelektual bukanlah satu-satunya terjemahan dari kata Intellectual Property Right. Beberapa terjemahan lainnya adalah Hak Atas

Kepemilikan Intelektual (HAKI), Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). “Dalam literatur hukum Anglo Saxon, istilah hukum tersebut terbagi menjadi dua yakni: Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual. Kata tersebut memang dapat diartikan sebagai kekayaan, dapat juga sebagai milik” (Abulkadir Muhammad, 2001:1).

Perbedaan-perbedaan istilah tersebut sebenarnya hanya berbeda dalam kata namun mempunyai makna yang sama, untuk memudahkan dalam pengambilan istilah, maka penulis mengambil istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di mana pengambilan istilah ini sejalah dengan ketentuan yang berlaku dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual.

(16)

“Secara substansi, pengertian Hak Kekayaan Intelektual dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan intelektual yang timbul dan lahir karena kemampuan intelektual manusia” (Afrillyanna Purba, 2005:13). HKI tersebut dapat dikatakan sebagai hak eksklusif, yakni hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Hak hukum di mana dengan hak hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kresi dan karya intelektual manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mempunyai manfaat ekonomi.

b. Dasar Teoritik Pembenaran atas Perlindungan Hak Kekayayaan Intelektual Perlindungan HKI itu sangat penting, hal ini juga dibenarkan oleh pendapat Soejono Dirjosisworo yang menyatakan penciptaan HKI membutuhkan banyak waktu di samping bakat, pekerjaan, dan juga uang untuk membiayainya. Di bidang kesusastraan, paten, merek dagang, juga dalam teknologi baru seperti perangkat lunak untuk komputer, bioteknologi, dan chips sudah jelas bahwa perlindungan tertentu sangat dibutuhkan. Apabila tidak ada perlindungan atas kreativitas intelektual yang berlaku di bidang seni, industri, dan pengetahuan ini, maka tiap orang dapat meniru dan membuat copy secara bebas serta memproduksi tanpa batas (Soejono Dirjosisworo, 2000:3).

“Perlindungan HKI pada dasarnya didasarkan kepada beberapa alasan pembenar. Alasan pembenar ini didasarkan pada suatu pendekatan teoritik. Adapun beberapa alasan pembenar terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual adalah”:

1) Bahwa kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra, atau pun penemu di bidang teknologi baru baik berupa rahasia dagang, hak cipta maupun paten, harus diberikan suatu penghargaan dan pengakuan serta perlindungan hukum atas keberhasilan upayanya dalam melahirkan karya baru itu.

(17)

2) Berbeda dalam rahasia dagang pada bidang HKI lain seperti halnya paten pada dasarnya bersifat terbuka, artinya penemuannya harus menguraikan atau membeberkan penemuannya dengan jelas dan terinci sebagai salah satu syarat pendaftaran paten. Keadaan ini potensial menimbulkan resiko karena orang lain dapat belajar atau melaksanakan penemuan tersebut secara tanpa hak, oleh karena itu sebagai imbalannya kepada penemu diberikan hak khusus (ekslusif) untuk dalam jangka waktu tertentu melakukan ekspoitasi atas penemuannya, sehingga setiap pelanggaran atas hal itu dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.

3) Bahwa HKI yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan bersifat permulaan yang belum didaftarakan sebagai paten misalnya, membuka kemungkinan kepada pihak lain untuk dapat mengetahui atau mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu tadi secara diam-diam. Oleh karenanya, penemuan-penemuan mendasar yang belum terdaftar atau dipublikasikan itu pun harus dilindungi, meskipun belum dapat memperoleh perlindungan di bawah hukum paten, hak cipta dan desain, tetapi dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang

(Budi Agus Riwandi, 2009: 4-5).

Dasar pembenar seperti yang telah diuraikan di atas semakin mempertegas akan arti penting terhadap perlindungna HKI. Dengan adanya perlindungan terhadap HKI, maka ada jaminan kepada masyarakat untuk menghargai hak inisiatif dan reaksi serta memberikan perlindungan akan hasil karya ciptanya. Semakin tinggi penghargaan negara terhadap HKI, maka masa depan suatu bangsa juga akan lebih baik (Dewi Sulistyaningsih, 2008: 3-4).

c. Prinsip Hak Kekayaan Intelektual

(18)

menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah (natural)” (Muhammad Djumhana, 2003: 24). Hal ini merupakan

keeksklusifan dari pencipta. Pada tingkatan paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh dan menjamin bagi setiap manusia penguasaan dan penikmatan eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut dengan bantuan negara, yakni melalui sistem HKI yang berdasarkan prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut:

1) Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)

Wajar apabila para pencipta suatu karya cipta, atau orang yang dapat membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya dapat memperoleh imbalan. Imbalan disini dapat berupa imbalan materi maupun bukan materi.

2) Prinsip Ekonomi (the economic argument)

Prinsip ini berkait erat dengan prinsip keadilan, setelah seseorang tadi mendapatkan imbalan sangatlah wajar apabila hal tersebut digunakan sebagai menunjang kehidupannya di dalam masyarakat sesuai dengan sifat ekonomis manusia.

3) Prinsip Kebudayaan (the culture argument)

Karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup, selanjutnya dari karya itu akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan karya manusia sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradapan, dan martabat manusia. 4) Prinsip Sosial (the social argument)

Pemberian perlindungan hukum dari negara tidak boleh semata-mata digunakan untuk memenuhi kepentingan perseorangan, akan tetapi harus memenuhi kepentingan seluruh masyarakat

(Afrillyanna Purba, 2005: 14).

(19)

Apabila HKI kita telusuri sebenarnya merupakan salah satu bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (immateriil). Perlu kita ketahui benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan benda berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 503 KUH Perdata dan benda tidak berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 499 KUH Perdata yang disebut hak. HKI ini merupakan suatu hak. Untuk itu perlu kita lihat batasan benda yang ditemukan oleh Pasal 499 KUH Perdata (Abdulkadir Muhammad, 2007; 3). “Apabila hak kebendaan tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 dengan Pasal 73 UUHC 2002, tampak sekali kalau hak cipta itu bagian daripada hak kebendaan, yang merupakan hak mutlak serta bersifat mengikuti ciptaannya, walaupun tidak mendapatkan perlindungan hukum di negara lain” (Rahmadi Usman, 2003:81).

Pembenaran penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda dapat dilihat dari hak kepemilikan hasil intelektual. Hak kepemilikan ini sangat abstrak dibandingkan dengan hak kepemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, dan juga kedua hak tersebut bersifat hak mutlak. Selanjutnya dapat dianalogikan bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hasil tersebut dapat dimanfaatkan dan di reproduksi yang nantinya menjadi sumber keuntungan.

Pada dasarnya HKI dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu:

1) Hak Cipta, yang terdiri dari hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta.

2) Hak Kekayaan Perindustrian yang terdiri dari : (a) Paten (patent)

(b)Merek Dagang (trade mark)

(c) Desain Industri (Industrial Design).

(20)

Terpadu, Desain Produk Industri, dan Perlindungan Varietas Tanaman (Alfriyanna Purba, 2005: 16).

“According to the World Intellectual Property Organization

(WIPO),intellectual property (IP) is a term that refers to“creations of the

mind:inventions,literary and artistic works, and symbols, names, images,

and designs used in commerce. WIPO divides IP into two

categories:industrial property (patents, trademarks, and industrial

designs) and copyright (literary,artistic,creative,and aesthetic works)”

yang artinya menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), HKI adalah istilah yang mengacu pada “Kreasi pikiran: penemuan, sastra dan karya artistik, dan simbol, nama, gambar, dan desain yang digunakan dalam perdagangan. WIPO membagi HKI menjadi dua kategori: kekayaan industri (paten, merek dagang, dan industri desain) dan hak cipta (Sastra, seni, kreatif, dan estetika bekerja)” (Matthew Dames. 2009: 18).

e. Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual

Pasal 570 KUH Perdata disebutkan Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaaan sesuatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Ketentuan Pasal 570 KUH Perdata tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa setiap hak milik mempunyai unsur:

(21)

2) Kemampuan untuk mengawasinya atau menguasai benda yang menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya.

Walaupun demikian, pengaturan hukum di sini memberikan pembatasan kepada pemiliknya untuk menikmati maupun menguasai atas benda, atau hak yang merupakan miliknya tersebut. Setiap pengaturan Hak Kekayaan Intelektual selalu memuat pembatasan terhadap penguasaan atau penggunaan tersebut, baik secara:

1) Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan

Misalnya dalam perundang-undangan hak cipta; hak cipta hanya berlaku terhadap ciptaan-ciptaan yang telah ditentukan dalam Undang-undang dan tidak berlaku terhadap ciptaan diluar tersebut; hak cipta dibatasi oleh masa berlakunya.

2) Batas-batas tata kesusilaan dan ketertiban umum

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa HKI tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum termasuk pula penggunaan tanda yang bertentangan dengan agama atau menyerupai nama Allah dan Rasul-nya.

3) Pencabutan hak milik untuk kepentingan masyarakat, asal saja pencabutan hak milik itu dilakukan berdasarkan Undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi yang layak.

Perlindungan HKI yang kuat selain memberikan kepastian hukum, juga memberikan manfaat yang dapat dirasakan dari segi politis, ekonomi, sosial budaya, bahkan segi pertahanan keamanan pun bisa meraih manfaat dari adanya perlindungan HKI ini. Secara garis besarnya kita dapat melihat beberapa keuntungan dan manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya perlindungan HKI secara ekonomi, yaitu antara lain:

(22)

2) Pemberian perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau menemukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. 3) Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan

pengakuan negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan juga merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik penanaman modal asing, serta memperlancar perdagangan internasional.

2. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Hak Cipta a. Ketentuan Hak Cipta di Indonesia dalam Sejarah

Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., hukum yang berlaku di Negeri Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Undang-undang Hak Cipta saat itu adalah Auterswet 1912, yang pada saat itu istilah yang digunakan adalah hak

pengarang/hak pencipta (author right) yang hanya menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta (Afrillyanna Purba, 2005: 16).

(23)

sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai hak pengarang (hak cipta).

Guna mempertegas perlindungan hak cipta dan menyempurnakan hukum yang berlaku, maka telah beberapa kali diajukan Rancangan Undang-undang baru tentang hak cipta yaitu pada tahun 1958, 1966, dan 1971, tetapi tidak berhasil menjadi Undang-undang Hak Cipta sendiri. Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1982). Undang-undang ini sekaligus mencabut Auterswet 1912 yang dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang ilmu, seni, dan sastra, serta mempercepat pertumbuhan pencerdasan bangsa.

Undang-undang perlindungan atas pencipta ini dianggap kurang memadai dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya pada tahun 1987, UUHC 1882 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1987). Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

Penyempurnaan berikutnya adalah pada tahun 1997 dengan berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1997). Penyempurnaan ini diperlukan sehubungan perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan yang lebih efektif terhadap hak cipta. Selain itu juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia di dalam Persetujuan TRIPs yang merupakan bagian dari Agreement establishing the World Trade Organizatoin.

(24)

Undang-undang ini memuat perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia (Afrillyanna Purba, 2005: 18). Undang-undang ini berlaku sampai sekarang yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang untuk selanjutnya Undang-undang ini dikenal dengan singkatan UUHC 2002.

“Throughout its history, copyrightlaw and policy have been

created by and have served commercial interests. But this should be

neither surprising nor particularly controversial. Copyright began as a

privilege for publishers to protect their works from being copied without

proper authorization” yang artinya: Sepanjang sejarahnya, hukum hak

cipta dan kebijakannya telah dibuat oleh dan telah melayani komersial kepentingan. Tapi ini harus tidak mengherankan atau menjadi kontroversial. Hak Cipta dimulai sebagai suatu kehormatan bagi penerbit untuk melindungi karya mereka dari penjiplakan tanpa otorisasi yang tepat (Matthew Dames. 2010: 18).

b. Ruang Lingkup Hak Cipta

1) Istilah, Hak-Hak Terkait, dan Prinsip-Prinsip Hak Cipta

(25)

Unsur-unsur hak cipta dari definisi tersebut adalah sebagai berikut:

a) Hak esklusif

Hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.

b) Pencipta, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC 2002 Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

c) Pengumuman, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UUHC 2002:

Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.

d) Perbanyakan, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) UUHC 2002:

Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

(26)

memberbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta lainnya yang dalam implementasinya memperhatikan pada peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Bila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu Prancis. Menurut konsep hukum kontinental; hak pengarang yang terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta (Budi Agus Riswandi, 2004:3).

Hak ekonomi itu sendiri masih bersifat umum, sehingga hak ekonomi tersebut meliputi:

a) Hak Reproduksi atau Penggandaan

Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan suatu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film. UUHC menggunakan istilah hak perbanyakan.

b) Hak Adaptasi

Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan nonfiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convension) c) Hak Distribusi

(27)

oleh masyarakat. UUHC menggunakan istilah hak mengumumkan.

d) Hak Penampilan atau Performance Right

Hak untuk menyajikan kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual atau apresiasi suara, dan tampilan lain tersebut. Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukan sesuatu karya cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak permorfing tersebut. e) Hak Penyiaran atau Brodcasting Right

Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini contohnya penyiaran ulang.

f) Hak Program Kabel

Hak ini hampir sama dengan penyiaran hanya saja menstrasmisikan melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu studio tertentu, dari sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat pelanggan.

g) Droit de Suite

Droit de Suite adalah hak penciptaan, hak penciptaan ini bukanlah

penciptaan bisa, namun penciptaan yang mempunyai sifat hak kebendaan.

h) Hak Pinjam Masyarakat

Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.

(Budi Agus Riswandi, 2005: 5-7).

(28)

Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan ini, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagiaan ciptaannya itu.

Tidak semua ciptaan mendapatkan hak cipta. Adapun ciptaan yang dapat dilindungi harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar hak cipta, yakni:

a) Hak cipta yang dilindungi adalah hak yang telah berwujud dan asli. Hal ini yang melahirkan dua sub, yaitu:

(1)Suatu ciptaan harus memiliki keaslian (orisinil).

(2)Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk material yang lain.

b) Hak cipta yang timbul dengan sendirinya (otomatis).

c) Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta, karena baik ciptaan yang diumumkan atau tidak dapat memperoleh hak cipta.

d) Hak cipta harus suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan

(Afrillyanna Purba. 2005: 22).

2) Obyek Hak Cipta

Obyek dari Hak Cipta itu sendiri telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002 yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya

tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

(29)

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Ciptaan tersebut adalah penciptaan yang diketahui sedangkan hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2002 yang menyatakan:

(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.

(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milki bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.

UUHC 2002 selain mengatur apa saja yang dapat dikategorikan sebagai hak cipta, juga menentukan beberapa ciptaan yang tidak dapat dilindungi, yang termuat dalam Pasal 13, antara lain: a. Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;

b. Peraturan perUndang-undangan;

c. Pidato kenegaraan atau pidato Pejabat Pemerintah; d. Putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau

e. Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

3) Sifat-sifat Hak Cipta

ciptaan-ciptaan yang memiliki hak cipta tersebut, mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a) Hak cipta adalah hak khusus

(30)

dilarang menggunakannya kecuali atas izin pencipta selaku pemiliki hak.

b) Hak cipta berkaitan dengan kepentingan umum

Hak cipta mempunyai hak khusus namun demikian ada batasan-batasan yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang juga turut memanfaatkan ciptaan seseorang.

c) Hak cipta dapat beralih maupun dialihkan

Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUHC 2002. Pada intinya hak hipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena: pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perUndang-undangan.

d) Hak cipta dapat dibagi atau diperinci

Berdasarkan praktik-praktik pelaksanaan hak cipta, maka hak cipta dibatasi:

(1)Waktu, misalnya lama produksi suatu barang sekian tahun; (2)Jumlah, misalnya jumlah produksi barang sekian unit dalam

satu tahun;

(3)Geografis, contohnya sampul kaset yang bertuliskan “For Sale in Indonesia Only”.

(Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002: 20-21).

Ciptaan yang dapat dimasukkan dalam hak cipta, memiliki sifat-sifat seperti yang dijelaskan tersebut, sedangkan ciptaan yang tidak ada hak cipta nya tidak memiliki sifat-sifat tersebut.

4) Pendaftaran dan Pembatalan Hak Cipta

(31)

adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai pemiliki asli dari ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang mempunyai hak cipta.

Fungsi pendafttaran hanya untuk memudahkan pembuktian bahwa pihak yang mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai pencipta sampai dapat dibuktikan bahwa yang mendaftarkan ciptaan itu bukan pencipta yang sebenarnya. Pendaftaran bukan suatu keharusan dan bukan jaminan kepastian hukum atas ciptaan Terdaftar karena masih dapat digugat oleh pihak yang berhak sebenarnya. Hal ini berbeda dengan karya intelektual lain yang mempersyaratkan dalam perolehan haknya melalui proses pendaftaran.

Pendaftaran hak cipta akan memberikan manfaat bagi si pendaftar. Manfaatnya pendaftar tersebut dianggap sebagai pencipta, sampai ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya di pengadilan. Pendaftar menikmati perlindungan hukum sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pihak lain (bukan pendaftar) yang menjadi pencipta. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), atau melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Ibu Kota Propinsi. Adapun syarat-syarat yang perlu dilengkapi adalah sebagai berikut:

a) Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan dengan cara mengisi formulir yang disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 2.

b) Pemohon wajib melampirkan:

(1)Surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui kuasa;

(2)Contoh ciptaan dengan ketentuan yang telah ditentukan. c) Salinan resmi akta pendirian badan hukum atau fotocopinya yang

(32)

d) Fotocopy kartu tanda penduduk; dan e) Membayar biaya pendaftaran.

Pembatalan terhadap ciptaan terdaftar diatur dalam UUHC 2002 yaitu dalam Pasal 42, menurut ketentuan Pasal tersebut, dalam hal ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 39, pihak lain menurut Pasal 2 berhak atas hak cipta dapat mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga. Ketentuan Pasal 42 ini berkenaan dengan hubungan hukum yang timbul karena Undang-undang, yaitu hubungan hukum antara Pendaftar dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pendaftar harus memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan UUHC 2002. Apabila pendaftar tidak mengetahui kewajibannya, pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga yang berwenang terhadap hukum pendaftaran ciptaan itu. Tidak memenuhi kewajiban Undang-undang adalah sebab, sedangkan gugatan pembatalan adalah akibat.

5) Pengalihan Hak Cipta

Hak cipta sebagai benda bergerak yang immateriil merupakan bagian dari kekayaan seseorang, maka hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya ataupun sebagian. Cara beralih atau mengalihkan hak cipta diatur dalam Pasal 3 UUHC 2002 ayat (2), hak cipta adalah kekayaan intelektual yang dianggap sebagai benda bergerak tidak berwujud. Sebagai benda kekayaan, secara hukum, adapun dalam Pasal tersebut menyebutkan;

Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain karena:

a. Pewarisan b. Hibah c. Wasiat

d. Perjanjian Tertulis

(33)

Hak cipta tidak dapat beralih atau dialihkan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis, baik dengan maupun tanpa akta notaris. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya pengalihan yang disebabkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hakim tetap.

Pengalihan hak cipta didasari oleh motif ekonomi, yaitu keinginan untuk memperoleh manfaat ekonomi atau keuntungan secara komersial. Pencipta mengalihkan hak cipta dengan tujuan mendapatkan royalti, sedangkan penerima selaku pemegang hak cipta bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan ciptaan yang dihasilkan dari hak cipta tersebut. Pengalihan hak cipta, menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUHC 2002, hak cipta suatu ciptaan telah ada di tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh hak cipta dari pencipta itu. Ketentuan ini menegaskan berlakunya asas kemanunggalan hak cipta dengan penciptanya.

Pengalihan hak apa pun dasarnya, apabila hak tersebut telah didaftarkan, maka pengalihan hak tersebut dicatatkan dalam daftar umum ciptaan. Pendaftaran dapat dimohonkan secara tertulis oleh kedua belah pihak atau dari penerima hak. Pencatatan pengalihan hak tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (Muhamad Djumhana, 2003: 87).

3. Tinjauan tentang Pengetahuan Tradisional

(34)

sebagai “tradisional” adalah keterkaitannya dengan komunitas lokal tertentu. Pengetahuan tradisional diciptakan, dipertahankan, digunakan dan dilindungi dalam lingkaran tradisional. Istilah “tradisional” berarti “diturunkan dari generasi ke generasi” dan dalam hal pengetahuan tradisional biasanya merujuk pada pengetahuan yang diakumulasikan masyarakat dalam proses pengamalan yang panjang dalam suatu lokasi tertentu (Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, 2008: 35).

Tidak banyak orang yang tahu dan tidak mudah untuk menjelaskan dalam sebuah kalimat apa yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional. Perbedaan karakteristik dan bentuk-bentuk dari pengetahuan tradisional antara tempat yang satu dengan yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, tidak memungkinkan untuk dirangkum dalam sebuah kalimat yang dapat diterima baik secara hukum ataupun teknis oleh seluruh pihak. Hingga saat ini, terminologi pengetahuan tradisional yang digunakan secara luas di seluruh dunia, merupakan salah satu upaya untuk memudahkan dalam penyebutan mengenai suatu hal yang sama, yaitu segala sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk tradisional baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (http://www.lkht.net/index.php?option=com_ content&view=article&id=62:pengetahuan-tradisional&catid=1:hki-telematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.00]).

Seringkali pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang penting terhadap identitas dari suatu komunitas, jadi pengetahuan tradisional sesungguhnya dihasilkan dan dipelihara secara turun-temurun oleh penduduk asli atau suatu komunitas lokal di suatu negara. Kerajinan pahat, kerajinan ukir, ataupun motif batik, hanya merupakan sebagian kecil dari pengetahuan tradisional. Sebenarnya, banyak benda-benda atau apa yang kita lakukan sehari-hari termasuk ke dalam pengetahuan tradisional yang tidak kita sadari. Adapun ruang lingkup dari pengetahuan tradional ini sangatlah banyak sekali.

(35)

nyanyian, kerajianan tangan, desain, cerita-cerita dan karya seni, unsur-unsur bahasa seperti: nama-nama, indikasi geografis, dan simbol-simbol, serta benda-benda budaya yang dapat bergerak. Sedangkan yang tidak termasuk dalam lingkup pengetahuan tradisional adalah item-item yang tidak disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah/pengetahuan, kesusastraan atau bidang artistik seperti fosil manusia, bahasa secara umum, “warisan” dalam pengertian luas (Afrillyanna Purba, 2005: 37-38).

b. Perlindungan Hukum Hak Cipta atas Folklore dan Pengetahuan Tradisional

Perlindungan hukum yang diberikan untuk folklore dan pengetahuan tradisional, dalam ketentuan UUHC 2002 secara tersirat telah diatur. Pengaturan tersebut dalam Pasal 10 UUHC 2002 yang berjudul “Hak cipta atas ciptaan yang penciptanya Tidak Diketahui”, menetapkan: (1).Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan, prasejaarah,

sejarah, dan benda nasional lainnya.

(2).Negara memegang hak cipta atas Folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi miliki bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajianan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

(3).Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. (4).Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh Negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(36)

Jangka waktu perlindungan tersebut ditetapkan pula dalam UUHC 2002 pada Pasal 31 ayat 1a “Hak cipta atas Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu”. Pasal-Pasal ini merupakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam UUHC 2002 untuk melidungi folklore dan pengatahuan tradisional.

Ketentuan tersebut hanya diatur sebatas siapa pemegang hak dan bagaimana bila orang asing akan memperbanyak atau mempergunakan ciptaan yang haknya dipegang negara. Ketentuan tersebut belum secara rinci mengatur tentang norma apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh orang asing. Termasuk kesulitan dalam menentukan hukum acara perdata dan pidana bagi orang asing di luar wilayah RI yang dianggap melanggar ketentuan tersebut (Arif Syamsudin. 2008: 18).

c. Pentingnya Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia dan Permasalahannya

Topik pembahasan konsep pengetahuan tradisional (traditional knowledge), sumber daya genetika (genetic resources), serta ekspresi

budaya lokal (expression of folklore). Negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat prihatin terhadap hal ini, bahkan badan internasional seperti WIPO (General Assemblies tahun 2000) telah membentuk team untuk mempelajari dan mengembangkan ketiga bidang di atas dalam kaitan dengan perlindungan karya intelektual. Beberapa kasus populer misalnya menyangkut masalah penggunaan kunyit (turmeric) sebagai obat (India) yang dipatenkan di AS, paten atas Brotowali di Jepang atau juga ayahuasca di daerah Amazon, yang juga dipatenkan di AS (A. Zen Umar Purba. 2002.: 1).

(37)

1). Alasan Pertama, Indonesia yang memiliki potensi sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional terkait, ternyata belum menikmatai secara ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Indonesia yang Notabene merupakan “lumbung” dari keanekaragaman hayati yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan obat justru tidak menikmati keuntungan ekonomi dari kekayaan hayati tersebut.

2). Alasan kedua, dalam perdagangan internasional, khususnya yang berkenaan dengan aspek Hak Kekayaan intelektual (HKI), Indonesia berada di bawah tekanan negara-negara maju karena harus melaksanakan TRIPs agreement sebagai salah satu kesepakatan di dalam rezim World Trade Organisasion (WTO). Di sisi lain negara-negara maju enggan untuk mempertimbangkan kekayaan intelektual masyarakat lokal dalam belum pengetahuan tradisional.

3). Alasan Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu memberikan perlindungan bagi hak masyarakat lokal berkenaan dengan pengetahuan tradisional mereka mengingat masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa pengetahuan tradisional, antara lain di bidang obat-obatan memiliki nilai ekonomis.

Pengetahuan tradisional memang penting untuk mendapatkan suatu perlindungan hukum, namun dalam perkembangannya pengetahuan tradisional ini juga membawa suatu yang dapat dibagi ke dalam dua permasalahan utama yakni perlindungan yang mempertahankan pengetahuan tradisional atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan sukses diperoleh oleh HKI melalui ketentuan pengetahuan tradisional yang konvensional dan perlindungan yang mempertahankan pengetahuan tradisional akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum tradisonal, dan HKI.

d. Tujuan Perlindungan Pengetahuan Tradisional

(38)

maupun perlindungan terhadap karya tradisional dianut sistem kepemilikan yang bersifat individu (private property) sebagaimana karakter dari perlindungan HKI maka tentunya akan ditemukan kesulitan-kesulitan. Jadi sudahlah tepat perlindungan bagi karya yang telah ada lama dan tidak diketahui penciptanya dijadikan sebagai kara pengetahuan tradisional yang dipegang oleh Negara.

“Karya tersebut yang dimaksukan dalam pengetahuan tradisional dapat bertujuan utama sebagai upaya pencegahan konflik berkepanjangan dalam hal klaim hak kepemilikan yang dapat timbul di Indonesia yang plural”(http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view=article

&id=72:perlindungan-hki-bagi-traditional-knowledge&catid=1:hki-telematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.30]). Karya pengetahuan traditional ini juga bertujuan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, yaitu kearah negara yang akan memberdayakan atau membangun masyarakatnya yang sebagian masih miskin, maupun menerapkan cara hidup yang tradisional dalam kondisi modernisasi, globalisasi yang sudah tak terbendung.

4. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Hak Cipta a. Penegakan Hukum pada Umumnya

(39)

pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku pula.

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problem-problema “law in action” bukan pada “law in the books” (Zudan Arif Fakrulloh. 2005:22-23).

Suatu penegakan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum dan juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum (http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9> [25 Maret 2010 pukul 19.15]).

Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu: 1). Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada Undang-undang

saja.

2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

(40)

5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia (Soerjono Soekanto, 1983: 6).

Faktor kebudayaan terkait dengan faktor masyarakat, di mana faktor kebudayaan merupakan bagian atau sub sistem dari masyarakat. Menurut Lawrence M. Friedman Sebagai suatu sistem maka hukum mencakup struktur, subtansi, dan kebudayaan. Suatu sistem dalam kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Adapun nilai yang berperanan dalam hukum adalah nilai ketertiban dan nilai ketentraman. Nilai inilah yang nantinya berpengaruh lebih pada penegakan hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 45).

b. Penegakan Hukum Hak Cipta

(41)

Penegakan hukum terletak pada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi melalui UUHC 2002 yang mulai berlaku pada 29 Juli 2003 yang mengatur segala sesuatu mengenai hak cipta sampai dengan sanksi dari pelanggaran hak cipta. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. “Penegak hukum di Indonesia terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan advokat yang kebanyakan akhir-akhir ini menjadi sorotan kurang professional, tidak konsisten menjalankan etika profesi, dan gampang tergoda hal-hal yang bersifat materi” (Otto Hasibuan, 2008: 252).

Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum dalam hukum hak cipta ini. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Faktor ini dirasakan masih kurang, salah satunya dibatasinya kantor yang melayani hak cipa pada Dirjen HKI di Jakarta dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) wilayah propinsi merupakan suatu hambatan tersendiri dalam penegakan hukum, di mana para pencipta maupun pemegang hak cipta di kota yang jauh dari kantor tersebut khususnya enggan untuk mendaftarkan ciptaannya terkait dengan penambahan biaya transportasi pendaftaran.

(42)

Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hak cipta khususnya dan HKI umumnya masih sangat rendah, terbukti bahwa kebanyakan orang tidak merasa bersalah menjual maupun membeli produk hasil bajakan. Penjualan buku bajakan, kaset atau CD bajakan mungkin banyak yang sadar perbuatan dilarang hukum. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan para pembeli. Langsung atau tidak langsung, banyaknya peminat barang bajakan itulah yang membuat maraknya produksi dan penjualan barang bajakan. Kalau saja masyarakat sadar nilai sebuah ciptaan sehingga merasa bersalah jika membeli barang bajakan, hal itu sangat efektif menekan bahkan mungkin menghentikan ekploitasi ciptaan orang lain oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri (Otto Hasibuan, 2008: 255).

Faktor kebudayaan di mana erat kaitannya masalah kultur (kebudayaan) adalah masalah paradigma (cara pandang) masyarakat terhadap kejahatan hak cipta itu sendiri. Realitas menunjukkan bahwa masyarakat kita umumnya tidak memandang kejahatan hak cipta sebagai kejahatan, berbeda dengan masyarakat memandang kejahatan pencurian. Cara pandang masyarakat mengenai penegakan hukum hak cipta itu dirasa sangat kurang, malahan seperti yang disebutkan diatas banyak orang yang membeli barang bajakan. Masyarakat memandang bahwa kejahatan hak cipta tidak terlalu buruk (Otto Hasibuan, 2008: 257-258).

Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Apabila kita lihat dari kenyataan faktor-faktor tersebut penegakan hukum mengenai hak cipta ini masih rendah sekali, bahkan hal tersebut menghambat penegakan hukum hak cipta di Indonesia.

5. Tinjauan tentang Batik a. Pengertian

(43)

digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam “lilin batik” sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik (Santosa Doellah, 2002: 10).

Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan kain, canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.

Kata batik berasal dari bahasa Jawa “ambatik” atau “a-mba-tik” atau mbatik. Kata “mbat” disebut juga ngembat artinya melontarkan/ melempar, sedangkan “tik” berarti kecil, sehingga batik dapat diartikan segala melontarkan titik berkali-kali pada sehelai kain. Keahlian tersebut merupakan pengungkapan atau ekspresi ide-ide dan pemikiran estetika serta penciptaan keindahan dalam menghias kain mori. “Pengertian batik yaitu gambaran atau hiasan pada kain yang pengerjaannya melalui proses penutupan dengan bahan lilin atau malam yang kemudian dicelup atau diberi warna” (Moch Najib Imanullah dkk. 2005:1234). Sementara menurut Hamzuri, batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting (Afrillyanna Purba, 2005: 45).

(44)

penghidupan masyarakat daerah yang bersangkutan. Ekspresi dari pembuatan batik inilah yang menyebabkan batik menjadi suatu seni.

b. Perkembangan Batik di Indonesia

Asal mula perkembangan batik di Indonesia banyak menimbulkan perdebatan. Ada sebagian pihak yang menyetujui bahwa batik memang berasal dari Indonesia, tetapi ada juga beberapa pihak yang tidak menyetujuinya. Pihak yang setuju mengatakan bahwa batik di Indonesia adalah suatu bentuk kesenian yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan dengan batik yang berkembang di negara lain. Cara pembuatan maupun corak-corak dan cara hiasan yang ada pada batik Indonesia tidak mempunyai kemiripan dengan cara pembuatan batik asing. Sementara pihak yang tidak setuju dengan pendapat bahwa batik berasal dari Indonesia mengemukakan bahwa batik dibawa sejak nenek moyang kita ketika melakukan perpindahan penduduk, atau mungkin juga diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh kaum pendatang. Itulah sebabnya cara pembuatan dan penghiasan batik tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga ada di Thailand, India, Jepang, Srilangka, dan Malaysia (Afrillyanna Purba, 2005: 46).

(45)

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini (http://www. batikmarkets.com/batik.php> [20 Februari 2010 pukul 16.00]).

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahkan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Batik Indonesia ternyata mampu mendorong semangat para seniman batik untuk berkarya cipta sekaligus mampu menguatkan rasa “ikut memiliki“ warisan budaya leluhur tersebut bagi berbagai suku bangsa di Indonesia karena ragam hias pakaian adat mereka juga ikut tampil dalam pola batik Indonesia. Pola-pola baru bermunculan, masing-masing dengan ciri, gaya, dan warna yang tiada duanya (Santosa Doellah, 2002: 212).

Gambar

Tabel 1. Struktur Ekonomi Surakarta Tahun 2003-2008 Atas Dasar Harga 52
Tabel 2. Ekspor Komoditi Batik Kota Surakarta Tahun 2009

Referensi

Dokumen terkait

Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat terhadap perbankan dan juga sebaliknya tanpa adanya kepercayaan perbankan terhadap masyarakat maka kegiatan perbankan tidak akan

Roset akar Sori terletak di tepi daun Bentuk daun persegi. Daun mirp susunan genting

Pemikiran dasar penggunaan sekuen DNA dalam studi filogenetika ( DNA Barcode) adalah bahwa terjadi perubahan basa nukleotida menurut waktu, sehingga akan dapat

Pada variabel pendidikan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Sunmin pada subjek dengan pendidikan yang tinggi yaitu perawat didapatkan hasil fungsi kognitif yang lebih baik

Akan tetapi, tidak banyak yang diketahui tentang cabaran yang dihadapi oleh syarikat pembekal penyumberan luar perakaunan luar pesisir kecil dalam pengurusan pengetahuan,

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi wortel kering terhadap karakteristik fisikokimia ekstrudat serta mengetahui kombinasi terbaik

Jadwal Pelaksanaan Pembagian Deviden Interim atas Efek MITRA PINASTHIKA MUSTIKA Tbk (MPMX).. Tanggal Cum Dividen di Pasar Reguler & Pasar Negosiasi 2 November 2017 Tanggal