• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI

Skripsi Oleh : Tri Wahyuningsih

K2308057

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Tri Wahyuningsih

NIM : K2308057

Jurusan/Program Studi : PMIPA/Pendidikan Fisika

menyatakan bahwa skripsi saya berhudul “PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI“ ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil

jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Desember 2012

Yang membuat pernyataan

(3)

commit to user

iii

PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI

Oleh : Tri Wahyuningsih

K2308057

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana

Pendidikan Program Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(4)

commit to user

iv

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Pada Hari : Senin

Tanggal : 7 Januari 2013

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Trustho Raharjo, M.Pd. NIP. 195108231 198103 1 001

(5)

commit to user

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : ……….

Tanggal : ……….

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Supurwoko, M.Si. ……….

Sekretaris : Drs. Pujayanto, M.Si. ………..

Anggota I : Drs. Trustho Raharjo, M.Pd. ………

Anggota II : Dyah Fitriana Masithoh, M.Sc. ………..

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Tri Wahyuningsih. PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Desember 2012.

Tujuan penelitian ini adalah menyusun dan menghasilkan instrumen tes diagnostik untuk mengungkap miskonsepsi siswa dalam materi Fluida dan Teori Kinetik Gas di Sekolah Menengah Atas kelas XI semester genap.

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian pengembangan. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah tes diagnostik untuk mengidentifikasi miskonsepsi Fisika pada siswa. Model pengembangan yang digunakan yaitu model pengembangan 4-D oleh S. Thigarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4-D terdiri atas 4 tahap utama yaitu: (1) Pendefinisian, (2) Perancangan, (3) Pengembangan, dan (4) Penyebaran. Obyek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 6 Surakarta dan siswa kelas XII IPA 4 dan 5 SMA Negeri 1 Kartasura. Hasil draft awal sebanyak 56 butir soal tes diagnostik yang sudah di validasi teoritik. Validasi empiris dilakukan dengan dua kali uji coba. Uji coba I digunakan soal sebanyak 56 item dengan bentuk soal pilihan ganda alasan yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan revisi soal berdasarkan hasil analisis dan wawancara terhadap siswa. Uji coba II digunakan bentuk soal pilihan ganda alasan terbuka dengan dua tipe soal, yaitu A dan B. Jumlah soal untuk masing-masing tipe adalah 33 butir soal.

Uji coba I diperoleh nilai reliabilitas cukup, yaitu 0,41. Artinya, instrumen tersebut tingkat keajegan dalam mengungkap miskonsepsi siswa adalah cukup. Uji coba II dihasilkan nilai reliabilitas cukup, yaitu 0,611 untuk soal tipe A dan 0,6 untuk soal tipe B. Artinya, instrumen tersebut tingkat keajegan dalam mengungkap miskonsepsi siswa adalah cukup. Dari Penelitian dihasilkan instrumen tes diagnostik untuk mengungkap miskonsepsi materi Fluida dan Teori Kinetik Gas dengan dua tipe soal yaitu A dan B. Bentuk soal pilihan ganda dengan alasan terbuka dengan jumlah soal masing-masing tipe adalah 33 butir soal.

(7)

commit to user

vii ABSTRACT

Tri Wahyuningsih. THE MAKING OF DIAGNOSTIC TEST INSTRUMENT OF PHYSICS SUBJECT FOR SENIOR HIGH SCHOOL GRADE XI. Skripsi. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. SebelasMaret University. December 2012.

The objective of this study is to draw up and to produce an instrument of diagnostic test to uncover the students’ misconception in learning Fluid and Kinetics Theory of Gases for Senior High School grade XI in even semester.

This study is categorized as research development. Learning device that was developed is diagnostic test. It is to identify the students’ misconception of physics. The model of development used is four D model by S. Thigarajan, Dorothy S. Semmel and Melvyn I. Semmel. The four D model consists of four main stages: (1) Define, (2) Design (3) Develop, and (4) Disseminate. The object of this research is the students of SMA Negeri 6 Surakarta grade XI Sience 2 and the students of SMA Negeri 1 Kartasura grade XII Science 4 and XII Sience 5. The result of the first draft is 56 items of diagnostic test, which the validity theoretically had been proved. The testing of empirical validity was done for twice. Test I used questions of 56 items with the form of multiple choices the specified reasons. Then, the items were revised based on the results of the analysis and the interview to students. Test II used questions of 56 items with the form of multiple choices the opened reason by two types of questions, namely A and B. The number of questions for each type is 33 items.

Test I obtained sufficient reliability values, that is 0, 41. It means that, the consistency of the instruments in uncovering the students’ misconception is enough. Test II obtained sufficient reliability values, that is 0, 611 for the question type A and 0, 6 for the question type B. It means that, the consistency of the instruments in uncovering the students’ misconception is enough. The result of the study is the instrument of diagnostic test, which is to uncover the students’ misconception in learning Fluid and Kinetics Theory of Gases by two types of questions, namely A and B. The form of the questions is multiple choices the opened reason by the number of questions for each type is 33 items.

Keywords: Diagnostic tests, misconception, Fluid, Kinetic Theory of Gases

(8)

commit to user

viii MOTTO

(9)

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Bapak dan Ibuku yang kucintai, terimakasih atas

doa, dukungan dan kepercayaan yang diberikan

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya,

sehinnga penyusunan Skripsi yang berjudul : "PEMBUATAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK FISIKA SMA KELAS XI " dapat diselesaikan.

Penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dan

dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Sukarmin, S.Pd, M.Si, Ph.D. Ketua Jurusan PMIPA FKIP Universitas

Sebelas Maret.

3. Bapak Drs. Supurwoko, M.Si. Ketua Program Pendidikan Fisika Jurusan

PMIPA Universitas Sebelas Maret.

4. Ibu Dra. Rini Budiharti, M.Pd dan Bapak Drs. Surantoro, M.Si. Koordinator

Skripsi Program Fisika P.MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah memberikan ijin untuk menyusun Skripsi ini.

5. Bapak Drs. Trustho Raharjo, M.Pd dan Ibu Dyah Fitriana Masithoh, M.Sc.

Dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis dalam

menyelesaikan Skripsi.

6. Bapak Dwi Teguh Raharjo, S.Si, M.Si. Dosen Pendidikan Fisika Jurusan

PMIPA Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan validasi materi

pada penyusunan instrumen tes diagnostik Fisika SMA kelas XI.

7. Bapak Drs. Yusmar Setyobudi, M.M, M.Pd. Kepala Sekolah SMA Negeri 6

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penelitian dalam rangka

menyusun Skripsi.

8. Bapak Drs. Widodo, M.M. Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Kartasura yang

telah memberikan ijin untuk penelitian dalam rangka menyusun Skripsi.

9. Bapak Tri Bagyo, S.Pd, M.M dan Ibu Dra. Tini. Guru Mata Pelajaran Fisika di

SMA Negeri 6 Surakarta yang telah banyak membantu penulis melaksanakan

(11)

commit to user

xi

10.Bapak Hari Supriyanto, S.Pd, M.Eng. Guru Mata Pelajaran Fisika di SMA

Negeri 1 Kartasura yang telah banyak membantu penulis melaksanakan

penelitian dalam rangka menyusun Skripsi.

11.Nur Yazid, Gunawan, Vista, Ziva, Alya, Habil yang telah memberikan banyak

semangat penulis dalam menyelesaikan Skripsi.

12.Rani, Fatimah, Ani, Utik, Desti, Desi, Yunda, Trisni, Nashril, Kholif, Yoga,

Nanda, Navis, dan Bimanto yang telah memberikan inspirasi dan masukan

penulis dalam rangka menyusunan instrumen tes diagnostik Fisika SMA kelas

XI.

13.Sahabat-sahabatku Fisika 2008 untuk segala dukungan, persahabatan, dan

bantuannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini jauh dari

sempurna. Namun demikian, penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Surakarta, Desember 2012

(12)

commit to user

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERNYATAAN ……… ii

HALAMAN PENGAJUAN ………... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ………... iv

HALAMAN PENGESAHAN ……… v

HALAMAN ABSTRAK ……… vi

HALAMAN MOTTO ………. vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… ix

KATA PENGANTAR ……… x

DAFTAR ISI ……….. xii

DAFTAR TABEL ……….. xiv

DAFTAR GAMBAR ………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Identifikasi Masalah ………... 4

C. Pembatasan Masalah ………... 5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan ... 6

G. Manfaat Penelitian ... 6

H. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan ... 6

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 7

B. Penelitian yang Relevan ... 24

C. Kerangka Berfikir ... 27

D. Pertanyaan Penelitian ...

(13)

commit to user

xiii BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

1. Tempat Penelitian ... 30

2. Waktu Penelitian ... 30

B. Model Pengembangan ... 31

C. Prosedur Pengembangan ... 31

D. UjiCoba Produk ... 34

1. Desain Uji Coba ... 34

2. Subjek Coba ... 34

3. Jenis Data ... 35

4. Instrumen Pengumpulan Data ... 35

5. Teknik Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Data Uji Coba ………. 38

B. Analisis Data ………... 40

C. Revisi Produk ………. 42

D. Kajian Produk Akhir ……….. 57

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan tentang Produk ... 58

B. Keterbatasan Penelitian ... 58

C. Saran Pemanfaatan, Diseminasi, dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pengelompokkan Derajat Pemahaman Konsep ... 11

4.1 Jumlah Soal Tiap Konsep Uji Coba I ……… 37

4.2 Jumlah Soal Tiap Konsep Uji Coba II ………... 38

4.3 Revisi Soal Konsep Massa Jenis ……… 42

4.4 Revisi Soal Konsep Tekanan ………. 43

4.5 Revisi Soal Konsep Tekanan Hidrostatik ……….. 44

4.6 Revisi Soal Konsep Tekanan Terukur ………... 45

4.7 Revisi Soal Konsep Tekanan Atmosfir ……….. 46

4.8 Revisi Soal Konsep Hukum Pascal ……… 47

4.9 Revisi Soal Konsep Hukum Pokok Hidrostatika ………….. 47

4.10 Revisi Soal Konsep Hukum Archimedes ……….. 48

4.11 Revisi Soal Konsep Tegangan Permukaan ……… 49

4.12 Revisi Soal Konsep Kontinuitas ……… 50

4.13 Revisi Soal Konsep Debit ……….. 50

4.14 Revisi Soal Konsep Hukum Bernoulli ………... 51

4.15 Revisi Soal Konsep Viskositas ……….. 52

4.16 Revisi Soal Konsep Hukum-Hukum Gas ……….. 52

4.17 Revisi Soal Konsep Tekanan pada Gas ………. 53

4.18 Revisi Soal Konsep Energi Kinetik Translasi Rata-Rata …... 54

4.19 Revisi Soal Konsep Kecepatan rms ………... 54

(15)

commit to user

xv

4.21 Revisi Soal Konsep Ekipartisi Energi ……… 55

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D

Thiagarajan (Trianto, 2007: 65) ………. 23

2.2 Kerangka Berpikir ……….. 28

3.1 Alur Pengembangan Soal Tes Diagnostik Fisika ………….. 31

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Jadwal Penelitian ………. 63

2 Silabus Pembelajaran ………... 64

3 Kisi-Kisi Konsep Materi ……….. 72

4 Kisi-Kisi Konsep Materi (Revisi 1) ………. 75

5 Kisi-Kisi Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas (Revisi 2) ………. 79

6 Kisi-Kisi Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas (Revisi 3) ………. 82

7 Kisi-Kisi Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas (Revisi 4) ………. 85

8 Materi ……….. 88

9 Tahap Pendefinisian Konsep ………... 121

10 Kisi-Kisi Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas Uji Coba I ……….. 129

11 Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas ………. 132

12 Kunci Jawaban ………. 156

13 Lembar Jawaban Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas ………... 157

14 Kisi-Kisi Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas Uji Coba II ………. 159

15 Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas Tipe A ……. 162

16 Tes Diagnostik Fluida dan Teori Kinetik Gas Tipe B ……. 172

17 Rubrik Penilaian Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA Kelas XI Uji Coba II ……… 181

(18)

commit to user

xviii

19 Validasi Ahli Instrumen Tes Diagnostik Fluida Dan Teori

Kinetik Gas Uji Coba II ………... 285

20 Analisis Jawaban Tes Uji Coba I ………. 328

21 Analisis Jawaban Tes Uji Coba II (Soal Tipe A) ………… 332

22 Analisis Jawaban Tes Uji Coba II (Soal Tipe B) ………… 336

(19)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan dari mata pelajaran Fisika di SMA dan MA menurut kurikulum

2004 antara lain sebagai sarana:

Mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip Fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif; menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip Fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (Depdiknas, 2003: 7).

Siswa diharapkan memiliki kemampuan menguasai konsep-konsep Fisika

setelah pembelajaran berakhir. Dahar menyatakan bahwa : “Konsep-konsep

merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan

prinsip-prinsip dan generalisasi” (1989: 79).

Permasalahan pendidikan yang mendasar sering berkaitan dengan

penanaman pemahaman konsep yang kadang-kadang keliru. Sebagian orang

berpendapat bahwa kesalahan pemahaman siswa terhadap suatu konsep Fisika

adalah sesuatu yang wajar dan dapat dianggap sebagai kurang berhasilnya proses

belajar mengajar. Kesalahan pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan

mempengaruhi efektivitas proses belajar selanjutnya dari siswa yang

bersangkutan. Setelah pembelajaran di sekolah, ternyata seringkali kerangka

konsep yang telah dibangun oleh siswa tersebut menyimpang dari konsep yang

benar. Selanjutnya kerangka konsep siswa yang salah tersebut akan disebut

sebagai miskonsepsi.

Belajar Fisika adalah belajar tentang alam. Proses belajar alam dapat

diperoleh seseorang sejak orang tersebut berinteraksi dengan alam melalui

(20)

commit to user

tersebut menjadi sebuah pengetahuan awal ketika seseorang tersebut memasuki

pendidikan formal.

Pengetahuan awal yang dimiliki seorang anak sebelum jenjang pendidikan

sekolah bisa benar atau salah. Hal ini disebabkan pengetahuan awal tersebut

diperoleh dari pengalaman yang berbeda-beda dan sumber informasi yang tidak

akurat. Padahal penguasaan pengetahuan awal yang dimiliki seseorang sangat

berpengaruh terhadap perolehan pengetahuan di sekolah.

Sebelum mengikuti pembelajaran secara formal di sekolah, siswa sudah

membawa konsep tertentu yang mereka kembangkan lewat pengalaman hidup

mereka sebelumnya. Sesuai dengan pernyataan Pinker (2003) bahwa: “Siswa

hadir di kelas umumnya tidak dengan kepala kosong, melainkan mereka telah

membawa sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk

sebelumnya ketika mereka berinteraksi dengan lingkungannya” (Simamora &

Redhana, 2007: 150). Konsep yang dibawa siswa dapat sesuai dengan konsep

ilmiah tetapi juga dapat tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Konsep awal yang

dimiliki siswa disebut dengan konsepsi. Konsep awal atau konsepsi yang tidak

sesuai dengan konsep ilmiah disebut sebagai miskonsepsi.

Miskonsepsi dapat berbentuk konsep awal, kesalahan hubungan yang tidak

benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang salah. Novak &

Gowin (1984) menyatakan bahwa “miskonsepsi merupakan suatu interpretasi

konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima” (Suparno,

2005: 4). Secara rinci, miskonsepsi dapat merupakan pengertian yang tidak akurat

tentang konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang

salah tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan

konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak

benar.

Miskonsepsi yang dialami setiap siswa di sekolah bisa berlainan dengan

penyebab yang berbeda-beda. Pada satu kelas dapat terjadi bermacam-macam

miskonsepsi dengan penyebab miskonsepsi berbeda pula. Sebagai fasilitator

pembelajaran, guru hendaknya memiliki kemampuan untuk menggali dan

(21)

commit to user

3

tidak terjadi miskonsepsi yang berkepanjangan. Selain itu, guru juga hendaknya

memiliki kemampuan untuk mengatasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

Para peneliti miskonsepsi menemukan berbagai hal yang menjadi

penyebab miskonsepsi pada siswa. Secara garis besar, penyebab miskonsepsi

dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu : siswa, guru, buku teks, konsteks,

dan metode mengajar. Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri berbagai hal,

seperti prakonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berpikir,

dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan

guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap

guru yang berelasi dengan siswa kurang baik. Konteks, seperti budaya dan bahasa

sehari - hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan “metode

mengajar yang hanya menekankan kebenaran satu segi sering memunculkan salah

pengertian pada siswa” (Suparno, 2005:29).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu adanya tes diagnostik dalam

menganalisis miskonsepsi yang dialami siswa. Djamarah berpendapat, “Tes

diagnostik dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar siswa yang dialami

siswa berdasarkan hasil tes formatif sebelumnya” (2002: 215). Diagnosis

kesulitan belajar siswa lebih luas dari pada pelaksanaan tes diagnostik, sehingga

dalam pelaksanaan diagnosis kesulitan belajar, selain pelaksanaan tes, perlu

dilakukan kegiatan lain, yaitu penelusuran jenis, sumber serta penyebab

kesalahan. Namun guru masih mengalami kebingungan perihal model asesmen

yang baik agar dapat merekam dan menganalisis miskonsepsi yang dialami oleh

siswa.

Yunita Kurnia Sholfiani telah melakukan penelitian yang berjudul

Penyusunan Tes Diagnostik Fisika Pokok Bahasan Kinematika Gerak Lurus

Untuk Siswa Kelas X SMA di Kota Semarang Tahun Pelajaran 2005/2006. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa butir tes diagnostik Fisika yang disusun

memiliki taraf kesukaran rata-rata sedang, dan daya pembeda rata-rata cukup.

Persentase kevalidan soal 94,28%, derajat realibilitasnya tergolong sedang dengan

koefisien realibilitas soal pilihan ganda sebesar 0.56 dan untuk soal esai 0.671.

(22)

commit to user

(passing score) yaitu 65%. Siswa secara umum memiliki kelemahan pada

pencapaian tujuan pengajaran, penguasaan prasyarat pengetahuan, pengetahuan

terstruktur dan masih mangalami miskonsepsi.

Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian di atas, maka dilakukan

penelitian dengan judul “Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA

Kelas XI”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapat

diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Permasalahan pendidikan yang mendasar sering berkaitan dengan penanaman

pemahaman konsep yang kadang-kadang keliru. Namun, sebagian orang

berpendapat bahwa kesalahan pemahaman siswa terhadap suatu konsep Fisika

adalah sesuatu yang wajar dan dapat dianggap sebagai kurang berhasilnya

proses belajar mengajar.

2. Pengetahuan awal yang dimiliki seorang anak sebelum jenjang pendidikan

sekolah bisa benar atau salah. Padahal penguasaan pengetahuan awal yang

dimiliki seseorang sangat berpengaruh terhadap perolehan pengetahuan di

sekolah.

3. Sebelum mengikuti pembelajaran secara formal di sekolah, siswa sudah

membawa konsep tertentu yang mereka kembangkan lewat pengalaman hidup

mereka sebelumnya. Tetapi, konsep yang dibawa siswa dapat sesuai dengan

konsep ilmiah tetapi juga dapat tidak sesuai dengan konsep ilmiah.

4. Miskonsepsi yang dialami setiap siswa di sekolah bisa berlainan dengan

penyebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru untuk

mengenali miskonsepsi dan penyebabnya yang terjadi pada siswa.

5. Perlu adanya tes diagnostik dalam menganalisis miskonsepsi yang dialami

siswa. Namun, guru masih mengalami kebingungan perihal model asesmen

yang baik agar dapat merekam dan menganalisis miskonsepsi yang dialami

(23)

commit to user

5

6. Ada miskonsepsi siswa kelas X SMA di kota Semarang tahun pelajaran

2005/2006 pada materi Kinematika Gerak Lurus, dimungkinkan terdapat pula

miskonsepsi pada materi Fluida dan Teori Kinetik Gas untuk siswa kelas XI

SMA di Surakarta.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah di

atas, maka dalam penelitian ini dibatasi dengan ruang lingkup dan arahan yang

jelas. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah:

1. Penelitian ini dilaksanakan untuk disusun dan dihasilkan instrumen tes

diagnostik miskonsepsi mata pelajaran Fisika semester genap yang dialami

siswa kelas XI pada materi Fluida dan Teori Kinetik Gas.

2. Objek penelitian difokuskan pada siswa SMA Negeri 6 Surakarta kelas XI dan

siswa SMA Negeri 1 Kartasura kelas XII.

D. Rumusan Masalah

Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimanakah instrumen tes yang memenuhi standar untuk mendiagnosis

miskonsepsi siswa dalam pembelajaran Fisika pada materi Fluida dan Teori

Kinetik Gas siswa SMA kelas XI?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menyusun dan menghasilkan instrumen tes diagnostik untuk mengungkap

miskonsepsi siswa dalam materi Fluida dan Teori Kinetik Gas di Sekolah

(24)

commit to user

F. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan butir soal diagnostik untuk

mengungkap miskonsepsi pada materi Fluida dan Teori Kinetik Gas yang terjadi

pada siswa. Bentuk soal yang dipilih adalah pilihan ganda dengan alasan terbuka.

Tujuan dari bentuk pilihan ganda dengan alasan terbuka adalah untuk

mempermudah dalam mendiagnosis kesalahan konsep yang terjadi pada siswa.

G. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis.

Soal tes diagnostik yang tersusun diharapkan dapat menambah keragaman

tes yang digunakan dalam proses pembelajaran.

2. Manfaat Praktis

Dengan tersusunnya soal tes diagnostik, diharapkan dapat dipakai sebagai

alat evaluasi untuk mendiagnosis adanya kesalahan konsep yang terjadi pada

siswa.

H. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Asumsi

Dalam pembelajaran Fisika masih terjadi miskonsepsi pada siswa dalam

memahami konsep Fisika.

Keterbatasan pengembangan

Penelitian ini hanya menyusun instrumen tes diagnostik untuk

mengidentifikasi kesalahan-kesalahan konsep pada siswa. Uji coba dilaksanakan

dua kali setelah proses pembelajaran materi Fluida dan Teori Kinetik Gas.

Keterbatasan lain adalah instrumen ini tidak dapat digunakan untuk semua SMA,

tetapi akan cukup baik apabila digunakan untuk SMA dengan kemampuan siswa

(25)

commit to user

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Fisika

Fisika adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari sifat-sifat alam.

Berbagai keteraturan yang terjadi pada berbagai zat di sekitar, biasanya dipahami

sebagai hal yang wajar karena setiap orang mengamati dan mengalaminya setiap

hari. Misalnya, sebelum terjadi hujan lebat, biasanya muncul awan tebal sehingga

cuaca menjadi mendung dan gelap. Jika dipelajari, akan banyak dijumpai

keteraturan di sekitar.

Fisika berasal dari kata Yunani yang berarti alam, karena Fisika adalah

ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda di alam, gejala-gejala,

kejadian-kejadian alam. Beberapa sifat yang dipelajari dalam Fisika merupakan sifat yang

ada dalam semua sistem materi yang ada, seperti hukum kekekalan energi. Sifat

semacam ini sering disebut sebagai hukum Fisika. Fisika sering disebut sebagai

"ilmu paling mendasar", karena setiap ilmu alam lainnya (biologi, kimia,

geologi,dan lain-lain) mempelajari jenis sistem materi tertentu yang mematuhi

hukum Fisika.

Mundilarto menyatakan, “Fisika sebagai ilmu merupakan landasan pengembangan teknologi, sehingga teori-teori Fisika membutuhkan tingkat

kecermatan yang tinggi” (2010: 3). Kecermatan yang tinggi sangat diperlukan ketika mempelajari Fisika, di samping keterampilan berhitung, memanipulasi dan

observasi, serta keterampilan merespon suatu masalah secara kritis. Sifat mata

pelajaran Fisika salah satunya adalah bersyarat, artinya setiap konsep baru ada

kalanya menuntut prasyarat pemahaman atas konsep sebelumnya. Oleh karena itu,

bila terjadi kesulitan belajar pada salah satu pokok bahasan akan terbawa ke

bahasan berikutnya, atau bila terjadi miskonsepsi akan terbawa sampai jenjang

pendidikan berikutnya.

Dalam Jurnal Pengajaran Fisika Sekolah Menengah oleh Sutrisno, bahwa

(26)

commit to user

belajar Fisika: (1) usaha memahami alam; (2) berlatih berpikir logis; (3)

menyelesaikan persoalan fisis: berlatih berpikir logis dan analitis; (4)

menyelesaikan soal Fisika dengan perhitungan: melatih ketelitian dan berpikir

kritis; (5) melakukan eksperimen: melatih sikap hati-hati, teratur dan jujur (2009:

15-16). Kemampuan menerapkan formula dengan tepat dan menyelesaikan

perhitungan sangat perlu diajarkan pada proses pembelajaran Fisika. Penyelesaian

soal Fisika yang baik adalah jika tidak ada kesalahan baik dalam angka mau pun

satuan. Untuk mencapai tahap seperti ini, maka siswa perlu berlatih melakukan

perhitungan dengan ketelitian tinggi.

2. Konsep a. Pengertian Konsep

Van Den Berg menyatakan, “Konsep adalah benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri khas dan yang terwakili

dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau suatu simbol” (1991: 8). Sedangkan Sudarminta, J. menyatakan, “Konsep adalah suatu medium yang menghubungkan subjek penahu dan objek yang diketahui, pikiran dan kenyataan” (2002: 87). Dengan demikian untuk membentuk suatu konsep diperlukan suatu pengalaman

dan generalisasi serta abstraksi dari ciri-ciri suatu objek untuk mempermudah

komunikasi manusia.

Setiap konsep dapat dibedakan menurut bentuk dan tingkatannya. Menurut

Dahar (1989), berdasarkan tingkat pencapaiannya konsep dapat dibedakan

menjadi empat yaitu :

1) Tingkat Konkret. Dapat disimpulkan bahwa seseoerang telah mencapai konsep pada tingkat konkret, apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapi sebelumnya. Untuk mencapai konsep tingkat konkret, siswa harus dapat memperhatikan benda itu, dan dapat membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkunganya.

(27)

commit to user

9

3) Tingkat Klasifikatori. Pada tingkat klasifikatori, siswa mengenal persamaan dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Operasi mental yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat klasifikatori ialah mengadakan generalisasi bahwa dua contoh atau lebih sampai batas-batas tertentu itu ekuivalen, mengklasifikasikan contoh – contoh dan noncontoh – noncontoh dari konsep, sekalipun contoh – contoh dan non contoh – non contoh itu mempunyai banyak atribut-atribut yang mirip. 4) Tingkat Formal. Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa

harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Siswa telah mencapai tingkat formal bila siswa dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep dalam atribut-atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan non contoh dari konsep (hlm. 88-89).

b. Belajar Konsep

Dahar berpendapat, “Perbedaan utama belajar konsep dengan belajar yang lain adalah dalam belajar konsep anak yang belajar memberikan suatu respon

terhadap sejumlah stimulus“ (1989: 86). Dari teori kognitif Gagne (1988) berpendapat, “Pendekatan-pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses perolehan konsep, sifat-sifat konsep, dan bagaimana

konsep-konsep disajikan dalam struktur kognitif” (Dahar, 1989: 84).

c. Konsepsi

Dalam Fisika kebanyakan konsep telah mempunyai arti yang jelas dan

telah disepakati oleh para tokoh Fisika, akan tetapi konsepsi para siswa

berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan cara pandangnya masing-masing. Tafsiran

dari setiap orang mengenai konsep yang berbeda-beda inilah yang disebut sebagai

konsepsi.

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Fajri & Ratu dinyatakan,

"Konsepsi adalah pendapat, paham, pandangan, pengertian, cita-cita yang telah

terlintas dipikiran" (2003: 483). Sedangkan Van Den Berg menyatakan, "Konsepsi

adalah tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu" (1991: 10). Misal, inti konsep

dari proses melihat sebuah benda adalah benda dapat dilihat oleh mata sebab

benda tersebut memancarkan cahaya sendiri atau memantulkan cahaya yang

(28)

commit to user

ke mata. Akan tetapi banyak siswa yang memiliki konsepsi berbeda, mereka

cenderung berpikir bahwa benda dapat dilihat oleh mata karena benda tersebut

hanya memantulkan cahaya yang mengenainya sampai ke mata.

d. Prakonsepsi

Gagasan-gagasan atau ide-ide yang dimiliki oleh siswa sebelum menerima

suatu pembelajaran disebut prakonsepsi. Siswa sering kali mengalami konflik

dalam dirinya ketika berhadapan dengan informasi baru bertentangan dengan

prakonsepsi siswa/ide-ide yang dibawa sebelumnya. Van Den Berg menyatakan, “Prakonsep adalah konsepsi yang dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah pernah mendapatkan pelajaran formal” (1991: 10).

Saat siswa memasuki kelas untuk belajar Fisika, siswa telah memiliki

pengetahuan tertentu tentang Fisika yang disebut prakonsep. Prakonsep yang

dimiliki siswa belum tentu benar. Hal ini kurang atau bahkan tidak diperhatikan

oleh guru dalam proses pembelajaran. Prakonsep siswa akan mempengaruhi

proses belajar mengajar.

e. Miskonsepsi

Van Den Berg mendefinisikan miskonsepsi sebagai "Konsepsi siswa

bertentangan dengan konsepsi para Fisikawan" (1991: 13). Suparno menyatakan,

"Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah itu biasanya disebut

miskonsepsi atau salah konsep" (2005: 2). Sedangkan Fowler (1987) dalam Suparno (2005: 5)menyatakan, "...miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak

akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh

yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis

konsep-konsep yang tidak benar”.

Abraham, dkk. membagi derajat pemahaman konsep menjadi tiga

kelompok, yaitu derajat tidak memahami, derajat miskonsepsi, dan derajat

(29)

commit to user

11

Tabel 2.1. Pengelompokkan Derajat Pemahaman Konsep

Kategori Derajat Pemahaman Kriteria Tidak b. menjawab “saya tidak tahu” c. mengulang pertanyaan

d. menjawab tetapi tidak berhubungan dengan pertanyaan dan tidak jelas

Miskonsepsi - miskonsepsi a. menjawab dengan penjelasan tidak logis

- memahami

sebagian dengan miskonsepsi

b. jawaban menunjukkan adanya konsep yang dikuasai tetapi ada pernyataan dalam jawaban yang menunjukkan miskonsepsi

Memahami Konsep

- memahami sebagian

a. jawaban menunjukkan hanya sebagian konsep dikuasai tanpa ada miskonsepsi - memahami

konsep

b. jawaban menunjukkan konsep dipahami dengan semua penjelasan benar

(Sumber: Abraham, dkk., 1994: 152)

3. Identifikasi Prakonsepsi dan Miskonsepsi

a. Alat Identifikasi

Identifikasi prakonsepsi atau miskonsepsi adalah suatu upaya penyelidikan

yang dilakukan terhadap siswa untuk mengetahui prakonsepsi atau miskonsepsi

yang terjadi pada siswa. Miskonsepsi adalah konsep yang dimiliki siswa yang

tidak sesuai dengan konsep para ahli. Sedangkan prakonsepi adalah sejumlah

pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk sebelum siswa hadir di kelas,

yaitu ketika mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam buku Miskonsepsi

(30)

commit to user

1) Peta Konsep

Peta konsep sebagai suatu alat skematis untuk merepresentasikan suatu

rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka proposisi. Peta konsep

merupakan suatu alat yang mengungkapkan hubungan-hubungan antara

konsep-konsep dan gagasan-gagasan pokok. Konsep esensial diletakkan berada di bagian

atas peta, oleh karenanya peta konsep ini disusun hirearkis. Dengan melihat peta

konsep tersebut, dapat dideteksi konsep-konsep yang kurang tepat dan adanya

perubahan konsep dari siswa.

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Tes pilihan ganda dengan alasan terbuka merupakan tes pilihan ganda

dimana siswa harus menjawab dan menulis alasan dari jawaban tersebut.

Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda ini selanjutnya dijadikan bahan

tes berikutnya. Pada tes pilihan ganda dengan alasan terbuka, di bagian alasan

siswa harus menuliskan alasan dari jawaban yang dipilihnya. Beberapa peneliti

lain menggunakan pilihan ganda dengan interview. Berdasarkan hasil jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu mereka mewawancarai siswa. Tujuan

dari wawancara ini adalah untuk meneliti bagaimana siswa berfikir dan mengapa

mereka berfikir seperti itu.

3) Tes Esai Tertulis

Tes tertulis biasanya diujikan kepada siswa sebelum diajarkan atau

sesudah diajarkan materi. Melalui jawaban yang ditulis langsung oleh siswa, dapat

diketahui pemahaman yang dimiliki oleh siswa dan di bidang materi apa. Dengan

adanya tes esai tertulis ini, jika guru memberikannya sebelum materi diajarkan,

guru dapat mengetahui prakonsep (konsepsi awal) siswa. Sedangkan jika tes ini

diujikan setelah materi diajarkan maka guru dapat mengetahui miskonsepsi yang

(31)

commit to user

13

4) Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta mengungkapkan gagasan mereka tentang

konsep yang telah diajarkan oleh guru. Melalui keterampilan bertanya yang

dimiliki oleh guru, siswa dapat berperan aktif dalam diskusi tersebut. Dari diskusi

kelas ini guru dapat mengetahui gagasan siswa itu tepat atau tidak dan mengerti

konsep alternative dari siswa.

5) Praktikum dengan Tanya Jawab

Dalam praktikum di laboratorium atau di kelas, guru juga dapat mengasah

ketrampilan bertanyanya untuk mendeteksi prakonsep atau bahkan miskonsepsi

siswa. Siswa dapat berperan aktif dalam praktikum misalnya menjelaskan

prosedur percobaan dan mengaitkan materi praktikum dengan materi yang sedang

diajarkan oleh guru di luar praktikum. Sehingga konsep di luar praktikum juga

dapat terdeteksi.

6) Wawancara

Wawancara berdasarkan beberapa konsep Fisika tertentu dapat dilakukan

juga untuk melihat konsep alternatif pada siswa. Guru memilih beberapa konsep

Fisika yang diperkirakan sulit dimengerti siswa.

b. Tes Diagnostik

Secara etimologis, diagnostik diambil dari bahasa Inggris ”diagnostic. Bentuk kata kerjanya adalah ”to diagnose”, yang artinya ”to determine the nature

of disease from observation of symptoms”. Mendiagnosis berarti melakukan

observasi terhadap penyakit tertentu, sebagai dasar menentukan macam atau jenis

penyakitnya. Sehingga, tes diagnostik sengaja dirancang sebagai alat untuk

menemukan kesulitan belajar yang sedang dihadapi siswa. Hasil tes diagnostik

dapat digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pengajaran yang lebih sesuai

(32)

commit to user

Tes ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik

gagal dalam mengikuti proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Hasil

tes diagnostik memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum

dipahami dan yang telah dipahami. Oleh karenanya, tes ini berisi materi yang

dirasa sulit oleh siswa, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah.

Depdiknas (2007) dalam Pedoman Pengembangan Tes Diagnostik Sains

SMP menyatakan:

Tes diagnostik memiliki karakteristik: (a) dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, (b) dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah siswa, (c) menggunakan soal-soal bentuk supply

response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu

menangkap informasi secara lengkap. Kelemahan-kelemahan ini dapat berupa: (a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; (b) terjadinya miskonsepsi; dan (c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Jadi tes diagnostik dapat digunakan untuk mengetahui prakonspsi yang dialami siswa sehingga hasil tersebut dapat ditindak lanjuti berupa perlakuan yang tepat (hlm. 2).

Brueckner & Melby menyatakan, ”Tes diagnostik digunakan untuk menentukan elemen-elemen dalam suatu mata pelajaran yang mempunyai

kelemahan-kelemahan khusus dan menyediakan alat untuk menemukan penyebab

kekurangan tersebut” (1981: 73). Ada beberapa tipe tes diagnostik: seperti the Compass Arithmetic Tests, tes yang berguna untuk mencari kelemahan siswa berkenaan dengan berbagai unsur yang mendasari keseluruhan proses.

Perbandingan prestasi siswa dengan skor standar memungkinkan guru untuk

menentukan langkah secara umum, seperti penjumlahan bilangan bulat, maupun

pecahan. Tes yang lain seperti the Brueckner Diagnostik Tests, tes yang berguna

untuk mencari kelemahan siswa berkenaan dengan pecahan dan sistem desimal.

Tes diagnostik di dalam aritmatika seperti latihan inventori yang menyeluruh

dengan maksud guru dapat menempatkan tipe contoh atau proses tertentu yang

sulit untuk siswa secara berkelompok atau untuk siswa secara individu. Dalam

(33)

commit to user

15

prestasi siswa yang mungkin digunakan untuk tujuan diagnostik. Suwarto & Afif

A. berpendapat, ”Tes yang benar-benar untuk keperluan diagnostik adalah tes yang harus berdasarkan pada analisa terperinci yang mengijinkan penempatan

yang tepat kelemahan di mana ada kesukaran, atau tahap secara umum di mana

ada kekurangan” (2011: 147).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu adanya tes diagnostik dalam

menganalisis miskonsepsi yang dialami siswa. Djamarah berpendapat, “Tes diagnostik dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar siswa yang dialami siswa berdasarkan hasil tes formatif sebelumnya” (2002: 215). Djiwandono berpendapat bahwa “Tes diagnostik digunakan untuk memastikan kesulitan belajar yang dialami siswa” (2008: 412). Diagnosis kesulitan belajar siswa lebih luas dari pada pelaksanaan tes diagnostik, sehingga dalam pelaksanaan diagnosis

kesulitan belajar, selain pelaksanaan tes, perlu dilakukan kegiatan lain, yaitu

penelusuran jenis, sumber serta penyebab kesalahan. Mehrens & Lehmann menyatakan, “Tes diagnostik yang baik dapat memberikan gambaran akurat tentang miskonsepsi yang dimiliki siswa berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya” (1973: 410). Zeilik memberikan batasan fungsi tes diagnostik yaitu digunakan untuk menilai pemahaman konsep siswa terhadap konsep-konsep kunci

(key concepts) pada topik tertentu, secara khusus untuk konsep-konsep yang

cenderung dipahami secara salah (1998). Berdasarkan pendapat ini, dapat

didefinisikan ciri-ciri tes diagnostik, yaitu topik terbatas dan spesifik, serta

ditujukan untuk mengungkap miskonsepsi, dan menyediakan alat untuk

menemukan penyebab kekurangannya.

Tes diagnostik yang digunakan, dapat berupa tes berbentuk multiple choice (pilihan ganda) dengan reasoning terbuka, multiple choice dengan alasan yang telah ditentukan dan tes esai tertulis. Berikut penjelasannya:

1) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Di dalam tes ini siswa dapat memilih jawaban yang tersedia berbentuk

(34)

commit to user

satu jawaban yang tersedia, dengan jawaban yang terbuka, logis dan terkait

dengan materi yang diujikan.

Kelebihan tes ini, siswa dapat memilih langsung dengan jawaban yang

tersedia dan dapat menuangkan ungkapan tentang materi yang mereka ketahui

guna sebagai pendukung atau alasan mereka memilihsalah satu jawaban.

Kekurangan tes ini, dikarenakan setiap siswa memberikan alasan yang

menurut mereka benar, tetapi guru akan kesulitan saat mengoreksi hasil tes

tersebut.

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning yang Telah Ditentukan

Tes multiple choice dengan reasoning yang telah ditentukan merupakan

salah satu bentuk tes konsep yang menyediakan pilihan jawaban beserta

alasannya. Kelebihan dari tes ini, memudahkan guru dalam mengoreksi dan

menganalisis data yang diperoleh. Adapun kelemahannya adalah siswa tidak dapat

mengungkapkan gagasannya secara bebas dalam materi yang mereka jawab.

Sehingga alasan yang dipilih siswa tidak dapat terungkap dengan jelas.

3) Tes Esai Tertulis

Tes esai tertulis ini merupakan suatu bentuk tes konsep dimana siswa

dapat mengungkapkan gagasan, alasan dan mengaitkan materi yang dijawabnya.

Adapun beberapa kelebihan dari soal tes ini adalah Peserta didik dapat

mengorganisasikan jawaban dengan pendapatnya sendiri, siswa tidak

menerka-nerka jawabannya, tes ini cocok untuk mengukur dan mengevaluasi hasil suatu

proses belajar yang sukar terukur oleh soal tes objektif. Kelemahannya adalah

guru sukar menilai secara tepat, sulit mendapatkan soal yang standar nasional

maupun internasioanl dan membutuhkan waktu dalam memeriksa hasilnya.

c. Bentuk Tes yang Digunakan Dalam Penelitian

Berdasarkan uraian macam-macam tes yang digunakan untuk mendeteksi

(35)

commit to user

17

dengan reasoning yang telah ditentukan. Kemudian direvisi dan disusun tes multiple choice dengan reasoning terbuka.

4. Kriteria Tes yang Baik

Untuk bisa memberikan data yang akurat, sesuai dengan fungsinya maka

ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, untuk dapat dikatakan sebagai tes

yang baik. Menurut Poerwanti, “secara umum tes yang baik memiliki syarat-syarat antara lain: (1) hanya mengukur satu aspek saja. Tes yang baik memiliki

sebuah aspek saja yang akan diukur; (2) handal dalam pengukuran, kehandalan ini

meliputi ketepatan hasil pengukuran dan keajegan hasil pengukuran” (2001: 33). Untuk dapat menjadi alat ukur yang baik dan dapat memberikan informasi

yang akurat maka setiap soal sebagai bagian dari konstruksi tes harus dijaga

kualitasnya. Poerwanti (2001) menyatakan:

Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menyusun butir-butir tes yang berkualitas, yaitu:

a. Valid. Soal dikatakan valid bila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur, validitas soal dapat dilihat dari kesesuaian soal dengan tujuan instruksional khusus dan tujuan pengukuran yang telah ditetapkan. Validitas dapat pula dilihat dari kemampuannya memprediksi prestasi di masa yang akan datang.

b. Relevan. Tes yang relevan mengandung soal-soal yang dapat mengukur kemampuan belajar sesuai dengan tingkat kemampuan yang ditetapkan dalam indikator pencapaian hasil belajar (ranah kognitif, afektif, dan psikomotor). Bila kompetensi dasar dan indikator bertujuan mengungkap ranah afektif, pertanyaan soal harus pula mengarah ke sikap dan seterusnya.

c. Spesifik. Soal harus direncanakan sedemikian rupa agar jawabannya pasti dan tidak menimbulkan ambivalensi atau spekulasi dalam memberikan jawaban. Kesulitan soal tidak saja kesulitan materi juga bisa ditambah kesulitan dalam memahami soal bila soal tidak disusun secara spesifik.

d. Representatif. Soal tes sebaiknya dikembangkan dari satuan materi yang jelas cakupannya, dan bersifat komprehensif dalam pengertian materi tes harus mencakup seluruh materi pengajaran, untuk itu seluruh pokok bahasan (sub pokok bahasan) idealnya harus terwakili dalam soal tes. Syarat ini akan dapat mengurangi error terhadap hasil pengukuran.

(36)

commit to user

dikatakan seimbang bila pokok bahasan yang terpenting mendapat porsi terbanyak dalam soal. Kalau dalam keadaan terpaksa hal tersebut tidak dapat dilakukan maka keseimbangan dapat dicapai dengan memberikan bobot yang berbeda pada pokok bahasan yang memiliki tingkat kesulitan yang berbeda.

f. Sensitif. Syarat ini berkait erat dengan taraf kesukaran soal, butir tes yang baik harus memiliki sensitivitas untuk membedakan siswa yang benar-benar menguasai materi dengan yang tidak, hal ini tidak akan tercapai bila soal terlalu sulit sehingga semua siswa tidak dapat mengerjakan, atau soal yang terlalu gampang sehingga semua siswa dapat mengerjakan dengan benar.

g. Fair. Tes hasil ujian hendaklah bersifat terbuka dalam pengertian tidak mengandung jebakan, jelas cakupan materinya, kejelasan norma yang dipakai serta kriteria keberhasilannya. Dalam pelaksanaannya obyektif, tidak merugikan kelompok tertentu.

h. Praktis. Dalam pengertian bahwa tes tidak sulit untuk dilaksanakan dilihat dari segi pembiayaan maupun pelaksanaannya. Tes yang baik harus efisien dan mudah untuk dilaksanakan (hlm. 34-35).

Kualitas instrumen sebagai alat ukur ataupun alat pengumpul data diukur

dari kemampuan alat ukur tersebut untuk dapat mengungkapkan dengan secermat

mungkin fenomena-fenomena ataupun gejala yang diukur. Kualitas yang

menunjukkan pada tingkat keajegan, kemantapan serta konsistensi dari data yang

diperoleh itulah yang disebut validitas dan reliabilitas.

a. Validitas

Validitas alat ukur menunjukkan kualitas kesahihan suatu instrumen atau

alat pengumpul data dapat dikatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut

mampu mengukur apa yang seharusnya diukur/diinginkan, sehingga alat ukur

dikatakan sahih apabila dapat mengungkap secara cermat dan tepat data dari

variabel yang diteliti. Tinggi rendahnya tingkat validitas instrumen menunjukkan

sejauh mana data dari variabel yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran

tentang variabel yang dimaksud. Kerlinger (1986) menyatakan bahwa validitas

alat ukur tidak cukup ditentukan oleh derajad ketepatan alat ukur dapat mengukur

apa yang seharusnya diukur, tetapi perlu pula diihat dari tiga kriteria yang lain

(37)

commit to user

19

Mundilarto (2010) menyatakan ada beberapa tipe validitas baik yang

menggunakan kriteria internal maupun eksternal, yakni:

1) Validitas isi (content validity) yang menggunakan kriteria internal berkaitan dengan isi atau materi dan format dari instrumen tes. Seberapa tepat dan seberapa lengkap butir-butir instrumen tes mampu menggambarkan isi, materi, konsep, kemampuan, atau variabel yang akan diukur. Penggunaan panel atau expert judgement merupakan cara menentukan validitas isi. Apabila tes dimaksudkan untuk menilai hasil belajar, maka yang digunakan sebagai kriteria atau pedoman adalah kurikulumnya.

2) Validitas konstruk (construct validity) yang juga menggunakan kriteria internal berkaitan dengan kajian teoritis tentang konstruk dan karakteristik dari variabel atau konsep yang akan diukur. Validitas konstruk ditentukan berdasarkan pada kajian teoritis yang diterjemahkan ke dalam definisi operasional tentang variabel atau konsep yang akan diukur. Dengan demikian, hal penting yang harus dilakukan dalam rangka menentukan validitas konstruk adalah pendefinisian variabel atau konsep yang akan diukur.

3) Validitas kriterion (criterion validity) menggunakan kriteria eksternal ditentukan berdasarkan korelasi antara skor yang diperoleh melalui instrumen tes yang sedang dikembangkan dengan skor yang diperoleh melalui instrumen tes lain yang sudah dinyatakan valid dan digunakan sebagai kriteria. Terdapat dua jenis validitas kriterion, yakni

concurrent validity dan predictive validity. Concurrent validity

menggunakan kriteria skor dari tes sejenis yang sudah dinyatakan valid, sedangkan predictive validity menggunakan kriteria skor dari penilaian atas penampilan seseorang di dalam situasi nyata di kemudian hari. Teknik korelasi point biserial atau biserial dapat digunakan untuk menentukan validitas criterion (hlm. 92).

Idealnya, suatu tes hasil belajar harus memenuhi syarat validitas baik

validitas internal maupun eksternal. Validitas internal ditetapkan berdasarkan pada

asumsi bahwa jika setiap faktor, setiap subtes, atau setiap butir tes sudah

dinyatakan valid, maka tes tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan valid.

Validitas internal ditentukan melalui analisis butir soal yang meliputi tingkat

kesukaran butir soal, daya pembeda butir soal, distribusi jawaban tes, dan

reliabilitas tes.

Mehrens & Lehmann menyatakan, ”Tes diagnostik bisa dianggap valid jika: (1) bagian-bagian tes kemampuan komponen harus menekankan hanya pada

(38)

commit to user

dipercaya. Hal ini bisa dicapai hanya apabila bagian tes memiliki reliabilitas yang

tinggi dan korelasi antar-tes yang rendah” (1973: 462). Dapat diambil kesimpulan pengertian tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk menilai pemahaman

konsep siswa, terutama kelemahan (miskonsepsi) pada topik tertentu dan

mendapatkan masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki kelemahannya.

b. Reliabilitas

Pengertian yang paling sederhana dari reliabilitas adalah kemantapan alat

ukur dalam pengertian bahwa alat ukur tersebut dapat diandalkan atau memiliki

keajegan hasil. Pada dasarnya hubungan antara validitas dan reliabilitas dapat

dikemukakan bahwa alat ukur yang valid akan cenderung menghasilkan

pengukuran yang reliabel, sebaliknya alat ukur yang reliabel sama sekali tidak

menunjuk pada validitas alat ukur tersebut.

Kerlinger (1986) mengemukakan bahwa reliabilitas dapat diukur dari tiga

kriteria yaitu: (1) stability, adalah kriteria yang menunjuk pada keajegan (konsistensi) hasil yang ditunjukkan alat ukur dalam mengukur gejala yang sama,

pada waktu yang berbeda; (2) dependability, yaitu kriteria yang mendasarkan diri

pada kemantapan alat ukur atau seberapa jauh alat ukur dapat diandalkan; (3)

predictability, karena perilaku merupakan proses yang saling berkait dan berkesinambungan, maka kriteria ini mengidealkan alat ukur yang dapat

diramalkan hasilnya dan meramalkan hasil pada pengukuran gejala selanjutnya

(Poerwanti, 2001: 38). Mundilarto (2010) menyatakan:

Indeks reliabilitas tes dapat ditentukan menggunakan:

1) Teknik ulangan (test retest method). Teknik ulangan merupakan konsistensi eksternal. Penyelenggaraan tes dilakukan dua kali pada waktu yang berbeda. Teknik ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada stabilitas atau konsistensi antara hasil tes pertama dengan hasil tes kedua. Namun demikian, apakah dengan teknik ini factor-faktor yang mempengaruhi stabilitas pengukuran telah dipenuhi. Teknik ini memiliki kelemahan yaitu sulitnya kita membuat kondisi penyelenggaraan tes yang benar-benar sama.

(39)

commit to user

21

apakah ada kesamaan antara dua bentuk tes tersebut. Teknik ini memiliki kelemahan yaitu sulitnya kita membuat dua bentuk tes yang benar-benar seimbang dan masing-masing dapat mewakili keseluruhan aspeknya.

3) Teknik belah dua (split half method). Teknik belah dua merupakan konsistensi internal. Pada teknik ini, penyelenggaraan tes cukup satu kali. Skor total setiap siswa dibagi menjadi dua bagian, yakni skor butir-butir bernomor gasal sebagai skor tes belahan pertama dan skor butir-butir bernomor genap sebagai skor tes belahan kedua. Setelah itu, diuji apakah terdapat korelasi antara skor tes belahan pertama dengan skor tes belahan kedua (hlm. 96).

Selain teknik-teknik tersebut, teknik lain untuk menentukan indeks

reliabilitas tes adalah menggunakan formula Kuder-Richardson yang merupakan

konsistensi internal. Pada teknik ini, menurut Mundilarto penyeleggaraan tes

cukup satu kali dan tidak perlu membagi butir tes menjadi dua bagian (2010).

Terdapat dua bentuk formula Kuder-Richardson, yaitu:

1) Formula Kuder-Richardson 20

Keterangan: R adalah indeks reliabilitas tes n adalah jumlah butir tes

SD adalah simpangan baku skor tes

(40)

commit to user

Keterangan: R adalah indeks reliabilitas tes n adalah jumlah butir tes

SD adalah simpangan baku skor tes Mt adalah rerata skor tes total

Formula Kuder-Richardson 21 menggunakan asumsi bahwa setiap butir

soal memiliki tingkat kesukaran butir soal yang sama. Sementara itu, formula

Kuder-Richardson 20 tidak memerlukan asumsi tersebut.

5. Model Pengembangan 4-D

Model pengembangan 4-D (Four D) merupakan model pengembangan

perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thiagarajan, Dorothy S.

Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4-D terdiri atas 4 tahap

utama yaitu: (1) define (pendefinisian); (2) design (perancangan); (3) develop (pengembangan); dan (4) disseminate (penyebaran). Model ini diadaptasi menjadi

Model 4-P, yaitu pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran

ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut:

1. Tahap pendefinisian (define)

Tujuan tahap ini adalah menentapkan dan mendefinisikan syarat-syarat

pembelajaran di awali dengan analisis tujuan dari batasan materi yang

dikembangkan perangkatnya. Tahap ini meliputi 5 langkah pokok, yaitu: (a)

Analisis ujung depan, (b) Analisis siswa, (c) Analisis tugas. (d) Analisis konsep,

dan (e) Perumusan tujuan pembelajaran.

2. Tahap perencanaan (design)

Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran.

Tahap ini terdiri dari tiga langkah yaitu: (a) penyusunan tes acuan patokan,

merupakan langkah awal yang menghubungkan antara tahap define dan tahap design. Tes disusun berdasarkan hasil perumusan Tujuan Pembelajaran Khusus (Kompetensi Dasar dalam kurikukum KTSP). Tes ini merupakan suatu alat

(41)

commit to user

23

belajar mengajar; (b) pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk menyampaikan

materi pelajaran; (c) pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini misalnya

dapat dilakukan dengan mengkaji format-format perangkat yang sudah ada dan

yang dikembangkan di negara-negara yang lebih maju.

(42)

commit to user

3. Tahap pengembangan (develop)

Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang

sudah direvisi berdasarkan masukan dari pakar. Tahap ini meliputi: (a) validasi

perangkat oleh para pakar diikuti dengan revisi, (b) simulasi yaitu kegiatan

mengoperasionalkan rencana pengajaran, dan (c) uji coba terbatas dengan siswa

yang sesungguhnya. Hasil tahap (b) dan (c) digunakan sebagai dasar revisi.

Langkah berikutnya adalah uji coba lebih lanjut dengan siswa yang sesuai dengan

kelas sesungguhnya.

4. Tahap penyebaran (disseminate)

Pada tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah

dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain,

oleh guru yang lain. Tujuan lain adalah untuk menguji efektivitas penggunaan

perangkat di dalam KBM.

B. Penelitian yang Relevan

Sebagai bahan perbandingan dan petunjuk agar memperoleh gambaran

yang jelas dalam melakukan penelitian selanjutnya, maka dikemukakan

penelitian-penelitian yang dilakukan oleh:

Bendall & Goldberg (1993) yang melaporkan tentang sebuah penelitian

yang dirancang untuk menggambarkan praduga dasar guru secara lisan dan dalam

gambar diagram tentang cahaya, penglihatan, bayangan dan bayangan cermin

datar. Data dikumpulkan melalui wawancara individu dan peralatan yang simpel

(bola lampu, objek, layar dan cermin datar). Selanjutnya diselidiki perihal gagasan

siswa yang timbul dari penafsiran setiap pengalaman tersebut dan dinilai

perubahan konsep yang terjadi dari wawancara yang telah dilakukan.

Susilowati (2012) dengan judul Penyusunan Tes Diagnostik Fisika SMA

Kelas X di SMA 2 Sukoharjo. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa Uji

Coba I dilakukan pada siswa kelompok kecil dengan jumlah responden 42 siswa

dan diperoleh hasil sebanyak 4 soal belum dapat dipakai untuk mengungkap

miskonsepsi siswa minimal 10% dari jumlah responden. Untuk rata-rata

(43)

commit to user

25

patokan minimal 50% dapat mengungkap miskonsepsi siswa. Besarnya reliabilitas

tes saat uji coba I adalah 0,29 sehingga termasuk kategori rendah yang berarti

instrumen tersebut tingkat keajegan dalam mengungkap miskonsep siswa masih

rendah. Uji Coba II yang dilakukan pada siswa kelompok besar dengan jumlah

responden 78 siswa dan semua soal sudah dapat dipakai untuk mengungkap

miskonsepsi siswa minimal 10% dari jumlah responden. Untuk rata-rata

prosentase derajat pengungkapan konsep semuanya telah memenuhi patokan

minimal 50% dapat mengungkap miskonsepsi siswa. Besarnya reliabilitas tes saat

uji coba II adalah 0,69 sehingga termasuk kategori tinggi yang berarti instrumen

tersebut tingkat keajegan dalam mengungkap miskonsep siswa tinggi.

Sholfiani (2006) dengan judul Penyusunan Tes Diagnostik Fisika Pokok

Bahasan Kinematika Gerak Lurus Untuk Siswa Kelas X SMA di Kota Semarang

Tahun Pelajaran 2005/2006. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

butir tes diagnostik Fisika yang disusun memiliki taraf kesukaran rata-rata sedang,

dan daya pembeda rata-rata cukup. Prosentase kevalidan soal 94,28%, derajat

reliabilitasnya tergolong sedang dengan koefisien reliabilitas soal pilihan ganda

sebesar 0.56 dan untuk soal esai 0.671. Prosentase pencapaian siswa secara umum

berada di bawah batas pencapaian (passing score) yaitu 65%. Siswa secara umum

memiliki kelemahan pada pencapaian tujuan pengajaran, penguasaan prasyarat

pengetahuan, pengetahuan terstruktur dan masih mangalami miskonsepsi.

Sari (2011) telah melakukan penelitian dengan judul Pengembangan

Instrumen Penilaian Pokok Bahasan Fluida untuk Mendeteksi Miskonsepsi Siswa

SMA Kelas XI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan produk instrumen

penilaian memenuhi kriteria kelayakan produk, yaitu validasi butir soal, taraf

kesukaran, daya beda, dan reliabilitas butir soal. Berdasarkan validitas butir soal

dinyatakan valid. Kriteria taraf kesukaran butir soal tampak dengan nilai

prosentase 49,9 % tergolong sukar, 40 % tergolong sedang, dan 17,1 % tergolong

butir soal yang mudah. Daya beda butir soal pilihan ganda ini memiliki kualitas

baik dengan prosentase 20%, nilai reliabilitas butir soal yang dikembangkan

(44)

commit to user

Nofiati, E. (2011) telah melakukan penelitian dengan judul Karakterisitik

Tes Diagnostik Kognitif Materi Pengukuran, Konsep Zat dan Kalor untuk SMP.

Dari penelitian tersebut dihasilkan 28 soal terdiri atas 12 soal berdaya beda baik,

15 soal berdaya beda cukup dan 2 soal berdaya beda jelek. Tingkat kesukaran dari

tes tersebut terdiri atas 1 soal mudah, 21 soal sedang dan 6 sukar, serta 21 soal

berdistraktor efektif dan 7 soal berdistraktor tidak efektif. Soal yang memiliki

daya beda jelek dan memiliki distraktor tidak efektif selanjutnya direvisi kembali

untuk menghasilkan tes yang baik. Tes yang dihasilkan sudah reliable dengan

koefiisen reliabilitas sebesar 0,889.

Fajariyah & Wasis (2011) telah melakukan penelitian dengan judul

Pengembangan Tes Diagnostik (Diagnostic Test) Teknik Analitik pada Materi

Listrik Dinamis untuk Siswa SMA Kelas X. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan perangkat tes diagnostik teknik analitik pada materi listrik dinamis

untuk siswa SMA kelas X yang dikembangkan telah layak digunakan sebagai

instrumen untuk mendeteksi kesulitan belajar yang dialami siswa pada listrik

dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh prosentase penilaian terhadap perangkat tes

diagnostik teknik analitik oleh para ahli yaitu kelayakan konstruksi kisi-kisi soal

dan butir soal sebesar 89,28% dan kelayakan konstruksi pedoman penskoran

sebesar 90,00%. Sedangkan kelayakan isi kisi-kisi soal dan butir soal sebesar

89,58% dan kelayakan isi pedoman penskoran sebesar 83,33% dengan kategori

sangat layak, dan validitas bahasa sebesar 100% pada pengembangan kisi-kisi soal

dan butir soal, dan 92,86% pada pengembangan pedoman penskoran dengan

kategori sangat layak. Prosentase siswa yang mengalami kesulitan dalam

memecahkan masalah atau soal berdasarkan pada empat jenis kemampuan adalah

30% siswa mengalami kesulitan dalam linguistic knowledge, 100% siswa mengalami kesulitan dalam schematic knowledge 100% siswa mengalami kesulitan dalam strategy knowledge, 80% siswa mengalami kesulitan dalam algoritmic knowledge. Sedangkan prosentase 233 kesulitan yang dialami siswa kelas X dalam menyelesaikan permasalahan atau soal Fisika pada materi listrik

dinamis meliputi schematic knowledge yaitu kemampuan mengidentifikasi skema

Gambar

Tabel
Gambar   Halaman
Tabel 2.1. Pengelompokkan Derajat Pemahaman Konsep
Gambar 2.1 Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian fakta diatas maka perlu adanya pengembangan instrumen tes formatif bagi sekolah khusus akselerasi agar menghasilkan tes yang baku yag cocok untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyusunan instrumen tes sumatif Fisika kelas XI semester genap yang sesuai dengan karakteristik tes Fisika yang

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa instrumen tes diagnostik yang disusun menggunakan model pengembangan 4D

Pada penelitian ini, peneliti tidak membuat instrumen tes diagnostik two tier untuk mengetahui miskonsepsi siswa, melainkan menggunakan dan memperbaiki instrumen

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa: (1) Instrumen tes diagnostik model teslet dapat dikembangkan menurut tahapan pengembangan Borg&Gall (1983) untuk

Berdasarkan hasil uji validitas isi serta analisis butir tes yaitu tingkat kesukaran, daya beda dan efektifitas distraktor pada penyusunan instrumen tes kemampuan berpikir

Berdasarkan hasil uji validitas isi serta analisis butir tes yaitu tingkat kesukaran, daya beda dan efektifitas distraktor pada penyusunan instrumen tes kemampuan berpikir

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa: (1) Instrumen tes diagnostik model teslet dapat dikembangkan menurut tahapan pengembangan Borg&Gall (1983)