• Tidak ada hasil yang ditemukan

Malioboro dan Dialektika Ruang Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Malioboro dan Dialektika Ruang Sosial"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Malioboro dan Dialektika Ruang Sosial Galatia Puspasani Nugroho

Kelanjutan proyek intelektual Marx, materialisme sejarah dan dialektika, diterjemahkan oleh Henri Lefebvre ke dalam gagasannya mengenai produksi ruang. Lefebvre mengemukakan bahwa bahwa aktivitas produksi manusia tidak hanya menciptakan produk-produk kebudayaan seperti sistem sosial dan barang-barang konsumsi. Ruang juga merupakan sebuah produk dari sebuah kebudayaan. Dalam magnum opus-nya The Production of Space, Lefebvre menjabarkan gagasannya mengenai pendekatan trikotomis dalam melihat produksi ruang1 yang dibagi ke dalam tiga tataran, praktik spasial (fisik-material), representasi ruang (gagasan-konsep-ide), ruang representasi (pengalaman individu secara fisik-konseptual). Bagi Lefebvre, cara yang dikotomis untuk melihat ruang menjadi tidak relevan, karena faktor means of control dan means of production menjadi tereduksi. Padahal Lefebvre sendiri berkeyakinan bahwa ruang sendiri memuat dominasi dan kekuatan, selain kemampuannya untuk berproduksi2.

Pendekatan trikotomis ini penting untuk dikaji sebagai alat untuk menjabarkan bagaimana ruang-ruang di perkotaan paska industri berkembang menjadi tempat yang kapitalistik transaksional. Artinya, fungsi ruang-ruang tersebut dibayangkan hanya sebagai ruang fisik-material semata dan tentunya mereduksi relasi sosial di dalamnya. secara fisik terhadap ruang, yang menyebabkan relasi sosial dapat terjalin, meskipun ruang-ruang transaksional masih saja tetap terjadi.

Walaupun begitu, ruang-ruang perkotaan yang cenderung kapitalistik transaksional tersebut pada kenyataannya memiliki kondisi yang beragam. Ini terkait dengan pra kondisi yang berbeda-beda antara kota satu dengan yang lain. Misalnya saja geopolitik, histografi, dan kondisi masyarakat yang mendiami. Ambil contoh Malioboro, sebuah jalan yang cukup terkenal di Yogyakarta. Terletak

1 Henri Lefebvre beranggapan ruang (sosial) adalah produk (sosial), sehingga di dalam gagasannya dia tidak memisahkan antara ruang dan ruang sosial. “(Social) space is a (social) product ...” (Lefebvre,1991, 26)

2 “ ... the space thus produced also serves as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of production it is also a means of control, and hence of

(2)

di pusat kota Yogyakarta, berdekatan dengan pusat pemerintahan administrasi dan kultural, pusat perekonomian, dan salah satu tempat tujuan wisata.

Sebelum beranjak lebih jauh ada baiknya untuk melihat bagaimana secara konsep dan gagasan Malioboro terbentuk. Dalam buku Etika Jawa, Magnis Suseno mengungkapkan bagaimana orang jawa dalam membagi ruang hidupnya tercermin dari keseharian hidup mereka. Masyarakat, alam, dan alam adikodrati adalah ruang-ruang hidup yang dianggap sangat erat kaitannya sebagai kesatuan. Akibatnya, mereka mempercayai bahwa kejadian di alam empiris berkaitan perasaan yang objek utamanya yang langsung berada di luar diri pribadi") pada masyarakat Yogyakarta juga memiliki peran dalam membentuk ruang profan di ranah publik ini. Sehingga peran Keraton sebagai pusat kosmik di dalam masyarakat3 menjadi penting sebagai penggambaran dari kekuatan maha besar di luar sana. Ini yang akhirnya menjadikan Malioboro mempunyai peran perkembangan fisik-material hadir mengikuti setelahnya. Pendekatan dikotomis semacam itulah yang sebenarnya diyakini memproduksi dirinya sendiri, oleh sebab itu relasi sosial didalamnya menjadi unsur yang sangat penting. Namun begitu, sebagai salah satu alat produksi kapitalisme, ruang-ruang di perkotaan seperti

3 Magnis Suseno, Etika Jawa, 1984, 100

(3)

Malioboro, mempunyai kesempatan untuk beralih rupa menjadi ruang fisik-material semata, disaat seperti itu pendekatan trikotomis diperlukan untuk menandai relasi sosial yang ada. Lalu bagiamanakah trikotomi ruang tersebut bekerja? apakah Malioboro dapat dilihat dengan menggunakan cara yang trikotomis tersebut? lalu seperti apakah Malioboro dilihat melalui trikotomi ruang?

Ruang Sosial ; Rujukan Terminologi

Henri Lefebvre mengungkapkan bahwa “space is socially produce” sementara itu “we are spatially produced”. Menurutnya, kita menciptakan ruang menurut cara kita bertinggal dalam kehidupan sosial kita (lived space), yang mana dalam realitas kehidupan tersebut kita bersinggungan dengan aspek material fisik dari ruang yang terserap oleh indera kita (perceived space) dan aspek-aspek non-material (mental) dari ruang yang terkonsepsi dalam benak kita (conceived space).

Batu pijakan yang penting dari The   Production   of   Space  adalah memberikan andil atas satu aspek yang tidak terbayangkan oleh kaum Marxis (bahkan Marx sendiri) yaitu peran ruang dalam kehidupan manusia dan bagaimana pertarungan perebutan wacana di dalamnya. Relasi produksi dan akumulasi kapital yang di bicarakan Marx tidak dapat berlangsung tanpa adanya ruang. Relasi produksi sendiripun menciptakan ruang yang secara khusus di peruntukan baginya. Bahkan dalam pembahasan kapitalisme lebih lanjut, ruang dijadikan sebagai sarana dari akumulasi kapital, misal tanah dan bangunan sebagai asset.

Relasi sosial menciptakan ruang, tapi yang lebih penting bagi Lefebvre adalah bagaimana melihat Ruang Sosial sebagai Produksi Sosial. Ini yang membuat Lefebvre percaya bahwa ruang sosial memiliki logika yang panjang untuk menjelaskan dirinya sendiri.

Ruang Malioboro ; Deskrispi Trikotomi Ruang

(4)

Gambar 1

Gambar 2

(5)

Untuk bisa mencapai produksi ruang yang sepenuhnya, maka Malioboro harus ditempatkan di dalam trikotomi ruang. Keberadaan praktik sosial, konstruksi wacana tentang konsep ruang dan terakhir apakah ruang tersebut (Malioboro) bisa luruh menjadi makna (dalam pendekatan semiotik, makna yang menjadi ikon dan akhirnya menjadi denotasi yang baru). Hal-hal tersebut merupakan cakupan dari praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasi ruang luar5 Malioboro tercipta melalui deretan pedagang kaki lima yang mengaproriasi arcade. Gambar 1 dan 2 menunjukan bagaimana posisi pedagang kaki lima mengapropriasi secara fisik ruang di depan ruang privat toko6 maupun ruang luar primer7 (Bank Danamon). Ruang fisik yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki lambat laun menjadi ruang yang beralih sifatnya untuk untuk tempat berteduh dan bersantai oleh pengunjung mengalami apropriasi oleh tukang ojek. Bentuk apropriasi ini dengan menjadikan fungsi pohon dan trotoar sebagai pangkalan ojek.

5 Malioboro dapat dilihat sebagai ruang dalam pengertian memiliki kejelasan fisik. Berdasarkan keterlingkupannya Malioboro dapat di bagi menjadi dua bagian ruang, Ruang Dalam, ruang yang memiliki keterlingkupan tinggi, pembatasan oleh bidang dinding dan atap cukup sempurna sedangkan Ruang Luar, adalah ruang yang memiliki keterlingkupan rendah dan kadang tanpa atap. (Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata Persada & BappedaKota Yogyakarta)

6 Walaupun pada prinsipnya ruang privat toko ini terbuka bagi siapapun, akan tetapi karakter orang yang mengakses menjadi lebih spesifik dan terfokus kepada jenis barang yang diperjualbelikan (Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata Persada & BappedaKota Yogyakarta)

7 Ruang linier Malioboro sebagai ruang primer tercipta dan dibentuk oleh artikulasi dinding dan masa bangunan pada kedua sisi jalan yang membentang secara linier dari utara ke selatan (Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata Persada &

(6)

Pada gambar 2, tanda dilarang parkir, papan nama jalan Malioboro dan papan pemberitahuan bangunan cagar budaya merupakan representasi ruang Malioboro. Beberapa peraturan dan tanda tersebut merupakan hasil dari konseptualisasi ruang Malioboro yang di abstraksi terus menerus dan kemudian diwacanakan berulang-ulang oleh Pemerintah Daerah beserta beberapa pihak yang berkompeten (ahli tata ruang, arsitek, ahli sosial). Ini sejalan dengan penuturan Lefebvre bahwa konsepsi dan wacana ruang hanya memungkinkan dipraktikan secara verbal dan melalui representasi bahasa dan sistem tanda. Ia mengatakan bahwa ruang ini adalah :

“… the dominant space in any society (or mode of production) … towards a system of verbal (and therefore intellectually worked out) signs.” (1991, 39).

Gambar dua orang wanita sedang berpose di bawah penanda Jl. Malioboro (gambar 3) menunjukan perilaku wisatawan ketika sedang mengunjugi sebuah tempat wisata. Sedangkan dua gambar terakhir, yang dipotret antara pukul 06.00-07.00 pagi pada tanggal 31 Desember 2012, menunjukan antusiame yang tinggi terhadap Malioboro baik dari segi pengunjung maupun penjual. Datang ke Malioboro dengan pakaian seadanya, mencari sarapan atau sekedar jalan-jalan dengan keluarga, keadaan trotoar masih lapang tanpa adanya sepeda motor yang parkir (gbr kiri). Tingkat hunian yang tinggi di hotel di sekitar kawasan Malioboro di kala musim liburan membuat pagi hari disana sangat ramai baik oleh pengunjung maupun pedagang. Contohnya pedagang cobek yang menjajakan dagangan sedang di tawar oleh salah satu calon pembeli wanita. Ketiga gambar terakhir merupakan bukti bahwa Malioboro sudah luruh menjadi sebuah simbol/ikon atas kota Yogyakarta. Jika melalui pendekatan semiotik, Malioboro sudah menjadi denotasi yang baru yaitu luruh menjadi simbolisasi, kalau ke Yogyakarta dan belum berkunjung ke Malioboro rasanya belum lengkap, begitu kira-kira idiom yang sering terdengar.

Mengutip Lefebvre perihal trikotomi ruang, ini yang dimaksudkan sebagai “The Production of Space,” yaitu praktik memroduksi ruang yang dilakukan manusia melalui relasi produksi pada sebuah relasi dan praktik sosial, maka Malioboro sudah, sedang, dan akan terus memroduksi ruangnya.

Malioboro dan Ruang Sosial Diantara

(7)
(8)

Dalam persekpektif kritis, tawaran kedua The Production of Space

(9)

Gambar 4

Munculnya peraturan tentang biaya parkir menunjukan negoisasi antara representasi ruang dan praktik spasial berhasil dilakukan. Kehadiran peraturan biaya parkir merupakan salah satu contoh representasi ruang yang terjadi akibat pola praktik spasial yang dinamis. Dengan kondisi seperti ini, representasi ruang lebih berfungsi sebagai penyeimbang dan praktik spasial berposisi sebagai organ-organ ruang yang terus berkembang. Satu pola produksi tertandai.

(10)

Gambar 5

Dari ruang representasi baru ini muncul pola relasi baru. Relasi yang muncul atas kesadaran akan ruang kolekttif. Ini bisa dijelaskan dengan menandai karakter ruang representasi yang muncul. Apabila sebelumnya ruang representasi berhasil membuat Malioboro luruh ke dalam simbolisasi, maka grafis visual yang merupakan ruang representasi baru ini merupakan kelanjutannya. Dengan merujuk konteks Malioboro sebagai ikon wisata, maka hotel/toko membutuhkan ruang promosi. Ruang promosi belum bisa disebut sebagai ruang representasi, pengalaman atas ruang, apabila tidak berhasil meruangkan pengalamannya. Di sisi lain andong dan becak, yang merupakan alat transportasi tradisional, memposisikan dirinya sebagai salah satu daya tarik pariwisata di Yogyakarta. Sehingga sangatlah wajar ketika Malioboro dijadikan sebagai salah satu tempat ‘mangkal’ andong dan becak. Karena dengan begitu, kesempatan mereka untuk mendapatkan penumpang lebih besar.

(11)

Kekhawatiran Lefebvre tentang dominasi representasi ruang tidak sepenuhnya terjadi. Hegemoni yang diasumsikan sebagai kontrol atas ruang berubah bentuk ke dalam negoisasi dan bersifat lentur dalam relasinya dengan praktik spasial. Sedangkan ruang representasi ternyata tidak lenyap begitu saja, akan tetapi menempati ruang-ruang abstrak di Malioboro dan bahkan mampu mereproduksi ruang representasi baru yang menjadi penanda relasi antar ruang dalam bentuk yang konkret. Sederhananya Malioboro muncul sebagai ruang sosial yang baru, ruang sosial yang berada di antara. Itu dikarenakan Malioboro dapat merangkum dan mentransformasikan hegemoni dan kontrol menjadi sebuah relasi antar ruang yang setara.

Daftar Pustaka

A.P, Suryadi 2002. Malioboro : Djokja Itu Loetjoe, Hanindita, 2002. Agger, Ben 2006. Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Aunurrohman, Cholis, 2007. Malioboro, Soal Pembangunan Kawasan Pejalan Kaki dan Dusta Proyek-Proyek Disana, Pustaka Pelajar

(12)

Bateson, G, dan Mead, M 1942. Balinese Character : A Photographic Analysis. New York : New York Academy of Science.

Becker, H.S 1974. Photography and Sociology, Journal.Becker, H.S 1986. Doing Things Together. Evanston : Northwestern University Press.

Bintarto, 1977. Pengantar Geografi Kota, Spring.

Bungin, Burhan 2008,.“Penelitian Kualitatif”, Kencana, Bandung.

Chaplin, 1994. Sociology Visual and Representation, 1st Edition, Routledge, London, United Kingdom.

Denzin, Norman & Lincoln, Yvonna 2009. Handbook of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Indonesia.

Ertanto, Bambang, 1992. Ritus Untuk Menjadi Jawa, Jurusan

Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Giddens, Anthony 1993. New Rules of Sociological Method ; A Positive Critique of Interpretative Sociologies, Stanford University Press, California.

Harper, Douglas 1988. Visual Sociology; Expanding Sociology Vision, Jurnal American Sociologist/Spring.

Knowles, Caroline and Harper, Douglas 2009. Hong Kong Migrant Lives, Landscapes, and Journeys Fieldwork Encounters and

Discoveries, The University of Chicago Press, London.

Laksono, PM, 2004. Keadilan Sosial ; Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Lefebvre, Henri 1991. The Production of Space –translated by Donald Nicholson- Smith, Oxford UK: Blackwell.

Lefebvre, Henri 2009, State, Space, World, Selected Essays, Translated by Gerald Moore, Neil Brenner, and Stuart Elden. University of Minnesota Press, Minneapolis.

Pour, Julius. 2009. Doorstoot Naar Djokja, Kompas Penerbit Buku. Prasetya, Erick 2011. Jakarta Estetika Banal, Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta.

Ricoeur, P 2006. Hermeneutikal Ilmu Sosial, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

(13)

Soemardjan, Selo, 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Tuti Artha, Arwan, 2000. Yogyakarta Tempoe Doloe, BIGRAF

Publishing. Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata Persada & Bappeda Kota Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pegawai yang memperoleh Remunerasi yang Bersifat Variabel dengan nilai yang besar dikategorikan sebagai material risk takers.

Contoh tanah dalam tabung yang berisi air di sentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit kemudian air disaring dengan vacum pump, hasil saringan yang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia karena setiap manusia dapat mengalami gangguan pada kesehatan begitupun pada orang lansia dikarenakan memasuki usia lanjut

a. Kerusakan dan kerugian konsumen. Pencemaran dan kerugian konsumen. Tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan ganti rugi diatas, tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat

pendaki gunung dan para penelitian dibidang klimatologi, pada umumnya setiap parameter cuaca seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara diukur menggunakan alat yang

Melalui diskusi siswa yang dibimbing oleh guru tentang ragam aplikasi komunikasi data, maka diharapkan siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang disertai

satu menyegerakan, mendorong dosen yang belum punya sertifikasi tapi mungkin juga mengarahkan, jadi gak cuma menyegerakan saja, ayo ayo segera tapi juga

Pesanan produksi pabrik Jerman tumbuh pada kecepatan yang lebih cepat seiring menguatnya permintaan domestik pada bulan Agustus, laporan data dari Destatis pada hari