• Tidak ada hasil yang ditemukan

9 BAB II GAMBARAN UMUM DETEKSI DINI GANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "9 BAB II GAMBARAN UMUM DETEKSI DINI GANG"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

19

GANGGUAN MENTAL

A. Pengertian Deteksi Dini, Mental Dan Gangguan Mental

a) Pengertian Deteksi Dini

Secara fitrah setiap manusia atau individu memiliki mental yang sehat, akan tetapi karena suatu sebab ada beberapa individu yang mengalami atau memiliki mental yang tidak sehat. Biasanya mental yang tidak sehat, diakibatkan dari goncangan-goncangan atau konflik batin yang ada dalam diri (jiwa), dan pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Dengan kondisi semacam itu biasanya kondisi psikologis (mental) menjadi kacau yakni, tidak selaras lagi antara yang dipikirkan dengan peri lakunya. Orang yang menderita sakit mental (jiwa), secara sosial kurang bisa diterima ditengah-tengah dimana dia tinggal, bahkan secara umum dalam masyarakat kurang bisa diterima.

(2)

dalam lingkungan sosialnya sebagai sosok insan yang sehat secara sempurna.1

Tujuan deteksi dini ialah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman serta perhatian terhadap kondisi psikologis, yakni kondisi mental dan jiwa spiritual yang ada dalam diri individu untuk menghindari dan menanggulangi akan terjadinya gangguan-gangguan jiwa (mental).

Deteksi dini juga sebagai bentuk preventive (pencegahan) sejak awal terhadap indikasi-indikasi akan terjadinya gangguan mental dan kejiwaan. Karena manusia hidup itu memiliki tanggung jawab yang besar terhadap relasi dalam berhubungan, baik yang berkaitan individu dengan Tuhannya, individu dengan dirinya sendiri, keluarganya, lingkungannya sosialnya dan lingkungan alam sekitarnya. Hal ini mustahil bisa dilakukan apabila tidak didukung oleh kondisi diri yang sehat, yakni sehat jasmani (fisiologis) dan sehat ruhani (mental-spiritual) atau psikologis.2

Deteksi dini terhadap gangguan mental juga memberikan manfaat yaitu mengembangkan nilai dan sikap secara menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri (self acceptance), membantu memahami tingkah laku manusia dan membantu manusia untuk memperoleh kepuasan pribadi, dan dalam penyesuaian diri secara maksimum terhadap masyarakat serta membantu individu untuk hidup seimbang dalam berbagai aspek, fisik, mental dan sosial. Disamping itu deteksi dini mempunyai fungsi dan tujuan, yaitu: fungsi pemahaman (understanding), fungsi pengendalian (control), fungsi peramalan (prediction), fungsi pengembangan (development), fungsi pencegahan (prevention), dan fungsi perawatan (treatment). Misal dengan melakukan deteksi dini terhadap gangguan mental seseorang akan terhindar dari hal-hal atau keadaan yang dapat membahayakan jiwa ataupun mental. Jadi deteksi dini adalah suatu upaya untuk mengenali kondisi kesehatan mental, terlebih

1

M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam; Penerapan Metode Sufistik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 215.

2

(3)

gejala dan faktor atau pencetus yang bisa membuat kondisi mental menjadi tidak sehat (terganggu) secara dini.

b) Pengertian Mental

Pengertian “mental” secara definitif belum ada kepastian definisi yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.3

James Draver memaknai mental yaitu “revering to the mind” maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri.4 Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani (badan).5

Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau

metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan

demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental.6

Sedangkan secara terminologi para ahli kejiwaan maupun ahli psikologi ada perbedaan dalam mendefinisikan “mental”. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Al-Quusy (1970) yang dikutip oleh Hasan Langgulung, mendefinisikan mental adalah paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis psikologis yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh

3

Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2001), hlm. 21.

4

James Draver, A Dictionary of Psychology, (New York: Pengin Books, t.th.), hlm. 169.

5

Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 646.

6

(4)

terhadap emosi dan dari emosi ini akan mempengaruhi pada kondisi mental.7

Pengertian lain “mental” didefinisikan yaitu yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal dan ingatan.8 Seperti mudah lupa, malas berfikir, tidak mampu berkonsentrasi, picik, serakah, sok, tidak dapat mengambil suatu keputusan yang baik dan benar, bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil, antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang mudharat.9 Dari sini dapat ditarik pengertian yang lebih signifikan bahwa mental itu terkait dengan, akal (pikiran/rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral) serta tingkah laku). Satu kesatuan inilah yang membentuk mentalitas atau kepribadian (citra diri). Citra diri baik dan jelek tergantung pada mentalitas yang dibuatnya.

Kondisi individu kelihatan gembira, sedih, bahkan sampai hilangnya gairah untuk hidup ini semua tergantung pada kapasitas mental dan kejiwaannya. Mereka yang tidak memiliki sistem pertahanan mental yang kuat dalam menghadapi segala problematika kehidupan atau tidak memiliki sistem pertahanan diri yang kuat untuk mengendalikan jiwanya, maka individu akan mengalami berbagai gangguan-gangguan kejiwaan, yang berpengaruh pada kondisi kepribadian yang bisa mendorong pada perilaku-perilaku pathologies.10

Kondisi mental tersebut bisa digolongkan dalam dua bentuk yaitu kondisi mental yang sehat dan kondisi mental yang tidak sehat. Kondisi mental yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang normal. Pribadi yang normal ialah bentuk tingkah laku individu yang tidak menyimpang

7

Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hlm. 30.

8

C.P. Chaplin, Kamus Psikologi, terj, Kartini Kartono, (Jakarta: PT grafindo Persada, 1995), hlm. 407.

9

M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, op. cit., hlm. 231.

10

(5)

dari tingkah laku pada umumnya dimana seorang individu itu tinggal, dan pribadi yang normal akan menunjukkan tingkah laku yang serasi dan tepat (adekuat) dan bisa diterima oleh masyarakat secara umum, dimana sikap hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup lingkungannya. Secara sederhana individu tersebut mampu beradaptasi secara wajar.11 Jadi pribadi yang normal dan metal yang sehat ini bisa dirasakan pada kondisi diri kita atau kondisi perasaan kita yang cenderung stabil, tidak banyak memendam konflik internal, suasana hati yang tenang, dan kondisi jasmani yang selalu merasa selalu sehat.

Sementara itu yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu diwaspadai oleh setiap individu ialah kondisi mental yang tidak sehat, karena kondisi mental yang tidak sehat itu akan membentuk suatu kepribadian yang tidak sehat pula (abnormal). Pribadi yang tidak sehat (abnormal) ialah adanya tingkah laku seseorang atau individu yang sangat mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum yang ada di lingkungannya, atau disebut juga dengan perilaku-perilaku yang menyimpang (abnormal). Secara umum bentuk mental yang tidak sehat yaitu secara relatif bisa dilihat pada individu jauh dari kemampuan beradaptasi atau selalu mengalami kesulitan dalam beradaptasi, dan memiliki ciri bersikap inferior dan superior.12 Yang menjadi barometer setiap kelainan tingkah laku individu ialah kondisi mentalnya. Mental yang sehat itulah yang menentukan tanggapan atas dirinya terhadap setiap persoalan, dan kemampuan untuk beradaptasi, dan mental yang sehat pulalah yang menentukan apakah seseorang atau individu memiliki gairah hidup atau justru mereka pasif dan tidak bersemangat bahkan memiliki ketakutan untuk hidup.13

Pada dasarnya untuk mengetahui apakah seseorang atau individu sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya) tidaklah mudah diukur atau diperiksa dengan alat-alat seperti halnya pada penyakit jasmani, akan

11

Ibid., hlm. 7

12

Ibid.

13

(6)

tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana kondisi perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak seperti, rasa bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagai. Dan seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya, bisa dilihat pada tindakannya, tingkah lakunya atau ekspresi perasaannya, karena seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya ialah apabila terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.14

Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berada dalam diri seseorang atau individu yang terkait dengan psikis atau kejiwaan yang dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian, begitu juga sebaliknya mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku maupun kepribadian yang sehat pula.

Sigmund Freud memberikan definisi bahwa kepribadian yang sehat adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap bagian jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden melihat bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-dorongan psikis dengan realitas dengan sendirinya akan terbentuk kepribadian yang sehat dan akan melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal).15

c) Pengertian Gangguan Mental

Yang dimaksud dengan gangguan adalah hal-hal yang menyebabkan ketidak beresan (ketidakwarasan) atau ketidakwajaran terhadap kesehatan metal atau jiwa.16

Dalam terminologi yang lain gangguan mental ialah adanya ketidakseimbangan yang terjadi dalam diri kita, berpusat pada perasaan, emosional dan dorongan (motif/ nafsu), yang mengakibatkan pada ketidakharmonisan antara fungsi-fungsi jiwa, yang menyebabkan kehilangan daya tahan jiwa, pada akhirnya jiwa menjadi labil dan

14

Ibid., hlm. 16.

15

F. Patty, dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 189-190.

16

(7)

cenderung mudah terpengaruh pada hal-hal yang negatif, serta dirinya tidak mampu merasakan kebahagiaan serta tidak mampu mengaktualisasikan potensi-potensi (kemampuan) yang ada dalam dirinya secara wajar.17 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia didefinisikan gangguan mental ialah ketidakseimbangan jiwa yang mengakibatkan terjadinya ketidaknormalan sikap dan tingkah laku yang dapat menghambat dalam proses penyesuaian diri.18

Dengan demikian gangguan mental ialah kondisi kejiwaan yang lemah (sakit), yang bisa merusak kepribadian dengan tingkah lakunya yang tidak normal (abnormal), serta mengakibatkan seseorang atau individu mengalami kesulitan bersosialisasi, beraktualisasi, dan beradaptasi, yakni mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Orang yang mengalami gangguan mental ialah kebalikan dari orang yang sehat mentalnya, sebagaimana penjelasan Dadang Hawari menurutnya, orang yang sehat mentalnya (jasmani/ jiwa, psikis) ialah orang yang pikiran, perasaan, serta perilakunya itu baik, tidak melanggar hukum, norma, dan etika, serta tidak merugikan orang lain ataupun lingkungannya.19

Sementara itu Dr. Kartini Kartono gangguan mental (mental

disorder) ialah bentuk penyakit atau gangguan dan kekacauan fungsi

mental atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/ mental terhadap stimuli eksternal dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau gangguan strukural dari satu bagian atau lebih dari sistem kejiwaan.20

17

Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm. 13.

18

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan¸ op. cit., hlm. 202.

19

Dadang Hawari, Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa Dan kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana Bakti Primayasa, 1999), hlm.

20

(8)

Zakiyah Daradjat, mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa; gangguan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak wajar (normal) baik yang berhubungan dengan fisik (tingkah laku), kepribadian, kejiwaan, maupun psikis (psikologis).21

Orang yang terganggu mentalnya biasanya, pikirannya pendek, tidak memiliki pandangan hidup yang luas, sikap hidupnya penuh perasaan pesimis, dan biasanya suka menunda-nunda waktu, serta cenderung mengeluh. Apabila telah mengalami kondisi psikologis semacam itu jelas kondisi psikis kita terganggu. Ciri yang paling mudah dikenali dari kondisi mental yang tidak sehat yaitu perasaan selalu malas berbuat sesuatu, kondisi tubuh merasa selalu capek, isi pikiran dan hati diliputi perasaan iri, dengki, curiga, dan pikiran-pikiran aneh lain dan selalu diliputi keinginan-keinginan yang tidak masuk akal (irrasional).

Gangguan mental sekecil apapun dapat merusak kepribadian atau citra diri. Maka deteksi dini mutlak perlu dilakukan terhadap diri kita dengan tujuan untuk mengenal kondisi kesehatan mental sedini mungkin, sehingga kita dapat mengarahkan diri agar tidak menderita gangguan mental. Deteksi diri (psycho-diagnostic) terhadap gangguan mental sejak dini perlu dilakukan oleh siapapun, yang menyadari betapa penting dan berharganya kesehatan metal yang melebihi hal apapun. Hal ini bisa dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain.

21

(9)

B. Gejala dan Faktor Pencetus Terjadinya Gangguan Mental

a) Gejala-Gejala Timbulnya Gangguan Mental

Untuk mengetahui bagaimana kondisi mental atau kondisi jiwa kita. Apakah kondisi mental itu sehat, normal atau terganggu. Ini semua bisa diketahui atau dideteksi lewat apa yang disebut dengan “gejala” atau “tanda”.

Gejala adalah tanda-tanda yang mendahului suatu problem, atau sesuatu yang dapat diamati sebelum timbulnya suatu problem,22 atau keadaan yang menjadi yang menjadi tanda-tanda akan timbulnya atau berjangkitnya sesuatu.23 Jadi gejala-gejala timbulnya gangguan mental ialah segala bentuk kondisi kejiwaan yang bisa diamati atau bisa dirasakan secara jelas sebagai realisasi aktivitas kejiwaan yang bisa mengakibatkan ketidaknyamanan ataupun ketidaktenangan baik secara psikologis maupun secara jasmaniah (fisik).24 Adapun gejala-gejala timbulnya gangguan mental yang dapat dirasakan dan diamati sebagai bentuk upaya deteksi (diagnosis) yang terjadi dalam diri yaitu, dengan menilai dan mau merasakan bagaimana kondisi jasmaniah dan rohani yang ada dalam diri kita. Untuk mengetahuinya bisa diagnosis atau deteksi sendiri melalui beberapa gejala (tanda). Adapun gejala-gejalanya tersebut bisa dirasakan atau bisa dideteksi melalui gejala kejiwaan yang ada dalam diri (kejiwaan) yaitu, melalui pikiran, perasaan, emosi, kehendak dan tingkah laku.

1) Pikiran

Pikiran yang dimiliki setiap manusia memiliki fungsi yaitu untuk berfikir. Berfikir ialah sebagai bentuk gejala kognisi atau gejala cipta, dan berfikir juga wujud dari proses kerja pikiran dan merupakan kondisi kejiwaan yang juga bisa ikut membantu mengontrol segala perilaku manusia. Pikiran memiliki fungsi untuk mengetahui, mencipta, dan memecahkan problema. Dalam kerjanya, berfikir itu

22

Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, (Surabaya: Indah Surabaya, 1993), hlm. 50

23

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan¸ op. cit., hlm. 260.

24

(10)

menggunakan sebuah alat yang disebut dengan akal (inteligensia), yang berada dalam otak sebagai tempat singgah dalam proses berfikir. Ada beberapa tingkatan dalam berfikir yaitu; berfikir konkrit, berfikir skematis, dan berfikir abstrak. Dengan berfikir seseorang bisa memperoleh pengetahuan, pengertian dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran dalam bentuk apapun, seperti kebenaran dalam bertindak dan bertingkah laku.25

Berfikir bisa disebut juga, gejala atau kondisi kejiwaan yang dapat menetapkan hubungan-hubungan antara ketahuan-ketahuan kita. Berfikir merupakan proses dialektika, yakni selama individu berfikir, pikiran akan mengadakan tanya jawab ataupun melakukan pertimbangan-pertimbangan, untuk bisa memutuskan suatu persoalan yang akan dilakukan. Dalam proses dialektika itulah yang memberi arah atau pengertian agar pikiran tidak salah dalam memberikan keputusan. 26

Adams, memberikan definisi bahwa, berfikir ialah suatu proses aktif, yang meliputi penggunaan, pengamatan, tanggapan, simbol-simbol, tanda-tanda atau kata-kata, pembicaraan batin dan pengertian-pengertian. Oleh karena itu berfikir dapat didefinisikan sebagai setiap urutan kesadaran yang diarahkan pada suatu tujuan yang belum ada kepastiannya. Setiap berfikir yaitu diarahkan sebagai bentuk problem

solving (pemecahan masalah). Jenis berfikir setiap individu tidaklah

sama, yaitu sesuai dengan hakekat persoalan yang dihadapi, tujuan yang diinginkan dan pendekatan terhadap setiap persoalan.27

Adapun kondisi pikiran yang sehat diantaranya yaitu, mampu berfikir secara cepat, akurat dan sistematis, realistis, mampu berkonsentrasi, tidak merasa lelah dan tidak merasa gundah dan kacau

25

Ibid., hlm. 51.

26

Agus Sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 58.

27

(11)

(distorsi).28 Dengan demikian apabila diri seseorang merasakan hal yang sebaliknya dalam pikirannya, ini merupakan suatu gejala timbulnya gangguan mental ataupun gangguan jiwa secara umum. 2) Perasaan

Setiap aktivitas, tingkah laku dan pengalaman kita diliputi oleh perasaan. Disamping pikiran perasaan juga mempunyai peran untuk memberikan pertimbangan bagaimana seseorang atau individu untuk berbuat dan bertingkah laku. Perasaan juga termasuk naluri manusia yang banyak memberi pengaruh serta mempengaruhi perkembangan sikap dan tingkah lakunya.

Ada dua macam perasaan manusia sebagaimana yang dikategorikan oleh Jamaludin Kafie yaitu digolongkan ke dalam dua bentuk, yakni: Pertama, perasaan yang dikategorikan sebagai perasaan kejasmanian (rendah) seperti, perasaan penginderaan, perasaan vital, perasaan psikis dan perasaan pribadi. Kedua perasaan kerohanian (tinggi), seperti perasaan religius (hal yang suci), perasaan etis (hal yang baik), perasaan estetik (hal yang indah), perasaan egoistis (hal diri sendiri), perasaan sosial (hal bersama), perasaan simpati (hal tertarik) dan perasaan intelektual (hal yang benar).29

Perasaan disebut juga sebagai gejala rasa atau disebut juga sebagai gejala emosi. Prof. Hukstra mendefinisikan perasaan yang dikutip oleh Agus Sujanto, perasaan ialah suatu fungsi jiwa untuk dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut rasa senang dan tidak senang.30 Perasaan biasanya disifatkan sebagai kondisi kejiwaan yang dialami oleh setiap manusia pada suatu waktu. Seperti orang merasa iba, terharu, gembira, merasa gembira atau sedih, tercengang dan sebagainya.

28

William Gladstone, Apakah Mental Anda Sehat, terj, Jeanette M, Lesmana, dkk, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 20-21.

29

Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 51-52.

30

(12)

Secara sederhana perasaan bisa dimaknai sebagai suatu kondisi kejiwaan sebagai akibat dari adanya peristiwa-peristiwa, pada umumnya datang dari eksternal individu, yang bisa menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada diri individu yang mengalaminya.31 Perasaan yang dimiliki oleh setiap orang tidaklah sama, itu semua tergantung pada kondisi atau peristiwa yang mempengaruhinya atau yang dialaminya.

Disamping pengaruh stimulus dari luar, perasaan juga bergantung pada; Pertama, kondisi jasmani dan rohani. Kedua sifat pembawaan yang erat hubungannya dengan kepribadian seseorang.

Ketiga kondisi perkembangan seseorang, yakni keadaan yang pernah

mempengaruhi, akan dapat memberikan corak dalam perkembangan perasaannya. Disamping itu faktor lain yang dapat mempengaruhi perasaan seseorang, misalnya; keluarga, lingkungan, tempat kerja, sekolah dan sebagainya.32 Ekspresi perasaan ini bisa dilihat dari keadaan jasmani, karena banyak perasaan timbul bersamaan dengan peristiwa tubuh, seperti tertawa, marah, membentak, mengepal tangan, menangis, mengerutkan dahi dan sebagainya, ini semua tak lain adalah sebagai perbuatan-perbuatan tubuh (badan) untuk melahirkan perasaan. Tanggapan-tanggapan perasaan dapat diwujudkan dengan gerakan-gerakan seperti, perubahan raut muka (mimik) dan gerakan-gerakan tubuh yang lain baik sebagian (pantomimic) maupun seluruhnya.

Sebagai bentuk gejala (symptom) terhadap mental, yakni terganggu tidaknya kondisi mental seseorang itu bisa diamati atau bisa dirasakan lewat perasaannya, untuk mengetahuinya bisa kita rasakan atau kita amati terhadap gejala-gejala baik secara psikis maupun secara fisik seperti, denyut jantung yang sangat cepat tidak seperti biasanya, pernafasan yang tidak teratur atau tidak seperti biasanya, raut muka

31

H. Zuhairi dan Sardjoe, Ilmu Jiwa Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), hlm. 9

32

(13)

yang tidak seperti biasanya (seperti tampak pucat, tampak murung, tampak bersedih, dan sebagainya), kehilangan gairah dan sebagainya.33

Perasaan sebagai bagian kondisi kejiwaan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi mental, tingkah laku dan kepribadian. Cannon seorang ahli kejiwaan dengan teori sentralnya, yang dikutip oleh Zuhairini, mengemukakan bahwa gejala jasmani itu merupakan suatu akibat dari perasaan ataupun emosi yang dialami oleh seseorang atau individu. Jadi gejala-gejala jasmani itu merupakan akibat dari kondisi perasaan ataupun emosi yang sedang dialaminya. Disamping teori tersebut James dan Lange dengan teori perifernya mengemukakan bahwa gejala-gejala jasmani itu bukan akibat dari kondisi perasaan ataupun emosi yang dialami oleh seseorang, akan tetapi sebaliknya yaitu kondisi perasaan ataupun emosi yang dialami seseorang akibat dari gejala-gejala jasmaniah.34 Dari kedua teori ini setelah dilakukan analisa bahwa keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan karena keduanya merupakan satu-kesatuan yang utuh yang ada dalam diri manusia yang saling mempengaruhi terhadap kondisi mental seseorang, secara sederhana dapat dikatakan bahwa mental seseorang itu dapat dipengaruhi kondisi internal maupun kondisi eksternal.

Apabila suatu aktivitas perasaan melebihi batas hingga kemungkinan komunikasi terganggu, maka yang timbul ialah emosi, karena manusia sudah demikian jatuh terperangkap oleh perasaannya dan larut didalamnya hingga tidak mampu lagi menguasai dirinya dan juga tidak mampu mengendalikan perasaannya, maka yang terjadi atau yang timbul adalah bentuk-bentuk sikap dan perilaku emosional yang cenderung negatif.

Dengan demikian mental yang sehat ataupun tidak itu bisa diukur sendiri, melalui kapasitas perasaan, yakni apakah perasaannya dapat bekerja dalam batas kewajaran atau justru sebaliknya. Apabila

33

Ibid., 12.

34

(14)

kondisi perasaan kita bekerja pada batas ketidakwajaran dan disertai dengan gejala-gejala jasmaniah yang tidak seperti biasanya (tidak wajar) berarti mental atau jiwa seseorang mulai terganggu. Kondisi perasaan seperti inilah yang bisa disebut sebagai gejala terjadinya gangguan mental. Maka dari itu perasaan seseorang perlu didik dan dilatih agar menjadi baik, wajar stabil, dan proporsional dan bernilai positif, sehingga dengan sendirinya akan membentuk mental yang sehat.35

3) Emosi

Kondisi kejiwaan yang dapat mempengaruhi “mental”, disamping pikiran dan perasaan juga dipengaruhi oleh “emosi”. Emosi dengan perasaan hampir tidak ada perbedaannya. Emosi dalam pengertiannya sangat bermacam-macam, seperti “keadaan bergejolak”, “gangguan keseimbangan”, “ respon kuat dan tidak teratur terhadap stimulus”. Dari pengertian-pengertian tersebut memiliki kecenderungan yang sama bahwa, keadaan emosional itu menunjukkan penyimpangan dari keadaannya normal. Keadaan yang normal adalah keadaan yang tenang atau keadaan seimbang fisik dan sosial.36 Dalam emosi itu sudah terkandung unsur perasaan yang mendalam (intense). Secara definitif kata emosi berasal dari kata emotust atau emovere, artinya; mencerca, menggerakkan (to stir up) yakni, sesuatu yang mendorong sesuatu di dalam diri manusia. Emosi merupakan penyesuaian organis yang timbul secara otomatis dalam diri seseorang setiap menghadapi peristiwa-peristiwa tertentu, jadi emosi digerakkan oleh kondisi gejolak psikis. Gejalanya bisa diperoleh dari faktor dasar yakni, watak, karakter, hereditas, dan atau dipengaruhi oleh lingkungan.37

35

Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 52

36

M. Dimyati Mahmud, Psikologi; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA, 1990), hlm. 163.

37

(15)

Disamping pengertian diatas yang dimaksud dengan emosi ialah suatu kondisi perasaan yang melebihi batas, terkadang tidak mampu menguasai diri dan menjadikan hubungan pribadi dengan dunia luar menjadi terputus. Ketidakmampuan untuk mengendalikan perasaan tersebut terhadap setiap problem akan melahirkan sikap yang emosional yang cenderung negatif.

Emosi bisa muncul apabila kurang adanya penyaluran motoris (gerak dari dalam) yang cepat dari situasi yang dihadapinya. Misalnya tiba-tiba ada orang yang cinta atau membenci yang sangat berlebih-lebihan terhadap suatu hal, ini terjadi akibat dari refleksi motoris kurang bisa tersalurkan dalam situasi gejala itu timbul. Akan tetapi apabila sudah mampu memberikan reaksi kepada suatu yang dipikirkan atau dirasakan secara tepat maka sedikit-demi sedikit emosinya akan mereda.38 Emosi yang tampak dalam diri individu ataupun orang lain itu bisa diukur melalui atau dengan melihat perubahan-perubahan kondisi jasmani yang ada pada diri individu tersebut.

Pada dasarnya (secara fitrah) setiap manusia memiliki sifat emosional, jadi emosi tidak bisa dibunuh, akan tetapi emosi harus disalurkan dengan cara yang baik. Emosi timbul tidak datang secara otonom, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada dalam diri individu, ketika menyikapi suatu hal (problem). Faktor-faktor yang mempengaruhi emosi diantaranya, kondisi pikiran, kondisi perasaan, motivasi, kehendak dan kondisi jasmani. Kondisi jasmani juga bisa menentukan kadar volume kondisi emosi seseorang , misal seseorang atau individu ketika kondisi jasmani nya, lemah, capek, lesu dan sebagainya biasanya kalau sedang dihadapkan suatu persoalan, dalam penyikapannya lebih cenderung pada sikap yang emosional, pada kondisi semacam ini tindakan atau perilaku yang ditampakkan cenderung tidak sehat (tidak normal).

38

(16)

Perasaan-perasaan emosional kapan saja kita bisa mengalami suatu emosi, aspek yang paling kongkrit yaitu perasaan yang ditimbulkan, seperti pengalaman takut, marah, sedih atau gembira, itu akan melahirkan sensasi yang kuat dan hebat dalam diri seseorang. Disamping perasaan-perasaan yang bersifat subyektif tersebut, ada aspek-aspek emosi lain yang paling kongkrit, secara fenomena logis perasaan-perasaan emosional itu bisa diamati atau dirasakan pada perubahan-perubahan dalam tingkah laku, seperti berkelahi, marah-marah, mengamuk, berkelahi, melarikan diri, diam membeku, tertawa, menangis serta ucapan-ucapan tertentu dan sebagainya, disamping itu ekspresi emosional bisa diamati lewat ekspresi raut wajahnya, seperti tampak tegas, tampak memerah, tampak cemberut, mata melotot dan sebagainya, dan juga bisa dirasakan atau diamati lewat kondisi jasmani yang lain seperti mulut kering, keringat dingin, sakit perut dan sebagainya.39 Dengan demikian ekspresi wajah, dan kondisi jasmani serta tingkah laku yang tidak seperti biasanya merupakan pantulan dari sikap emosi. Faktor yang mempengaruhi emosi ialah sangat beraneka ragam, yakni tergantung pada stimulus yang mempengaruhinya.

William James seorang ahli psikologi yang dikutip oleh Dimyati Mahmud dalam bukunya Psikologi suatu Pengantar (1990) mengemukakan bahwa “perasaan dan sensasi emosional itu merupakan reaksi bawaan terhadap stimulus tertentu”. Melalui proses conditioning hampir setiap stimulus dapat dibuat untuk membangkitkan respon emosional, misalnya kita tiap hari dihadapkan terus menerus pada persoalan yang sama apa bila emosi kita tidak kuat maka akan timbul sikap emosional yang cenderung negatif, seperti menendang, menjerit, marah, mengamuk dan sebagainya.40

39

M. Dimyati Mahmud, op. cit., hlm. 163.

40

(17)

Sikap emosional yang ada dalam diri manusia yang didasarkan pada arah aktivitas tingkah laku emosionalnya itu ada empat bentuk yaitu:

1. Marah: yakni orang bergerak menentang sumber frustasi 2. Takut: yakni orang bergerak meninggalkan sumber frustasi 3. Cinta: yakni orang bergerak menuju sumber kesenangan

4. Depresi: yakni orang menghentikan respon-respon terbukanya41 dan mengalihkan emosi ke dalam dirinya sendiri.

Selama emosi berlangsung banyak terjadi perubahan-perubahan pada alat tubuh, perubahan-perubahan-perubahan-perubahan ini bisa membantu untuk mendeteksi berbagai reaksi pada orang-orang atau individu yang sedang mengalami emosi. Perubahan-perubahan itu adalah:

a) Pupil mata membesar, alis melebar, dan bola mata melotot b) Kecepatan dan denyut jantung bertambah

c) Tekanan darah meningkat; volume darah pada anggota badan terutama lengan, kaki, dan muka bertambah, akibatnya kulit menjadi merah

d) Ujung rambut berdiri

e) Pernafasan menjadi tak teratur, kadang cepat, kadang-kadang lambat

f) Saluran paru-paru melebar sehingga orang dapat menghirup lebih banyak oxygen

g) Liver lebih banyak mengeluarkan gula ke otot-otot

h) Kelenjar keringat pada kulit mengeluarkan banyak sekali keringat (dikenal dengan keringat dingin)

i) Kelenjar ludah terhambat dengan tanda mulut menjadi kering j) Pencernaan berhenti

k) Kelenjar adrenal mengalirkan hormone adrenalin ke dalam darah dengan akibat jantung berdebar lebih cepat, liver mengalirkan gula

41

(18)

ke dalam darah untuk tenaga otot, dan meningkatkan kemampuan darah untuk mengental dengan cepat.42

Dari sekian gejala-gejala tersebut diatas dapat diketahui bahwa emosi yang ada dalam diri individu atau seseorang bisa mempengaruhi kondisi mental ataupun jiwa seseorang tergantung bagaimana seseorang itu mampu mengatur emosinya.

Dalam penelitian anatomis memperkuat gagasan bahwa pada dasarnya emosi dasar itu satu yaitu excitement (keadaan bergejolak) sebagai lawan keadaan calm (tenanga), telah diketahui bahwa otak lah yang mengendalikan dan mengatur alat-alat tubuh bagian dalam melalui salah satu dari dua saraf yang saling bertentangan, yaitu:

1. Syaraf simpatik yaitu syaraf yang mengatur tubuh pada saat dalam keadaan genting. Syaraf ini berfungsi pada empat macam kondisi yaitu, apabila hidup terancam, selama sakit yang terus menerus, selama usaha yang keras dan selama takut dan marah.

2. Syaraf parasimpatik yaitu syaraf yang memiliki peran untuk mempertahankan atau mengatur tubuh agar selalu tetap dalam keadaan normal. Misalnya; menciutkan mata pada saat terkena cahaya yang sangat terang, mengontrol pencernaan makanan, buang air, dan sebagainya.43

Di antara kedua fungsi saraf tersebut (saraf simpatik dan parasimpatik), keduanya saling mempengaruhi kondisi mental seseorang, karena keduanya memiliki peran yang berbeda sehingga kadar emosional seseorang juga dipengaruhi oleh kedua saraf tersebut.44

Perlu dimengerti dan juga diantisipasi bahwa emosi yang tidak stabil dapat mengganggu pikiran (berfikir), sedangkan berfikir adalah alat terbaik untuk memecahkan persoalan, dan juga bisa mengganggu

42

Ibid., hlm. 168.

43

Ibid., 170

44

(19)

perasaan. Apabila pikiran dan perasaan terganggu oleh emosi yang tidak stabil tersebut, yang terjadi adalah pikiran dan perasaan menjadi bingung sehingga tidak bisa berfikir secara obyektif. Dan lebih parah lagi kondisi mental kita sampai pada taraf diffusi yakni dalam kondisi ini orang melakukan banyak gerakan yang tidak ada gunanya, seperti; berjalan mondar-mandir, menarik-narik rambut, menghempaskan apa saja yang ada di depannya, berteriak dan sebagainya.45

Disamping dapat mengganggu kesehatan mental emosi yang tidak normal juga dapat mengganggu kondisi fisik (fisiologis). Dalam kedokteran jiwa dan psikologi dikenal dengan istilah psychosomatic atau psychosomatic medicine. Ide dasar psychosomatic medicine itu adalah banyak keluhan jasmaniah yang berakar pada reaksi psikologis seseorang terhadap kehidupan. Seperti penyakit radang usus bisa disebabkan tekanan-tekanan emosi yang dibarengi oleh telalu banyaknya sekresi hydrochloric acid. Di dalam perut, yang menyebabkan terjadinya radang dan pendarahan. Penyakit-penyakit lain yang berakar pada emosi yang kuat berupa penyakit kulit, tekanan darah tinggi, asthma dan sakit kepala. Kalau tidak menyebabkan timbulnya penyakit, emosi sebagai bentuk proses terjadinya suatu penyakit.46 Emosi yang tidak stabil dan terlalu berlebihan yaitu sebagai bentuk gejala terjadinya gangguan mental.

4) Kehendak

Kehendak atau kemauan disebut juga gejala konasi atau gejala karsa yang ada dalam diri (jiwa) seseorang, juga termasuk fungsi jiwa yang memberi dorongan untuk menuju atau menghindari sesuatu. Kalau pikiran memiliki fungsi untuk mengatur dan mengontrol dan perasaan berfungsi untuk merasakan (menilai) dan memberikan pertimbangan, maka kehendak merupakan fungsi jiwa yang memiliki fungsi untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu keinginan,

45

Ibid., hlm. 178

46

(20)

karena kehendak atau kemauan merupakan tujuan aktif untuk menuju pelaksanaan suatu tujuan.

Kehendak atau kemauan yang ada dalam diri manusia, menurut Sigmund Freud, dorongan tersebut dibentuk atas tiga dimensi sifat dasar kejiwaan yang saling mempengaruhi yang ada dalam jiwa manusia yaitu Das Es, Das Ich dan Das Uber Ich atau yang kita kenal dengan istilah “Id”, “Ego”, dan “Super Ego”. Id yaitu sebagai bentuk fitrah manusia yang cenderung mengejar kesenangan yang harus selalu terpenuhi atau sebagai bentuk kehendak atau kemauan dasar manusia yang harus dipenuhi. Sedangkan Ego ialah berfungsi sebagai pengatur atau yang memberikan pertimbangan dari setiap kemauan atau kehendak yang ditimbulkan oleh Id, bisa dikatakan Ego adalah sebagai alat rem terhadap Id, dan Super Ego yaitu hampir sama dengan Id akan tetapi kualitasnya lebih tinggi dan lebih selektif dalam memberikan pertimbangan terhadap Id, karena dalam diri (batin) kita terjadi pertentangan antara Id dan Ego, disinilah peran Super Ego untuk memberikan pertimbangan terhadapa tindakan seseorang yang harus dilakukan. Super Ego lebih condong pada pertimbangan yang sifatnya terkait dengan etika, moral, norma atau dapat disamakan dengan iman, jadi Super Ego merupakan kontrol atas semua kemauan seseorang yang lebih sempurna.47

Kehendak atau kemauan terhadap sesuatu itu muncul karena adanya dorongan –dorongan naluriah terhadap dunia luar dan relasi-relasi terhadap manusia dan benda yang berbentuk kebutuhan, hasrat, cita-cita, keinginan dan nafsu. Jadi kehendak manusia pada dasarnya ingin memiliki, akan tetapi keinginan memiliki tersebut lah yang akan mendorong seseorang mempunyai dorongan yang disebut dengan “kehendak” atau “kemauan”. Apabila keinginan untuk memiliki tidak terealisasi maka yang terjadi adalah kekosongan inilah yang mendorong timbulnya suatu kehendak atau kemauan.

47

(21)

Kemauan atau kehendak itu dapat diamati atau dianalisis dalam empat momen. Pertama, saat objektif, yakni, saat timbulnya idea dan relasi dengan obyek. Kedua, saat dinamis (saat usaha), yakni kemauan merupakan pendorong perbuatan seluas mungkin. Perbuatan adalah pendorong mengisi kekosongan dan kekosongan adalah kebutuhan serta kebutuhan merupakan dasar suatu usaha. Kebutuhan yaitu bersifat statis dari pada suatu yang belum dikerjakan. Sedangkan usaha adalah merupakan suatu kehendak yang bersifat dinamis. Ketiga, saat subyektif, yaitu saat memilih dan mempertimbangkan atas segala yang dikehendaki sebelum diwujudkan dalam sebuah tindakan. Pada saat menentukan atau pada saat proses memutuskan mengambil suatu pilihan yang tepat yang akan dilakukan atau dikerjakan, dalam hal ini faktor motif sangat membantu mempercepat proses mengambil suatu keputusan tersebut. Setelah melalui proses tersebut maka yang akan muncul dalam diri kita atau dalam kehendak kita akan muncul berbagai kemungkinan, diantaranya, menerima atau menolak, dikerjakan atau menghindar, maju atau mundur dan sebagainya, yakni dalam kondisi semacam ini disebut dengan masa kebimbangan. Jadi tindakan kemauan yang final sangat ditentukan atau terletak pada keputusan ini. Keempat, saat aktual, yaitu berbentuk tindakan, aktivitas atau gerakan, sikap, tingkah laku dan sifat-sifat tertentu yang lain.48

Antara saat objektif, saat dinamis dan saat subjektif ialah masih pada tahap kemauan dalam pikiran (ide atau konsep).49 Pada tahap aktual inilah keputusan telah ditentukan, sehingga bentuk perilaku yang ditampakkan oleh seseorang merupakan keputusan final dan cerminan dari dalam dirinya. Kehendak merupakan kesanggupan pribadi manusia yang memiliki corak yang sangat menentukan tingkah lakunya. Akan tetapi yang perlu diwaspadai dan disadari disini yaitu,

48

Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 54-55

49

(22)

bahwa kehendak atau kemauan juga tidak bisa terlepas dari apa yang disebut dengan “hasrat” ataupun “nafsu” yang bergejolak, yakni suatu keinginan yang kuat atau meluap-luap, yang cenderung menggebu-gebu yang terkadang bisa mengganggu atau pikiran, perasaan, emosi bahkan hasrat tersebut sampai menguasainya, kalau pikiran, perasaan dan emosinya telah tertutup maka yang muncul adalah sifat emosionalnya atau nafsunya yang begitu berkobar-berkobar, maka tidak menutup kemungkinan perilaku atau sikap dan tindakan yang dilakukan pasti tindakan berada diluar kontrol yang ada dalam dirinya. Dengan demikian secara lahiriah orang tersebut mengalami gangguan mental. Maka dari itu kita harus mampu mengatur dan mengendalikan kehendak atau kemauan kita, jangan sampai terjebak pada hasrat dan nafsu yang cenderung mengarahkan sikap dan tingkah laku kita pada tindakan yang negatif. Gejala gangguan mental disini juga bisa kita kenali atau kita deteksi sendiri lewat kehendak atau kemauan kita. 5) Sikap dan Tingkah Laku

Tingkah laku adalah gerak gerik, aktivitas, tindakan, sikap dan perbuatan atau gerakan yang nampak pada individu, yang merupakan manifestasi dari gejala-gejala kejiwaan yang ada dalam diri manusia. Secara sederhana tingkah laku bisa dikatakan sebagai bentuk yang kongkrit dari jiwa itu sendiri, maka dari itu tingkah laku sifatnya mudah diamati, dikenali, ditafsirkan, diramalkan, dan mudah dimengerti atau mudah difahaminya. Dengan demikian tingkah laku bisa disebut sebagai bentuk ungkapan jiwa yang tidak bohong, karena tingkah laku yaitu sebagai manifestasi atau ekspresi dari jiwa baik yang disadari maupun yang tidak disadari.50

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud dengan teori analisisnya yang mengatakan bahwa perilaku menyimpang ataupun bentuk gangguan mental yang lain yaitu, bahwa sumber utama konflik dan gangguan mental itu merupakan manifestasi dari dimensi kejiwaan

50

(23)

yang berada pada dimensi alam bawah sadar.51 Begitu juga J.B. Watson penganut faham psikologi behaviorisme, yang dikutip oleh Drs. M. Dimyati Mahmud, mengatakan bahwa sumber utama konflik atau gangguan-gangguan mental lain itu ialah akibat dari sesuatu yang disadari atau juga kondisi lingkunganlah yang mempengaruhinya tingkah laku seseorang.52 Jadi tingkah laku ialah manifestasi dari kondisi kejiwaan yang tidak bisa ditipu dan segala bentuk konflik ataupun problem yang terjadi pada diri kita atau seseorang itu bisa kita amati lewat sikap dan tingkah laku yang diwujudkannya.

Sebagai mana penjelasan tersebut di atas, bahwa tingkah laku ialah merupakan ekspresi dan manifestasi dari gejala-gejala hidup kejiwaan yang ada dalam diri manusia tersebut. Maka segala sikap tindakan yang dilakukan tidak bisa lepas dari kondisi kejiwaannya karena, manusia itu terbentuk atas dua dimensi yakni dimensi jasmani dan dimensi rohani, yang mana keduanya saling mempengaruhi. Tingkah laku manusia mempunyai arah dan tujuan yaitu untuk memenuhi suatu kebutuhan hidupnya baik sebagai mahluk individual, sosial, dan mahluk berketuhanan. Kebutuhan manusia merupakan dorongan dari kehendak, atau kemauan, pikiran, emosi dan perasaan, dimana semuanya secara totalitas bekerjasama untuk menentukan tingkah laku yang tepat (positif) yang harus dilakukan oleh manusia untuk memenuhi semua kebutuhan.53

Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tingkah laku manusia menurut tinjauan psikologis ialah beberapa macam aktivitas, kegiatan dan tindakan manusia yang tampak secara riil (obyektif dan terbuka) sebagai bentuk penampakan (ekspresi/

51

Segimund Freud, Psikoanalisis Sigmund Freud, terj, Ira Puspitorini, Ikon (Yogyakarta: Teralitera, , 2002), hlm. 324.

52

M. Dimyati Mahmud, Psikologi; Suatu Pengantar, op. cit., hlm. 15-16.

53

(24)

manifestasi) dari adanya dorongan-dorongan psikis untuk memenuhi atau mencapai suatu kehendak atau kemauan dan tujuan hidupnya.54

Menurut Dr. Kartini Kartono ada sepuluh symptom (gejala) atau faktor yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Yaitu:

1. Tropisme, ialah gejala desakan yang menyebabkan timbulnya

gerakan-gerakan atau tujuan ke satu arah tertentu. Seperti kita ingin mencintai seseorang.

2. Refleks, ialah reaksi yang tidak disadari terhadap stimulus-stimulus,

dan berlangsung diluar kemauan kita. Refleks itu ada dua bentuk yaitu, refleks bersarat dan tidak bersarat. Refleks bersyarat yakni sikap atau tingkah laku yang dipengaruhi atau dididik, sebagaimana dalam teori operan conditioning, yang dipelopori oleh Pavlov dan kawan-kawan. Sedangkan refleks tidak bersyarat ialah tindakan, sikap atau tingkah laku yang timbul secara otomatis, seperti melarikan diri saat ketakutan, mengedipkan mata saat kemasukan debu dan sebagainya.

3. Instinct (naluri), ialah kesanggupan melakukan hal-hal yang

kompleks tanpa melakukan latihan sebelumnya, terarah pada tujuan berarti bagi si subyek tidak disadari dan berlangsung secara mekanis. Tingkah laku semacam ini, misalnya tiba-tiba kita ingin berbuat sesuatu penuh dengan keyakinan dimana perbuatan itu tidak kita sadari sebelumnya, berarti tingkah laku kita dituntun oleh naluri atau insting yang ada dalam diri kita. Bersamaan dengan dorongan-dorongan, naluri menjadi faktor penggerak bagi segala tingkah laku dan aktivitas manusia, dan menjadi tenaga dinamis yang tertanam sangat mendalam yang ada dalam pribadi manusia.

4. Otomatisme, ialah gejala gerak-gerak yang berlangsung dengan

sendirinya, tidak disadari dan ada diluar kehendak kita. Misalnya, berbicara, mengendarai sepeda, berjalan, menulis dan sebagainya.

54

(25)

5. Kebiasaan, ialah bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha

penyesuaian diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur afektif perasaan. Tingkah laku atau kepribadian seseorang bisa kita ketahui atau kita amati lewat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Kondisi mental yang tidak sehat ataupun kepribadian yang buruk itu bisa kita rasakan atau kita amati lewat kebiasaan-kebiasaan tindakan yang kita lakukan. Kebiasaan ini biasanya dipengaruhi oleh kondisi dari dalam diri kita sendiri dan lingkungan (bisa berupa: keluarga, masyarakat, pendidikan/ sekolah). Jadi kebiasaan juga bisa sebagai penentu atau cerminan bagian terbesar dari kepribadian kita.

6. Dorongan-dorongan (drives), ialah suatu desakan yang sifatnya

alami yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup, dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Dorongan-dorongan semacam inilah yang dapat menuntun sikap dan tingkah laku manusia untuk berbuat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Terkadang pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan berbagi cara. Pendidikan an kebiasaan-kebiasaan yang baiklah yang dapat mempengaruhi dorongan-dorongan tersebut, bahkan dapat memperkuatnya, sehingga dalam pemenuhannya dapat dilakukan dengan sikap dan tingkah laku yang baik (positif) pula. Seperti dorongan ingin kaya, seks, ingin bersosialisasi, berkawan dan lain sebagainya.

7. Hasrat dan kecenderungan, ialah kebutuhan yang menimbulkan

(26)

tertuju pada obyek yang jelas dan selalu muncul berulang-ulang kali. Kecenderungan merupakan sifat watak kita yang disposisional (bakat/ketetapan) yakni bukan merupakan tingkah laku itu sendiri, akan tetapi merupakan sesuatu yang memungkinkan akan menimbulkan suatu bentuk tingkah laku dan mengarah pada obyek tertentu. Dari kecenderungan inilah yang akan membentuk suatu sikap atau tingkah laku yang mengarah pada satu kebiasaan, bahkan bisa disebut sebagai bentuk watak yang ada dalam diri seseorang. Dari kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam diri seseorang, bisa kita lihat sementara karakter yang ada dalam diri individu atau seseorang tersebut.

8. Nafsu: adalah kecenderungan yang kuat, hasrat yang bergolak,

keinginan yang meluap-luap yang sangat hebat sekali, sehingga bisa mengganggu keseimbangan mental dan fisik. Nafsu inilah yang terkadang menghilangkan pertimbangan akal sehat dan menyingkirkan semua hasrat yang lain. Tingkah laku yang negatif biasanya lebih condong dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu negatif. Dan nafsu negatif biasanya lebih mendominasi sikap maupun tingkah dari pada nafsu positif. Nafsu inilah yang terkadang bisa menjerumuskan tingkah laku pada hal- hal yang negatif kalau tidak mampu mengendalikan atau mengatur nafsunya, sehingga nafsu juga bisa mendorong atau membentuk pada suatu bentuk tingkah laku atau karakter pada diri seseorang.

9. Kemauan, adalah dorongan kehendak yang terarah pada

(27)

dan tingkah laku dengan sendirinya akan terbentuk. Kemauan merupakan pemersatu (unifikator) dari semua tingkah laku, dan mengkoordinasikan segenap fungsi kejiwaan menjadi bentuk kerjasama yang supel dan harmonis. Maka kemauan yang sehat akan menjadikan seseorang satu kesatuan yang betul-betul menyadari tujuan hidupnya dalam setiap langkah dan tingkah lakunya. Dengan demikian kemauan juga merupakan suatu ukuran dari setiap gerak dan tingkah laku yang ditampilkan manusia.

10. Perbuatan Kortsluiting dan Perbuatan Hati Nurani. Ialah suatu

bentuk tingkah laku yang ditampilkan oleh satu dorongan yang kusut dan impuls (rangsangan pendorong dari dalam diri) yang tidak terkendali. Perbuatan kortsluiting yaitu didorong oleh impuls yang luar biasa, timbul tidak melalui saringan kepribadian, tanpa pertimbangan akal, mengabaikan suara batin (hati nurani) dan ini muncul sebagai bentuk perbuatan nafsu yang sangat tidak terkendali, dan hampir tidak disadarinya. Perbuatan kortsluiting muncul dan dilakukan tanpa pertimbangan akal sehat, akibat dari dorongan nafsu, kehendak, keinginan yang sangat bergejolak atau keinginan yang sangat kuat dan keinginan tersebut terkadang banyak hambatan untuk memenuhi atau mencapainya. Perbuatan ini bisa disebut dengan perbuatan “nekat” yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak berpihak. Banyak perbuatan kriminal dan perbuatan-perbuatan yang menyimpang juga ditentukan oleh perbuatan-perbuatan

kortsluiting tersebut dan perbuatan ini berlangsung pada tingkat

(28)

Hati nurani itu berfungsi sebagai pengemudi dan hakim terhadap segenap tingkah laku, dan pikiran manusia, sebagai pengontrol yang kritis, sehingga sikap dan tingkah laku manusia dituntun pada jalan yang benar. Hati nurani juga menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap semua tingkah laku dan berani menanggung semua resiko yang diperbuatnya. Dengan demikian dengan hati nurani yang hidup seseorang bisa menilai sendiri tingkah lakunya dengan bantuan norma-norma, sehingga dengan bebas dan tidak khawatir lagi seseorang bisa bertingkah laku, karena hati nurani secara pasti akan menuntun sikap an tingkah laku seseorang pada tingkah laku yang positif. Sementara itu perbuatan kortsluiting akan menjerumuskan perbuatan seseorang pada tingkah laku yang negatif, karena perbuatan ini didorong atas nafsu and motif-motif yang ada dalam diri yang cenderung pada hal-hal yang negatif, perbuatan ini biasanya lebih condong pada perbuatan nekat yang cenderung pada perbuatan negatif, sehingga sikap dan perilaku yang tampak ialah tingkah laku yang menyimpang. 55

Dari sepuluh gejala kejiwaan tersebut di atas itulah yang dapat mempengaruhi setiap tingkah laku yang ditampikan oleh seseorang. Karena tingkah laku merupakan kepanjangan dari kondisi kejiwaan yang tidak bisa ditipu, karena tingkah laku ini suatu gejala kejiwaan yang nampak dan kongkrit. Dan kepribadian seseorang itu bisa dilihat dan diukur melalui tingkah laku yang ditampilkannya. Begitu juga kondisi mental kita bisa dilihat atau di ukur sendiri melalui sikap dan tingkah laku kita.

Dari kelima gejala kejiwaan itulah (pikiran, perasaan, emosi, kehendak dan tingkah laku) perlu senantiasa kita perhatikan dan kita jaga agar selalu dalam kondisi seimbang. Sehingga kondisi diri kita atau mental kita selalu dalam kondisi yang sehat (tidak terganggu).

Secara umum, biasanya gejala-gejala gangguan mental bisa dirasakan melalui perasaan-perasaan yang tidak wajar atau

55

(29)

kelainan yang ada dalam diri kita, baik secara fisik maupun secara psikis. Secara psikis ada semacam ketidakwajaran pada fungsi intelek yang semakin tidak efisien, terkadang ada semacam masalah dalam fisik yang tidak kita ketahui asal penyebabnya, tiba-tiba kita merasa sakit.

Gejala psikis, yang merupakan indikasi dari kondisi mental yang tidak sehat yang bisa menimbulkan terjadinya gangguan mental, dengan ciri-ciri diantaranya yaitu:

1) Perasaan sering gelisah, menderita insomnia (kesulitan akan tidur), mudah tersinggung, sering mimpi buruk, mudah marah, cenderung bersikap agresif, dan mudah garang (kurang perhatian pada daerah sekitarnya).

2) Lekas jadi cemas, sering bingung, sering lupa, suka menyendiri, benci terhadap keramaian, kehilangan nafsu makan dan seksual, dan cenderung kehilangan kontrol diri, seperti suka ceroboh, sering berbuat dengan tergesa-gesa dan lain-lain.

3) Sering terjadi disorientasi waktu, kadang-kadang berperilaku immoral, terkadang lupa terhadap diri sendiri, terkadang berbicara ngelantur dan tidak jelas.

4) Sering berbuat apatis, beku emosional, perasaan sering berganti-ganti, tidak mampu melakukan konsentrasi, ada kelesuan pada bagian interesnya,

5) Aktivitas intelektualnya mundur dan juga kemampuan-kemampuan lain menjadi lemah seperti tidak bisa berfikir secara cermat.

6) Merasa kesulitan dalam melakukan adaptasi atau adjustment dan sering datang perasaan-perasaan putus asa.

7) Prestasi menurun, merasa kesulitan dalam beraktualisasi, sosialisasi, dan komunikasi serta timbul perasaan-perasaan cepat bosan dan suka mengumpat.

(30)

9) Sering kehilangan kesabaran, dan perasaan ingin menjerit.56

Sementara itu gejala pada fisik, tanda-tanda kondisi mental yang terganggu, diantaranya yaitu

1) Terjadi gangguan pada fungsi pencernaan makan.

2) Kondisi stamina tubuh menurun dan otak ada semacam kelesuan, sehingga timbul rasa malas dan malas berfikir.

3) Ada semacam gangguan pada alat pernafasan

4) Tanpa disadari sering melakukan tics (gerak-gerak facial pada wajah, seperti; mengedip-ngedipkan mata terus menerus, mengerenyit-kerenyitkan cuping hidung dan bibir, dan lain)

5) Tanpa disadari sering menendang-menendang, tiba-tiba menjerit (histeris) dan bersikap agresif

6) Sering mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, berdiam diri dan tampak stupor.

7) Kondisi tubuh terasa capek yang luar biasa, dan suka menggerak-gerakkan anggota tubuh yang tidak biasa dilakukan dan otot leher semakin terasa kaku.

8) Muka tampak memerah, pucat dan lemas

9) Suka marah dan disertai dengan tindakan agresif 10)Dan lain-lain.57

Dari sekian gejala yang tampak dalam diri kita sebagaimana tersebut di atas, semua itu merupakan cerminan dari kondisi mental yang tidak sehat (terganggu) yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa, sehingga pada ujungnya dapat membentuk suatu kepribadian yang tidak sehat pula.

56

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), hlm. 124-140.

57

(31)

b) Faktor Pencetus Terjadinya Gangguan Mental

Para psikolog sepakat bahwa ada dua faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya gangguan mental, yaitu faktor penyedia (predisposing factor) dan faktor pencetus (participating factor).58

Faktor penyedia adalah faktor yang terkondisi dalam diri individu akan tetapi faktor ini bersifat pasif, sedangkan faktor pencetus adalah faktor incidental yang dapat membangkitkan faktor penyedia menjadi aktif. Yakni segala bentuk pemicu yang dapat mengganggu kondisi mental ataupun jiwa yang bisa menyebabkan terjadinya kelainan-kelainan pada kondisi jasmani dan psikologis, sehingga mengakibatkan gangguan-gangguan pada mental, baik gangguan mental ringan (neurosis), ataupun gangguan metal berat (psychosis). Akibat yang ditimbulkan dari gangguan mental, secara klinis bisa menyebabkan penderitaan (distress) pada diri individu, antara lain dapat berupa; rasa nyeri, tidak nyaman, merasa pusing, merasa sakit pada sebagian anggota tubuh, tidak tenteram, terganggu pada disfungsi organ tubuh dan lain sebagainya. Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas (disability)59

Perlu diketahui bahwa seseorang yang terganggu mentalnya bisa menyebabkan terjadinya penurunan pada kemampuan daya ingat, daya pikir, dan daya emosi (perasaan), yang pada puncaknya bisa mengganggu kegiatan sehari-hari (personal activities of daily living), seperti hilangnya nafsu makan, gairah hidup, semangat kerja, hilangnya perawatan diri, tidak terkontrolnya buang air besar dan kecil, dan lain sebagainya.60

Melihat efek yang ditimbulkan dari gangguan mental tersebut, bisa mengancam hilangnya kontak (komunikasi), tidak memiliki kemampuan untuk beraktualisai, dan sosialisasi, serta bisa menyebabkan sulitnya beradaptasi. Itu semua tidak terjadi begitu saja akan tetapi ada faktor yang

58

Drs. Abdul Wahib, Puasa dan Kesehatan Mental, Media, Edisi, 10 th. 11/ Maret 1992, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang), hlm. 57

59

Yang dimaksud dengan disability ialah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melaksanakan sesuatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup. Lih. Rusdi Maslim, Ed, Diagnosis Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, t.th, hlm. 7.

60

(32)

melatarbelakanginya. Dalam ilmu kesehatan disebut dengan “faktor pencetus”. Yakni Faktor yang menyebabkan atau yang mempengaruhi serta mendorong terjadinya gangguan metal. Orang yang terganggu mentalnya, faktor pencetusnya yaitu sangat kompleks, yakni tidak hanya diakibatkan oleh satu faktor. Biasanya penyakit mental awalnya ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati, apatis, cemburu, iri hati, dengaki, kemarahan-kemarahan yang eksplosif, ketegangan batin yang kronis, dan lain sebagainya. Disamping hal tersebut pencetus terjadinya gangguan mental atau penyakit mental itu bisa diakibatkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal, yakni dari dalam diri individu maupun dari luar individu yang mempengaruhinya.

Adapun faktor internal maupun eksternal pencetus terjadinya gangguan metal diantaranya yaitu:

1) Faktor Genetik

Setiap organisme, apakah itu tumbuh-tumbuhan, hewan ataupun manusia, ia memulai hidupnya itu berasal sel yang sama (tunggal). Pada manusia tumbuh dan berkembang dari satu jenis sel telur (ovum) yang sudah dibuahi (zygote), zygote ini terbentuk atas pertemuan atau persatuan antara ovum (sel telur) yang berasal dari ibu dan spermato zoon (sel sperma) yang berasal dari ayah.61 Dari kedua sel yang telah bercampur menjadi satu tersebut, ber proses ber bulan-bulan, yang pada akhirnya bisa membentuk berbagai bentuk baik fisik (sel otot, syaraf, kelenjar, kulit, dan sebagainya) maupun non-fisik (yang berupa pembentukan sel karakter, watak, kepribadian maupun sifat-sifat kepribadian lain).

Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi kondisi mental (jiwa) yang bisa melahirkan suatu kepribadian dalam diri manusia, yaitu yang disebut dengan istilah hereditas. Hereditas adalah kecenderungan untuk berkembang dan bertingkah laku mengikuti pola-pola tertentu, misalnya kecenderungan untuk berjalan tegak, kecenderungan menjadi orang pendiam, orang lincah, seniman, dan lain sebagainya. Herediatas ini

61

(33)

bisa kita sebut dengan istilah “potensi” dasar yang dimiliki oleh manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini sedikit besar dipengaruhi oleh faktor genetik yang dimiliki dari salah satu orang tuanya.62

Gen merupakan pembawa sifat-sifat hereditas. Jadi apakah diri kita mempunyai kulit hitam, rambut keriting atau lurus, perawakan tinggi atau pendek, cerdas atau kurang cerdas, periang atau pemurung, normal atau idiot, dan sebagainya. Semua ini di tentukan oleh sifat-sifat yang ada pada genes (gen).63 Maka dapat kita ketahui bahwa sifat-sifat dasar yang ada pada diri kita baik lahir maupun batin telah ditentukan atau dipengaruhi oleh gen, karena kita berasal dari bentukan sel warisan (turunan).

Kerusakan pada gen yang bisa mengakibatkan ketidaknormalan pada perkembangan individu baik secara fisik maupun psikis (intelektual), berpengaruh pada kondisi mental. Kalau kita merasa kondisi fisik maupun psikis kita mengalami ada semacam kelainan, itu akibat dari:

a) Kekurangan nutrisi (gizi), terkena infeksi dan keracunan sewaktu kita ada dalam kandungan.

b) Sewaktu ibu mengandung, ia menderita suatu penyakit, sehingga ada pengaruh yang buruk pada janin (foetus intra uterine). Sehingga janin (bayi) yang dilahirkan terindikasi akan menderita toxemia, yaitu peristiwa keracunan pada darah, sehingga mengakibatkan abnormalitas pada sistem syaraf.

c) Terjadi keracunan pada janin (intoxication) akibat atau efek dari obat-obat penenang yang mengandung racun, misal obat-obat kontrasepsi anti hamil yang sangat kuat mengandung racun, akan tetapi obat tersebut gagal bekerja secara efektif. Atau akibat dari salah satu orang tua yang pecandu. Sehingga mengakibatkan pertumbuhan janin dalam kandungan tidak normal atau mengalami kerusakan pada mental dan fisik. Dimana ini bisa mengakibatkan gejala secondary amentia dan

62

Ibid.

63

(34)

feeble minded, yakni mengalami lemah ingatan pada anak, akibat janin

mengalami keracunan zat besi (plumbum; loodvergiftinging) dalam kandungan. Sedangkan obat yang bisa merusak janin tersebut disebut dengan istilah “teratogenik”.

d) Pada saat mengandung ibu mengalami tekanan mental, seperti trauma, panik, sock, penuh ketakutan atau ibu sedang mengalami psikhosa (jadi gila) atau menjadi gila disaat mau melahirkan. Kondisi ibu yang semacam ini tidak menutup kemungkinan akan melahirkan anak yang lemah bahkan cacat mental.

e) Pada saat ibu mengandung kandungannya terkena benturan yang sangat keras sehingga mengenai kepala janin atau bagian vital lain. 64

Jadi tidak heran apabila ada seseorang baru umur beberapa tahun memiliki kelainan mental seperti idiot, agresif, dan keterbelakangan mental lain sebagainya, ini semua tak lain akibat gen yang dibawanya. Jadi gen merupakan salah satu faktor pencetus terjadi gangguan mental.

2) Kondisi Fisik yang Tidak Normal

Kondisi fisik yang tidak normal atau seseorang yang dilahirkan dengan kondisi fisik yang tidak normal (cacat), ketika seorang itu tumbuh dewasa atau mulai bisa berfikir dan ketika dia mulai menyadari akan dirinya serta keinginan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, misalnya bermain, sekolah, dan beraktualisai. Dengan melihat kondisi fisiknya yang tidak normal, secara naluriah dan itu pasti akan mengalami disintegrative dalam dirinya, yakni kondisi mentalnya akan mulai terganggu, seperti hilangnya rasa percaya diri, tumbuhnya rasa malu, minder dan sebagainya.65 Pada tahap perkembangan selanjutnya apabila tidak dibekali dengan pondasi psikologis yang kuat, pasti orang yang mengalami cacat fisik, dalam dirinya mulai tumbuh perasaan-perasaan negatif atau terjadi konflik batin, yang pada puncaknya menganggap dirinya tidak berarti lagi, Victor E. Frankl menyebutnya orang semacam

64

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, op. cit., hlm. 27-28.

65

(35)

itu telah mengalami kehampaan hidup atau kehilangan akan “makna hidup”.66

Gangguan mental akibat cacat fisik ini tidak hanya dialami atau terjadi pada seseorang yang dilahirkan dengan kondisi fisiknya yang tidak normal, akan tetapi ini bisa menimpa pada orang yang normal. Misal seseorang dengan wajahnya yang cakep, cantik, atau membanggakan sebagian anggota fisiknya suatu hari kecelakaan, dan mengakibatkan pada salah satu fisiknya cacat yaitu luka yang sangat parah pada wajahnya dan menimbulkan kerusakan pada wajahnya ketika sudah sembuh, disadari atau tidak pasti pada kondisi semacam ini kondisi mental nya akan mengalami kekacauan (terganggu), yang semula hidup dengan penuh percaya diri akan muncul dalam dirinya perasaan-perasaan yang negatif, seperti tumbuhnya rasa malu dan minder. Ini semua apabila tidak dibentangi dengan psikologis yang kuat.

Dengan kondisi cacat fisik, secara fenomenalogis, hampir 75% mengakibatkan terjadinya gangguan mental atau kejiwaan. Bahkan timbul dalam diri yaitu perasaan-perasan hampa, seolah-olah hidupnya tidak ada artinya atau kehilangan visi hidup (makna hidup), dan perasaan yang cenderung ingin mengakhiri hidup (bunuh diri) kerap terjadi pada penderita cacat fisik. Sebagaimana ungkapkan Adler, yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Aziz El-Quussy, ” kekurangan jasmani pada waktu kecil adalah dasar yang penting terhadap kekurangan psikologis”.67

Disamping kondisi fisik yang cacat, faktor pencetus lain yang bisa mempengaruhi metal ialah kondisi fisik kita yang selalu tidak sehat (sering sakit-sakitan) atau kita sedang mengalami sakit yang berkepanjangan bahkan dapat vonis dari dokter bahwa penyakit yang dideritanya tidak bisa disembuhkan. Kondisi yang semacam ini secara sepontan, baik disadari atau tidak pasti akan menyerang kondisi jiwa (mental), seperti perasaan cemas, takut, putus asa, ingin mati, yakni

66

Victor E. Frankl, Logo Terapi; Terapi Psikologis Melalui Pemaknaan Eksistensi, terj., M. Murtadlo, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 120-121.

67

(36)

hilangnya semangat hidup. Jadi kondisi fisik yang tidak normal juga berpengaruh besar terhadap kondisi mental kita.

3) Keluarga

Keluarga merupakan faktor internal yang kerap kali merupakan faktor terbesar pencetus terjadinya kekalutan mental. Misal apa bila kita sudah berkeluarga tuntutan-tuntutan yang ada seperti, pemenuhan kebutuhan keberlangsungan hidup yang harus dipenuhi setiap hari dan lain-lain yang ada dalam keluarga, ini pasti akan membuat diri seseorang merasa tertekan untuk bagaimana untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Begitu juga tidak ada kasih sayang dari keluarga (orang tua) cenderung membuat diri kita merasa tidak diperhatikan dan perasaan aneh lain yang timbul dalam diri kita. Perasaan aneh ini disebut sebagai gejala ketidakwarasaan kondisi jiwa atau ketidaksehatan mental kita. Dalam hal ini Kartini Kartono mengungkapkan bahwa suasana institusionalia dan interaksional dalam keluarga, yang tidak disertai dengan kasih sayang akan mengakibatkan retardasi pertumbuhan dari segala fungsi jasmaniah dan fungsi kejiwaan anak, terutama terjadi hambatan-hambatan pada perkembangan inteligensi (IQ) dan emosional (EQ). Lembih lanjut ia mengemukakan bahwa, seorang bayi yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan mendapatkan hubungan (relationship) yang wajar (normal) dari orang tua (keluarga), itu akan berakibat pada ketidak mampuan mengadakan hubungan dengan lingkungannya yang normal secara permanen pada usia dewasa, dan cenderung pada tingkah laku atau moral yang tidak wajar atau rusak/ cacat (moral defectiveness).68

Moral deficiency atau defect ialah tingkah laku individu yang dicirikan hidupnya sela lalu delinquent yakni selalu melakukan kejahatan (crimes). Padahal dalam dirinya tidak ada kelainan-kelainan (penyimpangan) atau gangguan pada inteleknya. Akan tetapi kondisi mental yang dialaminya ialah dia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mengenal, mengerti, mengendalikan dan mengadakan regulasi terhadap

68

(37)

emosi-emosi dan tingkah lakunya. Sehingga ekspresi yang ditampilkan ialah cenderung pada tingkah laku yang salah dan jahat (misconduct), sehingga fenomena yang ada ialah adanya tindak kekerasan, penyerangan, dan kejahatan. Dan ia tidak memiliki kemampuan lagi untuk melakukan konformitas, yakni patuh dan toleran terhadap hukum, norma-norma dan standar sosial yang berlaku.69

Orang yang bermoral defect pada umumnya tidak bisa dipercaya, sebab sikapnya munafik, jahat, tidak bisa menghargai orang lain, sangat

egoistic (self-centered), orang semacam ini tergolong dengan kualitas

mental yang rendah, dan pribadinya cenderung pada simtom-simtom yang psikotik, khususnya berbentuk pada penyimpangan-penyimpangan dalam berhubungan dengan lingkungannya.70

Disamping tersebut diatas, kekerasan dalam rumah tangga juga bisa menjadi pencetus terjadi gangguan mental. seperti perlakuan yang kejam, keras, tidak adanya keadilan dalam rumah tangga dan lain sebagainya, faktor ini akan menimbulkan perasaan-perasaan, dendam dan agresi, interrelasi kemanusiaan yang miskin, kebekuan emosional, bersikap agresif, dan lain sebagainya, ini semua tentu bisa berpengaruh pada kondisi mental, mengakibatkan mentalitas seseorang tidak sehat71 4) Kehidupan modern (modernisasi).

Kehidupan modern atau modernisasi disamping membawa kemajuan dan perubahan pada taraf hidup manusia, juga bisa membawa bencana terhadap kondisi psikologis (mental), apa bila tidak diimbangi dengan ketangguhan mental. Kehidupan modern yang cenderung pada pola hidup materialistic dan hedonisme, revalitas, penuh kompetisi, individualistic serta persaingan, mengakibatkan stamina jasmani dan ruhani selalu terpacu (terkuras) untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Melihat realitas tersebut apabila seseorang tidak memiliki mental yang kuat, dengan cepat kondisi mentalnya akan menjadi lemah dan

69

Ibid., hlm. 152.

70

Ibid.

71

(38)

terganggu, akibat ketidakmampuannya dalam menghadapi realitas kehidupan tersebut, sehingga timbul perasaan cemas, stres, panik, ketakutan, putus asa dan lain sebagainya. Tekanan-tekanan kehidupan modern inilah yang bisa mendorong terjadi gangguan mental atau gangguan kejiwaan lainnya.

Kehidupan modern yang cenderung kompetitif, sehingga seseorang terpacu dengan ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan tersebut, dari suasana inilah akan menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak wajar (abnormal) atau menyimpang apabila individu tersebut tidak memiliki ketahanan mental dalam menghadapi persaingan tersebut. Sehingga yang timbul adalah perilaku dan tindakan yang menghalalkan dengan segala cara, seperti perbuatan licik, munafik, exploitative, lacur, dan pola hidup berbahaya lain, ataupun melakukan tindakan-tindakan kriminal, seperti, korupsi, kolusi, mencuri, merampok dan lain sebagainya. Jelas ini adalah cerminan dari kondisi mental yang tidak sehat, yang diakibatkan dari kondisi sosial budaya yang tidak menguntungkan atau akibat modernisasi.72

Kehidupan modern disadari maupun tidak, akibatnya bisa menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat (rapid social change), dan sebagai konsekuensinya dampak dari kehidupan modern, seperti modernisasi, industrialisasi, kemajuan IPTEK, semua itu dapat mempengaruhi nilai-nilai etik dan gaya hidup (value

system and way of life). Dalam hal ini tidak semua orang mampu untuk

menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, sehingga pada gilirannya yang bersangkutan bisa menimbulkan jatuh sakit, atau mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri (adjustment

disorder). 73

Perubahan-perubahan tata nilai kehidupan akibat dari perubahan sosial, yang sering disebut dengan perubahan-perubahan “psikososial”,

72

Kartini Kartono dan Jenni Andari, op. cit., hlm. 190-210.

73

(39)

diantaranya bisa dirasakan dan dilihat dari gejala-gejala yang tampak dalam kehidupan sosial sehari-hari, gejala-gejala tersebut, sebagaimana yang diklasifikan oleh Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, diantaranya yaitu: (1) Pola hidup masyarakat dari yang semula sosial-religius cenderung ke

arah pola kehidupan masyarakat individual, materialistic dan sekuler (2) Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup

mewah dan konsumtif

(3) Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family) cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single parent family).

(4) Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat (tight family

relationship) cenderung menjadi longgar dan rapuh (loose family

relationship).

(5) Nilai-nilai religius dan tradisional masyarakat, cenderung berubah menjadi masyarakat modern bercorak sekuler dan serba oleh serta toleran berlebihan (permissive society).

(6) Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bebas bersama tanpa ikatan perkawinan.

(7) Ambisi karier dan materi yang mulanya menganut azas-azas hukum dan moral serta etika, cenderung berpola tujuan menghalalkan segala cara, seperti dengan melakukan, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).74

Dari beberapa gejala kehidupan yang berubah begitu cepat, bisa

berakibat buruk pada kondisi kejiwaan atau mental seseorang, seperti perasaan cemas, bingung, stress, depresi, agresif dan tekanan-tekanan mental lain, apa bila berlarut-larut dan segera tidak diatasi dan disikapi dengan baik dan bijak, pada gilirannya bisa mengakibatkan terjadinya gangguan mental yang lebih parah.

5) Hidup dalam lingkungan baru

74

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Rokhmah yang menunjukkan mayoritas ODHA memiliki sikap yang positif terhadap HIV/AIDS dan

keuntungan usaha budidaya udang vanname secara finansial ditinjau dari sistem tambak yang digunakan, serta untuk mengetahui sensitivitas usaha budidaya udang

Penelitian yang dilakukan Pushkareva (2016) tentang rancangan program permainan didaktik matematika dengan Adobe Flash menghasilkan kesimpulan bahwa merancang program

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disusun pengendalian hama terpadu (PHT) lalat buah pada tanaman cabai dengan komponen pengendalian sebagai berikut, penggunaan tanaman

aus 11 Hot Press (Tahap Soft Core/Ven eer) 3 Mesin berfungsi dengan baik Tergantung ketersediaan bahan baku gelondongan kayu/log - Mesin berukuran besar

Ketersediaan tempat tidur untuk pasien rawat inap dapat mempengaruhi kepuasan pasien karena manajemen pelayanan yang tidak baik dapat mempengaruhi kepuasan

Secara parsial profitabilitas saham perusahaan-perusahaan perbankan yang secara konsisten tergabung ke dalam kelompok Indeks LQ-45 selama periode 2011-2013 tidak berpengaruh

03 Meningkatnya pertumbuhan pengembangan teknologi industri 04 Meningkatnya pertumbuhan penerapan inovasi teknologi industri 05 Meningkatnya pertumbuhan penerapan TIKI di