• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan umum di Indonesia (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemilihan umum di Indonesia (1)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Pemilihan umum di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari seri:

Politik dan

pemerintahan

Indonesia

Pancasila

UUD 1945

Legislatif[tampilkan] Eksekutif[tampilkan] Yudikatif[tampilkan] Inspektif[tampilkan] Daerah[tampilkan] Pemilihan

umum[tampilkan] Partai politik[tampilkan]

Negara lain · Atlas

Portal politik

 lihat

(2)

 sunting

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah

amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan olehMPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian daripemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Daftar isi [sembunyikan]

 1 Sejarah  2 Asas  3 Jadwal

 4 Komponen sistem pemilu [4]  5 Penetapan hasil pemilu

 6 Jumlah kepimpinan yang dipilih rakyat

 7 Hasil pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat  8 Jumlah partai politik di Indonesia

 9 Pemilihan umum anggota lembaga legislatif o 9.1 Pemilu 1955

o 9.2 Pemilu 1971

o 9.3 Pemilu 1977-1997

o 9.4 Pemilu 1999

o 9.5 Pemilu 2004

o 9.6 Pemilu 2009

o 9.7 Pemilu 2014

 10 Pemilihan umum presiden dan wakil presiden o 10.1 Pemilu 2004

(3)

o 10.3 Pemilu 2014

 11 Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah  12 Lihat pula

 13 Referensi  14 Pranala luar

Sejarah

[sunting | sunting sumber]

Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014

Asas

[sunting | sunting sumber]

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.

 "Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.

 "Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.

 "Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

 "Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Jadwal

[sunting | sunting sumber]

Posisi 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Tipe

Presiden (Juli & September) DPD&DPR (April)

Tidak

Presiden (10 September) DPD&DPR (10 Juli)

(4)

Posisi 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Jika RUU Pemilu disahkan menjadi UU Pemilu maka:[1][2][3]

Posisi 2014 2015 2016 2017 2018 2019[2][3]

Tipe

(5)

Posisi 2014 2015 2016 2017 2018 2019[2][3]

Malut Kalteng, Kaltim, Sulut Sulbar Bali Jambi

Walikota/Bupati dan wakil

walikota/bupati

Variasi Variasi Tidak

Keterangan:

1. Tahun 2019 Pemilihan Umum dilakukan serentak untuk semua jenis di seluruh wilayah.

2. Pilkada pada tahun 2017 serta 2018 dimundurkan dan tahun 2020 serta 2021 dimajukan pada tahun 2019 serta Setiap Tahun yang variasi.

Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan umum untuk semua jenis digelar serentak pada tahun 2019 nanti pilkada setiap tahun yang bervariasi.[2][3]

Komponen sistem pemilu

[4][sunting | sunting sumber]

Pemil

u Terbuka/tertutup Distrik/proporsional/campuran

1955

tertutup

proporsional

1971

distrik 1977

1982

1987

1992

1997

(6)

Pemil

u Terbuka/tertutup Distrik/proporsional/campuran

2004

terbuka campuran

2009

2014

Penetapan hasil pemilu

[sunting | sunting sumber]

Pemilihan pertamaPutaran Putarankedua Keterangan

Presiden dan wakil

presiden Minimal 50%

Minimal 50%

syarat calon diajukan dimana partai politik memilki batas ambang 25% kursi parlemen atau 20% suara sah

Kepala daerah dan

wakil kepala daerah Minimal 30%

DPR Suara terbanyak (batas ambang 3,5%)

n/a DPRD

Suara terbanyak DPD

Jumlah kepimpinan yang dipilih rakyat

[sunting | sunting sumber]

Pemilihan Total

Presiden 2

(7)

Pemilihan Total

Walikota/Bupati 1022

DPR 560

DPRD 100 per kabupaten/kota

DPD 4 per provinsi

DPRA 70

DPRP 50

Hasil pemilihan umum Dewan Perwakilan

Rakyat

[sunting | sunting sumber]

Tahun Pemenang Tempat kedua Tempat ketiga

Partai politik

Jumlah kursi (dalam persen)

Partai politik

Jumlah kursi (dalam persen)

Partai politik

Jumlah kursi (dalam persen)

1955 PNI 57 (22.17%) Masyumi 57 (22.17%) NU 45 (17.51%)

1971 Golkar 360 (65.55%) NU 56 (21.79%) Parmusi 24 (9.33%)

1977 Golkar 232 (64.44%) PPP 99 (38.52%) PDI 29 (8.05%)

1982 Golkar 242 (67.22%) PPP 94 (26.11%) PDI 24 (6.66%)

(8)

Tahun Pemenang Tempat kedua Tempat ketiga

Partai politik

Jumlah kursi (dalam persen)

Partai politik

Jumlah kursi (dalam persen)

Partai politik

Jumlah kursi (dalam persen)

1992 Golkar 282 (70.5%) PPP 62 (15.5%) PDI 56 (14%)

1997 Golkar 325 (76.47%) PPP 89 (22.25%) PDI 11 (2.75%)

1999 PDIP 153 (33.12%) Golkar 120 (25.97%) PPP 58 (12.55%)

2004 Golkar 128 (23.27%) PDIP 109 (19.82%) PPP 58 (10.55%)

2009 Demokrat 150 (26.79%) Golkar 107 (19.11%) PDIP 95 (16.96%)

2014 PDIP 109 (19.5%) Golkar 91 (16.3%) Gerindra 73 (13%)

Jumlah partai politik di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Tahun Jumlah

1955 tidak terbatas

1971 10

1977 3

1982

(9)

Tahun Jumlah

1992

1997

1999 48

2004 24

2009 38

2014 12

Pemilihan umum anggota lembaga legislatif

[sunting | sunting sumber]

Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 11 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pemilu 1955[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955

Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo

mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

 Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,

 Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember1955.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971[sunting | sunting sumber]

(10)

Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1977, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997

Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini

seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1999

Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.

Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004

Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.

Pemilu 2009[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009

Pemilu 2014[sunting | sunting sumber]

(11)

Pemilihan umum presiden dan wakil

presiden

[sunting | sunting sumber]

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.

Pemilu 2004[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilu 2009[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009

Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli2009. Pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Pemilu 2014[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014

Pilpres 2014 diselenggarakan pada 9 Juli2014. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan suara sebesar 53,15%, mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala

daerah

[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai

Kartanegara pada 1 Juni 2005.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

 Daftar partai politik Indonesia

 KPU

(12)

Referensi

[sunting | sunting sumber]

1. ^[1] Pilkada digelar serentak

2. ^ abc[2] Pileg dan Pilpres digelar serentak

3. ^ abc[3] Pileg dan Pilpres digelar serentak

4. ^Komponen sistem pemilu (halaman 54)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

(Indonesia)Situs web Komisi Pemilihan Umum

(Indonesia)CETRO (Centre fo Electoral Reform)

(13)

PERBEDAAN PEMILU 1955-REFORMASI

Posted by: andikaprimayoga on: November 10, 2009

 In: surat | Uncategorized

 Tinggalkan sebuah Komentar

PERBANDINGAN PELAKSANAAN PEMILU ORDE LAMA, ORDE BARU

DAN REFORMASI

I.PENGERTIAN PEMILU

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi.

Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:

1. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:

1.

1. Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;

2. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara

3. Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: “pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undangn 1945.

PemilihanUmum, selanjutnyadisebutPemilu, adalahsaranapelaksanaankedaulatanrakyatyang dilaksanakansecaralangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, danadildalamNegara

KesatuanRepublikIndonesia berdasarkanPancasiladanUndang-UndangDasarNegara RepublikIndonesia Tahun1945.

AsasPemilu: Pemiludilaksanakansecaraefektifdanefisienberdasarkanasaslangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, danadil.

II.

SISTEM PEMILU

A

. Sistem perwakilan distrik

(

single member constituency

)

Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang paling tua dan didasarkan pada persatuan geografis, dimana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.

B.Sistem Proporsional

Sistem Proporsional adalah seluruh wilayah merupakan satu kesatuan. Jadi seperti partai kecil yang memiliki suara di Papua, Kalimantan, dan lain-lain, bisa dijumlahkan, sehingga Sistem Proporsional memungkinkan partai-partai kecil berkiprah di parlemen. Jika mereka kalah di wilayah pemilihan tertentu, partai-partai kecil tidak otomatis gugur, karena masih ada akumulasi suara sisa yang memungkinkan mereka memperoleh kursi di DPR.

C.sistem gabungan

Sistem Gabungan merupakan sistem yang menggabungkan sistem distrik dengan proporsional

III. PEMILU ORDE LAMA

(14)

1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.

Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.

Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”

Tokoh partai PNI

 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),

(15)

16. KH TURAICHAN KUDUS

Mr. Amir Syarifuddin, Maruto Darusma, Tan Ling Djie, Abdulmajid ,Muso,dan Setiadjit

Pemilu 1955

Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi

mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi

menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat,Sumatera Selatan, Sumatera

Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi

hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi

secara nasional tak terjadi. Berikut hasil Pemilu 1955:

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)

2. Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)

3. Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara (16%)

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

 perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanyaAS$70 dan pada

1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000  sukses transmigrasi

 sukses KB

 sukses memerangi buta huruf  sukses swasembada pangan

 pengangguran minimum

 sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)  sukses Gerakan Wajib Belajar

 sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh  sukses keamanan dalam negeri

 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

 sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde

Baru

 semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme

 pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat

 munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua

 kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya

 bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)

 kritik dibungkam dan oposisi diharamkan

 kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel  penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program

“Penembakan Misterius” (petrus)

(16)

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.

Pemilu di Masa Reformasi

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.

(17)

Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tergiur untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.

Selain artis, banyak partai politik merekrut academic-celebrity sebagai kandidat mereka.[1] Daftar terbuka memungkinkan seorang kandidat mendapat contrengan lebih banyak ketimbang calon lainnya dalam partai yang sama. Bagi partai politik, populernya seorang caleg membuat pilihan pemilih terfokus kepada partainya ketimbang kepada partai-partai politik lain.

Di Indonesia pula, undang-undang pemilu yang terakhir mensyaratkan setiap partai politik menyertakan minimal 30% kandidat perempuan. Hal ini membuka kemungkinan yang lebih besar bagi perempuan untuk menjadi legislator. Namun, di sisi lain partai politik sangat selektif terhadap caleg perempuan: Hanya caleg perempuan yang memenuhi kriteria tertentu (cantik, populer, akademik) yang benar-benar masuk ke dalam 30% kandidat partai mereka. Tingkat persaingan antar caleg perempuan lebih besar ketimbang antar caleg laki-laki.

Pemilihan umum merupakan mekanisme penting dalam sebuah negara, terutama yang menggunakan jenis sistem politik Demokrasi Liberal. Pemilihan Umum yang mendistribusikan perwakilan kepentingan elemen masyarakat berbeda ke dalam bentuk representasi orang-orang partai di parlemen. Sebab itu, pemilihan sebuah sistem pemilihan umum perlu disepakati bersama antara partai-partai politik yang terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan pemerintah.

Indonesia telah menyelenggarakan 9 kali pemilihan umum. Khususnya untuk pemilihan anggota parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis Proporsional, yang kadang berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai politik, trend kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah berlangsung.

Sebelum dilakukan pembahasan atas sistem pemilu yang pernah

diterapkan di Indonesia, ada baiknya dijelaskan jenis-jenis sistem pemilu yang banyak dipakai di dunia. Penjelasan hanya dititikberatkan pada kategori-kategori umum dari setiap jenis sistem pemilu. Untuk melihat peta sistem pemilu, perhatikan bagan di bawah ini sebagai berikut :[2]

--->pict<---Skema Jenis Sistem Pemilu

(18)

Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.

Sistem proporsional biasanya diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian Plural ataupun multipartai (banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah pemilihan, calon legislatif ataupun partai politik dapat mengakumulasikan suara dari daerah-daerah pemilihan lain, sehingga memenuhi kuota guna mendapatkan kursi. Varian sistem Proporsional adalah Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote.

Sistem Mixed (campuran) merupakan pemaduan antara sistem Proporsional dengan Mayoritas/Pluralitas. Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara beriringan. Hal yang diambil adalah ciri-ciri positif dari masing-masing sistem. Varian dari sistem ini adalahMixed Member

Proportional dan Parallel.

Sistem Other/Lainnya adalah sistem-sistem pemilu yang tidak termasuk ke dalam 3 sistem sebelumnya. Varian dari sistem lainnya ini adalah Single No Transferable Vote(SNTV), Limited Vote, dan Borda

Count.

Pemilu 1955

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.

Landasan hukum Pemilu 1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota bikameral: Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan adalahproporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:[3]

 Jumlah anggota konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas;

(19)

dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;

 Jika dengan cara poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota konstituante seperti di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 kursi itu

 Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia adalah total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas;

 Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 3,

dibulatkan menjadi 3; Sisa jumlah anggota DPR dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk

warganegara masing-masing;

 Jika dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota DPR seperti di poin ke empat, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 3 kursi itu.

Pemilu 1955, sebab itu, ada dua putaran. Pertama untuk memilih anggota DPR pada tanggal 29 September 1955.[4] Kedua untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol atau gabungan atau perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299 suara sah. Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara sah meningkat

menjadi 37.837.105 suara.

Pemilu 1971

Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 16 tentangSusunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.

Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan

berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26

(20)

wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.

Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai 54.699.509 atau 94% total suara.[6] Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga kursi Golkarmeroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.

Pemilu 1977

Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975. [7] Pemilu ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.

Persyaratan untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan SMA atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Voting dilakukan di 26 provinsi dengan sistem

proporsional daftar partai (party list system).[8]

Jumlah pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya 63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar beroleh suara 39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP beroleh suara 18.743.491 (29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI beroleh 5.504.757 suara (8,60%) dan memperoleh 29 kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah 75 kursi dan golongan fungsional 25 kursi. Golongan fungsional lalu menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar sehingga kursi untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen laki-laki 426 orang sementara perempuan 34 orang (7,40%).

Pemilu 1982

(21)

komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.[9]

Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional

dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Golkar beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246 kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 kursi parlemen. Anggota DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional lalu bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik menjadi 267 kursi.[10] Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.

Pemilu 1987

Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaituProporsional dengan

varian Party-List.

Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%.[11] Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%) sehingga berhak atas 299 kursi parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%) sehingga berhak atas 61 kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%) sehingga berhak atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan fungsional 25 orang (kursi). Jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.

Pemilu 1992

(22)

Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara (68,10%) sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk

golongan fungsional.

Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Pemilu 1997

Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.[13] Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%) sehingga berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%) sehingga berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang (kursi). Total anggota parlemen 500 orang.

Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri dihabisi secara politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad.

Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.

Pemilu 1999

Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang

hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.

(23)

dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan. Setelah disetujui DPR, barulah

sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang

penetapannya dilakukan oleh KPU.

Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I minimal 45 dan maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran penduduk. Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 – 7.000.000 mendapat 55 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 – 7.000.000 mendapat 65 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 – 9.000.000 mendapat 75 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 – 12.000.000 mendapat 85 kursi. Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000

mendapat 100 kursi.

Undang-undang juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1 kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU. Dati II berpenduduk hingga 100.000 mendapat 20 kursi. Dati II berpenduduk 100.001 – 200.000 mendapat 25 kursi. Dati II berpenduduk 200.001 – 300.000 mendapat 30 kursi. Dati II berpenduduk 300.001 – 400.000 mendapat 35 kursi. Dati II berpenduduk 400.001 – 500.000 mendapat 40 kursi. Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi. Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 kursi di DPRD II. KPU adalah pihak yang memutuskan penetapan

perolehan jumlah kursi.

Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba,

(24)

Karena penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat

mengetahui hasilnya tanggal 26 Juli 1999.

Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalahProporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua opsi.Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord.Kedua, pembagian tanpa

stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama, dan 43 suara

mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord. Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah

Konstitusi belum lagi terbentuk.

Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% suara sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem

pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah

partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest

remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang punya sisa

suara terbesar).

Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.

(25)

Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari total.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil

yang dianut oleh pemerintah Indonesia.

Pemilu 2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen (DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.

Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon

Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah

kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.

Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem

Dua Putaran).

Pemilihan Legislatif. Mekanisme pengaturan pemilihan anggota parlemen ini ada di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2003. Untuk kursi DPR, dijatahkan 550 kursi. Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi.[16] Untuk kursi di DPRD I berlaku ketentuan berikut:[17] (1) daerah pemilihan DPRD I adalah kabupaten atau kota atau gabungan kabupaten/kota; (2) provinsi berpenduduk sampai dengan 1 juta mendapat 35 kursi; (3) provinsi berpenduduk > 1 juta sampai dengan 3 juta, beroleh 45 kursi; (4) provinsi berpenduduk > 3 juta sampai dengan 5 juta, beroleh 55 kursi; (5) provinsi berpenduduk > 5 juta sampai dengan 7 juta, beroleh 65 kursi; (6) provinsi berpenduduk > 7 juta sampai dengan 9 juta, beroleh 75 kursi; (7) provinsi berpenduduk > 9 juta sampai dengan 12 juta, beroleh 85 kursi; dan (8) provinsi

berpenduduk > 12 juta beroleh 100 kursi.

(26)

ribu sampai dengan 400 ribu beroleh 35 kursi; (5) Kabupaten atau kota berpenduduk > 400 ribu sampai dengan 500 ribu beroleh 40 kursi, dan (6) Kabupaten atau kota berpenduduk > 500 ribu beroleh 45 kursi.

Dengan demikian, pada Pemilu 2004, total kursi untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II sebagai berikut: (1) Kursi DPR memperebutkan 550 kursi; (2) Kursi DPRD I memperbutkan 1.780 kursi; dan (3) Kursi DPRD II

memperbutkan 13.665 kursi.

Sistem Proporsional dicirikan adanya Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).

Bilangan ini berbeda antar satu daerah dengan daerah lain, bergantung pada jumlah total penduduknya. Cara pembagian BPP bagi setiap partai politik dibagi ke dalam dua tahap.Tahap pertama terdiri atas proses-proses: (1) menghitung total suara sah masing-masing parpol; (2) menghitung BPP dengan cara total suara sah masing-masing parpol dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di daerah tersebut; (3) menghitung suara sah tiap parpol dibagi dengan BPP; (4) parpol yang suaranya melebihi BPP otomatis langsung mendapat kursi, dan (5) Parpol yang suaranya melebihi BPP tetapi belum cukup untuk kursi jadi beroleh sisa suara.

Setelah perhitungan tahap pertama selesai dilakukan, lalu dilanjutkan oleh tahap kedua, yang proses-prosesnya terdiri atas: (1) Kursi yang belum habis dibagi pada tahap 1 kembali dihitung; (2) Sisa suara diberikan kepada parpol satu per satu bergantung suara terbanyak; (3) Setelah kursi habis dibagikan dan sisa suara masih ada, sisa suara itu dianggap hangus, dan (4) Stembus accord tidak diperkenankan. Contoh perhitungan suara sebagai berikut:

Daerah pemilihan XYZ memiliki jatah 10 kursi untuk parlemen. Total suara sah yang dihasilkan pemilu 12.000.000. Maka BPP untuk daerah XYZ adalah :

--->pict<--- Penentuan BPP

Jadi, BPP untuk daerah pemilihan XYZ adalah 470.000.

Hasil Pemilu Daerah Pemilihan XYZ sebagai berikut :

 Partai Mawar = 5.000.000

 Partai Melati = 1.500.000

 Partai Anggrek = 2.500.000

 Partai Jamur = 7.100.000

 Partai Kikil = 2.700.000

(27)

--->pict<--- Contoh Perhitungan Suara

Setelah kursi yang diperoleh tersedia, masing-masing parpol menentukan caleg terpilih melalui Daftar Terbuka untuk menduduki kursi-kursi tersebut. Langkah penentuan caleg sebagai berikut: (1) Melihat hasil perhitungan perolehan suara setiap caleg; (2) Caleg yang beroleh suara mencapai BPP langsung ditetapkan sebagai calon terpilih; dan (3) Caleg yang tidak mencapai BPP tidak beroleh kursi, parpol lalu menetapkan caleg terpilih berdasar nomor urut si caleg dalam daftar parpol di daerah tersebut.

Pemilihan DPD. Pemilu 2004 mengaplikasikan hasil Amandemen UUD 1945 dalam mana parlemen terdiri atas rencana bikameralisme. Kamar

pertama adalah DPR (di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota DPRD I,

dan DPRD II). Sementara itu, kamar keduaadalah DPD. Anggota DPD nantinya akan menjadi anggota MPR bersama-sama dengan DPR. Anggota DPD juga akan menggantikan posisi Fraksi Utusan Golongan dan Fraksi TNI dan Polri yang selama ini tidak dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum. lainnya adalah mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan ketiga

poin-poin yang telah disebut tadi.

Daerah pemilihan anggota DPD adalah provinsi dan setiap provinsi memiliki empat kursi DPD dengan sistem Single Non Transferable

Vote (SNTV). Mekanisme pemilihan anggota DPD di Pemilu 2004 sebagai

berikut: (1) Pemilih mencoblos satu calon anggota DPD yang nama dan fotonya tercantum di ballot; (2) Empat calon anggota DPD yang beroleh suara terbanyak otomatis menjadi anggota DPD dari provinsi tersebut; dan (3) Jika terdapat calon dengan urutan suara keempat yang beroleh suara sama, maka calon dengan persebaran suara yang lebih merata di

tiap daerah yang jadi pemenang.

Pemilihan Presiden. Sistem yang digunakan adalah Two Round System,

di mana pemilihan presiden akan diadakan dua putaran. Putaran

pertama seluruh pasangan (capres-cawapres) yang ada bertarung untuk

memperoleh mayoritas 50% plus 1. Jika di dalam putaran pertama ada di antara pasangan capres-cawapres yang beroleh suara > 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia, maka pasangan tersebut otomatis menang. Namun, jika tidak ada satu pun pasangan yang memenuhi syarat tersebut, maka diadakan pemilu putaran kedua.Putaran kedua menghendaki pasangan capres-cawapres yang beroleh suara terbanyak otomatis terpilih selaku presiden

(28)

Dalam Pemilu 2004, terdapat lima pasangan yang maju bersaing menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Pasangan-pasangan tersebut adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla, Megawati

Sukarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Solahuddin Wahid, Amien

Rais-Siswono Yudhohusodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Dalamputaran

pertama tanggal 5 Juli 2004, total suara pemilih yang valid adalah

118.656.868. Setelah dihitung voting diperoleh hasil sebagai berikut:[19]

Tabel 6 Rekap Hasil Pilpres 2004 Putaran 1

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyo–Yusuf Kalla menduduki posisi teratas dengan meraih 33,674% suara. Pasangan Megawati Sukarnoputri–Hasyim

Muzadi meraih posisi kedua dengan mendapat 26,602% suara. Kedua

pasangan tersebut tidak beroleh suara > 50% serta beroleh suara 20% di setengah jumlah provinsi Indonesia. Sebab itu, putaran kedua harus dilaksanakan. Hasil putaran kedua tanggal 20 September 2004 adalah sebagai berikut :[20]

--->pict<--- Rekap Hasil Pilpres 2004 Putaran 2

Melalui hasil di atas, dapat dipastikan pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono–Yusuf Kallamenang dalam putaran kedua. Otomatis, pasangan

tersebut menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004–2009. Melalui hasil ini, posisi presiden dan wakil presiden menjadi lebih kuat ketimbang posisi presiden Abdurrahman Wahid yang diturunkan di tengah jalan melalui kekuatan parlemen. Kekuatan posisi Susilo

Bambang Yudhoyono – Yusuf Kalla akibat pasangan ini dipilih langsung

oleh rakyat, dan mereka habis masa jabatan sesuai rencana.

Pemilu 2009

Pemilu 2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008.[21] Jumlah kursi DPR ditetapkan sebesar 560 di mana daerah dapil anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi. Jumlah kursi di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004.

(29)

pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten atau kota atau gabungan kabupaten atau kota di mana jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sama dengan pemilu 2004.

Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten atau kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan yang jumlahnya sama seperti pemilu 2004. Jumlah kursi DPRD kabupaten atau kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 kursi, yang besaran kursinya ditentukan oleh: (1) wilayah berpenduduk hingga 100.000 mendapat alokasi 20 kursi; (2) wilayah berpenduduk 100.000–200.000 mendapat alokasi 25 kursi; (3) wilayah berpenduduk 200.000–300.000 mendapat alokasi 30 kursi; (4) wilayah berpenduduk 300.000–400.000 mendapat alokasi 35 kursi; (5) wilayah berpenduduk 400.00–500.000 mendapat alokasi 40 kursi; (6) wilayah berpenduduk 500.000–1.000.000 mendapat alokasi 45 kursi; (7) wilayah berpenduduk > 1.000.000 mendapat alokasi 50 kursi.

Pemilihan DPD. Untuk pemilihan anggota DPD ditetapkan 4 kursi bagi setiap provinsi. Provinsi adalah daerah pemilihan untuk anggota DPD. Dan dengan demikian dengan total provinsi sejumlah 33, jumlah anggota DPD Indonesia adalah 132 orang. Sistem pemilihan untuk anggota DPD menggunakan Single Non Transferable Vote (SNTV).

Pemilu 2009 masih menggunakan sistem yang mirip dengan Pemilu 2004. Namun,electoral threshold dinaikkan menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke perhitungan kursi caleg hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi suara di atas 2,5%. Pemilu ini pun mirip dengan Pemilu 1999 di mana 48 partai ikut berlaga dalam kompetisi

dagang janji ini.

Pemilihan Presiden. Pemilu Presiden tahun 2009 menggunakan Two

Round System. Artinya, jika pada putaran pertama tidak terdapat

pasangan yang menang 50 plus 1 atau merata persebaran suara di lebih dari setengah daerah pemilihan maka konsekuensinya harus diadakan putaran kedua. Untungnya, dana negara tidak terbuang sia-sia karena pemilu Presiden 2009 ini cuma berlangsung satu putaran saja. Pilpres yang direkapitulasi oleh KPU pada 22 – 4 Juli 2009 ini diikuti oleh tiga pasang calon yaitu: (1) Megawati–Prabowo aka MegaPro; (2) SBY– Boediono aka SBY Berbudi; dan (3) Jusuf Kalla–Wirantoaka JK Win. Hasil Pilpres resmi KPU menghasilkan data berikut:

Megawati–Prabowo (32.548.105 atau 26,79%)

SBY–Boediono (73.874.562 atau 60,80%)

JK–Wiranto (15.081.814 atau 12.41%)

(30)

[1] Academic-celebrity adalah kalangan intelektual yang sering tampil di pesawat televisi untuk menjadi narasumber suatu fenomena politik. Akibat seringnya mereka tampil, publik diprediksi akan mengenal mereka. Partai yang merekrut mereka punya dua keuntungan yaitu popularitas dan modal intelektual.

[2] Andrew Reynolds, et.al., Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005) p.9-14. Penjelasan teoritis mengenai masing-masing tipe sistem pemilihan umum mengacu pada sumber ini.

[3] Undang-undang No.7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal yang dikutip adalah pasal 32 dan 33.

[4] Bali Post, Dari Pemilu ke Pemilu, www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/3/12/n5.htm. Putaran ini bukan berartiTwo Round System.

[5] www.ipu.org Lihat juga UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

[6] ibid.

[7] Undang-undang No. 4 tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

[8] www.ipu.org . Daftar partainya tertutup, artinya pemilih hanya memilih partai bukan orang dalam partai. Angka-angka selanjutnya menggunakan sumber ini.

[9] Undang-undang No. 2 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badang Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1975.

[10] www.ipu.org. Angka-angka menggunakan sumber ini.

[11] Ibid. Angka-angka menggunakan sumber ini. [12] Ibid. Angka-angka menggunakan sumber ini. [13] Ibid. Angka-angka menggunakan sumber ini.

[14] Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

[15] www.kpu.go.id

[16] Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 46, 47 dan 48.

[17] ibid. Pasal 49. [18] ibid. Pasal 50.

[19] Leonard Sebastian, Indonesia’s Historic First Presidential Elections, (UNISCI Discussion Papers, Octubre de 2004) p.4.

[20] The Carter Center 2004 Indonesia Election Report, June, 2005, (Atlanta : The Carter Center, 2004) p.63.

[21] Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

tags:

Referensi

Dokumen terkait

Pelayanan kesehatan pra usia lanjut dan usia lanjut yang dimaksudkan adalah penduduk usia 45 tahun ke atas yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh

(1) Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi mempunyai tugas pokok menyusun program, kegiatan, petunjuk teknis, memantau dan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa media poster kandungan gizi buah apel (Malus sylvestris) yang diperjualbelikan di kota

Mengidentifikasi kekurangan butir data yang tidak lengkap agar ketika digunakan untuk pelayanan pasien berikutnya, data yang belum lengkap tersebut sudah dilengkapi.Dengan

Rasulullah sendiri yang mendidik Sayyidina Hassan dan adiknya Sayyidina Hussin dengan budi pekerti yang mulia.. Sayyidina Hassan memang terkenal sebagai seorang

Modal kerja dan rasio leverage mempunyai peranan penting dalam pembentukan rentabilitas, karena dengan adanya pengelolaan modal kerja yang efektif dan manajemen hutang yang baik

Terdapat korelasi positif namun tidak bermakna antara status gizi berdasarkan indeks massa tubuh dengan derajat nyeri sendi pada osteoartritis lutut.. Adanya kecenderungan