• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENPASAR KOTA BAGI SEMUA HATI TINJAUAN S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DENPASAR KOTA BAGI SEMUA HATI TINJAUAN S"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DENPASAR : KOTA BAGI SEMUA HATI

(TINJAUAN SOSIAL – BUDAYA TERKAIT ISU KESEHATAN)

Abstrak

Sebagai salah satu kota yang merepresentasikan Bali yang fenomenal di mata dunia, Denpasar pada masa kini merupakan surga bagi semua manusia. Pantai, matahari, dan nafas kebudayaan masyarakatnya tergambar dalam perpaduan yang khas membentuk kehidupan kota ini; dimana kesemuanya terutama keanggunan wanita Bali, membuat semua manusia yang datang kemudian melebur dan terbuai dalam romantisme kehidupan.

Berbagai peristiwa yang mewarnai kehidupan kota Denpasar, memang terbentuk dalam sejarah dan fenomena yang sangat mempengaruhi citra pulau Bali. Di kota ini, keberlangsungan interaksi manusia bertransformasi sedemikian rupa dalam proses kehidupan yang terlihat terfragmentasi di permukaan. Namun bila dirunut maka akan menunjukan sistem kehidupan yang jelas mapan, dimana peran masyarakat lokal kemudian sangat signifikan, dikarenakan eksistensi mereka mengakomodir dan menyokong jalannya proses kehidupan tersebut. Dan hadir pula didukung kesepakatan masyarakat luas, yaitu mereka sendiri sebagai masyarakat lokal Denpasar, masyarakat Hindu Bali/Hindu Dharma secara keseluruhan, pendatang non- Hindu yang hidup di kota Denpasar, bahkan mereka yang sekedar bersimpatik dengan kota ini.

(2)

Pendahuluan

Denpasar sebagai Ibukota Provinsi Bali, pada masa kini berkembang dengan pesat sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang ramai, didatangi berbagai macam orang dari suku dan ras yang berbeda-beda. Mereka yang kemudian dalam tulisan ini saya definisikan sebagai migran, tersebar di seluruh pelosok Denpasar dan kemudian terbagi dalam dua golongan yaitu migran lokal dan internasional. Migran lokal adalah mereka penduduk Indonesia yang datang ke Denpasar baik dari wilayah lain di pulau Bali atau luar pulau Bali, sementara migran internasional adalah mereka yang datang ke Denpasar namun bukan penduduk Indonesia. Dua kelompok migran tersebut datang ke pulau Bali dengan motif yang berbeda-beda, namun bagi kebanyakan migran lokal maka faktor ekonomi menjadi satu bentuk konsensus umum motif kedatangan mereka. Sementara migran internasional lebih dikarenakan untuk keperluan wisata atau alasan ketertarikan mereka lainnya.

(3)

Kota Kosmopolitan Sejak Dulu

Denpasar awalnya dikenal sebagai pusat kegiatan perekonomian kerajaan Badung yang menguasai daerah Bali Selatan. Lalu dimulai sejak awal masa kemerdekaan Indonesia yaitu tahun 1949, kota ini seketika bertransformasi menjadi gerbang pariwisata Bali dan berkembang seperti pada masa sekarang. Pemerintah Indonesia pada masa itu membangun secara besar-besaran pariwisata Bali, untuk menanggulangi defisit keuangan dan merangsang kedatangan pihak asing (Caballero,2002,hlm.13-14). Awalnya rencana tersebut terealisasi dengan dibangunnya bandara udara pertama di Bali yaitu, Bandar udara Ngurah Rai dan hotel

kelas internasional, Bali Beach Hotel pada tahun 1966 di pantai sanur.

Pemilihan Denpasar sebagai gerbang pariwisata Bali kemudian memang terbukti tepat dikarenakan secara geografis, letaknya berada di tengah mayoritas jalur pariwisata Bali -seperti Pantai Kuta, Gianyar, Nusa Dua, Jimbaran , dll. Alhasil setidaknya pada masa kini, bisa dikatakan Denpasar merupakan kota yang lengkap, karena selain merupakan pusat pemerintahan, serta memiliki beberapa obyek wisata penting, - seperti Pantai Sanur, Pantai Sindhu, Pura Jagat Natha, Museum Bali ,dll- letak geografis Denpasar juga berkembang menghubungkan industri pariwisata di Pulau Bali.

Jauh sebelum pariwisata mendongkrak pamor Denpasar, sebenarnya wilayah ini sudah berkembang sangat kosmopolitan sedari dahulu kala. Seperti namanya yang secara

etimologis berarti “pasar di sebelah utara” – Den (Utara) Pasar (Pasar)-. Pada zaman

kerajaan Badung, wilayah ini sudah sangat ramai dengan aktifitas perdagangan yang menghadirkan interaksi berbagai macam orang dari berbeda suku dan ras.

“…the capitals of the princes’ districts, the seats of the regencies, are commercialized

half-European, half-Chinese towns like Denpasar and Buleleng; but the true life of Bali is

concentrated in thousands of villages and hamlets”. (Covarrubias,1973, hlm.39)

Masyarakat lokal membawa hasil pertanian dan ternak untuk diperjual belikan, sementara

pedagang dari luar Bali seperti orang Jawa1, Belanda, Bugis, Cina, dll juga ramai hadir.

1

 Memiliki pengaruh fenomenal dengan kehadiran Majapahit. Kebanyakan orang Bali  bahkan menelusuri kawitan‐ nya(keturunan) ke tanah Jawa. 

(4)

Mereka berinteraksi dalam konteks perdagangan, di mana dalam prosesnya kemudian membentuk kehidupan sosial Kota Denpasar yang sangat plural. Dominasi kolonialisme Belanda (1840) dan Jepang (1940) di kemudian hari pada kenyataannya juga tetap tidak dapat merusak tatanan kehidupan sosial tersebut. Walaupun secara administratif wilayah ini dikuasai silih berganti oleh kehadiran mereka, pengaruhnya tidak pernah dapat mengintervensi penuh dalam lokalitas kehidupan masyarakat. Setidaknya hal tersebut kemudian dapat kita lihat dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda, yang pada akhirnya malah tertarik menjaga keutuhan kehidupan Bali layaknya sebagai suatu museum. Dengan sentimentil eksotis (kolonialisme), mereka kemudian lebih memilih menikmati dan

menjadikan Bali sebagai satu destinasi pariwisata2 (dimulai tahun 1920), daripada

membinasakan habis kehidupan masyarakatnya sebagai suatu tanda kekuasaan. Kebijakan tersebut kemudian mulai merepresentasikan kehidupan Bali di dunia luar, yang mana pamornya pada masa kini, terkadang bahkan mengalahkan nama Indonesia itu sendiri.

Pariwisata yang kemudian lebih membuka kehadiran khalayak ramai dalam kehidupan sosial Denpasar tidak pula kemudian membuat -seperti juga wilayah lain di Pulau Bali- pengaruh dunia luar ditelan mentah-mentah oleh masyarakatnya. Mereka selalu punya cara untuk mentransformasikan akibat pengaruh dari luar secara kultural, seperti dengan cara perkawinan dengan orang- orang dari luar pulau Bali yang malah membawa pihak- pihak tersebut masuk ke dalam kultur Bali itu sendiri. Begitu juga dengan artikulasi identitas masyarakat lokal yang kemudian sangat kuat dan khas, dalam membentuk dialog

kebudayaan. Seperti leluhur mereka yang mati-matian3 menjaga kehormatan wilayah ini,

eksistensi masyarakat lokal dalam kehidupan memang memiliki andil besar dan berperan sangat penting bahkan sampai pada masa kini. Mereka terkesan selalu mencoba menaungi kehadiran kelompok etnis lain, dimana itu terlihat dalam legitimasi mereka yang besar dalam segala hal di kehidupan. Sementara itu di lain pihak yaitu para pendatang, mereka pada dasarnya tidak mempermasalahkan identifikasi yang ditujukan masyarakat lokal tersebut karena di satu sisi memang menguntungkan. Terlebih reaksi utama masyarakat luas dalam menganggapi peristiwa bom di Bali memang merujuk pada kesepakatan ini, seperti apa yang digambarkan Couteau (2003), di mana semenjak beberapa bom meledak di Bali maka reaksi

(5)

gelombang solidaritas meningkat, dan timbul ketegangan stabilitas yang mendorong politisasi lembaga adat untuk memperketat kontrol terhadap arus masuk penduduk pendatang.

Menarik untuk kemudian menelisik fakta yang saya temukan di lapangan bahwa dalam menanggapi peristiwa bom yang terjadi di Bali, masyarakat lokal sebenarnya tidak menanggapinya sebagai suatu bentuk dendam. Menurut mereka kebanyakan yang mati adalah

bukan orang Bali dan yang meledak kemudian hanyalah situs –situs profan atau dalam artian

bukan sesuatu yang mereka anggap sakral -seperti Pura, bersama dengan benda sakral seperti Pertima dan Pelinggih. Tetapi mereka melihat peluang dari reaksi masyarakat luas seperti apa yang dijelaskan Coeteau (2003) diatas, terutama dalam hal dorongan politisasi lembaga adat yang manifestasinya kemudian adalah penguatan peran Banjar. Banjar sebagai suatu pranata sosial terpenting dalam kehidupan masyarakat lokal kemudian memang lebih mengemban kewajiban terdepan dalam mengatur tata kelola kehidupan sosial pada masa kini. Institusi ini kemudian bukan hanya perpanjangan tangan dari pemerintah provinsi, melalui kesatuan Desa Pakraman, namun juga merupakan representasi dari kontrol lembaga adat itu sendiri. Dengan kata lain melalui Banjar, masyarakat lokal menjadi memiliki peran besar dalam mengatur ketentraman kehidupan sosial karena merupakan manifestasi dari desakan dan kemauan masyarakat secara keseluruhan. Banjar sebagai institusi masyarakat lokal, awalnya berfungsi untuk mengatur kewajiban dan tanggung jawab di dalam kehidupan sosial mereka. Penetapan kesemuanya bahkan diperkuat dalam awig-awig (peraturan) masing-masing Banjar, dimana isi kesepakatannya memang berbeda-beda setiap Banjar. Namun, seiring dengan makin banyaknya kehadiran migran di pulau Bali, kehadiran Banjar kemudian turut melingkupi kehidupan mereka. Bagi para imigran walaupun pada kenyataannya Banjar kemudian tidak dapat mengakomodir secara keseluruhan kehidupan mereka, tetapi institusi ini kemudian kuat mempengaruhi kehidupan sosial mereka dalam porsit tertentu, seperti layaknya fakta sosial yang menghasilkan kekuatan yang sifatnya memaksa, karena posisinya menguat atas desakan dan kepentingan mereka itu sendiri.

(6)

kepercayaan adalah satu hal yang esensial. Pada situasi tersebut peran Banjar sedari dahulu kemudian menjadi penjaga keseimbangan dalam kehidupan masyarakat secara langsung, dimana jelas terbukti dapat meredam atau setidaknya menurunkan skala konflik sebelum membesar. Perlu diingat juga, bahwa dalam rentang sosiohistoris, masyarakat lokal telah mengalami dialektika kehidupan yang makin mendewasakan mereka dalam berpikir dan bertindak. Pembantaian massal terhadap simpatisan PKI akibat meletusnya peristiwa

G30SPKI di Jakarta dan berlakunya land reform yang ditindak lanjuti dengan praktek

pengambilan tanah paksa oleh pemerintah adalah dua hal penting yang kemudian dapat dijadikan contoh.

Kebudayaan : Metafor Dalam Kehidupan

Definisi kebudayaan sebagaimana terkadang ditafsir salah oleh khalayak luas, sebagai hanya sekedar tarian, ritual, upacara, dll; pada akhirnya kemudian tidak akan membimbing dalam satu bentuk pemahaman mendalam mengenai kehidupan sosial Denpasar. Terlebih di

Bali sebagaimana kemudian Pierre Dubois4 jauh-jauh hari menjelaskan dan memperingati

dalam laporannya, bahwa tipu muslihat adalah seni transedental yang dikembangkan masyarakat lokal. Mereka terbiasa mengembangkan berbagai strategi dalam menjalani kehidupan, dimana contohnya sangat terlihat dari berbagai ritual yang mereka lakukan. Apa yang perlu ditekankan disini, adalah pada saat kita mencoba menjelaskan tentang kehidupan sosial, maka pemaknaan masyarakat kemudian harus dinterpretasi secara mendalam, karena

pada dasarnya kebudayan adalah suatu kesepakatan dan bukan suatu bentuk ideasonal dalam

kognitif seseorang(contoh: local knowledge, folklore,dll); bukan juga sesuatu yang nyata

seperti kita bisa lihat denga mata (contoh: tarian, ritual, dll).

“Culture ,... thus is public,like a burlesqued wink or a mock sheep raid. Though ideational, it does not exist in someones head; though unphsycal it is not an occult entity.”(Geertz,1973,hlm.10)

Dengan kata lain, layaknya suatu satuan organisme, kebudayaan adalah kehidupan-nya yang terbuka dalam interaksi dengan alam sekitar (von Bertalanffy, 1950,1968, 1968).

Erat kaitannya dengan kesehatan sebagai tekanan dalam tulisan saya ini, maka berdasarkan jabaran singkat saya mengenai kebudayaan, perlu kita ketahui bahwa dalam

4

 Peneliti Eropa pertama yang melakukan penelitian avant la lettre di Bali. Disewa pemerintah kolonial Belanda untuk 

(7)

kehidupan orang Bali, hidup dan mati berhubungan erat dengan pemahaman metafisis mereka yang terangkum dalam pemahaman terhadap dunia Niskala dan Sekala. Niskala yaitu sumber dari mana ancaman seperti gempa, gagal panen, serta epidemi berulang-ulang dll, sedangkan tugas dari mereka yang berwenang dimana kemudian melindungi masyarakat dari ancaman-ancaman tersebut adalah kewajiban yang disebut Sekala. Perlindungan yang diberikan kemudian memiliki implikasi luas karena pada dasarnya setiap orang berusaha memaknai kehidupan dengan tidak dapat mengabaikan penderitaan dan kematian yang merupakan hal esensial dalam kehidupan (Van Baal,1981,hlm.316). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bali kemudian memang sangat dinamis dalam memahami perbedaan pandangan hidup di kalangan migran terutama menyangkut soal kesehatan. Sebagai contoh seperti berbagai bentuk hiburan di kota Denpasar yang kemudian lekat dengan masalah kesehatan -seperti praktek prostitusi, diskotik, dll- kemudian ditempatkan berdekatan dengan pantai atau laut. Menurut kepercayaan lokal, semua yang mengandung unsur negatif dalam kehidupan memang harus di lepas ke lautan; tetapi dalam pandangan kesehatan, hal tersebut juga mengisyaratkan adanya kepentingan mereka untuk menghindarkan ancaman bahaya penyakit yang mungkin disebabkan oleh berbagai aktivitas tersebut dari pemukiman mereka. Memang kemudian masih ada pemukiman warga dalam kesatuan Desa Pakraman, lengkap dengan banjar- banjar tersebar di wilayah pantai. Namun, peran masyarakat lokal disana selain sebagai pengawas aktivitas kegiatan hiburan, mereka kemudian juga turun tangan langsung dalam meminimalisir ancaman penyakit (kebersihan). Bentuk- bentuk intervensi mereka terliht dalam berbagai aturan yang dibuat mereka dalam menjaga aktivitas tersebut, dan bahkan mereka kemudian memasukan pihak – pihak terkait dalam aktivitas hiburan tersebut sebagai

bagian dari satu ritual pensucian5. Pada bagian ini dapat kita pahami bagaimana peran mereka

menempatkan diri dalam peran Sekala, yang kemudian berusaha menghindarkan para PSK tersebut dari sumber penyakit (Niskala). Suatu contoh legitimasi tindakan dalam kehidupan sosial, yang tanggung jawabnya bertransformasi kemudian mengakomodir kehadiran migran pula.

Kesadaran golongan migran mengenai kesehatan di kota Denpasar kemudian tidak dipengaruhi oleh perilaku pada saat berada di wilayah asalnya, seperti misal kebiasaan hidup mereka di wilayah asal, begitu juga dengan dinamika pekerjaan yang kemudian juga tidak

5

(8)

menjadi faktor utama penyebab mereka tidak memperhatikan kesehatan. Tetapi perbedaan perilaku dan kesadaran dalam menjaga kebersihan bagi saya lebih terlihat dari bagaimana mereka memaknai keterikatan mereka dengan kota Denpasar. Antara mereka yang kemudian terperangkap dalam tindakan-tindakan praktis semata -karena menganggap kota ini persinggahan sementara- sehingga jarang memperhatikan kebersihan; atau yang kebalikannya yaitu mereka yang sedang membentuk dan menata keberlangsungan hidupnya di kota Denpasar. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat lokal di Denpasar (Hindu Dharma) menekankan agar di kehidupan untuk terus menjaga kebersihan dan menata kesehatan lingkungan. Hal itu kemudian menjadi krusial terutama dikarenakan dalam kehidupan rohani harus selalu dipenuhi dengan berbagai macam ritme ritual yang mana kemudian membutuhkan tiga unsu utama yaitu air, api, dan bunga. Air menjadi obyek utama dalam satu bentuk penyucian dan pemberkatan sebagaimana Hindu kemudian dikenal sebagai agama tirta. Sedangkan api dan bunga adalah unsur pelengkap yang tak kalah penting dimana manifestasinya terlihat dalam dupa dan bebanten (persembahan). Ketiga unsur utama yang harus dipenuhi tersebut, memiliki asosiasi terhadap kelestarian alam karena hanya akan ditemukan bila keseimbangan lingkungan (kebersihan) dijaga dengan baik.

Ibu dalam keluarga Bali kemudian berperan besar dalam mewujudkan ketiga unsur tersebut tetap hadir dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terlihat dengan berbagai kegiatan mereka dalam merawat lingkungan rumah, termasuk mengurusi penyajian bebanten (persembahan), dan berperan layaknya pengatur kebersihan. Apabila mereka kemudian menjadikan rumahnya sebagai kos-kosan/kontrakan, mereka bahkan tak segan-segan menyindir para migran yang sekiranya melewati batas yang sudah seharusnya. Hal ini saya simpulkan dengan mengamati keseharian seorang Ibu pemilik kos/kontrakan yang memperhatikan secara detil kebersihan anak-anak kecil penghuni kos/kontrakan. Suatu waktu bahkan saya melihat ia menawarkan diri untuk memotong rambut panjang seorang anak perempuan yang banyak kutu. Kepada orang tua anak itu, ia bahkan meminta ijin yang mana

makna sebenarnya adalah sindiran. Pengawasan mereka yang ketat tersebut kemudian agak

berkurang, saat mereka memiliki kos-kosan/kontrakan yang berada jauh dari rumah tinggalnya.

(9)

dunia luar terlalu superior namun dangkal dalam memahami kehidupan wanita Bali sebagi suatu bentuk ketidaksetaraan gender, mereka nampaknya tetap tidak peduli karena merasa apa yang mereka lakukan adalah pemenuhan kewajiban sebagai seorang wanita Hindu. Kewajiban yang diatur dalam agama Hindu di Bali memang agak berbeda dengan pemaknaan agama Hindu di India (Rudyansjah,1986,hlm.20-23), dikarenakan Hindu yang mayoritas dianut masyarakat Bali adalah Hindu Dharma, dimana hubungan antara manusia dengan tuhan dan alam menjadi kewajiban utama yang harus dijaga, dikarenakan disanalah letak

keseimbangan6 dalam kehidupan. Untuk itu wajar jika sampai pada masa kini, wanita Bali

selalu memegang teguh pengabdiannya dalam memenuhi kewajiban. Mereka kemudian tidak pernah banyak protes terhadap apa yang dilakukan kaum laki-laki dalam keluarga, namun perintah dan saran dan mereka sangat didengar seluruh anggota keluarga. Disanalah letak keanggunan wanita-wanita Bali pada umumnya, pengabdian mereka bagi keluarga membuat orang sangat menghormati kehadiran mereka di dalam kehidupan.

Zoonotic Disease

dan Penanggulangannya

Orang Bali terutama kaum laki-lakinya sangat suka memiliki hobi. Salah satu kegemaran mereka adalah memelihara binatang seperti anjing, burung, ayam, dll. Rabies dan flu burung, dua penyakit yang beberapa kali serius mengancam kegemaran mereka tersebut, namun pada akhirnya tetap tidak dapat memadamkan kecintaan terhadap binatang kesayangan. Ancaman-ancaman tersebut malah membuat mereka semakin mawas diri dan merasa perlu adanya penanggulangan secara efektif dan preventif.

Efektif dimaknai sebagai upaya penanggulangan yang dilaksanakan serempak dalam skala besar, melibatkan penuh kesatuan masing-masing Banjar, dan tepat sasaran. Pada point ini, mereka bahkan memahami satu bentuk pemusnahan apabila memang mendesak maka sudah seharusnya dilakukan. Dukungan mereka terhadap pembantaian anjing yang dilaksanakan pemerintah provinsi sekitar tahun 2008 di Denpasar, kemudian dapat dijadikan contoh nyata. Bagi mereka peristiwa yang bahkan sempat dikecam dunia luas tersebut, sudah seharusnya terjadi sebab merebaknya penyakit rabies menandakan sepatutnya alam yang tidak seimbang coba untuk diseimbangkan dengan nalar manusia. Mereka memang kemudian selalu menafsir itu semua sebagaimana layaknya siklus proses pembentukan alam, dimana kehancuran selalu mendatangkan berkah pula sesudahnya (Schrieke,1957,hlm.77-78).

6

(10)

Upaya preventif kemudian mereka maknai sesuai kesadaran dan kemampuan masing-masing orang di dalam mengubah perilaku dalam kehidupan, dimana keterikatan mereka dengan hewan peliharan dan kepentingan menanggapi ancaman penyakit menjadi alasan utama. Ibu sebagai sosok yang sangat dihormati dalam keluarga Bali kemudian bertindak

sebagai “agency” dalam proses perubahan perilaku orang-orang di dalam keluarga dan

sekitarnya. Mereka menentukan apa-apa yang harus dihindari, dibetulkan, dan dibangun untuk menjaga kehidupan dari berbagai ancaman penyakit yang disebabkan kehadiran hewan. Kebanyakan dari mereka memang sangat paham bagaimana kaum laki-laki Bali tidak dapat dipisahkan dengan kegemarannya terhadap hewan peliharaan. Terkait dengan masalah penyakit rabies pada waktu lalu, untuk menghindari epidemi itu berulang, contoh dari upaya prefentif yang mereka coba lakukan adalah dengan memilih meliarkan anjing di jalanan dengan maksud untuk dibiarkan di makan orang lain. Kemungkinan etnis Batak dan Flores/ Indonesia timur memang gemar menyantap daging hewan ini, terlebih banyaknya bertebaran Lapo Batak dan Rumah makan “RW” khas Flores di Denpasar.

KONKLUSI

Setidaknya sampai pada masa sekarang, bagi masyarakat Bali dengan adanya

berbagai ancaman kematian dalam kehidupan7, maka hal itu kemudian tidak dapat

dikesampingkan dalam pemahaman mereka mengenai politik. Artinya bahwa kesadaran untuk mewujudkan satu kehidupan yang berkelanjutan, kemudian menjadi satu hal yang sangat menentukan bagi eksistensi kekuasaan. Kekuasaan sendiri bagi mereka adalah suatu pranata yang didukung oleh basis masa dan ritual yang kuat, dimana keteraturan kemudian menjadi representasi dari keterikatan massa dengan kekuasaan. Singkatnya berbagai bentuk implementasi rencana untuk mengakomodir kehidupan yang lebih baik akan berjalan mulus, selama memenuhi fungsi komplementer dari sistem kehidupan masyarakat lokal. Oleh karena itu pula masyarakat lokal adalah manifestasi dari satu bentuk kekuasaan itu sendiri, dan posisi mereka sangat sentral di masa kini. Sistem kehidupan sosial mereka sudah berjalan sangat mapan dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan pada kenyataannya dapat

7

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Media pembelajaran dapat diaplikasikan ke dalam suatu proses pembelajaran yang dapat membantu penyajian materi yang disampaikan oleh guru lebih jelas dan mudah dipahami,

Alhamdulillah Wasyukurillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Dari uraian yang telah dijabarkan, maka persoalan atau pertanyaan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah bagaimana profil kemiskinan di Kabupaten Kebumen dan bagaimana

Apabila penggilasan itu menghasilkan ketidak-rataan melebihi dari 10 mm, jika diuji dengan tongkat lurus 3 meter panjang, maka permukaan yang tidak rata harus dibongkar,

Dari hasil analistik kedua variabel tersebut dengan menggunakan Uji Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh nilai p-Value = 0,005 < 0,05 (p-Value = 0,005 < 0,05) sehingga

Dihadapan saodara tersajikan sirup buah kersen, kesediaan sodara diminta untuk memberikan penilaan terhadap kekentalan sirup buah kersen, sesuwai dengan

1ang termasuk dalam lingkup pekerjaan pengurugan tersebut diatas dilakukan selama pelaksanaan pekerjaan mempunyai tujuan untuk mendapatkan kepadatan tanah pada bekas

menjadi hal yang penting untuk diperhatikan sebagai upaya mempercepat kesembuhan pasien, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait