• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelajaran dari Kasus Din Minimi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelajaran dari Kasus Din Minimi"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

KOLOM

60

GATRA

16 MARET 2016

S

etelah setahun lebih angkat senjata, pada 29 Desember 2015 Din Minimi dan puluhan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyerahkan diri. Hal ini mengakhiri per la-wanan mereka yang uniknya ditujukan kepada Pemerintah Aceh ketimbang Pemerintah Pusat. Sejak itu perdebatan yang terus mencuat adalah seputar berhak-tidaknya kelompok ini memperoleh amnesti. Padahal, pemberian amnesti hanyalah penyelesaian atas status hu-kum kelompok ini, bukan atas akar masalah yang men-dasari perlawanan mereka. Akar masalah itu sendiri ter le-tak pada ketegangan sosial-politik terkait reintegrasi dan transformasi eks kombatan. Seharusnya hal terakhir ini men dapat perhatian yang lebih besar agar siklus kekerasan tidak terjadi di Aceh.

Awalnya Kekecewaan Ekonomi

Tindakan kelompok Din Minimi mengangkat sen-jata semula didorong oleh kekecewaan ekonomi atas ke-ga ke-galan program reintegrasi menyediakan rumah, lahan pertanian dan pekerjaan kepada eks kombatan dan korban konflik. Di sisi lain, mereka disuguhi kemewahan hidup pa ra pemimpin dan rekan mereka yang memiliki akses kekuasaan. Karena itu, saat mendeklarasikan gerakannya pada 9 Oktober 2014, Din Minimi menegaskan bahwa pihaknya mengangkat senjata bukan untuk memusuhi aparat keamanan, melainkan “melawan pemerintah [Aceh] yang hanya memperkaya diri sendiri tanpa mem-perhatikan kehidupan rakyatnya’’.

Gubernur Zaini bereaksi keras terhadap aksi per la-wanan ini. Alih-alih membuka dialog, pemenang pilkada 2012 yang penuh kekerasan ini meminta aparat keamanan ber tindak tegas. Hal ini diaminkan oleh Polda Aceh yang segera menggelar operasi represif. Di tengah kejaran pi-hak Polri, pada 23 Maret 2015 kelompok Din Minimi mem bunuh dua staf intelijen TNI. Anehnya, insiden ini justru membuat TNI gencar melakukan persuasi. Dan-rem Liliwangsa mengunjungi rumah orang tua Din Mi ni-mi, sementara Pangdam Iskandar Muda menelepon Din Minimi dan membujuknya turun gunung. Aroma per-saing an di antara TNI dan Polri tidak bisa ditutupi lagi.

Pada tahap ini, persoalan telah kian pelik. Lembaga kajian IPAC pimpinan Sidney Jones melaporkan, pada akhir Desember 2014 Din Minimi dihubungi “Ayah Oh’’, perantauan Aceh di Norwegia yang merupakan aktivis ASNLF--lembaga sempalan GAM yang menolak perdamaian Helsinki 2005. Selain membicarakan donasi pembelian senjata, entah kesepakatan apa lagi yang mereka buat. Laporan itu juga menyebut kontak Din Minimi dengan Tgk. Mukhtar, sosok di balik kasus kamp militer untuk pelatihan teroris di Jantho, Aceh Besar.

Aksi kelompok Din Minimi pada perkembangannya telah menarik banyak pihak untuk “mengail di air keruh’’. Hal ini meningkatkan posisi tawar dan makna simbolik gerakan ini, dan memungkinkan pendefinisian ulang tuntutan-tuntutan mereka. Begitulah, kelompok ini ber-hasil menaikkan level pertaruhannya saat me ne go siasikan penyerahan diri mereka. Selain tuntutan awal pe nuntasan program reintegrasi dan pemberdayaan eko nomi, mereka menuntut sejumlah persyaratan lain yang memiliki bo-bot politik yang kental, seperti pemberian amnesti, pengusutan korupsi di Aceh oleh KPK, dan pengerahan pemantau independen pada pilkada 2017. Kasus Din Minimi tidak lagi sebatas kekecewaan ekonomi!

Preseden Sejarah

Kasus Din Minimi bukanlah gerakan perlawanan pasca-konflik yang pertama di Aceh. Ia memiliki preseden jauh lebih awal, yakni pada gerakan Sayid Ali Assegaf. Gerakan ini terjadi pada Maret 1948, tepat dua tahun usai Perang Cumbok dan rangkaian revolusi sosial yang menyertainya (Januari-Maret 1946).

Seperti diketahui, revolusi sosial 1946 ini berhasil menumbangkan kekuasaan uleebalang dan menobatkan para tokoh ulama modernis dan pemuda Pesindo pada tampuk kepemimpinan, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun militer. Dengan demikian, lahirlah rezim PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Aceh. Namun belum lama memerintah, elite penguasa baru ini segera diterpa badai kecaman dan perlawanan.

Dalam konteks Aceh, kejatuhan elite lama ternyata segera disusul oleh deligitimasi elite baru. Hal ini terjadi

(2)

16 MARET 2016

GATRA

61

masyarakat Aceh, di samping faktor ketegangan pusat-daerah (Ibrahimy 2001).

Pelajaran Penting

Tiga pelajaran berharga dapat dipetik dari dua kasus perlawanan terhadap pemerintah Aceh ini.

Pertama, belajar dari siklus kekerasan di Aceh pasca kolonial--revolusi sosial 1946, perlawanan Sayyid Ali 1948, dan pemberontakan Darul Islam 1953--faktor ketegangan internal di tubuh masyarakat Aceh ternyata me mainkan peran yang penting dalam memicu konflik ba ru. Demikian pula, kasus Din Minimi inidan se be -lumnya kasus bentrokan sesama eks kombatan GAM dalam pilkada 2006 dan 2012 serta pileg 2014--juga memperlihatkan kegentingan dari ketegangan inter nal di Aceh pasca MoU Helsinki 2005. Akar dan di na mi-ka ketegangan lomi-kal ini haruslah ditangani demi meng-hindarkan potensi kekerasan baru yang lebih besar di masa depan.

Kedua, pergolakan pasca-konflik di Aceh juga me-nun jukkan bagaimana soal kekerasan politik, korupsi dan dominasi ekonomi merupakan hal sensitif yang di sekitarnya sentimen ketidakpuasan dapat dikobarkan. Gerakan Sayyid Ali menentang rezim PUSA dan gerakan Din Minimi melawan rezim Zaini-Muzakir berada di pu-saran sentimen ketidakpuasan ini. Hal ini membuktikan bahwa di Aceh banyak orang mau mengambil risiko paling berat sekalipun untuk menjadikan rasa ketidakadilan ini sebagai basis mobilisasi perlawanan.

Ketiga, pemberian abolisi umum pada 1949 mem-buktikan bahwa siklus kekerasan tidak berhasil diputus karena akar masalahnya tidak dijawab. Sama halnya, dalam kasus Din Minimi, pemberian amnesti semata juga tidak menjawab akar persoalan yang justru diangkat kelompok ini sebagai dasar perlawanan mereka. Bukankah yang mereka gugat adalah ketidakberesan (juga korupsi) dalam program reintegrasi dan distribusi tanah kepada eks kombatan dan korban konflik? Bukankah komisi penyelesaian klaim harta benda (salah satu mandat MoU Helsinki) tidak kunjung terbentuk? Bukankah kekerasan politik selama pilkada 2012 dan pileg 2014 tidak pernah diungkap (yang mendasari tuntutan kelompok ini atas kehadiran pemantau independen pada pilkada 2017 mendatang)?

Tiga pelajaran ini menunjukkan bahwa kasus Din Minimi menuntut solusi yang lebih mendasar ketimbang sekedar amnesti. Dan solusi itu untuk porsi cukup besar terletak pada penanganan akar-akar dan sejarah panjang antagonisme internal di dalam masyarakat Aceh. Termasuk, dan terutama, penyelesaian ketegangan dan proses demokratisasi di tubuh GAM sendiri.

Kandidat PhD pada Universitas Amsterdam, Belanda; meneliti dinamika perdamaian di Aceh untuk topik disertasinya

Mohamad

Shohibuddin

lam tempo cukup pendek dan penuh kekerasan. Begitulah, ketegangan internal dalam struktur sosial Aceh yang me-mun cak pada revolusi sosial 1946 telah melahirkan ekses-ekses negatif, seperti penahanan dan pembunuhan di luar proses hukum (bahkan hingga jauh seusai revolusi sosial), proses penyelesaian harta benda rampasan yang partisan, dan sebagainya. Pada saat yang sama, gairah revolusi telah memupus peluang untuk rekonsiliasi dan pengungkapan sejarah. Situasi inilah yang dua tahun kemudian memicu gerakan Sayyid Ali yang menggoyang rezim PUSA, meski akhirnya dapat dipatahkan Tgk. Daud Beureueh yang men jabat Gubernur Militer. Para pemimpin gerakan ini di tangkap dan dipenjarakan hanya sehari sebelum aksi massa dilaksanakan pada 4 November 1948.

Pada 21 Desember 1949, abolisi umum diberikan oleh Pemerintah Pusat, baik kepada pihak-pihak yang terlibat dalam revolusi sosial 1946 maupun para

uleebalang dan oposan rezim PUSA yang selama ini di-ta wan. Namun, di-tanpa ada kebijakan untuk mengadi-tasi akar ketegangan sosial di Aceh, antagonisme di an ta-ra kedua kubu tetap membata-ra. Hal ini segeta-ra me ne-mu kan ajang pertikai an baru, yaitu pada tarik menarik otonomi Aceh selama transi si ketatanegaraan dari RIS ke RI (1949-1950)--dengan pihak PUSA ngotot

mempertahankan provinsi Aceh, sementa ra para pe nen-tang PUSA mendukung pembubarannya. Ajang per-tikaian baru ini pada gilirannya melatari siklus kekerasan berikutnya, yaitu Pemberontakan Darul Islam pada 21 September 1953. Pemberontakan yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh ini, dengan demikian, turut dilatari oleh ketegangan internal yang telah lama ada di antara

Pelajaran dari Kasus Din Minimi

GA

TRA

/AR

GY

PRAD

YPT

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Program- program tersebut di antaranya adalah: pertama, membuat Pusat Latihan Penataran Koperasi (Puslatpenkop) di Jakarta; kedua, membuat Balai

Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan perbedaan teknis budidaya usahatani padi ladang dan padi sawah, menganalisis perbedaan produktivitas dan pendapatan usahatani

Hasil plot pada diagram terner menunjukkan bahwa pola proporsi kelas ketahanan pangan rumah tangga pertanian tingkat kecamatan di Kabupaten Karawang memiliki ciri

Kas kecil digunakan untuk pengeluaran uang yang bersifat tunai dengan jumlah yang relatif kecil. Dengan saldo kas yang relatif tetap pada jumlah yang tidak terlalu besar,

Dengan latar belakang diatas, perumusan masalah yakni bagaimana membuat aplikasi berbasis web menggunakan teknologi ajax untuk mempermudah dalam pemblokiran situs- situs web yang

Of course, what book list would be complete without this self improvement book that is all about change.. Another book that is well worth the listen, but also

asli/fotokopi bukti kepemilikan/hak atas barang yang akan dilelang atau khusus lelang harta kekayaan selain agunan, apabila bukti kepemilikan/hak tidak dikuasai, harus ada