• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIA KONTEMPORER Muhammad Shoheh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INDONESIA KONTEMPORER Muhammad Shoheh"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HISTORIOGRAFI ISLAM

INDONESIA KONTEMPORER

Muhammad

Shoheh

Abstraksi

This writing concerns about the growing of Islamic historical science in the last priod of twentieet century, especially in Indonesian country.

In the last decade-especially in the post eighty, Indonesian Islamic Historiography has been necessary grown, even in qulitatif side or in quantity one. From the quantity side, its growing was pointed by boarning many Indonesia historical bibliographies written by Indonesian historian or abroad historian. And the qulitatif side its growing pointed by many disciplines and methodologies that used as an approace in his reasech. This approach was using many knowledges especially humaniora sceince as anthropology, sociology, politic, economic, etc. so the historical science becomes more sociologic and more anthropologic.

Kata Kunci : Historiografi, Sejarah Politik, Sejarah Sosial, Sejarah Global, Euro Sentris dan Indonesia Sentris.

Pendahuluan

Historigrafi Indonesia modern1 baru dimulai sekitar tahun 1957, sewaktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama

1

Historiografi Modern adalah penulisan sejarah yang telah menggunakan metode kritis akibat pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan. Disamping penghalusan tehnik penelitian dan munculnya ilmu-ilmu bantu baru, dua gejala lain juga ikut mempengaruhinya yaitu; makin terbukanya ilmu sejarah terhadap konsep-konsep yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial, juga makin berkembangnya cabang-cabang ilmu sejarah atau disiplin perantara yang menuntut keahlian khusus. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Historiografi

(2)

di Yogyakarta. Saat itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru, karena pada saat itulah pertama kali pertanyaan mendasar tentang historiografi Indonesia modern dimunculkan. Agenda seminar itu antara lain membicarakan tentang filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Sedangkan periode historiografi tradisional2 dianggap telah berakhir sejak ditulisnya buku Critische Beschouwing van de Sadjarah van Banten oleh Hoesein Djajadiningrat tahun 1913.3

Jika kita membahas tentang penulisan sejarah Islam di Indonesia, kebanyakan hanya ada dua periode yang banyak mendapat perhatian khusus, yaitu : periode masuknya Islam ke Indonesia dan zaman reformisme (pembaharuan) pada abad ke-20. Tentang zaman reformisme abad ke-20 sudah banyak dibahas baik dalam bentuk disertasi maupun lainnya seperti oleh Daliar Noer, Ibrahim Alfian, Taufik Abdullah dan lain-lain yang kesemuanya menulis tentang aliran modern dalam Islam pada abad ke-20. Sedangkan aliran lain, seperti tentang Nahdlatul Ulama, pernah ditulis dalam disertasi oleh Zamakhsyari Dhofier, meski terbatas tentang kajian tradisi pesantren. Maka jika dilihat rangkaian karya Daliar Noer (untuk periode tahun 1900-1942), H.J. Benda (untuk periode 1942-1945), dan B.J. Boland (untuk peiode tahun 1945-1970), maka tersedialah suatu seri yang memberikan gambaran lengkap tentang sejarah Islam di Indonesia pada abad ke-20.4

Setelah masuknya pengaruh bentuk penulisan sejarah sosial— terutama yang dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo--, sejarah dalam bentuk sejarah politik terus mendapat kritikan. Hal itu disebabkan karena tiga alasan, yaitu : kehidupan dan kebudayaan manusia tidaklah terbatas dalam bidang politik; politik hanyalah salah satu aspek saja dalam hidup manusia

2

Historiografi tradisional adalah historiografi yang berciri antara lain; a) Kebanyakan karya-karyanya amat kuat dalam hal geneologi, tapi lemah dalam hal kronologi dan detail-detail biografis, b). Bertitik tekan pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot dan penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama, c). Perhatian utama ditekankan pada kingship (konsep mengenai raja) dan menekankan unsur kontinuitas dan loyalitas ortodoks, d). Pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astrologis cenderung untuk mengenyampingkan keterangan-keterangan tentang sebab-akibat dan ide kemajuan (progress). Lihat Taufik Abdullah & A. Surdjomihardjo, Ibid., hlm. 8-9.

3

Buku ini mengkaji secara kritis tradisi penulisan babad dalam khazanah sastra, lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), cet. Ke-1, hlm. 1

4

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,

(3)

ini. Faktor selain politik sepeti geografis, iklim, lingkungan dan sebagainya justru banyak menentukan kehidupan manusia yang pada gilirannya menciptakan struktur yang koheren dan bertahan lama (long duree). Struktur-struktur inilah yang kemudian menentukan corak kehidupan ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Struktur itu pula yang kemudian menetukan kondisi tertentu mentalitas kehidupan fisik manusia. Selain itu sejarah politik adalah sejarah para elite dan penguasa atau sejarah tentang mainstream. Orang kecil, massa atau kelompok dipandang berada di luar mainstream. Karena itu sejarah sosial kemudian menjadi suatu alternatif di masa kontemporer.

Namun bagaimanakah perkembangan historiografi Islam Indonesia itu khususnya hingga masa sekarang ? apakah berjalan di tempat atau bahkan lebih maju mengikuti perkembangan kemajuan historiografi di dunia umumnya ? Untuk itulah disini akan sedikit kita bahas.

Perkembangan Historigrafi Indonesia Modern

Hingga tahun 1970, terjadi perdebatan tentang dua pendekatan yang digunakan dalam historiografi Indonesia. Kedua pendekatan tersebut adalah, pertama pendekatan yang bersifat Euro-sentris atau Neerlando-sentris,5 dimana sejarah Indonesia dipandang sebagai bagian dari sejarah kolonialisme Eropa, dalam hal ini ekspansi Belanda. Konsekswensinya adalah bahwa sejarah masyarakat pribumi Indonesia diposisikan pada tempat yang marjinal dan pejoratif. Hal ini dilakukan seiring dengan politik asosiasi Belanda yang bertujuan “membudayakan” masyarakat pribumi, karena mereka memandang bahwa masyarakat dan budaya pribumi masih bersifat “primitif” sehingga harus dibawa ke alam kebudayaan. Kedua adalah pendekatan yang bersifat Indo-sentris, yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai sentral atau pusat wacana sejarah. Bentuknya adalah dengan cara membalik seratus delapan puluh derajat historigrafi yang bersifat kolonial. Karena pendekatan yang kedua ini merupakan kebalikan dari pendekatan yang pertama, maka dasar dari keduanya adalah sama yaitu punya motif dan kepentingan ideologis tertentu. Untuk pendekatan pertama bermotif orientalisme, sedang yang kedua bermotif integrasi politik negara Indonesia. Hingga saat itu, tampak bahwa sejarah selain digunakan juga disalahgunakan (the use and abuse of history) untuk kepentingan ideologi tertentu.

Pada beberapa dekade terakhir—terutama pasca 80-an), historiografi Indonesia mengalami perkembangan yang penting, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif perkembangan itu

5

(4)

ditandai dengan lahirnya banyak karya sejarah Indonesia baik yang ditulis oleh sejarawan Indonesia maupun sejarawan asing. Dapat disebutkan di sini antara lain; Gerakan Modern Islam di Indonesia (1900-1942), karya Daliar Noer (1980), Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1942), karya T. Ibrahim Alfian (1979), Bulan Sabit dan Matahari Terbit, karya Harry J. Benda (1980), Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, karya Zamakhsyari Dhofier (1982), Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, karya Karel A. Steenbrink (1985), Politik Islam Hindia Belanda, karya H. Akib Suminto (1985), Allah dan Manusia dalam Persepsi Syeikh Nuruddin al-Raniri, karya A. Daudy (1983), Islam di Sulawesi Selatan, karya Matullada (1983), Dinamika Islam di Indonesia, karya M. Rusli Karim (1985), dan masih banyak lagi karya yang mengupas tentang Islam di Indonesia.

Sedangkan secara kualitatif perkembangan itu ditandai dengan makin beragamnya penggunaan metodologi dan pendekatan yang semakin kompleks, yang melibatkan banyak ilmu-ilmu bantu—khususnya ilmu-ilmu humaniora—seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi dan lain-lain. Sehingga sejarah menjadi semakin sosiologis (sociological history) atau semakin antropologis (anthropological history). Berkaitan dengan hal itu, Carr—seorang sejarawan Inggris—pernah berucap seperti yang dilansir Taufik Abdullah: “the more sociological history becomes, and the more historical sociology becomes the better for both”.6 Demikianlah salah satu kecendrungan dari perkembangan historiografi kontemporer yang sering diistilahkan dengan sebutan “new history” (sejarah baru) yang bersifat sejarah kritis, sebagai kontras dari “old

history” (sejarah konvensional) yang bersifat naratif, deskriptif atau ensiklopedis, yang cenderung berbentuk sejarah politik.7 Dalam hal ini Henri Pirenne pernah berkata:“Tanpa hipotesis dan sintesis, sejarah tetap merupakan hiburan bagi antiquarian. Sedang tanpa kritik dan

pengetahuan, sejarah akan kehilangan jati diri dalam ranah fantasi”

Sejarah Sosial Sebagai Sebuah Kecebderungan Historigrafi Kontemporer

6

EH. Carr, What is History ?, London-Publican Books, 1964, hlm. 84 dalam Taufik Abdullah, Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi, makalah pada Konggres Sejarah Nasional, 1996, hlm. 29

7

Azyumardi Azra, Historiografi Kontemporer Indonesia, dalam Henry

(5)

Menurut Azra, perkembangan “new history” cenderung dipahami sebagai “sejarah sosial” yang lebih menekankan kajian dan analisa atas faktor-faktor dan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa sejarah itu sendiri. Ini berarti bahwa sejarah tercipta dan berkembang tidak hanya ditentukan oleh faktor politik dan ekonomi, tetapi yang utama adalah faktor sosial.

Sejauh ini terdapat tiga pengertian mengenai sejarah sosial itu. Pertama, sejarah sosial diartikan sebagai sejarah orang-orang miskin dan golongan kelas bawah atau juga gerakan orang-orang miskin, yang selama ini dianggap sebagai berada di luar mainstrem sejarah. Kedua, sejarah sosial didefinisikan lebih luas lagi, mencakup sejumlah aktifitas manusia yang luas—selain politik--, seperti kebiasaan (manners), adat istiadat (customs) dan kehidupan sehari-hari (everyday life) atau kultur (sittengeschicthte; Jerman).8 Ketiga, sejarah sosial merupakan kombinasi dari sejarah ekonomi, dengan berdasarkan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan menjelaskan banyak hal tentang struktur dan perubahan dalam masyarakat khususnya tentang kelas dan kelompok sosial.9 Atau dengan kata lain sejarah sosisal diartikan sebagai sejarah struktural (structural history) dan sejarah total (total history).

Namun ada juga yang membedakan definisi sejarah sosial itu sebagai berikut, dimana sejarah sosial berarti sejarah rakyat / masyarakat, sejarah sosial juga berarti sejarah yang asal bukan sejarah politik. Ada juga yang mendefinisikannya dengan pengertian bahwa sejarah sosial adalah sejarah yang menggunakan pendekatan yang sebanyak-banyaknya. Jadi intinya adalah bahwa sejarah sosial merupakan sejarah yang berusaha mengungkap latar belakang dan sebab-musabab dari suatu peristiwa dari berbagai segi dan pendekatannya atau dengan kata lain suatu upaya mencari dan menginventarisir sebab-sebab sebanyak-banyaknya lalu menganalisanya mana sebetulnya sebab-sebab yang lebih menonjol dibanding dengan sejumlah sebab yang demikian banyaknya.10

Untuk mencontohkan pengertian pertama, pada akhir 80-an sejarawan Sartono Kartodirdjo mendefinisikan sejarah sosial sebagai

8

Eric Hobsbawm mengistilahkan nya dengan istilah Inventing Tradition, lihat Eric Hobsbawm, Introduction: Inventing Traditions, hlm. 2

9 Azyumardi Azra,Historiografi Kontemorer…,Ibid .,

hlm. 65 lihat juga kata pengantar Azyumardi Azra pada Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci :Hijaz (Mekkah dan Madinah 1800-1925), (Jakarta: Logos, 1999), cet. Ke-1, hlm. X-XI

10

(6)

sejarah mengenai “gerakan-gerakan sosial” (social movements) yang muncul dalam sejarah. Lewat karyanya yang berjudul The Peasants‟ Revolt of Banten in 1888,11 Sartono bahkan mendefinisikan secara lebih sempit lagi dengan batasan bahwa sejarah gerakan-gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan-gerakan yang cenderung marjinal dan menyempal dari arus utama masyarakat atau tatanan sosial-politik yang mapan yang antara lain dicontohkan dengan gerakan petani di Banten dan gerakan-gerakan radikal dan rahasia SI.

Sejarah Sosial atau Sejarah Total

Belakangan terbit salah satu bentuk historiografi Indonesia dalam kategori diatas, karya Denys Lombard yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya, 3 jilid (sedang judul aslinya dalam bahasa Prancis berjudul, Le

Carrefour Javanais: Essai d‟histoire Globale, pertama kali terbit tahun 1990).

Karya lainnya adalah tulisan Anthony Reid, Southeast Asia in the Age Commerce 1450-1680, yang terdiri dari dua jilid; jilid pertama The Land below the Winds (1988); dan jilid kedua, Exspansion and Crisis (1993).

Kedua karya tersebut bertitik tolak dari tradisi historiografi Prancis yang inovatif yang berakar dari tadisi Braudelian dan mazhab Annales yang secara signifikan telah banyak mempengaruhi perkembangan penulisan sejarah di berbagai tempat. Dalam kedua karya tersebut “Nusa Jawa”—menurut istilah Lombard untuk mengatakan Nusantara—atau “Negeri Bawah Angin”—menurut istilah Reid, digambarkan dengan perkembangan historisnya sebagai suatu wilayah yang tidak vakum ataupun isolatif, melainkan selalu terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kawasan lain. Karena itu sejarah Indonesia harus ditempatkan dalam perspektif sejarah dunia umumnya; bukan berdiri sendiri. Maka secara implisit diakui bahwa sejarah Indonesia merupakan bagian dari sejarah dunia. Dari sini tampak bahwa historiografi Indonesia makin cenderung bersifat global dan total.

Bila ditinjau dari segi cakupannya, sejarah sosial yang ditulis baik oleh Reid maupun Lombard sesungguhnya amatlah luas dan kaya. Istilah “Nusa Jawa” yang digunakan Lombard bukan berarti terbatas “Pulau

11

(7)

Jawa” melainkan mencakup seluruh “Nusantara” dengan fokus utamanya Jawa Tengah—sebagai pusat sejarah dan kebudayaan Jawa. Karena baik karya Lombard maupun Reid menggunakan disiplin ilmu-ilmu sosial seperti ; politik, ekonomi, antropologi, etnografi, geografi dan lain-lain maka kedua karya tersebut termasuk kedalam karya sejarah sosial dalam pengertian ketiga, seperti yang disebutkan diatas.

Sejalan dengan perkembangan sejarah sosial yang telah diungkapkan tadi, sejarah global atau sejarah total (total history) merupakan bentuk lain dari “New History”. Meski belum banyak karya sejarah Indonesia yang menggunakan pendekatan sejarah total, dua karya di atas tampaknya kemudian banyak menjadi panutan untuk bentuk penulisan sejarah Indonesia berikutnya. Dengan pendekatan sejarah total, Lombard dengan leluasa membahas berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam perkembangan historisnya, baik dari segi geografi, pelapisan sosial, demografi, estetika, ekonomi dan perdagangan, birokrasi, peranan wanita dan lainnya.

Karya Historigrafi Islam Indonesia Kontemporer

Berkaitan dengan Islam di Indonesia, kajian tentang sejarah Islam di Indonesia belakangan juga tidak lagi dilihat dalam perspektif lokal, melainkan juga cenderung dipandang dalam perspektif global dimana sejarah Islam di Indonesia selalu berkaitan erat dengan perkembangan historis Islam di wilayah lainnya.

Dapat dicontohkan disini karya Azyumardi Azra (1992) yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Di mana ia melihat bahwa perkembangan Islam di Indonesia, khususnya pada abad 17 dan 18 berkaitan dengan kebangkitan jaringan ulama di Makkah dan Madinah dan banyak bagian dunia muslim lainnya. Karena itu—tambahnya lagi—kajian-kajian tentang Islam di Indonesia yang tidak memperhitungkan faktor ini akan gagal memahami Islam di Nusantara secara akurat.12

Lewat penelitiannya, Azra mengemukakan bahwa sebagian besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini, yang berasal dari berbagai wilayah dunia muslim membawa berbagai tradisi keilmuan Mekkah dan Madinah. Terdapat usaha-usaha sadar di antara ulama dalam jaringan itu untuk memperbaharui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam. Tema pokok pembaharuan mereka adalah merekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan ulama,

12

(8)

semangat pembaharuan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya di banyak belahan dunia muslim.

Penelitiannya tersebut antara lain menyimpulkan13 : Bahwa kemakmuran kerajaan-kerajaan muslim di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan Internasional, memberikan kesempatan kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Muslim-Melayu Indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur-Tengah. Juga berkat pengamanan yang diberikan Turki Utsmani pada jalur perjalanan haji, membuat perjalanan naik haji dari Nusantara semakin baik. Sehingga hubungan ekonomi, politik dan sosial yang makin baik itu kemudian membawa pada makin meningkatnya jumlah jamaah haji dari Nusantara dan makin banyak pula para penuntut ilmu yang menetap di sana.

Pembaruan Islam di Nusantara dimualai sejak paruh kedua abad ke-17 bukan pada abad ke-19 atau 20. Pengembangan gagasan pembaharuan berasal dari transmisi melalui jaringan ulama yang melibatkan proses-proses yang amat kompleks. Didalamnya terdapat saling silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil dari proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang Hadits dan Tasawwuf. Karenanya, Islam di Melayu-Indonesia pada abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang berorientasi tasawwuf, melainkan juga Islam yang berorientasi syariat (hukum). Sebelumnya Islam mistislah yang dominan.

Neo-Sufisme berbeda dari jenis tasawwuf sebelumnya yang sebagian besarnya merupakan semacam penafsiran mistiko-filosofis terhadap Islam.sementara mempertahankan doktrin-doktrin mistisisme filosofis tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis tasawwuf, neo-sufisme juga memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya kepada syari’at. Selain itu neo -sufisme juga mendorong para sufi untuk bersikap aktif dalam hal duniawi sebagai salah satu langkah menuju cita-cita mistis.

Murid-murid Jawi di Haramayin merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslimin Melayu Indonesia. Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang menarik tentang berbagai jaringan intelektual-keagamaan yang terdapat di antara mereka dengan ulama Timur-Tengah.

13

(9)

Azra juga menolak anggapan yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia tidak mempunyai tradisi keilmuan yang mantap. Justru lewat penelitiannya ini ia membuktikan bahwa setidaknya sejak abad ke-17 dan 18 hubungan di antara Nusantara dan Timur-Tengah bersifat keagamaan dan keilmuan. Azra juga menolak anggapan yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia ini adalah “Islam yang tidak sebenarnya” karena telah bercampur dengan budaya/tradisi lokal. Menurutnya meski Islam di Nusantara ini berbeda dengan yang ada di Timur-Tengah, bukan berarti Islam yang ada di Nusantara ini bukan yang sebenarnya. Justru karena sikap yang toleran terhadap tradisi—sejauh yang tidak bertentangan dengan akidah Islam-itulah sehingga Islam cocok untukl setiap tempat.

Karya lain di antaranya dapat disebutkan disini, seperti karya Mona Abaza yang berjudul Islamic Education, Perception and Exchanges: Indonesian Students in Cairo (1945-1980), yang mengkaji tentang Mahasiswa Indonesia di Kairo. Kajian abaza ini dapat disebut sebagai sejarah kontemporer mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Kairo dan peranan mereka setelah kembali ke Indonesia. Meski demikian, kajian Abaza pada dasarnya sama dengan kajian Azra yang menekankan tentang proses yang disebut Abaza sebagai “Cultural Exchanges”, atau yang disebut Azra sebagai “Transmission of Islamic Learning”.

Menurut Azra, kajian Abaza sesungguhnya belum tuntas, karena ia tidak membahas panjang lebar tentang peranan dan pengaruh alumni al-Azhar di negeri ini. Karena itu karya Abaza ini sesungguhnya masih bersifat “pendahuluan” yang masih perlu dikaji secara mendalam dan lebih luas lagi. Dikatakan masih bersifat pendahuluan, dikarenakan Abaza justru lebih menekankan faktor pertukaran kultural di antara masyarakat-masyarakat Muslim yang tersebar di berbagai penjuru dunia dengan Kairo sebagai pusat pertukarannya, khususnya dengan masyarakat muslin-Indonesia.14 Dalam hal ini Abaza memusatkan pembahasannya pada lingkungan sosial, kultural, akademis intelektual dan politik di Kairo dan Timur-Tengah umumnya yang terdapat dalam proses pertukaran kultural tersebut, yang pada gilirannya membentuk dan mempengaruhi corak dan kecendrungan intelektual dan sikap mahasiswa Indonesia di Kairo, yang

14

(10)

selanjutnya sedikit banyak mereka bawa ke Indonesia ketika mereka telah menyelesaikan studinya.15

Menurut Abaza, kajian tentang pertukaran kultural masyarakat-masyarakat muslim relatif masih “terbelakang” dalam keseluruhan kajian tentang Islam dan masyarakat muslim pada umumnya. Sebagai contoh lainnya dapat disebutkan disini, yaitu; Para Pelajar Indonesia dan Malaya di Kairo pada tahun 1920-an karya William Roff, studi awal tentang Hubungan Jurnal dan Kelompok al-Manar Kairo dengan Dunia Melayu Indoesia, karya Jutta E. Bluhm, dan lain-lain. Dilihat dari periode waktunya, tampaknya karya Snouck Hurgronje tentang “Masyarakat dan

„Ulama Jawi di Makah pada akhir abad ke-19” tetap mempunyai posisi yang tak tergantikan.

Kajian lain yang juga patut disebut adalah studi von der Mehden tentang interaksi dan hubungan antara Islam di Asia Tenggara dengan Islam di Timur-Tengah. Karya ini antara lain mengungkap dinamika interaksi di antara kedua wilayah Muslin ini dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan intelektual. Kajiannya ini cukup berhasil dalam menyingkap hubungan di antara kedua wilayah tersebut dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, meski beberapa segi memiliki kelemahan.

Penutup

Sesunguhnya kecendrungan historiografi Islam Indonesia khususnya dan historiografi Indonesia umumnya kearah sejarah sosial masih berada pada tahapan awal bila dibandingkan dengan perkembangan sejarah sosial di dunia. Namun semoga perkembangan itu akan mendorong kepada perkembangan dan kemajuan kajian sejarah Islam yang lebih luas dan lebih kompleks lagi. Pendekatan dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu seperti psikologi, geografi, ekologi, dan ilmu bantu lainnya yang belum banyak diterapkan dalam banyak penelitian tampaknya menjadi tantangan untuk kita semua. Wassalam.

15

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996), cet. Ke-2

---, Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi, makalah pada Konggres Sejarah Nasional, 1996

Abdullah, Taufik & Surjomihardjo, A., (Ed.), Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arah dan Perspektif, (Jakarta, Gramedia, 1985) Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1999),

cet. Ke-3

Azyumardi Azra, Akar dan Kecendrungan Intelektualisme Islam Indonesia: dari Haramayn ke Kairo, (Makalah seminar Nasional tentang Strategi Kebudayaan Islam, kerjasama PPIM dan Forum il miah Festikal Istiqlal II 1995, Jakarta 13 Nopember 1995)

---, Historiografi Kontemporer Indonesia, dalam Henry Chambertlair dan Hasan Mu’arif Ambari, Panggung Sejarah, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1999)

---, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung :Mizan, 1994), cet. ke-1

Kartodirdjo, Sartono, Pembrontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan dan Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus mengenai Gerakan Sosial di Indonesia,(Terj.), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), cet. Ke-1

Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1

Referensi

Dokumen terkait

Based on the result it can be concluded that teaching reading comprehension by using Reciprocal teaching technique was sufficient to contribute a significant

Pengaruh laju ertumbuhan nutrisi 8 ada Gambar 10 menunjukkan ertumbuhan terbaik ada suhu 32 dengan luas daun 86,62 cm. Pengaruh laju ertumbuhan nutrisi 5 mS cm ada

organised by MDF Training & Consultancy, established in Ede, The Netherlands. Ede, 02 October

Sehubungan dengan rumusan masalah, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menguji secara empiris ada pengaruh antara debt to equity ratio dan profitabilitas

Jika wajib pajak sudah memahami tentang sanksi perpajakan, dan wajib pajak juga mempunyai kesadaran yang tinggi akan kewajibannya untuk ikut serta berkontribusi dalam

Untuk pembuangan sampah non-medis atau biasa disebut sampah domestik diperlukan suatu konstruksi tempat pengumpulan sampah sementara yang terbuat dari dinding semen atau

Kategori sekolah yang dikunjungi adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), yang terdiri dari Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),

BAP-S/ M mengundang Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama untuk menghadiri rapat pleno penyusunan rencana jumlah dan alokasi