INTEGRITAS PEMILU DAN PEMILU BERINTEGRITAS1 *Ibnu Sina Chandranegara2
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Email : [email protected]
Abstraksi
Pasca perubahan UUD 1945 medio 1999-2002, maka kontentasi mengenai pemilu terus diperbaiki dalam tataran konstitusi maupun legislasi dan regulasi. Diselenggarakannya pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung semakin membuka keran penjewantahan kedaulatan yang berada ditangan rakyat. Selain itu, dengan pembenahan di berbagai sisi dalam pemilihan umum legislatif semakin memberikan porsi yang fundamental dalam pembangunan alam demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, setelah 19 tahun reformasi bergulir, masalah kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu masih jauh dari kedewasaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kualitas penyelenggaraan yang justru memburuk. Bagi publik, integritas penyelenggara pemilu menjadi kunci yang paling menentukan kualitas kontestasi lima tahunan tersebut. Kunci itu terletak pada integritas, bersih, dan netralitas penyelenggara pemilu. Dengan ketiga modal tersebut, penyelenggara pemilu diyakini mampu menjalankan proses kontestasi politik sebagai ajang politik yang jujur, adil, transparan, dan bersih.
Kata Kunci: Integritas. Pemilu. Pemilu berintegritas
Pendahuluan
Gagasan negara yang demokratis dan konstitusional terus bergelut dalam
segala upaya merumuskan konsep negara indonesia. Meskipun terdapat gagasan
yang menghendaki negara yang kuat (strong state), akan tetapi dalam kenyataannya, alam sistem bernegara selalu menunjukan adanya tendensi untuk
menyelenggarakan secara demokratis. Memang, sebagian besar sejarah
pemerintahan Indonesia sebagian besar diselenggarakan dengan rezim yang
otokratis, akan tetapi aspirasi pemerintahan yang demokratis dan konstitusional
selalu menemukan jalannya. Sejak maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945,
kemudian diteruskan dengan diselenggarakan pemilu Tahun 1955 hingga
1
Disampaikan pada Seminar Nasional & Call for Papers, “Pemilu 2019: Momentum
Penguatan Demokratisasi di Indonesia” di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 31 Maret 2018
2
pemilu pasca reformasi menunjukkan adanya upaya terus menuangkan gagasan
negara demokratis, meskipun sebagaian besar pemilu khususnya dimasa orde baru
jauh dari makna demokratis yang sesungguhnya.3
Pasca perubahan UUD 1945 medio 1999-2002, maka kontentasi mengenai
pemilu terus diperbaiki dalam tataran konstitusi maupun legislasi dan regulasi.
Diselenggarakannya pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
semakin membuka keran penjewantahan kedaulatan yang berada ditangan rakyat.
Selain itu, dengan pembenahan di berbagai sisi dalam pemilihan umum legislatif
semakin memberikan porsi yang fundamental dalam pembangunan alam
demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, setelah 19 tahun reformasi bergulir, masalah
kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu masih jauh dari kedewasaan. Hal
ini tidak bisa dilepaskan dari kualitas penyelenggaraan yang justru memburuk.
Bagi publik, integritas penyelenggara pemilu menjadi kunci yang paling
menentukan kualitas kontestasi lima tahunan tersebut. Kunci itu terletak pada
integritas, bersih, dan netralitas penyelenggara pemilu. Ketiganya disebutkan oleh
mayoritas responden jajak pendapat Kompas pekan lalu. Dengan ketiga modal
tersebut, penyelenggara pemilu diyakini mampu menjalankan proses kontestasi
politik sebagai ajang politik yang jujur, adil, transparan, dan bersih. Persoalan
tentang integritas penyelenggara pemilu ini sendiri menyeruak setelah publik
dikagetkan dengan kasus penangkapan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah
Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ade Sudrajat dan Ketua Panwaslu Garut Heri
Hasan Basri oleh Satuan Tugas Anti Politik Uang Badan Reserse dan Kriminal
Polri dibantu Kepolisian Daerah Jawa Barat. Selain keduanya, ditangkap juga
seorang anggota tim sukses salah satu pasangan calon dalam Pilkada Garut.
Kedua orang penyelenggara pemilu tersebut diduga menerima suap dari salah satu
3
tim sukses terkait penetapan pasangan calon peserta Pilkada Garut. Penangkapan
penyelenggara pemilu ini mengingatkan kembali pada peristiwa tertangkapnya
komisioner KPU sekitar 13 tahun silam karena menyuap auditor BPK yang
memeriksa pengadaan logistik Pemilu 2004. Kondisi inilah yang kemudian
menjadikan tulisan ini bertujuan untuk menguraikan gagasan strategi dalam
mencapai pemilu yang berintegritas.
Malpraktik Pemilu
Meskipun adanya kemajuan kadar integritas sejak pemilu 2014, nyatanya
masih ditemukan atau terdengar cerita malpraktik pemilu untuk memenangkan
kontestasi dengan manipulatif setelah. Sehingga tidak heran dengan ungkapan
“memang dari dulu sudah seperti itu…..” menjadi laziman yang seharusnya tidak terjadi. Para peserta pemilu dan tim sukses pun ternyata melakukan inovasi teknis
pelaksanaan pemilu semakin komplek dan canggih untuk melakukan malpraktik
manipulasi proses dan hasil pemilu pada tingkat akar rumput.
Penggunaan terminologi malpraktik dapat dimaknai secara umum umum
sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai
arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun
arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau in materiil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Sehingga malpraktik
pemilu adalah berkenaan dengan adanya pelaksanaan atau tindakan yang salah
dalam penyelenggaraan pemilu.
Apabila merujuk kepada Viryan, secara umum terdapat tiga kategori
kepada pemilih dan; ketiga, Penyelenggara pemilu tidak berintegritas.4 Pemilu tanpa pemilu yang dimaksud sebagai praktik kegiatan pemungutan dan
penghitungan suara tidak dilakukan pada hari pemungutan dan penghitungan
suara. Pemilu tanpa pemilu dikarenakan masyarakat sekitar belum teredukasi
demokrasi dan praktik pemilu tanpa pemilu telah berjalan sejak pemilu masa
sebelumnya. Kalau pun terjadi, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara
di TPS dilakukan tidak dengan menggunakan prosedur teknis pelaksanaan pemilu
sebagaimana umumnya dilaksanakan. Pelaksanaan pemilu pada tempat tersebut
diduga terjadi dalam tiga bentuk sebagai berikut (1) Tidak dilakukan pemungutan
suara, oknum KPPS atau PPS langsung mengisi formulir C1; (2) Pemungutan dan
penghitungan suara dilakukan sepenuhnya oleh oknum KPPS; (3) Pemungutan
suara diwakilkan, seperti: satu orang bisa mewakili seluruh keluarganya.
Malpraktik ini sebagai warisan dari pemilu sebelumnya. Realitas pemilu di daerah
tertentu mengejutkan karena pelaksanaan pemilu tidak sesuai regulasi
menunjukkan masih terdapat sejumlah daerah yang minim pemahaman tentang
pemilu dan demokrasi. Minimnya pemahaman tersebut bisa dikarenakan akses
pendidikan demokrasi atau pendidikan pemilu belum efektif sampai ke daerah
tersebut atau memang terdapat upaya pembiaran masyarakat tidak memahami
pemilu (pembodohan). Dimungkinkan ada elite politik lokal melestarikan kondisi
ini untuk menjadikannya sebagai kantong suara yang pasti dimilikinya pada ajang
pemilihan umum. Pada konteks ini, penyelenggara pemilu baik KPPS, PPS atau
pengawas pemilu nyaris tak berdaya untuk menjalankan tugasnya dengan baik.
Pendidikan pemilih atau sosialisasi jelang pemilu untuk daerah-daerah seperti ini
tidaklah cukup. Malpraktik ini penting menjadi perhatian para pihak untuk
melakukan kegiatan pendidikan demokrasi/pemilu pada masa post electoral
secara terfokus.
Kedua, praktik politik uang terjadi sebagai bentuk menggunakan uang untuk memenangi pemilihan dengan membeli suara pemilih. Suara pemilih dinilai
dengan sejumlah rupiah. Politik uang kerap disebut ibarat kentut, ada namun sulit
4
untuk dibuktikan. Praktik politik uang yang massif akan menghasilkan elite
politik yang terpilih berdasarkan uang bukan berdasarkan kepercayaan pemilih.
Praktik politik uang cenderung berbanding paralel dengan kekuasaan yang korup
dan membangun relasi politik menjadi transaksional serta pragmatis.Politik uang
pada akhirnya dapat membunuh sistem demokrasi. Data Puspen Kemendagri
bulan agustus 2014, sejak 2005-agustus 2014 terdapat 3,169 anggota DPRD dan
331 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Diperlukan upaya ekstra agar
praktik politik uang dapat diminimalisir pada pemilihan umum selanjutnya
dengan membuat regulasi yang berbasis pada prinsip follow the money.
Ketiga, penyelenggara pemilu tidak berintegritas menjadi bagian dari masalah fundamental pelaksanaan pemilu. Laksana permainan sepakbola, wasit
yang tidak netral dapat berdampak pada kemenangan yang tidak fair dan sebagian berdampak pada konflik kekerasan yang menciderai nilai-nilai demokrasi.
Meskipun pada konteks ini DKPP dianggap mampu berperan secara efektif dalam
menjaga kehormatan penyelenggara pemilu. Namun bersamaan dengan itu masih
terjadi malpraktik pemilu pada sejumlah daerah serta oknum penyelenggara
pemilu yang perlu menjadi perhatian untuk pelaksanaan pilkada yang akan
dimulai tahun 2015 serta untuk pemilu 2019 yang lebih baik.5
Mengapa Integritas Pemilu Penting?
Konsep integritas pemilu telah dimaknai beragam oleh para ahli, secara
positif – memenuhi seperangkat kriteria tertentu, atau secara negatif – melanggar
5
atau tidak memenuhi seperangkat kriteria.6 Definisi-definisi yang positif, menggunakan berbagai istilah yang berbeda, mulai dari pemilu yang bebas, adil
dan bersih, pemilu yang demokrastis, dan juga pemilu yang berkuatitas dan
integritas pemilu. Salah satu definisi secara positif dari konsep integritas politik
ini, misalnya, dikemukakan oleh Muck dan Verkuilen dengan menggunakan
istilah pemilu yang demokratis (democratic elections).7 Demikian halnya dengan
definisi-definisi yang negatif dari integritas pemilu, menggunakan istilah yang
beragam pula seperti malpraktek pemilu, pemilu yang manipulatif, pemilu yang
penuh dengan pelanggaran , korupsi atau rekayasa. Definisi malpraktek pemilu
dari Birch misalnya, menjelaskan bahwa “the manipulation of electoral processes
and outcomes so as to substitute personal or partisan benefit for the public interest”.8 Dengan menggunakan istilah pelanggaran pemilu (electoral fraud), Lopez-Pintor menjelaskan, “any purposeful action taken to tamper with electoral activities and election-related materials in order to affect the results of an election, which may interfere with or thwart the will of the voters”.9
Dengan istilah yang sama, Lehoucq menyatakan bahwa electoral fraud
merupakan “clandestine efforts to shape election results”.10 Dari beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa pemilu yang berintegritas tinggi
merupakan pemilu yang memenuhi beragam norma tertentu. Sebaliknya, pemilu
yang berintegritas rendah adalah pemilu yang melanggar beragam norma tertentu.
Namun demikian, perlu ditekankan di sini bahwa definisi-definisi yang positif
lebih menekankan kepada beragam norma yang perlu dipenuhi, sementara definisi
6
C. v. Ham. Getting elections right? Mea suring Electoral Integrity. Democratization, 22(4), hlm 714-737
7
Muck dan Verkuilen mengemukakan “First, elections must be inclusive, [...] that is, all citizens must be effectively enabled to exercise their right to vote in the electoral process; second; elections must be clean, in other words, voters’ preferences must be respected and faithfully registered; third; elections must be competitive, that is, they must offer the electorate an unbiased choice among alternatives; and fourth; the main public offices must be accessed through periodic elections, and the results expressed through the citizens’ votes must not be reversed. [Muck dan Verkuilen, Conceptualizing and Measuring Democracy: Evaluating Alternative Indices. Comparative Political Studies, 35(5), hlm 5-7]
8
Ham, Op. Cit
9Ibid 10
yang negatif lebih menitikberatkan pada aspek aktor, niat, dan juga konsekuensi
dari tindakan pelanggaran pemilu. Pemaknaan konsep integritas pemilu juga
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang sifatnya universal atau kriteria
khusus. Menurut Ham, pendefinisian integritas pemilu yang menggunakan
pendekatan universal merujuk pada pemaknaan konsep tersebut berdasarkan
standar demokrasi yang universal seperti halnya teori demokrasi dan/atau hukum
internasional.11 Sementara, pendefisinisian dengan menggunakan kriteria khusus, memaknai integritas pemilu dengan merujuk pada aspek keterlibatan warga
negara dan partai politik. Misalnya, definisi yang dikemukakan oleh Pastor
dengan menggunakan istilah flawed election (pemilu yang salah), sebagai “an
election in which some or all of the major political pa rties refuse to participate in the election or reject the results”.12
Norris dalam bukunya menjelaskan tentang
pentingnya integritas pemilu untuk berbagai aspek, seperti legitimasi, karena
melalui pemilu yang berintegritas, akan terbangun kepercayaan publik terhadap
berbagai lembaga politik.13 Demikian halnya aspek perilaku politik massa, di mana integritas pemilu dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu
(voter turnout), keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mampu meredam aktivitas protes massa. Norris juga menyebutkan bahwa
integritas pemilu dapat memfasilitasi penguatan kualitas representasi politik.
Konsekuensi lainnya dari integritas pemilu adalah untuk mengatasi konflik dan
keamanan dan manfaat lainnya untuk system politik.
Lebih lanjut, data yang disajikan Norris juga menunjukkan bahwa
integritas pemilu berkorelasi dengan transisi rezim, proses demokratisasi dan
reformasi institusi yang efektif dan damai.14 Sebaliknya, pemilu yang penuh dengan kecurangan (flawed elections) melemahkan kepercayaan di dalam
11
Ibid
12
Definisi lain dengan kriteria khusus, juga dikemukakan oleh Elklit dan Reynolds sebagai berikut: “The quality of an election can [...] be conceptualized as the degree to which
political actors at all levels and from different political strands see the electoral process as legitimate and binding.” [Elklit & Reynolds, Judging Elections and Election Management Quality by Process. Representation, 2014, hlm 201]
13
Frank Norris & Martínez, Measuring Electoral Integrity around the World: A New Dataset. Political Science & Politics, 47(4), 2014., hlm 789
14
lembaga-lembaga politik. Pada gilirannya, akan berimplikasi pada rendahnya
partisipasi masyarakat pada saat pemungutan suara, dan bahkan seringkali
memicu protes, kerusuhan masa dan kekerasan. Kontestasi semu juga akan
memperburuk ketegangan antar pendukung pemenang dan yang kalah, dan pada
akhirnya melemahkan legitimasi sistem demokrasi.15 Norris lebih lanjut mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu, “persistent and sustained public
disaffection with electoral malpractices, coupled with discontent with the broader political system, have the capacity to mobilize significant reforms to the electoral process”. Bahkan di beberapa kasus dalam studi Norris, ketidakpuasan masyarakat yang berlarut dapat menjadi salah satu katalis menuju transisi rezim
yang revolusioner.16 Demikian halnya lehoucq dengan memfokuskan kepada kegagalan dalam mencapai pemilu yang berintegritas disebabkan oleh terjadinya
beragam pelanggaran (electoral fraud) dan manipulasi suara dalam berbagai bentuknya (ballot-rigging). Menurut Lehoucq, kondisi tersebut dapat mengakibatkan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat, menguatnya sentimen
publik, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas demokrasi dan
mendiskreditkan pemilu.17 Puncaknya adalah akan mengikis dan melemahkan sistem demokrasi secara keseluruhan. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
beberapa ahli lainnya tentang dampak negatif yang diakibatkan oleh pemilu yang
tidak beritegritas. Selain akan menghilangkan kompetisi antar peserta pemilu,
menguatnya apatisme pemilih, dan ketidakpercayaan terhadap berbagai institusi
demokrasi, pemilu yang dipenuhi oleh berbagai pelanggaran pada akhirnya akan
membatalkan pemilu itu sendiri sebagai sarana untuk mencapai akuntabilitas dan
legitimasi pemimpin yang terpilih.18
Standar internasional ini telah digunakan untuk mengukur integritas
pemilu diberbagai negara di dunia melalui The Electoral Integrity Project pada
15
Birch & Muchlinski, Electoral Violence: Patterns and Trends. pada H. A. Garnett, & M. Zavadskaya, Electoral Integrity and Political Regimes. New York: Routledge, 2018, hlm 118
16
Sahoo, Why Electoral Integrity Matters, New York: Routledge, 2015, 515 17
Lehouq, Op. Cit
18
tahun 2014, yang dilaksanakan oleh para ahli yang independen, yang bermarkas di
Australia, Eropa dan Amerika Serikat. Dalam survei tersebut, terdapat 11 tahapan
dalam siklus pemilu yang menjadi fokus investigasi. Dari 11 tahapan tersebut,
terdapat total 49 indikator yang menjadi dasar penilaian integritas pemilu, yang
dibuat dalam pernyatan positif maupun negatif, dengan pilihan jawaban setuju
atau tidak setuju.19 Berikut intisari instrumen survei tersebut:
1) Regulasi pemilu
a. Regulasi pemilu tidak adil terhadap partai kecil;
b. Regulasi pemilu berpihak pada partai yang berkuasa;
c. Regulasi pemilu membatasi hak warga negara;
2) Prosedur pemilu
a. Pemilu dikelola dengan baik;
b. Informasi tentang prosedur pencoblosan tersedia dan dapat
diakses;
c. Aparat bertindak adil;
d. Pemilu dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku;
3) Batas Daerah Pemilihan (Boundaries)
a. Penentuan batas Dapil merugikan sebagai partai peserta
pemilu;
b. Penentuan batas Dapil menguntungkan petahana;
c. Penentuan Dapil tidak memihak (netral);
4) Pendaftaran pemilih
a. Sebagian warga negara tidak tercatat dalam Daftar Pemilih;
b. Daftar Pemilih tidak akurat;
c. Beberapa yang tidak memenuhi syarat, terdaftar dalam Daftar
Pemilih;
5) Pendaftaran partai politik
a. Ada kandidat oposisi dicegah untuk ikut pemilu;
b. Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih;
19
c. Kelompok minoritas memiliki kesempatan yang sama untuk
dipilih;
d. Hanya pimpinan partai yang memilih kandidat;
e. Sebagian partai politik/kandidat dibatasi untuk mengadakan
rally kampanye; 6) Media kampanye
a. Surat kabar menyajikan berita pemilu secara seimbang;
b. Berita TV memihak kepada partai pemerintah;
c. Partai politik/kandidat memiliki akses yang adil untuk
menyiarkan pesan dan iklan politik;
d. Jurnalis menyajikan liputan yang adil tentang pemilu;
e. Media social digunakan untuk mengekspos pelanggaran
pemilu;
7) Keuangan kampanye
a. Partai politik/candidate memiliki akses yang sama terhadap
subsidi dana publik;
b. Partai politik/candidate memiliki akses yang sama terhadap
donasi politik;
c. Partai politik/kandidat mempublikasikan akuntansi keuangan
secara transparan;
d. Orang kaya membeli pemilu;
e. Ada sumber daya negara disalahgunakan untuk kampanye;
8) Proses pemungutan suara
a. Ada pemilih yang diancam dengan kekerasan pada saat hari
pemungutan;
b. Ada manipulasi suara;
c. Proses pencoblosan mudah;
d. Pemilih ditawarkan preferensi pilihan sesuai dengan
keinginannya;
e. Surat suata lewat pos disediakan;
g. Warga negara yang berada di luar negeri dapat memilih;
h. Pencoblosan secara online disediakan;
9) Proses penghitungan suara
a. Kotak suara aman;
b. Hasil diumumkan tanpa adanya penundaan;
c. Suara dihitung dengan benar;
d. Lembaga pengawas internasional dibatasi;
e. Lembaga pengawas domestik dibatasi;
10)Pasca Pemilu
a. Partai politik/kandidat tidak menerima hasil pemilu;
b. Pemilu memicu protes yang damai;
c. Pemilu memicu protes dengan kekerasan;
d. Setiap sengketa diselesaikan melalui jalur hukum;
11)Penyelenggara pemilu
a. Pihak penyelenggara pemilu tidak memihak;
b. Pihak yang berwenang mendistribusikan informasi kepada
warga;
c. Pihak yang berwenang membuka kesempatan kepada publik
untuk menilai kinerjanya;
d. Pihak penyelenggara pemilu berkinerja baik
Penutup
Terlepas dari keberagaman pemaknaan konsep integritas pemilu oleh para
ahli di berbagai literatur, satu kesepakatan penting yang terbangun dan sifatnya
universal adalah bahwa integritas pemilu merupakan aspek penting dalam sebuah
sistem demokrasi khususnya. Konsekuensi ketiadaan pemilu yang berintegritas
sangatlah serius, bahkan pada titik tertentu dapat membawa kepada delegitimasi
pemerintahan yang terpilih dan pada akhirnya memicu ketidakstabilan politik
suatu negara. Pembahasan tentang beragam penyebab pelanggaran pemilu yang
mengakibatkan pemilu menjadi tidak berintegritas, dapat menjadi dasar pijakan
untuk memformulasi tindakan pencegahan dan penanganan beragam faktor
mengajukan berbagai strategi yang dipandang potensial untuk mampu mencegah
dan mengatasi malpraktek yang mereduksi integritas pemilu.
Adanya berbagai permasalahan yang kerap muncul dalam
penyelenggaraan pemilu di Indonesia menghambat terwujudnya pemilu yang
demokratis. Beberapa permasalahan tersebut antara lain, money politics dan black
campaign, profesionalitas penyelenggara pemilu, politisasi birokrasi, kualitas dan
kapabilitas peserta pemilu atau partai politik, apatisme dan pragmatisme dalam
partisipasi politik masyarakat, serta konflik horizontal. Sejumlah perbaikan sudah
dilakukan dalam rangka mewujudkan pemilu yang demokratis, yaitu dengan
adanya sistem perbaikan pemilu (electoral system), tata kelola pemilu (electoral process) dan penegakan hukum pemilu (electoral law). Namun demikian perbaikan tersebut belum mampu mengatasi permasalahan dalam mewujudkan
pemilu yang demokratis di Indonesia, disebabkan peran beberapa komponen
pemilu baik penyelenggara pemilu, birokrasi, partisipasi politik masyarakat
maupun partai politik yang masih belum memenuhi kriteria pemilu yang
demokratis. Untuk itu diperlukan peran serta seluruh pemangku kepentingan
(publik/ masyarakat) dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan tahapan pemilu
dan/ atau pilkada melalui pengawasan dan pemantauan pemilu dan/atau pilkada
maupun dalam pencegahan dan antisipasi terhadap beragam pelanggarannya.