• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integritas Pemilu dan Pemilu yang Berint (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Integritas Pemilu dan Pemilu yang Berint (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRITAS PEMILU DAN PEMILU BERINTEGRITAS1 *Ibnu Sina Chandranegara2

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Email : ibnusinach@gmail.com

Abstraksi

Pasca perubahan UUD 1945 medio 1999-2002, maka kontentasi mengenai pemilu terus diperbaiki dalam tataran konstitusi maupun legislasi dan regulasi. Diselenggarakannya pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung semakin membuka keran penjewantahan kedaulatan yang berada ditangan rakyat. Selain itu, dengan pembenahan di berbagai sisi dalam pemilihan umum legislatif semakin memberikan porsi yang fundamental dalam pembangunan alam demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, setelah 19 tahun reformasi bergulir, masalah kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu masih jauh dari kedewasaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kualitas penyelenggaraan yang justru memburuk. Bagi publik, integritas penyelenggara pemilu menjadi kunci yang paling menentukan kualitas kontestasi lima tahunan tersebut. Kunci itu terletak pada integritas, bersih, dan netralitas penyelenggara pemilu. Dengan ketiga modal tersebut, penyelenggara pemilu diyakini mampu menjalankan proses kontestasi politik sebagai ajang politik yang jujur, adil, transparan, dan bersih.

Kata Kunci: Integritas. Pemilu. Pemilu berintegritas

Pendahuluan

Gagasan negara yang demokratis dan konstitusional terus bergelut dalam

segala upaya merumuskan konsep negara indonesia. Meskipun terdapat gagasan

yang menghendaki negara yang kuat (strong state), akan tetapi dalam kenyataannya, alam sistem bernegara selalu menunjukan adanya tendensi untuk

menyelenggarakan secara demokratis. Memang, sebagian besar sejarah

pemerintahan Indonesia sebagian besar diselenggarakan dengan rezim yang

otokratis, akan tetapi aspirasi pemerintahan yang demokratis dan konstitusional

selalu menemukan jalannya. Sejak maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945,

kemudian diteruskan dengan diselenggarakan pemilu Tahun 1955 hingga

1

Disampaikan pada Seminar Nasional & Call for Papers, “Pemilu 2019: Momentum

Penguatan Demokratisasi di Indonesia” di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 31 Maret 2018

2

(2)

pemilu pasca reformasi menunjukkan adanya upaya terus menuangkan gagasan

negara demokratis, meskipun sebagaian besar pemilu khususnya dimasa orde baru

jauh dari makna demokratis yang sesungguhnya.3

Pasca perubahan UUD 1945 medio 1999-2002, maka kontentasi mengenai

pemilu terus diperbaiki dalam tataran konstitusi maupun legislasi dan regulasi.

Diselenggarakannya pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung

semakin membuka keran penjewantahan kedaulatan yang berada ditangan rakyat.

Selain itu, dengan pembenahan di berbagai sisi dalam pemilihan umum legislatif

semakin memberikan porsi yang fundamental dalam pembangunan alam

demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, setelah 19 tahun reformasi bergulir, masalah

kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu masih jauh dari kedewasaan. Hal

ini tidak bisa dilepaskan dari kualitas penyelenggaraan yang justru memburuk.

Bagi publik, integritas penyelenggara pemilu menjadi kunci yang paling

menentukan kualitas kontestasi lima tahunan tersebut. Kunci itu terletak pada

integritas, bersih, dan netralitas penyelenggara pemilu. Ketiganya disebutkan oleh

mayoritas responden jajak pendapat Kompas pekan lalu. Dengan ketiga modal

tersebut, penyelenggara pemilu diyakini mampu menjalankan proses kontestasi

politik sebagai ajang politik yang jujur, adil, transparan, dan bersih. Persoalan

tentang integritas penyelenggara pemilu ini sendiri menyeruak setelah publik

dikagetkan dengan kasus penangkapan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah

Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ade Sudrajat dan Ketua Panwaslu Garut Heri

Hasan Basri oleh Satuan Tugas Anti Politik Uang Badan Reserse dan Kriminal

Polri dibantu Kepolisian Daerah Jawa Barat. Selain keduanya, ditangkap juga

seorang anggota tim sukses salah satu pasangan calon dalam Pilkada Garut.

Kedua orang penyelenggara pemilu tersebut diduga menerima suap dari salah satu

3

(3)

tim sukses terkait penetapan pasangan calon peserta Pilkada Garut. Penangkapan

penyelenggara pemilu ini mengingatkan kembali pada peristiwa tertangkapnya

komisioner KPU sekitar 13 tahun silam karena menyuap auditor BPK yang

memeriksa pengadaan logistik Pemilu 2004. Kondisi inilah yang kemudian

menjadikan tulisan ini bertujuan untuk menguraikan gagasan strategi dalam

mencapai pemilu yang berintegritas.

Malpraktik Pemilu

Meskipun adanya kemajuan kadar integritas sejak pemilu 2014, nyatanya

masih ditemukan atau terdengar cerita malpraktik pemilu untuk memenangkan

kontestasi dengan manipulatif setelah. Sehingga tidak heran dengan ungkapan

“memang dari dulu sudah seperti itu…..” menjadi laziman yang seharusnya tidak terjadi. Para peserta pemilu dan tim sukses pun ternyata melakukan inovasi teknis

pelaksanaan pemilu semakin komplek dan canggih untuk melakukan malpraktik

manipulasi proses dan hasil pemilu pada tingkat akar rumput.

Penggunaan terminologi malpraktik dapat dimaknai secara umum umum

sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai

arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun

arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk

menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Sedangkan Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,

melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang

menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban

hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh

penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil

dan/atau in materiil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Sehingga malpraktik

pemilu adalah berkenaan dengan adanya pelaksanaan atau tindakan yang salah

dalam penyelenggaraan pemilu.

Apabila merujuk kepada Viryan, secara umum terdapat tiga kategori

(4)

kepada pemilih dan; ketiga, Penyelenggara pemilu tidak berintegritas.4 Pemilu tanpa pemilu yang dimaksud sebagai praktik kegiatan pemungutan dan

penghitungan suara tidak dilakukan pada hari pemungutan dan penghitungan

suara. Pemilu tanpa pemilu dikarenakan masyarakat sekitar belum teredukasi

demokrasi dan praktik pemilu tanpa pemilu telah berjalan sejak pemilu masa

sebelumnya. Kalau pun terjadi, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara

di TPS dilakukan tidak dengan menggunakan prosedur teknis pelaksanaan pemilu

sebagaimana umumnya dilaksanakan. Pelaksanaan pemilu pada tempat tersebut

diduga terjadi dalam tiga bentuk sebagai berikut (1) Tidak dilakukan pemungutan

suara, oknum KPPS atau PPS langsung mengisi formulir C1; (2) Pemungutan dan

penghitungan suara dilakukan sepenuhnya oleh oknum KPPS; (3) Pemungutan

suara diwakilkan, seperti: satu orang bisa mewakili seluruh keluarganya.

Malpraktik ini sebagai warisan dari pemilu sebelumnya. Realitas pemilu di daerah

tertentu mengejutkan karena pelaksanaan pemilu tidak sesuai regulasi

menunjukkan masih terdapat sejumlah daerah yang minim pemahaman tentang

pemilu dan demokrasi. Minimnya pemahaman tersebut bisa dikarenakan akses

pendidikan demokrasi atau pendidikan pemilu belum efektif sampai ke daerah

tersebut atau memang terdapat upaya pembiaran masyarakat tidak memahami

pemilu (pembodohan). Dimungkinkan ada elite politik lokal melestarikan kondisi

ini untuk menjadikannya sebagai kantong suara yang pasti dimilikinya pada ajang

pemilihan umum. Pada konteks ini, penyelenggara pemilu baik KPPS, PPS atau

pengawas pemilu nyaris tak berdaya untuk menjalankan tugasnya dengan baik.

Pendidikan pemilih atau sosialisasi jelang pemilu untuk daerah-daerah seperti ini

tidaklah cukup. Malpraktik ini penting menjadi perhatian para pihak untuk

melakukan kegiatan pendidikan demokrasi/pemilu pada masa post electoral

secara terfokus.

Kedua, praktik politik uang terjadi sebagai bentuk menggunakan uang untuk memenangi pemilihan dengan membeli suara pemilih. Suara pemilih dinilai

dengan sejumlah rupiah. Politik uang kerap disebut ibarat kentut, ada namun sulit

4

(5)

untuk dibuktikan. Praktik politik uang yang massif akan menghasilkan elite

politik yang terpilih berdasarkan uang bukan berdasarkan kepercayaan pemilih.

Praktik politik uang cenderung berbanding paralel dengan kekuasaan yang korup

dan membangun relasi politik menjadi transaksional serta pragmatis.Politik uang

pada akhirnya dapat membunuh sistem demokrasi. Data Puspen Kemendagri

bulan agustus 2014, sejak 2005-agustus 2014 terdapat 3,169 anggota DPRD dan

331 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Diperlukan upaya ekstra agar

praktik politik uang dapat diminimalisir pada pemilihan umum selanjutnya

dengan membuat regulasi yang berbasis pada prinsip follow the money.

Ketiga, penyelenggara pemilu tidak berintegritas menjadi bagian dari masalah fundamental pelaksanaan pemilu. Laksana permainan sepakbola, wasit

yang tidak netral dapat berdampak pada kemenangan yang tidak fair dan sebagian berdampak pada konflik kekerasan yang menciderai nilai-nilai demokrasi.

Meskipun pada konteks ini DKPP dianggap mampu berperan secara efektif dalam

menjaga kehormatan penyelenggara pemilu. Namun bersamaan dengan itu masih

terjadi malpraktik pemilu pada sejumlah daerah serta oknum penyelenggara

pemilu yang perlu menjadi perhatian untuk pelaksanaan pilkada yang akan

dimulai tahun 2015 serta untuk pemilu 2019 yang lebih baik.5

Mengapa Integritas Pemilu Penting?

Konsep integritas pemilu telah dimaknai beragam oleh para ahli, secara

positif – memenuhi seperangkat kriteria tertentu, atau secara negatif – melanggar

5

(6)

atau tidak memenuhi seperangkat kriteria.6 Definisi-definisi yang positif, menggunakan berbagai istilah yang berbeda, mulai dari pemilu yang bebas, adil

dan bersih, pemilu yang demokrastis, dan juga pemilu yang berkuatitas dan

integritas pemilu. Salah satu definisi secara positif dari konsep integritas politik

ini, misalnya, dikemukakan oleh Muck dan Verkuilen dengan menggunakan

istilah pemilu yang demokratis (democratic elections).7 Demikian halnya dengan

definisi-definisi yang negatif dari integritas pemilu, menggunakan istilah yang

beragam pula seperti malpraktek pemilu, pemilu yang manipulatif, pemilu yang

penuh dengan pelanggaran , korupsi atau rekayasa. Definisi malpraktek pemilu

dari Birch misalnya, menjelaskan bahwa “the manipulation of electoral processes

and outcomes so as to substitute personal or partisan benefit for the public interest”.8 Dengan menggunakan istilah pelanggaran pemilu (electoral fraud), Lopez-Pintor menjelaskan, any purposeful action taken to tamper with electoral activities and election-related materials in order to affect the results of an election, which may interfere with or thwart the will of the voters”.9

Dengan istilah yang sama, Lehoucq menyatakan bahwa electoral fraud

merupakan “clandestine efforts to shape election results”.10 Dari beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa pemilu yang berintegritas tinggi

merupakan pemilu yang memenuhi beragam norma tertentu. Sebaliknya, pemilu

yang berintegritas rendah adalah pemilu yang melanggar beragam norma tertentu.

Namun demikian, perlu ditekankan di sini bahwa definisi-definisi yang positif

lebih menekankan kepada beragam norma yang perlu dipenuhi, sementara definisi

6

C. v. Ham. Getting elections right? Mea suring Electoral Integrity. Democratization, 22(4), hlm 714-737

7

Muck dan Verkuilen mengemukakan First, elections must be inclusive, [...] that is, all citizens must be effectively enabled to exercise their right to vote in the electoral process; second; elections must be clean, in other words, voters’ preferences must be respected and faithfully registered; third; elections must be competitive, that is, they must offer the electorate an unbiased choice among alternatives; and fourth; the main public offices must be accessed through periodic elections, and the results expressed through the citizens’ votes must not be reversed. [Muck dan Verkuilen, Conceptualizing and Measuring Democracy: Evaluating Alternative Indices. Comparative Political Studies, 35(5), hlm 5-7]

8

Ham, Op. Cit

9Ibid 10

(7)

yang negatif lebih menitikberatkan pada aspek aktor, niat, dan juga konsekuensi

dari tindakan pelanggaran pemilu. Pemaknaan konsep integritas pemilu juga

dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang sifatnya universal atau kriteria

khusus. Menurut Ham, pendefinisian integritas pemilu yang menggunakan

pendekatan universal merujuk pada pemaknaan konsep tersebut berdasarkan

standar demokrasi yang universal seperti halnya teori demokrasi dan/atau hukum

internasional.11 Sementara, pendefisinisian dengan menggunakan kriteria khusus, memaknai integritas pemilu dengan merujuk pada aspek keterlibatan warga

negara dan partai politik. Misalnya, definisi yang dikemukakan oleh Pastor

dengan menggunakan istilah flawed election (pemilu yang salah), sebagai “an

election in which some or all of the major political pa rties refuse to participate in the election or reject the results”.12

Norris dalam bukunya menjelaskan tentang

pentingnya integritas pemilu untuk berbagai aspek, seperti legitimasi, karena

melalui pemilu yang berintegritas, akan terbangun kepercayaan publik terhadap

berbagai lembaga politik.13 Demikian halnya aspek perilaku politik massa, di mana integritas pemilu dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu

(voter turnout), keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mampu meredam aktivitas protes massa. Norris juga menyebutkan bahwa

integritas pemilu dapat memfasilitasi penguatan kualitas representasi politik.

Konsekuensi lainnya dari integritas pemilu adalah untuk mengatasi konflik dan

keamanan dan manfaat lainnya untuk system politik.

Lebih lanjut, data yang disajikan Norris juga menunjukkan bahwa

integritas pemilu berkorelasi dengan transisi rezim, proses demokratisasi dan

reformasi institusi yang efektif dan damai.14 Sebaliknya, pemilu yang penuh dengan kecurangan (flawed elections) melemahkan kepercayaan di dalam

11

Ibid

12

Definisi lain dengan kriteria khusus, juga dikemukakan oleh Elklit dan Reynolds sebagai berikut: “The quality of an election can [...] be conceptualized as the degree to which

political actors at all levels and from different political strands see the electoral process as legitimate and binding.” [Elklit & Reynolds, Judging Elections and Election Management Quality by Process. Representation, 2014, hlm 201]

13

Frank Norris & Martínez, Measuring Electoral Integrity around the World: A New Dataset. Political Science & Politics, 47(4), 2014., hlm 789

14

(8)

lembaga-lembaga politik. Pada gilirannya, akan berimplikasi pada rendahnya

partisipasi masyarakat pada saat pemungutan suara, dan bahkan seringkali

memicu protes, kerusuhan masa dan kekerasan. Kontestasi semu juga akan

memperburuk ketegangan antar pendukung pemenang dan yang kalah, dan pada

akhirnya melemahkan legitimasi sistem demokrasi.15 Norris lebih lanjut mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu, “persistent and sustained public

disaffection with electoral malpractices, coupled with discontent with the broader political system, have the capacity to mobilize significant reforms to the electoral process”. Bahkan di beberapa kasus dalam studi Norris, ketidakpuasan masyarakat yang berlarut dapat menjadi salah satu katalis menuju transisi rezim

yang revolusioner.16 Demikian halnya lehoucq dengan memfokuskan kepada kegagalan dalam mencapai pemilu yang berintegritas disebabkan oleh terjadinya

beragam pelanggaran (electoral fraud) dan manipulasi suara dalam berbagai bentuknya (ballot-rigging). Menurut Lehoucq, kondisi tersebut dapat mengakibatkan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat, menguatnya sentimen

publik, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas demokrasi dan

mendiskreditkan pemilu.17 Puncaknya adalah akan mengikis dan melemahkan sistem demokrasi secara keseluruhan. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh

beberapa ahli lainnya tentang dampak negatif yang diakibatkan oleh pemilu yang

tidak beritegritas. Selain akan menghilangkan kompetisi antar peserta pemilu,

menguatnya apatisme pemilih, dan ketidakpercayaan terhadap berbagai institusi

demokrasi, pemilu yang dipenuhi oleh berbagai pelanggaran pada akhirnya akan

membatalkan pemilu itu sendiri sebagai sarana untuk mencapai akuntabilitas dan

legitimasi pemimpin yang terpilih.18

Standar internasional ini telah digunakan untuk mengukur integritas

pemilu diberbagai negara di dunia melalui The Electoral Integrity Project pada

15

Birch & Muchlinski, Electoral Violence: Patterns and Trends. pada H. A. Garnett, & M. Zavadskaya, Electoral Integrity and Political Regimes. New York: Routledge, 2018, hlm 118

16

Sahoo, Why Electoral Integrity Matters, New York: Routledge, 2015, 515 17

Lehouq, Op. Cit

18

(9)

tahun 2014, yang dilaksanakan oleh para ahli yang independen, yang bermarkas di

Australia, Eropa dan Amerika Serikat. Dalam survei tersebut, terdapat 11 tahapan

dalam siklus pemilu yang menjadi fokus investigasi. Dari 11 tahapan tersebut,

terdapat total 49 indikator yang menjadi dasar penilaian integritas pemilu, yang

dibuat dalam pernyatan positif maupun negatif, dengan pilihan jawaban setuju

atau tidak setuju.19 Berikut intisari instrumen survei tersebut:

1) Regulasi pemilu

a. Regulasi pemilu tidak adil terhadap partai kecil;

b. Regulasi pemilu berpihak pada partai yang berkuasa;

c. Regulasi pemilu membatasi hak warga negara;

2) Prosedur pemilu

a. Pemilu dikelola dengan baik;

b. Informasi tentang prosedur pencoblosan tersedia dan dapat

diakses;

c. Aparat bertindak adil;

d. Pemilu dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku;

3) Batas Daerah Pemilihan (Boundaries)

a. Penentuan batas Dapil merugikan sebagai partai peserta

pemilu;

b. Penentuan batas Dapil menguntungkan petahana;

c. Penentuan Dapil tidak memihak (netral);

4) Pendaftaran pemilih

a. Sebagian warga negara tidak tercatat dalam Daftar Pemilih;

b. Daftar Pemilih tidak akurat;

c. Beberapa yang tidak memenuhi syarat, terdaftar dalam Daftar

Pemilih;

5) Pendaftaran partai politik

a. Ada kandidat oposisi dicegah untuk ikut pemilu;

b. Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih;

19

(10)

c. Kelompok minoritas memiliki kesempatan yang sama untuk

dipilih;

d. Hanya pimpinan partai yang memilih kandidat;

e. Sebagian partai politik/kandidat dibatasi untuk mengadakan

rally kampanye; 6) Media kampanye

a. Surat kabar menyajikan berita pemilu secara seimbang;

b. Berita TV memihak kepada partai pemerintah;

c. Partai politik/kandidat memiliki akses yang adil untuk

menyiarkan pesan dan iklan politik;

d. Jurnalis menyajikan liputan yang adil tentang pemilu;

e. Media social digunakan untuk mengekspos pelanggaran

pemilu;

7) Keuangan kampanye

a. Partai politik/candidate memiliki akses yang sama terhadap

subsidi dana publik;

b. Partai politik/candidate memiliki akses yang sama terhadap

donasi politik;

c. Partai politik/kandidat mempublikasikan akuntansi keuangan

secara transparan;

d. Orang kaya membeli pemilu;

e. Ada sumber daya negara disalahgunakan untuk kampanye;

8) Proses pemungutan suara

a. Ada pemilih yang diancam dengan kekerasan pada saat hari

pemungutan;

b. Ada manipulasi suara;

c. Proses pencoblosan mudah;

d. Pemilih ditawarkan preferensi pilihan sesuai dengan

keinginannya;

e. Surat suata lewat pos disediakan;

(11)

g. Warga negara yang berada di luar negeri dapat memilih;

h. Pencoblosan secara online disediakan;

9) Proses penghitungan suara

a. Kotak suara aman;

b. Hasil diumumkan tanpa adanya penundaan;

c. Suara dihitung dengan benar;

d. Lembaga pengawas internasional dibatasi;

e. Lembaga pengawas domestik dibatasi;

10)Pasca Pemilu

a. Partai politik/kandidat tidak menerima hasil pemilu;

b. Pemilu memicu protes yang damai;

c. Pemilu memicu protes dengan kekerasan;

d. Setiap sengketa diselesaikan melalui jalur hukum;

11)Penyelenggara pemilu

a. Pihak penyelenggara pemilu tidak memihak;

b. Pihak yang berwenang mendistribusikan informasi kepada

warga;

c. Pihak yang berwenang membuka kesempatan kepada publik

untuk menilai kinerjanya;

d. Pihak penyelenggara pemilu berkinerja baik

Penutup

Terlepas dari keberagaman pemaknaan konsep integritas pemilu oleh para

ahli di berbagai literatur, satu kesepakatan penting yang terbangun dan sifatnya

universal adalah bahwa integritas pemilu merupakan aspek penting dalam sebuah

sistem demokrasi khususnya. Konsekuensi ketiadaan pemilu yang berintegritas

sangatlah serius, bahkan pada titik tertentu dapat membawa kepada delegitimasi

pemerintahan yang terpilih dan pada akhirnya memicu ketidakstabilan politik

suatu negara. Pembahasan tentang beragam penyebab pelanggaran pemilu yang

mengakibatkan pemilu menjadi tidak berintegritas, dapat menjadi dasar pijakan

untuk memformulasi tindakan pencegahan dan penanganan beragam faktor

(12)

mengajukan berbagai strategi yang dipandang potensial untuk mampu mencegah

dan mengatasi malpraktek yang mereduksi integritas pemilu.

Adanya berbagai permasalahan yang kerap muncul dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia menghambat terwujudnya pemilu yang

demokratis. Beberapa permasalahan tersebut antara lain, money politics dan black

campaign, profesionalitas penyelenggara pemilu, politisasi birokrasi, kualitas dan

kapabilitas peserta pemilu atau partai politik, apatisme dan pragmatisme dalam

partisipasi politik masyarakat, serta konflik horizontal. Sejumlah perbaikan sudah

dilakukan dalam rangka mewujudkan pemilu yang demokratis, yaitu dengan

adanya sistem perbaikan pemilu (electoral system), tata kelola pemilu (electoral process) dan penegakan hukum pemilu (electoral law). Namun demikian perbaikan tersebut belum mampu mengatasi permasalahan dalam mewujudkan

pemilu yang demokratis di Indonesia, disebabkan peran beberapa komponen

pemilu baik penyelenggara pemilu, birokrasi, partisipasi politik masyarakat

maupun partai politik yang masih belum memenuhi kriteria pemilu yang

demokratis. Untuk itu diperlukan peran serta seluruh pemangku kepentingan

(publik/ masyarakat) dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan tahapan pemilu

dan/ atau pilkada melalui pengawasan dan pemantauan pemilu dan/atau pilkada

maupun dalam pencegahan dan antisipasi terhadap beragam pelanggarannya.

Referensi

Dokumen terkait

a. Ide dasar penciptaan motif pelepah pohon pisang. Pohon pisang memiliki manafaat yang sang banyak diantaranya daun, pelepah pisang hingga batang pohon pisang. Dalam

Definisi komunikasi verbal yang lainnya adalah suatu jenis dari kegiatan percakapan atau penyampaian pesan maupun informasi yang dilakukan seseorang

While Bhikku Parekh (1991) argued for a citizenship based on institutionally embedded multicultural practices rather than assimilation or mere tolerance, scholars in Sri

Pada kegiatan inti pertemuan 1 dan pertemuan 2 pembelajaran diawali dengan guru menbagi kelas menjadi 4 kelompok, dalam kelompok terdiri dari 5 sampai 6 siswa, proses

PROFIL SUBJECTIVE WELL BEING GURU BIMBINGAN DAN KONSELING Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Secara ekologi, perkembangan ikan karang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu (1) mobilitas dan ukuran ikan, yaitu ikan karang umumnya relatif tidak

Hasil Hasil analisis antara hubungan faktor jenis pasien dengan tingkat kepuasan pasien di instalasi radiologi Rumah Sakit Putri Hijau diperoleh dari 182 orang pasien BPJS

Current ratio yang tinggi juga berdampak terhadap harga saham yang tinggi karena apabila perusahaan dapat dengan baik memenuhi kewajiban lancarnya maka akan membuat