• Tidak ada hasil yang ditemukan

HADIST YANG BERKAITAN DENGAN PEMILU DAN GOLPUT

N/A
N/A
Akustic Islami

Academic year: 2024

Membagikan "HADIST YANG BERKAITAN DENGAN PEMILU DAN GOLPUT "

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HADIST YANG BERKAITAN DENGAN PEMILU DAN GOLPUT Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadist Siyasah

Dosen Pengampu : Achmad Kholik ,LC.,M.H.

Disusun Oleh :

Alfi Rosyida Tamma 33030220003

FAKULTAS SYARI’AH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2023

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan Alhamdulillah puji dan syukur atas kehadirat Allah berkat rahmat serta karunia-Nya telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga penyusun menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hadist yang Berkaitan Dengan Masalah Pemilu dan Golput”.Makalah ini dibuat dengan bertujuan untuk memenuhi tugas dari Dosen Pengampu Achmad Kholik,LC.,M.H.

Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan kepada saya dan juga pembaca. Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah Hadits Siyasah yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Penyusun juga mengucapkan terimkasih kepada pihak pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari, bahwa penulisan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu penyusun mohon maaf atas kesalahan dan ketidak sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini.

Penyusun juga mengharapkan adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini. Demikian semoga dari makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis lain.

Salatiga, 20 September 2023

Tim Penyusun

(3)

iii DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. RumusanMasalah ... 1

C. Tujuan ... 1

BAB II PEMBAHASAN ... 2

A. Pengertian Pemilu Dan Golput ... 2

B. Pemilu Dalam Perspektif Islam ... 4

C. Golput Dalam Perspektif Islam ... 11

BAB III PENUTUP ... 13

A. Kesimpulan ... 13

B. Saran ... 13

DAFTAR PUSTAKA ... 14

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemilu di Indonesia juga dilaksanakan berdasarkan aturan yang tetap terapkan dengan hati-hati. Indonesia juga merupakan sebuah negara mengadopsi sistem pemerintahan progresif, dengan pemilihan umum semua tingkatan sistem kekuasaan mulai dari tingkat eksekutif atau yudisial.Menariknya, dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput bukan semata- mata datang dari orang yang tidak mengetahui pentingnya suara mereka dalam menentukan masa depan bangsa, melainkan justru datang dari orang-orang yang sangat mengetahui hal tersebut.

Memang, tidak semua rakyat yang golput mengetahui hal itu, namun jika melihat adanya aktor intelektual yang juga dengan massif menyuarakan golput, maka dapat dipastikan bahwa mereka sadar betul akan apa yang telah mereka lakukan itu.

Kesuksesan sebuah Pemilu memang seringkali dinyatakan sebagai tanda keberhasilan sistem demokrasi suatu bangsa. Melalui pemilu, setiap warga masyarakat dapat menentukan sendiri sosok yang laik memimpin bangsanya. Partai atau calonyang memperoleh suara terbanyak dalam hasil pemungutan suara dinyatakan sebagai pemenangnya. Dengan demikian, sistem ini dipercaya dapat mewakili suara seluruh rakyat, tanpa terkecuali. Tentu, hal itu menjadi benar jika seluruh warga Negara berpartisipasi dalam pemiludan tidak ada yang abstain. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit warga yang tidak menggunakan hak pilihnya atau yang biasa dikenal dengan istilah golongan putih (golput), dengan berbagai sebabnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pemilu dan golput?

2. Bagaimana pemilu dalam perspektif Islam?

3. Bagaimana golput dalam perspektif Islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pemilu dan golput.

2. Untuk memahami pemilu dalam perspektif Islam.

3. Untuk memahami golput dalam perspektif Islam.

(5)

2 BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Pemilu dan Golput

Pemilihan Umum atau biasa disebut Pemilu, adalah tahapan seseorang untuk menduduki suatu jabatan politik, yang mana jabatan itu bermacam ragam seperti presiden, wakil rakyat, camat sampai pada kepala desa. Begitupula pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat yang bersifat tidak memaksakan kehendak untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Menurut Nur Wardhani mengatakan, Pemilu (Pemilihan Umum), juga disebut sebagai pesta demokrasi yang dilakukan oleh negara yang berpaham demokrasi, pemilihan umum menjadi penentu terciptanya demokrasi.

Adapun salah satu negara yang menganut paham demokrasi ialah di Indonesia, pemilihan umum menjadi jalan unuk rakyat dalam menyatakan kedaulatan terhadap negara maupun pemerintah, pemilihan umum bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, pemilu juga dilaksanakan secara langsung, jujur, dan adil di dalam negara Indonesia1. Kemudian pemilihan umum juga merupakan aturan dari pendapat politik partai dan kebijakan negara. 2

Pemilihan Umum adalah bentuk nyata demokrasi, adalah salah satu hal yang sangat penting meski demokrasi tidaklah sama dengan pemilihan umum, maka untuk daripada itu negara yang mau dunamakan demokrasi ialah yang melaksanakan pemilu untuk dapat memilih pejabat publik di legislatif, eksekutif, pusat, dan daerah.3 Pemilu merupakan salah satu aspek lembaga yang fungsinya sebagai jalan penyampaian hak-hak pendapat rakyat, keberadaan lembaga pemilu telah diakui oleh negara yang bersandar akan asas kedaulatan rakyat, hal yang paling utama dalam pemilu adalah tindakan nyata kehidupan negara, yaitu tentang ajaran kedaultan rakyat.4 Sejalan dengan menurut Widianingsih,

1 Nur Wardhani, P. S. (2018). Partisipasi Politik Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum. Jupiis: Jurnal Pendidikan

Ilmu-Ilmu Sosial, 10(1), 57. https://doi.org/10.24114/jupiis.v10i1.8407

2 Asshiddiqie, J. (2015). KONSTITUSI BERNEGARA.

3 Junaidi, V. (2014). Dampak Pemilihan Umum Serentak bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia. Jurnal Media Hukum, 21(2), 241–263. http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1190/1251

4 Bari Azed, A. (1998). Sistem Pemilihan Umum di Indonesia. Hukum Dan Pembangunan, 170–180.

(6)

3

)menyatakan bahwa di negara Indonesia, pemilu dilakukan dengan peraturan tetap dan dilaksanakan dengan secara saksama.5

Pemilihan umum secara garis besarnya tumbuh dari konsep dan pola pikir besar demokrasi yang bersumber dari John Locke dan Rousseau, keadilan maupun kesetaraan individu di setiap bidang, serta jaminan kebebasan, demokrasi di dalamnya terdapat nilai kerjasama saling berdaulat yang harus dijalankan warga negara baik dalam legislatif, yudikatif dan eksekutif 6. Pada prinsip persamaan hak di dalam setiap aturan hukum demokrasi dipandang sebagai rukun utama di dalamnya, disebabkan karena mencakup hak dan kebebasan mendasar bagi setiap individu, hal ini juga saling bersama dengan prinsip kebebasan yang tidak pernah terpisah, hingga pada persamaan hak dan kebebasaan itu menjadi arti yang langsung terbayang dalam rentang demokrasi di setiap manusia dan keadaan.7

Sedangkan golput adalah fenomena dalam demokrasi. Golongan putih (golput) atau disebut juga "No Voting Decision” selalu ada pada setiap pesta demokrasi di manapun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau No Voting Decision' apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada tempat yang disediakan sehingga Kartu suara menjadi tidak sah. Dari pensertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau 'No Voting Decision' tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Dalam perkembangannya, keputusan untuk frak memilih (golput) ternyata semakin rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri bilik suara atau TPS pada waktu yang telah ditentukan (jadwal pencoblosan). Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar sebagai pemilih, akan tetapi dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika hari pelaksanaan pemilihan. Tentu saja kertas suara yang tidak

5 Widianingsih, Y. (2011). Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia: Suatu Tinjauan Dari Aspek Sejarah Dan Sosiologi Politik. Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1689–1699.

http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Signal/article/view/877/561

6 Bachtiar, F. R. (2014). Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai Representasi. Jurnal Politik Profetik, 2(1), 1–17.

7 Muin Salim, A. (1994). KONSEPSI KEKUASAAN POLITIK DALAM AL-QURAN.

(7)

4

digunakan tadi dianggap tidak sah. Sikap untuk tidak memilih (no vote) semakin rumit untuk dijelaskan. Mereka (calon pemilih) akan menolak untuk dicatatkan atau didaftarkan namanya sebagai calon pemilih. Caranya bisa dengan menolak untuk dilakukan pendataan ulang atau tidak mengisi formulir calon pemilih. Status sikap mereka yang tidak memilih dengan cara seperti ini tentunya tidak berbeda dengan mercka calon pemilih yang tidak mengetahui proses pendataan ulang schingga namanya menjadi tidak tercantum dalam daftar pemilih resmi.

B. Pemilu Dalam Perspektif Islam

Agama Islam jika dikaitkan dengan politik merupakan hal yang menarik dan menjadi fokus perhatian, hal in sudah sangat lama terjadi, dan menjadi pembahasan cendikiawan Muslim sebelum masuk era modern dan ketika saat ini masuk di era modern. Keterkaitan dalam agama dan politik merupakan fokus perhatian, hal ini sudah lama terjadi dan menjadi subyek diskusi dan polemik antara pemikir politik muslim dan sebelum masuk ke era modern dan sesudah masuk di era modern. Adapun kontribusi umat Islam di dunia perpolitikan secara luas. Umat Islam mencoba mencari solusi yang terbaik mengenai keterkaitan antara agama dan politik dalam pandangan sosial kultural dan sosial politik masing-masing negara8.

Permasalahan dlam pemilu prespektif Islam:

1. Islam dan Masalah Kenegaraan

Menurut konsep Ibnu Taimiyahbahwa kebutuhan manusia akan Negara didasarkan pada akal dan hadits. Argumen rasionalnya terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung , bekerjasama, dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak.Ibnu Taimiyahberpendapat bahwa praktek pengukuhan sebuah pemerintahan harus dianggap sebagai tugas agama yang mesti dipatuhi oleh setiap muslim di samping sebagai sarana agar manusia lebih berkesempatan mendekatkan diri kepada Allah.Lebih lanjut Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam Alqurandan al-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat kepada yang berhak menerimanya dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna

8 Tahir Azhary, M. (1991). NEGARA HUKUM.

(8)

5

tanpa ada intervensi penguasa politik yang resmi. Beliau menyebutkan bahwa agama dan Negara saling membutuhkan, tanpa ada kekuasaan Negara yang sifat memaksa maka agama dalam keadaan bahaya, dan tanpa disiplin hukumwahyu Negara pasti menjadi sebuah oraganisasi yang tiranik9. 2. Model-Model Pemilihan Khalifah

Dengan tidak adanya pernyataan “resmi”dari Nabi S.A.W.tentang siapa pengganti beliau dalam fungsi kepala pemerintahan, telah memunculkan praktek-praktek pengangkatankhalifah–terutama dapat dilihat pengangkatan para khullafaul-Rasyidin–yang berbeda-beda antara satu khalifah dengan khalifah lainnya, sehingga tidak ada model suksesi (pergantian khalifah antara satu rezim ke rezim berikutnya)yang baku. Ayat-ayat Alquran juga tidak memberi petunjuk eksplisit tentang bentuk Negara Islam dan sekaligus memberi gambaran model suksesinya.Keempat Khalifah Ar- Rasyidin yang menggantikan kepemimpinan Nabi S.A.W.naik ke kursi kekuasaandengan cara berbeda-beda. Model-model suksesi para kalifah yang empat itu secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: Abu Bakar r.a.diangkat menjadi khalifah pertama melalui “pemilihan langsung”dan mendapatkan dukungan mayoritas sahabat. Dikarenakan Nabi S.A.W .telah melarang memberikan jabatan kepada orang yang memintanya atau amat mengharapkan. Hal berdasarkan suatu peristiwa pada masa Nabi s.a.w., di mana Abbas paman Nabi s.a.w.datang menemui Nabi s.a.w.agar diangkat sebagai kepala daerah10. Maka Nabi S.A.W. menjawab dengan sabdanya:

“sungguh demi Allah kami takkan menyerahkan jabatan ini kepada orang yang meminta atau mengharapkannya”. Atas pertimbangan inilah akhirnya para sahabat Anshar dapat menerima, meskipun sebelumnya

“ngotot”mengusulkan pengganti Nabi S.A.W.harus dari kalangan sahabat Anshar11.Umar bin Khathab r.a.diangkat menjadi khalifah kedua melalui wasiat politik Abu Bakar. Ketika Abu Bakar sakit di ambang kewafatannya, dia telah menunjuk Umar sebagai penggantinya.

Penunjukan tersebut tentu telah dipertimbangkan matang-matangdan

9 Taimiyah,Ibnu,1952, al-Siyasah al-Syar'iyyah,Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi.

10 Khalid,Khalid Muh.,2002, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung: Pen. Diponegoro.h.76

11 Hasan, HasanIbrahim,1989,Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Pen.Kota Kembang.h 34

(9)

6

didahului musyawarah-musyawarah dengan para sahabat senior. Usman bin Affan r.a.diangkat menjadi khalifah ketiga melalui pemilihan dalam sidang tim formatur. Sebelum wafat, Umar telah membentuk formatur yang diberi wewenang untuk menentukan pengganti beliau. Tim formatur beranggotakan enam orang sahabat senior ditambah Abdullah bin Umar, sehingga berjumlah tujuh orang (ganjil), supaya tidak terjadi deadlock jika terjadi voting. Ali bin Abi Thalib r.a.dibaiat menjadi khalifah keempat oleh para demonstran yang menuntut segera pengadilan terhadap pembunuh Usman. Banyak sahabat senior yang tidak turut membaiat dan sebagian yang lain tidak mengakuinya, sehingga pengangkatannya kurang legitimasi. Karena itu, banyak kekuatan oposisi yang lahir dan hampir sepanjang pemerintahan khalifah keempat ini tidak stabil. Suksesi kepemimpinan setelah rezim Khalifah Ar-Rasyidin berjalan secara turun-temurun dalam negara kerajaan (al-Maududi, 1984). Hal ini karena menguatnya kembali pemerintahan suku, seperti Bani Umaiyah, Bani Abbas, Bani Fatimiyyah dan lain-lain, di samping politik aliran seperti Syiah, Sunni, dan Muktazilah.

3. Tinjauan Hukum Islam tentang Pemilihan Umum Langsung

Untuk menetapkan hukum dalam masalah ini, pertama-tama seseorang harus mempunyai pemahaman yang benar dan komprehensif mengenai realitayang terjadi dalam Pemilu tersebut. Demikian juga dengan demokrasi, Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern), karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa disatu pihak yang harus menjalankan, dan di lain pihak mengawasi pemerintahan negara. Siapa menunjuk kepada orang (pemimpin) yang dipercaya rakyat untuk menjalankan kekuasaan politik guna mencapai tujuan-tujuan hidup rakyat, dan kepada sejumlah orang yang dipercaya mewakili rakyat mengawasi penyelenggara dan penyelenggaraan kekuasaan politik itu agar tidak disalahgunakan secara semena-mena. Karena itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap pemimpin dan wakil-wakil mereka.Menurut Al Mawardi ada beberapa syarat untuk mencapai

(10)

7

keseimbangan dalam segi politik negara yang ideal menurut Islam: Agama yang dihayati, Penguasa yang berwibawa , Keadilan yang menyeluruh, Sistem Pemerintahan, Imamah (kepemimpinan),, Cara pemilihan atau seleksi imam. Bagi al-Mawardi,imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan)merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut modelal-Ikhtiar. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. . Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya. Pemilihan umum secara bebas dan langsung merupakan salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik di dalam sebuah negara yang demokratis. Pada saat ini dapat dikatakan bahwa pemilihan umum merupakan perwujudan terpenting dari gagasan demokrasi tentang pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Melalui pemilihan umum, rakyat secara bebas dan langsung mengekspresikan sikap dan pilihanpolitik mereka terhadap pemimpin atau pemerintahan yang mereka inginkan. Melalui pemilihan umum maka pemerintahan yang tidak disukai atau yang tidak lagi dapat diterima rakyat dapat digantikan oleh pemerintahan yang baru atau sebuah partai yang tadinya berkuasa dapat kehilangan kekuasaannya, dan partai yang tadinya tidak berkuasa dapat

(11)

8

naik ke pusat kekuasaan. Dengan kata lain pemilihan umum merupakan sebuah mekanisme penggantian kekuasaan secara sah dan damai,yang dilaksanakan secara regular dan melibatkan seluruh warga negara dari negara yang bersangkutan.Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardhawi (penulis kitab Min Fiqhi al-Daulah fii al-Islam) dalam kerangka memilih pemimpin (penguasa) yang dilaksanakanmaka pemimpin dalam perspektif Islam merupakan wakil umat (pegawai umat). Hal yang mendasar bagi pemilihan pemimpin tersebut adalah bahwa wakil tersebut layak diperhitungkan atau perwakilan tersebut dicabut jika tidak dikehendaki, tentunya jika pemimpin atau wakil yang dipilih tersebut melalaikan atau mengabaikan berbagaikewajiban yang mestinya dilakukan12. Dari keterangan di atas dan realitas yang terjadi di Indonesia maka tampak bahwa pemilihan umum dilaksanakan dengan tujuan:

1) .Memilih wakil rakyat

Jika dilihat “prosesi”dari pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia ini maka Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakalah) dalam Islam. Hukum asal wakalah adalah mubah(boleh). Dalilnya antara lain:Pertama, hadis shahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata: Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi s.a.w.

Beliau kemudian bersabda:

Artinya: Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq”(H.R.Abu Dawud).

12 Yusuf al-Qardhawy, 1997,Min Fiqhi al-Daulah fii al-Islam, (Edisi Terjemah), Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

(12)

9

Kedua, dalam Baiat „Aqabah II, Rasulullah s.a.w.pernah meminta 12 wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih oleh mereka sendiri.Wakalah itu sah (menurut Islam) jika semua rukun-rukunnya dipenuhi, yakni:

• Adanya akad (ijab-qabul)

• Dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakil)

• Perkara yang diwakilkan

• Serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkil).

Menyangkut Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sejalandengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah tersebut boleh dilakukan.Hal tersebut di atas bukan berarti menolak kedaulatan Allah, akan tetapi dalam rangka menolak kediktatoran dari penguasadengan jalan diberi kesempatan untuk menentukansiapa yang layak menurut mereka sebagai pemimpin, dengan memperhitungkan akhlak /perilaku, keilmuan, dan menolak pemimpin yang memerintahkan kepada kedurhakaan kepada Allah.

2) Memilih Pemimpin

Adapun dalam konteks memilih penguasa, Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab, imam/khalifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syariah dalam negara, dan ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan tidak terlaksanakanhukum-hukum syariah tersebut13.Karena itu, status Pemilu Legislatif tidak sama

13 al-Banna Hassan, 1983 Majmu'ah Rasail al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna, Beirut:al-Muasasah al-Islamiyah

(13)

10

dengan Pemilu Eksekutif. Dalam konteks Pemilu Legislatif, status Pemilu tersebut merupakan akad wakalah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun, dalam konteks Pemilu Eksekutif, statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta‟yin wa tanshib (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah/boleh, melainkan wajibDalam Islam bentuk seperti ini mempunyai kesamaan dengan kesaksian. Yakni kesaksian tentang kelayakan tersebut, bahwa setiap pemilih (yang memberi suara/kesaksian) harus memenuhi syarat-syarat sebagai saksi dalam Islam.Allah s.w.t. berfirman dalam surat at-Thalaqayat2:

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”

Berdasarkan ayat di atas maka siapa yang memberikan suara kepada kandidat atau calon pemimpin yang tidak layak, seperti karena karena kerabat, atau diiming-iming dengan uang atau hal lainyang bertujuan mengharapkan keuntungan pribadi atau golongan, dan ia mengetahui bahwa kandidat tersebut tidak layak, maka berarti ia telah memberikan kesaksian palsu, dan itu merupakan dosa

(14)

11

besar,kelanjutan ayat di atas Allah menyebutkan“...Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah”...Kemudian dalam fakta di lapangan juga dapat dilihat adanya pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga kandidat yang semestinya ia dukung menjadi kalah, maka dalam hal ini ia telah melanggar perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat ia dibutuhkan memberi kesaksian.Juga dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik itu pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur, Bupati, presidenmaupun anggota legislatif(DPR), elah disaksikan adanya pembengkakan dana yang dikeluarkan baik oleh Negara maupun oleh kandidat sendiri (terutama), sampai milyaran rupiah, karenaseperti menurut PP 109/2000 ditetapkan, gaji pokok gubernur Rp 3 juta per bulan. Jika ditambah dengan tunjangan-tunjangan, jumlahnya sekitar Rp 25 hingga 30 jutaan per bulan. yang jika dibandingkan dengan gaji yang akan diperoleh dengan kampanye istilah lain "mahar politik"

sangatlah minim dengan akumulasi selama jabatan 5 tahun tersebut.

Sehingga akan lebih berpotensi menghasilkan pemimpin-pemimpin yang korup.14

C. Golput Dalam Perspektif Islam

Kemaslahatan terbesar umat Islam adalah masalah iman dan Islam. Karena itu, demi tegaknya Islam, para ulama memandang wajib hukumnya mendirikan sebuah Negara yang dapat melestarikan agama (haris). Al-Imam Abu Ya’la al-Farra’ (458 H), mazhab Hambali, mengatakan:

“Mengangkat seorang Imam (Khalifah) hukumnya wajib. Imam Ahmad RA dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Himshi berkata, “Adalah suatu ujian, jika tak

14 Yusuf al-Qardhawy, 1997,Min Fiqhi al-Daulah fii al-Islam, (Edisi Terjemah), Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

(15)

12

ada seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan urusan manusia.” (Lihat, Abu Ya’la Al Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 19).

Dalam dimensi hukum Fiqh pada dasarya Golput memiliki 5 hukum yang dikenakan kepadanya yaitu:

Haram, Golput duhukumi haram apabila prilaku Golput dunatkan untuk mengacaukan Pemilu yang akan dilaksanakan. Para pelaku bertujuan untuk membuat kerusakan dan menggagalkan jalanya Pemilu melalui indikasi politik yang tidak dibenarkan dalam Syari'at Islam dengan mencoba menghasut mempengaruhi dan memerintahkan orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Perilaku Golput semacam ini dihukumi Haram dan pelakunya berdosa atas apa yang telah dilakukanya.

1. Sunah, Hukum Sunah berlaku apabila semua Partai dan Calon pemimpin yang akan dipilih dicurigai memiliki tujuan menycbarkan kezaliman dan membuat kerusakan dimuka humi serta mendukung kemaksiatan merajalela, membuka pabrik-pabrik narkotika dan minuman keras, melegalkan perjudian, membiarkan prostitusi dengan dalih menambah penghasilan Negara.

2. Wajib, Golput juga bisa dihukumi Wajib jika semua Partai, Caleg atau Calon Presidenya telah nyata-nyata mempunyai fisi dan misi mengembangkan kezaliman dan membawa kehancuran negara serta membuat kerusakan dimuka bumi misalnya, berencana menciptakan peperangan tanpa alasan yang jelas, mengembangkan senjata yang berbahaya bagi umat manusia, mengganti idiologi pancasila dengan komunisme, bertujuan memberantas agama, mengadakan pembunuhan masal.

3. Makruh, Apabila prilaku Golput ini didasarkan pada sikap acuh tak acuh dan perasaan tidak perduli dengan adanya pesta demokrasi. Golput seperti ini dihukumi Makruh yang apa bila dijauhi dan ditinggalkan olch pelaku akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

4. Mubah, Mubah berarti boleh-boleh saja yang apabila dilaksanakan atau ditinggalkan pelaku tidak mendapatkan pahala ataupun dosa. Golput dihukumi Mubah apabila dilakukan, karena keaawaman seseorang teradap fisi misi yang dimiliki Partai, Caleg, atau Calon Presiden yang akan dipilih. la melakukan Golput karena takut salah memilih.15

15 Abuddin Nata. Metodologistudi Islam, Ed.1 Cet. (Jakarta: 8 RajaGrafindo Persada, 2003), h. 92.

(16)

13 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Pemilihan Umum atau biasa disebut Pemilu, adalah tahapan seseorang untuk menduduki suatu jabatan politik, yang mana jabatan itu bermacam ragam seperti presiden, wakil rakyat, camat sampai pada kepala desa. Begitupula pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat yang bersifat tidak memaksakan kehendak untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Menurut Nur Wardhani mengatakan, Pemilu (Pemilihan Umum), juga disebut sebagai pesta demokrasi yang dilakukan oleh negara yang berpaham demokrasi, pemilihan umum menjadi penentu terciptanya demokrasi.Sedangkan golput adalah fenomena dalam demokrasi. Golongan putih (golput) atau disebut juga "No Voting Decision' selalu ada pada setiap pesta demokrasi di manapun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau No Voting Decision' apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah.

B. Saran

Menyadari bahwa penulisan karya ilmiah makalah ini jauh dari kata sempurna,masa akan datang penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan makalah ini dengan sumber sumber yang lebih banyak yang akan tertuang pada isi pembahasan dapat dipertanggung jawabkan.Pada pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan kesalahan. Maka dari itu, penulis mengharapkan para pembaca bisa menyampaikan kritik dan sarannya terkait hasil penulisan makalah ini.

(17)

14

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata.(2003) Metodologistudi Islam, Ed.1 Cet. (Jakarta: 8 RajaGrafindo Persada), h.

92.

Al-Banna Hassan,(1983).,Majmu'ah Rasail al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna, Beirut:al- Muasasah al-Islamiyah

Asshiddiqie, J. (2015). KONSTITUSI BERNEGARA.

Bachtiar, F. R. (2014). Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai Representasi.

Jurnal Politik Profetik, 2(1), 1–17.

Bari Azed, A. (1998). Sistem Pemilihan Umum di Indonesia. Hukum Dan Pembangunan, 170–

180.

Hasan, HasanIbrahim,1989,Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Pen.Kota Kembang.h 34

Junaidi, V. (2014). Dampak Pemilihan Umum Serentak bagi Pembangunan Demokrasi

Indonesia. Jurnal Media Hukum, 21(2), 241–

263.http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1190/1251

Khalid,Khalid Muh.,(2002), Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung: Pen. Diponegoro.h.76

Mohtar, M. (1994). Negara Kapital dan Demokrasi. PT Remaja Rosdakarya.

Muin Salim, A. (1994). KONSEPSI KEKUASAAN POLITIK DALAM AL-QURAN.

Nur Wardhani, P. S. (2018). Partisipasi Politik Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum. Jupiis:

Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 10(1), 57.

https://doi.org/10.24114/jupiis.v10i1.8407

Tahir Azhary, M. (1991). NEGARA HUKUM.Taimiyah,Ibnu,1952, al-Siyasah al- Syar'iyyah,Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi.

Widianingsih, Y. (2011). Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia: Suatu Tinjauan Dari Aspek Sejarah Dan Sosiologi Politik. Journal of Physics A: Mathematical and

Theoretical, 44(8), 1689–1699.

http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Signal/article/view/877/561

(18)

15

Yusuf al-Qardhawy, 1997,Min Fiqhi al-Daulah fii al-Islam, (Edisi Terjemah), Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Peran Relawan Demokrasi dalam mengurangi angka golput pada pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2014 (2) dampak

10 Antara demokrasi dan tata kelola pemerintahan adalah dua hal yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam

Saran yang diperoleh yaitu Pemilu 2019 tidak boleh terpaku dengan demokrasi yang berlaku secara umum karena dengan memasukkan hakikat demokrasi dalam bentuk negara lainnya

14/PUU- XI/2013 dibacakan, sistem pemilihan umum mengalami konstruksi demokrasi yang bersejarah, yakni pemilihan umum dilakukan secara serentak untuk memilih Presiden dan

28 Pemilihan Umum Serentak 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi Oleh: Asrifai restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di

Tujuan Pemilihan Umum Tujuan pemilihan umum yaitu melaksanakannya salah satu sistem yaitu sistem demokrasi yang kekuasaan pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat

Tujuan Pemilihan Umum Tujuan pemilihan umum yaitu melaksanakannya salah satu sistem yaitu sistem demokrasi yang kekuasaan pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat

Dokumen tersebut menjelaskan tentang pengertian pemilihan umum dan perannya dalam