Review II Institusi Internasional
NPM : 1406541266
Topik : Institusi Global : PBB
Bahan utama : John Gerard Ruggie, “UN Forces: whither or whether” dalam Ruggie, Constructing the World Polity, (New York: Routledge 1998). hlm. 240-255
INSTITUSI PENJAGA PERDAMAIAN ATAU PENYALUR KEPENTINGAN? ANALISA OPERASI PERDAMAIAN PBB
Misi perdamaian PBB seringkali menjadi isu yang kontroversial dalam dunia internasional. Hal ini dikarenakan bahwa kehadirannya yang tidak dapat dipisahkan dari persetujuan negara-negara anggota tetap dewan keamanan PBB (DK PBB). Melalui tulisan ini, penulis berargumen bahwa operasi perdamaian PBB merupakan manifestasi dari kepentingan negara-negara anggota tetap DK PBB. Penjelasannya akan terbagi dalam tiga bagian : pertama, permasalahan dalam operasi perdamaian PBB; kedua, negara-negara anggota tetap DK PBB dan operasi perdamaian PBB; ketiga, kontribusi negara-negara lainnya; bagian terakhir
akan ditutup dengan kesimpulan.
I. PERMASALAHAN DALAM OPERASI PERDAMAIAN PBB
Ruggie dalam artikelnya yang berjudul “UN Forces: whither or whether” mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat dua permasalahan besar dalam operasi perdamaian PBB yaitu perihal doktrin operasional yang ambigu (gray area), dan perihal rantai komando serta komunikasi dari operasi itu sendiri. Sebelum menjelaskan berbagai permasalahan tersebut, Ruggie memaparkan pada dasarnya operasi perdamaian PBB dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: penegak perdamaian (enforcement) dan penjaga perdamaian (keeping). Perbedaannya adalah istilah yang pertama dapat diasosiasikan sebagai upaya mewujudkan perdamaian dengan menggunakan segala cara yang dibutuhkan, sementara istilah kedua lebih cenderung diartikan sebagai upaya memantau dan memastikan terjadinya perdamaian diantara pihak-pihak yang berperang. Lebih jauh lagi penegak perdamaian memungkinkan operasi PBB tersebut dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak yang berperang.
Permasalahan pertama datang ketika operasi perdamaian PBB tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu dari kedua jenis tersebut. Akar permasalahan ini sebenarnya terletak pada adanya ketidaksepahaman diantara negara-negara peserta operasi terkait dengan doktrin apa yang akan digunakan. Akibatnya, operasi perdamaian PBB beberapa kali sempat mengalami hambatan bahkan cenderung gagal. Contoh pertama adalah kasus Somalia. Pada kasus ini tidak ada doktrin operasional ─peace enforcement
Contoh kedua adalah kasus Bosnia. Operasi perdamaian PBB di Bosnia mengalami kegagalan dikarenakan adanya perbedaan interpretasi doktrin diantara negara-negara berkekuatan besar. Bagi Amerika Serikat, doktrin yang harus dijalankan adalah all-or-nothing1. Sementara itu, Prancis sangat
mengkhawatirkan dampak kemanusiaan yang terjadi apabila doktrin penegakkan perdamaian yang diambil. Lainnya, Inggris menekankan bahwa sebaiknya doktrin wider peacekeeping2 yang diambil. Adanya
pertentangan tugas dan cara dari masing-masing doktrin ini yang kemudian menghambat operasi di Bosnia tersebut.
Permasalahan yang terakhir terletak pada rantai komunikasi dan komando dalam operasi perdamaian PBB. Ruggie melihat ada beberapa masalah didalam rantai tersebut, antara lain: DK PBB yang seringkali tidak memberikan panduan misi yang jelas secara militer, tidak adanya pasukan dari non-anggota tetap DK PBB yang memiliki sistematika input yang sesuai dengan desain mandat DK PBB, tidak adanya komando secara umum ─baik politik maupun militer─ dari markas PBB, serta sekretaris jenderal PBB yang memainkan peran ganda dalam setiap operasi. Menurut Ruggie, karena rantai komando merupakan titik vital bagi organisasi, hal-hal tersebut yang dianggap menghambat keberhasilan operasi perdamaian PBB. Lainnya masalah yang mungkin menghambat rantai komando operasi adalah gangguan dari otoritas nasional pasukan tersebut dan prosedur organisasi lain yang terlibat dalam operasi perdamaian PBB.
II. NEGARA-NEGARA ANGGOTA TETAP DK PBB DAN OPERASI PERDAMAIAN PBB
Berangkat dari penjelasan sebelumnya, pada bagian ini akan memaparkan lebih jauh bagaimana pengaruh negara-negara anggota tetap DK PB terhadap operasi perdamaian yang ada.
Pertama, setiap keputusan PBB secara kolektif kelembagaan tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan DK PBB. Ini berarti bahwa setiap operasi perdamaian yang ada juga akan sangat bergantung kepada negara-negara anggota tetap DK PBB, mengingat apabila negara-negara tersebut menggunakan hak vetonya maka tidak ada keputusan yang dapat dihasilkan. Absennya operasi perdamaian PBB yang diakibatkan hak veto tersebut sebenarnya dapat dilihat pada era perang dingin. Dimana ketika itu operasi yang ada hanya menjadi wacana akibat tidak tercapainya konsensus diantara negara pemegang hak veto.3
Ketergantungan pelaksanaan operasi pada negara anggota tetap DK PBB ini juga sudah mendapat beberapa kritik. Salah satunya datang dari Laura Neack. Beliau mengatakan bahwa negara-negara anggota tetap DK PBB sangat pandai memainkan kondisi yang ada. Dimana disaat yang bersamaan mereka mengekspor senjata ke negara-negara berkonflik dan menentukan apakah negara tersebut dapat dilaksanakan operasi perdamaian atau tidak.4
1All or nothing menurut Ruggie (1998) serupa dengan peace enforcement.
2 Doktrin ini setidaknya memiliki dua makna yaitu operasi harus berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang terlibat (persetujuan tersebut berbeda di level taktis dan operasional) serta adanya keterlibatan sipil dalam upaya menjaga perdamaian tersebut.
3 Muzzafer Ercan Yilmaz, “UN Peacekeeping in the post-cold war Era”, International Journal on World Peace Vol. 22 No. 2 (June, 2005), hlm. 26
Kedua, operasi perdamaian PBB tidak pernah dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik domestik negara-negara anggota tetap DK PBB. Walaupun paska perang dingin berakhir operasi perdamaian PBB lebih banyak ditempatkan untuk menyelesaikan konflik domestik5, namun operasi yang dilakukan hanya di
negara-negara kecil dan berkembang seperti Angola, Mozambique, Liberia, Somalia, Bosnia, dan Georgia.6
Operasi perdamaian PBB tidak pernah memainkan peranan pada konflik internal negara anggota tetap dewan keamanan PBB walaupun konflik tersebut terjadi paska perang dingin berakhir. Contohnya adalah pada kasus Russia dengan Chechnya, serta Inggris dengan Irlandia Utara.7 Hal ini yang kemudian dilihat
bahwa penempatan operasi perdamaian PBB sangat ditentukan oleh negara anggota tetap DK PBB.
Ketiga, operasi perdamaian PBB seringkali menjadi topeng politik dari kepentingan negara-negara anggota tetap DK PBB. Setidaknya terdapat dua contoh kasus yang membuktikan pernyataan ini. Kasus pertama adalah operasi perdamaian PBB di Congo (ONUC 1966). Pada saat itu, Amerika Serikat membiayai secara besar-besaran operasi tersebut serta menurunkan sejumlah pasukannya. Objektif politik keterlibatan pasukan Amerika tersebut bukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, namun lebih ke arah kepentingan Amerika untuk mencegah Congo menjadi negara komunis.8 Kasus berikutnya adalah ketika
Amerika Serikat memotori operasi perdamaian PBB di Iraq-Kuwait tahun 1991. Kepentingan utama yang ada saat itu adalah mengamankan minyak dan jalur perdagangannya di sekitar Teluk Persia.9 Kasus lainnya
adalah ketika operasi perdamaian PBB di Korea pada awal 1950-an dimanfaatkan oleh Amerika dan sekutunya untuk melawan pihak Korea Utara.10
Terakhir, operasi perdamaian PBB dapat diabaikan ataupun ditinggalkan secara sepihak oleh negara-negara anggota tetap DK PBB. Setidaknya hal ini terlihat dalam kasus Bosnia. Ketika itu, sekretaris jendral PBB meminta negara-negara anggota tetap untuk menambah anggotanya hingga 17.000 pasukan untuk mengamankan beberapa wilayah aman di Bosnia seperti Sarajevo dan Tuzla, namun negara-negara tersebut mengabaikannya dan hanya mengirimkan 1200 total pasukan tambahan.11 Disaat yang bersamaan Inggris
juga mengurangi pasukannya tanpa ada alasan yang jelas dari 3380 menjadi 1200 pasukan.12 Ini membuat
operasi perdamaian PBB ketika itu jauh dari kata berhasil. Contoh berikutnya adalah ketika Amerika Serikat “meninggalkan” operasi PBB di Somalia (UNSOM II). Washington saat itu lebih disibukkan dengan pengejaran organisasi islam Al-Itahad yang dapat menyebarkan pengaruhnya ke Kenya dan Ethiopia.13
5Ibid., Yilmaz, hlm. 13
6 Alan James, “Peacekeeping in the Post-Cold War Era”, International Journal Vol. 50, No. 2 (Spring 1995), hlm. 261 7Ibid., hlm. 263
8 Terence O’Neill, “UN Peacekeeping: Expectations and Reality”, Irish Studies in International Affairs Vol. 13 (2002), hlm. 203 9Ibid., Neack, hlm. 182
10 Jane Boulden, “Mandates Matter: An Exploration of Impartiality in United Nations Operation”, Global Governance Vol. 11 No. 2 ( Apr-Jun 2005), hlm. 151
11 Sheila Zulfiqar Ahmad, “The UN’s Role in the Bosnian Crisis: A Critique”, Pakistan Horizon Vol. 51 No.2 (April 1998) hlm. 86. 12Ibid., hlm. 87
Lainnya adalah ketika Amerika Serikat “diam dan abai” terhadap penyerangan camp operasi perdamaian PBB di Lebanon Selatan (UNIFIL) pada April 1966 yang menewaskan 100 pengungsi oleh Israel.14
III. KONTRIBUSI NEGARA-NEGARA LAINNYA DALAM OPERASI PERDAMAIAN PBB
Setelah memperhatikan berbagai elaborasi diatas, rasanya terlalu parsial jika tidak melihat bagaimana negara-negara berkembang dan non-anggota tetap DK PBB memberikan kontribusinya terhadap operasi perdamaian PBB. Untuk itu, pada bagian ini akan mencoba untuk mengulasnya secara singkat.
Saat ini, peran dan kontribusi negara-negara lain dalam operasi perdamaian PBB menjadi semakin penting mengingat mulai adanya pembatasan keterlibatan pasukan dari negara-negara anggota tetap DK PBB pada akhir tahun 90-an.15 Hal ini kemudian dilihat oleh negara-negara berkembang seperti Bangladesh,
India, Ethiopia, Nepal, Pakistan, Ghana, Indonesia, Afrika Selatan sebagai upaya untuk berperan lebih aktif dalam dunia internasional. Pernyataan ini dibuktikan melalui data yang disampaikan Malone (2005) bahwa kini negara berkembang menjadi kontributor terbanyak bagi operasi perdamaian PBB dengan prosentase sekitar ¾ dari jumlah personil keseluruhan.16
Namun demikian, sangat disayangkan mengingat sejumlah halangan dan tantangan masih membatasi kontribusi negara-negara tersebut terhadap operasi perdamaian PBB. Seperti contoh masih adanya konflik diantara anggota dalam operasi (Kasus Italia-Nigeria pada UNISOM II)17; besarnya pengaruh dan kendali
dari otoritas nasional18; kurangnya latihan19, pengalaman, dan trauma menghadapi konflik internal20;
keengganan untuk memberikan kontribusi finansial21, serta berbagai permasalahan teknis lainnya seperti
budaya, bahasa, administratif dan penguasaan teknologi.22
Berbagai permasalahan tersebut pada akhirnya membenarkan pernyataan yang disampaikan oleh Robert S. Snyder (1997). Beliau menyampaikan bahwa meskipun kontribusi negara-negara kecil dan berkembang cukup penting terhadap operasi perdamaian PBB, namun untuk misi dengan ancaman keamanan yang tinggi masih sangat tergantung dan membutuhkan sumber daya dari negara-negara anggota tetap DK PBB.23 Weinrod (1993) juga mengatakan bahwasannya belum ada negara berkembang yang
14Ibid., Terence, hlm. 204
15 Kurt M. Campbell dan Thomas G.Weiss, “Superpowers and UN Peacekeeping”, Harvard International Review Vol. 12 No. 2 (Winter 1990), hlm. 22
16 James Cockayne dan David M. Malone, “The Ralph Bunche Centennial: Peace Operation Then and Now”, Global Governance Vol. 11 No. 3 (July-Sept. 2005), hlm. 338
17Ibid., Neack, hlm. 192
18Ibid., Cockayne dan Malone, hlm 338 19Ibid., Terence, hlm. 209
20Ibid., James, hlm. 246 21Ibid., Yilmaz, hlm. 23
22 Mohammad Humayun Kabir, “UN Peace-Keeping and Bangladesh”, Pakistan Horizon Vol. 52, No. 1 (Jan. 1999), hlm 26-30
mampu untuk menyaingi Amerika Serikat dalam hal sumber daya militer, kapabilitas intelejen, serta fasilitas dan perencanaan untuk mendukung operasi perdamaian PBB.24
IV. KESIMPULAN
Setelah berbagai penjelasan diatas, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa negara-negara anggota tetap DK PBB merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam operasi perdamaian PBB. Meskipun terdapat kontribusi dari negara lainnya, namun hal itu tidak mengurangi dominasi dari peranan negara-negara anggota tetap DK PBB terhadap operasi tersebut. Lebih jauh lagi, penulis melihat bahwa PBB dengan segala instrumen (operasi perdamaian), maupun strukturnya (DK PBB) hanyalah merupakan manifestasi dari kepentingan negara-negara berkekuatan besar atau yang dalam hal ini negara-negara pemegang hak veto. Terakhir sehubungan dengan operasi perdamaian itu sendiri, penulis melihat bahwa kedepannya masih sangat sulit untuk menciptakan sebuah operasi perdamaian yang benar-benar “damai” tanpa adanya gangguan dari kepentingan apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sheila Zulfiqar, “The UN’s Role in the Bosnian Crisis: A Critique”, Pakistan Horizon Vol. 51 No.2 (April 1998) hlm. 83-92
Boulden, Jane, “Mandates Matter: An Exploration of Impartiality in United Nations Operation”, Global Governance Vol. 11 No. 2 ( Apr-Jun 2005), hlm. 147-160
Campbell, Kurt M. dan Thomas G. Weiss, “Superpowers and UN Peacekeeping”, Harvard International Review Vol. 12 No. 2 (Winter 1990), hlm. 22-26
Cockayne, James dan David M. Malone, “The Ralph Bunche Centennial: Peace Operation Then and Now”,
Global Governance Vol. 11 No. 3 (July-Sept. 2005), hlm. 331-350
Gilkes, Patrick, “From Peace-Keeping to Peace Enforcement: The Somalia Precedent”, Middle East Report
No.185 (Nov.-Des. 1993), hlm. 21-24
James, Alan, “Peacekeeping in the Post-Cold War Era”, International Journal Vol. 50, No. 2 (Spring 1995), hlm. 241-265
Kabir, Mohammad Humayun, “UN Peace-Keeping and Bangladesh”, Pakistan Horizon Vol. 52, No. 1 (Jan. 1999), hlm 15-38
Neack, Laura, “UN Peace-Keeping: In the Interest of Community or Self?”, Journal of Peace Research Vol. 32, No.2 (May, 1995) hlm. 181-196
O’Neill, Terence, “UN Peacekeeping: Expectations and Reality”, Irish Studies in International Affairs Vol. 13 (2002), hlm. 201-214
Ruggie, John Gerard, “UN Forces: whither or whether” dalam Ruggie, Constructing the World Polity, (New York: Routledge 1998). hlm. 240-255
Snyder, Robert S., “Reforming the Security Council For The Post-Cold War World”, International Journal on World Peace Vol. 14 No. 1 (Mar., 1997), hlm. 3-16
Weinrod, Bruce, “Peacekeeping: Two Views: The U.S. Role in Peacekeeping-Related Activities”, World Affairs Vol. 155 No.4 (Spring, 1993), hlm. 148-155