• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTITAS DAN SUBJEKTIVITAS BUDAYA POPUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IDENTITAS DAN SUBJEKTIVITAS BUDAYA POPUL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTITAS DAN SUBJEKTIVITAS BUDAYA POPULER

COSPLAY DI INDONESIA

1

Oleh: Rizma Afian Azhiim2

Pendahuluan

Sistem dunia terus mereproduksi diskursus yang tidak pernah lepas dari relasi kuasa, dan terus mengklaim suatu gagasan sebagai kebenaran melalui ruang-ruang reproduksi yang diciptakan oleh diskursus dan pengetahuan itu sendiri. Interaksi melalui jejaring teknologi informasi, sistem pendidikan, produksi fantasi subjektivitas, dan reproduksi pengetahuan serta diskursus pada era globalisasi kini bertumpu pada interaksi berbagai entitas global yang terus-menerus memunculkan aksi dan reaksi. Interaksi ini tergambar dalam cara pandang terhadap dunia; “...to the way in which we judge and evaluate activities and structures that shape the

world.”3

Cara pandang ini menunjukkan korelasi yang erat antara of the world dan for the world.4 Hingga pada akhirnya, aksi dan reaksi yang dimunculkan dalam setiap aktivitas global-pun turut meluas ke ranah dimensi antropologi kebudayaan dalam peradaban manusia.

1

Terima kasih kepada Mas Imam Ardhianto atas sharing ilmu-nya hingga mengantarkan saya untuk mengenal apa itu Antropologi. Judul, tema, serta substansi karya ini ditulis sebagai dedikasi akademik mata kuliah Pengantar Antropologi semester genap 2013, yang diampuh oleh Mas Imam Ardhianto.

2

Penulis adalah mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia.

3

Martin Griffiths, International Relations Theory in 21st Century: An Introduction (London dan New York: Routledge, 2007), 1.

4

(2)

Berbagai fenomena dinamika global kini mengalami perkembangan-perkembangan secara kontemporer. Salah satunya adalah perkembangan budaya-budaya populer dalam globalisasi yang mereproduksi seni serta budaya-budaya populer keluar batas wilayah kedaulatan negara. Bahkan sering kali penyebaran budaya populer turut menandakan dan merepresentasikan dinamika power dalam bentuk soft power, yang memiliki rekognisi peran sebagai “the second face of power”5 bagi negara.

Dalam dimensi antropologi, kebudayaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang didapat melalui proses pembelajaran (culture is learned)6 yang bergantung pada kemampuan manusia untuk memahami simbol-simbol yang ada. Kebudayaan kemudian menjadi sesuatu yang simbolis (culture is symbolic)7 karena ketergantungannya atas kemampuan manusia untuk mempelajarinya dalam bentuk verbal atau non-verbal. Kebudayaan adalah suatu kelengkapan simbolis yang dimiliki oleh individu sebagai bagian dari suatu kelompok, sehingga menjadikan kebudayaan sebagai sesuatu yang diwariskan atau ditularkan di dalam masyarakat (culture is shared)8. Pada era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan jejaring teknologi informasi, berbagai budaya terus ditularkan layaknya endemik global. Kebudayaan bukan lagi sesuatu yang sebatas diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga atau suatu kelompok masyarakat. Berbagai jenis budaya kini terus direproduksi dan ditularkan oleh industri media karena mampu menciptakan subjektivitas dan menghasilkan nilai materiil. Bahkan berbagai budaya kini mengalami proses industrialisasi sebagai konsekuensi dari perkembangan modernitas dan

5

Joseph S. Nye, Soft Power (New York, Public Affairs: 2004) , hal. 5

6

Conrad Phillip Kottak, Miror for Humanity: A Concise Introduction to Cultural Anthropology (McGraw-Hill Companies, New York: 2010), hal 24.

7

Ibid, hal. 24-25.

8

(3)

kapitalisme global. Pada masa sekarang, berbagai budaya tidak lagi tinggal menetap di suatu wilayah menunggu untuk diwariskan kepada generasi yang lebih muda sebagai kebudayaan yang khas, karakter kelompok, atau identitas keturunan. Bahkan bermacam budaya dari berbagai kebudayaan mengalami partikularitas dengan berbagai pola integrasi dan adaptasi satu sama lain,9 seiring berkembangnya jejaring informasi dan pengetahuan yang terkomputerisasi di era pasca modern.10

Fokus Permasalahan

Cosplay atau costum player atau mungkin dalam bahasa Jepang biasa disebut kosupure,

adalah sebuah budaya populer dalam bentuk seni penampilan, dimana kostum dan aksesoris para partisipannya merepresentasikan sebuah karakter spesifik atau ide-ide tertentu. Karakter spesifik yang direpresentasikan terkonstruksi dari berbagai produk budaya populer seperti komik, film, hingga game. Di Indonesia sendiri, cosplay menjadi suatu budaya populer yang berkembang dan membentuk komunitasnya tersendiri. Bahkan para pecinta budaya populer tersebut mengidentifikasi diri mereka sebagai cosplayer. Dalam berbagai event yang diselenggarakan oleh industri produsen budaya populer, terkadang komunitas cosplay mendapat tempat khusus untuk melakukan penampilan, atau hanya sebatas ikut turut meramaikan. Sampai saat ini komunitas cosplay yang ada di Indonesia tersebar ke berbagai wilayah, dan terus berjejaring melalui teknologi informasi yang ada, serta seringkali „bersilaturahmi‟ melalui event yang diselenggarakan. Karya tulis ini mencoba untuk membongkar fenomena penyebaran budaya populer cosplay di Indonesia, sebagai suatu budaya yang terus direproduksi dan ditularkan oleh

9

Ibid, hal. 34-35.

10

(4)

jejaring informasi dan industri media. Cosplay atau kosupure adalah salah satu contoh budaya populer yang tidak diproduksi untuk tinggal menetap di Jepang dan menunggu untuk diwariskan. Cosplay adalah bentuk partikularitas budaya populer yang pola integrasi dan adaptasi-nya mampu untuk diterima oleh kebudayaan masyarakat Indonesia. Melalui pertanyaan problematisasi ‖situasi atau kondisi apa yang membuat cosplay dapat tersebar sebagai budaya

populer di Indonesia?‖, karya tulis ini mencoba untuk membongkar dan menyajikan fenomena

penyebaran budaya populer cosplay di Indonesia.

Subjektivitas dan Identitas Budaya

Konsep mengenai subjektivitas dan identitas dalam budaya terhubung erat satu sama lain dan hampir tidak terpisahkan.11 Karya tulis ini mencoba untuk mengangkat subjektivitas dalam melihat kondisi dan proses sosial yang membentuk identitas pada diri manusia dan lingkungan sosialnya. Namun terdapat berbagai konsep serta paradigma pemkiran yang menelaah subjektivitas dan identitas budaya, dan karya tulis ini akan lebih berfokus untuk menggunakan subjektifitas dalam pendekatan psikoanalisis dan perspektif foucauldian subject sebagai komposisi kerangka pemikiran.

Pendekatan psikoanalisis dalam memahami pembentukan identitas melalui diri manusia dan lingkungan sosialnya berangkat dari subjektivitas yang ada pada diri manusia. Berbagai penelusuran subjektivitas dalam melihat budaya melalui pendekatan psikoanalisis memiliki signifikansi yang partikular. Pendekatan psikoanalisis sedikit-banyak memberikan pencerahan tentang bagaimana melakukan identifikasi dari relasi yang ada hingga regulasi kekuasaan dari hal-hal yang bersifat diskursif.12 Selain itu melalui pendekatan psikoanalisis, karya tulis ini diharapkan mampu lebih banyak membantu dalam melihat serta memahami simbolisasi dan penandaan melalui bahasa pada identitas dan budaya.

11

Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London, Sage Publication: 2000), hal. 165

12

(5)

Di dalam pendekatan psikoanalisis sendiri terdapat berbagai penelusuran mengenai subjektivitas dalam budaya, dan pada bab-bab selanjutnya karya tulis ini akan lebih banyak menggunakan psikoanalisis yang mengakar pada pemikiran Jacques Lacan. Fokus penggunaan psikoanalisis dalam karya tulis ini adalah untuk melihat tatanan simbolik dan simbolisasi-simbolisasi serta peran bahasa seperti apa yang membuat budaya populer dihasrati untuk kemudian dapat dinikmati, dan membentuk realitas-atau mungkin fantasi akan realitas13-dari kenikmatan itu sendiri.

Foucault memiliki sudut pandang mengenai subjek sebagai sesuatu yang secara historis dan radikal dimunculkan-atau bahkan dibuat untuk muncul-sebagai produk sejarah.14 Bagi foucault, subjektivitas hanyalah produksi diskursif, dimana diskursus (sebagai cara yang diregulasikan atas spea king/practice) memungkinkan orang untuk bicara/praktik pada posisi subjek, pada hal-hal yang dapat mengsubjekkan orang tersebut sebagai pembicara/praktisi (yang memproduksi atau mereproduksikan kembali diskursus tersebut).15 Dan dalam karya tulis ini, perspektif Foucault dalam melihat subjek (foucauldian subject) digunakan untuk melihat posisi dan peran subjek serta subjektivitas dalam ruang produksi diskursus mengenai budaya dan identitas.

Produksi Cosplay Sebagai Budaya Populer

Cosplay atau costum player atau mungkin dalam bahasa Jepang biasa disebut kosupure,

adalah sebuah seni penampilan dimana kostum dan aksesoris para partisipannya merepresentasikan sebuah karakter spesifik atau ide-ide tertentu.16 Terminologi cosplay di munculkan oleh Nobuyuki Takahashi dari Japanese Studio Hard ketika menghadiri Los Angeles

13Lihat Ja ues La a , The se i a of Ja ues La a

. Book VII: The ethi s of psy hoa alysis –1960). New York:W.W. Norton, 1990. Hal 186

14

Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London, Sage Publication: 2000), hal. 174

15

Michel Foucault, Archeology of Knowledge,(London, Routledge: 1989), hal. 95

16Ha k “tueve , What Would Godzilla “ay? , The Washi gto Post Fe ua i . Diakses elalui

(6)

Science World Fiction Worldcon.17 Para Cosplayers (subjek cosplay) seringkali berinteraksi untuk membentuk sebuah komunal ditengah masyarakat disaat mereka berkumpul. Ide-ide dalam penampilan cosplay banyak bersumber dari manga, anime, komik, film dan video games. Berbagai entitas dari dunia realitas atau virtual membawa para cosplayers kedalam interpretasi dramatik yang mengangkat mereka sebagai subjek pemeran dalam sumber penampilan mereka. Interpretasi dramatik tersebut-dalam pendekatan psikoanalisis lacan-terbentuk atas fantasi kenikmatan atau jouissance18 dari konstruksi cermin yang memungkinkan bagi subjek untuk menemukan subjektivitasnya tersendiri melalui lack dalam bentuk kostum dan aksesoris yang memberikan spirit dan dorongan tertentu. Berikut ini adalah data dalam bentuk foto mengenai intepretasi dramatik para cosplayer sebagai subjek:

Gambar 1: Aksi dramatis cosplayers di Jakarta yang menikmati subjektivitas

sebagai aktor dalam film animasi.19

17A tikel O igi of The Wo ld Cosplay , Yei jee’s Asia Jou al July . Diakses elalui

http://unrealitymag.com/index.php/2009/04/14/a-nephologic-gallery-of-cloud-strife-cosplay/ pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 16.27

18Lihat Ja ues La a , The se i a of Ja ues La a

. Book VII: The ethi s of psy hoa alysis –1960). New York:W.W. Norton, 1990. Hal 186

19

(7)

Gambar 2: Aksi para cosplayers ditengah masyarakat, di sebuah halte Trans

Jakarta Busway.20

Cosplay, dengan berbagai fantasi-fantasi dan lack sebagai subjektivitas yang terbentuk

melalui dunia virtual dari anime, manga, film, dan video games mampu memproduksi serta mereproduksi diri sebagai budaya populer. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya komunitas-komunitas di seluruh dunia baik di dalam dunia realitas maupun di dunia virtual internet. Reproduksi budaya populer cosplay juga turut di dorong oleh komodifikasi kostum dan aksesoris cosplay yang semakin banyak muncul di dunia virtual. Salah satunya dapat dilihat pada website

http://www.cosplayshopper.com/ yang menjual berbagai macam pernak-pernik sebagai lack yang diproduksi untuk memuaskan hasrat para cosplayer.

Produksi Cosplayers Sebagai Identitas

Produksi cosplay sebagai budaya populer secara diskursif melalui subjektivitas dari sumber daya anime, manga, film, dan video games yang ada tak lepas dari subjek yang disubjekkan sebagai subjek atas subjektivitas cosplay itu sendiri. Sebagai sebuah realitas, identitas yang

20

(8)

muncul-entah secara bersamaan atau pun parsial-atas cosplayers (pemeran cosplay) ditandai oleh kostum dan aksesoris cerminan dari aktor-aktor dalam sumber daya produksi itu sendiri. Produksi cosplayers sebagai identitas atas budaya populer cosplay kemudian memunculkan suatu paradoks atas realitas dari produksi identitas para cosplayers. Pertama, budaya populer cospla y diproduksi melalui subjektivitas hasrat para subjek (cosplayers) dalam praktik diskursif atas sumber produksi cosplay (aktor atau pemeran dalam anime, manga, film, komik, dan video games). Kedua, cosplayers ditandai oleh kostum-kostum, aksesoris-aksesoris, dan segala bentuk pernak-pernik yang merupakan cerminan dari sumber produksi cosplay itu sendiri. Sebuah pertanyaan paradoks kemudian adalah apakah realitas atas budaya populer cosplay ditandai oleh adanya eksistensi para cosplayers ataukah sebaliknya? Mungkin akan lebih bijak jika pembaca karya tulis ini kembali ke sudut pandang Foucault mengenai subjek sebagai sesuatu eksistensi yang secara historis dan radikal dimunculkan-atau bahkan dibuat untuk muncul-sebagai produk sejarah.21 Dan bagi foucault, subjektivitas hanyalah produksi diskursif, dimana diskursus (sebagai cara yang diregulasikan atas speaking/practice) memungkinkan seseorang untuk bicara/praktik pada posisi subjek, pada hal-hal yang dapat mengsubjekkan seseorang tersebut sebagai pembicara/praktisi!.22 Dan sebagai suatu realitas mengenai identitas para cosplayer, tanpa harus terjebak ke dalam paradoks, dapat dibuktikan atas diselenggarakannya World Cosplay Summits setiap tahunnya di Jepang, yang dihadiri oleh para cosplayers dari berbagai negara.23 Identitas cosplay dalam diri subjek tak hanya diproduksi pada dimensi subjektivitas para cosplayers. Tidak hanya World Cosplay Summit, kini para cosplayer berjejaring melalui teknologi informasi yang ada seperti melalui akun facebook:

https://www.facebook.com/CosplayIndonesia.

21

Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London, Sage Publication: 2000), hal. 174

22

Michel Foucault, Archeology of Knowledge, (London, Routledge: 1989), hal. 95

23

(9)

Cosplay Sebagai Soft Power

“Kosupure (costume play or cosplay), manga and anime are promoted as examples of „Cool Japan‟…”24

Jepang merupakan negara yang piawai dalam menggunakan diplomasi publiknya. Salah satu caranya dengan mengandalkan soft power mereka dalam rangka menjalin hubungan dengan negara-negara di dunia. Khususnya, dengan adanya cultural diplomacy yang mengandalkan manga dan anime serta cosplay sebagai salah satu instrumen politik luar negeri mereka. Jepang telah berhasil memperkenalkan negaranya dengan memanfaatkan pop culture animasi yang telah melekat sebagai simbol budaya Jepang. Jepang sebagai salah satu negara maju di dunia, telah memiliki teknologi dan industri yang tidak kalah canggih dengan apa yang dimiliki oleh negara-negara Barat. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kemajuan drastis telah dibuktikan oleh Jepang dalam rangka meningkatkan sektor perekonomiannya, terutama sektor pariwisata. Dengan menggunakan diplomasi publik, pemerintahan Jepang menggunakan cara tersebut untuk mempromosikan kebudayaan, tempat wisata, dan nilai-nilai masyarakat Jepang ke seluruh masyarakat dunia.

Dalam diplomasi publik ini, pemerintah tidak terlalu mengambil andil banyak dalam melakukan diplomasi. Tetapi, Jepang menggunakan multi-national corporations (MNCs), non-governmental organizations (NGOs), perusahaan swasta, lembaga masyarakat, dan

people-to-people dalam rangka mempromosikan Jepang ke dunia internasional. Dalam perspektif ini,

Departemen Luar Negeri Jepang memanfaatkan berbagai fasilitas publik untuk memberikan masyarakat internasional mengenai informasi tentang Jepang, yang juga bekerjasama dengan Japan Foundation, Departemen Luar Negeri juga membuat upaya untuk memperkenalkan

budaya tradisional, pop culture, dan berbagai daya tarik Jepang ke negara lain, untuk memberikan dukungan dalam mempromosikan bahasa Jepang di luar negeri, dan untuk mendorong people-to-people exchange dengan negara-negara lainnya serta kerjasama melalui organisasi internasional, seperti; United Nations Educational, Scientific and Cultural

24

(10)

Organization (UNESCO) dan United Nations University.25Departemen Luar Negeri Jepang, bertujuan untuk memajukan pemahaman dan kepercayaan mengenai Jepang, dengan menggunakan pop culture, disamping adanya seni dan budaya tradisional, sebagai alat diplomasi kebudayaan.26

“Beyond „Cool Japan‟: Promotion diplomacy based on Japanese values”, adalah bentuk diplomasi budaya yang dicanangkan oleh menteri luar negeri Koichiro Gemba melalui pernyataannya dalam keynote speech yang disampaikan pada kegiatan diskusi pada 17 Maret 2012 di kota Nagoya, dihadapan 200 partisipan yang hadir.27 Gemba menyatakan bahwa cosplay sebagai salah satu contoh promosi Cool Japan hanya sebuah pintu masuk menuju Jepang. Dia berharap, dalam pernyataannya, bangsa lain diluar Jepang akan memulai untuk mempelajari bahasa Jepang atau belajar memahami nilai-nilai masyarakat Jepang.

Pernyataan Gemba dalam keynote speech-nya didukung oleh realitas yang direpresentasikan secara diskursif mengenai semangat masyarakat Jepang di daerah Tohoku yang terkena dampak gempa bumi pada 11 Maret 2011, dan telah bangkit untuk memulihkan perekonomiannya pada bisnis dan usaha lokal serta bisnis dan usaha menengah. Dan terlebih dari itu, representasi atas nilai-nilai semangat masyarakat Jepang, dengan Tohoku sebagai suatu contoh, memberikan inspirasi kepada para cosplayers yang mengikuti World Cosplay Summit 2011.28

Penutup

Budaya populer cosplay di Indonesia, adalah salah satu budaya yang terus direproduksi dan ditularkan melalui jejaring informasi dan industri media. Cosplay atau kosupure sebagai contoh budaya populer melampaui batas negara yang tidak diproduksi untuk tinggal menetap di Jepang dan menunggu untuk diwariskan. Cosplay di Indonesia saat ini memiliki bentuk partikularitas-nya tersendiri sebagai budaya populer, yang pola integrasi dan adaptasi-nya

http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/index.html, diakses pada tanggal 7/3/2012, pukul. 10.59 wib.

27

Sumber: http://www.mofa.go.jp/announce/jfpu/2012/04/0405-01.html

28

(11)

merasuk hingga ke ranah subjektivitas dan identitas masyarakat Indonesia. Bahkan seringkali berbagai entitas dari dunia realitas dan virtual bercampur untuk membawa para cosplayers kedalam interpretasi dramatik yang mengangkat mereka sebagai subjek pemeran dalam sumber penampilan mereka. Produksi penyebaran cospla y di Indonesia sebagai budaya populer secara diskursif melalui subjektivitas dari sumber daya anime, manga, film, dan video games, tak lepas dari subjek yang disubjekkan sebagai subjek atas subjektivitas cosplay itu sendiri. Sebagai sebuah realitas, identitas yang muncul—entah secara bersamaan atau pun parsial—atas cosplayers (pemeran cosplay) ditandai oleh kostum dan aksesoris cerminan dari aktor-aktor dalam sumber daya produksi itu sendiri.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Barker, Chris, Cultural Studies: Theory and Practice London: Sage Publication, 2000. Foucault, Michel, Archeology of Knowledge, London: Routledge, 1989.

Griffiths, Martin International Relations Theory in 21st Century: An Introduction London dan New York: Routledge, 2007.

Kottak, Conrad Phillip, ―Miror for Humanity: A Concise Introduction to Cultural Anthropology‖, New York: McGraw-Hill Companies, 2010.

Lacan, Jacques, ―The seminar of Jacques Lacan. Book VII: The ethics of psychoanalysis‖ (1959–1960). New York: W.W. Norton, 1990.

Lyotard, Jean Francois, The Postmodern Condition: A Report On Knowledge, London: Manchester University Press, 1984.

Nye, Joseph S., Soft Power New York: Public Affairs, 2004.

Media Online:

Stuever, Hank ―What Would Godzilla Say?‖, The Washington Post (14 Februari 2000). Diakses melalui http://www.washingtonpost.com/wp-srv/style/feed/a49427-2000feb14.htm

Artikel ―Origin of The World Cosplay‖, Yeinjee’s Asian Journal (3 July 2008). Diakses

melalui http://unrealitymag.com/index.php/2009/04/14/a-nephologic-gallery-of-cloud-strife-cosplay/

http://unrealitymag.com/index.php/2009/04/14/a-nephologic-gallery-of-cloud-strife-cosplay/ diakses pada 3 Juli 2012 pada pukul 16.20

http://www.mofa.go.jp/announce/event/2011/8/0808_01.html diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 18.18

Gambar

Gambar 1: Aksi dramatis cosplayers di Jakarta yang menikmati subjektivitas
Gambar 2: Aksi para cosplayers ditengah masyarakat, di sebuah halte Trans

Referensi

Dokumen terkait

Larenku Rempah kaya akan manfaat karena terbuat dari perpaduan antara gula aren dengan rempah- rempah plus nigella sativa yang diolah dan diramu oleh ahlinyag. 2.Aman

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa satu set prinsip tentang kejujuran, janji-janji maupun etika yang ingin dimiliki oleh perusahaan tidak disampaikan dengan baik,

Berdasarkan pada masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan keseimbangan terhadap keterampilan Sepak Sila

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara ini yang sesuai dengan Undang-undang

Demikian pedoman pelaksanaan Bimbingan Pra Inkubasi Bisnis Outwall ini untuk digunakan sebagai pedoman oleh Balai Besar Pengembangan Pasar Kerja dan Perluasan Kesempatan

Sebuah karakter, baik itu berupa huruf atau angka dapat disimpan pada sebuah variabel yang memiliki tipe data char dan unsigned char. Besarnya data yang dapat disimpan pada

Oleh karena itu, perlu diadakan su atu penelitian tentang identifikasi yang spesifik arsitektur tradisional Jawa terutama pada masa Hindu dengan mahakarya yang sangat

To optimize the abundant geothermal potential in Indonesia, particularly in JaMaLi area, the second scenario of long- term electricity planning is to enlarge the