SUMBER ILMU PENGETAHUAN
STUDI KOMPERATIF ISLAM DAN BARAT
By: Didin Chonyta (SIAI) _14750010_ BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan (knowledge) adalah bagian yang esensial-aksiden
manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berfikir". Berfikir
(natiqiyyah) adalah sebagai differentia (fashl) yang memisahkan manusia
dari sesama genus-nya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan yang dimilikinya. Begitu urgennya, sehingga ketika
pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia
yang mencoba mengkritisi, mencari tahu persoalannya kemudian
merumuskan solusinya. Hal ini lah yang tampak dalam perkembangan
pemikiran ke-Islaman.
Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia
Islam memiliki watak keilmuan yang stagnan atau statis. Para cendekiawan
muslim kontemporer berpendapat bahwa dalam Islam telah ada semacam
“indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan klasik. Mereka antara lain M. Arkoun, menurutnya dalam Islam telah terjadi pensyakralan
pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar addiniyyah)1, hal ini karena wacana
Al-Qur’an yang semula bersifat terbuka, poly-interpretable (multi-interpretation) memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak
1
terbatas, historis-spiritual, dan elastis, kini berubah menjadi bersifat tertutup,
final, a-historis dan kaku (rigid).
Al-Jabiri yang meneliti secara khusus sistem-sistem pengetahuan
yang dikembangkan dalam Islam, menemukan bahwa ummat Islam selama
ini masih terbelenggu dengan sistem bāyani yang dikontraskan dengan sistem pengetahuan ‘irfani dan burhāni. Sistem bāyani yang dominan
tersebut tidak lain merupakan warisan produk klasik yang telah berurat dan
berakar.2 Ia menyesalkan mengapa umat Islam masih saja terus mengadopsi
secara taken for granted tanpa adanya filterisasi, yang ia inginkan bukanlah
warisan seperti yang dipahami oleh nenek moyang kita dahulu atau seperti
yang termaktub dalam naskah-naskah kuno.
Berangkat dari kesadaran terhadap watak pemikiran Islam yang statis
tersebut, maka tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir muslim
liberal dan kritis, mereka antara lain Fazlur rahman (Pakistan), M. Syahrur
(Syiria), Yusuf Qardawi (Qatar), Ali Jumu’ah, Djamaluddin dan Nasrh
Hamid Abu Zayd (Mesir) dan di Indonesia ada Hasby Ashsiddiqiey,
Munawir Sadzali, Ahmad Azhar Basyir dan Nurcholis Madjid, dan lain-lain.
Namun ide pemikiran brillian mereka berupa pemikiran ulang (
re-Thingking) atau pembaharuan (Tajdid) bukannya disambut, melainkan
dicemooh dan tak jarang diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam,
bahkan sampai vonis pada kekafiran berfikir, hal ini karena corak pemikiran
mereka yang dianggap liberal bahkan kafir.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas
kegelisahan intelektual mereka memiliki akar, serta bertumpu, pada
2
permasalahan epistemologi. Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term
metodologi ini pada dasarnya memang menjadi poros bagi tumbuhnya
wacana-wacana modernitas. Epistemologi adalah sebuah persoalan yang
mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau
mengkaji secara filosofis tentang asal mula, susunan, metode-metode,
validitas pengetahuan, teori-teori dalam ilmu pengetahuan, dan segala
sesuatu yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.
Dengan demikian setelah para pemikir muslim di atas bergumul dan
bersentuhan dengan wacana filsafat keilmuan, maka wajar jika isu-isu
epistemologis telah melatarbelakangi, melahirkan, ide-ide radikal dan sikap
kritis dari mereka yang membawa pada kesadaran bahwa khazanah keilmuan
klasik sudah tidak begitu relevan lagi dengan kondisi mutakhir.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan Sumber pengetahuan dalam Islam?
2. Sebutkan sumber ilmu pengetahuan dari Barat?
3. Bagaimana metode dan analisis perbandingan sumber ilmu pengetahuan
antara Islam dan Barat?
C. Tujuan Masalah
1. Agar pembaca mengetahui Sumber pengetahuan dalam Islam.
2. Untuk memperjelas sumber ilmu pengetahuan dari Barat.
3. Untuk mengetahui metode dan analisis perbandingan sumber ilmu
BAB II PEMBAHASAN A. Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam.
Epistemologi Islam yang berdiri di atas sumber naqliyyah (wahyu)
ini tidak juga mengabaikan aspek-aspek `aqliyyah yang berasaskan
penyuburan akal dan perkembangan pemikiran manusia. Perbincangan ilmu
dalam Islam merupakan suatu acuan yang sepadu iaitu gabungan antara
akidah, syariah dan akhlak yang akhirnya membentuk tunjangan ilmu yang
bersifat saintifik dan kemanusiaan seperti ilmu sains, teknologi, ekonomi dan
yang lainya.3
Osman Bakar di dalam Classification of Knowledge in Islam telah
merumuskan pandangan al-Farabi dalam Kitab Ihsa’ al-`Ulum yang menyatakan bahawa ilmu itu dibahagikan kepada lima bagian. Pertama
adalah sains matematik (the mathematical science) yang terdiri daripada
aritmetik, geometri, astronomi dan muzik. Yang kedua adalah sains fisik
(natural science). Seterusnya yang ketiga adalah metafizik (metaphysics) dan
pecahan-pecahannya. Yang keempat ialah sains Politik (political science).
Dan yang kelima adalah tentang sains atau falsafah undang-undang dan sains
skolastik (jurisprudence and dialetical theology)4
Ibn Khaldun di dalam bab terakhir Muqaddimah turut menyentuh
tentang persoalan epistemologi yang menjelaskan klasifikasi ilmu. Uraian
yang dibuat oleh Ibn Khaldun dilihat agak mendatar di mana beliau
3
Basri Bin Husin, Beberapa Aspek Epistemologi: Konsep, Tabiat Dan Sumber-Sumber Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Jurnal Usuluddin, 11/9/2010) H.185
4
mengkategorikan ilmu yang menjadi tumpuan manusia itu kepada dua
bagian iaitu ilmu naqli dan ilmu `aqli.
Ibn Khaldun membagi ilmu naqli kepada dua bagian iaitu ilmu yang
bersumberkan wahyu dan ilmu yang tidak bersumberkan wahyu. Ilmu yang
bersumberkan wahyu terdiri daripada al-Qur’an dan al-Hadith. Manakala ilmu yang tidak bersumberkan wahyu pula terdiri daripada ilmu tafsir, ilmu
qira’at, ilmu hadith, ilmu usul fiqh, ilmu fiqh, ilmu fara’id, ilmu kalam, ilmu
tasawuf dan ilmu tafsir mimpi.5
Sementara itu, klasifikasi ilmu pada pandangan al-Ghazali dilihat
agak kompleks, di mana beliau mengkasifikasikan ilmu berdasarkan kepada
kelompok; klasifikasi berdasarkan kepada tahap kewajiban sumber ilmu dan
klasifikasi berdasarkan fungsi sosial. Hal ini banyak dibincangkan oleh
al-Ghazali dalam kitab beliau Ihya’ `Ulum al-Din dan al-Risalah
al-Ladunniyah.
Sedangkan Naquib Al-Attas mengatakan bahwa sumber ilmu pertama
adalah datangnya dari Allah (The Islamic view of nature has its roots in the
Quran, the very word of God and the basis of Islam6) sebagai karunia-Nya
yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut, hanya dapat diterima oleh
insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya. Yakni
dengan keihsananya dan hikmah sejati ibadah kepada tuhannya yang hak itu
dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada
kehendak dan karunia Allah juga.
5
Ibn Khaldun, `Abd al-Rahman (1996M./1417H.), Muqaddimah Ibn Khaldun, c. 3. Beirut: Dar al-Fikr, h. 549-629.
6
Apa yang dikemukakan oleh Naquib sesuai dengan kesepakatan
dikalangan muslim yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah
al-‘Alaq ayat 1-5, diterima sebagai landasan bahwa Allah swt adalah sumber segala ilmu. Mereka meyakini asal ilmu itu adalah Allah swt sendiri,
pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Selain itu
sumber pengetahuan yang lainya berasal dari Intuisi, akal, wahyu, ilham,
pengalaman dll.7 Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran ilmu
dalam tataran sistemik yang disebut manusia dalam nama-nama yang
disepakati bersama demi kemudahan menggalinya.
Sumber epistemologi Islam kedua adalah Al-Qur’an. Al-Qur'an merupakan sumber ajaran Islam, yang disamping berfungsi sebagai hudan
(petunjuk) juga sebagai furqan (pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur
dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk dalam penerimaan
dan penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw.
Ringkasnya, al-Qur’an menjadi petunjuk dan konsultasi bagi ilmu pengetahuan Islam yang memiliki kedudukan tinggi sebagai sumber
pengetahuan dibanding sumber-sumber pengetahuan yang lain.
Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunnah. Dalam
Sunnah menurut para ulama dipandang dari segi keberadaannya
wajib diamalkan. Ia berada pada posisi setelah al-Qur’an dilihat dari kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qath’iy baik secara global maupun rinci. Di samping itu, al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah merupakan cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dari
kenyataan ini, maka jumhur ulama menyatakan bahwa sunnah menempati
urutan kedua setelah al-Qur’an.
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab
yaitu wahyu Al-Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alasan bahwa semesta adalah kitab yang tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat yang
perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas
memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa
penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir.8
Menilik kembali sumber sumber filsafat di dalam pengetahuan islam,
tokoh berserta pemikiranya memiliki andil besar dalam perkembangan
Filsafat Islam. Due to this they defined philosophy as:9
Theoretical and Practical (Al-Kindi)
Based on certainty and opinion (Farabi)
Perfection of the human soul (Ibn Sina) islamic Philosophy and science, Nurin Interprise, 19991) buku ini diterbitkan sesuai aslinya dengan judul the history and philosophy of Islamic Science, (Cambrige, Islamic Text society, 1999) H.13-38, penulis mendapatkan makalah ini dalam seminar Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam (asas Islamisasi ilmu social humaniora) H. 16
9
Relationship between theoretical aspect and practical dimensions (Ismaili)
Words and deeds in accordance with knowledge (Ikhwan al Safa)
Purification of the soul (Suhrawardi-Hikmat al ishraq)
Perfecting of the human soul (Mulla Sadra-Al-Hikmat al mutaaliyah)
Al-Syaibani mengatakan, bahwa pengalaman langsung, perhatian dan
pengamatan indera adalah sebagian dari sumber ilmu pengetahuan, banyak
lagi sumber lain yaitu renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan
tela’ah terhadap pengalaman. Pengalaman orang-orang terdahulu, perasaan, rasa hati, akal serta bimbingan Illahi. Namun sumber-sumber tersebut
meskipun beragam bentuk jenisnya dapat dikembalikan kepada lima sumber
utama yakni indera, akal, intuisi, ilham dan wahyu Illahi.
Keberadaan sumber pengetahuan empirik ini diakui oleh Ibn
Taimiyyah yang membagi ilmu pengetahuan kepada dua bagian, yakni
pengetahuan tentang segala yang ada (al-ilmu bi al-ka’inat) dan pengetahuan
tentang agama (al-ilmu bi al-din). Ia mengatakan bahwa dengan
menggunakan metode tajribiyyah (empirisme) pengetahuan tentang al-ilmu
bi al-ka’inat dapat diperoleh. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui
kebenaran, kecuali dengan metode ini. Selanjutnya ia mengatakan jika
silogisme dipisahkan dengan tajribiyyah maka tidak akan membawa kepada
kesimpulan atau atau pengetahuan yang benar. Dengan tajribiyyah ini lah
sebuah kebenaran paertikular dapat diketahui.
B. Sumber Ilmu Pengetahuan dari Barat
Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dibagi dalam
tiga babak (periodesasi). Pertama, sebelum 15.00 tahun SM (Sebelum
Masehi) dengan ciri utama manusia belajar dari alam sekitarnya. Manusia
Dengan cara seperti itu, manusia mampu “menundukan” alam melalui daya
nalarnya yang pada saat itu masih dapat dikatakan terbatas. Sekitar 15.000 – 600 tahun SM, perioode awal, peradaban manusia telah mulai mengenal
membaca, menulis dan berhitung. Dalam kurun waktu yang relatif panjang
sejarah peradaban telah banyak melahirkan para filosof terkenal seperti
Sócrates, Aristóteles, Plato, Thales, Archimedes, Aristachus, dan lain-lain.
Pada masa ini telah dikenal apa yang disebut dengan logika deduktif dan
silogismo.
Kedua, periode atau abad pertengahan diwarnai oleh para pemikir
Arab-Islam yang membawa corak pemikiran berbasis agama dan moral. Pada
abad ini lahir para pemikir seperti Al-Kindi (Filosof Islam Pertama), Al
Khawarijmi (Aljabar), Al Idris (Astronomi), Ibnu Sina atau Avisena, Ibnu
Rusdi atau Averus, Umar Kayam, dan lain-lain.
Ketiga, abad modern. Pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang
pesat sebagai hasil interaksi berbagai ilmu pengetahuan yang disebut dengan
proses sistesa. Abad modern pun ditandai oleh paradigma positivisme yang
digagas oleh August Comte melalui Sosiologi Positif. Comte ingin
menegaskan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan berkembang
cepat apabila manusia melepaskan cara berpikir yang metafisi.10
Menurut Jujun S.Suria sumantri pengetahuan tentang ilmu
seyogyanya mencakup pengetahuan tentang apa yang dikaji ilmu, bagaimana
cara ilmu melakukan pengkajian, dan menyusun tubuh pengetahuannya, serta
untuk apa pengetahuan ilmiah yang telah disusun itu dipergunakan. Ketiga
hal tersebut dalam terminologi kefilsafatan dikenal dengan istilah ontologi
(apa), epistemologi (bagaimana), dan axiologi (untuk apa). Dalam
10
operasionalisasinya persoalan filsafat ilmu tesebut pun masih memerlukan
”bantuan” ilmu lain, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Dalam epistemologi Barat, bagaimana cara memperoleh pengetahuan
dikenal dengan tiga paham: Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham
bahwa pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin
yang diolah oleh “akal”. Akal memegang peranan penting dalam, mengolah
informasi dari eksternal sehingga melahirkan pengetahuan. Rasionalisme ini
terbagi ke dalam dua aliran, yaitu rasionalisme idealis dan rasionalisme
realis. Rasionalisme idealis berpegang teguh kepada keyakinan bahwa
pengetahuan kita dapat melampaui pengalaman panca indera sejati.
Sedangkan rasionalisme realis berpendapat bahwa pengolahan pengetahuan
oleh rasio tidak terlepas dari obyek yang diamatinya “Rasio mengolah pengalaman sambil meresap ke dalam obyek, sedangkan obyek itu sendiri
bukan hasil ciptaan sukma manusia”.
Melalui rasio, ilmuwan dapat melakukan tiga hal penting yang
menjadi basis pengembangan pengetahuan, yaitu (1) definisis, (2) komparasi,
dan (3) kausalitas. Definisi melakukan proses pembatasan tentang sesuatu
yang disebut ”A” atau ”B”. Komparasi melakukan proses perbandingan antara ”A” dan ”B”. Kausalitas dapat menjelaskan mana yang menjadi ”sebab” dan mana yang menjadi ”akibat”. Bebarapa tokoh penting yang
berada dibalik paham rasionalisme ini misalnya, Augustinus, Scotus,
Descrates (1596-1650), Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), Fichte
(1762-1814), Hegel (1770-1813), dan lain-lain.
Meskipun gegap gempita rasionalisme telah mampu menyedot
perhatian ilmuwan seantero dunia, di sisi lain banyak pula yang mengkritik
atau membantahnya. Bantahan terhadap rasionalisme misalnya: (1)
dalam pengujian yang dihubungkan dengan dunia nyata. (2) rasionalisme
cenderung a-priori, dalam arti masalah psikologis yang merupakan
pembawaan individual (tanggapan-tanggapan pembawaan) akan berbeda
pada diri setiap orang.
Kedua, empirisme, yaitu Suatu paham yang berpendapat bahwa
pengetahuan yang diperoleh terbatas hanya pada pengalaman. Dalam
perkembangannya empirisme ini terbagi dua, yaitu empirisme sensualisme
dan empirisme konsiensialisme. Empirisme sensualisme yaitu proses
perolehan pengetahuan yang hanya bertumpu pada pengalaman pancaindera
semata-mata. Sensualisme ini memiliki keterbatasan, bahwa kebenaran
pancaindera bersifat semu. Sedangkan empirisme konsiensialisme
mengemukakan bahwa Keputusan yang diambil dari pengalaman panca
indera berdasarkan pertimbangan penuh kesadaran, dalam arti pertimbangan
yang matang. Beberapa tokoh yang menjadi “dewa” dalam paham empirismo ini misalnya John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), David Hume
(1711-1776), termasuk “kaum positivis” seperti August Comte (1798-1857).
Paham empiris ini pun tida lupus dari sasaran kritik dan bantahan. Di
antara bantahan yang tajam misalnya dapat dilihat pada: (1) Kebenaran yang
dilahirkan apakah hasil pengamatan nyata atau keputusan si pengamat
sendiri ? dan (2) Pengamatan hanya menghasilkan kenyataan yang
memerlukan keputusan, sedangkan situasi psikis si pengamat akan akan
berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian bisa terjadi
sikap “a priori” sehingga keputusan antara seorang pengamat bisa berbeda
dengan pengamat lainnya
Ketiga, paham dualisme. Paham ini berusaha menggabungkan atau
mendamaikan kedua kutub paham yang bersebrangan secara diameteral.
instasnsi, yaitu rasio dan pengalaman inderawi. Rasio dan pengalaman
memiliki masing-masing keterbatasan yang tak terhindarkan, oleh karena itu
suatu proses yang mengkompromikan antara rasio dan pengalaman menjadi
jalan tengah yang paling ideal. Rasio atau akal tidak dapat menyerap
pengetahuan secara utuh tanpa pengalaman inderawi, sedangkan pengalaman
inderawi saja tidak bisa menghasilkan pengetahuan tanpa diolah secara
kreatif oleh rasio (otak).
Perbedaan paradigma pengetahuan mangakibatkan orientasi keilmuan
yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang
berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material
hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan
mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas
nilai (value free).
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang
materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi
material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah
sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran
dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan.
Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”. Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah
mendominasi pemikiran dunia. Sehingga muncul persoalan-persoalan baru
yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga
persoalan yang berdampak pada lingkungan, sosiologis, psikologis dan
sistem nilai.11
Tokoh-tokoh Sumber Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat adalah
yang pertama, Tokoh Rasionalisme diantaranya yakni Sokrates, Plato,
11
Aristoteles, dan Rene Descartes. Dalam hal ini yang akan penulis uraikan
pernyataannya Aristoteles dan Rene Descartes. Aristoteles, mengungkapkan
bahwa rasio dapat menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat
sama sekali umum. Oleh karenanya rasio dapat “menjadi” segala sesuatu.
Rene Deskartes, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal
yang benar dan yang jelas. Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu
pasti yang dapat dijadikan model secara dinamis.
Yang kedua, Tokoh Empirisme, saya cantumkan Thomas Hobes dan
John Locke. Thomas Hobbes, baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan
tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau dengan merasionalisasikan
sebab-akibat. John Locke, menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman
dan tidak lebih dari itu. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri,. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang
menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak
membedakan antara pengalaman dengan pengetahuan akal. Satu-satunya
sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang
timbulnya karena pengalaman lahiriah (sensation) dank arena pengalaman
batiniah (reflection).
Kelebihan Ilmu Pengetahuan Barat dapat disimpulkan menjadi dua
yaitu rasionalis dan empiris. secara Rasional maksudnya adalah mampu
menyusun system kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya
logika, yang sudah ada sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan
kebenaran rasio diuji dengan verifikasi dan konsistensi logis. Kelebihan
rasionalisme adalah dalam hal nalar dalam menjelaskan penalaran yang
rumit, kemudian rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan akal
Empirisme, menurut saya (penulis) dapat membuka cakrawala manusia
dalam berpikir dan dapat mewujudkan kehidupan manusia kepada
kesejahteraan dan kemandirian serta kedewasaan dalam menghadapai
problema hidup. Karena dengan cara berpikir empirislah maka manusia
dapat mengetahui asal usul dan sebab akibat yang terjadi dalam kehidupan di
dunia ini.
C. Analisis Perbandingan Sumber Ilmu Pengetahuan Islam dan Barat
Klasifikasi ilmu menurut perspektif Islam amat berbeda jika
dibandingkan dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat, di mana klasifikasi
ilmu Islam, pembagian ilmunya disusun berdasarkan keutamaan dan
kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini dilihat berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu dibagi berdasarkan
hierarki yang hanya melihat kepada perspektif dunia semata-mata.
Berdasarkan kepada perspektif ini, umat Islam dinilai lebih komprehensif
dan teratur dalam mengklasifikasi ilmu yakni menggabungkan antara ilmu
wahyu dan ilmu akal.12
Menurut Naquib al-Attas hanya dengan hidayah (petunjuk) Allah_lah
sebuah kebenaran bisa diperoleh oleh manusia, bukan dari keraguan.
Pendapat Naquib ini sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat
dengan ciri skeptis atau keragu-raguan (kesangsian). Aliran skeptisisme
(irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat diperkenalkan oleh
Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat modern”. Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui melalui
metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak
12
ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada
kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali ilmu pasti.
Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada
dasarnya hanya menghasilkan kebingungan dan skeptisisme ( هههههيبايترإ).
Mengangkat keragu-raguan dan meraba-raba ke derajat ilmiah dalam hal
metodologi (methodology, ههه ثحبلاههههنم) dan memandang keraguan sebagai
suatu unsur epistemologis yang istimewa dalam mengejar kebenaran.
Keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistemologis. Melalui
metode inilah kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka akan
mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan, dan bahkan sesuatu
lainnya yang mengantarkan mereka berada pada kebenaran. Sesungguhnya,
tambah Naquib, yang mengantarkan kepada kebenaran adalah hidayah
(petunjuk) Allah bukan keraguan.
Di dalam table ini dapat dibedakan sumber pengetahuan menurut
Islam dan Barat:
No Sumber Pengetahuan Islam Sumber pengetahuan Barat
3 As-Sunnah
(sunnah adalah perkataan, perbuatan
maupun pernyataan Nabi
Muhammad saw)
Dualisme
Paham ini berpendapat bahwa
pengetahuan sejatinya dihasilkan oleh
kedua instasnsi, yaitu rasio dan
pengalaman inderawi.
4 Akal -
5 Intuisi -
6 Wahyu -
7 Indera -
8 Ilham -
Epistemologi Islam amat menekankan ilmu yang bertaraf keyakinan
dalam akhir sesuatu perkara yang mempunyai unsur-unsur kebenaran secara
mutlak. Sesuatu yang benar itu seharusnya mempunyai elemen yang
dipercayai kebenarannya secara yakin tanpa ada unsur keraguan, kesamaran
dan prasangka terhadapnya. Dalam arti kata yang lain, sesuatu yang diterima
sebagai benar itu adalah berasaskan kepada `ilm al-yaqin.
Konsep `ilm al-yaqin ialah ilmu yang boleh menbedahkan sesuatu
secara jelas, di mana sebarang keraguan dan kemungkinan wujudnya
kesilapan dan kesamaran (al-wahm) di sekitarnya tidak pernah difikirkan
oleh seseorang yang memiliki ilmu tersebut. `Ilm al-yaqin adalah ilmu yang
tidak mungkin ada unsur kekeliruan, kesalahan dan kesamaran. Istilah
‘yaqin’ adalah jauh berlawanan dengan ‘shak’, ‘wahm’ dan ‘dzann’. Konsep
melibatkan persoalan akidah Islam dan syariah memerlukan taraf keyakinan
yang tinggi dalam pencapaian sesuatu matlamat.13
Dalam soal akidah, seorang muslim mempunyai keyakinan yang
tinggi dalam menyatakan ketauhidannya kepada Allah S.W.T. Keyakinan
terhadap sesuatu perkara melibatkan tiga keyakinan yang bersangkutan
dengan ilmu manusia iaitu `ilm al-yaqin, `ayn al-yaqin dan haqq
al-yaqin.`Ilm al-yaqin adalah ilmu yang bersandarkan alasan atau kesimpulan
hasil dari kuasa manusia yang mengadilinya.
13
BAB III PENUTUP
Dari berbagai tulisan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Menurut Naquib Al-Attas sesuai dengan kesepakatan dikalangan muslim,
landasan teologis surah al-‘alaq ayat 1-5, diterima sebagai informasi bahwa Allah itulah sumber segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada
manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri,
pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Selain itu
sumber ilmu pengetahuan dari Islam bersumber dari Al-Qur’an, As -sunnah / hadist Nabi Muhammad SAW, Akal, Wahyu, ilham, Panca
indra, pengalaman, Intuisi dll.
2. Dalam epistemologi Barat, cara memperoleh pengetahuan dikenal dengan
tiga paham: Pertama, pendekatan rasionalisme. Suatu paham bahwa
pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca indera dan batin yang
diolah oleh “akal”. Kedua, empirisme, yaitu Suatu paham yang berpendapat bahwa pengetahuan yang diperoleh terbatas hanya pada
pengalaman. Ketiga, paham dualisme, Paham ini berusaha
menggabungkan atau mendamaikan kedua kutub paham yang
bersebrangan secara diameteral.
3. Klasifikasi ilmu menurut perspektif Islam amat berbeda jika
dibandingkan dengan klasifikasi ilmu oleh pihak Barat di mana dalam
klasifikasi ilmu Islam, pembagian ilmu itu disusun berdasarkan
keutamaan dan kepentingan ilmu yang didasari kepada al-Qur’an dan al -Sunnah. Ini dilihat berbeda dengan klasifikasi ilmu Barat di mana ilmu itu
dibagi berdasarkan hierarki yang hanya melihat kepada perspektif dunia
semata-mata. Berdasarkan kepada perspektif ini, umat Islam dilihat lebih
komprehensif dan teratur dalam mengklasifikasi ilmu yakni
Daftar pustaka
Ali raza tahir, Islam and Phylosophy (meaning and relationship),
(Department of Philosophy, University of the Punjab, Interdisciplinary
Journal Of Contemporary Research In Business Copy Right © 2013
Institute of Interdisciplinary Business Research 1287 January 2013
Vol 4, No 2.)
Ashraf bin Md. Hashim (2001), “Tahap Pembuktian di Dalam Kes-Kes Jenayah: Kajian Perbandingan Antara Undang-Undang Islam”, Jurnal Syariah, Jil. 9. bil. 2, Julai 2001
Basri Bin Husin, Beberapa Aspek Epistemologi: Konsep, Tabiat Dan
Sumber-Sumber Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Jurnal Usuluddin,
11/9/2010)
Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam (asas Islamisasi ilmu social humaniora),
Jurnal
Ibn Khaldun, `Abd al-Rahman (1996M./1417H.), Muqaddimah Ibn Khaldun,
c. 3. Beirut: Dar al-Fikr
Muhammad Aunul Abid Shad an Sulaiman Mapiase, Islam Garda depan,
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung : Mizan, 2001)
Naquib Al-Attas, the concept of education in Islam: A framework for an
Islamic Education, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1991)
Naquib Al-Attas, Prolegomena to the methaphisis of Islam an exposition of
the fundamental elemen of the worldview of Islam,( Kuala Lumpur,
Osman Bakar (1998), Classification Of Knowledge in Islam, Cambridge,
(UK: The Islamic Texts Society)
Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir Al-Attas ini dalam “the Question
of Methodologhy in Islamic Science dalam tawhid and science: Essay
on the history and philosophy of Islamic science, (Penang dan Kuala
Lumpur, Secretariat for islamic Philosophy and science, Nurin
Interprise, 1991) buku ini diterbitkan sesuai aslinya dengan judul the
history and philosophy of Islamic Science, (Cambrige, Islamic Text
society, 1999)
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, (Jakarta; Raja grafindo
persada, 2013)
Sulhani, Muhammad Arkoun dan kajian pemikiran Islam, Jurnal DINIKA
Vol:3, No:1 Januari 2004
Wan Mohd Nor Wan Daud (2005), Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya,tt)
Yasmeen Mahnaz Faruqi, Islamic view of nature and values: Could these be
the answer to building bridges between modern science and Islamic
science, (Flinders University, School of Education
faru0001@flinders.edu.au, International Education Journal, 2007,
8(2), 461-469. ISSN 1443-1475 © 2007 Shannon Research Press.)
http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/sumber-ilmu-pengetahuan