DIMENSI MORAL
DALAM BENTANGAN FILSAFAT DAN TEORI HUKUM Oleh
Slamet Haryadi1
A. PENDAHULUAN
Worldview modern, beserta tatanan sosial yang dihasilkannya, ternyata
telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan
alam:
“Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek-objek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya telah mengakibatkan obyektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Sehingga mengakibatkan krisis ekologi.
Kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivistis dan positivistis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah sebagai obyek juga, dan masyarakatapun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.
Ketiga, dalam modernism ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah, bahwa nilai-nilai moral-relegius kehilangan wibawanya. Alhasil timbullah disorientasi moral-relegius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan senterusnya.
Ke-empat adalah materialisme. Jika kenyataan terdasar tidak lagi ditemukan dalam religi Maka materilah yang dianggap sebagai
kenyataan terdasar. Materialisme ontologisme ini didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tidak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material.”2
Worldview di atas, di Indonesia dapat diamati dengan banyaknya
fenomena alam, banjir yang terus menerus, tanah longsor, dan bencana alam
yang silih berganti. Hilangnya otoritas moral, relegius dan orientasi kehidupan
materialistis telah menuai, tumbuh suburnya korupsi oleh praktik suap,3
penyelenggara negara (pejabat publik dan penegak hukum) disemua sektor
kehidupan. Kehidupan free sex, dengan kawin cerai, nikah siri,
perselingkuhan. Narkotika, dan meningkatnya berbagai modus kejahatan
anak, membenarkan hilangnya martabat kemanusiaan.
Para pelaku berupaya agar perbuatannya tidak diketahui dan tidak
terjamah oleh hukum, menutupi perbuatannya dengan melemahkan hukum,
“menyuap”, berkolusi ataupun “gratifikasi” kepada Penegak hukum agar bisa
terlepas dari sanksi hukum.4
2 I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:Kanisius,1996)
Hal.29.
3 Indonesia No 1
4 Ketika pejabat-pejabat korup menyuap dan memberi (grativikasi) kepada penegak hukum, maka
Hakim dengan irah-irah “Demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” semestinya bisa menjadi tauladan dalam berhukum dengan
berusaha mencari dan menegakkan keadilan, bukan sebaliknya terlibat dan
menjadi dalang praktek suap, membenarkan yang membayar dan melemahkan
hukum bagi yang tak punya untuk membayar. Perilaku hakim seperti itu
digambarkan dalam penelitian Teddy Asmara sebagai Budaya Ekonomi
Hukum Hakim. Hakim materialistis sebagai hakim rakus5. Gambaran hakim
materialistis adalah gambaran tata sosial dunia modern dan “hukum modern”
dalam arus utama paradigma Positivistik.6
Paradigma positivistik dalam filsafat modern beserta tata dunia
modern dan hukum modernnya, persis dengan yang dikemukakan Descartes.:
Manusia membutuhkan pengetahuan praktis yang memungkinkan manusia mengenali daya dan kekuatan dari semua unsur dan segala sesuatu yang ada disekitar kita, sehingga menjadikan kita “Tuan” dari pemilik alam ini. Sedangkan pandangannya terhadap manusia sendiri Descartes membagi dalam dua hal jiwa sebagai pemikiran (res cogitan) dan tubuh sebagai keluasan (res extensa), keduanya berdiri sendiri dan tidak saling bergantung. Jiwa/pemikiran tidak memiliki keluasan spasial
5 Hakim materialistis yang oleh komunitas pengadilan diberi label hakim “Buser” dan hakim
“KKO” karena tindakannya dalam berhukum seperti yang tidak mau atau tidak mampu membendung pikirannya yang berorientasi kepada keuntungan materi. Watak keserakahannya telah mendorong melakukan tindakan yang mengiyakan keinginan dua pihak yang berseteru dan memenagkan pihak yang membayar yang lebih tinggi. Lihat Teddy Asmara, Budaya Ekonomi Hukum Hakim (Semarang,Fasindo,2011),hal.203-213.
(panjang, pendek, luas, lebar dsb), demikian pula tubuh/keluasan tidak mempunyai kemampuan berpikir.7 Oleh karena itu tidak heran manusia
dalam bentuknya sebagai raga (tubuh/keluasan) diperbudak oleh pemikirannya sesuai dengan keinginannya. Dalam gambaran hukum modern, maka hukum dalam bentuknya yang tertulis menjadi cara pandang berhukum di Indonesia hingga sekarang, hakim sebagai penyampai pesan undang-undang. Maka selain gambaran dunia modern dan gambaran hukum modern menyatu dalam cara pandang Hakim, adalah hakim materialistis dan tidak kritis, karena semata mendasarkan pada bunyi teks undang-undang, meskipun bertentangan dengan hati nurani yang menyuarakan moralitas.8 Dalam keadaan seperti itu, dimungkinkan
sekali pertimbangan hukum putusan disusun tidak tersentuh oleh nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Putusan pengadilan yang dibuat terpisah antara teks dan rasio dengan hati nurani yang menjadi pertimbangan keadilan. Narasi putusan dirumuskan sebagai “permainan kata-kata” (casuistry) oleh hakim-hakim profesional yang dicari dalam teks undang-undang yang dapat dianggap membenarkan sehingga mendapatkan justifikasi logika hukum.
Mengungkap keadilan dalam realitas hukum tidak akan pernah mampu
menembus rasa keadilan karena kehidupan sudah terkonstruksi oleh
konsekuensi kehidupan modern yang materialistis dan cenderung tidak mau
bersusah payah, Paradigma positivism dalam bentuk “hukum modern” legal
Positivistik menampakan karakternya yang sama logis rasional. Pencarian
7 Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual;Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga zaman Modern
(Yogyakarta:Kanisius,2004),hal.206-210.
8 Hati nurani adalah instansi dalam diri yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan,
keadilan (searching to justice) berhenti pada narasi teks undang-undang dan
Uang yang datang. Inilah kebudayaan modern
Oleh karena itu berpijak pada situasi sosial yang ada, maka moral adalah pusat permasalahan. Moral adalah martabat manusia yang melekat pada hati nurani9 kepribadian manusia, merupakan domein yang dipinggirkan
dalam wacana rasionalitas modern, oleh karena itu membangkitkan moral sebagai pokok persoalan ditengah modernitas kehidupan yang penuh korupsi,
merupakan refleksi kritis atas paradigma positivisme dengan tata sosial modernitasnya.
Hukum modern juga telah memisahkan hukum dan moral dalam
kerangkeng legal positivistik10 yang memang telah lama bersemayam dalam
alam berhukum para hakim di Indonesia. Oleh sebab itu wacana moral
9 Moral harus dibedakan dengan budaya meskipun keduanya membicarakan kebiasaan-kebiasaan manusia dalam berbagai traraf kebudayaan dan peradaban. Seperti dalam Antropologi Budaya, yang dipelajari asal muasal perkembangan adat kebiasaan manusia tanpa melancarkan keputusan tentang kebenaran dan kesalahan moral dari adat kebiasaan tersebut. Justru dari kebenaran dan kesalahan dari adat kebiasaanj itulah yang menjadi minat flsafat moral. Lihat Puspoprodjo, Filsafat Moral, Kesusilaan dalam Teori dan Praktek,(Bandung,Pustaka Grafka,1999),hal.24.
merupakan ruang yang terbuka bagi ilmu pengetahuan terutama hukum untuk diskusi yang jujur.
Moralitas untuk membimbing tindakan dalam peran hakim, menganjurkan kepada manusia untuk menghentikan, mengambil, merevisi dan menyusun kembali peran-2 yang membentuk masyarakat dalam budaya yang
materialistis dan kapitalis serta tidak memberikan penilaian. Moral idealnya dapat merefleksi kritis persoalan berhukum yang tidak terjawab oleh hukum
modern. Untuk inilah kajian moral menjadi wacana penting berhukum kita bukan basa-basi lagi.
B. PEMBAHASAN
Tulisan ini dimaksudkan untuk menampilkan konsepsi moral sebagai nilai dasar yang fundamental, melekat dalam konsep keadilan sekaligus dalam
konsep hukum yang memungkinkan tetap mengabadi dalam pelbagai pergeseran paradigma. Konsepsi moral selama ini dan oleh kebanyakan orang
dipahami secara beragam dan cenderung menghilangkan bentuk aslinya sebagai konsep yang terang dan jelas dalam hubungannya dengan hukum.
Untuk memahami konsep moral dalam hubungannya dengan
(1724-1804) filsuf yang paling berpengaruh dan kritis dalam sejarah melampaui filsafat modernisme, dimana ketika filsuf filsuf modern lain “tidak kritis”.
Pembahasan moral dalam perkembangan teori hukum agar menemukan tempatnya dalam idealisme hukum. Penulis mempertemukan dengan Hermeneutika hukum sebagai senter (penerang) yang akan “mencerahkan”
pembahasan dalam istilah Gadamer “dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora”11 dalam
suasana dan dialog yang komunikatif terbuka dan jujur dalam konteks kebangsaan kita.
Sebelum menggunakan filsafat moral Kant untuk pembahasan lebih
lanjut, perlu mengenal dan mengerti, apakah yang membuat tindakan baik atau buruk ? apakah setiap orang yang melakukan tindakan moralnya baik
atau buruk ? bagaimana kita bisa menerima untuk membenarkan kesimpulan
tentang moral atas apa yang seharusnya dilakukan dan apakah setiap orang
mempunyai keharusan ? bagaimana filsafat dan teori moral berusaha
memberikan jawaban sistematis atas banyaknya pertanyaan-pertanyaan umum
tentang apa yang seharusnya dan bagaimana.
Moral oleh K.Bertens mempunyai etimologi yang sama dengan etika12
sekalipun bahasa asalnya berbeda. Etika adalah merupakan ilmu moral13
Moral mengandung arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya
sama dengan moral. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. 14
12 Etika dalam bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan. Dalam bahasa latin kata untuk
kebiasaan adalah mores dan dari sinilah asal kata moral, moralitas, mores. Secara etimologis etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi-konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata karma,etiquette, dan semacam itu. Akan tetapi terdapat kebiasaan yang fundamental yang berakar pada sesuatu yang melekat pada kodrat manusia, seperti mengatakan kebenaran, membayar utang, menghormati orang tua dan lain sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut bukan sekedar kebiasaan atau adat semata, melainkan berasal dari suaatu prinsip yang pasti dalam kodrat hakekat manusia. Baik dalam arti seutuhnya, bukan dalam hal ini atau hal itu, dalam lapangan ini atau lapangan itu, melainkan baik sebagai manusia. Manusia bisa baik sebagai ahli politik, pedagang, atau apasaja. Tetapi selama ia tidak memiliki susila yang baik, ia beliumlah baik sebagai manusia. Hal-hal seperti itulah yang akan dibicarakan dalam filsafat moral atau etika.Poespoprodjo, Filsafat Moral:Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek (Bandung:Pustaka Grafika,1999),hal.18-19.
13 John StuartHenry Hazlit Mills dalam Henri Hazlit,Dasar-Dasar Moralitas, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003),hal.7.
14 Baik dan buruk suatu perbuatan manusia, dalam arti etis telah memainkan peranan dalam
Baik dan buruk dalam perspektif kehidupan moral manusia, melekat
sikap batin dan perbuatan-perbuatan lahiriahnya.15 Oleh karena itu moral
berhubungan dengan hati nurani, tuntutan yang harus ditaati atau diminta
ditaati sebagai keharusan moral.16 Kenyataan moral menarik untuk dikaji
terutama terkait dengan Hakim sebagai penjaga keadilan masyarakat.
Oleh karena itu dengan pengetahuan dan pengalaman moralitas, tugas
etika adalah menyelidiki, menemukan, menjelaskan prinsip-prinsip moral
yang berlaku umum baik untuk kehidupan sosial maupun untuk kehidupan
pribadi. Penyelidikan tentang moralitas dapat dilakukan melalui pendekatan
non filosofis (etika deskriftif) dan pendekatan filosofis (etika normatif dan
etika analitis).17 Dengan kata lain etika atau moral menjadi cabang disiplin
filsafat. Poespoprodjo menyebutnya, filsafat moral mempelajari fakta dari
pengalaman bahwa manusia membedakan yang benar dan yang salah, yang
15 Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang
yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin seringkali disebut hati. Tetapi sikiap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Dengan kata lain moral dapat diukur dengan tepata apabila kedua segi diperhatikan. Al.Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta:Kanisius,1990),hal.13-14.
16 Bertens membagi keharusan menjadi dua macam, keharusan alamiah dan keharusan moral.
Keharusan alamiah didasarkan pada hukum alam. Contoh, “bila lebih dari separuh tiangnya digergaji, rumah itu harus roboh”. Sedangkan keharusan moral di dasarkan pada hukum moral, contoh, janji harus ditepati, barang yang dipinjam harus dikembalikan. Op.Cit.hal.15.
baik dan yang buruk dan mempunyai rasa wajib. Tiga macam kecenderungan
manusia untuk menentukan putusan atas perbuatannya yaitu:
1.Perbuatan-perbuatan manusia sepantasnya/seharusnya dikerjakan manusia;
2.Perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya/seharusnya/seyogyanya dikerjakannya oleh manusia;
3.Perbuatan-perbuatan manusia boleh mengerjakannya atau boleh tidak mengerjakannya.18
Filsafat moral dipahami sebagai refleksi kritis atas tingkah laku manusia
dari sudut norma atau dari sudut baik dan buruk. Ciri khas filsafat tampak pada
moral atau etika. Filsafat moral juga tidak berhenti pada yang konkret, pada yang
secara factual dilakukan, tetapi bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan, tentang yang baik dan buruk untuk dilakukan. Dalam relasi
dengan hukum dan moral hakim, filsafat moral juga menyibukkan diri dengan
menyoroti segi normatif dan segi evaluatif. mengevaluasi mengapa hakim
melakukan praktik suap korupsi dibiarkan (permissive) atau dicegah dan
dilawan ? bagaimana argumentasinya ? dan apa yang harus dilakukan manusia ?
Filsafat moral Kant tepat digunakan untuk melintas berbagai paradigma
yang menjadi pangkal pemikiran teori hukum, karena konsepsi moral Kant menurut penulis memiliki kemampuan yang mengesankan dalam menjelaskan konsep moral dalam tindakan manusia khususnya Hakim sebagai “judge made
law” dengan irah-irah “Keadilan yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Kant meskipun dipengaruhi oleh pandangan Rasionalisme, tetapi lebih “out of
the box” dari hegemony positivisme yang kuat pada saat itu, menurut Simon
Petrus, Kant mengaku bangun dari “tidur dogmatik”nya dan memulai suatu filsafat yang dinamakannya sebagai kritisme19.
Kritik Kant terhadap rasionalisme dan empirisme dituangkan dalam karyanya “Kritik der reinen Vernunft” ( Kritik atas Budi) filsafatnya telah
mengalihkan, bahwa pengenalan berpusat pada subjek (manusia), bukan pada objek (alam) sebagaimana dibanggakan Descartes. Sebelum itu, filsafat lebih dipandang sebagai suatu proses berpikir dimana “kita” sebagai subjek
mengarahkan diri pada “dunia”. AKan tetapi sejak muncul pemikiran Kant arah tersebut berubah. Sekarang Obyek mengarahkan diri kepada Subjek untuk proses
menjadi pengetahuan. Dengan demikian Filsafat Kant tidak diawali dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan mempelajari struktur-struktur Subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek20.
19 Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan berlebih dahulu menyelidiki
kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisme perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan filsafat dogmatik (dogmatisme). Dogmatisme menganggap pengetahuan objektif sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Sebagai suatu sistem filosofis, dogmatisme mempercayai kemampuan rasio dan mendasarkan padandangannya pada ketentuan-apriori atau pemahaman yang ada tentang Tuhan,substansi atau monade, tanpa menanyakan apakah rasio telah memahami hakekatnya sendiri, yaitu luas dan batas-batas kemampuannya. Lihat,Simon Petrus L.Tjahyadi, Petualangan Intelektual:konfrontasi dengan Para Filsuf dari zaman Yunani sampai Zaman Modern (Yogyakarta:Kanisius,2004), hal.278-299.
Ajaran Moral Kant, di dasarkan apa yang disebut dengan “kewajiban” sebagai dasar tindakan. Buku Kant yang juga terkenal Grundelgung zur Metaphysic der Sitten (Landasan Metafisika kesusilaan), Kant mengatakan
bahwa satu-satunya hal yang terbaik “tanpa kecuali” adalah keinginan baik. Semua hal lain (kekayaan, praestasi, atau kesehatan) hanyalah baik secara
terbatas. Semua itu menjadi tidak baik bila disalah gunakan oleh orang yang akan berbuat jahat. Namun dalam keadaan pada saat itu kita harus berjuang melawan berbagai dorongan hawa nafsu, misalnya dorongan untuk mencari
untung atau menang sendiri, bertindak menurut keinginan baik berarti bertindak demi kewajiban. Hanya kalau bertindak demi kewajiban sebagai
hukum batin yang kita ta’ati, maka tindakan kita mencapai moralitas. Jika hanya melakukan ssesuatu demi ketaatan pada norma lahiriah dan bukan demi kewajiban, maka kita baru memenuhi tuntuan legalitas saja. Tindakan ini
belum memiliki nilai moral. Secara moral tidak baik dan tidak buruk. Nilai moral suatu tindakan terletak pada pelaksanaan kewajiban atau dengan kata
lain, kewajiban adalah dasar tindakan moral.
transendensi yang melampui batas relasi manusia dan yang maha adil. Kant seperti menginsyafi adanya kewajiban atas manusia sebagai makhluk yang
berakal dan mulia dilahirkan untuk kebaikan orang, melakukan tindakan senantiasa dalam cara dan jalan yang benar “tanpa pamrih” sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu yang selalu menggoda untuk berbuat “pamrih”.
Ini menarik, tetapi Kant merasionalkan memaknai kewajiban menurutnya adalah keharusan rasa hormat terhadap hukum. (hukum disini
dipakai untuk menunjukkan daya ikatnya yang berlaku secara umum bukan sifat lahiriahnya). karena hukum yang bersifat lahiriah pada dasarnya belum bisa memberikan kewajiban kalau hukum tersebut tidak bisa membangkitkan
rasa hormat (achtung) dalam diri kita untuk mentaatinya. Hukum yang membangkitkan rasa hormat bisa kita lihat sebagai kewajiban.
Menurut Kant kewajiban sebagai tindakan moral dibedakan antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan tindakan demi kewajiban. Yang pertama tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung
(misalnya rasa iba) melainkan ada tujuan baik atau kepentingan yang menguntungkan. Tindakan pedagang yang tidak ingin menipu pembeli.
kepentingan diri sendiri, pertimbangan untung rugi, dan berbagai kecenderungan langsung, seperti rasa senang atau rasa enak.
Dari dua contoh di atas yang perlu mendapat perhatian. Pertama moralitas bersumber pada tekad batin untuk melaksanakan kewajiban, maka secara moral kita dapat menilai orang lain secara pasti tetapi dari perbuatan
lahiriahnya saja. Kedua perbedaan antara perbuatan yang sesuai dengan kewajiban dan perbuatan yang dijalankan demi kewajiban mengimplikasikan
adanya perbedaan dalam kekuatan atau daya ikat suatu kewajiban. Oleh Kant keajiban juga terbagi menjadi dua, katagoris atau hipotetis. Imperatif hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sarana
atau syarat untuk mencapai sesuatu yang lain, contoh bila ingin mendapat nilai 10 dalam ujian bahasa Jerman, belajarlah dengan giat. Sedangkan Imper
Katagoris adalah perintah mutlak dan berlaku secara umum entuknya, kamu wajib, karena kamu wajib,maka kamu bisa.
Kant juga pertama mengedepankan prinsip hormat kepada pribadi
dalam ajarannya mengenai moral. Prinsip ini mengatakan, kita tidak boleh menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan
kaeadah tujuan (mengambil keputusan moral) memperhatikan pertimbangan pihak lain.
Selain itu Kant menyebut Prinsip Otonomi sebagai prinsip kesusilaan yang paling tinggi karena membawa manusia pada pandangan kebebasan sebagai kodrat dan kemampuan diri sendiri dalam tindakan moral.
AJaran moral Kant dalam relasinya dengan Tuhan adalah Allah dan Suara hati dan Allah dengan tujuan moralitas. Kesadaran moral dalam suara
hati adalah mengandaikan Allah yang perintahnya wajib kita taati. Manusia menyadari tuntutan Allah yang menjamin hukum abadi. Bagi Kant suara hati adalah kesadaran akan suatu otoritas yang secara mutlak mengikat manusia
pada kewajibannya. Sedangkan kesadaran moral mewajibkan kita mengusahakan kebaikan tertinggi. Dengan kata lain kebahagiaan disediakan
oleh Allah bagi mereka yang hidup baik secara moral.
Konsep moral Kant tersebut dengan hermeneutika hukum akan digunakan sebagai pengurai hukum dengan paradigmanya dalam
peerkembangan teori hukum.
1. Paradigma Aristotelian
Dalam tradisi kaum Aristotelian, kerangka berpikir yang dianut adalah idealisme, dengan teori a priori menjadikan pangkal kebenaran terletak pada
subyektivisasi manusia. Suatu perbuatan benar-salahnya dilihat dari norma-norma moral dan sosial masyarakat. Kebenaran dihasilkan oleh kesesuaian antara perbuatan dengan patokan baik-buruknya dan atau benar-salahnya
perbuatan.
Berpangkal pada paradigma Aristotelian ini, maka Moral adalah tolok
ukur kemanusiaan dengan kepribadian yang utuh dan bermartabat yang memberikan penilaian tentang baik-buruk, benar-salah. Karena kehadiran manusia dalam semesta alam untuk sesuatu yang pasti. Pertanyaan
fundamental atas hidupnya, dari mana asalnya dan kemana harus menuju menjadi latar kehidupannya. Para pendiri negara (The founding Fatahers) soal
“sangkan paraning urip” (asal mula tujuan hidup) menjadi soal fundamental, dengan latar kebangsaan yang berbhineka tunggal ika, dibangun pandangan hidup Pancasila, agar tujuan manusia dan tujuan negara sejalan, menjadi
manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
Keberadaan manusia, oleh Poespoprodjo adalah hal yang khusus dan terdapat tuntutan keharusan yang mesti ditaati jika ia hendak hidup sebagai
manusia. Seperti terkandung dalam Serat Wulang Reh, Djangkep XI Asmaranadana Sebagai berikut:
“Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira. Uripe pada lan kebo, angur kebo dagingira kalal yen pinangana, pan manusa dagingipun, yen pinangan mesti karam. (Tidaklah mudah orang itu hidup, bila tiada tahu akan hakekat hidupnya, samalah hidupnya dengan kerbau, bahkan kerbau lebih berharga, dagingnya halal bila dimakan, sedangkan daging manusia bila dimakan pasti haram)”21
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, membuat alat-alat dan mengetahui penggunaan alat-lat tersebut untuk tujuannya. Oleh karena itu
tidaklah membutuhkan loncatan pemikiran yang sulit untuk kemudian bertanya mengenai dirinya sendiri, untuk apakah manusia ?, tujuan apakah
yang dipastikan untuk dicapainya ? apakah arti hidupnya, apakah maksud hidupnya ?, tetapi apakah manusia secara total mempunyai tujuan ?. Untuk itu diperlukan kesesuaian antara penggunaan alat dengan cara yang benar.
Ada cara bmasyarakat yang benar, berhukum yang benar. Cara yang benar memberi kepuasan, kesuksesan, dan ketenangan sedangkan cara yang salah
menyebabkan kekecewaan, kegagalan dan frustasi.
Oleh karena itu Aristoteles yang lahir di Yunani, memulai menyusun cara-cara hidup yang baik ke dalam suatu system dan dilakukan penyelidikan
tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat yang melahirkan cabang filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etika.
Etika Aristoteles telah memberikan tempat yang pantas untuk yang
namanya keadilan, kebajikan, kemurahan hati, pemikirannya yang mengarahkan kepada jalan yang baik dan kemanfataan seseorang di
masyarakat. Etka Aristoteles juga sering digambarkan sebagai naturalistic, berusaha mencari dan menunjukkan keharmonian antara moralitas dengan perilaku manusia.22
Moral dalam Perspektif Hukum Alam (Paradigma Aristotelian)
Untuk memahami konteks prinsip-prionsip pemikiran hukum alam khususnya dalam bentuknya sebagai norma moral. Dari beberapa catatan
penting buku Summa Theologiae Thomas Aquinas terdapat 3 tingkatan atau level interelasi hukum alam yang menjadi ajarannya.23 Tingkatan pertama,
yang terdiri dari beberapa pengetahuan tentang prinsip-prinsip hukum alam yang secara umum menjadi ajaran hukum alam sendiri. Tingkatan kedua, 22 Andreas Sofrononiou, Moral Philosophy, The Ethical Approach: Throuhg The Ages (Swindon
UK,Psysys Limited,2003). p.23
23 William E May, German Grisez on Moral Principles and Moral Norm:Natural and Cristian.
mencakup norma moral khusus yang menjadi perhatian adalah pada “pengejawantahan tindakan manusia yang dapat segera dilakukan dengan
sedikit pertimbangan yang diperoleh dari prinsip-prinsip kebiasaan. Yang menjadi ajaran tindakannya adalah “latar alamiah setiap orang untuk memberikan penilaian atas apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan.
Thomas Aquinas menegaskan bahwa ajaran moral Decalogue24 termasuk
dalam tingkatan kedua dari ajaran (aliran) hukum alam. Tingkatan ketiga
berupa penilaian untuk pertimbangan banyak keadaan yang berbeda yang diperlukan untuk melakukan tindakan berhati-hati bukan kepada setiap orang tetapi untuk bijaksana.
Ajaran moral tidak termasuk dalam ajaran decalogue, tepatnya merupakan ajaran yang sesuai dengan yang ditemukan melalui penyelidikan
yang cermat terhadap kebijaksanaan tetapi terkandung dalam prinsip-prinsip ajaran decalogue. Makna ajaran moral tidak menerangkan kepada semua orang, tetapi orang agar menjadi bijaksana, dan ajaran moral dimaksud adalah
lebih bersifat melengkapi ajaran decalogue.
Uraian di atas menunjukkan secara jelas Thomas Aquinas berpegang
pada ajaran hukum alam yang utama (decalogue) dan yang umum (moral).
24 Decalogue adalah risalah ajaran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Musa
Hukum alam sebagai landasan dikenal oleh setiap orang sebagai cahaya kebenaran. Kebenaran dalam kaedah moral secara khusus dapat ditemukan
dan ditunjukkan dalam decalogue, bahkan individu terbiasa memahami kebenaran dari ajaran moral yang terdapat dalam decalogue dengan mengkaitkannya dengan dasar-dasar yang utama dan yang umum, meskipun
kebenaran yang dimaksudkan masih samar (khususnya tentang realitas dosa dan konsekuensinya), karena itu Tuhan membuat manusia mengenalnya
melalui wahyu illahi. Lebih lanjut Thomas Aquinas berpegang pada kebenaran ajaran moral khusus (misalnya, sadarlah mumpung belum tua, hormati orang yang lebih tua) dalam ajaran decalog dapat ditunjukkan sebagai
nur, bahwa pengabdian kepada Tuhan adalah premis untuk lebih memastikan norma moral.
Tetapi apakah yang dimaksud dengan keutamaan dan keumuman dalam prinsip hukum alam, yang dikenal sebagai dasar-dasar kealamiahan yang pasti itu adalah ajaran moral. Seperti ditegaskan Thomas Aquinas dalam
Summa Theologiae, bahwa yang paling utama dari ajaran hukum alam adalah
sebagai berikut, kebaikan adalah suatu yang harus dilakukan dan dikejar,
sebagai konsekuensi yang harus diraih. Semua pikiran ditujukan untuk menjadi manusia yang cenderung alamiah dan memahami mencegah dan
menghindari kejahatan.
Thomas mengidentifikasi kemajuan manusia adalah pada kehidupan itu sendiri. Seperti Pasangan suami isteri dalam memberikan pendidikan
kepada anak, kehidupan sosial dengan pengetahuan yang benar terutama kebenaran tentang Tuhan sebagai tujuan manusia mencapai kebaikan dan
menghindari kejahatan. Tetapi di dalam prinsip hukum alam tentang keutamaan dan keumuman juga berkaitan dengan ajaran moral tentang satu keharusan tidak membunuh (one ought not to kill/non esse occidendum)
adalah kesimpulan yang berasal dari proposisi dasar hukum alam bahwa “kejahatan tidak boleh dilakukan kepada siapapun juga”.
Paling utama dari ajaran moral secara sederhana sebagaimana disebutkan dalam sepeluh ajaran dari decalog yaitu,: first and principle precept of the law, you shall love the lord your God, you shall love your
neighbor, first and common precept of natural law, All of the precept
Decalogue are reffered to these two as conclution to their common
principles, more certain moral precept, commandement regarding love of
another what he would have done to himself, are as it were the end of the
precept.25
2. Filsafat Moral dalam Perspektif Hukum Modern (Paradigma Positivistik)
Pembicaraan filsafat dan ajaran moral dalam perspektif filsafat modern dan hukum modern bisa digolongkan mengalami marginalisasi, karena pada
saat itu filsafat pengetahuan yang berkembang dalam paradigma positivistic terbangun dalam epistemology pendayagunaan potensi pengetahuan untuk mengelola alam dan segala apa yang ada disekitar kita sebagai objek – subjek.
Sehingga dengan demikian. Pengetahuan manusia terpisah dengan kepentingan manusia, maka moral, perasaan, emosi, ideology tidak masuk
dalam menentukan pengetahuan itu. Menurut Widodo26, Pengetahuan merupakan suatu hal yang steril dari subyektivitas manusia itu sendiri ilmu pengetahuan hanya metode untuk memperoleh suatu pengetahuan sehingga ia
lepas dari permasalahan-permasalahan etika dimana hal itu urusan manusia. Pengetahuan-untuk pengetahuan bukan pengetahuan untuk manusia. Dalam
lapangan hukum hukum untuk hukum, bukum hukum untuk manusia.
25 Ibid, p.6.
Positivisme diartikan sebagai sesuatu yang nyata, pasti dan jelas atau kebalikan sesuatu yang khayal, metaphisik, dan tidak lagi dibuktikan secara
empiris. Dalam perkembangannya , positivism semakin ketat dan menuju kearah penataan dan atau penertiban, tidak hanya membatasi fakta yang dapat diamati secara empiric, namun pengetahuan harus berbasi pada data.
Positivisme terus berkembang dengan segala variannya dan tidak hanya mengutak atik fakta melainkan ranah bahasa dan teks yakni positivism
logis. Jika positivism memberikan perhatian pada data sebagai sumber ilmiah ilmu pengetahuan, maka positivisme logis untuk memberikan criteria yang ketat, menetapkan apakah sebuah pernyataan benar, salah atau tidak memiliki
makna sama sekali dengan cara memverivikasi secara empiris berdasrkan hubungan dengan data atau fakta. Semua bentuk pernyataan atau diskursus
yang tidak dapat diverifikasi secara empiris adalah “etika dan estetika”.27 Dalam pemikiran hukum modern, moral yang memuat proposisi normative dan evaluative, menurut pandangan positivistic dianggap tidak
rasional dan non kognitif dan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Karena itu kaum positivistic memepelajari hukum secara ilmiah memisah hukum dan
moral.28
27 Ibid.kan hukum dan moral
28 Hart secara tegas bersikukuh menekankan pemisahan konsep hukum dengan moralitas. Hart
Adalah KH.A.Mustofa Bisri tokoh Nahdlatul Ummah (NU) langitan yang risau dengan kondisi modernitas dan hokum modern di Indonesia secara
kritis tetapi estetis mengungkapkan dalam pusinya (1987) yang berjudul “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagai Mana” sebagai berikut:
Kau ini bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya Aku Kau suruh berdisiplin, Kau menyontohkan yang lain
Aku harus bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, Kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara tiap saat
Kau bilang Kau suka damai, Kau ajak Aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh membangun, Aku membangun Kau merusaknya Aku Kau suruh menabung, Aku menabung Kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku menggarap sawah, sawahku Kau tanami rumah-rumah Kau bilang Aku harus punya rumah, Aku punya rumah Kau meratakannya dengan tanah
Kau ini bagaimana?
Aku Kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku Kau suruh bertanggung jawab, Kau sendiri terus berucap Wallahu a'lam bissawab
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku jujur, Aku jujur Kau tipu Aku
Kau suruh Aku sabar, Aku sabar Kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
semaumu
Kau bilang Kau selalu memikirkanku, Aku sapa saja Kau merasa terganggu
3. Moral dalam Perspektif Hukum Post Modernisme (Paradigma Kritikal)
Postmodernisme29 meskipun sebagai istilah masih kontroversial, tetapi dilain pihak telah memikat minat masyarakat akademik untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental
yang kini sedang dialami umat manusia. Beragamnya aliran yang masuk dalam Postmodernisme, kiranya masih dapat diidentifikasi dan
dikelompokkan, seperti kelompok Dekonstruktif, dan yang lain kelompok yang cenderung Konstruktif atau revisioner. Pada kelompok dekonstruktif dapat dimasukkan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Foucault dan Rorty.
Sedangkan pada kelompok konstruktif atau revisioner dapat dimasukkan, seperti Heidegger, Gadamer, Ricouer, Mary Hesse dari tradisi hermeneutika.
Selain itu David R.Griffin, Frederic Ferre, D.Bohn, dari tradisi studi proses
29 Post Modernisme merupakan istilah yang longgar dan ambigu dalam pengertiannya. Ia
Whitehedian. Juga F.Capra, J.Lovelock, Gary Zukav, I.Prigogine dari tradisi fisika yang berwawasan holistik.30
Bila diamati dari studi-studi ilmiah dan diskusi-diskusi tentang Postmodernisme kelompok konstruktif dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan intelektual berlatar relegius, seperti Nurcholis Madjid, Amien Abdullah,
Mudji Sutrisno dan lain-lain dan selain itu dari akademisi termasuk diantaranya adalah Essmi Warrasih yang menginspirasi tradisi hermeneutika
dalam studi doktoral di Universitas Diponegoro. Hermeneutika sebagai studi hukum seiring dengan berkembangnya postmodernisme. Mulai merebak kembali sekitar tahun 1970an dengan banyaknya studi-studi penting
diantaranya Kemanfaatan Bible dalam akhlak (moralitas) Kristen, etika Bibel, dan Etika testamen31 dan banyak lagi.
Studi Hermeneutika sesungguhnya telah dimulai dan dilakukan pada masa kejayaan hukum alam dalam fungsinya menafsirkan pesan ilahiyah dalam bentuknya sebagai herneneuin, yakni mengacu kepada seorang pendeta
bijak Delpic. Hermeneuin diasosiasikan dengan pada dewa Hermes. Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik
pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia
30 Bambang Sugiharto,Op.Cit.hal.16.
manusia.32 kemudian terjadi pergeseran paradigma positivistic, hermeneutika dan moral kehilangan otoritasnya, oleh karena itu dalam paradigma
konstruktivistik dalam tata sosial postmodernime, tampak mulai bersinergi kembali sebagaimana dikemukakan Gadamer, dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.33
Hermeneutika merupakan titik fokus mengungkap yang sebenarnya makna pemberantasan korupsi, dan mempertegas “penjelasan” makna khusus
suap pada hakim dalam hubungann dengan dunianya (worldview) dan dengan teks dan suasana batin (moral) hakim. Serta memahami interpretasi hakim terhadap pertimbanganan hukum (putusan) bermakna moral suap atau moral
anti suap.
Upaya membongkar moral hakim melawan korupsi (suap) adalah
fokus utama studi hermeneutika hukum untuk meberikan jawaban yang benar atas pergulatan moral hakim terhadap suap. Hermeneutika menjadi nasib penentu perlawanan terhadap korupsi (suap) di lingkungan peradilan dan
32 Asal kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata heermeneuin yang berartri menafsirkan dan kata benda hermenea yang berarti interpretasi. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuki dasar makna dalam pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam teoloogi dan sastra dan dalam konteks sekarang ia menjadi keyword untuk memahami hermeneutika modern. Lihat Richard E.Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2005). hal.14-25.
membawa implikasi penting terhadap penegakan hukum yang adil bagi kehidupan dan keberadaan orang banyak dalam hubungannya dengan
pemberantasan korupsi.
Hermeneutika hukum yang berbasis paradigma konstrutivisme hendak merenungkan pemikiran postmodernisme tentang,
1) “yang baik” atau hukumnya hukum,
2) Yang Benar, atau hukum moral subjek yang berlangsung secara
mandiri, dan,
3) Prinsip-prinsip suatu bawaan dalam system hukum.34
Menurut Ducilla Cornell terdapat dua pengertian ketika menyebut
perkataan “yang baik” . Pertama yang baik harus dipahami dalam pengertiannya yang universal, sebagai keniscayaan yang tidak terhindarkan lagi pada semua
subjek. Kedua, yang baik harus dipahami sebagai kemungkinan imanen reinterpretasi etis terhadap semesta konkret dalam suatu system hukum yang terkonseptualisasi sebagai nomos yang tidak tertentukan. Ketiga bidang ini “yang
baik”, “yang benar” dan prinsip-prinsip legal tidak bisa direduksi menjadi
kategori-kategori pikiran, karena semua itu menggambarkan tipe interaksi manusia.
Hegel mengenali adanya saling pengaruh antara ketiga hal tesebut, karena itu ia memaknai sebagai bagian dari sistem. Tetapi makna ketiga dalam pengenalan Hegel sampai kepada kita hanya melalui pengetahuan absolut dimana
yang baik tersingkap sepenuhnya. Hegelianisme hanyalah salah satu diantara banyak upaya yang mencoba mendasarkan sistem hukum aktual diatas landasan
konsepsi mengenai yang baik.
Drucilla dengan berfokus pada Hegel dengan alasan yang berbeda. Hegel menolak teori-teori deontologist mengenai yang benar sebagai basis system
hukum modern, ia menentang Neo Kantoanisme yang memandang bahwa normativitas yang benar tidak bisa bersandar pada dirinya sendiri. Dengan kata
lain Hegel mengingatkan kepada kita dalam modernitas maupun postmodernitas sekalipun kita masih terkungkung dalam jalinan ketiga hal tersebut. Justru bidang yang baik iniloah yang diperdebatkan dalam moralitas neo Kantian yang
inkonsisten dengan modernitas.
Sebagai ganti atas hukumnya hukum atau “yang baik” ditempatkan
menyebutkan secara tersirat tentang yang baik itu. Justru kegigihan atas saling pengaruh antara ketiga bidang tersebut membuat kisah postmodern yang
diuraikan Drucilla menjadi istimewa dibandingkan dengan sudut pandang neo Kantianisme.
Perdebatan terkini dalam yurisprudensi Amerika mengenai kemungkinan
hermeneutika hukum menjawab atas pertanyaan, bisakah kita lepas dari Penal Colony dalam sistem hukum modern ? jika hukum direduksi mkenjadi legitimasi
positif kekuasaan institusional melalui prosedur hukum yang mapan. Menurut Levinas adalah yang baik, hukumnya hukum, sebagai tanggungjawab atas yang lain yang menyeru kita pada keadilan.
C. PENUTUP
Moral dalam lintasan Perkembangan teori-teori hukum sejatinya menempati kedudukan yang fondasional dalam filsafat, teori maupun metode dalam berhukum. Worldview dari ketiga paradigma sebagaimana diuraikan dalam
pembahasan sesungguhnya menempatkan moral sebagai institusi penting dalam berhukum, hanya saja hegemony yang mendunia dari pemikiran positivist
Konstruktivisme yang mengusung Postmodernisme sebagai perlawanan dalam filsafat hermeneutika ternyata memiliki lintasan dengan paradigma Aristotellian
tentang bagaimana hukumnya hukum, yang baik yang memberikan keadilan. Dalam filsafat Postmodernisme, teoridan filsafat hermeneutika hukum dapat menyemai keadilan, karena hermeneutika hukum mendasarkan pada kejujuran
subyek sebagai manusia, para ahli hukum, teolog dan para ilmuan kemanusiaan duduk bersama bedialog dengan moral, hati nurani, agama dan ilmu social
menemukan keadilan yang dibuthkan oleh hukum. Wallhu alam Bishawab,
Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:Kanisius,1990. Charles H. Crosgrof, Appeling to Scripture, In Moral Debat:Five
Hermeneutical Rules, Michigan: Wm. B Eerdmans Publishing,2002. Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum,Sejarah,Teori dan Praktik,
Bandung,Nusa Media,2011.
I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta:Kanisius,1996.
John Stuart Henry Hazlit Mills dalam Henri Hazlit,Dasar-Dasar Moralitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2003.
K. Bertens, Etika, Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,2011.
Neil Mac Comic, H.L.A. HART, California:Stanford University Press,1981. Puspoprodjo, Filsafat Moral, Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung,
Pustaka Grafika,1999.
Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2005.
Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual;Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga zaman Modern,
Yogyakarta,Kanisius,2004.
Teddy Asmara, Budaya Ekonomi Hukum Hakim (Semarang,Fasindo,2011) Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme