• Tidak ada hasil yang ditemukan

AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONALDALAM HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONALDALAM HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK

PAPER TUGAS INDIVIDU

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Hukum Perjanjian Internasional

ASYSTASIA SABATHRIN CINDANANTI

1206230662

FAKULTAS HUKUM

PEMINATAN HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK

DEPOK

(2)

Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional

Dalam pembahasan ini lebih ditekankan kepada pelaksanaan amandemen atau modifikasi dalam perjanjian internasional yang subyeknya adalah negara dan tidak dibahas mengenai organisasi internasional karena pengaturan di konvensinya kurang lebih serupa. Sebelum lebih jauh membahas amandemen dan modifikasi perjanjian internasional, perlu ditekankan bahwa aturan mengenai amandemen dan modifikasi yang dibahas di makalah ini adalah hukum yang mengatur perjanjian berbentuk multilateral atau perjanjian yang pesertanya lebih dari 2 negara. Bagi perjanjian bilateral aturan VCLT tetap berlaku secara umum namun tidak perlu memenuhi beberapa tahapan prosedur formil dalam VCLT karena amandemen dan modifikasi pada perjanjian bilateral secara sederhana hanya perlu persetujuan dan kesepakatan kedua belah negara peserta perjanjian.

Di zaman dulu tidak dikenal amandemen namun konsep pengubahan perjanjian telah dikenal dengan istilah 'revisi' (terminologi mana digunakan pada zaman pemerintahan Hitler di Jerman terkait dengan perjanjian Versailles)1. Perbedaan antara amandemen dengan modifikasi pernah disebut Jan Klebber,

...The most formal way to change a treaty is by amendment under Vienna Convention Art. 40...by definition involves all parties to the original treaty. If only some parties are concerned with attempts to revise a regime, the convention speaks of a modification between those parties inter se. Such modification is generally permitted as long as it does not deprive others of rights under the original version of the treaty concerned, and as long it is compatible with the treaty's object and purpose.2

Dari pernyataan diatas dapat dibedakan bahwa amendemen dan modifikasi memang sama-sama bertujuan mengubah hal-hal yang diatur dalam perjanjian namun, dari segi siapa para pihak yang terlibat dalam proses pengubahan dan yang terkena akibat hukum dari perubahan itu berbeda.

1 Jan Klabbers, International Law, (Maryland: Cambridge University Press, 2013), hlm. 57.

(3)

Amandemen

Terminologi "amandemen" dalam Art. 40 VCLT 1969 merujuk pada perubahan formal ketentuan perjanjian internasional yang mempengaruhi semua pihak dalam perjanjian tertentu. Perubahan itu harus memenuhi syarat formalitas yang sama seperti saat pembentukan perjanjian aslinya saat pertama kali dibentuk. Banyak sekali perjanjian multilateral yang memberikan persyaratan spesifik untuk memuaskan para negara peserta yang akan mengadopsi hasil atas dari perubahan perjanjian. Dalam kondisi tidak adanya aturan-aturan tertentu yang dimaksud tadi maka pengubahan membutuhkan persetujuan (consent) dari semua pihak.3 Definisi yang diberikan oleh PBB diatas masih belum jelas secara hukum maka pada paragraf selanjutnya akan dijelaskan detail amandemen perjanjian internasional.

Amandemen perjanjian internasional diatur di Art. 39 VCLT 1969 yang merumuskan aturan umum demikian:

"A treaty may be amended by agreement between the parties. The rules laid down in Part II apply to such an agreement except in so far as the treaty may otherwise provide."

Norma diatas merupakan 'kebolehan' karena adanya kata 'may' (dapat) sehingga logika hakikat pengaturan Art. 39 VCLT adalah memberi keleluasaan ke para pihak dalam perjanjian internasional untuk melakukan amandemen terhadap perjanjian yang dibuat diantara mereka. Bila perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengatur sendiri prosedur pengubahan perjanjian maka cara melakukan amandemen terhadap perjanjian diatur dalam Bagian II VLCT. Artinya, amandemen terhadap original treaty ini sama prosedurnya dengan formulasi perjanjian yang awal seperti harus adanya mekanisme otorisasi lewat

full power(s), adoption of the text, authentication of the text, consent to be bound

(dengan signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval (or) accession, atau lewat cara lain yang disetujui negara yang ikut menegosiasikan penyusunan perjanjian), reservasi dan mekanisme

acceptance atau objection dari negara peserta pembuatan perjanjian lainnya (bila

3 United Nations Treaty Collection, "Glosary of terms relating to Treaty actions", https://treaties.un.org/pages/Overview.aspx?

(4)

ada), dan entry into force.

Hal ini ternyata dinyatakan berbeda oleh T.O. Ellias yang mengatakan bahwa pengaturannya tidak hanya yang tertera di Chapter II VCLT saja melainkan meliputi juga Chapter I dan III,

...It is elementary that, where circumstances warrant such a course, a treaty may be amended by agreement between all parties to it. This may be brought by an instrument of the same kind as or similiar kind to the original treaty, unless the parties agree otherwise...also that the rules laid down in Chapter I to III regarding the modalities of conclusion of a treaty and its entry to force must be observed, unless the treaty itself provide otherwise... The reason for the requirement of these formalities with respect to treaty amendment is that rights and obligations solemnly aquired and undertaken respectively under a treaty should be capable of being subsequently varied only by spesific agreement between the parties and that such amendment should be carried out in a clear and unambigous manner...It is possible for some only of the parties to agree to amend a multilateral treaty as between themselves, leaving the other parties unaffected by such amendment not only as between themselves but also in their relations with the amending parties.4

Dari pendapat Ellias diatas dapat dipahami definisi dari amandemen bila kita bandingkan dengan Art. 39 VCLT bahwa amandemen melibatkan semua pihak dari perjanjian dan harus melalui persetujuan diantara semua negara anggota. Selain itu, ada formalitas dalam amandemen perjanjian sebagaimana merujuk pada VCLT Chapter I-III yang bertujuan agar tidak ada hak dan kewajiban negara lain yang dilanggar dalam hal pengajuan proposal amandemen sampai conclusion sehingga hubungan hukum antara semua negara anggota harus dipikirkan dan juga hubungan negara lain dengan pihak ketiga yang juga timbul akibat pacta sunt servanda tidak boleh diderogasi karena tidak ketidak jelasan prosedur amandemen. Hasil dari amandemen dapat berupa instrumen hukum internasional yang serupa dengan original treaty bisa juga tidak. Misalnya, konvensi diamandemen dengan konvensi (contoh: UNCLOS). Atau, bisa juga konvensi diamandemen dengan Protokol contohnya Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms diamandemen dengan Protocol No.

(5)

11 and No. 14.5

Dasar hukum amandemen terhadap perjanjian [multilateral] diatur dalam Art. 40 para. (1) s.d. (5) VCLT 1969. Berdasar Art. 40 (1), aturan Art. 40 VCLT tentang prosedur amandemen selanjutnya dapat digunakan apabila perjanjian yang ingin diamandemen oleh negara peserta tidak memberikan provisional requirement(s) untuk mengamandemen perjanjian yang dimaksud.

Prosedur baku sebagai syarat formil amandemen adalah sebagai berikut:

 Tahap penyerahan proposal: Diatur Art. 40 para. (2) bahwa ada

mekanisme penyerahan proposal. Setiap proposal yang digunakan untuk mengamandemen perjanjian antara semua negara peserta (State Party) harus dinotifikasikan ke semua Contracting States.

Menurut pemahaman saya, ada beberapa hal penting dari norma ini. Pertama, bahwa subyek hukum dalam amandemen perjanjian ada dua yaitu State Party(s)6 dan Contracting Party(s)7. Kedua, mengatur mengenai kewajiban-kewajiban negara (State Duties) dari pihak State Party untuk: 1). Menyerahkan proposal untuk mengamandemen perjanjian diantara mereka semuanya (duty

5 "Convention as amended by its Protocol No. 14 (CETS No. 194) as from the date of its entry into force on 1 June 2010...The text of the Convention had been previously amended according to the provisions of Protocol No. 3 (ETS No. 45), which entered into force on 21 September 1970, of Protocol No. 5 (ETS No. 55), which entered into force on 20 December 1971 and of Protocol No. 8 (ETS No. 118), which entered into force on 1 January 1990, and comprised also the text of Protocol No. 2 (ETS No. 44) which, in accordance with Article 5, paragraph 3 thereof, had been an integral part of the Convention since its entry into force on 21 September 1970. All provisions which had been amended or added by these Protocols were replaced by Protocol No. 11 (ETS No. 155), as from the date of its entry into force on 1 November 1998. As from that date, Protocol No. 9 (ETS No. 140), which entered into force on 1 October 1994, was repealed and Protocol No. 10 (ETS no. 146) had lost its purpose." CDDH European Court of Human RIghts, "Amended Protocol of EU Convention for the Protection of Human Rights", http://conventions.coe.int/treaty/en/treaties/html/005.htm, diakses 14 April 2015.

6 Di Art. 2 para 1 huruf g VCLT 1969 diatur bahwa negara peserta perjanjian internasional (State Party) adalah sebuah negara yang sudah ingin mengikatkan diri terhadap perjanjian (...has consented to be bound by treaty), yang mana perjanjiannya telah berlaku mengikat perbuatan hukumnya (entry into force).

(6)

between all the parties), dan 2). Memberi notifikasi8 pada seluruh Contracting Parties (duty of State Party to Contracting Party).State duties tentu tidak berdiri sendiri karena diikuti pula dengan hak. Para pihak punya hak antara lain ikut serta:

1) memutuskan langkah yang diambil terhadap proposal amandemen yang diterimanya;

2) merundingkan dan menyimpulkan setiap persetujuan untuk mengamandemen.

Hal ketiga adalah adanya hubungan hukum antara yakni adanya hubungan hak dan kewajiban diantara para subyek hukum baik hubungan antara sesama negara peserta ataupun hubungan antara negara peserta dengan Contracting Parties.

 Status hukum negara-negara Party: Art. 40 para. 3 yang mengatur tentang status hukum negara anggota yang bersedia untuk ikut perjanjian yang diamandemen. Diatur bahwa setiap negara peserta sebuah perjanjian yang original treatynya akan diamandemen juga berhak diberikan 'title' negara anggota dari perjanjian yang nantinya diamandemen dan mereka harus langsung menjadi Party perjanjian baru bila ada keinginan. Sebaliknya, Art. 40 para. 4 mengatur tentang status hukum keanggotaan perjanjian internasional bagi mereka yang disebut dalam Art. 30 para. 4(b). Dijelaskan bahwa kesepakatan atau persetujuan (agreement) untuk mengamandemen sebuah perjanjian tidak akan mengikat setiap negara yang menolak mengikatkan diri menjadi bagian dari perjanjian yang diamandemen. Sehingga bagi mereka tetap berlaku original treaty sebelum amandemen. Selain kedua tipe negara diatas, diatur juga status hukum negara yang menjadi anggota perjanjian melalui jalur aksesi (ikutnya setelah perjanjian yang diamandemen itu entry into force).

(7)

Dasar hukumnya ada di Art. 40 para. 5, disebutkan bahwa negara-negara tadi harus: 1). dipertimbangkan sebagai (pihak) peserta dari perjanjian yang diamandemen dan 2). dipertimbangkan sebagai peserta dari perjanjian yang tidak diamandemen (original treaty-nya) terkait hubungan hukumnya dengan negara manapun yang tidak mengikatkan dirinya denganperjanjian yang diamandemen.

Pada VCLT Untuk memperjelas tahapan amandemen mari bandingkan dengan pendapat para sarjana. Menurut Jan Klabbers:

...A first is that an amandment must actually be proposed. Typically, a meeting of the parties is then convened, at which the amandment may be adopted by majority rule, and if so, the typical final stage is the ratification of the amendments adopted. Hence, states are asked twice for their opinion, once while adopting the amendment, and once while deciding to approve ratification of the amendment.9

Dari pendapat Klabbers diatas, tepat digambarkan proses amandemen perjanjian sesuai Art. 39 jo. 40 para. 2 VCLT 1969 bahwa ada mekanisme amandemen yang sama seperti proses conclusion of the treaty. Ellias menambahkan bahwa di dalam upaya pengajuan proposal amandemen itu diperlukan good faith dari para pihak yang mengajukan dan merundingkan amandemen, sebagaimana dikatakan demikian "...There is obligations to perform treaties in good faith, implies a duty imposed on all to bring every party fully into the picture of what is happening about any proposed amendment".10

Akan ada pertanyaan hukum prinsipiil yang timbul kemudian dari dirumuskannya norma yang masih terlalu umum tadi yakni apa yang akan terjadi bilamana tidak semua negara mau meratifikasi amandemen perjanjian itu. Hal ini telah diwaspadai oleh Art. 40 para. 4. Bagi mereka tetap berlaku original treaty

sebelum amandemen. Namun, situasi ternyata berbeda antara perjanjian satu dengan lainnya terlepas dari norma hukum umum yang diatur oleh VCLT tadi. Ada dua kondisi yang tercipta dari dua tipe perjanjian terkait keberlakuan

9 Ralph Zacklin dikutip oleh Jan Klabbers. Ralph Zaklin, The Amendment of the Constitutive Instruments of the United Nations and Specialized Agencies, (Leiden: Brill, 2008).

(8)

perjanjian yang telah diamandemen. Pertama, kondisi dimana Art. 40 para. 4 VCLT berlaku bagi negara-negara itu. Kedua, kondisi dimana negara-negara yang tidak meratifikasi amandemennya juga ikut 'terseret' secara hukum karena tipe perjanjiannya mengatur bahwa amandemen langsung enter into force pada semua negara peserta bilamana telah memenuhi persetujuan oleh mayoritas (contohnya kasus UN Charter). Bagi kondisi kedua menurut saya tidak akan menjadi masalah karena rasio konflik sangat rendah. Namun, kondisi pertamalah yang menimbulkan resiko konflik dalam pelaksanaannya yakni dimana ada negara yang menjadi Party pada perjanjian old-version (original version of treaty) dan ada juga negara lain yang menjadi Party pada new-version (amended treaty). Mengutip pendapat Klabbers dalam perkara yang sama, "...Needless to say, this is not always very practicableas it creates two regimes within one."11

Pendapat Klabbers sebelumnya juga saya temukan dalam tulisan Ellias, ...These remains a final problem...where only some or even all the parties also become parties to an amending agreement. The problem is to determine the legal position of a State which becomes a party to the original treaty only after amending

agreement has entered into force.12

Menurut saya, hal ini menjadi masalah karena terkadang saya (mungkin para sarjana sekalipun) sulit menentukan kejelasan hukum dari perjanjian mana yang diterapkan terhadap negara dalam kasus ini mengingat mereka terikat pada dua perjanjian yang sama. Jawaban dari masalah ini selanjutnya dipaparkan Ellias: ...in the absence of an ex pression of intention to the contrary or by the State Party in question, a State which becomes a party after the coming into force of the amending agreement is to be considered (a). to choose wheter to become a party to the original treaty only, to the treaty as well as the amending agreement, or only to the amended treaty, and (b) it is appropriate to affirm as a principle the widest

possible participation in a multilateral treaty.13

Dalam beberapa perjanjian, norma yang mengatur amandemen berikut dengan prosedurnya telah diakomodir. Contohnya adalah UNECE Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters atau Aarhus Convention. Art. 14 para. 1 Aarhus

11Ralph Zacklin, Loc. Cit.

12T.O. Ellias, Loc. Cit., hlm. 93.

(9)

Convention mengatur siapa yang dapat mengajukan proposal amandemen, para. 2 mengatur proses submission proposal, para. 3 dan 7 mengatur bagaimana amandemen diadopsi oleh negara-negara ybs., dan para. 4,5, dan 6 mengatur bagaimana amandemennya enter into force.14

Contoh pengaturan yang sifatnya self-explanatory perihal amandemen perjanjian internasional dalam Aarhus Convention 1998:

 Art 14 para. 1: "Any Party may propose amendments to this Convention."

 Art 14 para. 2: "The text of any proposed amendment to this Convention

shall be submitted in writing to the Executive Secretary of the Economic Commission for Europe, who shall communicate it to all Parties at least ninety days before the meeting of the Parties at which it is proposed for adoption."

Klausul ini memberikan prosedur bagi para Parties dalam mengupayakan amandemen. Ada mekanisme pengajuan berkas proposal melalui lembaga Executive Secretary of ECE dimana sekretariat yang ditunjuk ini bertanggungjawab baik atas penerimaan proposal amandemen dan menyebarkannya ke semua negara anggota dalam waktu tertentu (90 hari). Lewat cara inilah proposal amandemen dapat dikaji dan dipertimbangkan sebelum para anggota bertemu dan tahap adopsi perubahannya. Disini juga dijelaskan bahwa proposal yang diserahkan harus dalam bentuk tertulis. Prosedur ini menurut Stephen Stec dan Susan Lefkowitz diterima sebagai praktek dalam hukum internasional (telah jadi kebiasaan internasional)15.

 Art 14 para. 3: "The Parties shall make every effort to reach agreement on

any proposed amendment to this Convention by consensus. If all efforts at consensus have been exhausted, and no agreement reached, the amendment shall as a last resort be adopted by a three-fourths majority vote of the Parties present and voting at the meeting..." dst.

Aarhus Convention ini diamandemen pada pertemuan kedua negara-negara anggotanya pada 27 Mei 2005 di Almaty, Kazakhastan dan hingga Agustus 2009

14 UNECE, The Aarhus Convention: an Implementation Guide, (Geneva: UN, 2000), hlm. 148.

(10)

telah diratifikasi oleh 21 negara anggota.

Modifikasi

Terminologi "modifikasi" dalam Art. 41 VCLT 1969 merujuk pada upaya membuat variasi (berbeda) dari ketentuan dalam perjanjian internasional yang berlaku hanya antara pihak-pihak tertentu. Ketentuan pasal yang dimodifikasi tidak berlaku antara pihak yang melakukan modifikasi terhadap klausul pasal dalam perjanjian internasional dengan negara peserta lainnya. Bagi negara peserta lainnya tetap berlaku ketentuan asli. Jika perjanjian tidak mengatur ketentuan atau prosedur modifikasinya baik secara formil atau materil maka mereka hanya boleh memodifikasinya tanpa mempengaruhi hak-hak dan obligasi-obligasi dari negara peserta lainnya terhadap perjanjian itu dan tidak bertentangan (contravene) dengan object and the purpose perjanjian.16 Dari pengertian resmi PBB diatas masih belum jelas mengenai definisi modifikasi. Selanjutnya bisa ditarik definisi dari International Law Commission yang sekurang-kurangnya menyatakan,

The modification by certain parties of a treaty inter se, a particular form of “contracting out” from the original agreement, is well established in inter-national law, the technique being employed, inter alia, to adjust a treaty to changing requirements or to ensure particular (e.g., higher) standards among some of the parties.17

Mari bandingkan dengan pendapat Mark E. Villiger yang melihat modifikasi dari segi hukum kebiasaan internasional:

Modification of a treaty rule by means of customary law implies the development of new, non-identical customary rules with regard to a subject-matter originally covered by treaty rules. The written rule may, accordingly, undergo amendment or modification or even pass out of use completely.18 Pengertian modifikasi akan jelas bila melihat makna implisit Art. 41 para. 1 VCLT 1969. Menurut pemahaman saya, modifikasi adalah perbuatan hukum

16 Ibid. https://treaties.un.org/pages/Overview.aspx? path=overview/glossary/page1_en.xml#modification, diakses 14 April 2015.

17 Pernyataan Jiménez de Aréchaga dalam ILC Report 1966, YBILC 1964 I 150, para. 35.

(11)

internasional berupa pengubahan terhadap muatan norma dalam perjanjian internasional baik perjanjian utamanya dan aturan pelaksana/pelengkapnya dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan yang dilakukan oleh dua atau lebih negara dan aturan yang dimodifikasi itu akan mengikat diantara mereka saja. Art. 41 para. 1 pada dasarnya mengatur kebolehan bagi dua atau lebih negara yang ingin membuat kesepakatan untuk memodifikasi perjanjian internasional. Ada beberapa syarat agar modifikasi dapat sah dilakukan, antara lain:

a) Perjanjiannya secara tersendiri memberikan

kesempatan/kemungkinan bagi negara anggota untuk memodifikasi isi perjanjian (bila tidak diatur secara khusus, maka mengikuti ketentuan VCLT); atau

b) Modifikasi tidak dilarang dan tidak mengganggu negara peserta lainnya dalam menikmati haknya dan melakukan kewajiban mereka. Selain itu, bila modifikasi juga boleh dilakukan selama tidak menderogasi efektifitas perjanjian itu sendiri dan incompatible

dengan object and purpose secara keseluruhan. Jadi, apabila sudah dilarang maka ketentuan umum VCLT yang memperbolehkan modifikasi pun tidak dapat dipakai.

Mark menjelaskan ada beberapa kondisi dalam memodifikasi perjanjian internasional, antara lain19:

1) Stipulations in the Treaty : The possibility of such a modification may be provided for by the treaty. On the other hand, if no such statement is made, at least the modification in question shall not be prohibited by treaty (Art. 41 para. 1b VCLT).

2) Substantive Conditions :If the treaty doesn't express itself on the matter of modification inter se and in particular if it doesn't expressly prohibit it, the two further conditions apply cumulatively.

3) Modification in question shall not affect the enjoyment by the other parties of their rights under the treaty or the performance of their obligation.

4) Modification shall not relate to a provision, derogation from which is incompatible with the effective execution of the object and purpose of the treaty as a whole.

(12)

5) Notification of Other Parties : There is a principle of open diplomacy, lists stringent procedural conditions as to notification of modification (Statement Bartos). Their purpose is to protect other States against a fait acoompli and, possibly, an encroachment of their rights (Statement dari Castrén). Mereka juga wajib menotifikasi negara anggota lainnya terkait intensinya membuat perjanjian untuk memodifikasi.

6) All parties of the original treaty must be notified.

7) Good faith governs the procedures.

Akibat hukum dari dimodifikasinya perjanjian adalah berlakunya lex posterior dan aturan pacta tertiis nec nocent nec prosunt bagi tiap negara yang memodifikasinya20.

Contoh ketentuan modifikasi bisa ditemukan di Art. 19 para. 1 Havana Convention on Treaties 1982 yang berbunyi: "two or more States may agree that their relations are to be governed by rules other than those established in general conventions celebrated by them with othe States".21 Harvard Draft memberikan paparan mengenai asas kebolehan bagi negara untuk memodifikasi tadi, "if this [was] not forbidden by the proviesions of the earlier treaty and if the later treaty [was] not inconsistent with the general purpose of the earlier treaty as to be likely to frustate that purpose"22. Contohnya aturan modifikasi lainnya dapat dilihat dari klausul Art. 4 Konvensi Den Haag 1907 (The IV Hague Convention on the Laws and Customs of War) yang berbunyi:

"(1)   The   present   Convention,   duly   ratified,   shall   as   between   the

Contracting  Powers,  be  substituted  for  the  Convention   of  29  July 1899,   respecting   the   laws   and   customs   of   war   on   land.   (2)   The Convention of 1899 remains in force as between the Powers which signed it, and which do not also ratify the present Convention”.

20 Ibid. Artinya "a treaty binds the parties and only the parties; it does not create obligations for a third state". Graham Gooch dan Michael Williams, A Dictionary of Law Enforcement, ed. 1.m (Oxford University Press, 2007) tersedia dalam situs online, http://www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780192807021.001.0001/acref-9780192807021-e-2239, diakses 14 April 2015.

21 Harvard, "Harvard Draft", AJIL 29 (1935) Supplement 1203 ff. Dikutip dari tulisan Mark. E. Villiger, Loc. Cit., hlm. 532.

(13)

Selain itu lihat juga ada di Art. 20 para. 1 Konvenan Liga Bangsa-Bangsa dan Art. 73 para. 2 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Dari ketentuan VCLT diatas saya merasa masih belum ada batasan jelas pada praktek modifikasi yang mungkin terjadi. International Law Commission telah memberikan gambaran jelas antara amandemen dan modifikasi dari Art. 39-41 yang kemudian dikritisi oleh I.M. Sinclair demikian,

...Amendment was waid to denote a formal amendment of treaty intended to alter its provisions with respect to all the parties, while modification was used in connection with an inter se agreement concluded between certain of the parties only, and intended to vary provisions of the treaty between themselves alone. Although, the position is not quite so clear cut in practice.23

Dari pendapat Sinclair saya mengetahui bahwa ternyata di prakteknya ada kemungkinan modifikasi itu dapat memiliki formalitas seperti amandemen. Ini terjadi ketika ada kasus konversi dimana dua atau lebih negara anggota sebuah perjanjian melakukan negosiasi untuk modifikasi namun modifikasinya itu dapat terbuka untuk penerimaan oleh negara-negara anggota lainnya dan bila negara anggota lain menerima maka itu eventually operate sebagai amandemen formal. Secara formalitas, modifikasi tidak serigid amandemen yang melewati proses negosiasi dan adopsi. Sebagaimana informalitas yang dipaparkan oleh Sinclair ini disadari pula Ulf Lindefalk ketika ia menyatakan, " However, a modification of a treaty can also be effected in more informal ways – by a subsequent practice in the application of the treaty, which establishes an agreement of the parties to a

modification of said treaty.38  Clearly, there is a very close kinship between a subsequent   practice   in   the   application   of   a   treaty,   which   estab­   lishes   an agreement of the parties to a modification of the treaty on the one hand, and on the other a “subsequent practice which establishes agreement between the parties regarding its interpretation”.24

23 I. M. Sinclair, The Vienna Convention on the Law of Treaties, (Manchester: Oceana Publication Inc., 1973), hlm. 80.

24 Ulf Linderfalk, On the Interpretation of Treaties: The Modern International Law as Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, (Dordrecht:

(14)

Selain itu, perjanjian (agreement) yang dihasilkan dari proses modifikasi

perjanjian itu dilihat sebagai  'an integral part' dari perjanjian. Inilah perbedaan

Referensi

Dokumen terkait

UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat

Macam-Macam Perjanjian Internasional dan Contohnya| Perjanjian internasional memiliki beberapa jenis-jenis atau macam-macam perjanjian internasional yang

Merumuskan kebijakan pembentukan dan penyempurnaan norma hukum nasional dan perjanjian internasional, mengoordinasikan negosiasi pembentukan norma hukum dan/atau

Jika perjanjian atau konvensi hanya mengatur norma yang ada yang sudah mengikat pada negara sebagai hukum kebiasaan internasional, negara bukan peserta pada perjanjian

internasional dan prosedur internal yang didasarkan pada hukum nasional. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Aksesi. Penandatangan instrumen ratifikasi

Ketidak mungkinanya untuk melaksanakan perjanjian tersbeut tidak bisa dimintakan oleh sesuatu pihak sebagai dasar untuk mengakhiri, menunda bekerjanya

Unsur hukum-politik dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang paling menarik dipandang dari segi perkembangan sejarah hukum internasional, selain pembentukan LBB,

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. Perjanjian internasional memegang peranan penting dalam mengatur pergaulan internasional antara