• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Agihan dan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada di Provinsi Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Agihan dan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada di Provinsi Sulawesi Tenggara"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 4 No. 1. Hal 58-65 ISSN: 2087-7706

POLA AGIHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG

LADA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Distribution Pattern and Intensity of Pepper Foot Rot Disease in

Southeast Sulawesi

LA ODE SANTIAJI BANDE1*), BAMBANG HADISUTRISNO2), SUSAMTO SOMOWIYARJO2) DAN BAMBANG HENDRO SUNARMINTO2)

1)Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari 2)Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

ABSTRACT

The success of foot rot disease control is largely dependent on information data of pepper cultivation conditions, distribution pattern of the disease, and the magnitude of the intensity of the disease. This study aimed to determine the condition of pepper cultivation, distribution pattern of pepper foot rot disease, the development of disease symptoms, and intensity of pepper foot rot disease in Southeast Sulawesi. Data cultivation conditions, distribution of the disease, progression of symptoms, and the intensity of the disease were obtained by means of surveys in pepper plantations and interviews with pepper farmers. The results showed that the pepper plantations in Southeast Sulawesi were cultivated on flat to hilly topography, and the cultivation method was very conventional but herbicide use was very intensive. The development of wilt symptoms on pepper plants was very quick in dry weather but slow in the wet. Pepper foot rot disease has patch distribution. The highest intensity of the pepper foot rot disease was in less weedy plantations with intensive use of herbicides. The intensity of the pepper foot rot disease in Southeast Sulawesi was 61,2% with the spread in each district namely South Konawe at 53,8%, Konawe at 63,7% and Kolaka by 61,2%.

Keyw or ds: foot r ot disease, black pepper , land condition, distr ibution patt er n, disease int ensity

1

PENDAHULUAN

Tanaman lada banyak dibudidayakan dalam bentuk per kebunan r akyat yang umumnya diusahakan oleh petani kecil. Cir i per kebunan r akyat yaitu kepemilikan lahan yang sempit, lokasi yang ter pencar , dan keter batasan dalam hal: modal, sar ana/ pr asar ana, pengetahuan, dan keter ampilan untuk mengembangkan usahanya sehingga pr oduksinya sangat fluktuatif (Balittr i, 2009). Pengelolaan per tanaman lada yang belum optimal seper ti penggunaan pupuk dan pestisida belum sesuai anjur an, penggunaan benih yang tidak ber label, dan pengolahan hasilnya tidak sehat (Yuhono, 2007). Hal ini menyebabkan

*)Alamat kor espondensi:

Email : ls.bande@yahoo.co.id

pr oduktivitas lada nasional hanya 800 kg ha-1 atau hanya 50 % dar i kemampuan genetiknya (Wahyuno et al., 2009). Potensi genetik var ietas lada yang ditanam petani ber kisar antar a 3–4 ton ha-1(Balittr i, 2009).

Penur unan pr oduksi lada ter utama diakibatkan oleh penyakit busuk pangkal batang lada yang disebabkan oleh

Phytophthora capsici(Kasim & Pr ayitno, 1979; Wahyuno & Manohar a, 1995; Lee & Lum, 2004; Bandeet al., 2010). Ser angan P. capsici

pada lada tahun 2005 sebesar 67 % dibanding dengan or ganisme pengganggu lainnya (Ditlintanbun, 2005). Ker usakan akibat penyakit busuk pangkal batang lada di Indonesia setiap tahunnya sebesar 10–15% (Kasim, 1990), sedangkan khusus di Pr ovinsi Lampung dapat mencapai 20% atau setar a

(2)

dengan kehilangan hasil 5.600 ton tahun-1 (Sukaw a, 1994).

Penyakit busuk pangkal batang lada akhir -akhir ini sangat mer esahkan petani lada di Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a dan besar nya intensitas penyakitnya belum ter catat dengan baik. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa ancaman penyakit ini telah menyebar di selur uh sentr al penanaman lada di Pr opinsi Sulawesi Tenggar a. Penyebar an penyakit busuk pangkal batang lada yang cepat di sentr a per tanaman lada di Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a diduga ber hubungan dengan kondisi lada dan car a budidaya yang dilakukan petani ser ta kondisi petani lada di Sulaw esi Tenggar a yang mer upakan petani kecil. Oleh kar ena itu infor masi tentang kondisi lahan dan car a budidaya yang dilakukan oleh petani lada sangat penting untuk diketahui.

Penyusunan pr ogr am pengendalian penyakit busuk pangkal batang yang tepat diper lukan infor masi kondisi ekosisitem per tanaman lada yang sangat dipengar uhi oleh car a budidaya yang dilakukan petani lada, dan pola penyebar an penyakit ter sebut dalam pola r uang dan waktu ter tentu yang disebut pola agihan penyakit. Agihan penyakit mer upakan hasil pemencar an sejumlah inokulum patogen yang ber asal dar i ber bagai sumber dan ber langsung dalam kur un w aktu ter tentu. Distr ibusi penyakit tanaman dalam skala r uang sebagai akibat langsung dar i pemencar an patogen ber var iasi sesuai dengan jenis patogen dan kondisi r uangnya. Pemahaman pola r uang dalam per kembangan penyakit sangat penting untuk mengetahui per an dan potensi sumber inokulum (Benson

et al., 2006). Dengan mengetahui agihan suatu

penyakit, maka dapat diketahui aw al infeksi dar i penyakit ter sebut.

Penyakit busuk pangkal batang lada gejala aw alnya sangat sulit diketahui kar ena menginfeksi pada pangkal batang lada. Gejala penyakit bar u muncul setelah sebagian besar akar dan pangkal bantang telah r usak ber upa gejala layu. Layunya tanaman ini disebabkan kar ena ter putusnya suplai air dan unsur har a ke bagian atas tanaman. Per kembangan gejala layu ini ber var iasi, ada yang lambat dan ada yang cepat. Gejala layu yang lambat sangat menyulitkan dalam pencegahan secar a dini penyebar an dar i patogen penyebab penyakit ter sebut. Lamanya per kembangan gejala penyakit layu sejak infeksi patogen pada akar

sampai munculnya gejala layu belum diketahui secar a pasti.

Penelitian ini ber tujuan untuk mengetahui kondisi lahan budidaya lada, pola agihan penyakit busuk pangkal batang lada, per kembangan gejala penyakit, dan besar nya intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Pr ovinsi Sulawesi Tenggar a.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat. Penelitian ini

ber langsung dar i bulan Mar et 2010 sampai November 2011. Penelitian ini dilaksanakan di ar eal per tanaman lada pada 3 (tiga) kabupaten di Pr ovinsi Sulaw esi Tengar a yaitu Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konaw e, dan Kabupaten Kolaka.

Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kebun lada, dan bagian tanaman lada yang ber gejala penyakit busuk pangkal batang. Per alatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamer a, tali r afia, dan alat tulis menulis.

Data agihan dan intensitas penyakit di tingkat per tanaman lada diper oleh dengan car a sur vei atau pengamatan langsung ke per kebunan lada dan w aw ancar a dengan petani. Per tanaman lada yang disur vei dengan indikator per bedaan dalam agr oekosistem, kemudian dipilih secar a sistematik dengan satuan penar ikan contoh utama adalah satu hampar an per tanaman lada dan selanjutnya dilakukan satuan penar ikan contoh kedua yaitu subpetak. Subpetak ditentukan secar a diagonal dalam petak lahan sehingga diper oleh 5 subpetak. Dalam setiap subpetak lahan jumlah tanaman yang digunakan sebagai contoh sebanyak 100 tanaman. Pengamatan diulang sebanyak 3 kali pada hampar an yang ber beda. Pengamatan untuk agihan penyakit pada petak utama, sedangkan intensitas penyakit pada subpetak.

Variabel Pengamatan. Var iable yang

diamati adalah:

Kondisi lahan. Kondisi lahan yang diamati

meliputi ketinggian tempat dan car a budidaya (pemangkasan, pember ian pupuk, dan penggunaan pestisida).

Agihan (distribution) penyakit. Petak

lahan pengamatan (petak utama) dibuat dalam sketsa dalam buku pengamatan dan

(3)

tanaman yang sehat maupun yang sakit ditandai dengan simbol untuk tanaman sehat dan simbol +untuk tanaman sakit. Pola agihan penyakit ditentukan dengan car a membandingkannya dengan pola agihan penyakit tanaman menur ut Br ow n (1997) (Gambar 1).

Gambar 1. Pola agihan penyakit tanaman di lapangan. A: acak (random), B: agr egasi (aggregation), C: mer ata atau ter atur (regular), D: mengelompok dengan batas tegas (patch), E: gr adasi r ata (flat gradient), F: gr adasi tajam (steepgradient)

Intensitas penyakit. Ber dasar kan gejala

penyakit yang ber sifat sistemik, intensitas penyakit dihitung dengan r umus:

a

IP = x 100%

b

Ket er angan: IP: Intensitas penyakit (%) a : jumlah tanaman yang layu

b : Jumlah total tanaman sampel yang diamati

Untuk menilai ber at r ingannya intensitas penyakit digunakan kategor i (Pinen & Sipayung, 2005): Ringan: bila intensitas penyakit 0,1 < 25%, Sedang: bila intensitas penyakit > 25%–< 50%

Ber at: bila intensitas penyakit > 50%–< 75%, dan Sangat ber at (puso): bila intensitas penyakit > 75%

Data yang diper oleh ditabulasi dan dianalisis secar a deskr iptif sehingga diper oleh gambar an tentang kondisi lahan, pola agihan penyakit dan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahw a kondisi per tanaman lada di Sulawesi Tenggar a

ter dir i atas lahan ker ing dan lahan saw ah tadah hujan yang diubah menjadi kebun lada. Lahan ker ing yang ditanami lada ber upa lahan bukaan bar u, lahan ker ing yang ditanami lada ter us mener us, dan lahan bekas per tanaman kakao. Lahan ker ing yang ditanami lada di Sulawesi Tenggar a mempunyai jenis tanah Ultisol, Inceptisol, Oksisol, Entisol, dan Alfisol (Bakosur tanal, 1988; Bar isda, 2006 dan 2007). Tanah di lokasi penanaman lada di Sulaw esi Tenggar a mempunyai tingkat kesubur an yang sangat r endah sampai r endah (Bar isda, 2006 dan 2007) sehingga memer lukan pupuk agar tanaman dapat ber pr oduksi dengan baik, tetapi kenyataannya lada tetap tumbuh dan ber pr oduksi meskipun tanpa pemupukan. Tambahan nutr isi mungkin diper oleh dar i pelapukan ser asah daun lada, gulma, dan pohon pelindung (tajar hidup). Kondisi tanah yang kur ang subur ini dalam jangka panjang menyebabkan tanaman menjadi r entan ter hadap infeksi patogen. Menur ut Rosman et al. (1996), lada yang ditanam di daer ah yang kur ang sesuai untuk lada, akan mudah mendapat gangguan hama dan penyakit.

Hasil w aw ancar a dengan petani lada diketahui bahw a minat masyar akat untuk mengembangkan komoditas lada hingga saat ini masih cukup besar , yang disebabkan nilai ekonomi lada yang tinggi dan pemasar annya mudah. Hal ini telah mendor ong pembukaan lahan bar u, konver si lahan saw ah tadah hujan, dan konver si lahan per kebunan kakao untuk per kebunan lada. Penggantian tanaman kakao menjadi per kebunan lada juga disebabkan adanya ser angan hama pengger ek buah kakao

(Conopomorpha cramerella) yang sangat

mer ugikan petani kakao dan sulit dikendalikan. Lahan saw ah yang dikonver si menjadi per kebunan lada banyak dijumpai di Kabupaten Konaw e seper ti di Kecamatan Waw otobi dan Kecamatan Wonggeduku, sedangkan kebun kakao yang dikonver si menjadi kebun lada banyak dijumpai di Kabupaten Kolaka.

Per kebunan lada di Pr ovinsi Sulawesi Tenggar a mer upakan per kebunan r akyat yang pengusahaannya masih seder hana dengan penggunaan pupuk anor ganik dan or ganik yang r endah, dan bahkan masih banyak yang belum menggunakan pupuk sama sekali. Kebutuhan unsur har a tanaman masih mengandalkan kesubur an lahan yang alami. Input dar i luar yang paling banyak digunakan

(4)

oleh petani lada adalah her bisida seper ti Gr amaxon(R) (par akuat), Round Up (glifosat), Polar is (glifosat), Sapur ata 75,7 WSG (monoamonium glifosat) dan Toupan IQ 220 AS (glifosat) untuk mengendalikan gulma.

Pola tanam per kebunan lada di lokasi penelitian umumnya monokultur dan hanya sedikit yang tumpangsar i dengan kakao. Bahan tanaman (setek) yang digunakan sebagai bibit ber asal dar i tanaman lada di sekitar lahan petani yang langsung ditanam, atau ditumbuhkan ter lebih dahulu di pembibitan. Setek yang ditanam langsung ber asal dar i sulur panjat dan sulur tanah tanpa pembuatan lubang tanam ter lebih dahulu. Medium yang digunakan untuk pembibitan ber asal dar i kebun lada tanpa ster ilisasi sehingga peluang membawa inokulum patogen sangat besar . Jar ak tanam yang digunakan ber var iasi antar a 2,0 x 2,5 m, 2,5 x 2,5 m, dan 2,5 x 3,0 m. Panjatan (tajar ) lada yang digunakan pada saat tanaman lada masih muda dapat ber upa tanaman hidup atau tajar mati. Tajar hidup yang banyak di gunakan adalah gamal (Gliricidia sepium). Alasan petani menggunakan tajar mati adalah agar lada cepat tumbuh dan pada tajar mati menempel kuat dibandingkan dengan tajar hidup, di samping itu bila digunakan tajar hidup per lu pengikatan pada batang lada. Kelemahan penggunaan tajar mati adalah cepat lapuk setelah digunakan beber apa tahun dan diganti dengan gamal setelah lapuk.

Pemelihar aan tanaman seper ti pember sihan gulma dan pemangkasan tajar dilakukan tidak ter atur , bahkan ada yang hanya setahun sekali sehingga sekeliling per tanaman lada menjadi r imbun dan lembap ter utama yang menggunakan tajar hidup. Pemangkasan cabang panjat lada tidak per nah dilakukan sehingga lada tumbuh ter us meninggi ke atas. Pengendalian gulma di sekitar dan di baw ah tegakan lada banyak menggunakan her bisida dan hanya sebagian dengan penyiangan. Pembuatan salur an dr ainase, penggembur an, dan pembumbunan tanah di sekitar tanaman hanya dilakukan oleh petani pendatang dar i luar Sulawesi Tenggar a dan tr ansmigr an, sedangkan penduduk lokal tidak per nah melakukannya. Gulma pada per tanaman lada didominasi oleh gulma ber daun sempit. Jenis gulma yang ditemukan seper ti papaitan (Axonapus compressus), pahitan (Paspalum conyugatum), alang-alang

(Imperata cylindrica), pakis-pakisan

(Cyclosorus aridus), kr inyuh (Chromolaena

odorata), dan babadotan (Ageratum

conyzoides).

Hasil sur vei menunjukkan bahw a penyakit busuk pangkal batang lada telah menyebar di semua lokasi per tanaman lada di Pr ovinsi Sulawesi Tenggar a. Penyakit ini mulai dir asakan mer ugikan petani lada di Pr ovinsi Sulawesi Tenggar a sejak tahun 2005 yakni tanamannya tiba-tiba layu dan mati. Kelayuan tanaman ini mer upakan gejala lanjut dar i penyakit ter sebut. Gejala aw al penyakit busuk pangkal batang lada yaitu pangkal batang menghitam dan ber bau khas tetapi daun tetap kelihatan segar , sedangkan gejala lanjutnya yang dapat diamati ber upa tanaman layu.

Hasil pengamatan per kembangan gejala penyakit dalam individu tanaman di lapangan menunjukkan bahw a ada per bedaan per kembangan penyakit pada kondisi cuaca hujan dan ker ing. Akar yang ter infeksi lada menunjukkan gejala layu pada kondisi cuaca hujan membutuhkan w aktu 7–12 har i, sedangkan pada kondisi cuaca ker ing membutuhkan w aktu 3–4 har i dan tanaman tampak seper ti disir am air panas. Gejala ini sama dengan yang dikemukakan oleh Semangun (2000). Layunya tanaman disebabkan oleh ter putusnya suplai air dar i akar ke daun.

Inokulum penyakit busuk pangkal batang lada yang sudah ada dalam tanah akan menyebar dan menginfeksi lada sehat di dekatnya. Per kembangan penyakit dalam populasi ditentukan oleh keber adaan inokulum patogen dalam tanah. Inokulum sampai ke tanaman dapat ter baw a oleh alir an per mukaan, ger akan kemotaksis zoospor a, per temuan akar sakit dengan akar sehat, atau per alatan per tanian yang ter kontaminasi (Bensonet al., 2006).

Pengamatan per kembangan penyakit dar i w aktu ke w aktu sangat penting dan ber manfaat sebagai sumber infor masi untuk mengetahui sumber inokulum dan pola agihan penyakit. Hasil sur vei pada ber bagai agr oekosistem (topogr afi lahan) diketahui bahw a penyakit busuk pangkal batang lada aw alnya banyak ditemukan mengelompok pada daer ah cekungan kemudian menyebar ke tanaman lain di sekitar nya. Pengelompokan populasi tanaman yang mati ini diduga ber hubungan dengan distr ibusi inokulum

(5)

patogen dan kondisi lingkungan pada daer ah cekungan yang sesuai untuk ber tahan hidup patogen penyakit busuk pangkal batang lada. Menur ut Hor ner & Wilcox (1996), distr ibusi populasi Phytophthora secar a spasial banyak ditemukan pada bagian baw ah lahan mir ing dan semakin ber kur ang ke ar ah atas dar i lahan ter sebut.

Dar i hasil pengamatan per tanaman lada dapat diketahui bahw a lada sehat di sekitar lada yang sakit busuk pangkal batang lada akan menunjukkan gejala layu setelah 3–12 har i. Distr ibusi penyakit dimulai pada satu tanaman yang kemudian meluas ke tanaman lain. Dilihat dalam bentuk populasi tanaman secar a spasial, lada yang sakit akan mengelompok (Gambar 2). Ber dasar kan kar akter istik ini, penyakit busuk pangkal

batang lada pada semua lokasi penelitian mempunyai agihan mengelompok. Penyakit ter sebut ter us ber kembang dan pada akhir nya penyakit ter sebut memenuhi selur uh kebun lada. Keadaan ini memper tegas bahw a penyebab penyakit busuk pangkal batang lada adalah patogen ter bawa tanah dan bukan disebar kan oleh angin. Menur ut Br ow n (1997), patogen ter bawa tanah mempunyai agihan penyakit yang mengelompok, sedangkan patogen ter baw a udar a mempunyai agihan acak. Pengelompokan ini ter jadi kar ena penyebar an inokulum P. capsici

dalam tanah dimediasi oleh air dan kekuatan kapiler akar (Gr anke et al., 2009) sehingga inokulum patogen ter distr ibusi secar a ter batas sekitar tanaman sakit.

Gambar 2. Pola agihan mengelompok penyakit busuk pangkal batang lada: a. kondisi di lapangan, b. ilustr asi skema agihan. : tanaman sehat, +: tanaman sakit

Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada ber var iasi ber dasar kan kondisi per tanaman lada (Tabel 1). Ber dasar kan Tabel 1 diketahui bahwa pada aw al tahun 2010, intensitas penyakit busuk pangkal batang lada

di lokasi penelitian ber var iasi yaitu ber kisar antar a r ingan sampai sangat ber at dengan intensitas penyakit sebesar 45,7% dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 61,2%. Peningkatan ini didukung oleh cur ah hujan

(6)

yang tinggi sepanjang tahun 2010 dibandingkan dengan cur ah hujan

tahun-tahun sebelumnya.

Tabel 1. Car a budidaya, intensitas penyakit, dan agihan penyakit busuk pangkal batang lada di Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a.

Kabupat en/ kecamatan dan tinggi tempat ( m dpl) Car a Budidya Intensitas penyakit (%) Agihan penyakit Tahun 2010 Tahun 2011 Konaw e Selatan/ Konda, Mow ila, Landono (30-45)

Monokultur dan tajar gamal, tidak dipupuk, penggunaan her bisida tinggi (3– 4) kali setahun (tidak t er kendali)

67,8 89,8 Mengelompok

Monokultur , tajar kayu mati setelah lapuk diganti dengan gamal, tidak dipupuk, gulma banyak, penggunaan her bisida r endah (1–2) kali setahun

30,1 51,2 Mengelompok

Monokultur , tajar kayu mati setelah lapuk diganti dengan gamal, dipupuk, penyiangan atau her bisida r endah

4,2 20,5 Mengelompok Rer ata (1) 34,0 53,8 Konaw e/ Waw ot obi, Amonggedo, Pur iala (41–65)

Monokultur , tajar gamal, tidak di pupuk, her bisida tidak ter kendali

84,8 94.4 Mengelompok

Monokultur , tajar gamal, tidak dipupuk, gulma banyak, penggunaan her bisida r endah 32,4 42.8 Mengelompok Rer ata (2) 50,4 63,7 Kolaka/ Tir aw uta, Watubangga (58–110)

Monokultur , tajar gamal, tidak di pupuk, ser ing menggunakan her bisida

66,8 87,8 Mengelompok

Monokultur , tajar gamal, tidak dipupuk, gulma banyak, penggunaan her bisida r endah

41,2 46,7 Mengelompok

Rer ata (3) 52,8 66,1

Rer ata (1+2+3) 45,7 61.2

Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada yang r endah (4,2%) hanya ditemukan pada per tanaman lada yang ser ing dipupuk dengan pupuk kandang sapi dan pupuk anor ganik (NPK), diser tai dengan pemangkasan tajar secar a ter atur sebanyak 2 kali setahun, dan her bisida hanya digunakan pada gulma di sela-sela tanaman, sedangkan gulma pada bagian pangkal lada diber sihkan secar a manual. Intensitas penyakit yang tinggi lebih banyak ditemukan pada lahan lada yang tidak dikelola dengan baik seper ti tidak per nah dipupuk, pemangkasan tajar hanya sekali setahun, dan pengendalian gulma mengandalkan her bisida.

Per tanaman lada di Kabupaten Konawe Selatan menggunakan tajar mati dan tajar hidup (pohon gamal). Tajar mati digunakan pada saat tanaman ber umur 2–3 tahun dan setelah lapuk kemudian diganti dengan gamal dan car a seper ti ini banyak ditemukan pada petani yang ber asal dar i luar Pr ovinsi

Sulawesi Tenggar a, sedangkan petani lokal langsung menggunakan tajar hidup. Hasil w aw ancar a dengan petani lada menunjukkan bahw a hanya sedikit petani yang melakukan pemupukan. Tanaman lada yang tidak dipupuk diser tai penggunaan her bisida sebanyak 2–3 kali setahun, mempunyai intensitas penyakit sebesar 67,8% pada aw al tahun 2010 dan meningkat menjadi 89,8% pada aw al tahun 2011. Pada tanaman lada yang gulmanya banyak dan disiangi hanya sekali setahun yakni pada musim kemar au mempunyai intensitas penyakit sebesar 30,1% pada tahun 2010 dan menjadi 51,2% pada tahun 2011.

Per tanaman lada yang ser ing dipupuk (pupuk kandang, TSP, Ur ea dan KCl) dengan tajar mati kemudian diganti dengan gamal dan penggunaan her bisida r endah mempunyai intensitas penyakit yang lebih r endah (4,2% pada aw al tahun 2010 dan meningkat menjadi 20,5% pada aw al tahun 2011). Tanaman lada

(7)

yang diber i pupuk kandang dan penggunaan her bisida yang ter kendali dapat menekan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada. Hal ini disebabkan pupuk kandang mengandung agens hayati mampu menghambat P. capsicidalam tanah dan unsur har a yang dapat meningkatkan vigor tanaman (Soesanto, 2008).

Per tanaman lada di Kabupaten Konawe untuk Kecamatan Wawotobi dan Wonggeduku banyak ter dapat di sekitar r aw a, sungai, dan per saw ahan, sedangkan di w ilayah Kecamatan Pur iala sebagian besar ter dapat di lahan ker ing. Kondisi agr oekosistem ini diduga menyebabkan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Hasil sur vei di Kecamatan Wonggeduku menunjukkan bahw a kematian tanaman lada pada daer ah sawah yang telah diubah menjadi kebun lada ter jadi lebih banyak setelah banjir tahun 2007. Per tanaman lada di Kabupaten Kolaka banyak ter dapat di lahan ker ing dan sebagian ditumpangsar i dengan kakao atau lahan bekas penanaman kakao.

Petani lokal di Kabupaten Konaw e dan Kabupaten Kolaka dalam mengelola per kebunan ladanya belum banyak menggunakan pupuk tetapi ser ing menggunakan her bisida untuk mengendalikan gulma. Kebun lada yang tidak per nah dipupuk dan penggunaan her bisida yang tinggi mempunyai intensitas penyakit yang tinggi, sedangkan pada per tanaman lada yang gulmanya jar ang diber sihkan mempunyai intensitas penyakit yang lebih r endah. Tingginya intensitas penyakit pada per tanaman lada yang tidak dipupuk dan penggunaan her bisida yang tinggi disebabkan oleh peningkatan ker entanan tanaman lada ter hadap infeksi patogen kar ena kekur angan unsur har a dan penur unan populasi agens hayati. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bande & Rahman (2007) bahw a penggunaan her bisida par akuat yang tidak ter kontr ol menyebabkan penur unan populasi Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dan meningkatkan ker entanan tanaman lada ter hadap infeksi P. capsici khususnya pada tanah yang kesubur annya r endah. Penggunaan her bisida dapat memacu per kembangan patogen, meningkatkan vir ulensi patogen dan

menekan mekanisme antagonis

mikr oor ganisme ter hadap patogen (Rao,

1994). Selanjutnya Mar gino et al. (2000) melapor kan bahw a par akuat menghambat per tumbuhan mikr oor ganisme tanah. Sedangkan pada lahan dengan gulma yang banyak, intensitas penyakitnya r endah disebabkan keber adaan gulma yang banyak dapat mengur angi alir an atau per cikan air per mukaan yang mengandung inokulum P. capsici sehingga penyebar an patogen dalam per tanaman lada menjadi ter hambat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Noning (2009), populasi jamur P. capsici lebih tinggi pada kebun tanpa gulma dibandingkan dengan kebun lada yang ditumbuhi gulma dengan koefisien kor elasi ber nilai negatif yang ber ar ti bahw a semakin lebat gulmanya semakin r endah populasi jamur P. capsici dalam tanah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan. Ber dasar kan hasil penelitian

dan pembahasan yang telah diur aikan dapat diambil kesimpulan sebagai ber ikut:

1. Tanaman lada di Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a dibudidayakan pada topogr afi datar sampai ber bukit, ber upa lahan ker ing dan lahan sawah yang diubah menjadi kebun lada, mempunyai jenis tanah yang ber beda, dan mer upakan per kebunan r akyat dengan sistem budidaya masih seder hana tetapi penggunaan her bisida sangat intensif. 2. Per kembangan gejala layu sangat cepat

pada cuaca ker ing dan lambat pada cuaca hujan.

3. Penyakit busuk pangkal batang lada mempunyai agihan mengelompok.

4. Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada ter tinggi ter dapat pada per tanaman lada yang gulmanya sedikit dengan penggunaan her bisida yang intensif. 5. Intensitas penyakit busuk pangkal batang

lada di Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a sebesar 61,2% dengan penyebar an pada masing-masing kabupaten yaitu Kabupaten Konaw e Selatan sebesar 53,8%, Kabupaten Konaw e sebesar 63,7% dan Kabupaten Kolaka sebesar 61,2%.

Saran. Disar ankan agar dalam

pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada dimulai dar i per baikan kultur teknis yang dapat menghambat per kembangan penyakit

(8)

busuk pangkal batang lada dan pengur angan penggunaan her bisida.

DAFTAR PUSTAKA

Bakosur tanal. 1988. Peta/ Legenda Land System and Suitability 1:250.000 Lembar Lar ompong Sulaw esi 2112 dan Raha Sulaw esi 2211. RePPPr oT Ser ies. Cibinong Bogor .

Balittr i (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Indust r i), 2009. Pr ospek dan Ar ah Pengembangan Agr ibisnis Lada. http:/ / ballitr i.lit bang.

deptan.go.id/ database/ unggulan/ pr opeklada.p df. Diakses tanggal 4 Agustus 2009.

Bande LOS, Rahman A. 2007. Pengar uh her bisida par akuat ter hadap jamur agensia hayati dan kepar ahan penyakit busuk pangkal batang lada. Agr ivita 29(3): 278–283.

Bande LOS, Hadisut r sno B, Somow iyar jo S, Sunar minto BH. 2010. Kar akter istik Phytophthora capsici isolat Sulaw esi Tenggar a. Agr iplus 21(01): 75-82.

Bar isda (Badan Riset Daer ah). 2006. Sur vei Data Dasar Pew ilayahan Komoditas Per tanian di Kabupat en Buton, Konaw e dan Konaw e Selatan. Badan Riset Daer ah Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a. Kendar i.

Bar isda (Badan Riset Daer ah). 2007. Sur vei Data Dasar Pew ilayahan Komoditas Per tanian di Kabupat en Kolaka dan Bombana. Badan Riset Daer ah Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a. Kendar i. Benson DM, Gr and LF, Ver nia CS. 2006. Tempor al

and spatial epidemiologi of phytophthor a r oot r ot in fr aser Fir Plantations. Plant Disease 90(9): 1171–1180.

Br ow n J. 1997. Sur vival and disper sal of plant par asites: gener al concepts.In: J.F. Br ow n and H.J. Ogle (Eds). Plant Pathogens and Plant Diseases. Austr alasian Plant Patholoy Society. Ar midale.

Ditlintanbun (Dir ektor at Per lindungan Tanaman Per kebunan), 2005. Gr afik Luas Ser angan OPT Tanaman Lada Tr iw ulan 1 Tahun 2005. http:/ / database.deptan.go.id/ ditlinbun/ WebPa ges/ InfoPer linbun/ opt2005/

gr afik_ser angan_opt_lada_tw 12005.htm. Diakses tanggal 3 Febr uar i 2009.

Gr anke LL, Windstam ST, Hoch HC, Smar t CD, Hausbeck MK. 2009. Disper sal and movement mechanisms of Phtophthora capsici Spor angia. Phytopathology 99(11): 1258–1264.

Hor ner IJ, Wilcox WF. 1996. Spatial Distr ibution of Phytophthora cactorum in New Yor k Apple Ochar d Soils. Phytopathology 86(10): 1122– 1132.

Kasim R. 1990. Pengendalian penyakit busuk pangkal patang secar a ter padu. Bullet in Tanaman Industr i 1:16–20.

Kasim, R. & Pr ayit no S., 1979a. Pengujian patogenitas beber apa macam cendaw an pada tanaman lada. Pembr . L.P.T.I. 34: 57–61.

Lee BS, Lum KY. 2004. Phytophthor a diseases in Malaysia. In: Dr enth A and Guest D.I (Eds). Diver sity and Managements of Phytophthor a in Southeast Asia. Aust r alian Centr e for Inter nastional Agr icultur al Resear ch. Camber r a. Mar gino S, Mar tani E, Sunar minto BH. 2000. Par aquat her bicide in peat soil: its effect on the dynamics of micr obial population. Indon. J. Plant Pr ot. 6(2): 91-100.

Noning NLS. 2009. Hubungan Tingkat Penutupan Gulma dengan Populasi Jamur Phytophthor a capsici L. pada Lahan Per tanaman Lada (Piper nigrum L.). Pustaka Ilmiah Univer sitas Lampung. opac.unila.ac.id/ index.php?p=show detail&id=47639. Diakses tanggal 6 Agustus 2010.

Pinen MI, Sipayung W. 2005. Uji efektifitas jamur (Gliocladium virens dan Trichoderma koningii) pada ber bagai tingkat dosis ter hadap penyakit busuk pangkal batang (Fusarium oxysporum f.sp. passiflorae) pada tanaman mar kisah (Passiflora edulis f. edulis) di Lapangan. Jur nal Penelitian Bidang Ilmu Per tanian. 3(1):11-14. Rao NSS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan

Pertumbuhan Tanaman. UI-Pr ess Jakar ta Rosman RP, Wahid, Zaubin R. 1996. Pew ilayahan

Pengembangan Tanaman Lada di Indonesia. Dalam: Mongr af Tanaman Lada. Balitr o. Bogor . Semangun H., 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman

Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada Univer sity Pr ess. Yogyakar ta.

Soesant o L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Suplemen Ke Gulma Dan Nematoda. Rajaw ali Pr ess. Jakar ta.

Sukaw a AB. 1994. Situasi Per ladaan di Lampung. Pr osiding Seminar Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Sub Balittr o Natar . Badan Penelit ian dan Pengembangan Per tanian. Hal. 33–42. Wahyuno D, Manohar a D, Setiyono RT. 2009.

Ketahanan beber apa lada hasil per silangan ter hadap Phytophthora capsici asal lada. Littr i 15(2): 77–83.

Wahyuno D, Manohar a D. 1995. Pembentukan oospor a Phytophthora capsici pada jar ingan lada. Hayati 2(1): 46–48.

Yuhono JT. 2007. Sist em agr ibisnis lada dan str ategi pengembangannya. Jur nal Litbang Per tanian 26(2):76–81.

Gambar

Gambar  1. Pola  agihan  penyakit  tanaman  di lapangan. A: acak ( random ), B: agr egasi ( aggregation ),  C:  mer ata  atau  ter atur ( regular ),  D:  mengelompok  dengan batas tegas ( patch ), E: gr adasi r ata ( flat gradient ),  F:  gr adasi  tajam (
Gambar 2. Pola agihan mengelompok penyakit busuk pangkal batang lada: a. kondisi di lapangan, b
Tabel 1. Car a budidaya, intensitas penyakit, dan agihan penyakit busuk pangkal batang lada di Pr ovinsi Sulaw esi Tenggar a.

Referensi

Dokumen terkait

Ini terbukti dengan ditemukannya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa variabel kondisi fisik lahan, lokasi lahan terhadap jaringan jalan, ketersediaan fasilitas

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan jembatan bagi masyarakat untuk menuntut ilmu serta melatih kemampuan agar menjadi SDM yang berkualitas dibidangnya. SMK merupakan

Variabel pendidikan dan pelatihan naik maka prestasi kerja juga akan naik, dengan demikian hipotesis yang menyatakan pendidikan dan pelatihan berpengaruh terhadap prestasi

Disiplin kerja merupakan suatu faktor penentu prestasi kerja karyawan yang amat penting untuk diperhatikan oleh pimpinan dalam sebuah perusahaan.Peran serta disiplin kerja

Agama Islam yang masuk ke wilayah Jawa Barat dibawa oleh Haji Purwa, orang Galuh yang diislamkan di Gujarat oleh saudagar berkebangsaan Arab; kemudian Syekh Quro, seorang

Kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas Malinau Seberang kepada para pasien dalam hal Keandalan ( Realibility ) cukup baik dapat dilihat dari system prosedur

Respon pasien terhadap nyeri akut dengan nyeri kronis biasanya berbeda, Pada pasien nyeri kronik biasanya karena nyeri yang begitu lama yang dialami membuat pasien letih untuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat memanfaatkan fuzzy logic dan pengetahuan pakar psikologi untuk mengidentifikasi penyebab suasana hati yang buruk pada platform