• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 6 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 6 Universitas Kristen Petra"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

6

2.1 Pengertian Pajak

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama di Indonesia dan telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi APBN. Ini berarti pajak berperan sangat besar bagi kelangsungan pembangunan negara. Untuk meningkatkan penerimaan pajak, diperlukan perangkat hukum yang mengatur ‘pemajakan’ terhadap rakyat. Dapat diketahui bahwa pajak merupakan penerimaan bagi negara yang sangat penting keberadaannya, karena memberikan masukan kepada kas negara berupa dana yang pada akhirnya digunakan untuk pengeluaran rutin pemerintah dan membiayai fasilitas-fasilitas yang digunakan untuk masyarakat umum dalam mencapai tujuan meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

Definisi atau pengertian pajak oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH :

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat diunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Mardiasmo, 2002:1).

Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsus-unsur sebagai berikut:

a. Iuran dari rakyat kepada negara

Artinya bahwa yang berhak melakukan pemungutan pajak adalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, iuran tersebut berupa uang. b. Berdasarkan Undang-Undang

Artinya bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak, namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari wakil-wakil rakyat, yaitu dengan menyetujui undang-undang. Oleh karena pemungutan pajak berdasarkan undang-undang berarti pelaksanaannya dapat dipaksakan. c. Tanpa imbalan prestasi dari negara yang langsung dapat ditunjuk secara

individual. Artinya bahwa imbalan atau kontraprestasi oleh negara atas pembayaran pajak tersebut tidak diperuntukkan bagi rakyat secara individual atau tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.

(2)

d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.2 Pajak Penghasilan

2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan

Mengenai pajak penghasilan terdapat dalam peraturan perpajakan yakni Undang-Undang Pajak penghasilan yang mengatur pajak atas penghasilan (laba) yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan. Undang-undang pajak penghasilan mengatur subjek pajak, objek pajak serta cara menghitung dan cara melunasi pajak yang terutang. Undang-undang PPh juga lebih memberikan fasilitas kemudahan dan keringanan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

2.2.2 Subjek Pajak

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah :

1. a. Orang pribadi

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Dalam UU PPh tahun 2000 pasal 1 dan pasal 4 ayat 1 mengenai pengenaan pajak penghasilan yang menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan. Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakn

(3)

ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu.

Wajib pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

2.2.3 Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan.

“Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. (Mardiasmo, 2002).”

Yang termasuk dalam pengertian penghasilan adalah :

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. 3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, atau pengambilalihan usaha.

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan

(4)

oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang.

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

8. Royalti

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

11. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap. 14. Premi asuransi

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Yang tidak termasuk objek pajak antara lain yaitu :

1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan aassuransi bea siswa.

2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya yang diberikan oleh wajib pajak.

3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan serta Iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua kepada Badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

(5)

4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah.

5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja. 2.2.4 Tarif Pajak Penghasilan

Tarif yang dikenakan atas Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri berdasarkan Undang-undang PPh Pasal 17 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1

Tarif Pajak Atas Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 25.000.000 5% Di atas Rp. 25.000.000 s.d.Rp 50.000.000 10% Di atas Rp. 50.000.000 s.d.Rp 100.000.000 15% Di atas Rp. 100.000.000 s.d.Rp 200.000.000 25% Di atas Rp. 200.000.000 35% 2.2.5 Pembukuan

Pengertian Pembukuan menurut UU KUP pasal 1 adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi setiap Tahun Pajak berakhir.

Dalam pasal 28 UU KUP, terdapat beberapa ketentuan tentang pembukuan yang harus diselenggarakan, yaitu sebagai berikut :

a. Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

b. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel

(6)

d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jendral Pajak.

e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

g. Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan.

2.2.6 Norma Perhitungan

Pengertian Norma Perhitungan menurut UU PPh pasal 14 adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Wujud norma perhitungan adalah suatu persentase tetap yang diterapkan pada peredaran bruto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas dalam satu tahun pajak. Daftar persentase norma perhitungan berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor : KEP-536/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000, dibagi menjadi 3 kelompok yaitu yang pertama 10 ibu kota propinsi, yang kedua kota propinsi lainnya dan yang ketiga untuk daerah lainnya. Ketiga kelompok ini mempunyai nilai persentase norma perhitungan yang berbeda-beda untuk setiap jenis usaha.

Norma Perhitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh wajib pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000. Besarnya peredaran bruto ini dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk dapat menggunakan Norma Pehitungan Penghasilan Neto tersebut, wajib pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan

(7)

pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jendral Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.

Penghasilan Neto dihitung dengan cara mengkalikan persentase (tarif norma) dengan peredaran bruto (omzet) dalam 1 tahun tanpa memperhitungkan beban usaha. Besarnya tarif norma diatur dalam peraturan tersendiri, sehingga wajib pajak menyesuaikan dengan tarif norma yang berlaku. Jika perusahaan perorangan memiliki pendapatan lain-lain, maka pendapatan lain-lain tersebut ditambahkan dengan jumlah penghasilan neto yang dimiliki oleh perusahaan perorangan yang bersangkutan. Hasil penjumlahan tersebut dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan hasil pengurangan tersebut merupakan Penghasilan Kena Pajak (PKP), kemudian PKP dikalikan dengan tarif pajak penghasilan pasal 17 UU PPh, yang hasilnya merupakan pajak penghasilan terutang.

2.3Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.3.1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Pajak Pertambahan Nilai dibebankan kepada konsumen. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai menurut Untung Sukardji (1999:22) adalah :

“ PPN adalah pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan baik badan swasta maupun badan pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara.”

(8)

Dasar hukum pengenaan pajak adalah UU No. 8 tahun 1983 yang telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994, kemudian diubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya ditulis dengan singkatan Undang-undang PPN). (Sukardji 2002 : 2).

Pajak digolongkan menurut sifat, golongan dan lembaga pemungut, antara lain: a. Menurut sifat, Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung

John Stuart Mills (1806-1873), seorang ahli Ekonomi Inggris, mempelopori pembedaan pajak atas Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak Langsung dikenakan terhadap orang atau badan yang harus menanggung dan membayarnya, sedangkan, Pajak Tidak Langsung dikenakan terhadap orang atau badan yang harus menanggungnya, tetapi dapat memindahkan beban pajaknya dan diharapkan pihak lain untuk membayarnya.

PPN merupakan pajak tidak langsung. Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan terhadap orang atau badan yang harus menanggungnya, tetapi dapat memindahkan beban pajaknya dan diharapkan pihak lain untuk membayarnya. PPN termasuk dalam kelompok ini, karena PPN yang dikenakan terhadap penjual yang melakukan penyerahan BKP atau penerima JKP untuk membayarnya. Orang atau badan yang dimaksudkan disini merupakan subjek dari PPN.

Dari pengertian diatas, dapat dilihat adanya tiga unsur yang sama-sama dimiliki oleh kedua jenis pajak, yaitu:

1. Penanggungjawab Pajak (Wajib Pajak), yaitu orang/badan yang secara hukum (Yuridis Formil) harus membayar pajak.

2. Penanggung Pajak, yaitu orang/badan yang membayar pajak (dalam arti ekonomis)

3. Pemikul Pajak (destinataris), yaitu orang/badan yang dimaksud oleh ketentuan harus memikul beban pajak.

Jika dalam pengenaan pajak, ketiga unsur itu dapat ditemukan pada diri seseorang atau suatu badan, maka pajak yang dikenakan dapat dikatakan sebagai Pajak Langsung. Jika ketiga unsur itu terpisah, atau terdapat pada lebih dari satu

(9)

orang/badan, maka pajak yang dikenakan dapat dikatakan sebagai Pajak Tidak Langsung.

b. Menurut golongan, Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Objektif

Pajak Pertambahan Nilai juga tergolong sebagai Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya didasarkan pada objek pajak, baik objek pajak berupa benda ataupun objek pajak lainnya. Dalam kelompok Pajak Objektif, Pajak Pertambahan Nilai temasuk kedalam pajak yang dipungut karena perbuatan yang menyebabkan adanya lalulintas barang. Menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, perbuatan yang menimbulkan hutang PPN adalah suatu penyerahan.

c. Menurut lembaga pemungut, Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara

Pajak yang dipungut dengan Undang-Undang yang penerimaan pajaknya merupakan sumber penerimaan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) biasa disebut sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara. Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah yang merupakan sumber pembiayaan yang dimasukkan kedalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), disebut juga Pajak Daerah. Dalam pengelompokkan ini Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1983, yang merupakan sumber penerimaan yang tercantum dalam APBN, termasuk dalam pengertian Pajak Pusat atau Pajak Negara.

2.3.2 Fungsi Pajak Pertambahan Nilai a. Penerimaan Negara

Salah satu fungsi pemungutan pajak yang umum adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Fungsi ini disebut juga sebagai fungsi Budgeter. Begitu pula Pajak Pertambahan Nilai, sebagai Pajak Negara, penghasilan yang diperoleh dari pemungutan Pajak, dipergunakan sebagai sumber pembiayaan negara, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(10)

b. Pemerataan Beban Pajak

Pajak Pertambahan Nilai sering dikatakan sebagai tambahan atau koreksi untuk Pajak Penghasilan (PPh). Karena Pajak Penghasilan mengadakan pengecualian Subjek Pajak, ada Subjek Pajak yang dibebaskan dari pengenaan pajak. Dengan diadakannya Pajak Pertambahan Nilai, subjek pajak yang terbebaskan pada Pajak Penghasilan, secara tidak langsung menjadi penanggung pajak melalui konsumsi yang dilakukannya. Dengan demikian, beban Pajak akan terbebani pada setiap orang, tanpa pengecualian. Pajak Pertambahan Nilai dalam hal ini berperan sebagai alat untuk meratakan beban pajak.

c. Mengatur Pola Konsumsi

Pajak Pertambahan Nilai disebut juga sebagai pajak atas konsumsi. Yang menjadi pemikul beban pajak ini adalah Konsumen. Oleh karena itu PPN dapat juga dijadikan alat untuk membentuk pola konsumsi, dengan mengenakan pajak atas barang-barang tertentu, dan tidak mengenakan pajak atas barang lainnya sesuai dengan yang diinginkan. Dengan demikian pola konsumsi masyarakat diharapkan dapat dipengaruhi dan diandalkan.

d. Mendorong Ekspor

Untuk mendorong dan meningkatkan daya saing barang ekspor di pasar luar negeri, tarif atas penyerahan ekspor ditetapkan sebesar 0%.

e. Mendorong Investasi

Dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang dibayarkan atas perolehan atau impor barang modal, dibebaskan/diminta kembali. Pembebasan/pengembalian PPN barang modal diharapkan akan mendorong investasi.

f. Membantu Pengusaha Kecil

Dengan mengecualikan Pengusaha Kecil dari kewajiban memungut PPN, diharapkan akan lebih membantu pengusaha kecil mengembangkan usahanya.

(11)

2.3.3 Subjek Pajak 2.3.3.1 Pengusaha

Pengusaha adalah orang atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

2.3.3.2 Pedagang Eceran

Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut :

a. Menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan dari rumah ke rumah. b. Menyediakan BKP yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran

tersebut.

c. Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri BKP yang dibelinya.(Sukardji, 2005:460)

2.3.3.3 Pengusaha Kecil

Kriteria Pengusaha Kecil yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 552/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 571/KMK.03/2003 tanggal 29 Desember 2003 mulai berlaku tanggal 1 Januari 2004.

Dalam keputusan Menteri Keuangan yang baru ini diatur ketentuan baru mengenai Pengusaha Kecil sebagaimana diklarifikasi dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE-33/Pj.51/2003 tanggal 31 Desember 2003 , sebagai berikut :

(12)

a. Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang menyerahkan BKP dan atau JKP dalam satu tahun buku memperoleh jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

b. Apabila sampai dengan suatu Masa Pajak dalam satu tahun buku jumlah peredaran bruto lebih dari Rp. 600.000.000,- maka pengusaha ini memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak sehinggga wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Penguasaha Kena Pajak selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya.

c. Dalam hal kewajiban pelaporan usaha dimaksud dilaksanakan tidak tepat waktu, maka saat pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah akhir bulan seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan.

d. Dalam hal pengukuhan sebagai PKP dilakukan secara jabatan, maka saat pengukuhan tetap pada awal bulan berikutnya setelah batas akhir bulan seharusnya kewajiban pelaporan usaha dilakukan. (Sukardji, 2005:131)

Mengacu pada seluruh ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan dengan mempertimbangkan adanya persyaratan Pengusaha Kecil berupa batasan peredaran bruto atau penerimaan bruto lebih dari Rp. 600.000.000,-.

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, Pengusaha Kecil bukan Pengusaha Kena Pajak. Tetapi apabila terjadi hal yang sebaliknya, yaitu pengusaha yang tergolong sebagai Pengusaha Kecil mengajukan permohonan kepada Kepala KPP setempat untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka setelah dikukuhkan, Pengusaha Kecil tersebut menjadi Pengusaha Kena Pajak sepenuhnya sebagaimana diatur dalam Pasal 3A ayat (2) UU PPN 1984. Tetapi apabila dalam satu tahun buku peredaran bruto PKP tidak melebihi batasan pengusaha kecil, maka PKP yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan sebagai PKP. (Sukardji, 2005:130)

(13)

2.3.3.4 Pengusaha Kena Pajak

Berdasarkan UU PPN pasal 1 angka 15, Pengusaha Kena Pajak (PKP) didefinisikan sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PMPKP).

Untuk menjelaskan ruang lingkup PKP itu sendiri, PKP dapat dibagi menjadi dua, yaitu Pengusaha Kena Pajak Otomatis dan Pengusaha yang Memilih Dikukuhkan sebagai PKP atau PMPKP (Muqodim 1999:155). Yang dimaksud sebagai Pengusaha Kena Pajak Otomatis adalah pengusaha yang secara otomatis harus memungut pajak tanpa ada alternatif lainnya. Umumnya yang dikenakan sebagai PKP Otomatis ini adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dalam kegiatan usahanya atau sebagai eksportir. Dengan demikian mereka secara otomatis dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Contoh dari PKP Otomatis adalah pabrikan atau produsen, pemborong atau kontraktor, penyalur utama atau agen utama, importir, pedagang eceran dan pemegang hak paten atau pemegang hak merek dagang Barang Kena Pajak.

Sedangkan pengusaha yang memilih dikukuhkan sebagai PKP (PMPKP) adalah pengusaha yang sebenarnya tidak termasuk dalam ruang lingkup PKP tetapi menyatakan memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pada dasarnya mereka diberi kesempatan untuk menjadi PKP atau bukan PKP. Jika telah dikukuhkan, maka PMPKP memiliki kewajiban yang sama dengan PKP.

Pengusaha Kena Pajak, baik itu PKP Otomatis maupun pengusaha yang memilih dikukuhkan sebagai PKP atau PMPKP memiliki kewajiban yang sama dalam UU PPN sebagaimana yang diatur dalam UU PPN pasal 3A ayat 1.

Pengukuhan pengusaha menjadi PKP mempunyai akibat hukum yang antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penetapan 0%, Pengkreditan Pajak Masukan (PM), dan pengembalian kelebihan pajak. Agar pemungutan PPN terlaksana secara efektif dan lancar, sudah sewajarnya apabila pengusaha yang sejak semula bermaksud untuk melakukan penyerahan BKP dan

(14)

atau penyerahan JKP dan atas ekspor BKP dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Kewajiban PKP diatur dalam Undang-undang PPN Pasal 3A ayat (1) adalah sebagai berikut :

a. Melaporkan usahanya (mendaftarkan perusahaannya) untuk dikukuhkan sebagai PKP

b. Memungut PPN atau PPnBM yang terutang

c. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan dan menyetor PPnBM yang terutang

d. Melaporkan perhitungan PPN/PPnBM (menyampaikan SPT masa PPN/PPnBM).

2.3.4 Objek Pajak Pertambahan Nilai

Di dalam pasal 4 UU PPN disebutkan bahwa PPN dikenakan atas :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

b. Impor Barang Kena Pajak.

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Dari uraian UU PPN diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean, impor Barang Kena Pajak dan atas ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.Untuk pemungutan pajak atas impor dikenakan kepada siapapun tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau tidak. Sedangkan untuk melakukan ekspor BKP hanya diperkenankan bagi pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP.

(15)

2.3.4.1 Barang Kena Pajak (BKP)

Menurut UU PPN pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini.

Yang termasuk dalam penyerahan BKP adalah penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian. Dalam hal ini perjanjian meliputi transaksi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran atau perjanjian lainnya yang dapat mengakibatkan adanya penyerahan hak atas barang. Dalam perjanjian jual beli dapat jelas terlihat bahwa pembeli membayar atas harga jual barang dan bersamaan memperoleh barang tersebut dari penjual dan saat itu telah terjadi penyerahan hak atas barang. Demikian juga dengan transaksi tukar menukar, saat terjadi pertukaran saat itu juga terjadi penyerahan hak dari masing-masing pemilik BKP. Untuk transaksi jual beli dengan angsuran pada saat pembayaran yang diikuti penyerahan barang saat itu terjadi penyerahan hak.

Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing, dalam hal ini leasing dengan hak opsi juga termasuk dalam penyerahan BKP hanya untuk perjanjian sewa beli saat timbulnya objek pajak adalah pada saat pembeli membayar harga sewa tahap pertama dan pada saat itu juga barang diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

Pengalihan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang tergolong juga dalam pengertian penyerahan BKP. Pedagang perantara yang dimaksud dalam UU PPN adalah orang pribadi atau badan yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan perjanjian atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah tertentu, misalnya komisioner.

Atas pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma juga dianggap sebagai penyerahan BKP. Pengertian pemakaian sendiri artinya barang dagangan yang merupakan BKP digunakan sendiri untuk kepentingan PKP atau digunakan oleh karyawan, direksi. Sedangkan atas pemberian cuma-cuma yang merupakan objek pajak adalah pemberian yang dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan, misalnya untuk kegiatan promosi perusahaan memberikan contoh barang kepada calon konsumen.

(16)

Penyerahan BKP dari pusat ke kantor cabang (dalam pengertian ini termasuk lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran) dan sebaliknya dianggap sebagai penyerahan BKP. Yang termasuk penyerahan BKP lainnya adalah penyerahan secara konsinyasi dan persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan.

2.3.4.2 Barang Tidak Kena Pajak

Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan PPN sesuai UU PPN pasal 4 ayat 2 dapat dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu atas barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti minyak mentah, pasir, kerikil, batu bara yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut, barang kebutuhan rakyat banyak seperti beras, gabah, jagung, garam baik yang beryodium atau juga tidak dikenakan PPN karena barang-barang tersebut merupakan kebutuhan pangan yang penting bagi rakyat banyak dan jika dikenakan pajak akan semakin membebani hidup rakyat. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. Penetapan ini unuk menghindari pengenaan pajak berganda karena pada dasarnya makanan dan minuman tersebut sudah merupakan objek Pajak Daerah dan kelompok terakhir yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah uang, emas batangan dan surat-surat berharga.

2.3.4.3 Bukan Penyerahan Barang Kena Pajak

Ada tiga pengertian penyerahan yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang diatur dalam UU PPN pasal 1A ayat 2. Pertama adalah penyerahan BKP kepada makelar. Makelar dalam pengertian ini adalah orang yang menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah tertentu atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja. Hal ini berarti pada waktu kita menyerahkan BKP kepada makelar tidak dianggap sebagai penyerahan BKP karena pada dasarnya mereka menyelenggarakan usahanya atas nama orang lain.

Penyerahan JKP untuk jaminan utang piutang juga tidak dianggap sebagai penyerahan BKP demikian juga dengan penyerahan BKP dari pusat ke cabang

(17)

atau sebaliknya dalam hal PKP telah memperoleh izin pemusatan dari fiskus dikecualikan dari pengertian penyerahan BKP.

2.3.4.4 Jasa Kena Pajak (JKP)

Yang termasuk pengertian jasa menurut UU PPN pasal 1 angka 5 adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan.

Dengan demikian yang dimaksud dengan JKP adalah jasa yang dikenakan pajak berdasar Undang-Undang. Sama seperti penyerahan BKP unuk kepentingan sendiri atau cuma-cuma tetap dikenakan pajak, penyerahan JKP yang digunakan untuk kepentingan sendiri dari PKP atau karyawannya atau pemberian cuma-cuma tetap terutang pajak.

2.3.4.5 Jasa Tidak Kena Pajak

Berdasarkan UU PPN pasal 4 ayat 3 penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut :

a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan. b. Jasa di bidang pelayanan sosial.

c. Jasa di bidang pengiriman surat dan perangko.

d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi. e. Jasa di bidang keagamaan.

f. Jasa di bidang pendidikan.

g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan. h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan.

i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air. j. Jasa di bidang tenaga kerja.

k. Jasa di bidang perhotelan.

l. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

(18)

2.3.5 Mekanisme Pemungutan PPN

Sebelum BKP atau JKP dikonsumsi pada tingkat konsumen, PPN telah dipungut pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian pemungutan pada tiap tingkatan ini tidak menimbulkan pajak berganda karena adanya metode kredit pajak. Dalam menghitung PPN terutang ada tiga metode Addition Method, Substraction Method dan Credit Method.

Pada Addition Method ini PPN dihitung dari penjumlahan seluruh nilai tambah dikalikan tarif PPN yang berlaku. Adapun kelemahan dari metode ini adalah pengusaha wajib memiliki pembukuan yang tertib dan akurat untuk menentukan nilai tambah. Untuk Substraction Method, PPN yang terutang dihitung dari selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian dikalikan tarif pajak yang berlaku. Untuk itu diperlukan data yang akurat mengenai harga beli dan harga jual. Saat ini Indonesia menggunakan metode yang terakhir yaitu Credit Method. Berdasarkan metode ini, PPN terutang dihitung dari selisih antara pajak yang dibayar pada saat pembelian dengan pajak yang dipungut pada saat penjualan.

2.3.6 Dasar Pengenaan Pajak

Berdasarkan UU PPN pasal 1 angka 17, dalam mengenakan PPN ada lima dasar yang digunakan untuk menghitung pajak yang terutang, yaitu Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Harga jual dalam pengertian ini adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang tercantum dalam Faktur Pajak. Dasar pengenaan harga jual digunakan dalam hal terjadi penyerahan BKP. Pengertian penggantian pada dasarnya sama dengan pengertian harga jual, yaitu nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena adanya penyerahan jasa tidak termasuk PPN dan potongan harga yang tercantum di Faktur Pajak. Penggantian digunakan sebagai dasar pengenaan pajak atas penyerahan JKP.

Dalam hal pengusaha melakukan ekspor, maka yang dijadikan dasar pengenaan pajak adalah Nilai Ekspor atau semua biaya yang diminta atau

(19)

seharusnya diminta oleh eksportir. Untuk transaksi impor barang juga digunakan Nilai Impor yaitu nilai yang dijadikan dasar penghitungan bea masuk dan pungutan lainnya tidak termasuk PPN yang dipungut. Sedangkan untuk nilai lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak.

Dasar Pengenaan Pajak nilai lain ditetapkan sebagai berikut :

a. Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

b. Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.

c. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata.

d. Untuk penyerahan media cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film e. Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan

sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar.

f. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar. g. Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari Harga

Jual.

h. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. i. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah

tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

j. Untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon.

2.3.7 Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10% dengan DPP (harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain menurut ketetapan Menteri Keuangan). Dengan demikian besarnya PPN dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(20)

Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan rumus diatas, merupakan PPN Keluaran yang dipungut oleh PKP Penjual atau PPN Masukan bagi PKP Pembeli. Dengan demikian besarnya PPN Terutang bagi PKP adalah selisih antara PPN Keluaran dengan PPN Masukan.

Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif PPN dapat diubah-ubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

2.3.8 Mekanisme Pengenaan PPN Terhadap PKP Pedagang Eceran

Dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2000 tanggal 31 Mei 2002, Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 yang mengatur mekanisme pengenaan PPN atas penyerahan BKP yang dilakukan oleh PKP Pedagang Eceran (2%) dicabut. Pencabutan ini mulai berlaku sejak 1 Juni 2002. Sebagai penggantinya ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 252/KMK.03/2002 dan Nomor 253/KMK.03/2002. Ketentuan yang baru ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 252/KMK.03/2002 dilakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor 553/KMK.04/2000 sehingga sejak Masa Pajak Juni 2002, bagi PKP yang penghitungan PPh-nya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, ditetapkan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagai berikut :

1. Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto yang terutang PPN pada Masa Pajak yang bersangkutan dengan tarif PPN.

2. Adapun yang dimaksud dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto yang dimaksud dalam sub 1), tidak termasuk PPN.

3. Untuk penyerahan BKP oleh Pedagang Eceran dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar 80 %

(21)

(delapan puluh persen) dikalikan dengan pajak keluaran sebagaimana dimaksud dalam sub 1.

4. Untuk penyerahan BKP yang dilakukan oleh PKP selain Pedagang Eceran, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) dikalikan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam sub 1.

5. Untuk penyerahan JKP, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar 40% (empat puluh persen) dikalikan dengan Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud dalam sub 1. (Sukardji, 2005:464).

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 553/KMK.04/2000 setelah diubah antara lan dirumuskan bahwa Pedagang Eceran yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto adalah Pengusaha Orang Pribadi dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto selama 1 (tahun ) tahun buku tidak lebih dri Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Dengan adanya ketentuan yang baru ini maka mulai Masa Pajak Juni 2002, terjadi perubahan yang signifikan dalam mekanisme pengenaan PPN terhadap PKP Pedagang Eceran yaitu karena Waib Pajak PPh yanng diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dengan jumlah peredaran bruto kurang dari Rp. 600.000.000,- dan tidak mampu menyelenggarakan pembukuan.

Dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2000 tanggal 31 Mei 2002 diatur mekanisme pengenaan PPN terhadap PKP Pedagang Eceran yang penghitungan PPh-nya tidak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka harus menggunakan Pembukuan. Secara garis besar pengaturannya sebagai berikut :

a. Yang dimaksud dengan Pedagang Eceran selain yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto adalah Pengusaha Orang Pribadi atau Badan selaku pedagang eceran yang menyelenggarakan pembukuan.

b. Atas penyerahan barang dagangan oleh Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, terutang PPN sebesar 10% dari harga jual pasa SPT Masa PPN.

(22)

c. Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang melakukan penyerahan BKP, wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor pajak yang terutang, serta melaporkannya. d. Pengkreditan Pajak Masukannya yaitu PKP Pedagang Eceran Selain Yang

Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang sebelumnya menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak, dapat mengkreditkan Pajak Masukannya menggunakan pola yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN 1984, tentang mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan atau penerimaan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.

Mekanisme kredit pajak PPN yaitu Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa pajak yang sama. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh PKP. Selisih yang dimaksud, menurut Undang-undang harus disetor ke kas negara.

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (Sukardji, 2005:465).

2.3.9 Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) 2.3.9.1 Pengertian NPPKP

Selain wajib memperoleh NPWP, setiap pengusaha yang telah memenuhi syarat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1984, wajib melaporkan usahanya pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi

(23)

tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) adalah nomor yang diberikan kepada Pengusaha yang memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).(Mardiasmo, 2002:16).

2.3.9.2 Fungsi NPPKP

NPPKP sebagai nomor yang diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak, memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya.

2. Untuk pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Untuk pengawasan administrasi perpajakan. 2.3.9.3 Pendaftaran NPPKP

Kewajiban mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP untuk mendapatkan NPPKP di tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha dilakukan dengan mempertimbangkan adanya persyaratan Pengusaha Kecil berupa batasan peredaran bruto atau penerimaan bruto lebih dari Rp. 600,000,000. Sederhananya, bila pengusaha ternyata tidak mempunyai peredaran usaha atau penerimaan lebih dari Rp 600,000,000 dalam satu tahun buku, maka kewajiban pengukuhan ini tidak semestinya dilakukan.

Pengusaha yang dalam Undang-undang PPN dan PPnBM batasannya didasarkan pada jumlah peredaran bruto (omzet) dalam satu tahun diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila menjadi Pengusaha Kena Pajak, hak dan kewajibannya sama seperti Pengusaha Kena Pajak pada umumnya.

Kewajiban melaporkan untuk dikukuhkan menjadi PKP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Jangka waktu melaporkan adalah selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saat usaha dimulai.

(24)

2.3.9.4 Tempat Dan Tata Cara Pendaftaran NPPKP

Tempat pendaftaran untuk mendapatkan NPPKP adalah sebagai berikut : 1. Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) wilayah tempat kegiatan usaha atau cabang

usaha (wajib pajak) yang bersangkutan.

2. Tempat lain yang ditentukan oleh Dirjen Pajak. Hal ini dilakukan dengan prinsip mempermudah pelayanan Pendaftaran PKP mempunyai tata cara sebagai berikut :

a. Pengusaha (wajib pajak) mengisi formulir pendaftaran PKP rangkap 3 (tiga) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak terdekat, masing-masing :

- Untuk pengusaha perseorangan : Formulir KP.PDIP.4.1 - Untuk pengusaha Badan : Formulir KP.PDIP.4.2

- Untuk pemungut : Formulir KP.PDIP.4.3 (Bendaharawan) b. Penandatanganan formulir pendaftaran PKP dilakukan oleh :

- Untuk pengusaha perseorangan : Pemohon yang namanya sesuai KTP/pemilik usaha.

- Untuk pengusaha Badan : salah satu pengurus.

- Untuk pemungut : Bendaharawan yang ditunjuk sesuai SK Penunjukan. Apabila penandatanganan atau pengurusan NPPKP tersebut dilakukan oleh selain yang telah disebutkan di atas maka harus melampirkan surat kuasa khusus bermeterai.

c. Jenis dokumen yang harus dilampirkan pada permohonan NPPKP adalah : - Fotokopi KTP dan kartu keluarga pemohon atau pengurus.

- Fotokopi surat izin tempat usaha.

- Fotokopi tempat pendirian/ akte Perubahan dari Notaris bagi pengusaha Badan.

- Fotokopi NPPKP pusat bagi pemohon cabang. - Fotokopi akte/ surat nikah bagi wanita kawin.

- Fotokopi surat keputusan pengangkatan/ penunjukan bagi bendaharawan.

(25)

2.3.9.5 Sanksi Tidak Mendaftarkan NPPKP

Bagi pengusaha yang dengan sengaja tidak mendaftarkan, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPPKP sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang atau kurang dibayar.

2.3.9.6 Penghapusan NPPKP

NPPKP dapat dihapus atau tidak berlaku lagi jika terjadi hal-hal berikut ini: a. Wajib pajak (pengusaha) ke luar wilayah KPP.

b. Wajib pajak (pengusaha) meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. c. Wajib pajak (pengusaha) wanita kawin yang tidak pisah harta.

d. Warisan yang telah dibagi.

e. Badan termasuk BUT dibubarkan.

f. Karena peredaran brutonya berkurang sehingga dapat degradasi menjadi pengusaha kecil (harus mengajukan permohonan).

Referensi

Dokumen terkait

Jaringan syaraf tiruan berfungsi untuk menentukan apakah asap yang terdeteksi adalah asap kebakaran hutan atau bukan melalui karakteristik tegangan setiap asap

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfometri dari Rajungan yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, dan berat tubuh serta mengetahui aspek

Parfum Laundry Aceh Tengah Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan

Hasil penentuan pengaruh massa adsorben terhadap adsorpsi ion Fe 2+ dikembangkan dari metode yang dilakukan oleh Dede (2010), dilakukan pada konsentrasi adsorbat

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para informan penulis, yakni Juanico Soares, Yustina Soares, Aniceto Benigno Soares, dan Constantino Soares yang telah dengan

Alasan menggunakan metode Naïve Bayes Classifier adalah karena metode Naïve Bayes Classifier merupakan penyederhanaan dari teorema Bayes.Variabel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

Dapat diinterpretasikan bah- wa, kinerja-kinerja yang paling berpengaruh terhadap kepuasan pengguna merupakan hal yang menjadi ekspektasi tinggi tingkat kualitas

Tujuan penelitian adalah mengetahui karakteristik tanaman dalam taman kota, untuk mengetahui tingkat pencemaran debu di udara di bandingkan dengan BML, mengetahui efektifitas