• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perekaman Proses Persidangan pada Pengadilan Negeri Ditinjau dari Aspek Hukum Acara Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perekaman Proses Persidangan pada Pengadilan Negeri Ditinjau dari Aspek Hukum Acara Pidana"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA

Oleh: Hafrida1

Abstrak

Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang transparan dan adil serta dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas persidangan maka Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan mengatur bahwa kedepannya perlu dilakukan perekaman audio visual secara sistematis, teratur dan tidak terpisahkan dari prosedur tetap persidangan, namun dalam pelaksanaannya SEMA No. 4 Tahun 2012 Tentang Perekaman Proses Persidangan ini masih diperlukan kajian-kajian yang mendalam dan menyeluruh dari berbagai aspek bidang hukum, salah satunya adalah kajian dari aspek hukum pidana formil atau hukum acara pidana terutama jika nantinya perekaman audio visual ini ditetapkan sebagai standar operasional prosedur tetap bagi seluruh pengadilan tingkat pertama.Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini termasuk proses pemeriksaan perkara di Pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam Pasal 3 KUHAP menyebutkan “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Oleh sebab itu maka kajian ini akan membahas perekaman proses persidangan ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Selain itu Kajian ini juga akan membahas bagaimana SEMA Nomor 4 Tahun 2012 ini ditinjau dari undang-undang terkait lainnya.

Kata Kunci : Perekaman Sidang, Transparan, Adil, dan Akuntabel.

A. Pendahuluan

Perekaman persidangan diawali oleh KPK dilakukan seiring dengan pembentukan Pengadilan TIPIKOR di daerah. Pelaksanaan perekaman persidangan pada Pengadilan Tipikor ini dilakukan oleh KPK melalui kerjasama dengan Perguruan Tinggi pada masing-masing daerah lokasi Pengadilan Tipikor.

1

(2)

Perekaman persidangan pada Pengadilan Tipikor ini dimaksudkan untuk memberikan dampak positif dalam pelaksanaan proses persidangan tipikor di daerah, diantaranya adalah:

a. Mengubah perilaku hakim maupun jaksa ketika dalam persidangan ke arah yang lebih baik, karena merasa diawasi.

b. Jadwal sidang lebih transparan.

c. Membantu panitera dalam melakukan pemberkasan dengan adanya rekaman persidangan.

d. Dari sisi putusan, lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum adanya perekaman.

e. Menjadi trigger bagi kampus dalam melakukan pengawasan peradilan.

f. Sebagai bahan pembelajaran mahasiswa maupun para akademisi dibidang hukum.

Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang transparan dan adil ini kemudian menular pada dimensi yang lebih luas. Perekaman persidangan tidak cukup dilakukan pada pengadilan tipikor saja tetapi seharusnya dilakukan juga terhadap proses persidangan di Pengadilan Negeri di Indonesia. Sejalan dengan semangat tersebut dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas persidangan maka Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan mengatur bahwa kedepannya perlu dilakukan perekaman audio visual secara sistematis, teratur dan tidak terpisahkan dari prosedur tetap persidangan. Dalam Surat edaran tersebut dinyatakan bahwa: a) Hasil perekaman audio visual merupakan komplemen dari Berita Acara Persidangan; b) Perekaman audio visual dilakukan secara sistematis dan terjamin integritasnya; c) Hasil rekaman audio visual persidangan dikelola oleh kepaniteraan, dan d) Hasil rekaman audio visual sebagai bagian dari Bundel A.

Surat Edaran menggariskan bahwa proses ini akan dimulai terlebih dahulu pada perkara-perkara tindak pidana korupsi dan perkara yang menarik perhatian publik, dengan tidak menutup kemungkinan bahwa perekaman audio visual untuk

(3)

dilakukan sebagai standar prosedur tetap bagi seluruh persidangan pada pengadilan tingkat pertama di masa yang akan datang.

Keberadaan SEMA Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perekaman Proses Persidangan ini mengutip Achmad Ali dapat dikatakan sebagai “Reformasi

Paradigma”2 dimana reformasi peradilan sangat tidak cukup hanya melalui

reformasi perundang-undangan semata. Sebagaimana dikemukakan oleh Thomas A. Wartowski agar dapat efektif suatu hukum harus mendapat dukungan dari masyarakat dan untuk mendapat dukungan itu maka suatu hukum harus dapat dilaksanakan dengan baik, dipahami dengan baik dan konsisten dengan nilai-nilai

komunitasnya. 3 Namun dalam pelaksanaannya SEMA No. 4 Tahun 2012 Tentang

Perekaman Proses Persidangan ini masih diperlukan kajian-kajian yang mendalam dan menyeluruh dari berbagai aspek bidang hukum, salah satunya adalah kajian dari aspek hukum pidana terutama dari aspek hukum pidana formil atau hukum acara pidana terutama jika nantinya perekaman audio visual ini ditetapkan sebagai standar operasional prosedur tetap bagi seluruh pengadilan tingkat pertama.

Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini termasuk proses pemeriksaan perkara di Pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam Pasal 3 KUHAP menyebutkan “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Oleh sebab itu maka kajian ini akan membahas perekaman proses persidangan ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Selain itu Kajian ini juga akan membahas bagaimana SEMA Nomor 4 Tahun 2012 ini ditinjau dari undang-undang terkait lainnya.

2

Suatu sikap dalam melakukan terobosan-terobosan terhadap kekakuan dan ketertinggalan Perundang-undangan kita dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal 477.

3

(4)

B. Perekaman Audio Visual sebagai Prosedur Standar ditinjau dari Aspek Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundangan Terkait lainnya.

Hukum sebagai suatu hal yang universal artinya dibelahan bumi manapun atau di negara manapun pasti memerlukan hukum, tetapi di sisi lain hukum memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan ciri dan pertumbuhan hukum itu sendiri. Di dalam Hukum Pidana terdapat berbagai sistem hukum diantaranya adalah sistem hukum common law dan sistem hukum eropa continental atau civil law. Indonesia sebagai Negara yang berasal dari Sistem Hukum Eropa Continental atau Civil Law (Civil Law System) sebagai negara yang menganut sistem hukum Civil Law maka yang menjadi sumber utamanya adalah undang-undang dimana hukum diarahkan pada “Law as it is written in the books”4 oleh sebab itu sebagai negara yang menganut Civil Law System maka setiap aturan dan pelaksanaan proses peradilan harus bersandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kepastian Hukum).

Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana di Indonesia secara normatif berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)” dalam proses peradilan di Indonesia, termasuk standar operasional prosedur dalam proses persidangan sebagaimana dalam Pasal 2 menyebutkan “Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”. KUHAP dibentuk dengan tujuan: 1) Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa), 2) Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan, 3) Kodifikasi dan Unifikasi hukum acara pidana, 4) Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum 5

Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut maka dalam proses peradilan pidana di Indonesia dalam pelaksanaannya harus berdasarkan asas: (1) Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, (2). Praduga Tak Bersalah, (3). Asas Opportunitas, (4). Pemeriksaan Peradilan terbuka untuk Umum, (5) Semua orang

4

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana. Konsep, Komponen dan

Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, 2009, hal. 17.

5

(5)

diperlakukan sama di depan hukum, (6). Tersangka/terdakwa berhak di dampingi penasehat hukum, (7). Asas Akuasitoir, (8). Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan.6 Selain itu Van bemmelen juga memberikan defenisi tentang fungsi hukum acara pidana yaitu: (1) Mencari dan menemukan kebenaran, (2) Pemberian keputusan oleh hakim (3) pelaksanaan putusan. Dari ketiga fungsi tersebutyang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (seharusnya adil dan tepat) , yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Sementara menurut A. Hamzah bahwa tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, ketentraman,kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Dalam ilmu pengetahuan hukum, secara teoritis hukum yang baik harus memenuhi unsur sosiologis, yuridis dan filosofis. Demikian juga undang-undang materiil, bila pembuatannya mengesampingkan salah satu, maka dalam penerapannya akan menemui kendala di tengah-tengah masyarakat. Dalam hukum pidana materiil, ketiga unsur tersebut keberadaannya mutlak diperlukan, dan dalam usaha mempertahankannya mesti harus dibarengi dengan hukum acaranya (Hukum Acara disebut hukum formal dan hukum pidananya disebut hukum materiil) yaitu Hukum Acara Pidana. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat Hukum Acara pidana mempunyai tujuan menemukan kebenaran materiil, mencari pelaku yang sebenarnya dan kemudian meminta kepada hakim untuk memutuskan tentang salah atau tidaknya pelaku yang didakwakan tadi.

Ditinjau dari Dari aspek Tujuan Hukum Acara Pidana keberadaan SEMA Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perekaman Persidangan tidak bertentangan karena keberadaan SEMA ini adalah dalam rangka mencapai tujuan dari Hukum Acara pidana tersebut. Walaupun demikian perlu kita kaji dari berbagai aspek lain.

6

Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-23.

(6)

Dalam Pasal 3 KUHAP menyebutkan “Peradilan dilaksanakan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” dalam hal pelaksanaan persidaangan diatur dalam Pasal 230 yaitu:

(1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang.

(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, p enasihat hukum

dan panitera mengenakan.pakaian sidang dan atribut

masingmasing.

(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai berikut :

a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;

b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;

c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;

d. tempat terdakwa dan penasehat hukum terletak di sebelah kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;

e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;

f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;

g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;

h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja

hakim dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara di tempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;

i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera;

j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i

diberi tanda pengenal;

k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk

utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu. (4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan di luar gedung

pengadilan, maka tata tempat sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut di atas.

(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera Nasional harus.

Berdasarkan ketentuan Pasal 230 KUHAP tersebut dan bersandarkan pada Pasal 3 KUHAP maka keberadaan Camera Video diruang sidang untuk

(7)

kepentingan persidangan tidak sesuai dengan ketentuan tersebut sementara Hukum Pidana Indonesia yang merupakan Civil Law System segala sesuatunya harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu mencermati SEMA No. 4 Tahun 2012 Tentang Perekaman Persidangan yang menyatakan bahwa “Rekaman Audio Visual sebagai bagian dari bundel A yang berarti harus disertakan dalam bundel pengajuan upaya hukum maka hal ini berarti tidak sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan dalam pengajuan upaya hukum sebagaimana telah diatur dalam KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 233 -258 KUHAP.

Dalam Pasal 202 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa: Panitera membuat berita Acara Sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2012 menyebutkan bahwa selanjutnya dalam berita acara sidang tersebut harus dilengkapi dengan perekaman proses persidangan dan hasil perekaman audio visual tersebut merupkan kelengkapan yang tidak terpisahkan dari Berita Acara Sidang. Dengan demikian bahwa SEMA ini bermaksud menambahkan atau mengubah ketentuan Pasal 202 Ayat (1) KUHAP. Dari aspek hirarki perundang-undangan maka peraturan yang lebih rendah tidak dapat mengubah atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Selain itu dalam dalam SEMA ini juga menyebutkan bahwa “setelah pelaksanaan perekaman maka hasil perekaman audio visual tersebut akan tersimpan sebagai arsip”. Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan pada Pasal 1 butir 2 menyebutkan:

Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh

lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Berdasarkan pengertian tentang arsip tersebut maka hasil rekaman audio visual terhadap proses persidangan dapat dimasukkan dalam pengertian arsip

(8)

sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian maka tehnis pemeliharaannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan. Tujuan dari kearsipan ini adalah sebagai berikut: bertujuan: menjamin terciptanya arsip dari kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan, serta ANRI sebagai penyelenggara kearsipan nasional; menjamin ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah; menjamin terwujudnya pengelolaan arsip yang andal dan pemanfaatan arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menjamin pelindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat melalui pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya; mendinamiskan penyelenggaraan kearsipan nasional sebagai suatu sistem yang komprehensif dan terpadu; menjamin keselamatan dan keamanan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; menjamin keselamatan aset nasional dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, serta keamanan sebagai identitas dan jati diri bangsa; dan meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya.

Dalam Pasal 3 ayat (2) pada bagian tujuan Penyelenggaraan kearsipan

menyebutkan bahwa: Penyelenggaraan kearsipan bertujuan menjamin

ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya sebagai “Alat Bukti yang sah”.

Jika hasil perekaman audio visual yang telah tersimpan sebagai arsip kemudian disebutkan sebagai alat bukti yang sah jika dipergunakan dalam pembuktian dalam perkara pidana maka akan menimbulkan permasalahan karena hal ini tidak sesuai dengan Ketentuan tentang alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.7 Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2)

Undang-7

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

(9)

undang kearsipan ini sendiri tidak sinkron dengan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti yang sah, sehingga walaupun dalam Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa arsip darihasil perekaman audio visual dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana.

Dalam RKUHAP terdapat perubahan dalam alat bukti yang sah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 175 ayat (1) Rancangan KUHAP berbunyi: “Alat bukti yang sah mencakup: a) barang bukti; b) surat-surat; c) bukti elektronik; d) keterangan seorang ahli; e) keterangan seorang saksi; f) keterangan terdakwa; dan g) pengamatan hakim. Dengan ketentuan ini, terdapat alat bukti yang diganti/dihilangkan dan sekaligus ditambah oleh Rancangan KUHAP dari KUHAP yang berlaku saat ini. Alat bukti yang ditambah yaitu barang bukti, bukti elektronik, dan pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti adalah alat bukti petunjuk. Yang dimaksud dengan alat bukti elektronik menurut:

Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.8

Perubahan mengenai alat-alat bukti yang sah ini akan dapat memberikan akses yang baik bagi hasil perekaman audio visual sebagai alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang kearsipan karena Dalam sebuah persidangan, alat bukti sangatlah penting, karena dengan adanya alat bukti akan terungkap dengan lebih jelas dan terang kebenaran dari suatu peristiwa. Alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan

8

(10)

sebagai bahan pembuktian, guna menimbukan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. C. Penutup

Pelaksanaan perekaman proses persidangan dengan tujuan untuk mewujudkan peradilan yang transparan, adil dan akuntabel adalah sangat baik tetapi dari sistem hukum pidana Indonesia sebagai Civil Law yang berlandaskan pada perundang-undangan yang berlaku maka sebelum pelaksanaan perekaman proses persidangan itu harus berlandaskan pada hukum yang berlaku. Saat ini proses peradilan di Indonesia berlandaskan pada KUHAP dan di dalam KUHAP belum mengatur tentang pelaksanaan dan hasil perekaman audio visual tersebut jika akan dipergunakan sebagai alat bukti yang sah maka seharusnya perlu dilakukan perubahan peraturan dasarnya terlebih dahulu dalam hal ini adalah perubahan KUHAP sebelum pelaksanaan perekaman proses persidangan sebagaimana yang diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2012. Termasuk perubahan Pasal 202 ayat (1) KUHAP tentang Berita Acara Sidang. Selain itu dalam pembuatan suatu peraturan maka harus diperhatikan sinkronisasi peraturan-peraturan terkait lainnya.

(11)

Daftar Pustaka

Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang

(Legisprudence), Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Sinar Grafika. Jakarta.

Yesmil Anwar dan Adang. 2009. Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Widya Padjajaran. Bandung.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan

SEMA Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perekaman Proses Persidangan R KUHAP Tahun 2010

Referensi

Dokumen terkait

dihadapi kini adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yang digunakan.. Suatu organisme yang telah menjadi resisten terhadap agen

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan kualitas hidup yang bermakna antara pasien hemodialisis rutin yang mempunyai

Dalam rangka mendukung program Kementerian Pertanian terutama peningkatan kompetensi Pimpinan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan agar mampu

[r]

Menurut Vincent Gaspersz (2005:211-212) jika kita mengasumsikan bahwa sistem produksi hanya menggunakan dua jenis input yaitu modal (K), serta harga dari input modal adalah r per

Dalam proses menjalankan usaha, yang paling berkesan untuk penulis adalah disaat penulis harus mengedarkan surat penawaran produk. Penulis mengedarkan surat penawaran ke semua

Body Mass Index in Association with Cardiorespiratory Fitness in Healthy.. Men and Women : A Cross Sectional Analysis of 403

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima artinya hipotesis yang menyatakan dugaan adanya pengaruh signifikan secara bersama-sama antara motivasi