• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Harmonis Antar Umat Beragama dalam Al-Qur'an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Relasi Harmonis Antar Umat Beragama dalam Al-Qur'an"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI HARMONIS

ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM AL-

QUR’ AN

Siti Mukzizatin

Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan posisi dan batasan yang jelas terkait dengan masalah hubungan antara muslim dan non-Muslim dalam bersikap secara adil. Al-Qur’an menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an juga menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan, ini yang sering disebut sebagai “kalimatun sawaa”. Penelitian ini menggunakan pendekatan Diskriptif Kualitatif dengan metode penomenologi melalui penulisan yang terinspirasi atas fenomena yang berkembang saat ini dikalangan pemeluk agama yang menjurus pada tindakan praktik intoleransi dan kekerasan. Mereka saling menyalahkan dan menegasikan satu sama lain. Konsep Persatuan dan kesatuan dalam relasi kehidupan umat beragama bukan dalam pengertian menyatukan segala keragaman melainkan negara yang warganya bersatu dalam keragaman. penghargaan terhadap keragaman serta memelihara semangat Unity in Diversity dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Atas Dasar itu, Kajian ini diharapkan dapat menemukan benang merah dan akar masalah atas paradigma inklusivitas keberagamaan. Memberikan kontribusi membuka peluang bagi kesadaran toleransi beragama dan hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan.

Kata Kunci: Kalimatun sawaa, Pluralitas, Toleransi Abstract

This research aims to provide clear positions and boundaries related to the problem of relations between Muslims and non-Muslims in behaving fairly. The Qur'an recommends finding common ground and tangible points between believers. The Qur'an also recommends that in the social interaction, if no equation of understanding is found, each of them should acknowledge the existence of another party and do not need to blame each other, this is often referred to as "kalimatun sawaa". Using the Qualitative Descriptive method penomenologi, this paper is inspired by the phenomenon that develops recently among believers which lead to actions of intolerance and violence, they blame each other and negate one another. The concepts of unity and integrity on the relations of life of religious people is not in the sense of uniting all diversity but in the sense of unity in diversity, by respecting the diversity in Indonesian society, maintaining the spirit of Unity in Diversity. Therefore, this study is aimed to find the common thread and root causes of the paradigm of religious inclusiveness. It is also aimed to contribute

(2)

in developing opportunities for religious tolerance awareness, something that should be interpreted as an attitude to be able to live with people who adhere to other religions, by having the freedom to carry out their respective religious principles, without coercion or pressure. Keywords: Kalimatun sawaa, Plurality, Tolerance

PENDAHULUAN

slam secara khusus mengakui adanya pluralitas dan kemajemukan, baik dalam bidang agama, ras, dan kultur sebagai kehendak Allah. Dalam pandangan Islam, yang membedakan seseorang Muslim dan non-Muslim ialah akidahnya yang termanifestasikan dengan memeluk agama Islam.

Pluralitas dalam konteks bernegara dan beragama merupakan problem paling besar dalam kehidupan keberagamaan dewasa ini yang ditandai kenyataan adanya potensi konflik antar elemen dalam masyarakat yang multikultural.

Istilah Plural mengandung arti yang berjenis-jenis bukan berarti sekedar pengakuan akan keragaman tetapi pengakuan tersebut juga memiliki implikasi politis, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, istilah pluralisme sebetulnya berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi tetapi tidak mengakui adanya pluralisme dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme berkaitan erat dengan hak hidup kelompok masyarakat yang ada dalam satu komunitas dimana komunitas-komunitas itu mempunyai budaya masing-masing (HAR Tilaar, 2004: 82). Sedangkan budaya

merupakan cipta, rasa dan karsa manusia yang diciptakan dalam sebuah komunitas. Budaya ini biasanya menjadi pemersatu sebuah komunitas tertentu dalam ruang dan kurun waktu tertentu.

Dalam suatu negara pasti akan menemukan banyak kelompok masyarakat yang mempunyai karakteristik berbeda-beda. Perbedaan karakteristik ini berkenaan dengan tingkat deferensiasi dan stratifikasi sosial yang pada gilirannya terjadi segmentasi kedalam kelompok sub budaya yang saling berbeda. Segmentasi masyarakat terbagi-bagi dalam kelompok kecil berdasarkan ras, suku, agama masing-masing dan dalam pergaulan terpisahkan karena individu lebih memilih berinteraksi dengan orang yang satu suku, ras dan agamanya saja, karena dianggap lebih mudah berkomunikasi, memiliki ikatan batin yang sama dan mempunyai banyak kesamaan (Koentjaraningrat, 1990:181).

Indonesia adalah Negara majemuk yang di dalamnya terdapat keragaman dalam hal agama dan suku, seluruh perbedaan tersebut disatukan oleh asas pancasila sebagai ideologi pemersatu. Meski kenyataannya Islam menjadi agama mayoritas, namun sistem aturan dan landasan hidup di Indonesia bukanlah Islam, melainkan Pancasila yang berbasis pada sistem demokrasi dan hukum.

Meski kenyataannya Indonesia bukan Negara Islam, tetapi tidak bisa

I

(3)

dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang seluruh aturan dan sistem kenegaraannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an, hal ini berbeda dengan apa yang berlaku bagi penganut agama minoritas di mana mereka harus lebih banyak menyesuaikan meski secara doktrin kadang-kadang ajaran mereka tidak sama secara jelas dengan agama mayoritas.

Dalam Konteks keindonesiaan keragaman seharusnya menjadi modal perekat bangsa dan Islam sebagai

rahmatan lil alamin menjadi konsep dalam mengembangkan kerukunan umat beragama yaitu relasi yang dilandasi saling toleran, pengertian, menghormati, menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Berdasarkan hal di atas, penulis menganalisa anjuran nash Al-Qur’an agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Bagaimanakah Al-Qur’an melihat interaksi antara muslim dan non-Muslim serta posisi dan batasan yang jelas terkait dengan relasi dan bersikap secara adil antar umat beragama?

Metode Kajian

Pendekatan yang digunakan adalah diskriptif kualitatif dengan metode penomenologi yaitu menggambarkan fenomena yang berkembang dikalangan pemeluk agama yang menjurus pada tindakan praktik intoleransi dan kekerasan dengan saling menyalahkan dan menegasikan satu sama lain. Berkembangnya sikap Truth claim

dengan menutup adanya kebenaran di luar komunitas dan kelompoknya.

Untuk triangulasi data dikomparasikan dengan penelitian kepustakaan (library Research) untuk menggali lebih dalam atas konsep toleransi antar umat beragama dan intern umat beragama sebagai metode untuk memahami fenomena atau gejala sosial sehingga mendapatkan gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji. Dengan demikian diperoleh pemahaman yang mendalam tentang Paradigma pluralitas dalam relasi keharmonisan umat beragama dan kondisi ideal keharmonisan umat beragama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Konsep Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur’an

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimologi) berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie) Toleran mengandung pengertian “mendiamkan”. Toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (KBBI, 1994: 89).

Dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Warson Munawwir, bahwa toleransi biasa disebut tasamuh yang memiliki akar kata

(4)

samuha- yasmuhu-samhan,wa simaahan, wa samaahatan, artinya adalah sikap membiarkan dan lapang dada, murah hati, dan suka berderma (Masykuri Abdillah, 2007:129). Sedangkan menurut istilah (terminologi), Indrawan WS. menjelaskan bahwa pengertian toleransi adalah menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri; Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri. Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikan toleransi dengan “sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya).

Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrit). Oleh karena itu, pengertian toleransi beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk agama yang menjaga keyakinan dan kebebasannya untuk menjalankan ibadahnya. Toleransi beragama menuntut kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan tanggung jawab sehingga menumbuhkan perasaan

solidaritas dan mengeliminasi egoisme golongan. Toleransi beragama bukanlah sesuatu yang dapat dicampuradukan, melainkan mewujudkan ketenangan, saling menghargai, bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina untuk gotong-royong dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagiaan bersama.

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran agama masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama, sikap toleransi perlu dikembangkan guna menghindari konflik. Dan biasanya konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain. Setiap agama memiliki kebenaran, keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif, personal oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran tampil beda ketika ada pemaknaan secara bahasa. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil oleh orang yang meyakininya dari konsepsi ideal turun kedalam bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural.

Al-Qur’an tidak pernah menyebut -nyebut kata toleransi (tasamuh) secara tersurat (eksplisit) sehingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara tersirat (implisit) al-Qur’an menjelaskan

(5)

konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan toleransi dalam kehidupan (Adnan Buyung Nasution, 1996: 108).

Toleransi pada pengertian ini mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan.

Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

إ ُساَّلنٱ اَهُّي

أََٰٓي

َ

َٰ َثَن

ُ

أَو ٖر

َكَذ ن م مُكََٰنۡقَلَخ اَّن

َّن إ ْۚ

آوُفَراَعَ لِ َل ئٓاَبَقَو اٗبوُعُش ۡمُكََٰنۡلَعَجَو

َ َّللَّٱ َّن إ ْۚۡمُكَٰىَقۡت

َ

أ َّللَّٱ َدن ع ۡمُكَمَرۡك

َ

أ

ٞير بَخ ٌمي لَع

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, sudah selayaknya bagi manusia untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam

menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan lain sebagainya.

Seseorang (komunitas) harus dijamin dan diakui esensi kemanusiaannya. Begitu juga seseorang yang hidup dalam sebuah bangsa tidak boleh dikebiri nilai kemanusiaannya. Salah satu esensi kemanusiaan adalah pengakuan kemajemukan dan keragaman jika mengingkari sesungguhnya telah menegasikan eksistensi dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Pada hakekatnya Kondisi yang heterogen ini sebetulnya mendorong kehidupan manusia untuk selalu berinovasi kreatif dan kompetitif. Allah Berfirman Al Maidah: 48.

ٗق د َصُم قَ

لۡٱ ب َبَٰ َت كۡلٱ َكۡ َلَ إ ٓاَ ۡلنَزنَأَو

ۡ

اَم ل ا

ِۖ هۡي

َلَع اًن مۡيَهُمَو بََٰت كۡلٱ َن م هۡيَدَي َ ۡيَۡب

ۡع بَّتَت

لََو ُُۖ َّللَّٱ

َ

َلَزنَأ ٓاَم ب مُهَنۡيَب مُكۡحٱَف

اَنۡلَعَج ٖ

ُك ل ِّۚ قَۡلۡٱ َن م َكَءٓاَج اَّمَع ۡمُهَءٓاَوۡهَأ

ُ َّللَّٱ َءٓاَش ۡوَلَو ْۚا ٗجاَهۡن مَو ٗةَعۡ شِ ۡمُكن م

ُ

أ ۡمُكَلَعَ

لَ

َ

فِ ۡم

ُكَوُلۡبَ لَ ن كََٰلَو ٗةَد حََٰو ٗةَّم

َّللَّٱ

لَ إ ِّۚ تََٰرۡيَ

َ

لۡٱ اوُق بَتۡسٱَف ُۖۡمُكَٰىَتاَء

ۡ

ٓاَم

هي ف ۡمُتنُك اَم ب مُكُئ بَنُيَف اٗعي َجَ ۡمُكُع جۡرَم

َنوُف لَتۡ

تَ

َ

(6)

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka bersegeralah berbuat kebajikan”.

Yusuf Qardhawi mengungkapkan karakteristik Islam dalam tujuh karakter pokok yang hendaknya dimiliki yakni:

Rabbaniyyah (Ketuhanan), Insaniyyah

(Kemanusiaan), Syumul (Universal) al-Washathiyyah (Moderat), al Waqi’iyyah

(Kontekstual), al wudhuh (jelas) dan menyatukan antara Tathawwur

(transformasi) dan Tsabat (konsistensi). (Yusuf Qardhawi, 1996: ix ).

Beliau menempatkan ciri kemanusiaan setelah ketuhanan karena betapa pentingnya menghargai sesama manusia dan menghargai semua hak-haknya. Perbedaan yang terjadi dimasyarakat bukan menjadi penghalang untuk berlaku adil dan berbuat baik. Hal ini menegaskan betapa eksistensi kemanusiaan mendapat tempat yang terhormat, individu memiliki hak baik hak hidup, hak mendapat keadilan perlakuan serta hak-hak kemanusiaan lainnya.

Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini kita boleh bebas menganut agama tertentu kemudian esok hari kita menganut agama yang lain, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama-agama kita dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat dan mendiskreditkan agama atau kelompok lain. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujarat ayat 11:

ٍمۡوَق ن م ٞمۡوَق ۡرَخ ۡسَي

لَ اوُنَماَء َني

َ

لَّٱ اَهُّي

َّ

َ

أََٰٓي

َس ن

لََو ۡمُهۡن م اٗ ۡيرَخ اوُنوُكَي ن

َ

َ

أ َٰٓ َسََع

ٞءٓا

َ

لََو ُۖ َّنُهۡن م اٗ ۡيرَخ َّنُكَي ن

َ

أ َٰٓ َسََع ٍءٓا َس ن ن م

ِۖ بَٰ َقۡلَ ۡلۡٱ ب اوُزَباَنَت َلََو ۡمُكَسُفنَأ آوُز مۡلَت

ۡمَّل نَمَو ِّۚ نَٰ َمي

لۡٱ َدۡعَب ُقو ُسُفۡلٱ ُم ۡس لِٱ َسۡئ ب

ۡ

َنوُم لََّٰظلٱ ُمُه َك ئ

ََٰٓل وُأَف ۡبُتَي

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Jadi sikap kaum muslimin terhadap penganut agama lain sudah sangat jelas sebagaimana yang telah diterangkan dalam ayat ini, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan

(7)

kerja sama dengan mereka, terlebih bersikap intoleran terhadap mereka (Adeng Muchtar Ghazali, 2004: 89).

Agama Islam adalah agama yang berdimensi sosial yang mengajarkan saling tolong menolong, membantu orang yang berkesempitan dll, inilah karakterisitik Islam yang bersifat kasih saying dan penuh rasa persaudaraan. Islam sama sekali tidak melarang memberikan bantuan kepada siapapun selama mereka tidak memusuhi orang Islam, tidak melecehkan simbol-simbol keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Kaum muslim diwajibkan oleh al-Qur’an untuk saling menghargai termasuk rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang non muslim.

Sebagaimana firman-Nya QS Al Hajj:40.

ن

َ

أ ٓ

لَ إ ٍ قَح ۡيرَغ ب م ه رََٰي د ن م

َّ

اوُج رۡخُأ َني َّلَّٱ

َو ُُۗ َّللَّٱ اَنُّبَر

اوُلوُقَي

َساَّلنٱ َّللَّٱ ُعۡفَد

لَۡوَل

َ

ٞعَي بَو ُع مََٰو َص ۡتَم دُه

َّل ٖضۡعَب ب مُهَضۡعَب

َّللَّٱ ُم ۡسٱ اَهي ف ُرَكۡذُي ُد جَٰ َسَمَو ٞتََٰو

َل َصَو

َ َّللَّٱ َّن إ ْۚٓۥُهُ ُصُنَي نَم ُ َّللَّٱ َّنَ ُصُنَ

َلََو ُۗاٗير ثَك

ٌزي زَع ٌّي وَق

َل

“(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena

mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan sekiranya Allah tiada menolak

(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani,

gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktek sosial, dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial dan kehidupan bertetangga serta bermasyarakat, bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskannya pada ayat terakhir surat al-Kafirun yang berbunyi: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, demikian juga dengan tata cara ibadahnya, bahkan Islam melarang

(8)

penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam lahir.

Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam sejarah agama Islam dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan interaksi sosial (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragama Yahudi, bahkan nabi sendiri pernah meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan memerintahkan para sahabat untuk berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang beragama Nasrani (Syafiq A. Mughni, 2002:27-35). Salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini, bagaimana teologi suatu agama mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain, dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu paham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama-agama. Atau, bisa dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama, sebab memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh.

Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah. Yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat pluralis, toleran

dan integratif. Agenda yang perlu diluruskan oleh umat Islam Indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi konkret. Untuk mewujudkan cita-cita ini, dituntut peran negara yang positif dalam memperlakukan penganut umat beragama. Agama bukan hanya sebagai instrumen mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memberlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat.

Agama memang dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua, disatu sisi ia dapat menjadi perekat dan pemersatu bagi umat, namun disisi lain ia juga dapat menjadi pemicu konflik dalam masyarakat, hal ini tergantung cara memahaminya. Faktanya konflik umat beragama seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan agama yang tidak disikapi dengan rasa tasamuh dari masing-masing penganut agama. Masing-masing merasa menjadi pemegang kebenaran sebagai konsekwensinya orang lain dianggap salah. Meyakini suatu agama sebagai “benar” tidak harus dijadikan legitimasi untuk menyalahkan orang lain.

Pernyataan bahwa Agama sering menjadi salah satu sumber konflik memang tidak sepenuhnya salah. Selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh ketegangan kecurigaan dan permusuhan dengan berbagai dalih, fenomena ini kelihatannya berlanjut hingga kini. Konflik berkepanjangan di bosnia antara ortodoks, katolik dan Islam, di Irlandia utara umat katolik dan Protestan saling bermusuhan, di Timur

(9)

Tengah umat Yahudi, Kristen dan Islam yang ketiganya bersumber dari agama Ibrahim (Abrahamic Religions) saling menggunakan kekerasan, di Khasmir Hindu dan Islam saling bersitegang, di Srilangka kaum Budha dan Hindu bersitegang.

Semua agama menganjurkan umatnya untuk berbuat baik, menjaga kerukunan (Ukhwah) dan keadilan, namun seiring dengan perubahan ruang dan waktu mengalami deviasi atas nama agama. Satu kelompok umat beragama sering menempatkan umat yang berbeda agama sebagai orang lain atau out group, sementara yang bagian kelompoknya disebut in group. Polarisasi ini apabila berkembang saling mengambil jarak atau bahkan meningkat menjadi permusuhan yang melahirkan tindakan kekerasan, ini berarti agama-agama secara historis-empirik telah “gagal” mengajak umatnya untuk berbuat baik (J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006: 34).

Sesungguhnya “agama”secara normatif tidak dapat dilibatkan dalam masalah konflik dan kekerasan namun dalam pengertian historis – empiris yang terbentuk atas dasar interaksi antara berbagai aspek yang kasat mata dengan makna-makna yang diproduksi dari pemahaman atas wahyu atau teks kitab suci jelas mempunyai andil. Untuk itu penganut umat beragama harus bertanggung jawab terhadap perilaku yang didasarkan atas pemahaman yang kurang humanis dan cenderung diskriminatif terhadap penganut agama orang lain.

Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam

tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak dapat saling menghormati haknya masing-masing, Kepedulian tentang kemanusiaan ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8:

فِ ۡم

ُكوُل تََٰقُي ۡمَل َني َّلَّٱ نَع ُ َّللَّٱ ُمُكَٰىَهۡنَي َّلَ

ُۡي ۡمَلَو ني لٱ

ۡمُهوُّ َبََت ن

َ

أ ۡمُك رََٰي د ن م مُكوُج ر

َيۡ ط سۡقُم

ۡ

لٱ ُّب ُيُ َ َّللَّٱ َّن إ ْۚۡم هۡ

َلَ إ آوُط سۡقُتَو

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Al-Qur’an juga berpesan agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak. Firman-Nya dalam QS an-Nahl ayat 125:

َك بَر لي بَس َٰ

لَ إ ُعۡدٱ

َ

ة َظ عۡوَم

ۡ

لٱَو ةَمۡك

لۡٱ ب

ۡ

َّن إ ْۚ ُن َسۡح

َ

أ َ هِ تِ

َّلٱ ب مُهۡل دَٰ َجَو ِۖ ةَنَسَۡلۡٱ

َوُهَو ۦ ه لي بَس نَع َّل َض نَم ب ُم

َلۡعَأ َوُه َكَّبَر

َني دَتۡهُم

ۡ

لٱ ب ُم

َلۡعَأ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

(10)

Sebagai sebuah agama, Islam datang membawa seperangkat ajaran yang berisi pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Islam hendak mengembalikan manusia dan mengangkat derajat kemanusiaannya sebagaimana mestinya. Pada era kontemporer, tuntutan akan penghargaan terhadap harkat dan martabat Manusia secara tak terelakkan bersentuhan dengan ide penegakan hak asasi manusia. Sikap-sikap diskriminatif terhadap manusia atas dasar SARA ditentang sebagai wujud pengakuan akan hak dasar umat manusia yang penting diapresiasi. Oleh karena itu, Perlindungan akan hak-hak manusia dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh individu maupun lembaga merupakan realitas yang tak terbantahkan.

2. Paradigma Indonesia Dalam

Relasi Keharmonisan Umat

Beragama.

Di antara agama-agama besar dunia, Islam dan Kristen adalah dua agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk dunia. Hubungan antara kedua agama tersebut juga sangat erat. Kedua agama ini dikenal dengan sebutan agama Ibrahimi (Abrahamic Religions/ al-adyān al-Ibrahimiyyah) karena akar sejarah kedua agama tadi bertemu pada Nabi Ibrahim. Jika diibaratkan manusia, kedua agama tersebut dapat disebut “serumpun” atau “bersaudara”, Jadi, keduanya masih satu keluarga. Tapi ibarat kehidupan dalam sebuah keluarga, di samping terdapat banyak persamaan dan kerjasama, hubungan antara kedua agama tadi, memperlihatkan segi positif sekaligus negatif.

Menurut catatan sejarah, pada saat agama Islam masuk ke jazirah Arab, masyarakat arab saat itu sudah menganut berbagai agama, baik agama asli (agama tradisional arab), maupun agama Yahudi dan Nasrani (Van Den End & Christian de Jonge, 2001:12). Agama asli Arab merupakan suatu kepercayaan gabungan antara kultus nenek moyang, totemisme, fetisisme, politheisme-animisme, agama Sabi’un dan Majusi. Yahudi merupakan komunitas agama yang paling intensif pergesekannya dengan komunitas Muslim di Madinah. Beberapa konsep teologis Islam sebagiannya diambil dari doktrin agama Yahudi, meskipun kaum Muslim menganggap kesamaan itu bukan berarti Islam diderivasi dari Yahudi tetapi lebih karena kesamaan sumber. Yahudi juga merupakan agama yang dalam konteks kontemporer Timur Tengah menentukan pola relasi dunia Islam dengan negara Israel yang hingga kini masih menyimpan masalah yang pelik.

Kelompok lain adalah pemeluk agama Nasrani yang juga cukup berpengaruh dalam struktur masyarakat di sekitar Madinah dimana Romawi merupakan penopangnya. Kristiani merupakan pemeluk agama mayoritas penduduk di dunia di mana hampir di semua wilayah ditemukan perjumpaan orang-orang Islam dengan penganut Kristen. Maka menjadi penting mempertimbangkan hubungan dengan agama ini melalui suatu etika hidup bersama yang baik. Pemeluk agama Yahudi dan Nasrani inilah yang seringkali disebut dalam bahasa al-Qur‟an sebagai Ahl al-Kitāb, yaitu pengikut agama yang diberi kitab suci. Akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang rincian dan

(11)

cakupan konsep ahl al-kitāb (M. Azizan Sabjan dan Akhir Sakhirah M,2005:77).

Secara global, pendapat mereka bisa dinyatakan bahwa yang termasuk ahl al-kitāb adalah keturunan Israel (bani Israil), yaitu Yahudi dan Kristen yang punya garis keturunan Israel, siapapun yang mempercayai seorang Nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah, kelompok yang hanya percaya kepada ṣuḥūf Ibrahim atau zabūr Daud, golongan al- Majūs (Zoroaster) dan al- Ṣābi‟īn (Sabian), bahkan Hindu, Budha dan Konfusian sebagai bagian dari ahl al- kitāb.

Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya hubungan antara Islam dan Kristen berlangsung baik. Islam selalu menghormati agama Kristen sebagaimana menghormati agama-agama lain. Pada dekade-dekade awal ini, Nabi memberikan sejumlah contoh sikap toleran terhadap penganut agama lain dan dilanjutkan pada masa pemerintahan khalifah-khalifah pertama. Namun, hubungan baik antara Islam dan Kristen tidak bertahan lama. Setelah berdirinya kekuasaan politik Islam, perbedaan antara kaum muslim dengan kaum lain mulai terbuka terutama setelah Islam melakukan ekspansi ke berbagai daerah untuk menyebarkan Islam. Sesudah Islam menyebar keluar semenanjung Jazirah Arab, orang-orang Kristen mulai memandang Islam sebagai sebuah fenomena baru yang memunculkan banyak masalah dan mengancam eksistensi mereka, baik dari segi teologis, intelektual.

Prinsip kebebasan beragama menempati posisi yang sangat tinggi dalam Islam Umat Islam dilarang

melakukan pemaksaan kepada kelompok lain, namun apabila melakukan tindakan yang akan membahayakan dan mengancam umat Islam, maka kepada umat Islam diberikan hak membela diri. Demikianlah prinsip-prinsip utama ajaran Islam yang harus tetap diterapkan dalam konteks kehidupan modern seperti saat ini.

Dalam bingkai Paradigma nasional, motto Bhineka Tunggal Ika mesti mengejawantah ke semua umat beragama sehingga menjadi pola pikir, pola sikap dan pola tindak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu membangun norma kebersamaan (shared norm) dalam realitas keragaman harus menjadi landasan utama bagi terbangunnya kerukunan sosial yang tulus dan permanen sebagai landasan bagi stabilitas nasional yang mantap.

Kemajemukan bangsa harus dikelola sebagai kekuatan dan potensi yang dapat didayagunakan untuk memajukan Negara bukan menjadi sumber pemicu integrasi bangsa. Upaya membangun keharmonisan kehidupan umat beragama harus dilakukan secara sadar dan terpadu dengan melibatkan semua komponen bangsa baik pemerintah, tokoh agama dan kalangan umat beragama sendiri (Olaf H. Schuman, 2006:45).

Dalam kerangka berpikir Pancasila, Indonesia bukan Negara agama dalam artian ideologi Negara tidak didasarkan pada sumber agama tertentu dan sebaliknya bukan Negara sekuler yang tidak peduli terhadap masalah-masalah kehidupan beragama. Kemerdekaan beragama merupakan salah

(12)

satu hak yang paling asasi dan berasal dari tuhan sendiri dan sama sekali bukan berasal dari Negara. Negara bertugas untuk memberikan kemudahan kepada warganya untuk menjalankan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya dan Negara menjamin tidak ada diskriminasi yang terkait dengan agama (Frans Magnis Suseno, 2006:28). Pemaknaan tidak ada diskriminasi adalah memberikan ruang dan menjamin pengamalan agama dengan sebaik-baiknya. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan keadilan dalam suatu masyarakat yang demokratis (Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1995:248).

Konferensi Internasional Cendikiawan Islam (Internasional Conference of Islamic Scholars-ICIS) IV di Malang yang di hadiri 65 tokoh agama dan ulama dari 34 negara menjadi salah satu momentum penting mempromosikan Islam moderat, karena dengan moderasi NKRI ini akan terjaga. Agenda persoalan bagaimana memandang dan merespon globalisasi, konflik abad 20 dan pemberdayaan ekonomi dan pendidikan yang menjadi kesepakatan tersebut tentu saja penting dan sekaligus mencerminkan kesadaran bersama untuk saling mendukung upaya-upaya perdamaian di dunia internasional.

Hubungan lintas batas tidak lagi tersekat oleh batasan geografis tetapi telah masuk kedalam hubungan antar

manusia disetiap tempat. Oleh karena itu suatu masalah ditempat yang secara geografis sulit dijangkau, akan tetap mudah menyebar menjadi persoalan internasional.

Kecanggihan teknologi telah membantu penyebaran informasi tentang terjadinya tindak diskriminasi dan stigmatisasi pada kelompok agama tertentu yang terjadi di wilayah lain. Gejolak bisa terjadi kapan saja atas nama kebebasan ekspresi akan berbenturan ketika sudah masuk ke dalam wilayah doktrin agama dan bersinggungan isu-isu keagamaan tetap menjadi persoalan sensitif bagi hubungan antar umat beragama. Kasus Karikaturisasi Nabi Muhammad SAW di Jylland Posten ( Denmark) memantik sentimen umat beragama di berbagai belahan dunia karena dianggap sebagai penodaan agama.

Diskursus universalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang diadopsi oleh seluruh negara di dunia menyisakan persoalan. Gagasan perlunya melindungi hak-hak asasi manusia sering mengabaikan pertimbangankan kondisi sosial budaya disetiap negara atau wilayah sehingga muncul tudingan bahwa HAM tidak lebih rekayasa politik barat untuk melakukan hegemoni terhadap Negara-negara berkembang (Helena Kenedy, 2004:19). Contoh kasus Jylland Posten menggambarkan bahwa kebebasan berekspresi harus mempertimbangkan perasaan kelompok lain yang sangat berpotensi menimbulkan ketersinggungan sehingga bisa mengakibatkan kebencian dan permusuhan. Meskipun seseorang tidak terlalu religious dalam menjalankan

(13)

ajaran agama, tetapi akan tersinggung dan marah ketika melihat nabi di gambar dalam bentuk karikatur meskipun atas dalih kebebasan pers dan berekspresi.

Fenomena global seperti kemiskinan, pendidikan, kejahatan lintas Negara, terorisme, posisi Indonesia memiliki peran yang cukup signifikan. Sebagai Negara yang memiliki penduduk muslim cukup besar dalam hitungan statistik, harapan dunia internasional terhadap Indonesia juga cukup besar. Pertama, Indonesia tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai Negara agama sehingga bisa menjadi “role model” bagi proses penegakan demokrasi yang menghargai pluralitas. Kedua, Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang menampilkan wajah Islam moderat dan toleran, paling tidak tercermin dari komitmen dua Ormas terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah. Ketiga, Indonesia juga selalu terlibat dalam upaya perdamaian dan dialog antarumat beragama dan antar aliran

keagamaan (Bernard

Platzdach,2009:240). Kondisi ini akan menjadi pemacu untuk memperkuat dialog demi terwujudnya masyarakat yang harmonis. Perbedaan dari segi religiusitas bukan lagi sebagai kendala untuk duduk bersama karena persoalan global bukan hanya milik dan harus diselesaikan oleh salah satu agama dan pemeluknya, melainkan perlu melibatkan seluruh jaringan umat manusia di dunia. Disamping itu, kritik dan penolakan tidak lagi semata-mata ditujukan terhadap seluruh globalisasi, tetapi diarahkan pada dampak yang betul-betul mengancam sisi kemanusiaan dan kehidupan (William Haviland,2008:19).

Pada tataran regional dikawasan Asia Tenggara terkendala pada sudut pandang mengenai perlindungan HAM, modernisasi dan pemahaman agama tidak semata-mata pada wilayah doktrin melainkan pada sisi ekonomi dan politik. Misalnya perlakuan terhadap buruh migran, Trafficingking, penyelundupan, dan terorisme memiliki efek yang tidak kecil karena menyeret pada isu-isu keagamaan.

Agar bisa terlibat dalam upaya harmonisasi dan perdamaian pada kawasan regional Islam akan menjadi faktor yang sangat menentukan. Ia bukan hanya sebagai agama dengan pemeluk terbesar melainkan juga memiliki karakteristik damai, ramah dan toleran dengan sejarah islamisasi melalui perdagangan dan akulturasi budaya.

Kerukunan antar umat beragama yang dicita-citakan dikawasan ini sangat bergantung pada saling pengertian dan kebutuhan terhadap kehidupan damai secara bersama-sama. Jaringan gerakan radikalisme agama dan bahkan terror bernuansa agama yang berdampak global sehingga tidak ada kawasan yang steril terhadap kemungkinan munculnya konflik bernuansa agama yang gerakannya bersifat lintas negara.

Tantangan utama pada skala nasional dengan latar belakang kenyataan bahwa hampir seluruh agama-agama besar dunia berkembang di Indonesia. Disamping itu, dalam suatu agama terdapat berbagai aliran faham yang bahkan mencapai ratusan aliran.Selain itu, pada setiap kelompok agama terdapat sensitivitas yang tinggi, kondisi historis, geografis maupun kemajemukan sosial lain yang saling

(14)

mempengaruhi sehingga sering menimbulkan terjadinya gesekan antar kelompok agama. Apabila pertikaian sosial antar kelompok masyarakat melibatkan symbol-simbol agama, maka pertikaian sering menjadi eksesif dan sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Konsep ketahanan nasional menghendaki pengelolaan dan pembangunan keharmonisan secara sadar dan terpadu dengan melibatkan semua komponen baik pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta kalangan umat beragama.

Dalam konteks itulah kita perlu membangun kembali paradigma nasional sebagai kerangka dalam pengembangan keharmonisan umat beragama. Hal ini sering dimaknai sebagai stratifikasi proses penetapan kebijakan nasional yang digunakan dalam menjalankan system kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan kehidupan umat beragama harus berlandaskan pada: Pancasila, UUD 1945, Konsepsional wawasan nusantara dan stabilitas nasional serta operasional peraturan-peraturan. Tata urutan konsepsi paradigma nasional dalam upaya membangun keharmonisan umat beragama dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Landasan ideal

Dalam kerangka Pancasila, Negara memberikan kemerdekaan beragama dan beribadah sesuai agama yang dianutnya (liberty of religion and worship). b. Landasan Konstitusional

Seluruh produk hukum dan perundang-undangan yang mengatur

berbagai permasalahan nasional dan penyelenggaraan Negara di tingkat pusat dan daerah tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hokum dasar formal tertinggi. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntunan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. c. Landasan Visional

Wawasan nusantara sebagai landasan visional mengandung cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba majemuk termasuk pluralitas agama.Dengan memahami dan menghayatinya akan tumbuh sikap integratif, inklusif dan akomodatif dalam diri bangsa sehingga perbedaan dan pertentangan agama akan dapat diatasi dan dimanfaatkan sebagai ruang pembelajaran untuk lebih memahami keberadaan pihak lain dalam rangka kepentingan bersama (Arif Budiman, 1990:124).

Konsep ini menghendaki adanya tahapan dalam melakukan perubahan sehingga tidak menimbulkan ekses yang tidak perlu. Disamping itu harus dicegah timbulnya anarkisme dan radikalisme khususnya yang mengandung unsur SARA serta mengutamakan solusi damai dalam mengatasi setiap konflik atau permasalahn yang terjadi. Pengelolaan dan pembangunan kehidupan beragama harus dilakukan dengan memberikan

(15)

ruang yang sama dan penghargaan untuk hidup berdampingan kepada semua agama.

d. Landasan Operasional

Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadat bagi pemeluk-pemeluknya dengan membuat peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai landasan operasional dalam kehidupan beragama. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk mencegah dan menghindari penyalahgunaan dan penghinaan agama akibat kebebasan beragama yang tidak bertanggung jawab.

Produk hukum yang secara spesifik mengatur hubungan antar pemeluk agama dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang berlaku sampai sekarang yaitu UU No. 1/PNPS/1965 tentang penyalahgunaan dan Penodaan agama (Trisno S. Sutanto dan Elza Peldi Taher, 2009:283). Pengaturan yang bersifat teknis Operasional terkait dengan kehidupan beragama adalah keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan bantuan Luar negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (Andreas

Anangguru Yewangoe,

2009:47).Pengaturan teknis lainnya yang sangat komprehensif adalah Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan ibadat Agama oleh

Pemeluk-pemeluknya (Nur Syam, 2009: 54).

Ketika SKB ini dikeluarkan Menteri Agama saat itu dijabat oleh KH. Moh. Dahlan sementara Mayor Jenderal Basuki Rahmad menjadi menteri Dalam Negeri sebelum digantikan oleh Mayjend Amir Machmud. Peraturan yang disempurnakan ini secara rinci mengatur tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan , kedudukan, mekanisme kerja, struktur organisasi dan tugasnya. Syarat pendirian rumah ibadah dan penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadah. Peraturan ini disempurnakan dengan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Pengaturan Perundangan tentang hubungan antar umat beragama dirasakan masih belum memadai dibandingkan dengan kompleksitas potensi masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia yang belakangan ini meningkat secara tajam. Peraturan Perundangan yang lebih memadai diharapkan dapat lebih mendorong terwujud dan terpeliharanya kerukunan dan keharmonisan kehidupan umat beragama di Indonesia.

3. Kondisi Ideal Keharmonisan Umat Beragama.

Dimensi universal nilai-nilai agama semestinya terwujud dalam pengamalan nyata umat beragama.

(16)

Ajaran Universal ini dapat dijadikan modal dan landasan bersama untuk membangun keharmonisan umat yang lebih ideal dimasa depan. Norma yang tumbuh dan mengakar membudaya di masyarakat dan adanya berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan kerukunan umat beragama harus menjadi acuan untuk terwujudnya kehidupan umat beragama yang harmonis seperti yang diharapkan ( Silvio Ferrari and Rinaldo Cristofori, 2010:345).

Untuk menggambarkan kondisi ideal keharmonisan kehidupan umat beragama di Indonesia, ada baiknya melihat pola-pola artikulasi keberagamaan dalam praksis kehidupan beragama. Prof. Azyumardi Azra (Jejak Jaringan:1999) membagi artikulasi keberagamaan ke dalam tipologi yaitu: a. Substansialisme, yang memahami agama lebih mementingkan isi ketimbang label atau symbol-simbol eksplisit keagamaan, lebih mementingkan penghayatan keagamaan yang inklusif, toleran, dan menghormati keragaman (pluralitas).

b. Legalisme/formalism yang lebih menekankan pada sifat eksklusif yang dapat berujung pada sikap fundamentalistik.

c. Spiritualisme yang lebih menekankan pada pengembangan sikap bathiniyah yang dapat dicapai melalui keikutsertaan dalam kelompok yang disebut cult (Tarekat).

Paradigma keagamaan yang paling akomodatif untuk dijadikan

sebagai bahan pertimbangan dalam sebuah pencarian terhadap kehidupan umat beragama sebagai dasar bersama (commond ground) yang diinginkan di Indonesia adalah tipologi substansialisme yang menekankan penghayatan (isi) sesuai ajaran agama yang dianutnya dengan mengedepankan pencarian dasar bersama untuk saling menghormati antar pemeluk agama dalam keragaman beragama.

Memahami agama orang lain merupakan hal paling mendasar yang harus ada dalam relasi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Cara yang paling baik untuk memahami agama orang lain adalah dengan pengalaman bergaul karena perilaku keagamaan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang memeluk suatu agama.

Pengakuan eksistensi keberagamaan orang lain merupakan sikap yang diperlukan masyarakat agama yang majemuk. Pengakuan dalam konteks ini mengandung pengertian menerima eksistensi kelompok lain secara proporsional dan tidak menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada pada agama-agama. Pengakuan disini juga berarti menyadari akan adanya dimensi-dimensi doktrinal yang berbeda dari masing-masing agama. Misalnya, dimensi iman sebagai aspek yang tidak terkompromikan. Iman yang direfleksikan dengan serangkaian pengabdian pada Tuhan dengan penuh kepatuhan yang melahirkan peribadatan yang caranya ditentukan oleh masing-masing Agama.

Menyadari kemajemukan idealnya dipahami bukan hanya sebatas keadaan atau kondisi masyarakat yang beragam

(17)

baik dilihat dari sisi adat, suku maupun agama. Pluralitas harus disadari sebagai suatu keharusan bagi kesempurnaan alam yang kesemuanya merupakan kehendak Tuhan yang tidak dapat dinafikan oleh siapapun. Pemahaman keagamaan tidak ada hanya berorientasi pada pemahaman internal agama yang memang sudah baku, tetapi mengarahkan umat beragama keluar dari kepentingan agamanya sendiri serta menciptakan sikap saling mengakui antar pemeluk agama. Konsekwensinya pluralitas bukan hanya menjadi konsep dan pedoman bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama melainkan juga satu sarana penyelesaian konflik antar umat. Masyarakat sendiri telah mewarisi sifat toleransi dan kerukunan dalam hal keyakinan sejak zaman dahulu karena kehidupan sosial sudah bertumpu pada fondasi gotong royong.

Saling bekerjasama antar penganut dan kelompok agama merupakan puncak dari sikap saling mengakui dan saling menghormati antar pemeluk agama. Keharmonisan kehidupan umat beragama yang sejati akan terlihat dari adanya kesamaan keprihatinan (concern) dan kepentingan yang terwujud dalam tujuan dan aktivitas kolektif yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.

Konflik yang melibatkan agama menimbulkan kengerian, kekerasan yang luar biasa dan tanpa rasa kemanusiaan akan membuat trauma sehingga rasa aman tidak lagi dimiliki masyarakat yang pada gilirannya akan merusak sendi-sendi persatuan dan mengancam integritas bangsa juga melumpuhkan perekonomian. Perlu dilakukan

kompromi-kompromi, negosiasi melalui mekanisme yang egaliter dan demokratis, mengesampingkan subjektivitas dan mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas untuk mencapai tujuan bersama yang lebih luas (Tabina dan Kartika Christiani, 2009:174).

Kerjasama yang konstruktif menjadikan kelompok-kelompok umat beragama tidak terlalu larut pada tema-tema doktrinal-Teologis, melainkan lebih memfokuskan diri pada kehidupan keseharian dan sosial kemanusiaan.

Apabila dikaitkan dengan hubungan antar agama di Indonesia diatas permukaan tidak kelihatan adanya perselisihan yang cukup mengkhawatirkan, akan tetapi hal ini tidak berarti potensi konflik sudah selesai dan masyarakt sudah berada pada titik dasar perdamaian. Hal ini disebabkan karena damai dan konflik adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Terjadinya suasana damai hari ini belum tentu menghapuskan secara radikal benih konflik, karena konflik bisa muncul kembali ke permukaan karena faktor internal maupun eksternal (H.M. Ridwan Lubis, 2016:215.

Membangun Perdamaian melibatkan serangkaian pendekatan, proses, dan penegakan hukum yang berkeadilan serta pemerintahan yang efektif. Prasyarat untuk menuju terwujudnya perdamaian tentu saja harus didasarkan adanya komunikasi yang berlangsung secara jujur dan terbuka sehingga diketahui kesulitan dari masing-masing pihak. Sehingga dengan demikian bisa menggagas terwujudnya resolusi konflik. Dialog adalah upaya menjembatani benturan bisa dieliminir,

(18)

namun dialog tidak hanya berhenti dalam tataran perbincangan atau wacana semata, karenanya perlu tindakan nyata sebagai manifestasi dari pencarian resolusi atas sebuah konflik.

PENUTUP 1. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam tekanan atau pengaruh,serta terhindar dari sikap munafik (hipokrit). Toleransi antar umat beragama, hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan.

Kedua, Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.

Ketiga, Orang-orang mu’min bersaudara, dan diperintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum

muslim. Disamping dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk dan tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Menyajikan ringkasan dari uraian mengenai hasil dan pembahasan, mengacu pada tujuan penelitian. Berdasarkan kedua hal tersebut dikembangkan pokok-pokok pikiran baru yang merupakan esensi dari temuan penelitian.

2. Rekomendasi

Dialog antar agama harus menyentuh sampai level bawah (masyarakat akar rumput) bukan hanya ditingkat elite terpelajar saja sehingga pengembangan kerukunan antar umat beragama berasal dari program kaderisasi yang terencana.

Penguatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kearifan lokal dan lembaga adat yang terkait dengan kehidupan harmonis, karena dengan ini diharapkan terwujud budaya umat beragama yang toleran terhadap komunitas lain.

Mewujudkan kehidupan Sosial, politik dan ekonomi yang berkeadilan dengan pemerataan bagi umat beragama melalui pembangunan antar daerah, kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan kemudahan akses yang sama terhadap sumber konomi sehingga dapat memperkuat stabilitas nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abusa, Zachary, Political Islam and Violence in Indonesia, New York, Routlodge, 2007,Cet. Ke-2.

(19)

Abub Abdurrahman Al Thalabi, Dakwah Salafiah Dakwah Bijak, Meluruskan Sikap Keras Da’i Salafi,Hujjah Press,2006

Baidhawi, Zakiyudin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikutural, Jakarta, erlangga, 2005.

Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, PT. Saadah Pustaka Mandiri, Cetakan ke-2:2013.

Elizabeth K. Nottingham, Agama Dan Masyarakat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996

Francis Wahono Niotiprawiro, Teologi Pembebasan, Yogyakarta,LKis,2008. Hasan Askari, Lintas Iman, Dialog Spiritual, Yogyakarta, LKiS, 2003

H.M. Ridwan Lubis, Kerukunan Beragama Dalam Cita dan Fakta, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB:2016)

Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan Pustaka, 2008.

Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta:2009

Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, Penerjemah M. Sadat Ismail, Jakarta, Al Qolam, 2009.

Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung 1995

Th. Sumartana, Dialog: Kritik Dan Identitas Agama, Yogyakarta, Dian/Interfidei, Seri Dian I, Tahun I, 1993

Taher, Elza Peldi, Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, ICRP, Jakarta: 2009

Tarmizi Taher, Meredam Gelombang Radikalisme: Hasil Konferensi Para Ulama dan Tokoh Agama se Asia Tenggara Pertengahan Oktober 2003, Jakarta, Karsa Rezeki:2003

Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya, PT. Bina Ilmu, TT.

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan masyarakat sekitar terhadap usaha GBKP dalam mewujudkan sikap Toleransi antar umat beragama …… 56.

Namun demikian, pendekatan jurnalisme damai lebih dimaknai sebagai sebuah instrumen yang dijadikan peletup menariknya kasus toleransi umat beragama jika dikemas lebih menarik

22 Dalam kaitannya dengan, Toleransi Umat Beragama : Studi Posisi Umat Islam di Kerajaan Majapahit sumber yang berhasil penulis dapat yaitu tentang Babad Tanah

Hakikat toleransi beragama menurut Syaikh Nawawi meliputi Pertama, Tidak memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam dalam artian memberi mereka kebebasan

Toleransi beragama mempunyai arti sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan

Dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial yang saling menghimpun dimana semua penganut agama bisa berdampingan

Peran Pemerintah dan Tokoh Agama Dalam Menciptakan Nilai Toleransi Masyarakat Beda Agama di Kecamatan Langowan Timur Nilai toleransi antar umat beragama tidaklah tercipta dengan

Serta pentingnnya kerukunan anatar umat beragama adalah salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga