• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Gambaran Singkat Prosedur Beracara di ICJ. tersebut dalam BAB III, tentang Prosedur, dikutip dari Pasal 39.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III Gambaran Singkat Prosedur Beracara di ICJ. tersebut dalam BAB III, tentang Prosedur, dikutip dari Pasal 39."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

87

JUSTICE

DALAM PENYELESAIAN PERKARA

TINDAK PIDANA PENYADAPAN YANG

DILAKUKAN UNSUR ASING DALAM

YURISDIKSI TIMOR-LESTE

3.1. Gambaran Singkat Prosedur Beracara di ICJ

Statuta ICJ mengatur prosedur beracara di Pengadilan Internasional, untuk selanjutnya disebut dengan Mahkamah, tersebut dalam BAB III, tentang Prosedur, dikutip dari Pasal 39. Dalam ayat (1) Pasal tersebut dirumuskan mengenai bahasa resmi Mahkamah akan terdiri dari bahasa Perancis dan Inggris1. Dikemukakan dalam sebagai suatu ketentuan pilihan, yaitu jika para pihak sepakat bahwa kasus tersebut dilakukan di Perancis, penilaian disampaikan dalam bahasa Prancis. Jika para pihak sepakat bahwa kasus tersebut akan dilakukan dalam bahasa Inggris, penilaian tersebut harus disampaikan dalam bahasa Inggris.

1 Hal yang sedikit berbeda dikemukakan I Wayan Parthiana, dalam Hukum Pidana Internasional, Ed.rev., Cet. Ke-2, Yrama Widya, Bandung, 2015, hlm., 382.

(2)

Selanjutnya diatur dalam ayat (2) dari Pasal 39, yaitu bahwa dengan tidak adanya kesepakatan mengenai bahasa harus dipergunakan, setiap pihak dapat, dalam pembelaan, menggunakan bahasa yang dipilih. Namun, Putusan Pengadilan harus diberikan dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam hal ini Mahkamah akan sekaligus menentukan yang mana dari dua teks akan dianggap sebagai berwibawa. Sekalipun demikian, dalam ayat (3) diatur bahwa Mahkamah akan, atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, menggunakan wewenangnya untuk memilih digunakannya bahasa lain selain bahasa Perancis atau bahasa Inggris oleh para pihak.

Disamping Bahasa yang dipergunakan, Pasal 40 Dari Statuta ICJ juga mengatur beberapa hal, yang berkenaan dengan inisiasi penggunaan ICJ dalam mengadili suatu perkara pidana. Dikemukakan dalam ayat (1) dari Pasal 40 dimaksud, bahwa ada kemungkinan suatu kasus di bawa ke hadapan Mahkamah, baik dengan jalan pemberitahuan mengenai adanya suatu perjanjian khusus untuk itu atau dengan permohonan tertulis yang ditujukan kepada Panitera. Dalam kedua cara atau metode inisiasi dimaksud, subjek sengketa dan para pihak yang berperkara harus ditunjukkan

(3)

atau dirumuskan dengan jelas. Dalam ayat (2) dikemukaan bahwa apabila Panitera telah menerima inisiasi sebagaimana dimaksud, maka Panitera dimaksud, dalam hal ini yaitu Panitera ICJ wajib segera mengkomunikasikan atau mengirimkan aplikasi atau permohonan beserta alasan-alasannya kepada semua pihak. Selain daripada itu, daam ayat (3) ditentukan bahwa pihak Panitera juga harus memberitahukan kepada Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal, dan juga setiap negara-negara lain yang berhak untuk menghadap Pengadilan.

Dalam Pasal 41 diatur bahwa, ayat (1). Mahkamah dapat menggunakan hak atau kekuasaannya untuk menunjukkan, bilamana Mahkamah menganggap bahwa keadaan mengharuskan demikian, akan setiap tindakan sementara yang seharusnya diambil dalam rangka menjaga hak masing-masing pihak. Dalam ayat (2). Diatur bahwa tindakan yang diambil oleh Mahkamah itu dilakukan sambil menunggu keputusan akhir. Dalam hal ini Mahkamah dapat pemberitahuan langkah-langkah yang disarankan segera harus diberikan kepada para pihak dan kepada Dewan Keamanan.

Pasal 42 dari Statuta ICJ merumuskan kemungkinan perwakilan bagi para pihak yang berperkara di Pengadilan

(4)

Internasional tersebut. Dikenal tiga ayat untuk maksud itu. Dalam ayat (1). Disebutkan bahwa para pihak diwakili oleh agen. Sedangkan dalam ayat (2). Diatur, para pihak mungkin memiliki bantuan dari pengacara atau advokat sebelum Pengadilan. Selanjutnya dalam ayat (3). Ditur bahwa para agen, penasehat, dan pihak-pihak yang membantu para pihak yang berperkara sebelum dilangsungkannya proses pengadilan wajib mendapatkan hak istimewa dan kekebalan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas mereka dapat dipastikan dilangsungkan secara independen.

3.1.1. Bentuk Pengajuan Perkara di ICJ (Mahkamah)

Pasal 43 berisi rumusan pengaturan mengenai bentuk yang dapat dipilih dalam pengajuan perkara kepada Mahkamah. Dalam ayat (1) diatur bahwa prosedur ini terdiri dari dua bagian: tertulis dan lisan. Selanjutya dalam ayat (2) ditentukan bahwa proses tertulis dilakukan dalam hal komunikasi ata pemberitahuan serta pendaftaran perkara ke Pengadilan. Memori gugatan yang diajukan pihak Penggugat harus berbentuk tertulis, begitu pula pemberitahuan lainnya, kontra memori, duplik dan replik serta dokumen pendukung lainnya. Dalam ayat (3) dirumuskan bahwa

(5)

semua komunikasi sebagaimana disebutkan di atas dilakukan melalui Panitera, untuk dan dalam waktu yang ditetapkan oleh Pengadilan. Dalam ayat (4) diatur bahwa salinan resmi dari setiap dokumen yang dihasilkan oleh salah satu pihak harus disampaikan kepada pihak lain. Mengenai bentuk komunikasi lisan dalam proses beracara di Mahkamah, diatur dalam ayat (5), yaitu bahwa proses lisan terdiri dari sidang oleh Pengadilan saksi, ahli, agen, penasehat, dan pendukung.

Pasal 44 dari Statuta Mahmakah yang berkenaan dengan hukum acara berisi dua ayat. Pertama berisi pengaturan bahwa ntuk melayani semua pemberitahuan pada orang lain, begitu pula agen, penasehat hukum, dan pendukung, Mahamah harus menyampaikan langsung kepada pemerintah negara dari para pihak yang dilayani. Kedua, dirumuskan bahwa ketentuan yang sama berlaku setiap kali langkah yang harus diambil untuk mendapatkan bukti di tempat.

Diatur dalam Pasal 45, bahwa Sidang akan berada di bawah kendali Presiden atau, jika ia tidak mampu memimpin, dari Wakil Presiden, jika tidak mampu memimpin, sekarang hakim senior harus memimpin. Berkenaan dengan itu dalam Pasal 46 diatur

(6)

pula, bahwa Sidang di Mahkamah adalah bersifat terbuka untuk umum, kecuali Mahkamah akan menentukan lain, atau kecuali para pihak menuntut bahwa masyarakat akan tidak mengakui. Begitu pula ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) mengenai berita acara yang mencatat setiap hal. Diatur bahwa akta pencatatan atau berita acara minute akta harus dilakukan pada setiap sidang dan ditandatangani oleh Panitera dan Presiden. Sifat dari berita acara dimaksud diatur dalam ayat (2), yaitu merupakan akta otentik.

Dalam hukum acara di Mahkamah, terlihat dalam rumusan Pasal 48, bahwa Mahkamah membuat semua perintah pelaksanaan yang berkenaan dengan kasus. Begitu pula, Mahkamah harus menentukan bentuk dan waktu dari masing-masing pihak kapan pihak-pihak itu harus menyimpulkan argumen. Mahkamah juga membuat semua pengaturan yang berhubungan dengan pengambilan bukti.

Berkaitan dengan adanya kemungkinan penolakan atau keberatan yang disampaikan para pihak, maka dalam Pasal 49 diatur bahwa Mahkamah dapat, bahkan sebelum sidang dimulai, menyerukan kepada para agen untuk menghasilkan dokumen, atau

(7)

melakukan penjelasan yang tertulis yang berisi catatan-catatan formal terhadap penolakan apapun yang dilakukan para pihak.

Sehubungan dengan hukum pembuktian, dalam Pasal 50 diatur bahwa Mahkamah dapat, setiap saat, mempercayakan setiap individu, badan, biro, komisi, atau organisasi lain yang mungkin pilih, dengan tugas melakukan penyelidikan atau memberikan pendapat ahli. Berkitan dengan itu di dalam Pasal 51 diatur bahwa selama mendengar pertanyaan yang relevan untuk diajukan kepada saksi dan ahli maka proses dimaksud harus tunduk kepada semua persyaraan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam aturan suatu prosedur yang khusus untuk itu sebagaimana diatur dnerkaitan dengan hukum pembuktian dan alat bukti, dalam Statuta, khususnya Pasal 52 diatur bahwa setelah Mahkamah menerima bukti-bukti dan alat bukti dalam waktu tertentu untuk tujuan pembuktian, Mahkamah mungkin menolak untuk menerima bukti lebih lanjut yang disampaikan secara lisan atau tertulis apabila ada salah satu pihak yang berkeinginan untuk menyajikan bukti lain tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya.

(8)

3.1.2. Kehadiran Para Pihak dalam Persidangan dan Putusan Statuta juga berisi pengaturan tentang kehadiran para pihak dalam persidangan. Ditentukan dua ayat untuk itu dalam Pasal 53. Pertama, diatur bahwa setiap kali salah satu pihak tidak muncul setelah dipanggil Mahmakah, atau apabila ada pihak yang gagal dalam mempertahankan argumentasi (kasusnya), maka pihak lainnya dapat meminta Mahkamah untuk memutuskan mendukung klaimnya. Kedua, diatur bahwa Mahkamah harus, sebelum melakukannya, memenuhi sendiri, bukan hanya bahwa ia memiliki yurisdiksi, tetapi juga bahwa klaim tersebut berdasarkan pada fakta dan hukum.

Berikutnya dirumuskan pngaturan dalam Pasal 54, ayat (1) bahwa ketika, subyek yang berada dalam kontrol Mahkamah, begitu pula agen, penasehat hukum, dan pendukung telah menyelesaikan presentasi mereka dari kasus tersebut, Presiden menyatakan sidang ditutup. Dalam ayat (2) Pasal tersebut diatur bahwa Mahkamah dapat mempertimbangkan menarik penghakiman, atau melakukan dismissal proses. Dalam ayaat (3) ditentukan bahwa Pertimbangan Mahkamah akan dilakukan secara pribadi dan tetap rahasia.

(9)

Hal mengenai prosedur pengambilan keputusan di Mahkamah diatur dalam Pasal 55. Dalam ayat (1) Pasal tersebut dikemukakan bahwa semua pertanyaan harus diputuskan oleh mayoritas hakim hadir. Sedangkan dalam ayat (2) ditentukan bahwa dalam hal kesetaraan suara, Presiden atau hakim yang bertindak di kedudukannya akan memiliki suara yang menentukan hasil pemilihan. Kaitan dengan hal itu dalam Pasal 56 diatur bahwa, ayat (1), penilaian tersebut harus menyebutkan alasan yang menjadi dasarnya. Sedangkan dalam ayat (2) diruuskan bahwa keputusan tersebut harus memuat nama-nama hakim yang telah mengambil bagian dalam keputusan. Diatur dalam Pasal 57, bahwa apabila suatu keputusan tidak mewakili secara keseluruhan atau sebagian pendapat bulat dari hakim, maka hakim berhak untuk memberikan pendapat terpisah, atau apa yang dikenal dengan

dissenting opinion.

Berdasarkan rumusan ketentuan dalam Pasal 58 dapat dipastikan bahwa setiap Putusan yang dihasilkan Mahkamah wajib ditandatangani oleh Presiden dan oleh Panitera. Putusan juga wajib untuk dibacakan dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, karena pemberitahuan yang telah diberikan kepada

(10)

agen. Sejalan dengan itu, dlam Pasal 59 ditentukan bahwa Keputusan Mahkamah tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan dalam hal kasus tertentu. Sifat dari Putusan ditentukan dalam Pasal 60, yaitu bahwa Putusan Mahkamah adalah final dan mengikat dan tidak dikenal upaya hukum atau tanpa banding. Dalam hal terjadi sengketa mengenai makna dan ruang lingkup penilaian, Pengadilan harus mengartikannya atas permintaan pihak manapun.

Sekalipun dikemukakan di atas bahwa tidak ada paya hukum, namun dalam Pasal 61 dari Statuta dimaksudkan di atas, diatur dalam ayat (1) bahwa permohonan revisi penilaian hanya dapat dilakukan bila berdasarkan penemuan beberapa fakta. Hanya saja dipersyaratkan bahwa fakta-fakta itu sedemikian rupa adanya sehingga menjadi faktor yang menentukan. Dimaksud dengan hal itu, yaitu bahwa seandainya fakta yang dimaskudkan itu ada ketika penghakiman itu diberikan maka penghakiman akan menjadi berbeda; dan bahwa fakta itu tidak diketahui pihak Mahkamah dan juga ke pihak yang mengklaim revisi.

Demikian pula dipersyaratkan bahwa ketidaktahuan dari pihak yang mengajukan revisi atau peninjauan kembali tersebut

(11)

bukan karena kelalaian. Dalam ayat (2) dirumuskan bahwa proses untuk revisi akan dibuka oleh putusan Mahkamah tegas merekam adanya fakta baru, mengakui bahwa di dalam fakta yang baru (novum) itu terdapat suatu karakter untuk meletakkan kasus ini terbuka untuk revisi, dan menyatakan aplikasi diterima. Dalam ayat (3) diruuskan bahwa Mahkamah mungkin memerlukan kepatuhan sebelumnya dengan istilah penghakiman sebelum mengakui proses dalam revisi. Ayat (4) mengandung pengaturan bahwa permohonan revisi harus dilakukan paling lambat dalam waktu enam bulan dari penemuan fakta baru. Selanjutnya dalam ayat (5) diatur bahwa tidak ada aplikasi untuk revisi dapat dilakukan setelah lewat waktu sepuluh tahun sejak tanggal putusan tersebut.

3.1.3. Negara Berkepentingan dan Campur Tangan

Statuta juga berisi pengaturan mengenai keterlibatan Negara Dalam Pasal 62 dijumpai dua ayat yang mengatur mengenai hal itu. Dirumuskan dalam ayat (l) suatu pertayaan retorika bahwa haruskah negara menganggap bahwa ia memiliki minat yang bersifat hukum yang mungkin akan terpengaruh oleh

(12)

suatu keputusan Makamah dalam kasus yang tengah diadili? Ada kemungkinan bahwa negara tersebut dapat mengajukan permintaan kepada Mahkamah agar diizinkan untuk campur tangan. Sedangkan dalam ayat (2) diatur bahwa campur tangan dan proses yang ada harus menjadi bagian dari Mahkamah untuk memutuskan permintaan dimaksud.

Pasal 63 mengandung pengaturan bahwa, ayat (1) setiap kali pembangunan untuk konvensi yang menyatakan selain yang bersangkutan dalam kasus ini adalah pihak dipertanyakan, Panitera wajib memberitahukan semua negara segera tersebut. Sedangkan dalam ayat (2) diatur bahwa setiap negara yang telah diberitahukan mengenai perkara yang ada memiliki hak untuk campur tangan dalam proses. Hanya saja dipersyarakatkan jika suatu negara menggunakan hak seperti itu, maka pembangunan yang diberikan oleh penghakiman akan sama-sama mengikat.

Berkenaan dengan prosedur beracara di Mahkamah, penting pula untuk mengemukakan di sini aspek yang berkenaan dengan beban untuk membayar biaya perkara. Diatur dalam Pasal 64 bahwa kecuali jika diputuskan oleh Pengadilan, setiap pihak harus menanggung biaya sendiri.

(13)

3.1.4. Pelaksanaan Putusan

Hal mengenai Pelaksanaan Putusan dari Mahmakah diatur dalam Statuta (UN Charter/Piagam PBB Bab XIV) Khususnya Pasal 92. Dirumuskan di sana bahwa Mahkamah adalah badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Badan ini bekerja sesuai dengan Statuta, yang terdapat pada Lampiran Mahkamah Tetap Peradilan Internasional dan Lampiran dimaksud adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam. Berkenaan dengan hal tersebut dikemukakan daam Pasal 93 bahwa, ayat (1) Semua Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hakikatnya merupakan ipso facto menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Internasional. Seedangkan dalam ayat (2) diatur bahwa Negara yang bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Internasional dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum atas usul DewanKeamanan.

Dalam Pasal 94 dirumuskan bahwa, ayat (1) Setiap Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berusaha mematuhi keputusan Mahkamah dalam perkara apa pun di mana Anggota tersebut menjadi suatu pihak. Ayat (2) Apabila sesuatu pihak

(14)

dalam suatu perkara tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu keputusan Mahkamah, pihak yang lain dapat meminta perhatian Dewan Keamanan, yang jika perlu, dapat memberikan rekomendasi atau menentukan tindakan-tindakan yang akan diambil untuk terlaksananya keputusan itu.

3.2. Penyelesain Perkara Penyadapan Australia vs Timor-Leste

Menjawab rumusan permasalahan penelitian sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I Tesis ini, yaitu: bagaimana penyelesaian perkara dugaan tindak pidana penyadapan dalam perspektif hukum pidana internasional dan penggunaan jurisdiksi

International Court of Justice dalam menyelesaikan perkara tersebut, maka berikut di bawah ini, sebagai suatu Temuan dikemukakan gambaran hasil penelitian tentang penyelesaian perkara atau lebih tepatnya sengketa penyadapan yang dilakukan unsur asing dalam jurisdiksi suatu Negara Berdaulat, yaitu Timor-Leste. Gambaran dari penyelessaian sengketa internasional antara Timor-Leste di satu pihak dengan Australia di pihak yang lain berlangsung di Mahkamah Internasional sebagaimana dikemukakan sebagai suatu temuan penyelesaian perkara menurut

(15)

huum pidana internasional di bawah ini disampaikan secara naratif, mengikuti substansi bahan hukum yang ditemukakan dalam Penelitian.

Sebagai suatu kesimpulan penting yang perlu dikemukakan di bagian awal dari pemaparan hasil Penelitian Tesis ini, Putusan ini berakhir dengan suatu bentuk Penyelesaian yang bersifat Perdamaian. Begitu pula ditemukan dlam penelitian ini bahwa mengingat tercapainya tujuan kedua belah pihak dalam proses penyelesaian sengketa di Mahkamah, kedua belah pihak sepakat usulan pihak Timor-Leste untuk mengakhiri Perkara/Sengketa di Mahkamah dan menerima dihapuskannya Pekrara ini dari register Perkara di Mahkamah Internasional tersebut. Namun, nampak bahwa untuk keadilan, Mahkamah telah berusaha untuk memaksa pihak Australia menjamin pengembalian dokumen-dokumen yang telah disadap atau hak milik yang diambil secara tidak sah oleh pihak Australia dari pihak Timor-Leste kepada Timor Leste.

(16)

3.2.1.Proses Permulaan Penyelesaian Perkara Timor-Leste di ICJ

Berjalannya penyelesaian sengketa antaara Australia melawan Timor-Leste di Mahkamah Internsional ini dapat dikatakan, juga dengan melihat gambaran narasi putusan yang ada adalah bersifat tidak terlalu formalistis. Seperti dalam persidangan di Pengadilan pada umumnya, persidangan di Mahkamah Internasional juga dilulai dengan suatu yang bersifat keramah-tamahan. Acara diulai dengan penyampaian ucama selamat pagi dan silahkan duduk oleh pihak Presiden sebelum Sidang tersebut dibuka. Dikemukakan dalam dokumen yang distudi dalam Penelitian ini, bahwa Sidang tersebut dibuka pada tanggal 17 Desember 2013. Dikemukakan bahwa berlangsungnya Sidang tersebut didasarkan kepada Hukum Acara yang tertulis dalam Pasal 74, paragraf 3, Peraturan Pengadilan (Statuta).

Sidang yang dilangsungkan berdasarkan Pasal 74 Paragraf 3 Statuta itu bertujuan untuk mendengar keterangan hasil pengamatan dari Para Pihak yang dituangkan sebagai Permohonan masing-masing. Untuk kesempatan yang pertama diberikan kepada Pihak Timor-Leste yang menyatakan dalam

(17)

permohonannya tentang adanya indikasi tindak pidana dalam kasus terkait Pertanyaan yang berkaitan dengan Penyitaan dan Penahanan Dokumen dan Data Tertentu.

Pihak Presiden dalam bagian Pembukaan dari acara Persidangan sebagaimana dikemukakan di atas juga mengemukakan bahwa ada pihak hakim yang tidak hadir dalam Peridangan dimaksud. Dikemukakan bahwa untuk alasan yang telah dia sampaikan kepada saya (Presiden dari Mahkamah), Hakim Sebutinde tidak dapat hadir pada hari persidangan tersebut.

3.2.2.Pemilihan Hakim Ad Hoc oleh Para Pihak

Melengkapi uraian konsepsional tentang proses beracara di Mahkamah sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam dokumen yang diamati ini ternyata diketemukan bahwa ada prosedur penting di Mahkamah yang penting untuk dikemukakan di sini. Dikatakan, pihak Presiden juga menyampaikan bahwa masing-masing Pihak dalam kasus tersebut, yaitu pihak Republik Demokratik Timor-Leste dan pihak Australia, telah memanfaatkan kemungkinan yang diberikan kepada mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Statuta untuk memilih hakim ad hoc. Pada

(18)

kesempatan tersebut, seperti dikemukakan dalam dokumen yang menjadi satuan amatan Penelitian Tesis ini, menurut Presiden, pihak Timor-Leste telah memilih Mr. Jean-Pierre Cot. Sedangkan pihak Australia telah memilih hakim ad hoc yang bernama Mr. Ian Callinan.

Pasal 20 Statuta menyatakan bahwa: “[e] Anggota Mahkamah harus, sebelum menjalankan tugasnya, bersumpah di Mahkamah dan di hadapan sidang yang bersifat terbuka untuk umum bahwa mereka itu akan menjalankan kekuasaannya secara tidak memihak dan hati-hati”. Sesuai dengan Pasal 31, ayat (6) dari Statuta, ketentuan yang sama juga berlaku untuk hakim ad hoc. Perlu dikemukakan di sini bahwa sekalipun Jean-Pierre Cot yang mewakili Timor-Leste telah menjadi hakim ad hoc dalam Perkara-Perkara sebelumnya dan dalam perkara-perkara sebelumnya tersebut dia sudah bersumpah; namun dalam rumusan Pasal 8, paragraf 3 Statuta Pengadilan ditetapkan bahwa dia pun wajib bersumpah untuk tujuan sidang Sengketa Australia vs. Timor-Leste tersebut.

Berkenaan dengan sub-judul hakim ad hoc sebagaimana dikemukakan di atas, perlu digambarkan pula di sini bahwa dalam

(19)

penyelesaian sengketa di Mahkamah, sesuai dengan kebiasaan para hakim ad hoc itu, terutama Jean-Pierre Cot yang mewakili Timor-Leste pertama-tama akan mengatakan beberapa kata tentang karir dan kualifikasi mereka masing-masing sebagai hakim

ad hoc sebelum pada gilirannya presiden mengundang mereka untuk mengucapkan sumpah.

Mr Ian Callinan, yaitu hakim ad hoc yang dipilih Australia adalah seseorang yang berkewarganegaraan Australia. Dia adalah seorang pensiunan hakim Pengadilan Tinggi Australia. Pengalaman kariernya dimulai sejak dia diterima di Queensland Bar pada tahun 1965. Pada tahun 1978 dia kemudian ditunjuk sebagai Queen’s Counsel (QC) pada tahun 1978. Callinan menjabat sebagai Presiden Asosiasi Bar Queensland dari 1984 hingga 1986. Dia juga merupakan Presiden Asosiasi Bar Australia pada tahun 1986. Ia diangkat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Australia pada tahun 1997 dan terus melayani dalam kapasitas itu sampai pensiun pada tahun 2007.

Selama karirnya Callinan yang terkenal itu adalah seorang advokat. Ketika dia menjadi hakim Callinan telah menangani berbagai kasus yang meliputi, inter alia, hukum konstitusional,

(20)

komersial dan kriminal. Selain itu. Callinan juga hadir pada beberapa kesempatan di hadapan Komisi Kerajaan, Pengadilan Tinggi Australia dan Dewan Penasihat. Dia terus praktek sebagai arbitrator dan mediator yang berkualitas. Disamping berbagai profesi yang telah disebutkan di atas, Callinan adalah seorang Profesor Hukum di University of Queensland. Dia menulis rtikel di berbagai jurnal hukum. Callinan juga adalah Anggota Kehormatan dari beberapa Asosiasi Bar.

Sesuai dengan ketentuan yang timbul karena preseden yang ditetapkan oleh Pasal 7, paragraf 3, Statuta Mahkamah, Presiden kemudian mengundang Ian Callinan untuk mengucapkan sumpah yang ditentukan oleh Statuta. Saat semua audiens dlam persidangan itu diminta hadir untuk berdiri, Callinan keudian mengucapkan sumpahnya sebagai berikut: “Saya dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa saya akan melakukan kewajiban saya dan melaksanakan tugas saya sebagai hakim yang terhormat, setia, tidak memihak dan berhati-hati.”

Setelah sumpah diucapkan, Presiden terlebih dahulu memersilahkan para hadirin untuk duduk kembali. Presiden kemudian mengatakan bahwa dia telah mencatat sumpah yang

(21)

disampaikan oleh Callinan dan Cot, dan menyatakan bahwa mereka benar-benar ditugaskan sebagai hakim ad hoc dalam kasus terkait Pertanyaan yang berkaitan dengan Penyitaan dan Penahanan Dokumen dan Data Tertentu (Timor-Leste vs. Australia) .

Seperti telah dikemukakan di atas, proses persidangan dalam kasus a quo dimulai pada tanggal 17 Desember 2013. Hal itu ditandai oleh pengajuan dalam Catatan Pengadilan suatu Permohonan oleh pihak Republik Demokratik Timor-Leste terhadap Australia. Pengaduan tersebut berkenaan dengan dugaan penyitaan dan penahanan oleh “agen Australia atas dokumen, data dan properti lain milik Timor-Leste dan/atau Timor-Leste yang dilindungi menurut hukum internasional”. Timor-Leste menuduh bahwa Australia telah menyita, khususnya, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan arbitrase yang tertunda berdasarkan Perjanjian Laut Timor 2002 antara Timor-Leste dan Australia.

3.2.3.Penentuan Jurisdiksi Menurut Pihak Timor-Leste

Menurut pihak Timor-Leste, kewenangan atau jurisdiksi Mahkamah Internasional untuk mengadili Sengketa yang

(22)

diajukannya tersebut didasarkan pada suatu Deklarasi yang dibuatnya pada tanggal 21 September 2012. Dikemukakan pihak Timor-Leste bahwa berdasarkan Pasal 36, ayat (2) dari Statuta Mahkamah Internasional, serta pada deklarasi Australia yang dibuat pada 22 Maret 2002 adalah berisi ruusan ketentuan yang sama mengenai hal itu.

Pihak Presiden tidak berkeberatan dengan dalil mengenai jurisdiksi Mahkamah Internasional dalam memeriksa da mengadili serta memutus sengketa dimaksud. Atas dasar itu, Presiden yang memimpin persidangan dimaksud kemudian memersilahkan pihak Sekarang Panitera untuk membacakan dalil-dalil yang dimohonkan pihak Timor-Leste.

Menurut pihak Panitera: “Timor-Leste meminta Pengadilan untuk memutuskan dan menyatakan”: Pertama, bahwa penyitaan oleh Australia atas dokumen dan data miliknya adalah suatu perbuatan yang melanggar (i) kedaulatan Timor-Leste dan (ii) properti dan hak-hak lainnya berdasarkan hukum internasional dan hukum domestik2 yang relevan.

2 Di sini terlihat bahwa sebetulnya pemerintah Timor-Leste tidak

menggesampingkan fakta bahwa ada hukum domestik yang dilanggar; mengenai hukum domestik itu dapat dilihat gambarannya dalam Bab II Tesis ini.

(23)

Kedua, bahwa penahanan berkelanjutan oleh Australia atas dokumen dan data melanggar (i) kedaulatan Timor-Leste dan (ii) properti dan hak-hak lainnya berdasarkan hukum internasional dan hukum domestik3 yang relevan;

Ketiga, Australia harus segera mengembalikan kepada perwakilan yang ditunjuk oleh Timor-Leste semua dokumen dan data yang telah disebutkan di atas. Oleh pihak Timor-Leste, pihak Australia juga dimita untuk menghancurkan setiap salinan dokumen dan data yang berada dalam penguasaan atau kontrol Australia. Pihak Timor-Leste juga menuntut agar Mahkamah memastikan penghancuran setiap salinan yang secara langsung atau tidak langsung diberikan kepada orang ketiga atau Negara Ketiga.

Keempat, pihak Timor-Leste menuntut pula melalui Mahkamah agar Australia harus memuaskan hati Timor-Leste sehubungan dengan pelanggaran hak yang disebutkan di atas. Pemuasan hati itu dilaksanakan menurut hukum internasional dan hukum domestik yang relevan. Tuntutan yang dimintakan pihak Timor-Leste untuk dilakukan pihak Australia yang berkaitan

3Ibid.

(24)

dengan itu, yaitu Australia harus meminta maaf secara resmi kepada Timor-Leste dan mengganti-kerugian semua biaya yang dikeluarkan oleh pihak Timor-Leste dalam mempersiapkan dan mengajukan Permohonan kepada Mahkamah.

Disamping permohonan di atas, pihak Timor-Leste juga mengajukan suatu permohonan juga pada hari yang sama. Menurut pihak Timor-Leste hal itu mengingat ada indikasi yang mengacu pada Pasal 41 Statuta Pengadilan dan Pasal 73, 74 dan 75 dari Statuta. Dikatakan dalam Permohonannya bahwa ada indikasi langkah sementara harus diambil pihak Timor-Leste karena Timor-Leste menuduh bahwa ada risiko jikalau: “dokumen-dokumen [yang disebutkan di atas] akan diperiksa dan disalin dan bahwa kalau langkah sementara tidak diambil maka seolah-olah sah, Australia akan memperoleh informasi rahasia yang akan dipraktikkan setelahnya dan secara bebas akan menggunakan informasi rahasia itu utuk keuntungannya sendiri dan merugikan Timor-Leste”. Kerugian itu akan terjadi berkaitan dengan: ”baik dalam proses arbitrase yang tertunda dan berkaitan dengan hal-hal lain yang berkaitan dengan Laut Timor dan sumber dayanya”.

(25)

Lebih lanjut ditambahkan pihak Timor Leste bahwa Australia “dapat menyampaikan informasi tersebut kepada pihak ketiga”.

Atas dasar itu, maka menurut Presiden dari persidangan dimaksud, Panitera diminta untuk membacakan Permohonan tindakan sementara yang perlu diambil pihak Mahkamah terhadap Australia sebagaimana dituntut oleh pihak Timor-Leste.

Berikut ini tindakan-tindakan sementara yang dimohonkan untuk diambil: “Timor-Leste dengan hormat meminta agar Pengadilan menunjukkan langkah-langkah sementara berikut: (a). Semua dokumen dan data yang disita oleh Australia dari 5 Brockman Street, Narrabundah, di Wilayah Ibu Kota Australia pada 3 Desember 2013 harus segera disegel dan diserahkan ke tahanan Mahkamah Internasional; (b). Australia segera menyampaikan kepada Timor-Leste dan ke Mahkamah: (i) daftar dari setiap dan semua dokumen dan data yang telah diungkapkan atau ditransmisikan, atau informasi yang terkandung yang telah diungkapkan atau ditransmisikan ke seseorang, apakah orang tersebut dipekerjakan oleh atau kantor di setiap institusi Negara Australia atau Negara ketiga, dan (ii) daftar identitas atau deskripsi dari dan posisi saat ini (saat ketika sengketa sedang berlangsung)

(26)

yang dipegang oleh orang-orang tersebut; (c). Australia mengirim dalam waktu lima hari ke Timor-Leste dan ke Mahkamah daftar dan semua salinan yang telah disita tentang dokumen dan data ; (d). Australia (i) menghancurkan semua salinan dokumen dan data yang disita oleh Australia pada 3 Desember 2013, dan menggunakan segala upaya untuk mengamankan penghancuran semua salinan yang telah ditransmisikan kepada pihak ketiga mana pun, dan (ii) melaporkan kepada Timor-Leste dan Mahkamah tentang semua langkah yang diambil dalam rangka pengrusakan itu, apakah berhasil atau tidak; (e). Australia memberikan jaminan bahwa Negara itu tidak akan mencegah atau menyebabkan atau meminta intersepsi komunikasi antara Timor-Leste dan penasihat hukumnya, baik di dalam atau di luar Australia atau Timor-Leste.

3.2.4.Tindakan Sementara Mahkamah Internasional

Sejalan dengan Permintaan pihak timor-Leste untuk melakukan tindakan sementara sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada tanggal 17 Desember 2013, segera setelah pengajuan Permohonan, Panitera Mahkamah, sesuai dengan Pasal 40, paragraf 2, Statuta dan Pasal 38, paragraf 4, dan Pasal 73, ayat 2,

(27)

Statuta Mahkamah, telah mengirim salinan resmi Perintah untuk melakukan hal-hal di atas kepada Pemerintah Australia. Panitera juga menyampaikan telah menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang permohonan yang berkenaan dengan dokumen-dokumen sebagaimana dikemukakan di atas oleh pihak Timor-Leste.

Dengan surat tertanggal 18 Desember 2013, mengacu pada Pasal 74, paragraf 4, Peraturan Mahkamah, dalam kapasitasnya sebagai Presiden Mahkamah, telah dimintakan kepada pihak Australia: “untuk bertindak sedemikian rupa untuk memungkinkan setiap Perintah mahkamah tersebut di atas dipatuhi, yaitu melakukan tindakan sementara yang memiliki efek yang sesuai, khususnya untuk menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat menyebabkan prasangka terhadap hak yang diklaim oleh Republik Demokratik Timor-Leste dalam proses ini ”. Menurut Pasal 74 dari Peraturan Mahkamah, Permintaan untuk melakukan tindakan sementara akan memiliki prioritas atas semua kasus lainnya.

Selanutnya dijumpai pula dalam dokumen yang diteliti, bahwa tanggal persidangan harus diperbaiki sedemikian rupa

(28)

sehingga memberi kesempatan kepada para pihak untuk diwakili. Akibatnya, setelah konsultasi, Para Pihak diberitahu bahwa tanggal pembukaan proses lisan yang dimaksud dalam Pasal 74, ayat 3, Peraturan Mahkamah, supaya mereka dapat menyampaikan pengamatan mereka sehubungan dengan Permintaan tindakan sementara, telah ditetapkan 20 Januari 2014, jam 10 pagi.

Tercatat bahwa hadir di hadapan Pengadilan Agen dan penasihat hukum kedua Pihak. Juga tercatat kehadiran Menteri Luar Negeri Republik Demokratik Timor-Leste untuk sidang tersebut. Dalam kehadiran itu, Pengadilan mendengarkan Timor-Leste, yang telah mengajukan Permohonan tindakan sementara, pagi itu juga selama 25 menit lewat tengah hari. Pandangan pihak Australia mengenai hal itu didengarkan keesokan harinya, pada jam 10 pagi.

3.2.5.Proses Persidangan Putaran Pertama dan Petisi

Dalam putaran pertama persidangan dikemukakan argumen lisan oleh masing-masing Pihak. Mereka menyampaikan hal itu selama dua jam penuh. Setelah putaran pertama argumen

(29)

lisan, Para Pihak mengajukan jawaban masing-masin jika mereka menganggap perlu. Pada hari Rabu 22 Januari 2014; Timor-Leste jam 10 pagi dan Australia jam 5 sore. Masing-masing Pihak memiliki waktu maksimum satu jam untuk mempresentasikan jawabannya.

Sebelum memberikan kesempatan kepada Duta Besar Joaquim da Fonseca, Agen Republik Demokratik Timor-Leste, Presiden Mahkamah meminta perhatian Para Pihak untuk memerhatikan aturan XI, bahwa pihak-pihak harus “[i] memohon secara lisan dalam meminta tindakan sementara. . . membatasi diri pada apa yang relevan dengan kriteria tindakan sementara sebagaimana diatur dalam Statuta, Aturan dan yurisprudensi Pengadilan. Mereka seharusnya tidak masuk memanfaatkan kasus di luar apa yang benar-benar diperlukan untuk tujuan itu. ”

Kesempatan kemudian diberikan kepada Joaquim da Fonseca, Agen Republik Demokratik Timor-Leste. Bapak, Anda di persilahkan. Dalam pernyataan pembukaannya, Agen Timor-Leste mengemukakan terima kasih, Mr. Presiden. Mr. Presiden, Anggota Pengadilan. Merupakan suatu kehormatan bagi saya

(30)

untuk mewakili negara saya, Republik Demokratik Timor-Leste, dalam proses ini. Dia juga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah dan rakyat Timor-Leste menaruh kepercayaan mereka pada hukum internasional, yang memainkan peran penting dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan, dan di Pengadilan ini, organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kepercayaan itu ditunjukkan oleh penerimaan kami, pada September 2012, dari yurisdiksi wajib Pengadilan ini.

Menurut Agen Timor-Leste tersebut, tentu saja ini bukan pertama kalinya hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan permanen Timor-Leste atas sumber daya alamnya telah dipertimbangkan oleh Pengadilan ini, tetapi ini adalah pertama kalinya bahwa bantuan telah dicari oleh Timor-Leste sebagai sebuah negara merdeka. Pada 1990-an, Portugal, sebagai penguasa administrasi wilayah Timor-Leste, memulai proses di Den Haag, juga melawan Australia, dengan alasan antara lain bahwa Australia telah melanggar “hak-hak rakyat Timor Timur atas penentuan nasib sendiri, integritas teritorial dan persatuan dan kedaulatan permanenatas kekayaan dan sumber daya alamnya ” dengan masuk ke dalam apa yang disebut“ Kesepakatan Celah Timor ”dengan

(31)

Indonesia untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dasar laut milik Timor-Leste.

Pada waktu itu, menurut Agen Timor-Leste tersebut, Mahkamah menemukan bahwa Mahkamah tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang diberikan kepadanya, karena tidak hadirnya Indonesia dalam persidangan. Keputusan itu adalah bagian penting dari serangkaian langkah hukum (dan ilegal, menurut Agen Timor-Leste) yang telah membawa Timor-Leste dan Austrlia ke proses peradilan yang tengah berlangsung tersebut. Putusan 1995 juga berisi ringkasan Pengadilan tentang kisah tragis Timor-Leste hingga saat itu, dan peran Australia di dalamnya. Pendapat berbeda dari Hakim Weeramantry dan Hakim ad hoc

Skubiszewski mengandung latar belakang yang lebih rinci.

Pihak Agen Timor-Leste juga meminta perhatian kepada Presiden Mahkamah tersssebut untu mengijinkannya mengatakan pada permulaan bahwa hubungan masa kini antara Timor-Leste dan Australia, dua negara tetangga, dekat dan bersahabat dan mereka akan tetap demikian di masa depan. Dalam kata-kata Menteri Luar Negeri Australia, dalam hal hubungan antara kedua

(32)

negara, “yang terbaik belum datang”. Australia memainkan peran penting dan sangat konstruktif menjelang dan pada saat kemerdekaan kami pada 2002 dan, kemudian, sebagai bagian dari upaya PBB. Agen Timor-Leste merasa bersyukur untuk itu.

Menurut Agen Timor-Leste dimaksud, tetapi sumber daya alam laut yang menyatukan dan membagi Timor-Leste dan Australia tetap menjadi pokok persengketaan yang serius. Sumber-sumber itu, dalam kata-kata mantan hakim Mahkamah, merupakan: “aset ekonomi utama rakyat Timor-Leste”. Pemerintah dan rakyat Timor-Leste merasakan keluhan yang nyata dengan cara mereka diperlakukan oleh dalam hal ini tetangga besar kami. Untuk reputasi mereka, ada banyak di Australia yang berbagi ketidakpuasan kami. Dengan amandemen deklarasi Klausul Opsionalnya pada tahun 2002, Australia telah berusaha untuk memblokir akses kami ke Pengadilan ini. Timor-Lestetelah memulai arbitrase berdasarkan Pasal 23 Perjanjian Laut Timor. Kemudian, dengan sepenuhnya mengabaikan dan tidak menghormati kedaulatan kami, agen rahasia Australia telah menyita dokumen yang berkaitan dengan proses arbitrase serta masalah hukum penting lainnya antara Timor-Leste dan Australia.

(33)

Itu telah menyebabkan pelanggaran yang serius dan guncangan di negara dari Agen Timor-Leste tersebut.

Selanjutnya dikemukakan Agen Timor-Leste dimaksud, bahwa lal itulah yang membawa Timor Leste ke Mahkamah, yaitu ke Aula Besar Kehakiman ini, untuk mencari keadilan dari Pengadilan Dunia atas dokumen dan data yang disita. Kasus itu menyangkut pelanggaran serius, oleh Australia, tentang tidak dapat diganggu gugatnya dokumen resmi Republik Demokratik Timor-Leste, dan kekebalan mereka dari langkah-langkah pembatasan, sebagai milik Negara yang berdaulat. Potensi kerugian bagi Timor-Leste yang mengalir dari tindakan yang salah secara internasional itu sangat serius. Dan bertentangan dengan posisi Australia, sebagai Negara berdaulat, forum yang paling tepat bagi Timor-Leste untuk mencari keadilan dalam hal ini adalah di hadapan Pengadilan Dunia.

Bagi pihak Agen Timr-Leste, mereka berterima kasih kepada Mahkamah untuk mengatur sidang ini dengan cepat, dan mereka juga berterima kasih kepada Presiden Mahkamah itu, atas

(34)

tindakan cepatnya yang didasarkan hukum internasional, yaitu berdasarkan Pasal 74, paragraf 4, Peraturan Mahkamah.

Dikemukakan pihak Agen Timor-Leste tersebut, kepada Presiden, Para Anggota Majelis, bahwa kasus Timor-Leste disajikan oleh penasihatnya dalam urutan berikut: Pertama, disampaikan Sir Elihu Lauterpacht yang berbicara lebih dulu kepada Mahkamah tentang pentingnya kasus dan faktual latar belakang, dan garis besar kasus hukum mereka untuk tindakan sementara. Keterangan Sir Elihu Lauterpacht tersebut kemudian diikuti oleh keterangan Sir Michael Wood, yang menguraikan penerapan hukum dan praktik terhadap keadaan kasus Timor Leste tersebut. Mengakhiri apa yang dikemukakannya, pihak Agen Timor-Lestee itu pun kemudian meminta terima kasih atas perhatian Presiden Mahkamah itu, dan kemudian meminta agar dia mengundang Sir Elihu Lauterpacht ke podium.

3.2.5.1. .Petisi Pihak Ahli dari Timor-Leste

Dengan mengucapkan terima kasih kepada Presiden Mahkamah yang sudah memberikan kepadanya kesempatan lagi untuk berpartisipasi di forum sejenis tersebut, Profesor Sir Elihu

(35)

Lauterpach, selanjutnya disebut Elihu, kemudian mengemukakan Pendapatnya mewakili Timor-Leste. Dalam bagian-bagian awal Pendapatnya, Elihu mengemukakan kepada Presiden dan Anggota Majelis, bahwa dia mendapat kehormatan untuk tampil di hadapan Presiden tersebut sekali lagi, bersama dengan Sir Michael Wood. Dikemukakan oleh Elihu bahwa Profesor Lowe QC juga telah bekerja dengannya untuk menyusun Pendapat itu, tetapi sayangnya dia berkomitmen untuk bertindak sebagai arbiter di tempat lain pada minggu yang sama, dan Lowe meminta Elihu untuk menyampaikan permintaan maafnya.

Elihu memulai Pendapatnya dengan beberapa kata, yang menurutnya menentramkan hati karena itulah yang diharapkannya, yaitu kenyamanan  terlepas dari Keadaan seputar kasus tersebut. Menurut Elihu, Kasus yang tengah dihadapi tersebut bukan kasus tentang mata-mata dan spionase. Elihu memohon kepada Mahkamah agar Mahkamah tidak harus mengucapkan kegiatan seperti yang dilakukan pihak Australia itu secara umum. Sebaliknya, menurut Elihu, kasusnya relatif sederhana. Bagi Elihu, satu Negara telah mengambil milik orang lain, dan harus diminta untuk mengembalikannya, barang-barang

(36)

itu tidak boleh lagi disentuh dan pengembaliannya tidak boleh ada penundaan. Menurut Pendapat Elihu, itu semualah pada dasarnya yang Timor-Leste minta dan berdoa agar Mahkamah membantu sebagai suatu bentuk perbaikan kesalahan yang telah dilakukan.

Menurut Elihu, tanpa bermaksud mengalihkan apa yang seharusnya dia katakan ke substansi yang harus dia katakan; Pertama-tama, menurut pengamatannya bukan tanpa penyesalan dia sekarang harus tampil dalam kasus melawan Australia. Selama tiga tahun dari tahun 1975 hingga 1977 dia melayani sebagai Penasihat Hukum utama dari Departemen Luar Negeri Australia. Selama itu, dia mendapat perhatian dan penghargaan yang tinggi untuk negara itu. Jadi, menurut Elihu, sangat menyedihkan bagi dia bahwa dalam hal ini dia berkewajiban untuk menghadapi Australia sehubungan dengan perilaku yang tidak dapat dijelaskan, jauh dari standar-standar tinggi yang berlaku di zamannya. Karena itu dia memohon ijin untuk menjelaskan kepada Mahkamah apa yang dimaksudkannya tersebut.

Menurut Elihu, apa yang dilakukan merupakan suatu permintaan untuk pemberian tindakan perlindungan sementara

(37)

dalam kasus yang diajukan oleh Timor-Leste terhadap Australia. Kasus tersebut adalah salah satu yang, berani dia kemukakan, kemungkinan akan berada di luar pengalaman langsung banyak anggota Mahkamah Internasional tersebut. Menurut Elihu sengketa tersebut bukan sengketa biasa tentang hak milik atas teritori atau tentang batas maritim atau tentang pengambilalihan. Lebih tepatnya, tentang penyitaan oleh Australia tentang materi-materi rahasia dan istimewa serta data milik Timor-Leste. Materi-materi dimaksud, menurut Elihu termasuk rincian dari nasehat hukum yang diterima oleh Timor-Leste dan, tidak kalah pentingnya, pertimbangan-pertimbangan strategi sehubungan dengan batas maritim yang belum diselesaikan antara Timor-Leste dan Australia. Elihu berpendapat bahwa sudah hampir jelas jika masalah itu adalah masalah yang paling penting bagi Timor-Leste. Dokumen-dokumen tersebut terkait dengan isu-isu seperti posisi negosiasi dan strategi Timor-Leste dalam kaitannya dengan Australia. Sebagaimana Mr. Burmester, salah satu penasihat untuk Australia, mengatakan dalam rangkaian argumen dalam Whaling Case di hadapan Mahkamah, masalah antara Australia dan

(38)

Timor-Leste bukanlah hal yang sederhana. Rincian pengaturan yang diusulkan dengan Timor-Leste, katanya, adalah “rumit”.

Dia melanjutkan bahwa mereka melangkah lebih jauh langsung delimitasi dan melibatkan negosiasi tentang pengaturan pembagian sumber daya yang, pada tahap awal, mengambil bentuk tiga perjanjian antara Australia dan Timor-Leste (28 Juni 2013, CR 2013/11, halaman 45, paragraf 23-24). Bahan-bahan yang disita juga berkaitan dengan persiapan Timor-Leste untuk arbitrase internasional yang baru saja dia sebutkan, terpisah dari kasus tersebut, suatu arbitrase bahwa Timor-Leste telah berkewajiban untuk memulai di hadapan pengadilan internasional yang akan berdudukan di sini di Den Haag.

Menurut Elihu, tindakan Australia di atas secara nyata mendistorsi karakter negosiasi di masa depan dengan menempatkan Timor-Leste pada pihak yang dirugikan dalam negosiasi dan litigasi alias kurang menguntungkan. Tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak tepat. Menurut Elihu, tindakan itu adalah tindakan yang tidak dapat dijelaskan. Lebih lagi, diperparah dengan pernyataan kontradiksi pada berbagai

(39)

kesempatan atas nama Australia. Semua itu, menurut Elihu bukan perilaku dari beberapa Negara yang tidak menganut standar normal perilaku hukum internasional. Sebaliknya, yang dilakukan pihak Australia tersebut adalah suatu perilaku Negara dengan posisi internasional yang dalam situasi sekarang kontradiktif sifatnya.

Elihu menguraikan latar belakang dari kasus itu. Menurutnya, dia tidak perlu melangkah lebih jauh tanpa merinci apa yang baru saja dia katakan. Langkah itu, yaitu memberikan kepada Pengadilan sketsa latar belakang untuk permintaan kepadanya untuk persidangan itu. Kasus itu, menurut Elihu muncul dari perbedaan antara dua tetangga dekat. Menurut Elihu, yang satu tetangga yang sangat besar, kuat, mapan, kaya sumber daya alam. Karena itu semua, tetangga yang kuat tersebut jelas mampu mengumpulkan kekuatan hukum dengan kekuatan dan kedudukan yang cukup besar. Pihak lain lebih baru, jauh lebih kecil, dan jauh lebih miskin.

Menguraikan lebih jauh tentang Arbitrasi berdasarkan Timor Sea Treaty, Elihu mengemukakan bahwa Timor-Leste telah memulai arbitrase terhadap Australia. Arbitrase itu menyangkut

(40)

perjanjian yang dibuat pada Tahun 2002 berkaitan dengan pembagian antara kepentingan kedua belah pihak di Laut Timor. Untuk kenyamanan, selanjutnya Elihu mengacu pada Perjanjian yang dia sebut sebagai “Timor Sea Treaty”. Dalam kesempatan itu,

Elihu mengemukakan bahwa dia tidak mau membebani Forum Mahkamah tersebut dengan rincian Perjanjian itu. Sebab, menurut Elihu, Perjanjian itu, tidak relevan untuk tujuannya mengemukakan Pendapat pada saat itu. Elihu meminta agar Mahkamah memeriksa saja teks lengkap yang dapat ditemukan dalam United Nations, Treaty Series (UNTS), Volume 2258 (halaman 4).

Dikemukakan oleh Elihu, bahwa lamanya Perjanjian dimaksud ditentukan oleh Pasal 22 menjadi 30 tahun. Perjanjian tersebut berakhir pada 2033. Pada tahun 2006, perjanjian lebih lanjut tentang subjek umum yang sama disimpulkan antara kedua Pihak. Elihu menyebut perjanjian yang kedua, yaitu Perjanjian 2006 tersebut dengan “Perjanjian CMATS”, singkatan dari nama Traktat “Treaty Concerning Certain Maritime Arrangement in the Timor Sea”. Sama dengan Traktat yang pertama, Elihu juga tidak

(41)

teksnya dicetak dalam UNTS, Volume 2483 (halalam 359). Menurut Elihu, Perjanjian tersebut adalah termasuk perpanjangan waktu Perjanjian Laut Timor. Perjanjian sebelumnya, hingga total 50 tahun dan juga, dalam Pasal 4, “Moratorium”, menghalangi Timor-Leste mencari sepanjang periode itu untuk negosiasi terbuka untuk pembagian hak maritim antara kedua belah pihak. Keterbatasan ini sangat merugikan Timor-Leste, tetapi diterima olehnya pada saat itu dengan keyakinan bahwa hal itu diusulkan oleh Australia dengan iktikad baik sebagai kepentingan terbaik bagi kedua belah pihak. Bahkan, salah satu kelemahan utamaTimor-Leste dari Perjanjian CMATS adalah bahwa, pada saat kawasan itu dikembalikan ke Timor-Leste pada akhir periode yang diperpanjang, kemungkinan bahwa sumber daya minyak dan gas di daerah tersebut akan benar-benar habis.

Elihu selanjutnya menjelaskan bahwa beberapa tahun kemudian, Timor-Leste mengetahui bahwa selama seluruh periode sentral negosiasi yang mengarah pada Perjanjian CMATS, Australia secara diam-diam telah mencegat diskusi internal Pemerintah Timor Leste dengan cara menyadap dengan menggunakan perangkat dan mikrofon tersembunyi. Perangkat itu

(42)

dipasang secara diam-diam di kantor Pemerintah Timor-Leste oleh petugas Dinas Intelijen Rahasia Australia (yang oleh Elihu disebutnya dengan ASIS). Manfaat yang tepat bagi Australia untuk memperoleh informasi yang tidak dapat diperkirakan oleh Timor-Leste. Tidak diragukan lagi pasti memberi Australia keunggulan negosiasi yang penting dan memungkinkannya untuk mengembangkan posisinya sendiri. Kalau tidak, menurut Elihu: “kita harus bertanya, mengapa Australia melakukannya”?

Ketika mengetahui tindakan Australia ini, Timor-Leste menyadari bahwa ia telah menjadi korban kesalahan internasional yang serius. Timor-Leste kemudian memberi pemberitahuan kepada Australia bahwa tindakan Australia diaggap Timor-Leste telah membuat perjanjian CMATS menjadi tidak valid dalam hukum internasional. Dikatakan demikian karena tindakan Australia itu adalah merupakan tindakan yang ternyata tidak dilakukan dengan itikad baik dalam menjalani suatu Perjanjian. Belum lagi ada tindakan lain yang menyertainya, yaitu pembatalan upaya untuk mengubah durasi yang ditetapkan dalam Perjanjian Laut Timor, perjanjian sebelumnya. Sengketa berdasarkan Perjanjian Laut Timor muncul. Timor-Leste menyerukan negosiasi

(43)

atau konsultasi terkait masalah ini. Australia mengambil posisi bahwa tidak ada perselisihan dan menolak untuk berdiskusi serius. Karena itu, Timor-Leste memulai proses arbitrase berdasarkan ketentuan penyelesaian perselisihan Perjanjian Laut Timor, Pasal 23. Masalah tersebut, ketika Proses persidangan di Mahkamah berlangsung tengah berada di hadapan pengadilan arbitrase internasional terkemuka yang terdiri dari Lord Collins of Mapesbury. Lord Collins ditunjuk oleh Timor-Leste, Profesor Michael Reisman, ditunjuk oleh Australia, dan Profesor Tullio Treves sebagai Ketua, dipilih oleh dua pihak arbitrator yang ditunjuk. Arbitrase itu sedang diurus oleh Pengadilan Arbitrase Permanen.

Berkenaan dengan penyitaan oleh Australia atas properti Timor-Leste yang dimiliki oleh pengacaranya, Elihu mengemukakan bahwa nasihat tentang urusan hukum internasional Timor-Leste telah selama bertahun-tahun sebagian besar berada ditangan seorang pengacara Australia yang terkenal dan berpengalaman, yaitu Bernard Collaery. Collaery memiliki suatu kantor hukum utama berada di Canberra, di Wilayah Ibu Kota Australia. Melalui kantornya, Collaery melakukan kegiatan

(44)

hukumnya yang mencakup sejumlah masalah bagi Pemerintah Timor-Leste, serta untuk klien lain. Di kantor itu, Collaery biasanya menyimpan, atas nama Pemerintah Timor-Leste, banyak dokumen rahasia yang berkaitan dengan urusan hukum internasional Timor-Leste. Beberapa diantaranya mencakup hal-hal yang sangat penting dan rumit seperti negosiasi antara kedua negara mengenai akses ke sumber daya maritim Laut Timor.

Pada tanggal 2 Desember 2013, Jaksa Agung Australia mengeluarkan Surat Perintah. Menurut Elihu, tampaknya Surat Perintah itu dibuat untuk mengesahkan Organisasi Intelijen Keamanan Australia (ASIO) dalam melakukan pencarian kantor Collaery dan untuk mengambil materi yang ada di Kantor tersebut. Surat perintahnya ada di tab 1 di folder yang juga menjadi barang bukti yang disampaikan kepada Mahkamah oleh Elihu. Pada tanggal 3 Desember, ketika Collaery berada di Den Haag untuk memersiapkan proses di Arbitrase, sejumlah petugas ASIO, serta beberapa anggota Polisi Federal Australia, tiba di kantor Collaery di Canberra. Salah satu asisten hukum Collaery, Ms Preston, sendirian di kantor pada saat itu.

(45)

Para petugas menunjukkan Surat Perintah tersebut di atas, yang mengizinkan masuk dan menyita dokumen. Tetapi tidak pernah memberi tahu Ms Preston apa sebenarnya yang mereka cari, atau mengapa. Dalam tekanan saat itu Ms Preston berusaha untuk membaca Surat Perintah tetapi merasa sangat terintimidasi oleh kehadiran lebih dari selusin personel ASIO. Akibatnya dia tidak bisa menyelesaikannya. Selain itu, banyak kata di dalamnya yang terhapus. Permintaan Ms Preston agar dokumen yang diambil disalin ditolak. Alasan yang dikemukakan pada waktu itu adalah masalah keamanan nasional. Para petugas tetap di tempat selama beberapa jam. Mereka memeriksa banyak file. Tidak diketahui sampai sejauh mana mereka membuat catatan atau menyalin apa yang mereka temukan. Karena mereka diberi wewenang untuk melakukan dengan cara menyapu atas dasar Surat Perintah penggeledahan. Isi Surat Perintah antara lain: “untuk. . . memeriksa atau memeriksa catatan atau hal-hal yang ditemukan, dan membuat salinan atau transkrip”.

Menurut Elihu, mereka kemudian pergi dari Kantor Pengacara di atas dengan membawa sejumlah paket dokumen. Ikut dibawa sjuga laptop dan stik USB. Ini tercantum dalam “catatan

(46)

layanan properti” yang juga sudh diajukan ke Mahkamah sebagai barang bukti di tab 2 dari folder hakim Timor-Leste. Collaery, yang premisnya diserang, tidak dapat menyebutkan secara spesifik apa yang ada dalam dokumen yang diambil, tetapi dapat dipastikan bahwa banyak dari mereka tidak hanya terkait dengan Arbitrase dan untuk pengembangan posisi negosiasi Timor-Leste dalam diskusi bilateral yang seharusnya akhirnya terjadi antara Timor-Leste dan Australia mengenai pembagian sumber daya Laut Timor yang terletak di antara kedua Negara dan batasnya.

Bahwa Australia menganggap prospek negosiasi semacam itu dengan ketidakberesan dapat dilihat dari fakta bahwa itu dijamin pengenaan Timor-Leste dalam Perjanjian CMATS  yaitu, Perjanjian kemudian  dari suatu usaha untuk tidak menekan untuk negosiasi untuk periode Perjanjian itu, yaitu lima puluh tahun. Meskipun demikian, untuk mengantisipasi permulaan yang lebih awal, Timor-Leste telah menugaskan penelitian teknis untuk mendasarkan kasusnya. Sejumlah dokumen-dokumen ini dimiliki oleh Collaery dan dibawa pergi di bawah Surat Perintah. Dapat dicatat bahwa meskipun Jaksa Agung Australia telah melakukan bahwa materi yang disita pada tanggal 3 Desember

(47)

tidak akan dilihat oleh orang-orang yang terlibat dalam Arbitrase, pengabdiannya diam atas ketersediaan dokumen yang sangat sensitif dan rahasia ini kepada para pejabat Australia yang terlibat dalam hal pembatasan maritim.

Perilah Kepemilikan pemerintah Timor-Leste atas material yang disita, Elihu mengemukakan beberapa hal. Para perwira ASIO meninggalkan Kantor Collaery sebagai “catatan penyitaan properti”. Daftar barang yang diambil dapat temukan di tab 2 dalam folder, yang sudah diajukan ke Mahkamah. Rekor penyitaan properti memberikan beberapa indikasi secara umum tentang kemungkinan ruang lingkup material yang disita. Terlihat, misalnya, di item bernomor [0] 01, [0] 02 dan [0] 03, iPhone, laptop dan USB thumb drive. Semua itu, menurut Elihu, mungkin mengandung berbagai material yang sangat luas dan bermacam-macam. Barang-barang yang tersisa adalah dokumen, beberapa isi yang dapat ditarik kembali, dan yang lain tidak. Mereka juga

melampaui Arbitrase. Sebagai contoh,

 Item LPP [0] 04 digambarkan sebagai “Dokumen berjudul” Menantang Validitas yang pasti Pengaturan laut dalam Perjanjian Laut Timor '”(23 halaman). Dokumen itu adalah "nasihat singkat

(48)

untuk memberi nasihat” tertanggal 7 Maret 2011. Dokumen ini berisi pertimbangan terperinci tentang berbagai opsi dan strategi hukum untuk menghadapi Perjanjian CMATS. Ini tidak terkait dengan proses arbitrase yang sedang berlangsung, tetapi berkisar jauh lebih luas, menetapkan kekuatan dan kelemahan dari berbagai opsi delimitasi.

Item lainnya, menurut Elihu, seperti yang bisa dilihat, merujuk secara tegas ke “korespondensi” dengan Profesor Vaughan Lowe tentang Perjanjian Laut Timor dan hal-hal batas. Selama tahun-tahun dimana catatan penyitaan menunjukkan bahwa dokumen-dokumen ini berhubungan  yaitu, mulai tahun 2010 dan seterusnya  Profesor Lowe telah menerima banyak makalah dari Collaery, termasuk salinan pendapat dan laporan teknis dan hukum terperinci tentang Laut Timor dan kemungkinan, memang kemungkinannya adalah Mr. Collaery mempertahankan salinan dokumen yang dia kirim ke Profesor Lowe. Barang yang lain lagi terdiri dari korespondensi antara kantor hukum Mr. Collaery dan PerdanaMenteri Timor-Leste.

(49)

Dengan demikian jelas, menurut Elihu, bahwa di antara materi yang diambil adalah banyak file yang berkaitan dengan hal-hal di mana kantor Collaery bekerja atas nama Pemerintah Timor-Leste. Semua arsip itu adalah milik Pemerintah Timor-Leste dan diadakan sedemikian rupa oleh Collaery selama tugasnya atas nama Pemerintah Timor-Leste. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan proposisi yang diterima umum bahwa klien  dalam hal ini Pemerintah  memiliki kepemilikan atas dokumen-dokumen yang telah ada, atau diterima, oleh pengacara yang bertindak sebagai agen atas nama klien, atau yang telah dipersiapkan untuk kepentingan klien dan dengan biaya klien, seperti, surat nasihat, memorandum dan brief untuk nasihat.

Kepemilikan oleh Timor-Leste dari materi-materi tersebut di atas yang ada dalam penguasaan Collaery lebih lanjut dibuktikan oleh Ketentuan Kontraktual di retainer Collaery yang menyatakan bahwa hak cipta atas semua materi yang disiapkan oleh Collaery atas nama Pemerintah Timor-Leste adalah milik Pemerintah. Ungkapan “hak cipta” juga mencakup kepemilikan fisik dari dokumen yang berisi materi hak cipta. Aturan umum tentang kepemilikan properti melalui agen tercermin dengan baik dalam

(50)

bagian-bagian tertentu dari penilaian House of Lords4. Elihu berpendapat bahwa dia hanya akan membaca beberapa bagian. Ekstrak yang lebih lengkap sudah diserhkan kepada Mahkamah dan dapat dilihat dalam tab 21 dari folder Mahkamah.

Pada case law di atas, Viscount Simonds mengemukakan: “Tidak diragukan lagi, jika seorang terdakwa, dengan nama apa pun dia dipanggil, dapat diidentifikasi dengan Negara Berdaulat, tugasnya mudah: dia tidak perlu membuktikan lagi untuk tetap melakukan tindakan terhadapnya. Tapi, segera setelah terbukti bahwa quoad subjek-masalah dari tindakan terdakwa adalah agen Negara Berdaulat, bahwa, dengan kata lain, kepentingan atau properti dari Negara akan menjadi subyek dari ajudikasi, hasilyang sama tercapai.”

Atas dasar itu, menurut Elihu, dalam Persidangan di Mahkamah pada saat itu, tentu saja, dia yakin MAhkamah akan menghargai bahwa ini adalah kasus tentang kekebalan Negara, tetapi itu tidak berbeda substansi mengenai masalah ini di hadapan Mahkamah pada saat itu, dari kasus waktu itu yang mengenai harta negara.

Lebih jauh, Elihu mengutip Lord Simonds:

“’Dua proposisi hukum internasional,’ kata Lord Atkin [dia, di sini, Lord Simonds mengutip dari Lord Atkin dalam apa yang disebut kasus Christina] (Compania

(51)

Naviera Vascongado v. SS ‘Cristina’): ‘[di] masukkan ke dalam hukum domestik Australia yang menurut Simonds mapan dan berada di luar perselisihan. Yang pertama adalah [masih dikutip dari Lord Atkin] bahwa pengadilan suatu negara tidak akan mengedepankan kedaulatan negara asing. Artinya, mereka tidak akan melalui proses mereka membuatnya bertentangan dengan kehendaknya pihak ke proses hukum, apakah proses persidangan melibatkan proses terhadap orangnya atau berusaha untuk memulihkan dari dia properti tertentu atau kerusakan. Dan yang kedua [sekali lagi mengutip dari Lord Atkin] adalah bahwa mereka tidak akan melalui proses mereka, apakah kedaulatan adalah pihak dalam proses atau tidak, merebut atau menahan properti yang miliknya, atau yang dia miliki atau kendalikan.”

Kebali mengutip Lord Atkin Elihu kemudian mengemukakan:

“Jika properti yang secara lokal berada di negara ini terbukti milik, atau memiliki, kedaulatan asing yang independen, atau agennya, pengadilan tidak dapat mendengarkan klaim yang berusaha mengganggu hakmilik untuk properti itu, atau untuk merampas kepemilikannya.” Selanjutnya, mengutip dalam pidatonya Elihu merujuk Pendapat Lord Reid yang mengutip dari keputusan Dewan Penasihat dalam kasus Juan Ysmael & Co. Inc. v. Pemerintah Indonesia [1954] 3 WLR 531.

Dikemukakan dalam kutipan dimaksud:

“Dalam pendapat Lordships mereka, pemerintah asing mengklaim bahwa kepentingannya dalam properti akan terpengaruh oleh keputusan dalam suatu tindakan yang

(52)

bukan pihak, tidak terikat sebagai syarat untuk mendapatkan kekebalan untuk membuktikan haknya atas bunga yang diklaim, tetapi harus menghasilkan bukti untuk memuaskan pengadilan bahwa klaimnya tidak hanya ilusi, atau didirikan padahakmilik yang secara nyata rusak. ”

Sehubungan dengan penahanan oleh Pemerintah Australia atas Dokumen Pemerintah Timor-Leste, Elihu mengemukakan bahwa dokumen rahasia ini telah berada di tangan Pemerintah Australia selama tujuh minggu. Terlepas dari upaya Jaksa Agung, tampaknya hampir tidak mungkin bahwa mereka belum diperiksa secara seksama oleh pejabat Australia. Saya ulangi, bahan-bahan ini relevan dengan negosiasi maritim di masa depan, yang terdiri dari saran nasihat, termasuk penilaian posisi Timor-Leste dan instruksi yang diberikan kepada pengacara dan ahli geologi dan maritim serta pendapat dan saran yang mereka miliki. disiapkan  jelas semua bersifat sangat rahasia.

Cara lain untuk mendekati pertanyaan kepemilikan adalah melalui hukum yang berkaitan denganhak istimewa profesional hukum. Untuk tujuan ini cukup untuk merujuk pada bagian dari bagian dalam Hukum Inggris Halsbury, Volume 66, berurusan dengan pertanyaan ini dalam bagian 1146. Elihu membaca tiga bagian pendek: Pertama:

(53)

“Komunikasi rahasia yang lewat antara pengacara dan profesional atau klien awamnya untuk tujuan meminta atau memberi nasihat hukum, seperti instruksi untuk nasihat dan nasihat, diistimewakan dari pengungkapan; pengadilan tidak akan, pada saat pihak ketiga, memaksa klien, dan tidak akan mengizinkan pengacara, untuk mengungkapkannya. Hak istimewa tidak terbatas pada komunikasi seperti yang dibuat dalam proses, atau dalam mengantisipasi, litigasi, tetapi komunikasi harus dilakukan dalam kapasitas profesional; dan komunikasi harus bersifat rahasia.” Kutipan kedua:

“Hak atas kerahasiaan komunikasi antara pengacara dan klien juga dilindungi oleh hukum Komunitas dan oleh Konvensi untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental.”

Kutipan ketiga:

“Di mana tidak ada pelepasan hak istimewa telah terjadi, sebuah perintah dapat diberikan untuk memaksa pihak lain ke tangan siapa dokumen istimewa telah datang untuk menyerahkan dokumen dan setiap salinan atau catatan dari itu dan tidak mengungkapkan atau memanfaatkan informasi apa pun terkandung dalam dokumen.”

Menurut Elihu, semua itu adalah posisi dalam hukum Inggris dan, menurut perkiraan Elihu, tidak diragukan juga dalam hukum Australia jika, yang tidak diterima, yang seharusnya relevan.

Berknaan dengan Pertahanan Australia “Keamanan Nasional”, Elihu mengemukakan bahwa dasar di mana pencarian ini dilakukan, dan alasan yang diberikan untuk penolakan untuk

(54)

mengembalikan materi, dikatakan oleh petugas ASIO untuk memperhatikan masalah “keamanan nasional”. Sejauh mana, jika sama sekali, “keamanan nasional” dapat menjadi pertimbangan yang relevan dalam keadaan kasus ini mungkin akan diperdebatkan oleh Australia. Bukan untuk Timor-Leste untuk mengantisipasi argumen Australia dan akan menunggu sampai mereka mendengarnya. Tetapi untuk mengantisipasi argumen-argumen itu, apa pun itu, harus diingat bahwa keamanan nasional adalah masalah dua sisi. Sejauh keamanan nasional memiliki relevansi dengan kasus Australia, yang ditolak, keamanan nasional juga relevan dengan posisi Timor-Leste. Penyitaan dokumen-dokumen yang diadakan oleh Collaery atas nama Pemerintah Timor-Leste tidak diragukan lagi merupakan pelanggaran terhadap keamanan nasional Timor-Leste.

Adalah tepat untuk mengingat sehubungan dengan referensi konstan oleh Australia untuk “keamanan nasional”, bahwa ada otoritas internasional yang persuasif yang memenuhi syarat sejauh mana faktor ini dapat diperhitungkan. Dalam Jaksa v. Blaškić, Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dihadapkan oleh permohonan bahwa dokumen yang dicari dari

(55)

pejabat Negara Kroasia dilindungi oleh “keamanan nasional”. Tribunal menjelaskan:

“Untuk memberikan Negara hak selimut untuk menahan, untuk tujuan keamanan, dokumen yang diperlukan untuk persidangan dapat membahayakan fungsi dari Pengadilan Internasional, dan mengalahkan objek dan tujuan dasarnya. Mengakui bahwa suatu Negara yang memegang dokumen-dokumen tersebut dapat secara sepihak menyatakan klaim keamanan nasional dan menolak menyerahkan dokumen-dokumen itu dapat menyebabkan pelemahan kriminal internasional proses:. . . The raison d’être dari Pengadilan Internasional akan dilemahkan. ”

Elihu mengemukakan bahwa kasus yang tengah berlangsung itu tidak menjadi bingung dengan Arbitrase. Adapun argumentasi Elihu adalah sebgai berikut. Terhadap latar belakang ini bahwa kasus ini telah dimulai di Pengadilan ini. Penting bahwa kedua kasus tidak boleh bingung. Arbitrase terkait dengan pendapat Timor-Leste bahwa perilaku Australia selama negosiasi untuk Perjanjian CMATS telah membuat perjanjian itu tidak berlaku. Ini tentu akan membawa temuan bahwa pasal lamanya

(56)

Perjanjian Laut Timor  perjanjian nanti  tetap tidak berubah. Konsekuensi inilah yang diperdebatkan antara kedua Pihak. Kasus saat ini sangat berbeda. Ini adalah salah satu di mana Timor-Leste mengeluh tentang penyitaan propertinya dan sedang mencari pemulihan dokumen-dokumen yang diadakan atas nama Collaery. Alasan untuk permintaan saat ini untuk tindakan sementara adalah bahwa Timor-Leste keberatan atas waktu yang diberikan untuk mempelajari dokumen oleh pihak berwenang Australia dengan konsekuensi merugikan yang tidak terduga dan bahaya yang tidak dapat diperbaiki. Untuk itu, Timor-Leste mencari pengembalian segera bahan-bahan dan salinan apa pun yang mungkin dibuat oleh Australia dari mereka, atau bahwa mereka semua harus disegel segera dan dibuat tidak dapat diakses oleh pihak berwenang Australia, termasuk tentu saja mereka yang peduli dengan pelaksanaan Arbitrase yang tertunda. Ujung-ujung ini dapat dilanjutkan baik dengan segera mengembalikan dokumen ke kantor Collaery atau dengan menyetorkannya untuk disimpan dengan aman di tempat lain sebagaimana mungkin ditentukan oleh Pengadilan.

(57)

Berkitan dengan konsekuensi dari Penyitaan, Elihu mengemukakan bahwa konsekuensi dari penyitaan awal tidak diragukan lagi bahwa Australia telah menempatkan dirinya dalam posisi yang cukup menguntungkan, baik dalam Arbitrasi yang tertunda maupun dalam berbagai macam hal yang terlibat dalam hubungan antara Timor-Leste dan Australia. Terkemuka di antara ini di masa depan akan, seperti yang telah saya sebutkan, menjadi negosiasi yang harus terjadi antara Timor-Leste dan Australia mengenai pembatasan maritim dan akses ke sumber daya maritim. Perlu ditekankan bahwa proses ini hanya berdampak secara kebetulan pada Arbitrase yang sedang berlangsung tentang dampaknya pada Pasal 23 Perjanjian Laut Timor tentang ketentuan Perjanjian CMATS.

Mereka memperluas dalam signifikansi mereka lebih jauh ke masa depan. Ini benar-benar rendah budi bahwa satu pihak untuk negosiasi atau litigasi harus dapat menempatkan dirinya dengan saranaini dalam posisi keunggulan seperti itu di atas yang lain. Apa yang telah terjadi melanggar prinsip-prinsip dasar yang mengatur perilaku negosiasi dan litigasi. Ini benar-benar menghancurkan kesetaraan dan itikad baik yang harus berlaku di

(58)

antara Para Pihak. Dan saya berani berharap bahwa Pengadilan akan mengatakan demikian.

Ini menurut Elihu menyimpulkan apa yang harus dia katakan tentang latar belakang permintaan saat ini. Dia saat itu harus beralih ke aspek substantif dari permintaan ini untuk langkah-langkah sementara perlindungan. Beberapa aspek dari apa yang sudah dikatakannya juga akan diuraikan oleh Sir Michael Wood. Dia belum terlalu jauh melangkah tetapi dia akan sangat berterima kasih jika Mahkamah memberi dia waktu dua menit untuk menenangkan diri. Terima kasih.

Mengingat permintaan Elihu tersebut, sidang ditangguhkan agar Elihu duduk selama lima menit. Pengadilan akan diundur. Pengadilan ditunda dari 11.20 pagi hingga 11.30 pagi. Sidang kemudian dilanjutkan dan Presiden Mahkamah memberikan kesempatan ke Sir Elihu untuk melanjutkan Petisinya. Sembari mengucapkan terima kasih kepada Presiden Mahkamah, Sir Elihu Lauterpacht kemudia melantkan Pendapatnya dan mengemukakan apa yang dia sebut sebagai aspek substantif dari permintaan tersebut. Beberapa aspek dari apa yang akan dia katakan juga, menurutnya diuraikan oleh Sir Michael Wood.

Referensi

Dokumen terkait

Jaringan Irigasi fatukanutu terdapat 3 sub bagian yang difungsikan dalam pengelolahan lahan yaitu BT 1 dengan memproleh nilai rata-rata 3 aspek sebesar 2.93

Oleh karena itu, untuk dapat mengeksplorasi materi yang penulis tuangkan dalam buku modul tersebut, maka dibutuhkan berbagai masukan dari berbagai pihak sehingga buku modul

Tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan atau hubungan sebab akibat dengan cara membandingkan hasil kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dengan

Seiring dengan pertumbuhan teknologi maka semakin meningkat pula kebutuhan akan penggunaan polyol terutama dalam industri polimer, namun pada tahun terakhir ini jumlah

Sistem yang akan dibangun dalam penelitian ini adalah sistem yang dapat diakses melalui jaringan internet berbasis web , dimana sistem e-monitoring kegiatan

 Posisi menu sebaiknya diletakkan pada lokasi yang sama, sehingga user tidak selalu mencari-cari

Kebijakan pendanaan dalam menentukan struktur modal bertujuan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan, karena nilai perusahaan merupakan cerminan dari kinerja

Hasil analisis data tersebut yaitu Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki persentase pencapaian anggaran pada tahun 2010 dan 2011 sebesar 97% dan 88% yang