• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara sedang berkembang. Banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. negara-negara sedang berkembang. Banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara khususnya negara-negara sedang berkembang. Banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara, baik dengan usaha sendiri maupun bantuan dari negara-negara lainnya ataupun dari Bank Dunia untuk mengatasi kemiskinannya. Pembangunan diberbagai sektor dilakukan oleh berbagai negara untuk mengatasi kemiskinan. Tujuan utama dari pembangunan selain pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah penghapusan atau pengurangan kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi yang diimbangi pemerataan pendapatan secara konsisten akan mendorong penurunan angka kemiskinan dalam jangka panjang dan menciptakan peningkatan kesejahteraan berkelanjutan (Adam, 2004).

Di sisi lain, adanya kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Terhambatnya laju pertumbuhan ekonomi terjadi karena akumulasi kapital sebagai dampak positif dari ketidakmerataan pendapatan akan diimbangai dengan rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif dari kemiskinan (Galor, 2004). Kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga bisa menyebabkan ketidakstabilan sosial, ketidakpastian dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Jika hal tersebut terus berlanjut akan berdampak pada kondisi ekonomi makro dan keberlangsungan pemerintahan yang ada.

(4)

Di Indonesia, pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dilakukan untuk memperkuat struktur perekonomian dengan menjadikan sektor industri sebagai motor penggerak, dan didukung oleh sektor pertanian dan pertambangan yang efisien dan juga kegiatan jasa yang efektif. Pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya guna meningkatkan pendapatan perkapita dan menurunkan ketimpangan pendapatan.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia dengan jumlah penduduk pada tahun 2017 sebanyak 264 juta orang. Salah satu kekuatan penting dari komposisi demografi Indonesia adalah memiliki kelimpahan penduduk dengan usia produktif kerja. Rata- rata usia penduduk Indonesia adalah 28,6 tahun. Suatu potensi yang menjanjikan jika kelimpahan penduduk diikuti dengan akses untuk mendapatkan pendidikan yang memadai dan cukup banyak kesempatan kerja yang ditawarkan.

Jika dilihat dari tingkat kemiskinan di Indonesia, memang menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin dari 2015 - 2018. Akan tetapi tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia 28,59 juta oang (11,22%), Maret 2016 menjadi 28,01 juta orang (10,86%), kemudian menurun lagi pada Maret 2017 menjadi sebesar 27,77 juta orang (10,64%), terakhir Maret 2018 tercatat 25,95 juta orang (9,82%). Data diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pendekatan ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari pengeluaran. Secara nasional, pada tahun 2018, rumah dikatakan miskin jika pendapatan di bawah Rp 1,9 juta per

(5)

bulan per rumah tangga. Seseorang dikatakan berada pada garis kemiskinan jika pendapatan per kapita Rp 387.160 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan menurut Bank Dunia jika pengeluaran per hari USD 1,9 atau setara Rp 775.200 per bulan (kurs Rp 13.600/$). Jadi kalau diukur dengan versi Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia bisa lebih dari dua kali lipat dari versi BPS.

Terlepas dari perbedaan pengukuran antara BPS dengan Bank Dunia, kemiskinan merupakan masalah penting yang harus segera diatasi oleh pemerintah Indonesia. Kemiskinan bukan hanya menjadi perhatian pemerintah suatu negara tetapi juga menjadi perhatian dunia. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dari masyarakat. Kemiskinan bukan sekedar rendahnya tingkat pendapatan atau rendahnya konsumsi seseorang, akan tetapi, kemiskinan memiliki arti yang luas karena berkaitan dengan ketidakmampuan untuk mencapai aspek di luar pendapatan.

Penyebab kemiskinan menurut Ginanjar (1996) adalah rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi keterisolasian. Menurut World Bank (2000) ada lima faktor yang mempengaruhi kemiskinan yaitu pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap kesehatan dan infrastruktur dan lokasi geografis. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan yang membentuk lingkaran kemiskinan. Rumah tangga miskin pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di pedesaan, karena pendidikan rendah maka produktivitas rendah sehingga upah yang diperoleh tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Akibatnya rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga miskin pada generasi berikutnya. Jadi penyebab kemiskina bukan hanya satu faktor tetapi multi faktor.

(6)

Hasil penelitian dari Ravalion (2001) di 50 negara sedang berkembang pada tahun 1990-an, menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara pertumbuhan kemiskinan dan pertumbuhan pendapatan rata-rata. Penelitian dengan hasil yang sama ditunjukkan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) yaitu jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) juga dipengaruhi oleh populasi penduduk dan tingkat pendidikan. Akan tetapi hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Dagderiven (2002), pertumbuhan ekonomi saja tidak selalu merupakan cara yang terbaik untuk mengurangi kemiskinan. Kombinasi pertumbuhan dan redistribusi pendapatan merupakan cara paling efektif untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara dan tidak semua kebijakan redistribusi memiliki tingkat efektivitas yang sama bagi setiap negara berkembang.

Pengeluaran pemerintah berhubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah semakin besar peran pemerintah daaerah dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan terutama untuk penduduk miskin (Suparno, 2010). Sebaliknya hasil dari penelitian Mulyaningsih (2008) menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor publik tidak berpengaruh terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan namun pembangunan manusia signifikan terhadap kemiskinan.

Penelitian Sepulveda dan Vasques (2010) menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki dampak mengurangi kemiskinan sepanjang pengeluaran pemerintah untuk transfer tidak lebih dari sepertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah. Hasil tersebut didukung oleh Usman (2006).

Di masa desentralisasi, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengelola keuangan daerah untuk membiayai berbagai program pembangunan khususnya pada sektor

(7)

publik. Di samping itu, pemerintah daerah seharusnya juga mengoptimalkan potensi daerah yang dimiliki sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bisa terwujud. Pertumbuhan ekonomi daerah akan menurunkan tingkat kemiskinan sehingga kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.

B. Perumusan Masalah

Pada penjelasan sebelumnya menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan, di mana antar faktor tersebut saling berkaitan seperti lingkaran kemiskinan. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengelola keuangan daerah maupun meningkatkan pertumbuhan daerah, yang seharusnya memiliki juga kemampuan untuk memperkecil tingkat kemiskinan daerah. Sementara itu, desentralisasi di Indonesia sudah berjalan lebih dari 17 tahun dan kemiskinan masih relatif tinggi. Pertanyaannya adalah: Faktor apa saja yang sebenarnya mempengaruhi kemiskinan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian adalah menguji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia.

C.2. Manfaat Penelitian

1. Ilmu Pengetahuan

a. Mengembangkan model kemiskinan

b. Memperkaya kajian tentang kemiskinan daerah, khususnya yang menggunakan data pooling.

(8)

Berdasarkan hasil kajian tentang kemiskinan diharapkan nantinya bisa teridentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia sehingga nantinya bisa menghasilkan rumusan kebijakan yang bisa menurunkan kemiskinan.

BAB II

TELAAH PUSTAKA

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi, bukan hanya dilihat dari dimensi ekonomi tetapi juga bisa dilihat dari dimensi sosial maupun budaya masyarakat. Bank Dunia (2002) membagi kemiskinan dalam 4 dimensi, tidak adanya kesempatan, rendahnya kemampuan, rendahnya tingkat keamanan, dan rendahnya kapasitas. Kemiskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan hak sosial, hak ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan keterpurukan dan ketidakberdayaan.

Chambers (1987) menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu kemelaratan dan ketidakmampuan masyarakat yang diukur dalam suatu standar hidup tertentu yang mengacu pada konsep miskin relatif yang melakukan analisis perbandingan di negara-negara miskin maupun kaya, sedangkan kemiskinan absolut kemiskinan adalah wabah kelaparan, ketidakmampuan untuk membesarkan atau mendidik anak dan lain-lain. Usman (2003) mendefiniasikan kemiskinan adalah kondisi kehilangan terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan serta hidupnya serba kekurangan.

(9)

Menurut Sumodingrat (1999), masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi semata, tetapi bersifat multidimensional yang dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non ekonomi (sosial, budaya dan politik). Oleh karena itu, kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi (material well-being) tetapi berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well-being).

Berdasar berbagai konsep kemiskinan menunjukkan bahwa kemiskinan pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia yang tidak terbatas hanya pada persoalan ekonomi semata tetapi juga memperhatiakan pendekatan lain yaitu pendekatan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya sosial.

A. Teori Kemiskinan

Pada dasarnya kemiskinan di bagi 4 bentuk:

a. Kemiskinan absolut, yaitu kondisi seseorang yang pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar (sandang, pangan, papan dan pendidikan).

b. Kemiskinan relatif, yaitu terjadinya kemiskinan karena adanya kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. c. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang terjadi karena

faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meski ada bantuan dari luar.

d. Kemiskinan struktural, merupakan situasi miskin yang disebabkan sedikitnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak membebaskan kemiskinan tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

(10)

Menurut Jhingan (2012) ada 3 ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab sekaligus akibat yang saling terkait dengan kemiskinan. Pertama, prasarana pendidikan yang tidak memadai sehinggamenyebabkan tingginya penduduk buta huruf, tidak memiliki ketrampilan dan keahlian.Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi yang buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif. Ketiga, penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman.

A.1. Teori Lingkaran Kemiskinan (Vicous Circle of Poverty).

Nurkse mengemukakan teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty). Penyebab kemiskinan menurut Nurkse dalam Kuncoro (2000) adalah:

1) Secara makro, kemiskinan terjadi karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya terbatas dan berkualitas rendah

2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia yang rendah sehingga produktifitas rendah dan upah juga rendah.

3) Kemiskina terjadi karena perbedaan akses dan modal

Pada hakekatnya Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan tiadanya pembangunan di masa lalu tetapi juga hambatan pembangunan di masa datang. Jadi, suatu negara miskin karena ia merupakan negara miskin. Inti dari lingkaran kemiskinan adalah keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap tingkat pembentukan modal yang tinggi.

(11)

Penyebab kemiskinan menurut Cox (2004):

1. Kemiskinan akibat globalisasi. Adanya globalisasi melahirkan negara pemenang dan negara kalah. Umumnya, negara maju sebagai pemenang dan negara berkembang sebagai negara yang kalah karena dalam persaingan sehingga terpinggirkan. Akibatnya jumlah orang miskkemiskinan berkembang jauh lebih besar dibanding di negara-negara maju.

2. Kemiskinan berkaitan dengan pembangunan. Pola pembangunan yang diterapkan melahirkan beberapa bentuk kemiskinan, seperti kemiskinan pedesaan yaitu kemiskinan yang terjadi karrena proses pembangunan yang meminggirkan wilayah pedesaan; kemiskinan perkotaan yaitu kemiskinan yang disebabkan hakekat dan kecepatan pertumbuhan ekonomi, dimana tidak semua kelompok mendapatkan keuntungan.

3. Kemiskinan sosial. Kondisi sosial masyarakat yang tidak menguntungkan beberapa kelompok masyarakat, misalnya kemiskinan perempuan, anak-anak dan minoritas yang terjadi akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan kelompok tersebut (bias gender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi).

4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan karan faktor-faktor eksternal (konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumah penduduk). Dimensi kemiskinan dari Cox jauh lebih luas dibandingkan para ahli sebelumnya karena memasukkan unsur globalisasi.

A.2. Mengukur Kemiskinan

Kemiskinan merupakan tanda dari tidak tercapainya kesejahteraan individu atau rumah tangga. Ada beberapa pendekatan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (Zastrow, 2000):

1. Pendekatan Absolut yaitu dengan melihat batas minimum yang harus dimiliki untuk memenuhi kebutuhan minimum suatu keluarga. Dikatakan miskin jika tidak mempunyai penghasilan atau pendapatan tidak mencapai batas minimum untuk memenuhi kebutuhan.

(12)

Dari definisi ini bisa diketahui jumlah penduduk miskin. Hanya saja ada kelemahan pada pendekatan ini karena tingkat kebutuhan masing-masing rumah tangga berbeda. Meski demikian, pendekatan ini masih banyak yang menggunakannya.

2. Pendekatan Relatif. Membandingkan antara pendapatan seseorang dengan rata-rata pendapatan populasi (lebih melihat pada ketidakseimbangan pendapatan). Selama terjadi ketidakseimbangan maka, kemiskinan tetap ada.

3. Pendekatan kebutuhan dasar (Towsend, 2000). Pendekatan ini menekankan pada dua unsur yaitu pertama, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan subsisten (pangan, sandang, papan dan barang-barang rumah tangga tertentu. Kedua, pendapatan juga tidak dapat memenuhi kebutuhan jasa-jasa penting lainnya (air bersih, sanitasi, transportasi umum, pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), untuk mengukur kemiskinan digunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan dipisahkan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Penduduk dikatakan miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. GKM merupakan pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per hari dan GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang , pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan secara global diukur dengan standar pengukuran World Bankyang membuat garis kemiskinan absolut US$1 dan purchasing power parity (PPP) US$ 2 per hari.

(13)

Indikator lain untuk mengukur kemiskinan dikemukakan oleh Bappenas (Harniati, 2010):

1. Keterbatasan pangan yaitu melihat kemiskinan dari kecukupan pangan dan mutu pangan yang dikonsumsi. Indikatornya adalah stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori, dan buruknya gizi bayi, anak balita dan ibu.

2. Keterbatasan akses kesehatan, yaitu melihat dari keterbatasan akses kesehatan dan mutu pelayanan yang rendah.

3. Keterbatasan akses pendidikan, yaitu diukur dari mutu pendidikan yang tersedia, mahalnya biaya pendidikan, terbatasnya fasilitas pendidikan, rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan.

4. Keterbatasan akses pada pekerjaan yaitu keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah, lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.

5. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi: kesulitan memperoleh rumah yang sehat dan layak huni dan lingkungan pemukiman yang layak dan sehat.

6. Keterbatas terhadap air bersih. Terjadi karena sulitnya memperoleh air bersih, terbatasnya penguasaan sumber air dan rendahnya mutu sumber air.

7. Keterbatasan akses terhadap tanah. Hal ini melihat dari struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, ketidakpastian kepemilikan dan penguasaan tanah.

8. Keterbatasan akses terhadap sumber daya alam. Indikatornya adalah buruknya konsisi lingkungan hidup, rendahnya sumber saya alam, Hal ini terkait dengan penghasilan yang bersumber dari sumber daya alam.

(14)

9. Tidak adanya jaminan rasa aman. Hal ini berkaitan dengan tidak terjaminnya keamanan dalam menjalani kehidupan sosial dan ekonomi.

10. Keterbatasan akses untuk partisipasi yaitu diukur dari rendahnya keterlibatan dalam pengambilan kebijakan.

11. Besarnya beban kependudukan. Berkaitan dengan besarnya tanggunagan keluarga dan besarnya tekanan hidup.

B. Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan

Adanya pembangunan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peran pemerintah yang dimanifestasikan dalam bentuk pengeluaran pemerintah. Model yang dikembangkan Rostow dan Musgrave menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, diperlukan pengeluaran yang besar untuk investasi pemerintah, seperti untuk pembangunan infrastruktur. Pada tahap menengah, investasi pemerintah tetap dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, tetapi pada tahap ini peran investasi swasta semakin besar. Semakin besarnya peran swasta sering menimbulkan kegagalan pasar sehingga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Pada tahap lanjut, pengeluaran pemerintah lebih banyak untuk aktivitas sosial seperti program kesehatan hari tua, pelayanan kesehatan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian, bertambahnya pengeluaran pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan daerah.

(15)

Theodore Schultz (1960) tentang investment in human capital, menyatakan tentang pentingnya modal manusia dalam pembangunan. Baginya, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi dalam pembangunan. Manusia diposisikan sebagai fokus pembanguan dan memberikan kontribusio langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Investasi modal manusia bisa terjadi karena peningkatan keahlian/ketrampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja .

Ada dua pendekatan dalam modal manusia yaitu: pendekatan Nelson-Phelps (1966) dan Pendekatan Lucas (1988). Pendekatan Nelson-Phelps menyimpulkan bahwa modal manusia merupakan faktor sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara lebih disebabkan oleh perbedaan stock human capital. Pendekatan tersebut didukung oleh Aghion dan Howitt (1966) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang lebih terdidik dan ahli akan lebih memiliki kemampuan untuk mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Meier dan Rauch dalam Mukhlis, 2010). Lucas (1988) lebih menekankan pada akumulasi human capital. Ada dua faktor penyebab pembentukan modal manusia di suatu negara yaitu pendidikan dan learning by doing (Mukhlis, 2010).

Menigkatnya investasi modal manusia berupa pendidikan dan kesehatan, maka akan membantu masyarakat keluar dai jebakan lingkaran setan kemiskinan. Masyarakat yang berpendidikan akan memberi manfaat yang banyak bagi lingkungannya, seperti menciptakan berbagai inovasi yang berguna bagi masyarkat di sekitarnya (Todaro, 2003). Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan kemiskinan pada masyarakat.

(16)

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), definisi dari PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau jumlah seluruh barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Besarnya PDRB suatu wilayah tergantung dari potensi sumber daya alam dan faktor produksi yang dimiliki masing-masing daerah. Oleh karena PDRB antar wilayah bisa bervariasi.

Laju pertumbuhan ekonomi daerah dihitung berdasarkan perubahan dari PDRB. Konsep pembangunan ekonomi, bukan hanya membicarakan tentang pertumbuhan ekonomi tetapi juga menyangkut pemeratan pendapatan. Distribusi pendapatan harus merata ke seluruh lapisan masyarakat. Menurunnya PDRB akan menurunnya kemampuan konsumsi masyarakat.

Kemiskinan sering dikaitkan dengan kesenjangan atau ketimpangan pendapatan. Menurut Simon Kuznet, kurva hubungan antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita berbentuk U terbalik. Demikian pula hubungan antara pertumbuhan (PDRB) dengan kemiskinan.

D. Rasio Gini dan Kemiskinan

Rasio gini merupakan alat untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan, yang angkanya berkisar antara nol dan satu. Rasio gini dengan nilai nol berarti distribusi merata sempurna dan sebaliknya rasio gini sama dengan satu berarti ketimpangan distribusi pendapatan sempurna. Ketimpangan dalam distribusi pendapatan bisa menimbulkan kemiskinan relatif yang menyebabkan adanya kecemburuan sosial, akibat selanjutnya bisa mengganggu stabilitas nasional, seperti yang pernah dialami Indonesia di masa Presiden Soeharto. Oleh karena itu, pemerintah yang sadar betul tentang dampak negatif dari ketimpangan pendapatan akan berusaha melakukan berbagai kebijakan untuk menekan ketimpangan pendapatan yang terjadi.

(17)

Hubungan antara kemiskinan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya ditunjukkan oleh tabel 1.

Tabel 1

Hubungan Antara Kemiskinan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya

No. Peneliti (Tahun) Sampel Metodologi

Penelitian

Hasil Penelitian 1 Ravallion (2001): How to

Imprtant to India’s Pooris the sectoral compotition of growth?

50 negara sedang berkembang thun 1990-an

Regresi OLS Pertumbuhan ekonomi menurunkan tingkat kemiskinan

2 Dagderiven (2002):

Redistribution does matter: Growth and redistribution for Poverty Reduction.

50 negara sedang berkembang tahun 1998-1990

Regresi OLS Pertumbuhan ekonomi tidak selalu merupakan cara terbaik untuk menurunkan

kemiskinan. Kombinasi pertumbuhan ekonomi dan redistribusi

pendapatan merupakan cara efektif menurunkan kemiskinan di banyak negara

3 Usman (2006): Dampak desentralisasi Fiskal Terhadap Distribusi Pendapatan Dan Tingkat Kemiskinan

26 Propinsi Di Indonesia Tahun 1995-2003

Panel Desentralisasi fiskal menurunkan tingkat kemiskinan dalam jangka pendek.

Pengeluaran pemerintah sektor pertanian efektif menciptakan pemerataan pendapatan dan menurunkan kemiskinan 4 Hasibuan (2006): Variabel Utama Yang Mempengaruhi Kemiskinan Di Propinsi Sumatera Utara

Sumatera Utara Regresi OLS Pengeluaran pemerintah menurunkan jumlah penduduk miskin

5 Nanga (2006): Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan Di Indonesia, Suatu Analisis Kebijakan

25 Provinsi 1999-2002 Model simultan Transfer fiskal mempuburuk ketimpangan dan kemiskinan 6 Hermani (2007): Dampak Desentralisasi Fiskal Brebes dan Tegal

Panel data Desentralisasi Fiskal menurunkan

(18)

Di Kabupaten Brebes Dan Kota Tegal 7 Mulyaningsih (2008): Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Di Sektor Publik Terhadap Peningkatan Pembangunan Manusia dan Kemiskinan

Seluruh Propinsi Di Indonesia

Panel data Pengeluaran Pemerintah tidak berpengaruh terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan tetapi pembangunan manusia berpengaruh terhadap kemiskinan

8 Sepulveda Dan Vasques (2010): The Consequences of Fiscal Decentralisation on Poverty And Income Equality Beberapa negara pada level yang berbeda-beda 1971-2000

Panel data Kebijakan desentralisasi fiskal signifikan menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan 9 Rindayanti (2000): Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap

kemiskinan dan Ketahanan Pangan Di Wilayah

Propinsi Jawa Barat

13 Kabupaten di Jawa Barat 1995-2005 Persamaan Simultan Desentralisasi Fiskal menurunkan jumlah penduduk miskin dan meningkatkan

ketahanan pangan 10 Dicky Wahyudi dan Tri

Wahy Rejekiningsih (2013): Analisis Kemiskinan Di Jawa Tengah 35 Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah 2007-2010

Panel data Kesehatan dan

pendidikan signifikan negatif; pengangguran signifikan positif dan pertumbuhan tidak signifikan

11 Adit Agus Prastyo (2010): Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (35 Kab/Kota Di Jawa Tengah 2003-2007)

35

Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah 2003-2007

Panel data Pertumbuhan, upah minimum, pendidikan dan pengangguran signifikan terhadap tingkat kemiskinan

(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data berasal dari BPS (Badan Pusat Statistik) berbagai terbitan. Data yang digunakan adalah data persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (HCI- Head Count Index-P0), PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), investasi modal manusia dari sisi pendidikan yaitu dengan menggunakan pendekatan APMSMA (Angka Partisipasi Murni Sekolah menengah atas dan sederajat), investasi modal manusia dari sisi kesehatan dengan menggunakan pendekatan sanitasi (SANI) dan rasio gini (GINI). Data yang diambil adalah data pooling dengan periode waktu 2015-2018 untuk 34 provinsi di Indonesia.

B. Model Penelitian

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(20)

Dimana:

HCI : Head Count Index

PDRB : Poduct Domestic Regional Bruto

SANI : Pesentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan (40% bawah).

APMSMA: Angka Partisipasi Murni SMA dan sederajat GINI : Koefisien Gini

β0 : Konstanta β1-4 : Koefisien

ε : Disturbance error

C. Definisi Operasional Variabel

Dari sejumlah variabel yang digunakan dalam penelitian ini, maka bisa diuraikan definisi operasionalnya sebagai berikut:

1. HCI adalah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (indeks). 2. PDRB adalah pendapatan per kapita riil daerah (Ribu rupiah)

3. SANI adalah persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan (40% bawah)

4. APMSMA adalah rasio antara banyaknya murid tingkat SMA dan sederjat dengan banyaknya penduduk usia SMA dan sederajat dikalikan 100 persen.

5. Gini adalah rasio atau koefisien gini merupakan alat untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan.

6. DRB: Jumlah pendapatan yang diperoleh daerah (milyar rupiah)

(21)

Dalam penelitian ini digunakan data panel. Data panel (pooled data) adalah sebuah set data yang berisi data sampel individu yang menggabungkan antara data cross section dan time series. Dengan mengakomodasi informasi baik yang terkait dengan variabel-veriabel cross section maupun time series, data panel secara substansial mampu menurunkan masalah omitted-variables; model yang mengabaikan variabel yang relevan. Pada analisis cross-section tidak memperhitungkan efek perkembangan teknologi yang terjadi dalam satu waktu estimasi sehingga estimasi efek kenaikan modal fisik pada laba bisa jadi tidak akurat. Dengan data panel, adanya data time series bisa mengakomodir efek perbaikan teknologi pada laba perusahaan, sehingga masalah omitted-variable dapat dihilangkan.

Data panel berguna juga untuk alasan teknis-pragmatis, yaitu terkait dengan ketersediaan data. Dengan menggabungkan data time series dan cross section, maka akan mampu menambah jumlah observasi secara signifikan tanpa melakukan treatment apapun terhadap data. Oleh karenanya, data panel mungkin memberikan penyelesaian yang memuaskan.

Dalam analisis model data panel dikenal empat macam pendekatan estimasi yaitu: 1. Pendekatan Kuadrat terkecil (Pooled Least Square/PLS)

Pada pendekatan ini, estimasi model persamaan yang paling sederhana adalah mengabaikan dimensi cross-section dan time series dari data panel dan mengestimasi data dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan dalam data yang berbentuk pool. Jadi, misalnya ada 33 data cross section dan 10 tahun periode waktunya, maka data tersebut disusun secara berurutan, sehinggga didapatkan 330 observasi untuk setiap variabel dalam model. Model PLS mengasumsikan bahwa nilai intercept adalah sama untuk setiap subyek. Model juga mengasumsikan bahwa slope koefisien juga identik untuk semua subyek. Dari sini

(22)

nampak bahwa asumsi yang dipakai sangat ketat, sehingga walaupun metode PLS menawarkan kemudahan, model mungkin mendistorsi gambaran yang sesungguhnya dari hubungan antara Y dan X antar subyek.

2. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Model

Kesulitan terbesar dari pendekatan PLS adalah asumsi yang sangat ketat bahwa intercept dan slope dari persamaan regresi dianggap konstan baik antar subyek maupun antar waktu.

Sebuah cara untuk menunjukkan kekhasan unit cross section atau time series adalah memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk membolehkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik cross section maupun time-series.

Pendekatan yang paling sering terjadi adalah intercept bervariasi antar unit cross-section namun tetap mengasumsikan bahwa slope parameter adalah konstan antar unit cross section. Pendekatan ini dikenal dengan model efek tetap (fixed effect model). Pendekatan ini bisa ditulis dalam persamaan:

Yit= αi+ β1X1it+ β2X2it+ eit ...(1) 3. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model/FEM))

Model LSDV digunakan jika sedikit unit cross section. Tetapi jika cross section besar maka penggunaan LSDV mengurangi degrees of freedom yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.

Istilah fixed effect datang dari kenyataan bahwa meskipun intercept mungkin berbeda antar individu, namun intercept setiap individu tersebut tidak bervariasi sepanjang waktu (time invariant). Jika intercept ditulis sebagai αit, berarti intercept setiap perusahaan adalah time variant. Selain itu FEM juga mengasumsikan bahwa koefisien dari regresor tidak bervariasi baik antar waktu maupun antar individu.

(23)

Ide dasar FEM dimulai dari persamaan (1): Yit= αi+ β1X1it+ β2X2it+ eit

Nilai intercept untuk masing-masing unit cross section dapat ditulis: α = α + µi i = 1, 2, ..., N

dimana µiadalah unobservable individual effect. Persamaan (1) bisa juga ditulis: Yit= α + β1X1it+ β2X2it+ µi + eit ...(3) Dalam FEM, µidiasumsikan berkorelasi dengan regressor X atau µi tidak random. 4. Pendekatan Efek Acak ( Random Effect Model/ REM)

Perbedaan mendasar FEM dan REM adalah mengenai asumsi unobservable individual effect (µi). Jika di dalam FEM, µi diasumsikan berkorelasi dengan regresor (X), maka dalam REM, µi diasumsikan tidak berkorelasi dengan regresor X atau dengan kata lain µi diasumsikan bersifat random. Inilah ide dasar dari model REM.

Ide dasar REM dimulai dari persamaan berikut:

Yit= α + β1X1it+ β2X2it+ wit ...(4)

Error term sekarang adalah wityang terdiri dari uidan eit. uiadalah cross section (random) error componen, sedangkan eitadalah combined component, sehingga REM sering disebut error component model (ECM). Persamaan (3) bisa dimodifikasi menjadi:

Yit= α + β1X1it+ β2X2it+ ui +eit... (5)

Perbedaan mendasar antara persamaan (5) dan (3) adalah asumsi unobservable individual effects (ui). REM menghasilkan estimator-estimator hasil estimasi yang lebih efisien (standar error yang lebih kecil atau t-stat yang lebih besar) dari pada FEM.

E. Pemilihan Metode Estimasi Dalam Panel Data

(24)

Untuk menentukan model mana yang lebih baik antara PLS dan FEM maka digunakan redundant fixed effect test, jika signifikan yaitu probabilitas lebih kecil dari level of significance ( = 5%), maka lebih baik menolak Ho dan menerima Ha yaitu model terbaik adalah FEM tetapi bila sebaliknya (tidak signifikan) maka lebih baik menggunakan PLS.

Secara formal, jika PLS dibandingkan dengan FEM: pada PLS menerapkan intercept yang sama untuk seluruh individu. Terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkannya setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda.

E.2. FEM dan REM

Untuk menentukan model mana yang lebih baik dalam melakukan estimasi antara FEM dan REM adalah pertama, terpulang pada asumsi yang dibuat tentang korelasi antara cross section error component µi dan regressor X. Jika diasumsikan bahwa µi dan regresor X adalah uncorrelated maka, REM lebih tepat digunakan dalam model. Akan tetapi jika diasumsikan bahwa µi dan regresor X adalah correlated, maka FEM lebih tepat. Untuk itu digunakan correlated random effects –Hausman test. Jika hasilnya signifikan, maka ada correlated artinya lebih baik menggunakan model FEM dan sebaliknya jika tidak signifikan maka lebih baik menggunakan REM.

Kedua, jawaban terpulang pada sampel dari penelitian. REM mengasumsikan bahwa µi diambil secara random dari populasi yang jauh lebih besar. Seringkali hal ini sulit dipenuhi. Misal, jika kita meneliti tingkat kriminalitas antar 50 negara bagian di AS, maka asumsi bahwa 50 negara bagian adalah sampel jelas tidak terpenuhi. Dalam kasus ini, berarti REM tidak tepat untuk digunakan sebagai model.

(25)

Selain kedua prinsip di atas, ada beberpa pertimbangan teknis yang dapat dijadikan panduan untuk memilih antara fixes effect atau random effect yaitu:

a. Bila T (jumlah unit time series) besar sedangkan N( jumlah unit cross section) kecil, maka hasil FEM dan REM tidak jauh beda.

b. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan dapat berbeda signifikan. Bial kita meyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian diambil secara acak maka REM harus digunakan. Tetapi bila kita meyakini bahwa unit cross section yang dipilih tidak diambil secara acak maka harus menggunakan FEM.

c. Bila cross-section error component (ɛi) berkorelasi dengan variable bebas X maka parameter yang diperoleh dengan REM akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan Fem tidak bias.

d. Bila N besar dan T kecil dan apabila asumsi yang mendasari REM dapat terpenuhi, maka REM lebih efisien dibanding FEM.

(26)

BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data pooling, dengan jumlah data cross section sebanyak 34 provinsi dan jumlah data time series sebanyak empat tahun (2015-2018). Adapun 34 provinsi tersebut meliputi provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulaweai Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

Ada lima variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel terikat adalah kemiskinan, sedangkan variabel bebas terdiri dari pendapatan per kapita daerah (PDRB,), Sanitasi yang layak (SANI), angka partisipasi murni SMA dan sederajat (APMSMA) dan rasio gini (GINI). Data diolah menggunakan Eviews 9. Sumber data berasal dari BPS (Badan Pusat Statistik) berbagai terbitan. Analisis dimulai dari regresi data dengan menggunakan data pooling,

(27)

kemudian dipilih model yang terbaik dari tiga model yang ada (Common Effect Model, Fixed Effect Model dan Random Effect Model).

A. Uji Model Terbaik

Dalam model pooling data terdapat tiga model untuk bias dianalisis yaitu common effect model, fixed effect model dan random effect model. Untuk menentukan model terbaik dari tiga model tersebut maka, ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama kali dilakukan regresi dengan menggunakan common effect model dan fixed effect model. Dari dua model tersebut ditentukan terlebih dahulu mana model yang terbaik untuk dipakai analisis. Untuk menentukan model terbaik dari dua model tersebut digunakan alat uji Chow Test (tabel 4.1). Jika nilai probabilitas Chy-square lebih kecil dari pada level of significance yang telah ditentukan sebelumnya (α = 10%) maka, model yang terbaik adalah fixed effect model. Jika yang terjadi adalah kebalikannya maka, model yang terbaik dari dua model tersebut adalah common effect modelt.

Tabel 4.1

Hasil Perhitungan Chow Test

Redundant Fixed Effects Tests Pool: KEMISKINAN

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 302.856091 (33,98) 0.0000

Cross-section Chi-square 630.299576 33 0.0000

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari cross-section Chi-square lebih kecil dari 5 persen. Berdasar hasil tersebut maka, model terbaik di antara dua model (common effect dan fixed effect) adalah model fixed effect. Langkah selanjutnya menentukan model mana yang terbaik di antara model fixed effect dan random effect. Untuk menentukannya maka, dilakukan

(28)

regresi dengan menggunakan random effect, kemudian dilakukan pengujian dengan menggunakan Correlated random effect - Hausman Test (tabel 4.2). Jika nilai probabilitas cross-section random lebih kecil dibanding level of significance maka, model terbaik di antara fixed effect dengan random effect adalah fixed effect model dan sebaliknya bila nilai probabilitasnya lebih tinggi dari 5 persen maka, model yang terbaik adalah random effect model.

Tabel 4.2

Hasil Perhitungan Hausman Test

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: KEMISKINAN

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 13.151085 4 0.0106

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai probabilitas cross-section random dibawah 10 persen. Hal itu berarti bahwa model terbaik yang akan digunakan untuk dianalisis lebih lanjut antara fixed effect dengan random effect adalah model fixed effect. Model fixed effect pada dasarnya tetap berprinsip OLS (Ordinary Least Square). Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu (cross-section) dapat diakomodasi dari perbedaan intersepnya.

B. Pengujian Hipotesis

Berdasar penjelasan di atas, nampak bahwa model terbaik dari tiga alternatif model dalam pooling data adalah fixed effect model. Oleh karrena itu, untuk pengujian hipotesis maupun analisis lebih lanjut digunakan fixed effect model. Sebelum melakukan analisis hasil regresi lebih

(29)

lanjut, langkah pertama adalah melakukan uji statistik baik secara individual (uji t) maupun secara bersama-sama (uji F) kemudian menentukan koefisien determinasi (goodness of fit).

Tabel 4.3

Hasil Regresi Model Fixed Effect

Dependent Variable: HCI? Method: Pooled Least Squares Date: 01/28/20 Time: 09:14 Sample: 2015 2018

Included observations: 4 Cross-sections included: 34

Total pool (balanced) observations: 136

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 15.40535 2.119844 7.267210 0.0000

PDRB? -4.92E-05 2.57E-05 -1.912910 0.0587

SANI? -0.053484 0.010456 -5.115338 0.0000

APMSMA? -0.039223 0.022217 -1.765482 0.0806

GINI? 6.997391 4.017441 1.741753 0.0847

Fixed Effects (Cross)

_ACEH--C 4.713420 _SUMUT--C -0.725591 _SUMBAR--C -5.148477 _RIAU--C -1.589521 _JAMBI--C -2.908096 _SUMSEL--C 1.881975 _BENGKULU--C 3.288745 _LAMPUNG--C 0.953652 _KEPBABEL--C -4.790381 _KEPRIAU--C -1.644621 _DKIJKT--C -0.097387 _JABAR--C -4.111466 _JATENG--C 0.893986 _DIY--C 2.226346 _JATIM--C -0.121361 _BANTEN--C -6.479587 _BALI--C -5.219671

(30)

_NTT--C 7.345277 _KALBAR--C -5.010802 _KALTENG--C -7.080653 _KALSEL--C -7.471095 _KALTIM--C 0.282872 _KALUT--C -1.900955 _SULUT--C -3.025973 _SULTENG--C 1.962571 _SULSEL--C -1.809402 _SULTGR--C 1.031060 _GORONTALO--C 3.853287 _SULBAR--C -1.425798 _MALUKU--C 6.390961 _MALUT--C -5.623030 _PAPUABAR--C 13.62079 _PAPUA--C 14.00230 Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.994653 Mean dependent var 11.15463

Adjusted R-squared 0.992634 S.D. dependent var 5.903072 S.E. of regression 0.506634 Akaike info criterion 1.709080 Sum squared resid 25.15444 Schwarz criterion 2.522910 Log likelihood -78.21746 Hannan-Quinn criter. 2.039800

F-statistic 492.6870 Durbin-Watson stat 1.411489

Prob(F-statistic) 0.000000

Uji t statistik digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun hipotesis yang digunakan adalah:

Ho: secara individual variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat Ha: secara individual variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat

Besarnya level of significance (α) ditentukan sebesar 10 persen maka, jika nilai probabilitas dari masing-masing variabel bebas lebih kecil dibanding nilai level of significance berarti tidak menolak Ha dan sebaliknya.

Berdasar tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum PDRB per kapita penduduk dari 34 provinsi di Indonesia mempengaruhi kemiskinan di daerah (provinsi) karena probabilitasnya lebih kecil dibanding level of significance (α) yang telah ditentukan sebelumnya dan hubungan

(31)

PDRB per kapita rata-rata provinsi di Indonesia meningkat sebesar Rp 100 (ribu) maka persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia akan menurun sebesar 0,00492 persen dan sebaliknya jika PDRB per kapita rata-rata provinsi menurun sebesar Rp 100 (ribu) maka, kemiskinan rata-rata provinsi akan meningkat sebesar 0,00492 persen.

Untuk variabel sanitasi juga menunjukkan hal yang sama yaitu sanitasi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia dengan nilai koefisiennya sebesar 0,053484. Artinya, jika persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan (40% bawah) rata provinsi meningkat sebesar 1 persen maka, rata-rata kemiskinan provinsi akan menurun sebanyak 0,053484 persen.

Variabel bebas lainnya adalah angka partisipasi murni SMA dan sederajat. Berdasar hasil olah data menunjukkan bahwa APMSMA berpengaruh negatif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia dengan koefisiennya sebesar 0,039223. Hal itu berarti bahwa jika APMSMA meningkat sebesar 1 persen maka, kemiskinan akan menurun sebanyak 0,039223 persen dan sebaliknya jika APMSMA menurun.

Variable keempat atau terakhir adalah rasio gini atau koefisien gini. Hasil regresi menunjukkan bahwa rasio gini berpengaruh positif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Artinya, jika rasio gini meningkat sebesar 1 persen maka, rata-rata kemiskinan provinsi di Indonesia akan meningkat sebesar 6,997391.

Untuk uji F statistik (tabel 4.3) menunjukkan bahawa probabilitas dari F statistik (0,0000) lebih kecil dibanding dengan besarnya level of significance (0,10). Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel PDRB, Sanitasi, APMSMA dan Rasio gini berpengaruh terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia.

(32)

Berdasar tabel 4.3 juga menunjukkan bahwa nilai goodness of fit atau besarnya koefisien determinasi adalah sebesar 0,994653 atau 99,4653 persen. Hal ini berarti bahwa total variasi dari rata-rata kemiskinan provinsi di Indonesia mampu dijelaskan oleh model sebesar 99,4653 persen. Artinya, kemampuan model yang digunakan pada penelitian ini dalam menjelaskan kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia sangat besar.

Dari hasil regresi juga menunjukkan beberapa provinsi yang persentase penduduk miskin di atas rata-rata provinsi di Indonesia dialami 14 provinsi yaitu provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan provinsi Papua. Tiga provinsi tertinggi persentase penduduk miskin yang berada di atas rata-rata provinsi di Indonesia adalah Papua Bara, Papua diikuti Nusa Tenggara Timur.

C. Hasil dan Analisis

Kemiskinan merupakan masalah global yang dihadapi oleh semua negara baik negara maju apalagi negara berkembang, baik masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan. Berbagai telaah, kajian maupun seminar telah dilakukan di berbagai negara, tetapi kemiskinan tetap menjadi masalah besar sampai sekarang. Berbagai kebijakan pun telah ditempuh oleh berbagai pemerintahan yang ada, namun kemiskinan tetap ada.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan pendapatan menengah juga mengahadapai masalah kemiskinan. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan yang ada. Anggaran pemerintah pusat maupun daerah setiap tahun selalu ditingkatkan untuk membenahi berbagai sektor khususnya sektor pendidikan dan kesehatan, laju pertumbuhan ekonomi juga didorong untuk tumbuh agar memiliki kemampuan untuk menyerap Angkatan kerja yang ada. Ada dana BOS untuk mendukung Pendidikan, ada pemberian beasiswa

(33)

bagi masyarakat miskin, ada dana des, ada jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin, ada dana desa dan sebagainya, yang semuanya mengarah bagaimana agar kemiskinan menurun di Indonesia.

Kemiskinan memang menurun di Indonesia, tetapi jumlah penduduk miskin tetap besar, yang jika tidak diatasi segera bisa menimbulkan masalah keamanan nasional. Setiap orang menginginkan kebutuhan palin mendasar (makan, minum dan tempat tinggal) bisa terpenuhi. Orang akan melakukan apapun untuk bisa memenuhi kebuhan dasarnya, baik itu legal maupun illegal. Hal itu tentu saja akan berdampak pada kemanan nasioanal. Oleh karena itu, pemerintah memang harus melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Penelitian ini berusaha untuk meneliti lebih lanjut, tentang faktor apa saja yang sebenarnya mempengaruhi kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Variabel bebas yang diambil adalah pendapatan per kapita riil rata-rata penduduk provinsi, sanitasi, APMSMA dan rasio gini. Pendapatan per kapita diambil sebagai salah satu variabel bebas karena garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan yang dihitung berdasar rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Variabel sanitasi digunakan sebagai pendekatan atas variabel pengeluaran pemerintah untuk kesehatan karena semakin maju perekonomian suatu negara kebutuhan akan sanitasi yang layak dan berkelanjuatn semakin meningkat, masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Digunakannya variable APMSMA, karena rata-rata lowongan kerja yang ditawarkan dalam dunia keja minimal lulusan SMA sehingga APMSMA diambil sebagai variabel pendekatan untuk pengeluaran sektor Pendidikan. Yang terakhir, variabel rasio gini, merupakan alat untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

(34)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel PDRB per kapita berpengaruh negatif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi karena menurunnya pendapatan per kapita penduduk menyebabkan kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan menjadi menurun, daya beli turun. Turunnya daya beli masyarakat menyebabkan kemiskinan akan bertambah dan sebaliknya jika pendapatan per kapita masyarakat naik, daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan semakin besar, mereka akan merasa semakin kaya dengan meningktanya daya beli sehingga kemiskinan akan menurun Oleh karena itu, pemerintah jika menginginkan kemiskinan menurun, maka tingkatkan daya beli masyarakat (pendapatan masyarakat ditingkatkan) bisa secara riil atau nominal. Untuk meningkatkan pendapatan secara riil, paling tidak pemerintah menjaga agar tidak terjadi kenaikan harga-harga barang secara umum atau menjaga stabilitas harga. Janagan sampai terjadi gejolak harga yang menyebabkan masyarakat semakin melemah daya belinya. Kalau pemerintah mempunyai kemampuan, maka pemerintah menaikan gaji pegawainya dan meningkatkan bantuan sosial baik jenisnya maupun jumlah nominalnya dengan tetap menjaga harga-harga stabil sehingga kenaikan gaji ataupun bantuan social bisa dirasakan dampak positifnya oleh msyarakat.

Variabel sanitasi ternyata juga berdampak negatif bagi kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Sanitasi yang dimaksud dalam variabel ini adalah persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan untuk 40 persen masyarakat bawah. Artinya, semakin besar persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan maka, semakin besar rata-rata kemampuan masyarakat dalam menjaga kesehatannya. Kesehatan yang tetap terjaga menjadikan seseorang tepa memiliki kemampuan untuk bekerja mencari nafkah sehingga dia mempunyai kemapuan untuk memenuhi

(35)

kebutuhan hidup mianimal menutup kebutuhan paling mendasar. Dengan demikian kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar tetap terjaga sehingga kemiskinan bisa menurun. Agar masyarakat bawah memiliki akses terhadap layanan sanitasi, pemerintah perlu menggalakkan kebijakan pembangunan sanitasi umum, khususnya di daerah miskin, maupun daerah-daerah pelosok yang sering tidak terjangkau banyak pihak. I samping itu juga, masyarakat diberikan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan dengan menggunakan sanitasi yang layak dan berkelanjutan.

Variabel APMSMA berpengaruh negatif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Artinya, semakin banyak murid SMA dan sederajat yang sekolah dibanding dengan jumlah penduduk usia sekolah SMA dan sederajat maka, akan semakin menurun persentase penduduk miskin. Hal ini bisa terjadi karena angkatan kerja yang lulus SMA/sederajat lebih mudah mencari pekerjaan dibanding lulusan di bawah SMA dan sederajat. Seperti diketahui, rata-rata lowongan pekerjaan yang ada minimal lulusan SMA sehingga semakin banyak murid yang lulus SMA dan sederajat kemampuan untuk memperoleh pekerjaan akan lebih besar dari pada yang lulus di bawah SMA dan sederajat. Oleh karena itu, program belajar 12 tahun perlu digalakkan betul-betul agar bisa meningktakan lagi ke program wajib belajar 15 tahun sehingga nanti diharapkan rata-rata penduuk Indonesia adalah lulusan SMA, bukan lulusan SD seperti saat ini. Rata-rata Usia sekoleh di Indonesia hanya 8 tahun, artinya SMP belum lulus.

Rasio Gini atau koefisien gini berpengaruh positif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Dengan demikian, jika rasio gini semakin kecil berarti ketimpangan pendapatan semakin kecil. Gap si kaya dan si miskin yang semakin kecil menimbulkan kehidupan yang harmonis, tidak akan memunculkan kecemburuna social karena satu sam lain selisih pendapatannya tidak besar. Hal ini akan menumbulkan irama kehidupan yang harmonis antar

(36)

anggota masyarakat sehingga kebersamaan akan terjaga, kebahagiaan dan ketentraman akan tercipta dengan sendirinya dan kemiskian akan menurun dengan sendirinya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah agar selalu berusaha untuk menurunkan ketimpangan pendapatan yang ada dengan berbagai kebijakan. Kalau semua masyarakat diperlakukan dengan adil, maka tujuan pemerintah sesuai amanat UUD 1945 bisa tercapai yaitu masyarakt adil dan Makmur, bukan hanya sekedar jargon politik.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB riil per kapita, sanitasi, APMSMA berpengaruh positif terhadap kemiskinan rata-rata provinsi di Indonesia. Artinya, meningkatnya PDRB per kapita, meningkatnya akses layanan sanitasi yang layak dan berkelanjutan, meningkatnya angka partisipasi murni SMA secara parsial akan menurunkan persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia. Untuk rasio gini atau koefisien gini hasilnya berpengaruh positif terhadap persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia. Artinya semakin menurun ketimpangan pendapatan akan semakin menurun persentase penduduk miskin.

(37)

Untuk menurunkan persentase penduduk miskin rata-rata provinsi di Indonesia, pemerintah perlu meningkatakan laju pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan akses masyarakat bawah atas layanan sanitasi yang layak dan berkelanjuatan, program wajib belajar harus betul-betul digerakkan sehingga masyarakat Indonesia semakin meningkat lama belajarnya agar semakin mudah mendapatkan pekerjaan. Pemerintah juga harus menrunkan rasio gini dari tahun ke tahun agar ketimpangan pendapatan semakin mengecil. Bila hal itu dilkasanakan dengan sungguh-sungguh maka, penurunan kemiskinan akan terus menerus terjadi sehingga masyarakat adil dan makmur segera tercapai.

Pemerintah harus lebih memperhatikan 14 provinsi yang persentase penduduk miskin di atas rata-rata provinsi di Indonesia agar kondisi provinsi-provinsi tersebut semakin membaik.

DAFTAR PUSTAKA

Adit Agus Prastyo, 2010. Analisis Faktor-Faktor Ynag Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (35 Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah 2003–2007). Skripsi. Undip.

Akai dan Sakata. 2000. Fiscal Decentralization, Commitment and Regional Inequality: Evidence From State Level Cross Sectoral Data For The United State. CIRJE Discussion Papers.

Bahl, R. 1998. Implementation Rules for Fiscal Decentralization, Washington D.C.: The World Bank Institute.

Bird, R. Dan Francois V. 2000. Desentralisasi Fiskal Di Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dagderiven, H., R. Van Der Hooeven dan J. Weeks. 2002. Redistribution Does Matter: Growth and Redistribution for Poverty Reduction Discussion Paper. United Nation University/WIDER..

(38)

Dicky Wahyudi dan Tri Wahyu R. 2013. Analisis Kemiskinan Di Jawa Tengah. (Skripsi). Semarang: Undip.

Dwi Muslianti. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan Di Indonesia Pada Masa Desentralisasi Fiskal. Tesis. Bogor: IPB.

Galor, O. 2000. Income Distribution ang The Process of Development. European Economics Review. 44: 706-712

Gujarati, Damodar.2003. Basic Econometric. Fourth Edition. McGraw-Hill Co, New York. Halim, A. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: STIM YKPN.

Hasibuan T.G. 2006. Variabel Utama Ynag Mempengaruhi Kemiskinan Di Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: UI.

Hermani, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian DI Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. (Tesis). Bogor: IPB.

Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti.2008. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pros 2008 MAK3.pdf

Jhingan, M.L. 1983. The Economics of Development and Planning. Vices Publishing House. Ltd: New Delhi.

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: Cidessindo.

Kuznets, S. 1955. Economics Growth and Income Inequality. The American Economics Review. 45. 1-28.

Mangkusubroto G. 1997. Ekonomi Publik. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE.

Mulyaningsih. 2008. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Di Sektor Publik Terhadap Peningkatan Pembangunan Manusia dan pengurangan Kemiskinan. (Tesis). Jakarta: UI. Musgrave, R. A. dan B. M. Peggy. 2011. Public Finance In Theory and Practice. New York:

McGraw-Hill Book Company.

Muslianti. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan Di Indonesia Pada Masa Desentralisasi Fiskal. Tesis. Bogor: IPB.

Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan Di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. (Disertasi). Bogor: IPB.

(39)

Oates W. E. 1993. Fiscal Decentralization And Economic Development. National Tax Journal. 2 (46).

Ravallion M. Datt G. 1996. How Important To India’s Poverty is The sectoral Compotition of

Growth? World Bank Economic review. 10: 1-25.

Rindayanti, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. Di Wilayah Provinsi Jawa Barat. (Disertasi). Bogor: IPB.

Sepulveda, C. F. dan J. M. Vasques. 2010. The Consequences of Fiscal Decentralisation on Poverty and Income Inequality. International Studies Program. Working Paper. 10 (2). Sobari, Achmad. 2011. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi

Daerah Di Indonesia. Tesis. Bogor: IPB.

Stiglitz, Je. 2000. Economics of The Public Sector. Third Edition. New York: w.w. Norton & Company.

Tambunan, T. 2009. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia.

Todaro, MP dan S.C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1.Edisi 9.Alih Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat Kemiskinan. (Disertasi). Bogor: IPB

(40)
(41)

1. COMMON EFFECT MODEL

Dependent Variable: HCI? Method: Pooled Least Squares Date: 01/28/20 Time: 09:20 Sample: 2015 2018

Included observations: 4 Cross-sections included: 34

Total pool (balanced) observations: 136

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -4.216602 4.917839 -0.857409 0.3928

PDRB? -1.90E-05 1.41E-05 -1.347486 0.1801

SANI? -0.221367 0.032538 -6.803336 0.0000

APMSMA? 0.073283 0.061103 1.199331 0.2326

GINI? 65.05158 10.75292 6.049667 0.0000

R-squared 0.449336 Mean dependent var 11.15463

Adjusted R-squared 0.432522 S.D. dependent var 5.903072 S.E. of regression 4.446852 Akaike info criterion 5.858342 Sum squared resid 2590.459 Schwarz criterion 5.965425 Log likelihood -393.3672 Hannan-Quinn criter. 5.901858

F-statistic 26.72365 Durbin-Watson stat 0.116643

(42)

2. FIXED EFFECT MODEL (FEM)

Dependent Variable: HCI? Method: Pooled Least Squares Date: 01/28/20 Time: 09:14 Sample: 2015 2018

Included observations: 4 Cross-sections included: 34

Total pool (balanced) observations: 136

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 15.40535 2.119844 7.267210 0.0000

PDRB? -4.92E-05 2.57E-05 -1.912910 0.0587

SANI? -0.053484 0.010456 -5.115338 0.0000

APMSMA? -0.039223 0.022217 -1.765482 0.0806

GINI? 6.997391 4.017441 1.741753 0.0847

Fixed Effects (Cross)

_ACEH--C 4.713420 _SUMUT--C -0.725591 _SUMBAR--C -5.148477 _RIAU--C -1.589521 _JAMBI--C -2.908096 _SUMSEL--C 1.881975 _BENGKULU--C 3.288745 _LAMPUNG--C 0.953652 _KEPBABEL--C -4.790381 _KEPRIAU--C -1.644621 _DKIJKT--C -0.097387 _JABAR--C -4.111466 _JATENG--C 0.893986 _DIY--C 2.226346 _JATIM--C -0.121361 _BANTEN--C -6.479587 _BALI--C -5.219671 _NTB--C 3.736624 _NTT--C 7.345277 _KALBAR--C -5.010802 _KALTENG--C -7.080653 _KALSEL--C -7.471095 _KALTIM--C 0.282872 _KALUT--C -1.900955 _SULUT--C -3.025973 _SULTENG--C 1.962571 _SULSEL--C -1.809402 _SULTGR--C 1.031060 _GORONTALO--C 3.853287 _SULBAR--C -1.425798 _MALUKU--C 6.390961 _MALUT--C -5.623030 _PAPUABAR--C 13.62079 _PAPUA--C 14.00230 Effects Specification

(43)

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.994653 Mean dependent var 11.15463

Adjusted R-squared 0.992634 S.D. dependent var 5.903072 S.E. of regression 0.506634 Akaike info criterion 1.709080 Sum squared resid 25.15444 Schwarz criterion 2.522910 Log likelihood -78.21746 Hannan-Quinn criter. 2.039800

F-statistic 492.6870 Durbin-Watson stat 1.411489

Prob(F-statistic) 0.000000

Redundant Fixed Effects Tests Pool: KEMISKINAN

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 302.856091 (33,98) 0.0000

(44)

3. RANDOM EFFECT MODEL

Dependent Variable: HCI?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 01/28/20 Time: 09:22

Sample: 2015 2018 Included observations: 4 Cross-sections included: 34

Total pool (balanced) observations: 136

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 14.93492 2.127818 7.018891 0.0000

PDRB? -4.40E-05 1.87E-05 -2.349758 0.0203

SANI? -0.057529 0.010090 -5.701701 0.0000

APMSMA? -0.041266 0.021599 -1.910538 0.0582

GINI? 8.598365 3.897644 2.206042 0.0291

Random Effects (Cross)

_ACEH--C 4.835498 _SUMUT--C -0.587313 _SUMBAR--C -5.047854 _RIAU--C -1.713878 _JAMBI--C -2.868709 _SUMSEL--C 1.924664 _BENGKULU--C 3.302742 _LAMPUNG--C 1.000082 _KEPBABEL--C -4.532536 _KEPRIAU--C -1.725706 _DKIJKT--C -0.614421 _JABAR--C -4.130608 _JATENG--C 0.984309 _DIY--C 2.333103 _JATIM--C -0.170810 _BANTEN--C -6.471918 _BALI--C -5.059992 _NTB--C 3.844227 _NTT--C 7.343884 _KALBAR--C -4.950183 _KALTENG--C -7.065925 _KALSEL--C -7.401886 _KALTIM--C -0.066554 _KALUT--C -2.001720 _SULUT--C -2.966778 _SULTENG--C 1.977221 _SULSEL--C -1.789748 _SULTGR--C 1.045780 _GORONTALO--C 3.799923 _SULBAR--C -1.378728 _MALUKU--C 6.527199 _MALUT--C -5.439615 _PAPUABAR--C 13.38684 _PAPUA--C 13.67941 Effects Specification S.D. Rho

(45)

Cross-section random 4.553415 0.9878

Idiosyncratic random 0.506634 0.0122

Weighted Statistics

R-squared 0.364682 Mean dependent var 0.619600

Adjusted R-squared 0.345283 S.D. dependent var 0.647634 S.E. of regression 0.524031 Sum squared resid 35.97370

F-statistic 18.79896 Durbin-Watson stat 1.020010

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.254829 Mean dependent var 11.15463

Sum squared resid 3505.465 Durbin-Watson stat 0.010468

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: KEMISKINAN

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

(46)

Referensi

Dokumen terkait

5 Maka penelitian kualitatif dalam karya sastra lebih memperhatikan pada makna yang terkandung dalam setiap interaksi yang dilakukan seseorang dengan orang lain, bagaimana sikap

berupa deskripsi adegan dalam film dan kutipan dialog antartokoh. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik metode analisis teks dengan mengambil bentuk kutipan

Kedua, pada kasus yang terjadi pada perdagangan orang ini, Terdakwa Wanta bersama-sama dengan Woto(dalam berkas perkara lain) pada hari Rabu tanggal 12 Desember

Untuk pengawasan dan pembinaan dari pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan di wilayah masyarakat hukum adat, perlu penggembangan instrumen- instrumen

Pemberian latihan penguasaan strategi seranga hanya diberikan pada saat latihan permainanan (game). Beberapa pelatih ada yang belum memberikan model-model latihan

menunjukkan hasil perhitungan pengaruh tidak langsung dari Insentif dan Pengembangan Karir terhadap Kepuasan Kerja melalui Kinerja menunjukkan bahwa Insentif

Jenis penelitian adalah operational research untuk mengetahui nilai pemakaian dan investasi obat, mengetahui jumlah pemesanan optimum dan waktu pemesanan kembali

Dari keenambelas wisatawan volunteer yang berkunjung ke Yayasan Widya Guna maupun Yayasan Bumi Sehat, mayoritas menghabiskan waktu untuk kegiatan voluntourism diatas 1