DERMATITIS KONTAK IRITAN
Dr. Donna Partogi, SpKK
NIP. 132 308 883
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK/RS.Dr.PIRNGADI
DERMATITIS KONTAK IRITAN
PENDAHULUAN
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) adalah suatu proses inflamasi local pada kulit jika berkontak dengan zat yang bersifat iritan.1,2,3 Secara umum, terdapat dua macam DKI yang bergantung dari jenis bahan iritannya, yaitu DKI akut dan akumulatif.1,3
Pada DKI akut,, kerusakan kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan.1,3 Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan. Mencakup di dalamnya adalah asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.4
Sedangkan pada DKI kumulatif (DKIK) kerusakan terjadi setelah beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama , yaitu terhadap zat – zat iritan lemah seperti : air, deterjen, zat pe;arut lemah, minyak dan pelumas. 1,3-8 Zat – zat ini tidak cukup toksik untuk mneimbulkan kerusakan kulit pada satu kali pajanan, melainkan secara perlahan – lahan hingga pada sutau saat kerusakannya , mampu menimbulka\n inflamsi. Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat multifaktorial.4,9
EPIDEMIOLOGI
PATOGENESIS
Mekanisme patogenesis DKIK dapat terjadi melalui dua cara yaitu melalui mekanisme kerusakan fungsi sawar kulit yang diperankan oleh stratum korneum dan pelepasan mediator akibat kerusakan keratinosit.9
Stratum korneum memiliki banyak fungsi, salah satunya adalahs ebagai lapisan sawar pelindung yang mnecegah pelepasan cairan berlebih dari kulit. Fungsi integritas kulit bergantung pada kadar kelembaban stratum korneum.12
Kerusakan akibat pajanan zat iritan dimulai dengan kerusakan lapisan lipid dan
Natural Moisturizing Factor ( NMF) sehingga terjadi kekeringan kulit ( desikasi ), kemudian kelainan stratum korneum ini akan mnegakibatkan kulit kehilangan fungsi sawarnya.13 Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pajanan langsung sel kulit yang masih hidup ( viable ) terhadap zat iriutan tersebut. Jika zat iritan telah dapat mencapai membran lipid keratinosit, maka zat tersebut dapat berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti.9
Aktivasi enzim fosfolipase oleh kerusakan keranitosit memicu pelepasan AA ( arachidonic acid ), DAG (diacylglyceride ), IP3 (inositides ) dan PAF ( palted activating factor ). AA akan mengalami peruabhan menjadi PGs (prostaglandin) dan LTs (leukotrin ). DAG akan merangsang ekspresi gen sehingga terjadi sintesis protein berupa IL – 1 (interleukin – 1 ) an GMCSF (granulocyte –macrophage colony stimulating factor ). IL -1 akan mnegaktifkan sel Th ( T helper ) untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 , terjado perangsangan autokrin, di samping merangsang proliferasi sel – sel tersebut. Keratinosit juga mengekspresikan molekul permukaan HLA –DR ( human leukocyte antigen DR ) dan ICAM -1 (intercellular adhesion molecule 1 ). Prostaglandin dan LTs akan merangsang dilatasi pembuluh darah , menyebabkan terjadinya trandsui komplemen, dan aktivasi system kinin. Prostaglandin dan LTs berperan pula sebagai chemoairactans bagi neutrofil dan limfosiy serta mengaktiovasi sel mast untuk melepaskan histamin, LTs dan PGs lain.Seluruh proses tersebut di atas menyebabkan perubahan seluler.14
etnis, penyakit kulit yang telah ada, atopi, lokasi anatomis yang terpajan dan profesi ).3,4,5,9
Faktor zat iritan mencakup sifat disik dan kimia zat tersebut seperti : ukuran
molekul, ionisasi, polarisasi, PH dan kelarutan.Sedangkan faktor pajanan meliputi : konsentrasi , volum, waktu aplikasi serta durasi pajanan. Umumnya , waktu pajanan yang lama dan volum yang besar meningkatkan penetrasi.12
Pengaruh lingkungan , seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang dingin, merupakan faktor penting dalam menurunkan kadar air stratum korneum. Suhu yang dingin saja dapat menurunkan kelenturan lapisan tanduk, sehingga menyebabkan retaknya stratum korneum 3. Oklusi meningktkan kadar air strtaum korneum sehingga menurunkan fungsi efisiensi sawarnya.15 Hal ini mengakibatkan peningkatkan absorpi perkutan zat – zat yang larut dalam air.3
Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi zat iritan. Kandungan zat iritan juga penting dalam meningkatkan iritasi. Kebanyakn produk pemersih kulit di pasaran dapat mneyebabkan efek iritasi primer jika digunakan berulang –ulang atau berlebihan, akan tetapi jika digunakan sesuai aturan, kulit normal tidak akan teriritasi.16
Kulit normal memiliki PH berkisar sekitar 5,5 meski beberapa peneliti berpendapat bahwa PH kulit berkisar antara 6 -7. Kisaran PH kulit natara lain ditentukan oleh adanya mantel asam yaitu lapisan tipis yang ditinggalkan oleh keringat dan bersifat asam. Bakteri anggota mikroflora kulit memerlukan PH tertentu untuk dapat melaksanakan pertumbuhan optimum. Terdapat perbedaan PH untuk pertumbuhans etiap jenis bakteri, misalnya S.aureus membutuhkan PH 7,5 untuk pertumbuhannya, sedangkan P.aureus memerlukan PH antara 6 – 6.5 17
Larutan deterjen memiliki PH 9,5 dan jika digunakan berulang –ulang selama beberapa hari PH kulit akan naik menjadi 8. Kondisi kulit yangd emikian tidak menjadi sarana yang baik bagi pertumbuhan mikroflora yang penting untuk menjaga lapisan matel asam 11
Saat terpajan dengan iritan yang sama dengan kondisi yang sama pula, perkembangan tingkat iritasi tiap individu berbeda –beda. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan individu meliputi : 3
Kerentanan kulit terhadap efek iritasi zat iritan menurun seiriing dengan usia.3 Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi sawar.18 Penelitian menunjukkan bahwa iritabilitas kulit terhadap sodium lauril sulfat mencapai puncaknya selama masa kanak – kanak dan menurun selama dewasa, mencapai tingkat terendah saat dekade keenam. Lokasi dengan rekativitas tertinggi adalah paha, punggung atas dan lengan bawah.19
- Ras
Individu berkulit gelap seperti orang Afrikan dan Hispanik, memperlihatkan respon iritasi yang lebih besar terhadap surfaktan, sodium lauril sulfat, begitu pula terhadap zat kimia dan sinar ultra violet.4 Dikatakan bahwa kulit berwarna ( Afrika, Asia, Hispanik ) memiliki fungsi sawar yang lebih rentan dibandingkan dengan kulit putih.20
- Jenis Kelamin
Kerentanan kulit terhadap iritasi tidak berbeda antar jenis kelamin. Akan tetapi penelitina menunjukkan bahwa kulit wanita cenderung lebih mudah terkena iritasi selama periode prementruasi.6
- Dermatitis yang telah ada dan dermatitis atopi
Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi 5,7 Trans-epidermal water loss ( TEWL ) lebih tinggi pada subjek dengan riwayat dermatitis setelah terpajan deterjen. Abnormalitas sawar kulit atopi dari menurunnya ambang iritasi merupakan faktor penyebab kerentananya terhadap iritasi 5
- Profesi
Selain faktor – faktor di atas, air ternyata merupakan faktor iritas tersendiri sehingga mempermudah terjadinya DKIK.7 Bahkan air dalam keadaan oklusif mampu menimbulkan kelainan pada lapisan lipid dan merusak stratum korneum. 21
MANIFESTASI KLINIS
Penyebab kerusakan stratum korneum pada DKI kumulatif adalah penurunan ambnag kulit terhadap kerusakan berulang yang terjadi lebih cepat daripada waktu untuk penyembuhan sempurna fungsi sawar kulit. Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang terjadi melebihi ”ambang manifestasi” tertentu , yang akna berbeda untuks etiap individu.3,9 Nilai ambang bukan angka yang tetap bagi individu , tetapi dapat menurun jika ada suatu penyakit.3
Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering terlihat oleh mata, secara histopataologik pada kulit sudah terjadi kerusakan. Karena DKI kumulatif disebabkan oleh zat iritan lemah, maka kelainian kulit yang diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi yang terjadi dapat merupakan gejala yang dapat diobservasi oleh penglihatan dan berupa keluhan subjektif. Lesi kulitnya berupa eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi, skuama, hiperkeratosis, dan kulit pecah dengan batas yang tidak tegas.3 Sedangkan keluhan yang timbul dapat berupa gatal, panas, dan nyeri akibat pecahnya kulit yang hiperkeratotik. Lokasi kulit mana saja yang dapat terkena, akan tetapi yang terbanyak adalah tangan, ”alat” manusia yangs ering berinteraksi dengan lingkungan.3
HISTOPATOLOGIS
dan balloning. Nekrosis sel sel keratinosit akhirnta menyebabkan nekrosis dan epidermis 22
DIAGNOSIS
Diagnosis DKIK dapat ditegakkan jika ada riwayat pajanan terhadap zat iritan, manifestasi klinis menggambarkan morfologi DKIK dan dengan menyingkirkan DKA.3 Untuk membedakannya dengan DKA , maka dilakukan tes tempel (patch test ). Test ini dilakukan untuk membuktikan adanya DKA dan menemukan alergen penyebabnya , bukan untuk mendiagnosis pasti DKI.
Berbagai macam parameter dengan metode non invasif dapat diapaki untuk menetapkan daya iritasi zat iritan pada kuliut yaitu morfologis klinis berupa eritema, skuama, fisura, likenfikasi dan hiperkeratosis, pengkuran PH kulit , kanduingan air di permukaan kulit, trans –epidermal water loss, serta konduksi listrik. Parameter lain yang dapat digunakan untuk melihat fungsi kulit pada kasus DKIK adalah ; 3
Fungsi Kulit Parameter Prinsip Alam Fungsi sawar SC TEWL (
Kelembaban kulit Daya konduksi Mengukur konduksi
antara dua eleektroda
Skicon
Mantel Asam Kulit PH permukaan kulit Aktivitas ion hidrogen pada pH Elektroda
PH meter
Aliran darah kulit Capilarry erythrocite flow
glide fraction dengan laser pada replika permukaan
Kohesi korneosit Mengukur kekuatan Kohesiometer
Warna Kulit Refleksi cahaya Mengukur refleksi kilatan cahaya elemen foto
Kolorimeter tristimulus, spektrofotometer Ketebalan kulit Jarak antara
permukaan kulit dan
Trans – epidermal water loss sebagai indikator fungsi sawar epidermis sesuai digunakan untuk mendeteksi kelainan fungsi sawar secara seksama lebih awal daripada pemeriksaan klinis dan untuk mengetahui derajat kelainan secara kuantitatif. Juga dapat digunakan sebagai indikator perbaikan fungsi sawar.3
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
dengan penggunaan sarung tangan, baju dan krim pelindung dan jika diperlukan cuti sakit hingga regenrasi sempurna fungsi sawar kulit tercapai.3
A. Pencegahan
DKIK dapat diceagh. Pekerja harus diberi pengarahan atau edukasi tentang berabgai macam cara pencegahan sebelum mulai bekerja , dapat juga dilakukan skrining sebelum bekerja ( pre-employment screening ). Pada screening i9ni para pekerja dengan faktor predisposisi sebaiknya menghindari aktivitas yang berhubungan dengan air dan zat – zat iritan.7
1. Krim pelembab
Umumnya pelembab mengandung humectant dengan berat molekul rendah dan lipid. Humectants seperti urea , gliserin, asam laktat, pyrroledone carboxylic acid (PCA ) dan garan, diabosrpsi ke dalam stratum kornemum dan meningktkan hidrasid engan cara menarik air. Lipid, seperti petrolatum, lilin lebah, lanolin dna bermacam – macam minyak dalam pelembab, memiliki efek sebagai membran oklusif pada kulit 23
2. Barrier creams
Krim ini digunakan unmtuk mencegah atau mengurangi penetrasi dan abrobsi zat iritan ke ke kulit , mencegah terjadinya lesi kulit atau efek pajanan ke dermis. Biasa dipakai untuk mnecegah dan mengobati dermatitis kontak di lingkungan industri dan rumah.23
Menurut penelitian dikatakan bahwa mekanisme kerja BC melalui bahan – bahan aktif yang terkandung di dalamnya mengikat atau merubah zat iritan. Sebagahagian besar menerima bahwa BC mempengaruhi absobsi dan penetrasi iritand enganm bloik fisik, yaitu membentuk lapisan tipis film yang melindungi kulit.23
3. Baju dan sarung tangan pelindung
lama dan meningkatkan kemungkinan timbulnya dermatitis. Juga perlu diperhatikan bahwa zat kimia dengan berat molekul rendah tetap dapat berpenetrasi menembus sarung tangan.23
B. Pengobatan
Penggunaan kortikosteroid topikal tetrap meruapakn pilihan untuk DKIK. Golongan kortikosteroid disesuaikan dengan kondisi les kulit. Jika terdapat infeski sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotika oral maupun topikal.3 Perlu diperhatikan dalam penggunaan jangka lama dapat menyebabkan atrofi yang makin meningktkan kepekaan terhadp iritasi. Pilihan terapi yang lain meliputi tertopikal dan fototerapi UVB/PUVA. Pada kasus kronik yang sulit, dapat diindikasikan tindakan radiasi.3
PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
1. Ng.SK, Goh CL. Irritant Contact Dermatitis and Allergic Contact Dermatitis. In : Ng. SK, Go CL. The principles and practice of Contact and Occupational Dermatology in the Asia – Pacific Region , Singapore 2001 : 1 – 13
2. Tan SH. The Histrology of Contact Dermatitis. In : Ng.SK, Goh CL. The Principles and Practice of Contact and Occupational Dermatology in the Asia – Pacific. Singapore 2001 : 17 – 21
3. Wigger – Albert W, Live D, Elsner P. Contact Dermatitis Due to Irritation In : Adams RM Occupational Skin Diseases 3 rd Ed. Philadelphia 1999 : 1 – 9
4. Rietschel RL, Fowler JF. Hands Dermatitis Due to Contacts : Special considerations In : Fischer’s Contact Dermatitis 5th +Ed. Philapdelphia 2001 : 269 – 76.
5. Lammintausta K, Maibach HI. Irritant Contact dermatitis. 425 – 9
6. Diepgen TL, Cocnrads PJ. The Epidemiology of Occupatioanl Contact Dermatitis In : Kanerva E, Elsner P. Wahlberg, Maibach HI. Handbook of Occupational Dermatology, Berlin Heidelberg 2000 : 3 -1 4
7. Elston CDM, Ahmed DDF, Watsky KL, Schwarzeberger K. Hand Dermatitis J. Am Acad dermatol 2002; 47:291 – 9
8. Nettis E, Colanardi MC, Soccio AL. Ferrannimi A, Tursi A. Occupational Irritant and Allergic Contact Dermatitis Among Healthcare Workers. Contact Dermatitis 2002 : 46 : 101 – 7
9. Irritant Contact Dermatitis Enviroderm Services October 2000
10.Priatna B Peraturan Pemerintah tentang Dermatosis Akibat Kerja. PIT IV PERDOSKI Samarinda : 1997 ; 21 – 8.
11.Data mnorbilitas Subbagian Alergi dan Immunologi. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo jakarta. 1998 – 2002
Skin Cleansing With Synthetic Detergents. Berlin Heidelberg : Springer – Verdag 1990; 130 -7
13.Seidebari S. Evaluation of Barrier Function and Skin Reactivity in Occupational Dermatoses. In : Kanerva E, Elsner P, wahlberg, Maibach HI. Handbook of Occupational Dermatology. Berlin Heideberg 2000 ; 64 – 73.
14.Marks JG, Elsner P, Deleo VA, Allergic and Irrirant Contact Dermatitis In : Contact and Occupational Dermatology, 3 rd Ed. Missouri 2002 ; 3 – 15
15.Zhai H, Maibach HI. Skin Occlusion and Irritant and Allergic Contact Dermatitis : an Overview. Contact Dermatitis 2001; 44: 201 – 6.
16.Mathias CGT. Soaps and Detergents in : Adams RM. Occupational Skin Disesase 3rd Ed. Philadephia 1999 : 353 – 367
17.Soebaryo RW. Prediksi Klinis Dermatitis Kontak – Tangan Pada Pekerja Dengan Kondisi Diatesis Atopi-Kulit. Program Pasca sarjana Universitas Indonesia Jakarta , 1999 ; 10 -39
18.Wigger – Aloberti W, Elsner P. Contact Dermatitis Due to Irritation . In : Kanerva E, Elsner P, Whalberg , Maibach HI. Handbook of Occupational Dermatologfy. Berlin Heidelberg 2000 : 99 -108
19.Potts Ro, Bommannan B. Guy RH. Percutaneous Absorp[tion In : Mukhtar H Pharmacology of the Skin. New York 1992 ; 13 -27.
20.Taylor SC. Skin of Color : Biology, Structure, Functiuon and Implications for Dermatologic Diseases
21.Zhai Hingbo, Miabcah HI. Occulsion vs Skin Barrier Function. Skin Research and Technology 2002 ; 8 : 1 – 6
22.Lever WF, Schaumberg – Lever G ; Hispathology of the skin . Philadelphia ; JB. Lippincott Company, 1983