• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dermatitis Kontak Iritan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dermatitis Kontak Iritan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Referat

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh;

Shabrina Frimasari, S.Ked 04124705103

Dosen Pembimbing:

Dr. dr. Rusmawardiana, Sp.KK (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RUMAH SAKIT MOH. HOESIN PALEMBANG 2013

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul “Dermatitis Kontak Iritan”

oleh:

Shabrina Frimasari, S.Ked 04124705103

telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang periode 6 Mei 2013 – 10 Juni 2013.

Palembang, Mei 2013

(3)

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Shabrina Frimasari., S.Ked

Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN

Dermatitis kontak adalah istilah umum yang diterapkan pada keadaan akut atau kronis terhadap zat yang kontak dengan kulit.1 Dermatitis atau eksim juga dikenal sebagai reaksi peradangan kulit yang tampak dengan eritema, vesikulasi dan pruritus pada fase akut, sedangkan fase kronis ditandai dengan kulit kering, pengelupasan dan fisura.2 Terdapat dua tipe dermatitis kontak yang disebabkan oleh faktor luar yang kontak dengan kulit, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergi (DKA).3,4

Dermatitis kontak iritan adalah reaksi inflamasi kulit yang terjadi akibat aktivasi sistem kekebalan tubuh bawaan yang secara langsung merupakan efek sitotoksik terhadap bahan iritan fisik dan kimia.1,4,6 Dermatitis kontak iritan merupakan respon kontak secara lokal antara kulit dengan bahan eksogen seperti bahan kimia, fisik, atau agen biologis, maupun faktor endogen seperti fungsi barrier kulit dan riwayat dermatitis sebelumnya.2,4,5 Dermatitis kontak iritan juga dapat diartikan sebagai erupsi yang timbul bila kulit terpajan bahan-bahan yang bersifat iritan primer melalui jalur kerusakan yang non-imunologis.4,7 Gambaran klinis DKI bervariasi dari reaksi subjektif terhadap iritan, urtikaria kontak, reaksi kaustik dan nekrotik serta perubahan pigmen dan penyakit kulit lainnya.3

Secara umum, terdapat dua macam DKI berdasarkan jenis bahan iritannya, yaitu DKI akut (iritan kuat) dan kumulatif (iritan lemah).5 Bentuk DKI akut terjadi setelah paparan tunggal terhadap agen yang merupakan toksin bagi kulit.2 Kerusakan kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan, meliputi pajanan terhadap asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator, dan reduktor kuat.8,9 Pada DKI kumulatif kerusakan terjadi setelah beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama terhadap zat-zat iritan lemah seperti air, deterjen, zat pelarut lemah, minyak dan pelumas, sehingga apabila terpajan terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya nekrosis.2,10 Hal ini tergantung pada konsentrasi agen penyebab, penetrasi dan ketebalan stratum korneum pada masing-masing individu. Apabila zat tersebut berada diatas ambang batas seharusnya, maka dikelompokkan sebagai DKI akut. Apabila zat-zat tersebut tidak cukup toksik, namun dapat menyebabkan kerusakan kulit pada

(4)

beberapa kali pajanan untuk menimbulkan suatu inflamasi, maka akan dikelompokkan sebagai DKI kumulatif.2,9

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis kontak iritan menempati 80 persen dari semua kasus dermatitis kontak, dan sering berhubungan dengan pekerjaan.2,5 Pada umumnya DKI disebabkan oleh produk perawatan pribadi dan kosmetik, namun sangat sedikit pasien mencari bantuan medis karena mereka mengatasi iritasi kulit hanya dengan menghindari agen penyebab.2,11 Pada DKI tidak perlu adanya kontak sebelumnya terhadap reaksi iritan.2

Penentuan insiden DKI sangat sulit karena keterbatasan keakuratan data epidemiologi.11 Penelitian cross-sectional di Eropa telah menunjukkan titik tingkat prevalensi DKI sebesar 0,7 persen menjadi 40 persen dalam 1 tahun, tingkat prevalensi seumur hidup sebesar 7,2 persen menjadi 11,8 persen.2 Pada pencatatan kasus DKI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, kasus DKI kumulatif akibat pajanan deterjen berkisar antara 10 hingga 20 persen dari seluruh dermatitis kontak.

Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan bahwa dari 249.000 kasus penyakit akibat kerja pada tahun 2004, 15,6 persen (38.900 kasus) adalah penyakit kulit. Berdasarkan survei tahunan, Biro Statistik Tenaga Kerja menyatakan bahwa dari 95 persen penyakit kulit akibat kerja, 80 persen merupakan DKI.2,11 Namun, DKI tidak hanya diakibatkan oleh pekerjaan tetapi dapat terjadi pada siapa saja yang terkena bahan iritan atau toksin bagi kulit.1,2 Individu yang terlibat dalam pekerjaan/kegiatan berikut beresiko untuk DKI: rumah tangga, tata rambut, layanan medis, gigi, dan kedokteran hewan, membersihkan bunga mengatur, pertanian, hortikultura, kehutanan, persiapan makanan dan katering, percetakan, lukisan, karya logam, teknik mesin , perawatan mobil, konstruksi, perikanan.1

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA DKI

Terdapat dua faktor yang berperan dalam terjadinya DKI, yaitu faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan endogen (penjamu).2

Faktor Eksogen

Faktor iritan yang dianggap berperan harus memiliki: (1) sifat kimia iritasi: pH, keadaan fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, kelarutan (2) karakteristik paparan: jumlah, konsentrasi, durasi, dan jenis kontak, paparan simultan

(5)

terhadap iritasi lainnya, dan selang setelah paparan dan (3) faktor lingkungan: regio tubuh dan suhu, serta faktor mekanik seperti tekanan, gesekan, atau abrasi.2,5 Lingkungan yang memiliki kelembaban rendah dan suhu dingin dapat mengurangi kadar air dari stratum korneum, sehingga lebih permeabel terhadap pajanan iritan.2,4,5

Bila satu atau lebih iritan digabungkan atau digunakan secara bersamaan, efek sinergis atau antagonis dapat terjadi sebagai akibat interaksi seluler spesifik antara senyawa, atau perubahan dalam permeabilitas kulit dengan satu atau lebih senyawa, yang tidak akan terjadi bila iritan digunakan sendiri. Hal ini dikenal sebagai crossover phenomenon.2

Tabel 1. Tabel Faktor Eksogen yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Iritan5 a. Tipe Iritan (pH, aktivitas kimia)

b. Penetrasi iritan ke kulit c. Temperatur tubuh

d. Faktor mekanis (tekanan , friksi, abrasi) e. Lingkungan (temperatur, kelembaban)

f. Faktor pajanan lain (lamanya, langsung atau airborne)

Faktor Endogen

 Faktor Genetik

Telah dihipotesiskan bahwa kemampuan individu untuk menangkal radikal bebas, untuk mengubah kadar enzim antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk perlindungan terhadap heat shock protein semua mungkin berada di bawah kontrol genetik. Faktor-faktor ini juga menentukan variabilitas dalam respon terhadap iritasi, selain itu kecenderungan genetik terhadap kerentanan iritan mungkin spesifik untuk setiap iritan.2,4,5

 Jenis Kelamin

Mayoritas DKI terjadi di tangan dan terutama terjadi pada perempuan. Hal ini mungkin dikarenakan perempuan lebih banyak kontak dengan iritan dan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan yang basah.2,4,5

 Usia

Anak-anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap penyerapan reaksi kimia dan iritan lainnya. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan terhadap absorpsi perkutan terhadap bahan kimia dan reaksi iritan dengan bertambahnya

(6)

usia.5 Iritasi kulit yang tampak (eritema) akan menurun pada orang tua sedangkan iritasi kulit yang tidak tampak (kerusakan barrier) mungkin meningkat pada orang tua.2,4,5

 Etnis

Belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa jenis kulit secara signifikan mempengaruhi perkembangan DKI.2,5

 Predileksi

Predileksi ini penting sehubungan dengan fungsi barrier kulit. Lokasi yang lebih rentan terhadap terjadinya DKI adalah wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan, sedangkan lokasi yang sulit mengalami DKI adalah telapak tangan dan telapak kaki.2,4,5

 Atopi

Riwayat atopi dikenal sebagai faktor predisposisi untuk dematitis kontak iritan pada tangan.2 Riwayat dermatitis atopik tampaknya terkait dengan peningkatan kerentanan terhadap iritasi dermatitis karena ambang batas yang lebih rendah terhadap iritasi kulit, fungsi barrier kulit yang terganggu, dan proses penyembuhan lebih lambat.4,5

Dengan demikian, faktor eksogen yang paling penting adalah toksisitas yang melekat pada bahan kimia yang mengganggu penetrasi pada kulit manusia, sedangkan faktor endogen yang paling penting adalah sejarah atopik dan fungsi barrier kulit.2,5

PATOGENESIS

Iritan atau zat toksik yang paling sering menyebabkan DKI adalah: sabun, deterjen, asam, alkali, semen, fenol, pelarut industri (turpentine, acetone, carbon dioxide, dan lain-lain) dan tumbuh-tumbuhan (capsaicin).5 Mekanisme yang terlibat dalam DKI fase akut dan kronis pada dasarnya berbeda. Reaksi akut melibatkan kerusakan sitotoksik langsung pada keratinosit, sedangkan DKI kronis berupa pajanan berulang yang menyebabkan kerusakan tipe lambat pada membran sel, kerusakan barrier kulit melalui hilangnya lipid permukaan kulit dan zat yang menahan air, yang kemudian akan menyebabkan denaturasi protein dan toksisitas selular.1,2,5

Iritasi (baik kimia maupun fisik), dapat menyebabkan kerusakan sel jika diterapkan untuk waktu yang cukup lama dalam konsentrasi yang adekuat. Dermatitis kontak iritan terjadi ketika pertahanan atau kapasitas perbaikan kulit tidak mampu mempertahankan integritas kulit dan fungsi normal atau saat terpajan bahan kimia disertai dengan respon

(7)

inflamasi. Iritasi lemah menimbulkan reaksi setelah kontak yang terlalu lama. Reaksi awal biasanya terbatas pada tempat kontak dengan iritasi.1

Terdapat empat mekanisme yang saling terkait dengan DKI: (1) hilangnya lipid permukaan kulit dan zat yang dapat menahan air, (2) kerusakan membran sel, (3) denaturasi keratin epidermal, dan (4) efek sitotoksik langsung.2,5,4 Jelas terlihat adanya komponen yang menyerupai imunologik pada respon iritan, yang ditandai dengan pelepasan mediator pro-inflamasi, terutama sitokin dari keratinosit (sel kulit non-imun) dalam menanggapi rangsangan kimia. Proses ini tidak memerlukan sensitisasi sebelumnya. Rusaknya barrier kulit menyebabkan pelepasan sitokin seperti interleukin 1α (IL-1α), IL-1β, dan tumor necrosis factor-α (TNF-α). TNF- α dan IL-6 naik 10 kali lipat, sedangkan GMCSF (Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor) dan IL-2 naik 3 kali lipat. TNF-α adalah salah satu sitokin kunci pada DKI, yang menyebabkan meningkatnya ekspresi major histocompatibility complex class II dan adhesi molekul intraseluler-1 pada keratinosit.2

Kebanyakan bahan iritan yang merusak membran lemak pada keratinosit dapat menyebabkan iritan menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran akan mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelete activiting factor (PAF), dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel mass yang akan melepaskan histamin, LT dan PG lain, serta PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular.2,4

DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan GMCSF. IL-1 mengaktifkan sel T-helper untuk mengeluarkan IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 yang akan menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.4

Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.4

(8)

GAMBARAN KLINIS

DKI memiliki gambaran klinis yang dapat dibagi menjadi beberapa kategori yang berbeda, tergantung pada iritan dan pola pajanannya. Namun manifestasi ini juga tergantung pada mekanik, termal, iklim, dan konstitusional faktor.2,5

Jenis-jenis klinis DKI bervariasi sesuai dengan iritan yang bersangkutan: (1) ulkus, yaitu oleh asam, basa dan pelarut kuat, (2) folikulitis, yaitu oleh minyak, tar, dan serat kaca, (3) miliaria, yaitu oleh radiasi ultraviolet atau infrared, pita perekat dan aluminium klorida, (4) hiperpigmentasi, yaitu oleh logam berat, alergen iritan dan radiasi, (5) hipopigmentasi, yaitu oleh hidrokuinon, p-tert-butylphenol, monobenzyl, dan lain-lain.4

Pada beberapa orang keluhan hanya berupa gejala subjektif seperti rasa terbakar, tersengat. Dapat juga sensasi nyeri beberapa menit setelah terpajan, misalnya terhadap asam, kloroform, dan methanol. Rasa seperti tersengat yang terjadi agak lambat (delayed type) yaitu dalam 1-2 menit, puncaknya dalam 5-10 menit dan berkurang 30 menit, yang disebabkan oleh alumunium klorid, fenol, propilen glikol, dan lain-lain.4,5

Adapun 10 gambaran klinis lain yang diklasifikasikan berdasarkan tipe DKI, yaitu:

1) Reaksi iritasi: reaksi iritasi klinis sebagai reaksi monomorfik akut yang mencakup skuamasi, eritema ringan, vesikel, atau erosi dan biasanya terlokalisasi pada punggung tangan dan jari-jari tangan. Hal ini sering terlihat pada individu yang memiliki pekerjaan berhubungan dengan air. Reaksi iritasi yang lama dapat berkembang menjadi DKI kumulatif.2,5

2) Dermatitis kontak akut: DKI akut merupakan hasil dari paparan kulit tunggal oleh iritan kuat atau bahan kimia kaustik, seperti alkali dan asam, atau sebagai akibat dari serangkaian bahan kimia singkat atau kontak fisik. Sebagian besar kasus DKI akut adalah akibat dari kecelakaan kerja.2 Keluhan pasien setelah kontak dengan iritan biasanya berupa sensasi seperti rasa terbakar, gatal atau tersengat.5 Gambaran klinis tampak dengan eritema, edema, dan vesikulasi dan eksudasi dengan pembentukan bula, dan nekrosis jaringan pada kasus yang lebih parah. Penyembuhan sempurna dapat terjadi 4 pekan, dengan prognosis yang baik.2

Bentuk lain DKI akut:

Dermatitis kontak iritan akibat airborne, misalnya akibat pajanan debu atau uap.5

Cheilitis dapat terjadi akibat menjilat-jilat bibir atau penggunaan kosmetik dan obat-obatan.5

(9)

Diaper dermatitis atau dermatitis perianal yang merupakan hasil dari kontak lama dengan air seni atau tinja.5

 Dermatitis akibat natrium azida disebabkan oleh kantung udara yang menyebabkan terbakarnya bahan kimia alkali, serta dapat juga disebabkan oleh bubuk.5

3) Dermatitis kontak iritan akut lambat: dermatitis kontak iritan akut lambat adalah peradangan akut tetapi tidak terlihat tanda-tanda peradangan muncul dari 8 – 24 jam atau lebih setelah pajanan. Gambaran klinisnya dapat seperti DKI akut atau menyerupai DKA dan sulit membedakannya sehingga perlu dilakukan tes tempel. Dermatitis kontak iritan akut lambat pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Bahan penyebab DKI ini antara lain: acrylat (butanediol diakrilat, hexanediol diakrilat), antralin (ditranol), benzalkonium klorida, benzoil peroksid, kalsipotriol, diklofenak, podofilin, propilen glikol, sodium lauril sulfat, tretinoin.2,3,5

4) Dermatitis kontak iritan kumulatif kronis: DKI ini adalah jenis paling sering ditemui dalam praktek klinis yang dapat disebut DKI traumatif. Penyakit ini berkembang disebabkan kontak berulang pada kulit oleh bahan kimia lemah yang tidak cukup kuat untuk menyebabkan DKI akut, yaitu meliputi sabun, deterjen, surfaktan, pelarut organik, dan minyak. Kosmetik juga dapat menyebabkan DKI kumulatif pada wanita, khususnya dikelopak mata.Penyakit ini dimulai dengan rasa gatal, nyeri, dan tampak bercak kulit kering yang terlokalisir, kemudian eritema, hiperkeratosis, dan fisura. Gejala tidak langsung terlihat setelah paparan terhadap iritan, tetapi dapat muncul setelah beberapa hari, bulan, atau tahun kemudian. Dengan seringnya pajanan kulit menjadi keras dan bahkan dapat menjadi resisten terhadap pajanan berikutnya. Kulit keras akan muncul kasar dan terjadi likenifikasi, yang dapat berkontribusi untuk resistensi lebih lanjut. Namun, bahkan periode singkat dari paparan dapat menurunkan daya tahan, dan dengan pajanan kembali, pasien akan berisiko iritasi lagi. Terdapat kesulitan dalam membedakan DKI kumulatif kronis dan DKA pada gambaran klinis dan pemeriksaan fisik, sehingga diperlukan uji tempel diagnostik yang tepat diindikasikan untuk menyingkirkan diagnosis DKA. Prognosis DKI kumulatif adalah variabel.2,4,5

5) DKI subjektif (simptomatik, sensorik): pada DKI ini pasien akan mengeluh gatal-gatal, kesemutan, seperti tersengat, terbakar, atau sensasi perih dalam beberapa menit setelah kontak dengan iritan, walupun tanpa lesi kulit yang terlihat. Iritasi subjektif biasanya terjadi pada wajah, kepala, dan leher. Penyebab pada umumnya adalah kosmetik, tabir surya, dan pakaian wol. Iritasi sensorik pada umumnya termasuk asam laktat (model untuk fenomena ini), propilen glikol, dan garam aluminium. Stimulasi kulit nosiseptor

(10)

tipe C telah terlibat pada iritasi ini, meskipun sudah ditemukan perubahan dalam pembuluh darah kulit. Beberapa iritasi sensorik mungkin non-imunologik kontak urtikaria. Skrining bahan mentah atau formulasi akhir dengan guinea pig ear swelling test atau uji dahi manusia dapat memungkinkan seseorang untuk meminimalkan urtikaria kontak sub-klinis.2,5

6) DKI non-eritematosa (suberitematosa): tipe ini klinis tidak terlihat adanya iritasi tetapi gambaran tampak secara histopatologi. Gejala umum termasuk rasa seperti terbakar, gatal, atau terasa perih. Iritasi suberitematosa biasanya terjadi akibat kontak dengan bahan yang mengandung bahan surfaktan.5

7) Dermatitis gesekan: tipe ini merupak iritasi mekanis yang didapat sebagai akibat dari mikrotrauma berulang dari gesekan/friksi. Dematitis pada puting susu terjadi pada pasien dengan bra yang tidak pas. Dermatitis karena kaki palsu, cedera mekanik dari duri dan tulang belakang pada tanaman juga digolongkan sebagai dermatitis gesekan. Pada klinis biasanya dapat menyebabkan kulit tampak kering, kulit terkelupas hiperkeratotik, sehingga lebih rentan terhadap efek iritasi.2

8) Reaksi traumatik: tipe ini terjadi akibat trauma kulit akut, misalnya rasa seperti terbakar, laserasi dan paling sering terjadi pada tangan dan berlangsung selama 5 pekan atau lebih. Proses penyembuhan jenis dermatitis ini lebih lama dan dapat timbul eritema, papula atau vesikel. Lesi dapat menyerupai dermatitis nummular.2

9) Reaksi pustular atau akneiform: reaksi pustular atau akneiform biasanya terlihat setelah eksposur terhadap pekerjaan, misalnya kontak dengan minyak, tar, logam berat, dan halogen tetapi juga setelah penggunaan beberapa kosmetik. Pustul yang steril dan transien dapat timbul beberapa hari setelah pajanan. Jenis dermatitis ini sering terjadi pada pasien dermatitis atopik dan dermatitis seborrheic.2,5

10) Exsication eczematid: biasanya terjadi pada orang dewasa yang sering menggunakan pancuran air tanpa mengoleskan pelembab kulit setelah mandi. Tanda penyakit ini adalah gatal sekali, kulit kering, dan skuama menyeruapi iktiosis.5

DIAGNOSIS

Anamnesis

Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis yang akurat. Pada DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab terjadinya, sedangkan DKI kronis

(11)

timbul lebih lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA.

Pada anamnesis ditanyakan secara mendalam mengenai pekerjaan pasien, apakah berhubungan dengan pekerjaan basah, kontak sabun, detergen, kontak dengan bahan pelarut organik/ alkali, tanyakan juga mengenai hobi pasien. Pada pasien DKI akut juga harus ditanyakan onset dari gejala, apakah terjadi selama beberapa menit atau sampai beberapa jam, karena pada pasien DKI akut yang lambat dikarakteristikkan oleh kausa pajanannya, seperti benzalkonium klroida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan. Onset dari gejala dan lesi yang didapatkan hingga berminggu-minggu sudah termasuk DKI kumulatif atau DKI kronis, karenapada DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit. Penderita akan merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat pruritus yang terjadi. Pada anamnesis ditanyakan juga riwayat pengobatan sebelumnya, adanya friksi dan lain-lain.2,4

Pemeriksaan Fisik

Untuk pemeriksaan fisik bisa ditegakkan dengan melihat lesi berdasarkan tabel dibawah ini:

Tabel 2. Tabel Kriteria Diagnostik pada Dermatitis Kontak11

MAYOR MINOR

Sujektif

 Onset simptom biasanya dalam menit hingga beberapa jam setelah terpajan

 Nyeri, panas, kesemutan

 Onset dermatitis dalam 2 minggu setelah terpajan

 Banyak orang yang di lingkunagnn yang sama mengalami gejala yang sama.

Objektif

 Makula eritem, hiperkeratosis, atau adanya fisura

 Gambaran mengkilat, kering atau melepuh pada kulit

 Proses penyembuhan dimulai segera pada bagian yang tereksposur terhadap agen

 Patch tes negatif

 Bentuk simsumkrip yang tajam pada permukaan kulit

 Terdapat pengaruh gravitasi seperti efek dripping (tetesan).

 Tedensi dermatitis untuk menyebar berkurang

 Perubahan morfologi menunjukkan sedikit perbedaan konsentrasi atau waktu kontak menghasilkan perbedaan besar dalam kerusakan kulit.

(12)

Pemeriksaan Penunjang

Tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis kontak iritan. Lesi kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan.2,11

Pada beberapa kasus, dermatitis kontak merupakan hasil dari efek berbagai iritan. Patch test dapat digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis dan juga dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding DKA. Konsentrasi yang digunakan harus tepat, jika terlalu sedikit akan memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi,sebaliknya jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch test dilepas setelah 48 jam, hasilnya akan dilihat dan dicatat apabila reaksi positif. Untuk pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan kembali pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan lesi kulit yang sama atau bahkan membaik, maka dapat didiagnosis sebagai DKI. Pemeriksaan patch test digunakan untuk pasien DKI kronis dengan dermatitis kontak yang rekuren.2,11

Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder bakteri. Pemeriksaan KOH dapat dilakukan untuk mengetahui adanya mikologi pada infeksi jamur superfisial infeksi kandida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi dari lesi. Pemeriksaan IgE untuk memeriksa peningkatan imunoglobulin E yang dapat mendukung adanya riwayat atopik.9,11

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis dermatitis kontak iritan sering dikaitkan dengan diagnosis DKA atau DA (dermatitis atopi). Perbedaan signifikan pada DKI dan DKA adalah pada DKA terdapat sensitasi dari pajanan/ iritan sebelumnya untuk menimbulkan reaksi. Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah interpretasi ulang dari dari antigen oleh sel T (memori) dan keluhan utama pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan. Pada patch test, didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan, dan sensitifitasnya berkisar antara 70-80%.2,3,4

Dermatitis atopi merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Dermariris atopi sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga penderita. Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada penderita dengan suspek DKI dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan diagnosis dermatitis atopi. 2,8,9

(13)

Riwayat pajanan terhadap gesekan, kerja basah, sabun, dan deterjen atau paparan pelarut organik atau basa, dan/atau kelembaban relatif lingkungan kurang dari 35 persen merupakan faktor kunci yang mendukung diagnosis DKI.2

PENGOBATAN

Pentingnya identifikasi, eliminasi dan proteksi dari pajanan lebih lanjut terhadap bahan iritan merupakan terapi umum dalam pencegahan dan penatalaksaan DKI. Berkembangnya penyakit dermatitis menyebabkan munculnya pengobatan topikal yang sangat membantu dalam mengobati dermatitis, khususnya dermatitis kontak iritan. Sebenarnya peran kortikosteroid topikal dalam penatalaksanaan DKI masih kontroversial, akan tetapi hal tersebut dapat membantu untuk menangani efek antiinflamasi kulit yang terjadi pada DKI. Efek utama penggunaan KS secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek antiinflamasi, dan efek antimitosis, namun penggunaan jangka panjang kortikosteroid topikal dapat menyebabkan atrofi epidermis dan peningkatan kerentanan terhadap iritasi.2,4,6,7

Emolien atau occlusive dressing dapat meningkatkan perbaikan barrier pada kulit kering dan kulit yang mengalami likenifikasi. Emolien berbasis petrolatum tradisional dapat diakses, murah, dan telah terbukti efektif sebagai emolien yang mengandung lipid kulit yang terkait. “krim barrier” memiliki jumlah yang terbatas. Kalsineurin inhibitor topikal (misalnya, pimecrolimus) dapat digunakan sebagai alternatif-potensi rendah kortikosteroid topikal di DKI kronis.2,7

Dalam kasus yang parah atau kronis, fototerapi (psoralens dengan UVA atau UVB) atau obat sistemik, seperti azathioprine dan siklosporin, mungkin efektif. Grenz radioterapi adalah pengobatan tambahan yang memiliki potensi lini ke tiga. Superinfeksi bakteri dapat diobati dengan antibiotik topikal atau sistemik. Dalam iritasi sensorik, garam strontium bertindak dengan selektif menghambat aktivasi kulit jenis nosiseptor C.2,5

PENCEGAHAN

DKI merupakan faktor risiko untuk perkembangan menjadi DKA karena gangguan barrier kulit dapat meningkatkan potensi untuk induksi dan elisitasi dari DKA. Dengan demikian, pencegahan dermatitis kontak iritan berarti pencegahan simultan DKA.2

Kesulitan untuk merubah pola perilaku menjadi masalah rutin selama bertahun-tahun, setelah bahan iritan diketahui sebagai faktor penyebab, pasien dianjurkan untuk menghindari

(14)

iritan, termasuk dalam praktek sehari-hari yang dapat menyebabkan atau memberikan kontribusi pada DKI.2,4

Penggunaan alat pelindung diri, terutama dalam pekerjaan yang berisiko tinggi, sangat penting. Sarung tangan harus dipakai untuk setiap pekerjaan yang berkaitan dengan air, namun pasien juga harus menghindari mengenakan sarung tangan tahan air untuk jangka waktu yang lama untuk membantu mengurangi keringat. Dalam kasus ini, sarung tangan harus memiliki lapisan kain atau sebaliknya, sarung tangan katun tipis dapat dipakai di dalam sarung tangan tahan air.2,5

Pelembab diyakini akan meningkatkan hidrasi atau mencegah TEWL, dengan demikian mempertahankan fungsi barrier kulit akan mengurangi risiko DKI. Perawatan harus dilakukan selama beberapa bulan setelah dermatitis sembuh, karena kulit tetap rentan terhadap pajanan dalam waktu lama.2,4,5

PROGNOSIS

Prognosis untuk DKI akut baik apabila penyebab iritan dapat diketahui dan dihilangkan. Prognosis untuk DKI kumulatif atau kronis lebih buruk daripada DKA. Adanya latar belakang atopik, kurangnya pengetahuan tentang penyakit, keterlambatan terapi dan diagnosis merupakan faktor yang menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk.2,4,5

(15)

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Klaus W, Suurmond D. in colour atlas and synopsis of clinical dermatology. Ed 6. New York: McGraw- Companies; 2009. p 20 – 25.

2. High WA, Fitzpatrick JE. Irritant Contact Dermatitis. In: Wolf K et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: The McGraw Hills,Inc.2008. p 395 – 401.

3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s disease of the skin clinical dermatology. 10th ed. 2000 : p 91 – 94.

4. Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Irritant Contact Dermatitis. In: Cohen DE, Souza AD. Dermatology. 3rd ed. 2008. p 249 – 259.

5. Kartowigno S. 10 besar kelompok penyakit kulit. Ed pertama. 2011 : p 10 – 16.

6. Schwarzenberger K, Werchniak AE, Ko CJ. General Dermatology. In: Jacob SE, Jaimes JP. Spongiotic disorders. 2009 : p 175 – 177.

7. Ardhie AM. Dermatitis dan peran steroid dalam penanganannya. Vol 17. Dexa medica. 2004.

8. Ng.SK, Goh CL. Irritant Contact Dermatitis and Allergic Contact Dermatitis. In : Ng. SK, Go CL. The principles and practice of Contact and Occupational Dermatology in the Asia – Pasific Region, Singapore 2001 : p 1 – 13.

9. Rietschel RL, Fowler JF. Hands Dermatitis Due to Contacts : Special consideration in : Fischer’s Contact Dermatitis 5th

+Ed. Philapdelphia 2001 : p 269 – 76.

10. Nettis E, Colanardi MC, Soccio AL. Ferrannimi A, Tursi A. Occupational Irritant and Allergic Contact Dermatitis Among Healthcare Workers. Contact Dermatitis 2002 : p 101 – 107.

11. Frosch PJ, John SM. Clinical aspects irritant of irritant contact dermatitis. 2006 : p 255 – 294.

(16)

Diskusi presentasi referat pada hari Sabtu tanggal 8 Juni 2013:

1. Mengapa prognosis dermatitis kontak iritan yang memiliki riwayat atopi lebih buruk daripada prognosis dermatitis kontak iritan?

 Beberapa kriteria minor untuk orang yang memiliki riwayat atopi adalah xerosis (kulit kering), reaktivitas kulit tipe cepat, serum IgE yang meningkat, dan imunitas mediasi sel yang terganggu. Hal tersebut akan mempermudah proses terjadinya dermatitis kontak iritan apabila seseorang yang memiliki riwayat atopi terpajan oleh bahan iritan, baik iritan kuat maupun iritan lemah. Saat terpajan, tidak menutup kemungkinan apabila penderita tersebut akan memiliki lesi yang lebih parah dan lebih sulit disembuhkan dibandingkan dengan penderita dermatitis kontak iritan yang tidak memiliki riwayat atopi. Selain itu, riwayat atopi juga merupakan salah satu faktor terjadinya dermatitis kontak iritan.

2. Pada slide presentasi diagnosis banding yang ditampilkan hanya dermatitis kontak iritan dan dermatitis atopi, apakah ada diagnosis banding lainnya dan tolong sebutkan?  Diagnosis banding dermatitis kontak iritan yang paling banyak adalah dermatitis kontak alergi (DKA) dan dermatitis atopi (DA), karena selain efloresensi nya hampir sama, ketiga penyakit tersebut hanya dibedakan dari proses inflamasi, hasil tes penunjang dan faktor yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Selain DKA dan DA, masih banyak diagnosis banding lainnya, berikut terdapat tabel yang menyebutkan beberapa penyakit yang dapat dijadikan diagnosis banding dermatitis kontak iritan: Tabel 1. Differential Diagnosis of Irritant Contact Dermatitis (Major Types)

Localized Disseminated Most likely  Dermatitis seboroik  Dermatitis statis  Dermatitis atopi  Tinea  Asteatosis  Dermatitis atopi  Asteatosis Autoeczematization  Tinea korporis Consider

 Liken simplek kronikus

 Herpes simpleks  Herpes zoster  Akne steroid  Rosasea  Factitial dermatitis  Psoriasis

Polymorphous light eruption

Dermatitis numular

Parapsoriasis

Erupsi obat

(17)

Always rule out

Bowen disease

 Dermatitis kontak alergi

Cutaneous T-cell lymphoma

 Dermatitis kontak alergi

 Siphilis sekunder

Tabel 2. Differential Diagnosis of Irritant Contact Dermatitis (CD; Site Specific)

Face Hand

Most likely

 Dermatitis seboroik

 Dermatitis atopi

 Dermatitis kontak alergi

 Dermatitis atopi

 Dermatitis kontak alergi

 Tinea manus

Dyshidrotic dermatitis

Consider

 Dermatitis atopi

 Dermatitis kontak fotoalergika

 Akne steroid  Herpes simpleks  Herpes zoster  Rosasea  Psoriasis  Psoriasis  Dermatitis numular

Liken simplek kronikus

Always rule out

 Dermatitis kontak alergi

 Dermatitis kontak sistemik

Dermatitis kontak airborne

 Dermatitis kontak direk/indirek

Dermatitis kontak ectopic

 Fotodermatitis

Bowen disease

Dyshidrotic dermatitis

 Psoriasis

 Tinea manus

3. Mengapa pencegahan untuk dermatitis kontak iritan salah satunya adalah menghindari sinar ultraviolet?

 Karena pada radiasi ultraviolet atau infra merah merupakan salah satu bahan iritan yang dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak iritan yang diawali penyakit miliaria. Maka dari itu, khususnya pada orang dewasa yang memiliki kulit kering agar menghindari kontak langsung secara terus menerus terhadap radiasi sinar ultraviolet, karena hal tersebut akan merusak barier kulit yang berperan dalam terjadinya dermatitis kontak iritan saat kontak dengan bahan iritan, baik iritan kuat maupun iritan lemah.

Gambar

Tabel 2. Tabel Kriteria Diagnostik pada Dermatitis Kontak 11
Tabel 1. Differential Diagnosis of Irritant Contact Dermatitis (Major Types)
Tabel 2. Differential Diagnosis of Irritant Contact Dermatitis (CD; Site Specific)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Hierarchy of Controls setelah metode pertama dilakukan untuk meminimalisir kejadian dermatitis kontak iritan yang terjadi akibat kontak dengan bahan kimia,

Dalam penelitian ini beberapa faktor yang diduga menjadi faktor risiko terhadap kejadian dermatitis kontak antara lain: (1) faktor agent, yaitu lama kontak dengan iritan

Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan untuk menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam sekali pajanan. Zat-zat yang dapat menyebabkan adalah

Hasil analisis hubungan antara kebersihan tangan, kaki dan kuku dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada pemulung, menunjukan bahwa responden dengan kategori

Penanganan dermatitis kontak tidak selamanya mudah karena banyak dan seringnya faktor-faktor tumpang tindih yang memicu setiap kasus dermatitis. Pencegahan kontak kulit

Pada petugas sampah di TPA memiliki faktor resiko terkena dermatitis kontak iritan karena memiliki hubungan dengan jenis pekerjaan yang bersifat basah dan kontak

Judul Karya Tulis/Skripsi : Hubungan Kandungan Sulfate Sabun Cuci Mobil dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan (DKI) pada Pegawai Cuci Mobil di Kota

Hasil analisis hubungan antara kebersihan tangan, kaki dan kuku dengan kejadian dermatitis kontak iritan pada pemulung, menunjukan bahwa responden dengan kategori kebersihan tangan,