• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi penggunaan air tanaman padi dengan irigasi kontinyu dan berselang di Kecamatan Mijen, Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi penggunaan air tanaman padi dengan irigasi kontinyu dan berselang di Kecamatan Mijen, Semarang"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan pangan di Indonesia sangat memprihatinkan akibat dari pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas pangan, kegagalan panen akibat anomali iklim, dan berkurangnya luas lahan pertanian akibat konversi lahan ke bidang non-pertanian dengan laju alih fungsi lahan sebesar 110.164 ha/tahun (BPS, 2004). Oleh karena itu, dituntut perlu adanya optimalisasi seluruh sumber daya pertanian. Disamping faktor tanah, produktivitas pertanian sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air, dan berbagai unsur iklim.

Anomali dan perubahan iklim global sangat mempengaruhi kondisi iklim secara global, regional, maupun lokal. Hal ini merupakan tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan salah satunya dengan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air yang lebih efisien sebagai strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim (BPPP, 2007). Air sangat diperlukan tanaman padi sawah untuk pertumbuhan tanaman. Kelangkaan air yang terjadi akibat dampak dari perubahan iklim merupakan ancaman bagi bidang pertanian terhadap penyediaan pangan masa depan. Diperlukan suatu cara bertanam tanaman padi maupun teknologi pengairan yang dapat meningkatkan efisiensi air. Pada kondisi keterbatasan air diharapkan varietas berumur genjah dan tahan kering akan lebih baik serta sistem pemanfaatan ruang dalam hal ini sistem jarak tanam yang menjadikan air di lapisan tanah bagian bawah tersedia sehingga akan menghasilkan produksi yang lebih baik. Selain itu, melalui irigasi berselang diharapkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman lebih tinggi. Menurut Las (2007), dengan irigasi berselang hasil padi meningkat 7% dibanding hasil pada lahan yang digenangi terus menerus.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui produktivitas pada keempat varietas padi, yaitu Inpari 1, Umbul, Situ Bagendit, dan Galur Harapan pada lahan irigasi kontinyu dan berselang dengan menggunakan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel

2. Mengetahui kebutuhan air tanaman pada keempat varietas padi pada lahan irigasi kontinyu dan berselang dengan

menggunakan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel

3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan air pada pengairan berselang dan pengairan konvensional (kontinyu).

II.TINJAUAN PUSTAKA

Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim: Graminae atau Glumiflorae). Padi (Oryza sativa) adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Produksi padi di dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek karena kebutuhan padi yang tinggi akan air pada sebagian tahap kehidupannya dan adanya pembuluh khusus di bagian akar padi yang berfungsi mengalirkan udara (oksigen) ke bagian akar.

Pengelolaan air sangat penting peranannya dalam keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Tanaman padi membutuhkan air yang berbeda volumenya untuk setiap fase pertumbuhannya. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress).

(2)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan pangan di Indonesia sangat memprihatinkan akibat dari pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas pangan, kegagalan panen akibat anomali iklim, dan berkurangnya luas lahan pertanian akibat konversi lahan ke bidang non-pertanian dengan laju alih fungsi lahan sebesar 110.164 ha/tahun (BPS, 2004). Oleh karena itu, dituntut perlu adanya optimalisasi seluruh sumber daya pertanian. Disamping faktor tanah, produktivitas pertanian sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air, dan berbagai unsur iklim.

Anomali dan perubahan iklim global sangat mempengaruhi kondisi iklim secara global, regional, maupun lokal. Hal ini merupakan tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan salah satunya dengan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air yang lebih efisien sebagai strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim (BPPP, 2007). Air sangat diperlukan tanaman padi sawah untuk pertumbuhan tanaman. Kelangkaan air yang terjadi akibat dampak dari perubahan iklim merupakan ancaman bagi bidang pertanian terhadap penyediaan pangan masa depan. Diperlukan suatu cara bertanam tanaman padi maupun teknologi pengairan yang dapat meningkatkan efisiensi air. Pada kondisi keterbatasan air diharapkan varietas berumur genjah dan tahan kering akan lebih baik serta sistem pemanfaatan ruang dalam hal ini sistem jarak tanam yang menjadikan air di lapisan tanah bagian bawah tersedia sehingga akan menghasilkan produksi yang lebih baik. Selain itu, melalui irigasi berselang diharapkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman lebih tinggi. Menurut Las (2007), dengan irigasi berselang hasil padi meningkat 7% dibanding hasil pada lahan yang digenangi terus menerus.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui produktivitas pada keempat varietas padi, yaitu Inpari 1, Umbul, Situ Bagendit, dan Galur Harapan pada lahan irigasi kontinyu dan berselang dengan menggunakan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel

2. Mengetahui kebutuhan air tanaman pada keempat varietas padi pada lahan irigasi kontinyu dan berselang dengan

menggunakan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel

3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan air pada pengairan berselang dan pengairan konvensional (kontinyu).

II.TINJAUAN PUSTAKA

Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim: Graminae atau Glumiflorae). Padi (Oryza sativa) adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Produksi padi di dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek karena kebutuhan padi yang tinggi akan air pada sebagian tahap kehidupannya dan adanya pembuluh khusus di bagian akar padi yang berfungsi mengalirkan udara (oksigen) ke bagian akar.

Pengelolaan air sangat penting peranannya dalam keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Tanaman padi membutuhkan air yang berbeda volumenya untuk setiap fase pertumbuhannya. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress).

(3)

2

didominasi oleh munson Asia yang lembab

sehingga tercipta musim basah di Indonesia. Berdasarkan pembagian wilayah pola iklim di Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Keterangan:

(A) Tipe Monsun (B) Tipe Ekuatorial (C) Tipe Lokal

Gambar 1 Pembagian pola iklim secara klimatologi di Indonesia (Aldrian dan Susanto dalam Rahman, 2007)

Menurut Tjasyono (2004) fluktuasi nilai SOI sangat jelas pengaruhnya terhadap daerah berpola hujan monsun. Lebih lanjut Aldrian dan Susanto dalam Rahman (2007) mengatakan bahwa sea-surface temperature (SST) di sekitar kepulauan juga berpengaruh terhadap besaran curah hujan di kepulauan itu sendiri untuk daerah yang berpola hujan monsoon. Terganggunya siklus Walker yang bergerak dari timur Samudera Pasifik ke arah barat Samudera Pasifik akibat dari meningkatnya tekanan udara di Tahiti yang mengakibatkan terjadinya fluktuasi nilai SOI (Southern Oscillation Index) juga berpengaruh pada besarnya curah hujan di Indonesia, akibatnya adalah terhambatnya pertumbuhan awan di beberapa daerah di Indonesia sehingga menyebabkan curah hujan di daerah-daerah tersebut jumlahnya turun di bawah normal.

Menurut Effendy (2001), nilai SOI dapat dijadikan patokan terjadinya fenomena El-Nino dan La-Nina. Semakin negatif nilai SOI berarti semakin kuat kejadian panas (warm event), sebaliknya semakin positif nilai SOI semakin kuat kejadian dingin (cold event). Tahun 2010 merupakan tahun La-Nina kuat. Hal tersebut didukung oleh data nilai SOI yang dicatat oleh Bureau of Meteorology (BOM) Australia yang menunjukkan bahwa nilai SOI > +10 selama enam bulan (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai SOI (Southern Oscillation Index) tahun 2010

Jan Feb Mar Apr Mei Jun -10 -15 -11 15 10 1.8 Jul Ags Sep Okt Nov Des

21 19 25 18 16 27

Tabel 2 Kriteria nilai SOI (Southern Oscillation Index) penentu ENSO (El-Nino Southern Oscillation)

Nilai SOI (P_Tahiti-P_Darwin)

Fenomena yang akan terjadi < -10 selama 6 bulan El-nino kuat -5 s/d -10 selama 6 bulan El-Nino lemah-sedang

-5 s/d +5 selama 6 bulan Normal +5 s/d +10 selama 6 bulan La-Nina lemah-sedang

>+10 selama 6 bulan La-Nina kuat

2.2 Sistem Irigasi Berselang

Pengairan berselang adalah penerapan teknis pengairan yang dimaksudkan untuk menghemat penggunaan air. Pengairan berselang atau disebut juga intermitten adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian sesuai fase pertumbuhan tanaman dan kondisi lahan. Hal yang sering dikhawatirkan petani dalam berusahatani padi diantaranya adalah kekurangan air terutama di musim kemarau. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanaman padi memerlukan air irigasi pada fase tertentu. Untuk mengatasi kelangkaan air pada fase tertentu, dikembangkan beberapa teknik pengelolaan lahan yang efisien dalam penggunaan air. Pengairan berselang dapat menghemat pemakaian air 15 – 30% tanpa menurunkan hasil panen (BALITPA, 2009). Dalam menerapkan pengairan berselang, perlu dipertimbangkan bahwa cara ini dilakukan bergantung pada:

• Jenis tanah; Tanah yang tidak bisa menahan

air sebaiknya hati-hati dalam menerapkan cara pengairan berselang, demikian pula jenis tanah berat.

• Pola pengairan di wilayah setempat; kalau

pengairan sudah ditetapkan berselang setiap 3 hari maka ikutilah pola pengairan yang sudah ada.

• Pada lahan sawah yang sulit dikeringkan

karena drainase jelek, pengairan berselang tidak perlu dipraktekan.

(4)

3

irigasi sehingga areal yang dapat diairi

menjadi lebih luas, memberi kesempatan kepada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mencegah timbulnya keracunan besi, mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar,

mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah), menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen, memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah), dan memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang, dan mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus (BALITPA, 2009)

2.3 Respon Tanaman terhadap Ketersediaan Air

Air merupakan salah satu bahan yang penting dan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kramer (1963) dalam Chang (1968) menyatakan bahwa air adalah:

a. Unsur penting pada fisiologi tanaman b. Merupakan bahan reaksi dalam

fotosintesis dan proses hidrolisa

c. Merupakan bahan pelarut garam, gula, dan larutan lainnya yang bergerak dari sel ke sel lainnya dan dari bagian ke bagian lain tanaman

d. Sebagai unsur penting untuk pemeliharaan turgiditas tanaman diperlukan untuk perluasan sel dan pertumbuhan tanaman.

Tipe-tipe vegetasi dan adaptasi tanaman adalah interaksi sebagai faktor fisik lingkungan terutama ketersediaan air. Namun, jika dilihat mikro proses yang mempengaruhi keadaan mikro itu adalah proses-proses fisiologi yang hampir seluruhnya dipengaruhi secara langsung oleh air. Termasuk aktivitas metabolisme, misalnya fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan tanaman ditentukan oleh laju pembelahan dan perbesaran sel serta suplai bahan-bahan organik maupun anorganik untuk sintesa protoplasma dan dinding sel yang baru. Menurut Mudiyarso (1987), peran air dalam perbesaran sel adalah melalui pengaruhnya terhadap penurunan turgor, sedangkan pemanjangan daun dapat dihambat oleh cekaman air (kekurangan air) karena laju fotosintesis dan respirasi menurun. Jika, keadaan tersebut terus berlanjut akan mengakibatkan kematian tanaman.

Soemarno (2004) menyatakan bahwa apabila persediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara penuh, evapotranspirasi aktual (ETa) akan menurun di

bawah evapotranspirasi maksimum (ETm) atau

ETa < ETm. Pada kondisi seperti ini, akan

berkembang stress air di dalam tanaman yang akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengaruh-pengaruh ini sangat tergantung pada spesies dan varietas tanaman, intensitas stress dan waktu terjadinya stress air. Pengaruh intensitas dan waktu stress ini sangat penting dalam kaitannya dengan penjadwalan suplai air yang terbatas selama periode pertumbuhan tanaman dan penentuan prioritas penggunaan suplai air di antara tanamaan selama musim pertumbuhannya.

Kalau suplai air tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan air tanaman, atau ETa <

ETm, tanaman akan menunjukkan respon yang

berbeda-beda terhadap defisit air ini. Pada beberapa tanaman akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan air (WUE) sedangkan pada tanaman lainnya WUE menurun dengan meningkatnya defisit air. Kalau defisit air terjadi selama periode tertentu dalam musim pertumbuhan tanaman, respon hasil terhadap defisit air sangat beragam tergantung pada tingkat kepekaan tanaman pada periode tersebut. Pada umumnya tanaman sangat peka terhadap defisit air selama awal pertumbuhannya, pembungaan dan awal fase pembentukan hasil (Soemarno, 2004).

Menurut Soemarno (2004), Respon hasil terhadap defisit air juga beragam di antara varietas tanaman. Pada umumnya varietas unggul sangat peka terhadap air, pupuk dan input agronomis lainnya. Varietas-varietas yang potensi produksinya rendah dengan respon air yang rendah lebih sesuai untuk sistem tadah hujan yang sering mengalami stress air. Untuk mendapatkan hasil yang tinggi pada kondisi irigasi, harus digunakan varietas unggul yang sangat responsif terhadap air sehingga dapat dicapai efisiensi penggunaan air yang tinggi.

(5)

4

tersebut untuk mengekspresikan potensial

genetisnya. Air, nutrisi, temperatur, cahaya, dan faktor lingkungan lainnya yang bukan tingkatan optimum dapat mengurangi salah satu komponen hasil panen. Faktor pengelolaan meliputi jumlah biji yang ditanam dan kemampuan pengelola tanaman untuk menyediakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan agar tercapai hasil panen yang maksimum (Fitter, 1994).

2.4 Kebutuhan Air Tanaman

evaporasi adalah proses dimana air berubah menjadi uap air dan berpindah dari permukaan penguapan. air menguap dari berbagai permukaan seperti danau, sungai, tanah, dan vegetasi yang basah. Transpirasi adalah proses penguapan air yang terkandung dalam lapisan tanaman dan berpindah menguap ke atmosfer. Transpirasi tergantung pada pasokan energi, gradien tekanan uap air, dan angin. Maka, radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan angin harus dipertimbangkan ketika menentukan nilai transpirasi.

Gambar 2 Kondisi evapotranspirasi acuan (ET0) dan evapotranspirasi

tanaman (ETc) (Allen, 1998)

ET0 (evapotranspirasi acuan) merupakan

penguapan dari tanaman rumput yang ditanam di lahan dalam kondisi air tanah yang optimal dan kondisi lingkungan yang sangat baik serta mencapai produksi potensial dalam kondisi iklim yang diberikan. Metode FAO Penman-Montheith direkomendasikan sebagai satu-satunya metode untuk menentukan evapotranspirasi acuan (ET0) oleh para ahli

dari FAO bekerja sama dengan badan internasional irrigation and Drainage dan WMO (World Meteoroloy Organization). Persamaan Metode FAO Penman-Montheith diadopsi dari persamaan Penman-Montheith yang dikombinasikan dengan persamaan tahanan aerodinamik dan tahanan permukaan tajuk. Evapotranspirasi acuan (ET0)

merupakan nilai evapotranspirasi pada tanaman hipotetik yang memiliki tinggi 0.12 m, hambatan permukaan sebesar 70 s/m dan albedo 0.23. Kriteria tersebut mendekati kondisi tanaman rumput. Metode FAO Penman-Montheith tersebut dipilih karena mendekati nilai evapotranspirasi potensial tanaman rumput pada lokasi yang diteliti (Allen, 1998). ETc (evapotranspirasi

tanaman) merupakan penguapan dari suatu tanaman tertentu yang tumbuh di lahan yang luas dengan kondisi air tanah yang optimal, manajemen dan kondisi lingkungan yang sangat baik (bebas hama penyakit dan pemupukan yang baik), dan mencapai produksi potensial dalam kondisi iklim yang diberikan. Apabila jumlah air yang tersedia tidak menjadi faktor pembatas, maka evapotranspirasi yang terjadi akan mencapai kondisi yang maksimal dan kondisi itu dikatakan sebagai evapotranspirasi potensial (ETP) atau dengan kata lain evapotranspirasi potensial (ETP) akan berlangsung bila pasokan air tidak terbatas bagi stomata maupun permukaan tanah.

Doorenbos dan Pruitt (1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman sebagai jumlah air yang dibutuhkan untuk mengimbangi evapotranspirasi dari tanaman sehat (ETc) yang tumbuh pada suatu lahan

yang luas, kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Menentukan kebutuhan air secara tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan nilai ETc (evapotranspirasi

tanaman).

Menurut Mudiyarso (1987), istilah kebutuhan air tanaman memiliki pengertian yang sama dengan konsumsi air oleh tanaman. Konsumsi air oleh tanaman adalah banyaknya air yang hilang dari areal yang bervegetasi persatuan waktu yang digunakan untuk transpirasi atau pertumbuhan /perkembangan, dan yang dievaporasikan dari permukaan vegetasi dan tanah. Jadi, pada prinsipnya kebutuhan air tanaman adalah evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi yang menentukan pemakaian konsumsi air (kebutuhan air) oleh tanaman dipengaruhi

Iklim Radiasi Suhu Angin kelembaban Tanaman Acuan (rumput) Pengairan baik

Faktor Kc

(6)

5

oleh iklim, ketersediaan air tanah, dan

karakteristik pertumbuhannya. Menurut Allen (1998) pada kondisi irigasi normal (biasa yang dilakukan petani) untuk menghitung nilai kebutuhan air tanaman (ETc) sangat

disarankan menggunakan Kc tunggal dan pada

kondisi irigasi yang menggunakan pengaturan frekuensi pemberian irigasi dapat menggunakan Kc ganda (Kcb dan Ke). Berikut

merupakan rumus untuk mengetahui nilai ETc

dengan menggunakan Kc tunggal:

ETc = ET0 . Kc ...(1)

sedangkan, untuk mengetahui nilai ETc

dengan menggunakan Kc ganda sebagai

berikut:

ETc = ET0 . (Kcb + Ke)……….(2)

Keterangan:

ETc: evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Kc: koefisien tanaman

Kcb: koefisien transpirasi

Ke: koefisien evaporasi

ET0: evapotranspirasi acuan (mm/hari)

Gambar 3 Skema nilai Kc tunggal dan Kc

ganda selama pertumbuhan tanaman (Allen, 1998)

Koefisien tanaman sesuai dengan jenis dan pertumbuhan vegetatifnya. Sedangkan perubahan kondisi iklim/cuaca tidak begitu mempengaruhi nilai Kc pada tanaman pendek

seperti padi (Allen, 1998). Nilai koefisien tanaman (Kc) menggambarkan laju kehilangan

air secara drastis pada fase-fase pertumbuhan tanaman dan menggambarkan keseimbangan komponen-komponen energi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (FAO, 2001) dalam Aqil et al. (2001).

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi milik petani setempat yang terletak di Kelurahan Karangmalang, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah pada bulan April 2010 hingga Agustus 2010.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Kota Semarang

3.2 Bahan dan Alat

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan seluas 8.800 m2. Varietas padi yang digunakan antara lain: Inpari 1, Umbul, Situ Bagendit, dan Galur Harapan.

Deskripsi tanaman padi (Suprihatno et al., 2010):

1. Situ Bagendit (dilepas tahun 2003) Umur tanaman : 110 – 120 hari Bentuk tanaman : tegak Tinggi tanaman : 99 – 105 cm Anakan produktif : 12 – 13 batang Bobot 1000 butir : 27.5 g

Rata – rata hasil : 4.0 ton/ha pada lahan kering atau 5.5 ton/ha pada lahan sawah Potensi hasil : 6.0 ton/ha

Ketahanan terhadap penyakit : agak tahan terhadap blas dan hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran tanam : cocok ditanam di lahan kering maupun lahan sawah

Kcb Ke

K

c

= K

cb

+ K

e Kc pertunasan

Kc generatif

Kc akhir

Pertunasan Fase vegetatif Fase generatif Pematangan

(7)

5

oleh iklim, ketersediaan air tanah, dan

karakteristik pertumbuhannya. Menurut Allen (1998) pada kondisi irigasi normal (biasa yang dilakukan petani) untuk menghitung nilai kebutuhan air tanaman (ETc) sangat

disarankan menggunakan Kc tunggal dan pada

kondisi irigasi yang menggunakan pengaturan frekuensi pemberian irigasi dapat menggunakan Kc ganda (Kcb dan Ke). Berikut

merupakan rumus untuk mengetahui nilai ETc

dengan menggunakan Kc tunggal:

ETc = ET0 . Kc ...(1)

sedangkan, untuk mengetahui nilai ETc

dengan menggunakan Kc ganda sebagai

berikut:

ETc = ET0 . (Kcb + Ke)……….(2)

Keterangan:

ETc: evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Kc: koefisien tanaman

Kcb: koefisien transpirasi

Ke: koefisien evaporasi

ET0: evapotranspirasi acuan (mm/hari)

Gambar 3 Skema nilai Kc tunggal dan Kc

ganda selama pertumbuhan tanaman (Allen, 1998)

Koefisien tanaman sesuai dengan jenis dan pertumbuhan vegetatifnya. Sedangkan perubahan kondisi iklim/cuaca tidak begitu mempengaruhi nilai Kc pada tanaman pendek

seperti padi (Allen, 1998). Nilai koefisien tanaman (Kc) menggambarkan laju kehilangan

air secara drastis pada fase-fase pertumbuhan tanaman dan menggambarkan keseimbangan komponen-komponen energi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (FAO, 2001) dalam Aqil et al. (2001).

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi milik petani setempat yang terletak di Kelurahan Karangmalang, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah pada bulan April 2010 hingga Agustus 2010.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Kota Semarang

3.2 Bahan dan Alat

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan seluas 8.800 m2. Varietas padi yang digunakan antara lain: Inpari 1, Umbul, Situ Bagendit, dan Galur Harapan.

Deskripsi tanaman padi (Suprihatno et al., 2010):

1. Situ Bagendit (dilepas tahun 2003) Umur tanaman : 110 – 120 hari Bentuk tanaman : tegak Tinggi tanaman : 99 – 105 cm Anakan produktif : 12 – 13 batang Bobot 1000 butir : 27.5 g

Rata – rata hasil : 4.0 ton/ha pada lahan kering atau 5.5 ton/ha pada lahan sawah Potensi hasil : 6.0 ton/ha

Ketahanan terhadap penyakit : agak tahan terhadap blas dan hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran tanam : cocok ditanam di lahan kering maupun lahan sawah

Kcb Ke

K

c

= K

cb

+ K

e Kc pertunasan

Kc generatif

Kc akhir

Pertunasan Fase vegetatif Fase generatif Pematangan

(8)

6

2. Umbul (lokal)

Jenis varietas yang sering digunakan oleh petani setempat. Merupakan jenis padi sawah.

3. Inpari 1 (dilepas tahun 2008) Umur tanaman : 108 hari Bentuk tanaman : tegak Tinggi tanaman : 93 cm Anakan produktif : 16 anakan Bobot 1000 butir : 27 g

Rata – rata hasil : 7. 32 t/ha GKG Potensi hasil : 10 t/ha GKG Ketahanan terhadap :

Hama : tahan terhadap hama wereng batang coklat biotipe 2, agak tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 3

Penyakit : tahan hawar daun bakteri strain III, IV, dan VIII

Anjuran tanam : baik ditanam di lahan sawah dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl

4.Galur harapan

Varietas ini merupakan varietas baru jenis padi sawah.

Pemeliharaan selama satu masa tanam dengan memberikan pupuk phonska (pupuk majemuk NPK, Mengandung unsur hara N, P, K dan S sekaligus) sebesar 300 kg/ha; 200 kg/ha urea; KCL 60 kg/ha; kompos sebanyak 2 ton/ha; dan ferinsa (urin sapi) sebanyak 40 liter/ha. Peralatan yang digunakan cangkul, sekop, timbangan, oven, mistar, plastik, alat ukur kadar air gabah, AWS (Automatic Weather Station), macro excel FAO Penman-Monteith, Program statistik SAS (Statistical Analist System), dan Microsoft Excel.

3.3 Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan percobaan acak kelompok (Randomized Block Design) 2 faktor perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah varietas dan sistem jarak tanam dengan pengelompokan sistem irigasi. Berikut ini merupakan rancangan percobaannya, yaitu: I1 = sistem irigasi kontinyu

I2 = sistem irigasi berselang V1= varietas padi Inpari 1 V2= varietas padi Umbul V3= varietas padi Situ Bagendit V4= varietas padi Galur Harapan

J1= sistem jarak tanam jajar legowo 40 : (20 : 10 cm)

J2= sistem jarak tanam tegel (25 x 25 cm) Masing-masing perlakuan diulang t kali.

Bagan percobaan:

I1

I1V2J1 I1V4J2 I1V1J1 I1V3J1 I1V2J2 I1V3J2 I1V1J2 I1V4J1 I2

I2V2J2 I2V4J2 I2V1J1 I2V3J1 I2V2J1 I2V4J1 I2V1J2 I2V3J2

Model linier bagi rancangan 2 faktor dalam RAK adalah

Yijk = u + Rk + Ai+ Bj + (AB)ij + eijk....(3) Rk= pengaruh kelompok ke-k

Ai= pengaruh perlakuan faktor A taraf ke-i Bj= pengaruh perlakuan faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi

eijk = pengaruh galat percobaan

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan program statistik SAS pada taraf nyata sebesar 5%.

3.4 Parameter Penelitian

3.4.1 Parameter Tanah

Parameter tanah yang diperlukan dalam penelitian ini untuk simulasi program CWB-ETO yaitu kapasitas lapang (KL) sebesar 300 mm/m (mm air / m kedalaman tanah) dan titik layu permanen (TLP) sebesar 150 mm/m. Data tersebut merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian Hidayat Pawitan et al. (1997) untuk rata-rata wilayah Semarang.

3.4.2 Parameter Agronomi Tanaman Data agronomi primer antara lain: umur tanaman fase pertunasan, fase vegetatif, waktu generatif (pembungaan), waktu pengisian polong, waktu pemasakan biji, waktu panen, bobot gabah kering panen (GKP), bobot gabah kering giling (GKG), kedalaman akar maksimum, ketinggian tanaman, berangkasan basah, dan berangkasan kering. Data agronomi sekunder yaitu koefisien toleransi tanaman terhadap cekaman air (diasumsikan 20%) dan nilai koefisien tanaman terhadap pengurangan hasil panen (Ky) pada Tabel 3.

Pengambilan contoh untuk menganalisa pertumbuhan tanaman dengan ubinan (petak contoh) dengan luasan 2.5 x 2.5 m untuk lahan sistem tegel sedangkan untuk lahan sistem jajar legowo petak ubinan memiliki luasan 2.4 x 2.4 m.

Tabel 3 Nilai Ky tanaman padi

(9)

7

Fase Ky

Pertunasan 1.0

Vegetatif 1.0

Generatif 0.5

Pengisian bulir 3.6

Pematangan 3.0

3.4.3 Parameter Iklim

Parameter iklim yang diperlukan antara lain data curah hujan pada bulan Januari – Agustus 2010. Perhitungan nilai ET0

(evapotranspirasi acuan) dengan menggunakan macro excel FAO Penman-Monteith dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BALITKLIMAT). Data masukan yang diperlukan antara lain: lintang (latitude), bujur (longtitude), ketinggian tempat di atas permukaan laut (altitude), kecepatan angin yang terukur pada ketinggian dua meter (U2), suhu udara maksimum (Tmax), suhu udara

minimum (Tmin), dan suhu udara rata-rata

(Trerata). Persamaan modifikasi persamaan

FAO Penman-Monteith untuk menduga nilai evapotranspirasi acuan dengan persamaan menurut Allen (1998) adalah :

ET0 = 0.408∆(Rn-G) + γ((900/(T*273))U2 (es –ea) ……(4)

∆+ γ (1 + 0.34 U2)

Di mana :

ET0 evapotranspirasi acuan (mm hari-1)

Rn radiasi netto pada permukaan tanaman

(MJ m-2 hari-1)

G kerapatan flux bahang tanah harian (≈ 0 MJ m-2 hari-1)

U2 rata-rata kecepatan angin pada ketinggian dua meter (m detik-1)

es tekanan uap jenuh (kPa)

ea tekanan uap aktual (kPa)

∆ slope kurva tekanan uap (kPa oC-1)

γ konstanta psikrometrik (≈ 0.0667 kPa oC-1) T suhu udara rata-rata (oC)

Berikut ini merupakan rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai radiasi netto (Rn) pada

permukaan tanaman (Allen et al., 1998) yaitu:

Rn = Rns - Rnl……….(5)

Rns = (1 –α) Rs……….(6)

Rnl= σ

max, 2 min,

4 4

K T K

T

(0.34-0.14 ea )





1.35 0.35

so R

s R

………...(7)

Rs = kRs (Tmax-Tmin)0.5 Ra………...(8)

Rso = (0.75 + 2.10-5z) Ra……….(9)

Ra = (Gsc/π) dr [ωs sin(φ) sin(δ) + cos (φ)

cos(δ) sin(ωs)]}………(10)

[rad] = π/180 [derajat desimal]………(11) dr = 1 + 0.033 cos(2πJ/365)………...(12)

δ = 0.409 sin[(2πJ/365) –1.39]…….(13)

ωs = arcos[-tan(φ)tan(δ)]………(14)

Keterangan:

Rn radiasi netto pada permukaan tanaman

(MJ m-2 hari-1)

Rns radiasi netto gelombang pendek pada

permukaan tanaman (MJ m-2 hari-1) Rnl radiasi netto gelombang panjang pada

permukaan tanaman (MJ m-2 hari-1) Rs radiasi bruto gelombang pendek matahari

(MJ m-2 hari-1)

Rso radiasi bruto matahari saat kondisi cerah,

tidak ada penutupan awan (MJ m-2 hari-1)

Ra radiasi matahari ekstraterestrial

(MJ m-2 hari-1)

α albedo kanopi (= 0.23) z Ketinggian tempat (mdpl)

Tmax,K4 suhu absolut maksimum selama 24

jam (K=oC + 273.16) Tmin,K

4

suhu absolut minimum selama 24 jam (K=oC + 273.16)

σ ketetapan Stefan-Boltzmann (4.93 10-9 MJ K-4 m-2 hari-1)

kRs faktor koreksi (≈0.16 o

C-0.5) Tmax suhu udara maksimum (oC)

Tmin suhu udara minimum (oC)

Gsc konstanta matahari

(=118.08 MJ m-2 hari-1)

dr invers jarak bumi – matahari (rad)

ωs sudut terbenam matahari (rad)

φ lintang (rad)

δ sudut deklinasi matahari (rad)

π ≈ 3.14 J Juliandate

Besarnya nilai tekanan uap jenuh (es) dan

tekanan uap aktual (ea) didapatkan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Allen et al., 1998):

es = [e o

(Tmax) + e o

(Tmin)]/2 …………..(15)

eo(Tmax) = 0.6108 exp[(17.27 Tmax)/(Tmax +

237.3)]………..(16) eo(Tmin) = 0.6108 exp[(17.27 Tmin)/(Tmin +

237.3)]………..(17) ea = eo(Tmin)……….. ...(18)

asumsi persamaan (18) adalah suhu titik embun (Tdew) mendekati suhu minimum

(10)

8

eo(Tmax) tekanan uap saat suhu maksimum

(kPa)

eo(Tmin) tekanan uap saat suhu maksimum

(kPa)

Tmax suhu udara maksimum (oC)

Tmin suhu udara minimum (oC)

Menentukan nilai slope kurva tekanan uap (∆) dengan menggunakan persamaan berikut (Allen et al., 1998):

∆ =

2

3 . 237 3 . 237 27 . 17 exp 6108 . 0 4098  





T T T ...(19) Keterangan:

Trerata suhu udara rata-rata (oC)

3.4.4 Parameter Irigasi

Saat persemaian seluruh bibit ditanam selama 3 minggu dengan tinggi penggenangan 10 mm. Sebagai upaya adaptasi dua minggu pada awal musim tanam pada kedua lahan digenangi setinggi 20 mm terus-menerus. Setelah itu, pada sistem irigasi kontinyu penggenangan dilakukan terus-menerus setinggi 100 mm hingga dua minggu sebelum panen. Sedangkan pada irigasi berselang penggenangan setinggi 50 mm dibiarkan hingga air surut hingga lahan dalam keadaan macak-macak dan diari kembali setinggi 50 mm. Begitu seterusnya. Kemudian masuk fase pematangan (dua minggu sebelum panen) tidak ada pengairan baik di lahan irigasi kontinyu maupun irigasi berselang hingga masa panen.

Gambar 5 Jadwal irigasi kontinyu ( ) dan berselang ( ) pada varietas Inpari 1 dan Umbul

Gambar 6 Jadwal irigasi kontinyu ( ) dan berselang ( ) pada varietas Situ Bagendit dan Galur Harapan 3.5 Analisis Data untuk Mendapatkan Waktu Tamam dan Kehilangan Hasil Produksi

Data tanah, data curah hujan, dan data agronomi padi dianalisis menggunakan program CWB-ETO (Crop Water Balance Evapotranspiration). Program CWB-ETO merupakan suatu model simulasi untuk memprediksi waktu tanam beserta nilai kehilangan hasilnya yang dipergunakan dalam suatu perencanaaan waktu tanam di suatu wilayah dengan asumsi kondisi pertanaman dalam keadaan yang optimum serta bebas dari serangan hama dan penyakit. Program ini dikelurkan oleh BALITKLIMAT (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi) hasil kerja sama dengan CIRAD (Agricultural Research for Development) Perancis tahun 2000. Hasil simulasi dari program tersebut diperoleh nilai persentase kehilangan hasil (%RLY) sebagai acuan dalam menetapkan waktu tanam terbaik dengan kriteria nilai persentase kehilangan hasil kurang dari 20% (Lidon, 2002). Untuk mendapatkan informasi waktu panen dan produksi tanaman padi di suatu wilayah ada beberapa tahapan:

a) Masukan data iklim (curah hujan dan ET0

selama masa tanam), data agronomi (fase pertumbuhan tanaman, fase fenologi, tinggi tanaman maksimum, dan kedalaman akar), koefisien tanaman (Kc), koefisien

toleransi tanaman terhadap cekaman air, koefisien tanaman terhadap pengurangan hasil panen (Ky), dan data tanah (KL dan

(11)

9

b) Setelah seluruh data masuk, tentukan

waktu tanam dalam dasarian (10 harian) c) Kemudian program siap untuk dijalankan

dengan waktu simulasi yang berbeda setiap penanaman sesuai dengan umur panennya

d) Simulasi akan selesai dengan tampilan di layar monitor computer pada sheet hasil akhir

e) Hasil simulasi ditransfer menjadi sheet lain yang disimpan dalam file yang berbeda f) Dari hasil simulasi juga dapat diketahui

perkiraan hasil yang kemudian dibandingkan dengan data di lapangan. 3.6 Menghitung Kebutuhan Air Tanaman

Nilai ET0 (evapotranspirasi acuan) yang

telah diketahui dari hasil keluaran program

macro excel FAO Penman-Monteith

kemudian dikoreksi dengan faktor tanaman (Kc) sesuai dengan jenis, varietas, dan

pertumbuhan vegetasinya. Menurut Allen (1998) pada kondisi irigasi normal (kontinyu dilakukan petani), yakni irigasi kontinyu untuk menghitung nilai kebutuhan air tanaman (ETc) sangat disarankan menggunakan Kc

tunggal dan pada kondisi irigasi berselang menggunakan Kc ganda (Kcb dan Ke). Berikut

adalah rumus untuk menghitung ETc lahan

sawah pada irigasi kontinyu dan irigasi berselang (Allen, 1998):

a) Irigasi kontinyu

Saat pertunasan nilai Kc didasarkan pada

kondisi rata-rata RH minimum dalam kategori sub-humid dan kondisi kecepatan angin pada ketinggian dua meter dalam kategori light, sehingga nilai Kc pertunasan bernilai 1.05

berdasarkan FAO (1998). Rumus untuk menghitung nilai Kc saat fase generatif dan

fase akhir:

Kc(hit) = Kc(tab) + [0.04(U2-2)-0.004(RHmin-45]

(h/3)0.3 .………..(20) Keterangan:

Kc(hit) menentukan nilai Kc saat fase

generatif ataupun fase akhir Kc(tab) nilai Kc dari Tabel 4

U2 nilai rata-rata kecepatan angin harian pada ketinggian dua meter (saat fase generatif ataupun fase akhir) [m/s] RHmin rata-rata nilai RH minimum harian

(saat fase generatif ataupun fase akhir) [%]

h nilai rata-rata tinggi tanaman (saat fase generatif ataupun fase akhir) [m]

sedangkan untuk menentukan Kc saat fase

pertumbuhan vegetatif dan pematangan bulir dapat dilakukan interpolasi dari nilai Kc(hit)

dengan rumus sebagai berikut:

Kci = Kc-prev+[i-Σ(Lprev)/Lstage](Kc-next – Kc-prev)

………..…….(21) Keterangan:

Kci koefisien tanaman pada hari ke-i

(saat fase pertumbuhan vegetatif ataupun fase pematangan)

Kc-prev nilai koefisien tanaman fase sebelum

fase pertumbuhan vegetatif ataupun pematangan

Kc-next nilai koefisien tanaman fase

pertumbuhan vegetatif ataupun pematangan

Σ(Lprev) jumlah panjang hari fase sebelumnya

[hari]

Lstage panjang hari fase yang dihitung (fase

pertumbuhan vegetatif ataupun pematangan) [hari]

Tabel 4 Nilai Kc tanaman padi pada

berbagai fase pertumbuhan (Allen, 1998).

Fase Kc Kcb

Pertunasan 1.05 1.00 Generatif 1.20 1.15 Akhir 0.90 0.70

Kemudian untuk menduga besarnya nilai kebutuhan air tanaman menggunakan rumus:

ETc = ET0 . Kc………....(22)

Keterangan:

ETc evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Kc koefisien tanaman sesuai jenis dan

pertumbuhan vegetasinya ET0 evapotranspirasi acuan (mm/hari)

b) Irigasi berselang

Menghitung nilai Kcb (koefisien

transpirasi) saat fase generatif dan fase akhir:

Kcb(hit) = Kcb(tab) + [0.04(U2-2)-0.004(RHmin

-45](h/3)0.3.………..(23) Keterangan:

Kcb(hit) menentukan nilai Kcb saat fase

generatif ataupun fase akhir Kcb(tab) nilai Kcb dari Tabel 4

U2 nilai rata-rata kecepatan angin harian pada ketinggian 2 meter (saat fase generatif ataupun fase akhir) [m/s] RHmin rata-rata nilai RH minimum harian

(12)

10

h nilai rata-rata tinggi tanaman (saat fase

generatif ataupun fase akhir) [m] sedangkan untuk menentukan Kc saat fase

pertumbuhan vegetatif dan pematangan bulir dapat dilakukan interpolasi dari nilai Kc(hit)

dengan rumus seperti persamaan (21).

Nilai Ke (koefisien evaporasi) dapat dihitung

dengan menggunakan rumus:

Ke = Kr (Kc(max)– Kcb) …………...(24)

dengan,

Kc(max) = 1.1+{[0.04(U2-2)-0.004(RHmin-

45)](h/3)0.3} ………..(25) Keterangan:

Ke koefisien evaporasi

Kcb koefisien transpirasi

Kc(max) nilai Kc maksium irigasi berselang

Kr koefisien reduksi evaporasi, saat kondisi tanah basah nilai Kr = 1. Kemudian untuk menduga besarnya nilai kebutuhan air tanaman menggunakan rumus:

ETc = ET0 . (Kcb + Ke)…………..….(26)

Keterangan:

ETc evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Kcb koefisien transpirasi tanaman

Ke koefisien evaporasi tanah

ET0 evapotranspirasi acuan (mm/hari)

3.7 Analisis Efisiensi Penggunaan Air oleh Tanaman

Berdasarkan nilai ETc dapat diketahui nilai

efisiensi penggunaan air oleh tanaman. Efisiensi penggunaan air atau Water Use Efficiency (WUE) oleh tanaman dapat

dihitung menggunakan rumus yang diperkenalkan oleh Gardner (1985) dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

WUE = Produksi berat kering (DM) …...(27) ETc selama musim tanam

dinyatakan dalam kg DM . (m3)-1 air.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Iklim Lokasi Penelitian

Wilayah Mijen memiliki pola hujan monsun pada kondisi normal musim kemarau terjadi pada bulan Mei – September dan musim hujan pada bulan November – Maret setiap tahunnya. BMKG menyatakan awal musim kemarau ditandai dalam dua dasarian berturut-turut curah hujan yang terukur untuk tiap dasarian < 50 mm maka kondisi musim kemarau telah mulai pada dasarian pertama ketika curah hujan terukur pertama kali dan sebaliknya untuk menentukan awal musim hujan. Dari data curah hujan dasarian di Mijen terlihat awal musim kemarau jatuh pada April (III) 2010. Namun setelah dua dasarian berikutnya, yaitu Mei (II) mengalami curah hujan > 50 mm hingga pada Juni (II) 2010. Hal tersebut dikarenakan terjadi fenomena La-Nina yang menyebabkan pergeseran awal musim hujan menjadi lebih cepat dan durasi kejadian hujan yang lebih panjang daripada kondisi normal.

Gambar 7 Curah hujan dasarian di Mijen tahun 2010

4.2 Kebutuhan Air Tanaman Padi di Mijen Nilai ET0 (evapotranspirasi acuan)

dikoreksi dengan nilai koefisien tanaman (Kc)

untuk mengetahui kebutuhan air oleh tanaman (ETc). Nilai Kc dipengaruhi oleh karakteristik

tanaman, saat tanam, dan fase-fase pertumbuhan tanaman, serta kondisi iklim secara umum (Hasbi, 2010). Nilai Kc pada

keempat varietas padi di Mijen seperti terlihat pada Tabel 5. Nilai Kc menggambarkan laju

kehilangan air secara drastis pada fase-fase pertumbuhan tanaman dan menggambarkan keseimbangan komponen-komponen energi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (FAO, 2001) dalam Aqil et al. (2001).

(13)

10

h nilai rata-rata tinggi tanaman (saat fase

generatif ataupun fase akhir) [m] sedangkan untuk menentukan Kc saat fase

pertumbuhan vegetatif dan pematangan bulir dapat dilakukan interpolasi dari nilai Kc(hit)

dengan rumus seperti persamaan (21).

Nilai Ke (koefisien evaporasi) dapat dihitung

dengan menggunakan rumus:

Ke = Kr (Kc(max)– Kcb) …………...(24)

dengan,

Kc(max) = 1.1+{[0.04(U2-2)-0.004(RHmin-

45)](h/3)0.3} ………..(25) Keterangan:

Ke koefisien evaporasi

Kcb koefisien transpirasi

Kc(max) nilai Kc maksium irigasi berselang

Kr koefisien reduksi evaporasi, saat kondisi tanah basah nilai Kr = 1. Kemudian untuk menduga besarnya nilai kebutuhan air tanaman menggunakan rumus:

ETc = ET0 . (Kcb + Ke)…………..….(26)

Keterangan:

ETc evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Kcb koefisien transpirasi tanaman

Ke koefisien evaporasi tanah

ET0 evapotranspirasi acuan (mm/hari)

3.7 Analisis Efisiensi Penggunaan Air oleh Tanaman

Berdasarkan nilai ETc dapat diketahui nilai

efisiensi penggunaan air oleh tanaman. Efisiensi penggunaan air atau Water Use Efficiency (WUE) oleh tanaman dapat

dihitung menggunakan rumus yang diperkenalkan oleh Gardner (1985) dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

WUE = Produksi berat kering (DM) …...(27) ETc selama musim tanam

dinyatakan dalam kg DM . (m3)-1 air.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Iklim Lokasi Penelitian

Wilayah Mijen memiliki pola hujan monsun pada kondisi normal musim kemarau terjadi pada bulan Mei – September dan musim hujan pada bulan November – Maret setiap tahunnya. BMKG menyatakan awal musim kemarau ditandai dalam dua dasarian berturut-turut curah hujan yang terukur untuk tiap dasarian < 50 mm maka kondisi musim kemarau telah mulai pada dasarian pertama ketika curah hujan terukur pertama kali dan sebaliknya untuk menentukan awal musim hujan. Dari data curah hujan dasarian di Mijen terlihat awal musim kemarau jatuh pada April (III) 2010. Namun setelah dua dasarian berikutnya, yaitu Mei (II) mengalami curah hujan > 50 mm hingga pada Juni (II) 2010. Hal tersebut dikarenakan terjadi fenomena La-Nina yang menyebabkan pergeseran awal musim hujan menjadi lebih cepat dan durasi kejadian hujan yang lebih panjang daripada kondisi normal.

Gambar 7 Curah hujan dasarian di Mijen tahun 2010

4.2 Kebutuhan Air Tanaman Padi di Mijen Nilai ET0 (evapotranspirasi acuan)

dikoreksi dengan nilai koefisien tanaman (Kc)

untuk mengetahui kebutuhan air oleh tanaman (ETc). Nilai Kc dipengaruhi oleh karakteristik

tanaman, saat tanam, dan fase-fase pertumbuhan tanaman, serta kondisi iklim secara umum (Hasbi, 2010). Nilai Kc pada

keempat varietas padi di Mijen seperti terlihat pada Tabel 5. Nilai Kc menggambarkan laju

kehilangan air secara drastis pada fase-fase pertumbuhan tanaman dan menggambarkan keseimbangan komponen-komponen energi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (FAO, 2001) dalam Aqil et al. (2001).

(14)

11

Tabel 5 Nilai rata-rata Kc hitung pada irigasi kontinyu dan berselang untuk setiap fase

pertumbuhan pada keempat verietas padi

Inpari 1 (umur tanaman 108 hari)

Fase Durasi

Kc hitung Kc hitung

Kontinyu Berselang

(hari) Jajar legowo Tegel Jajar legowo Tegel

Pertunasan 21 1.050 1.050 1.050 1.050

Pertumbuhan Vegetatif 57 1.078 1.078 1.077 1.076

Generatif 10 1.106 1.104 1.102 1.102

Pematangan 20 0.951 0.949 0.910 0.910

Umbul (umur tanaman 108 hari)

Fase Durasi

Kc hitung Kc hitung

Kontinyu Berselang

(hari) Jajar legowo Tegel Jajar legowo Tegel

Pertunasan 21 1.050 1.050 1.050 1.050

Pertumbuhan Vegetatif 57 1.076 1.074 1.075 1.075

Generatif 10 1.100 1.097 1.099 1.099

Pematangan 20 0.946 0.943 0.907 0.903

Situ Bagendit (umur tanaman 112 hari)

Fase Durasi

Kc hitung Kc hitung

Kontinyu Berselang

(hari) Jajar legowo Tegel Jajar legowo Tegel

Pertunasan 21 1.050 1.050 1.050 1.050

Pertumbuhan Vegetatif 61 1.082 1.081 1.081 1.080

Generatif 10 1.113 1.112 1.111 1.109

Pematangan 20 0.954 0.953 0.941 0.939

Galur Harapan (umur tanaman 112 hari)

Fase Durasi

Kc hitung Kc hitung

Kontinyu Berselang

(hari) Jajar legowo Tegel Jajar legowo Tegel

Pertunasan 21 1.050 1.050 1.050 1.050

Pertumbuhan Vegetatif 61 1.081 1.082 1.081 1.081

Generatif 10 1.112 1.113 1.111 1.111

(15)

12

(i) Inpari 1 (ii) Umbul

(iii) Situ Bagendit (iv) Galur Harapan Keterangan:

ETc Jajar legowo Kontinyu ETc Tegel Berselang

ETc Tegel Kontinyu ET0 (evapotranspirasi acuan)

ETc Jajar legowo Berselang

Gambar 8 Nilai ETc pada irigasi kontinyu, ETc irigasi berselang, dan ET0 keempat varietas

padi selama masa tanam di Mijen

Menentukan kebutuhan air secara tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan nilai ETc. Doorenbos dan Pruitt

(1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman sebagai jumlah air yang dibutuhkan untuk mengimbangi evapotranspirasi dari tanaman sehat yang tumbuh pada suatu lahan yang luas, kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Jadi, pada prinsipnya kebutuhan air tanaman adalah evapotranspirasi. FAO menganjurkan menggunakan metode FAO Penman-Monteith dalam pendugaan nilai evapotranspirasi acuan (ET0) karena dapat memberikan hasil nilai

kebutuhan air (ETc) yang mendekati dengan

pengukuran langsung (Allen, 1998). Nilai evapotranspirasi acuan tersebut kemudian dikoreksi oleh koefisien tanaman untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi tanaman

(ETc). Nilai ET0 selama masa tanam rata-rata

berkisar 3.7 mm/hari. Sedangkan nilai rata-rata ETc harian pada keempat varietas padi

pada irigasi berselang maupun kontinyu berkisar 3.9 mm/hari. Besarnya total kebutuhan air pada tanaman (ETc) selama satu

(16)

13

Tabel 6 Nilai ETc pada keempat varietas

padi pada irigasi kontinyu dan berselang dengan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel selama satu musim tanam di Mijen

Perlakuan ETc

(m3/m2) Varietas

Inpari 1 (V1) 0.4170 b

Umbul (V2) 0.4153 b

Situ Bagendit (V3) 0.4343 a Galur Harapan (V4) 0.4344 a Jarak tanam

Jajar legowo

(J1) 0.4252 a 40 : (20 : 10 cm)

Tegel

(J2) 0.4253 a (25x25 cm)

Sistem irigasi

Kontinyu (I1) 0.4230 a Berselang (I2) 0.4227 a Keterangan: Data pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT dengan taraf nyata 5%.

Hasil analisis statistik menunjukan bahwa ETc selama satu musim tanam pada varietas

Inpari 1 dan Umbul lebih kecil daripada Situ Bagendit dan Galur Harapan karena umur varietas Inpari 1 dan Umbul lebih pendek daripada Situ Bagendit dan Galur Harapan. Perlakuan antar sistem jarak tanam dan antar irigasi memiliki nilai total kebutuhan air tanaman (ETc) tidak berbeda signifikan. Hal

tersebut dikarenakan kondisi ketersediaan air pada lahan irigasi kontinyu dan berselang dalam kondisi yang optimum selama masa tanam karena terdapat 58 hari hujan selama masa tanam akibat adanya pengaruh dari fenomena La-Nina. Namun, apabila terjadi kekeringan yang panjang selama masa tanam maka sistem jarak tanam jajar legowo dan irigasi berselang diduga akan menunjukkan nilai kebutuhan air yang lebih kecil daripada sistem jarak tanam tegel dan sistem irigasi kontinyu. Hal tersebut karena ruang kosong antar baris tanaman pada jajar legowo akan membentuk lapisan mulsa pada tanah yang dapat menyimpan air untuk digunakan oleh tanaman untuk pertumbuhan pada saat air di sekitar perakaran habis terpakai. Pada lahan irigasi berselang nilai kebutuhan airnya akan lebih rendah daripada irigasi kontinyu pada kondisi ketersediaan air yang terbatas. Hal ini disebabkan air sebagai bahan utama yang dievapotranspirasikan pada irigasi berselang jumlahnya terbatas jika dibandingkan pada

lahan irigasi kontinyu serta pada lahan irigasi berselang akan terbentuk lapisan mulsa pada tanah yang dapat menekan laju evaporasi. 4.3 Hasil Simulasi CWB-ETO dan Hasil Panen Padi di Mijen

Hasil simulasi menggunakan CWB-ETO pada sistem irigasi kontinyu dan berselang pada awal semai tanggal 29 April 2010 untuk keempat varietas padi menunjukkan nilai persentase kehilangan hasil (%RLY) sebesar 0. Nilai 0 yang artinya panen dapat mencapai hasil yang optimum dengan hasil panen rata-rata mencapai lebih dari 6 ton/ha GKG. Hasil simulasi tertera pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil simulasi nilai persentase kehilangan hasil (%RLY) menggunakan CWB-ETO pada keempat varietas padi pada lahan irigasi kontinyu dan beselang

Varietas kontinyu Berselang (%RLY) (%RLY)

Inpari 1 0 0

Umbul 0 0

Situ Bagendit 0 0

Galur Harapan 0 0

Hasil di lapangan tercapai seperti tertera pada Tabel 8 dan Tabel 9. Tinggi maksimum tanaman antar varietas memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Diantara keempat varietas yang memiliki tinggi maksimum tanaman tertinggi dimiliki oleh Umbul. Hal tersebut dikarenakan faktor genetis yang berhubungan dengan genotipe antar varietas yang berbeda. Genotipe dapat mempengaruhi distribusi hasil asimilasi (Fitter, 1994). Biomassa kering tertinggi dimiliki oleh varietas Inpari 1 karena Inpari 1 merupakan jenis padi sawah tahan kekeringan.

(17)

14

didistribusikan ke seluruh bagian tanaman.

Saat terjadi proses transpirasi stomata akan terbuka sehingga pada permukaan daun akan terjadi pertukaran uap air (H20) dari daun ke

atmosfer dengan CO2 (diproses dalam tubuh

tumbuhan sebagai bahan fotosintesis) dari atmosfer ke dalam daun melaui stomata. Selain itu, pertumbuhan tajuk yang baik memiliki kesempatan untuk memanen radiasi matahari lebih banyak untuk proses fotosintesis. Apabila terjadi El-nino yang menyebabkan ketersediaan air menjadi sangat terbatas dan kondisi lingkungan menjadi cenderung lebih kering jajar legowo akan menunjukkan hasil produksi biomassa yang lebih baik daripada tegel. Hal tersebut diduga pada sistem jajar legowo yang memiliki ruang kosong antar baris tanaman akan membentuk lapisan mulsa pada tanah sehingga ketersediaan air dalam tanah mencukupi untuk pertumbuhan dan terhindar dari stress kekeringan.

Kedalaman akar pada sistem jarak tanam tegel lebih dalam daripada sistem jarak tanam jajar legowo. Hal ini dimungkinkan karena tegel tidak memiliki ruang kosong antar tanaman seperti jajar legowo sehingga pertumbuhan akar cenderung vertikal untuk mendapatkan nutrisi, air, dan oksigen untuk mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal.

Berangkasan basah, biomassa kering, gabah kering panen (GKP), dan gabah kering giling (GKG) antara irigasi kontinyu dan

berselang memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai pada irigasi berselang lebih besar daripada irigasi kontinyu. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa faktor, yaitu pada irigasi kontinyu dengan kondisi yang selalu tergenangi menyebabkan unsur hara tercuci (leaching) dan diduga terbuang melalui rembesan (seepage), pada irigasi berselang dapat mengaktifkan jasad renik (mikroba anaerob) yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman serta dapat mengurangi jumlah malai yang tidak menghasilkan gabah (BALITPA, 2009). Selain hal itu, kondisi sekitar tajuk pada irigasi berselang cenderung lebih kering daripada lahan irigasi kontinyu sehingga dapat diduga suhu sekitar tajuk pada irigasi berselang lebih tinggi daripada suhu sekitar tajuk pada lahan irigasi kontinyu. Hal tersebut menyebabkan nilai transpirasi pada lahan irigasi berselang lebih besar dibandingkan dengan lahan irigasi kontinyu. Transpirasi memungkinkan penyerapan nutrisi dari dalam tanah melalui akar dan didistribusikan ke seluruh bagian tanaman. Saat terjadi proses transpirasi stomata akan terbuka sehingga pada permukaan daun akan terjadi pertukaran uap air (H20) dari daun ke

atmosfer dengan CO2 (diproses dalam tubuh

tumbuhan sebagai bahan fotosintesis) dari atmosfer ke dalam daun melaui stomata. Hal tersebut diduga sebagai penyebab produksi biomassa pada lahan irigasi berselang lebih besar daripada irigasi kontinyu.

Tabel 8 Hasil analisa nilai Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan berangkasan basah keempat varietas padi pada irigasi kontinyu dan berselang dengan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel

Perlakuan GKP GKG

Berangkasan Basah (kg/m2) (kg/m2) (kg/m2)

Varietas

Inpari 1 (V1) 0.79 a 0.69 a 1.79 a

Umbul (V2) 0.76 a 0.66 a 1.76 a

Situ Bagendit (V3) 0.74 a 0.63 a 1.74 a

Galur Harapan (V4) 0.79 a 0.69 a 1.67 a

Jarak tanam

Jajar legowo

(J1) 0.74 b 0.64 b 1.73 a

40 : (20 : 10 cm) Tegel

(J2) 0.80 a 0.70 a 1.75 a

(25x25 cm) Sistem irigasi

Kontinyu (I1) 0.74 b 0.64 b 1.65 b

Berselang (I2) 0.81 a 0.70 a 1.83 a

(18)

15

Tabel 9 Hasil analisa nilai tinggi maksimum tanaman, kedalaman akar, dan biomassa kering

keempat varietas padi pada irigasi kontinyu dan berselang dengan sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel

Perlakuan

Tinggi Maksimum Kedalaman Biomassa

Tanaman Akar Kering

(m) (cm) (kg/m2)

Varietas

Inpari 1 (V1) 0.91 d 16 a 0.87 a

Umbul (V2) 1.09 a 16 a 0.84 ab

Situ Bagendit (V3) 0.95 b 15 a 0.80 b Galur Harapan (V4) 0.93 c 16 a 0.86 ab

Jarak tanam

Jajar legowo

(J1) 0.94 b 15 b 0.82 b

40 : (20 : 10 cm) Tegel

(J2) 1.00 a 17 a 0.87 a

(25x25 cm)

Sistem irigasi

Kontinu (I1) 0.97 a 16 a 0.80 b

Berselang (I2) 0.97 a 16 a 0.88 a

Keterangan: Data pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT dengan taraf nyata 5%.

4.4 Efisiensi Penggunaan Air oleh Tanaman Padi di Mijen

Efisiensi penggunaan air (WUE, Water Use Efficiency) merupakan salah satu solusi tepat untuk menghadapi ketersediaan air yang terbatas. Diperlukan informasi atau data kebutuhan air tanaman untuk mengetahui jumlah air yang perlu disediakan untuk mengairi lahan pertanian. Nilai WUE dapat diartikan sebagai jumlah hasil produksi atau biomassa bahan kering yang dihasilkan tanaman dengan menggunakan sejumlah air untuk memenuhi kebutuhan air tanaman dalam satu masa tanam (kg/m3). Nilai WUE produksi merupakan nilai efisiensi kebutuhan air tanaman ditinjau dari faktor produksi GKG dan WUE total berdasarkan hasil biomassa kering (GKP dan berangkasan kering) pada keempat varietas padi pada lahan irigasi kontinyu dan berselang dengan sistem jarak tanam jajar legowo maupun tegel.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat terlihat pada Tabel 10 yang menunjukkan bahwa WUE produksi pada varietas Situ Bagendit dan Inpari 1 berbeda signifikan dengan nilai WUE produksi Inpari 1 lebih besar daripada Situ Bagendit karena kebutuhan air Inpari 1 lebih sedikit daripada kebutuhan air Situ Bagendit dan Inpari 1 merupakan jenis padi sawah tahan kekeringan sehingga lebih efisien dalam pemanfaatan air bagi pertumbuhannya. WUE total pada keempat varietas padi hanya Situ Bagendit

yang berbeda signifikan dengan nilai terendah. Hal tersebut dikarenakan jenis varietas Situ Bagendit merupakan padi gogo (padi lahan kering) yang ditanam pada lahan irigasi sehingga produksi biomassa keringnya rendah selain itu nilai evapotranspirasinya tinggi. Diantara keempat varietas yang memiliki nilai WUE produksi dan WUE total tertinggi yaitu Inpari 1. Inpari 1merupakan varietas padi sawah tahan kekeringan dan berumur genjah (berumur pendek) sehingga memperlihatkan hasil produksi tertinggi dengan total kebutuhan air yang sedikit.

Nilai WUEproduksi dan WUEtotal antara sistem jarak tanam jajar legowo dan tegel berbeda signifikan. Pada lahan yang menggunakan jarak tanam jajar legowo nilai WUE produksi maupun WUE totanya lebih kecil daripada tegel. Hal ini dikarenakan produksi keringnya (GKG dan biomassa kering) pada jajar legowo lebih kecil daripada tegel.

(19)

16

Tabel 10 Nilai efisiensi penggunaan air (WUE) empat varietas padi pada sistem irigasi

kontinyu dan berselang dengan jarak tanam jajar legowo dan tegel

Perlakuan ETc GKG WUE(produksi) Biomassa Kering WUE(total) (m3/m2) (kg/m2) (kg/m3) (kg/m2) (kg/m3)

Varietas

Inpari 1 (V1) 0.4170 b 0.69 a 1.65 a 0.87 a 2.09 a Umbul (V2) 0.4153 b 0.66 a 1.59 ab 0.84 ab 2.01 a Situ Bagendit (V3) 0.4343 a 0.63 a 1.46 b 0.80 b 1.85 b Galur Harapan (V4) 0.4344 a 0.69 a 1.59 ab 0.86 ab 1.99 a Jarak tanam

Jajar legowo

(J1) 0.4252 a 0.64 b 1.51 b 0.82 b 1.92 b 40 : (20 : 10 cm)

Tegel

(J2) 0.4253 a 0.70 a 1.64 a 0.87 a 2.05 a (25x25 cm)

Sistem irigasi

Kontinyu (I1) 0.4230 a 0.64 b 1.51 b 0.80 b 1.90 b Berselang (I2) 0.4227 a 0.70 a 1.66 a 0.88 a 2.09 a Keterangan: Data pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT dengan taraf nyata 5%.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Produktivitas rata-rata keempat varietas padi, yaitu Inpari 1, Umbul, Situ Bagendit, dan Galur Harapan di Mijen dengan waktu semai 29 April 2010 tertinggi didapatkan dengan perlakuan sistem jarak tanam tegel dan irigasi berselang masing-masing sebesar 0.70 kg/m2 atau setara dengan 7.0 ton/ha.

2. Kebutuhan air total selama musim tanam varietas Inpari 1 dan Umbul lebih kecil daripada Situ Bagendit dan Galur Harapan karena umur varietas Inpari 1 dan Umbul lebih pendek daripada Situ Bagendit dan Galur Harapan. Perlakuan antar sistem jarak tanam dan antar irigasi memiliki nilai total kebutuhan air tanaman (ETc) tidak

berbeda signifikan.

3. WUE (Water Use Efficiency) produksi keempat varietas padi menunjukkan hasil bahwa varietas Inpari 1 memiliki WUE produksi terbesar diikuti oleh Umbul, Galur Harapan dan yang terkecil adalah Situ Bagendit dengan nilai 1.65 kg/m3, 1.59 kg/m3, 1.59 kg/m3, dan 1.46 kg/m3. Nilai WUE produksi pada sistem jarak tanam tegel lebih besar daripada sistem jajar legowo dengan nilai 1.64 kg/m3 dan sistem irigasi berselang lebih besar daripada sistem irigasi kontinyu, yaitu sebesar 1.66 kg/m3.

4. WUE total keempat varietas padi menunjukan hasil bahwa varietas Inpari 1

memiliki WUE total terbesar yaitu sebesar 2.09 kg/m3 diikuti oleh Umbul sebesar 2.01 kg/m3, Galur Harapan sebesar 1.99 kg/m3, dan yang terkecil adalah 1.85 kg/ kg/m3 pada Situ Bagendit. Sistem jarak tanam tegel memiliki nilai WUE total yang lebih besar daripada sistem jajar legowo dengan nilai 2.05 kg/m3. Antar perlakuan irigasi didapatkan nilai WUE total tertinggi yaitu pada irigasi berselang sebesar 2.09 kg/m3.

5. Irigasi berselang dapat meningkatkan nilai WUE produksi sebesar 9.93 % dibandingkan dengan irigasi kontinyu. Nilai WUE total meningkat sebesar 10 % dengan menggunakan irigasi berselang dibandingkan dengan menggunakan irigasi kontinyu.

5.2 Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan nilai ETc harian antar perlakuan

tidak terlalu besar sehingga diduga kondisi iklim mikro antar perlakuan tidak jauh berbeda. Penelitian selanjutnya diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai kondisi iklim mikro pada masing-masing perlakuan karena penelitian ini hanya merujuk pada nilai koefisien tanaman (Kc) yang

(20)

16

Tabel 10 Nilai efisiensi penggunaan air (WUE) empat varietas padi pada sistem irigasi

kontinyu dan berselang dengan jarak tanam jajar legowo dan tegel

Perlakuan ETc GKG WUE(produksi) Biomassa Kering WUE(total) (m3/m2) (kg/m2) (kg/m3) (kg/m2) (kg/m3)

Varietas

Inpari 1 (V1) 0.4170 b 0.69 a 1.65 a 0.87 a 2.09 a Umbul (V2) 0.4153 b 0.66 a 1.59 ab 0.84 ab 2.01 a Situ Bagendit (V3) 0.4343 a 0.63 a 1.46 b 0.80 b 1.85 b Galur Harapan (V4) 0.4344 a 0.69 a 1.59 ab 0.86 ab 1.99 a Jarak tanam

Jajar legowo

(J1) 0.4252 a 0.64 b 1.51 b 0.82 b 1.92 b 40 : (20 : 10 cm)

Tegel

(J2) 0.4253 a 0.70 a 1.64 a 0.87 a 2.05 a (25x25 cm)

Sistem irigasi

Kontinyu (I1) 0.4230 a 0.64 b 1.51 b 0.80 b 1.90 b Berselang (I2) 0.4227 a 0.70 a 1.66 a 0.88 a 2.09 a Keterangan: Data pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT dengan taraf nyata 5%.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Produktivitas rata-rata keempat varietas padi, yaitu Inpari 1, Umbul, Situ Bagendit, dan Galur Harapan di Mijen dengan waktu semai 29 April 2010 tertinggi didapatkan dengan perlakuan sistem jarak tanam tegel dan irigasi berselang masing-masing sebesar 0.70 kg/m2 atau setara dengan 7.0 ton/ha.

2. Kebutuhan air total selama musim tanam varietas Inpari 1 dan Umbul lebih kecil daripada Situ Bagendit dan Galur Harapan karena umur varietas Inpari 1 dan Umbul lebih pendek daripada Situ Bagendit dan Galur Harapan. Perlakuan antar sistem jarak tanam dan antar irigasi memiliki nilai total kebutuhan air tanaman (ETc) tidak

berbeda signifikan.

3. WUE (Water Use Efficiency) produksi keempat varietas padi menunjukkan hasil bahwa varietas Inpari 1 memiliki WUE produksi terbesar diikuti oleh Umbul, Galur Harapan dan yang terkecil adalah Situ Bagendit dengan nilai 1.65 kg/m3, 1.59 kg/m3, 1.59 kg/m3, dan 1.46 kg/m3. Nilai WUE produksi pada sistem jarak tanam tegel lebih besar daripada sistem jajar legowo dengan nilai 1.64 kg/m3 dan sistem irigasi berselang lebih besar daripada sistem irigasi kontinyu, yaitu sebesar 1.66 kg/m3.

4. WUE total keempat varietas padi menunjukan hasil bahwa varietas Inpari 1

memiliki WUE total terbesar yaitu sebesar 2.09 kg/m3 diikuti oleh Umbul sebesar 2.01 kg/m3, Galur Harapan sebesar 1.99 kg/m3, dan yang terkecil adalah 1.85 kg/ kg/m3 pada Situ Bagendit. Sistem jarak tanam tegel memiliki nilai WUE total yang lebih besar daripada sistem jajar legowo dengan nilai 2.05 kg/m3. Antar perlakuan irigasi didapatkan nilai WUE total tertinggi yaitu pada irigasi berselang sebesar 2.09 kg/m3.

5. Irigasi berselang dapat meningkatkan nilai WUE produksi sebesar 9.93 % dibandingkan dengan irigasi kontinyu. Nilai WUE total meningkat sebesar 10 % dengan menggunakan irigasi berselang dibandingkan dengan menggunakan irigasi kontinyu.

5.2 Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan nilai ETc harian antar perlakuan

tidak terlalu besar sehingga diduga kondisi iklim mikro antar perlakuan tidak jauh berbeda. Penelitian selanjutnya diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai kondisi iklim mikro pada masing-masing perlakuan karena penelitian ini hanya merujuk pada nilai koefisien tanaman (Kc) yang

(21)

EFISIENSI PENGGUNAAN AIR TANAMAN PADI DENGAN IRIGASI

KONTINYU DAN BERSELANG DI KECAMATAN MIJEN, SEMARANG

RETNO ASTUTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

17

DAFTAR PUSTAKA

Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration; Guidelines for computing crop water requirements, FAO Irrigation and drainage paper 56. Rome: FAO. Aqil M, Firmansyah UI, dan Akil M. 2001.

Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia.

[BALITPA] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Pengairan Berselang. http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/. [15 Oktober 2010].

[BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1996. Strategi Penanggulangan Dampak Kekeringan. Departemen Pertanian. Jakarta: BPPP. Chang JH. 1968. Climate and Agriculture An

Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Company.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Strategi dan Inovasi Teknologi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim Global. Jakarta: Departemen Pertanian.

Doorenbos J, Pruitt WO. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements, FAO Irigation and Drainege Paper 24. Rome: FAO.

Doorenbos J, Kassam AH. 1979. Yield Response to Water, FAO Irigation and Drainege Paper 33. Rome: FAO. Effendy S. 2001. Urgensi prediksi cuaca dan

iklim di bursa komoditas unggulan pertanian [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Fitter A.H. dan Hay RKM. 1994. Fisiologi

Lingkungan Tanaman. Andani S dan E.D. Purbayanti, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Indonesian Ed. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plant.

Gardner FP. 1985. Physiology of Crop Plants. USA: The Lowa State University Press.

Gardner FP. 1991. Physiology of Crop Plants. USA: The Lowa State University Press.

Hasbi H. 2010. Pendugaan Kebutuhan Air Tanah bagi Tanaman. Materi Kuliah: Ilmu Pengelolaan Air. Jember: Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah. Las I. 2007. Strategi dan Inovasi antisipasi

Perubahan Iklim. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian.

Lidon B. 2002. Buletin Agroklimat: Suatu Cara Meningkatkan Produktivitas Pola Tanam yang berkelanjutan Melalui Pemahaman yang Lebih Baik tentang Keadaan Iklim. Di dalam: Peran

Agroklimat dalam Mendukung

Pengembangan Usaha Tani Lahan Kering. Prosiding Seminar; Bogor, 17 Oktober 2001. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Mudiyarso D. 1987. Kebutuhan Air Tanaman. Training Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. Bogor: Biotrop IPB.

Pawitan H, Las I, Boer R, Handoko, Suharsono H dan Baharsjah JS. 1997. Implementasi Pendekatan Strategis dan Taksis Gerakan Hemat Air. Di dalam: Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Jakarta: Departemen Pertanian.

Rahman A. 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI terhadap Curah Hujan Bulanan di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Bumi Lestari 7: 123 – 129.

Soemarno. 2004. Pengelolaan Air Tanah Bagi Tanaman. Materi Kuliah: Manajemen

Sumberdaya Air, Program Pasca

Sarjana. Malang: Universitas Brawijaya. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Setyono

A, dan Indrasari SD . 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung: ITB Press.

(23)

EFISIENSI PENGGUNAAN AIR TANAMAN PADI DENGAN IRIGASI

KONTINYU DAN BERSELANG DI KECAMATAN MIJEN, SEMARANG

RETNO ASTUTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(24)

EFISIENSI PENGGUNAAN AIR TANAMAN PADI DENGAN IRIGASI

KONTINYU DAN BERSELANG DI KECAMATAN MIJEN, SEMARANG

RETNO ASTUTI

G24062800

SKRIPSI

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Gambar

Gambar 2  Kondisi evapotranspirasi acuan  (ET0) dan evapotranspirasi tanaman (ETc) (Allen, 1998)
Gambar 4  Peta lokasi penelitian di Kota
Gambar 4  Peta lokasi penelitian di Kota
Tabel 3  Nilai Ky tanaman padi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada perusahaan perbankan periode tahun 2010 sampai tahun 2012 diperoleh gambaran penelitian yang dilakukan dengan

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas membuat laporan “Penelitian Tindakan Kelas”

Sedangkan Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan untuk 5 tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala

2) Penzoningan. Pola penzoningan dibagi berdasarkan fungsi dari masing-masing fasilitas yang telah direncanakan. Oleh karena itu zoning dibagi menjadi 4 zona, yaitu:

Dari dua variabel bebas yang ada, variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kinerja pegawai adalah motivasi kerja sebesar 0,787 dibandingkan dengan budaya organisasi

Terjadi reaksi oksidasi dan reduksi pada sel baterai dengan kapasitas charge sekitar 24 mAh pada tegangan 4 volt, sedangkan kapasitas discharge bernilai sama sekitar

Data dikumpulkan dari 281 mahasiswa menggunakan Beck Anxiety Inventory (BAI). Data dianalisis menggunakan uji Chi-Square. Kesimpulan: Sebagian besar mahasiswa PSPD FK

Pada pelayanan lengkap Honda berada pada kategori baik, ini membuktikan bahwa pelayanan Honda memang baik berdasarkan persepsi responden, begitupun pelayanan