• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid Baru dan Jenis Komersial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid Baru dan Jenis Komersial"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The Growth of Silkworm ( Bombyx mori L. ) New Hybrid and Commersial's Type Hidayah, N.I., Hotnida, C.H.S. and L. Andadari

Silkworm larvae has a silk gland that produces silk threads. Silk thread quality is obtained from a qualified cocoon. Clean cocoons with no stains and have a strong fiber will havea high value. To attain qualified cocoons then the larvae feed consumption must be taken into account. The feed consumed will affect the growth performances such as body weight and body weight gain which are the most decisive indicator of the quality of cocoon. This study aimed to evaluate the growth of new hybridobtained from reciprocal cross breeding system and commercial type. The Completely Randomized Design was used as the experimental design with six hybrids as the treatment, i.e. H1 (Mainland China rase 808♂ X Japan race 108 ♀), H2 (Mainland China race 903 ♂ X Japan race 806 ♀), H3(Japan race 903 ♀ X Mainland China race 806 ♂), H4 (Mainland China race 808 ♀ X Japan race 108 ♂), H5 (commercial silkworm C301), and H6 (commercial silkworm BS09). The data taken from 30 larvae hybrid each were analyzed by ANOVA (95%) and then by Tukey test. The results showed that H2 (Mainland China race 903 ♂ X Japan race 806 ♀) was superior hybrid than any hybrid based on the variables of feed consumption, body weight gain, feed conversion, and mortality.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ulat sutera adalah ngengat yang memiliki kelenjar sutera sehingga dapat menghasilkan serat sutera. Siklus hidup ulat sutera cepat, hal ini menunjukan bahwa memproduksi benang sutera tidak membutuhkan waktu lama, dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga benang sutera lokal Rp 250.000/kg (Dewan Kerajinan Nasional, 2009). Produksi benang mentah pada tahun 2007 sebesar 65.194 kg/tahun, akan tetapi tahun 2009 mengalami penurunan yaitu 19.212 kg/tahun (Ditjen RLPS, 2010). Penurunan dipengaruhi keadaan cuaca dan kualitas bibit. Persilangan merupakan salah satu penyelesaian untuk mendapatkan bibit yang berkualitas.

Persilangan resiprokal merupakan persilangan untuk mendapatkan bibit unggul. Persilangan resiprokal adalah persilangan dihibrid, yang terdiri dari bibit murni. Bibit unggul menghasilkan kokon berkualitas, sehingga memiliki harga jual tinggi. Pemeliharaan ulat yang intensif menghasilkan kokon yang berkualitas, pertumbuhan ulat sangat mempengaruhi hasil kokon. Pertumbuhan ulat dengan bobot badan tinggi akan menghasilkan kokon yang tebal. Kokon ras Jepang memiliki kokon tebal, produksi kokon tinggi, tetapi rentan terhadap penyakit. Kokon ras Cina memilik lapisan kokon tipis, produksi kokon rendah, dan tahan penyakit. Berdasarkan hal tersebut persilangan dari dua ras ulat sutera akan menghasikan kokon yang berkualitas dari persilangan ras tersebut.

Galur 903 dan 108 dari ras Jepang, 808 dan 806 dari ras Cina, serta C301 dan BS09. Keunggulan galur tersebut yaitu memiliki persentase kulit kokon yang tinggi dibandingkan dengan galur lainnya dan bibit yang unggul. Galur ulat sutera berasal dari koleksi Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam Ciomas, Bogor.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini ialah mengevaluasi pertumbuhan ulat sutera

(3)

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.)

Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim disebut ulat, pupa dan ngengat. Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa di mana ulat makan, merupakan masa yang sangat penting untuk sintesa protein sutera dan pembentukan telur. Ulat sutera adalah serangga yang masuk ke dalam Ordo Lepidoptera yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat (Atmosoedarjo et al., 2000).

Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut: Filum : Arthophoda

Pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di Cina sejak beberapa abad yang lalu. Leluhurnya adalah ulat sutera liar, Bombyx mandarina, ditemukan dipohon murbei yang banyak di Cina, Jepang dan Negara lain di Asia Timur. Ulat sutera yang dikenal sekarang Bombyx mori tidak dapat mandiri dialam bebas, penciumannya sudah sangat tumpul sehingga tidak dapat mengenal tanaman murbei dalam jarak beberapa meter, pergerakkannya lambat dalam mendapatkan daun karena kemampuan merangkaknya sudah lemah. Daya pegang ulat yang sangat lemah, sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh angin, ulat tidak dapat melindungi diri melawan musuh dan tidak bisa bergerak cepat (Atmosoedarjoet al., 2000).

Ras Ulat Sutera

(4)

3 Banyak galur yang menghasilkan larva dengan ukuran medium dan kokon berbentuk kacang, ras Jepang ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 1. Ulat Sutera dan Kokon Ras Cina Sumber: Andadari et al.(1998)

Ras Cina memiliki ciri-ciri yaitu umur produksi lebih pendek atau cepat, ulat polos, bentuk kokon bulat, lapisan kokon tipis sehingga produksi rendah dibandingkan dengan Ras Jepang dan daya tahan ulat lebih kuat dibandingkan dengan Ras Jepang (Guntoro, 1994). Ras Cina terdiri dari univoltin dan bivoltin iyang mencakup banyak galur yang menghasilkan larva kecil dan kokon oval (Gambar 1).

Gambar 2. Ulat Sutera dan Kokon Ras Jepang Sumber: Andadari et al. (1998)

(5)

4 Ras Eropa hanya mencakup jenis univoltin, dengan larva yang besar dan kokon oval. Ras Eropa ini tumbuh lambat dan tidak kuat, sehingga hanya dapat dipelihara di musim semi yang hangat di daerah subtropik.

Banyak galur yang dipelihara pada saat ini merupakan hibrid dari ketiga ras tersebut di atas, yang telah diperbaiki dengan menghimpun kelebihan-kelebihannya. Hibrid ini untuk memudahkan pemakaian, diklasifikasikan berdasarkan darah Jepang, darah Cina dan darah Eropa, dan disebut sebagai ras masing-masing, paling umum pada saat ini adalah galur dari ras Jepang dan ras Cina. Para petani biasanya memelihara generasi pertama (F1) dari ras-ras tersebut (Atmosoedarjo et al., 2000).

Generasi Pertahun Ulat Sutera Monovoltin

Ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam satu tahun karena terjadi penundaan pematangan embrio selama musim dingin.Ulat sutera ini tidak tahan dipeliharaan di daerah panas, berukuran besar dan kokon besar (Atmosoedarjo et al., 2000).

Bivoltin

Ulat sutera dapat menghasilkan dua generasi dalam setahun. Kokon yang dihasikan berukuran besar dan tahan terhadap lingkungan panas (Atmosoedarjo et al., 2000)

Polivoltin

Ulat sutera dapat menghasilkan generasi lebih dari tiga generasi atau lebih. Ulat sutera ini tahan terhadap lingkungan panas, kokon yang dihasilkan sedikit, dan serat suter sedikit (Atmosoedarjo et al., 2000).

Siklus Hidup Telur

(6)

5 bertelur. Telur ini dorman atau hibernasi. Setelah melewati musim dingin, embrio dalam telur berkembang dan menetas. Siklus tersebut disebut satu generasi per tahun (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Sutera Sumber : Tazima (1978)

Telur ras bivoltin menetas pada musim semi dan tumbuh menjadi ngengat awal musim panas untuk bertelur, seperti univoltin. Akan tetapi telur ini tidak dorman, sehingga akan menetas 10 hari kemudian. Larva generasi kedua ini menetas dan akan menjadi ngengat pada awal musim gugur untuk bertelur. Telur dorman selama musim dingin dan akan terputus dormansinya pada saat musim semi berikutnya tiba. Saat musim tersebut telur akan menetas. Siklus seperti ini disebut dua generasi per tahun. Warna telur bivoltin, pada saat diletakkan, kuning muda, akan tetapi dalam 2-3 hari mulai berubah, sesuai dengan rasnya, yang pada umumnya berwarna abu-abu atau kehijauan (Atmosoedarjo et al., 2000).

(7)

6 Pupa

Sekitar lima atau enam hari setelah ulat mulai membentuk kokon, ulat sutera berubah bentuk di dalam kokon dan menjadi pupa. Segera setelah menjadi pupa, pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap berubah mengeras. Periode pupa menghabiskan waktu 11 hingga 12 hari (Sinchaisri, 1993).

Ngengat

Ngengat tidak bisa terbang untuk berkopulasi, atau kalau betina untuk bertelur pada daun murbei. Ngengat yang sudah keluar dari kokon, sebaiknya ngengat di kopulasi hanya pada saat sayap sudah berkembang dengan sempurna. Waktu kopulasi selama sekitar satu jam sudah cukup bagi jantan untuk ejakulasi pertama, akan tetapi untuk kenyamanan serta untuk mengurangi proporsi telur yang tidak dibuahi, kopulasi dibiarkan sampai lebih dari dua jam. Ngengat jantan yang akan digunakan kembali maka ngengat disimpan pada suhu 5–10 ºC. Sebaiknya ngengat jantan yang sudah digunakan maka kemampuan kopulasi sudah berkurang dan mengakibatkan jumlah telur yang tidak dibuahi akan bertambah (Atmosoedarjoet al., 2000).

Warna ngengat dewasa berwarna putih susu dengan garis halus melintang berwarna kecoklatan pada sayap bagian depan dan tubuh dilapisi oleh bulu yang lebat. Ngengat dewasa tidak memerlukan makanan, tidak dapat terbang dan siklus hidupnya pendek. Masing-masing betina dapat menghasilkan telur 300-400 butir, sedangkan pada saat larva tubuhnya tidak berbulu dan makanan utamanya daun murbei, pertumbuhan sangat cepat dan dapat menghasilkan kokon dalam waktu enam minggu (Borror et al., 1996).

Ulat atau Larva

(8)

7 atau molting. Karena selama masa larva, ganti kulit ini terjadiempat kali, maka terdapat lima periode makan atau disebut instar.

Pertumbuhan Ulat

Pertumbuhan ulat seluruhnya merupakan masa makan dan masa tumbuh. Sewaktu baru ditetaskan dari telur, berat tubuh hanya sekitar 0,038 mg dan panjang badan 0,25 cm, tetapi setelah mencapai umur 23-25 hari berat tubuhnya sekitar 360 mg dengan panjang tubuh mencapai 7,2 cm. Pertumbuhan ini suatu yang menakjubkan, karena berat tubuh sampai umur 23-25 hari berlipat sekitar 9.500 kali dan panjang berlipat hampir 30 kali. Waktu ganti kulit (moulting) berat basah akan menurun (Sihombing, 1999).

Lama istirahat berkisar antara 20-32 jam dan selama pertumbuhannya ulat istirahat 4 kali, yaitu dari pergantian instar I ke II, instar II ke III, instar III ke IV, instar IV ke V.Tanda-tanda ulat yang akan istirahat ialah nafsu makan mulai berkurang, lebih banyak diam dan lama kelamaan akan diam, tidak bergerak sama sekali (Guntoro, 1994).

Selama pertumbuhan dan selama pergantian kulit dan aktivitas ulat, dalam tubuh ulat pun terjadi perubahan-perubahan, terutama pada kelenjar sutera. Perubahan ini terlihat jelas pada stadium V, atau stadium terakhir sebelum mengokon (Sihombing,1999).

(9)

8

(a) (b)

Gambar 4. (a) Hibernasi Ulat, (b) Ulat Sutera Siap Mengokon (Warna Bening)

Persilangan

Persilangan dilakukan antara galur yang berasal dari daerah yang berbeda agar supaya sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki masing-masing galur dapat bergabung pada hibridnya. Dengan persilangan ini akan muncul heterosis yaitu nilai peningkatan dari hibrid bila dibandingkan dengan induknya. Nilai heterosis untuk setiap sifat berbeda dan tingkat heterosis bagi masing-masing sifatpun ternyata tidak konsisten, atau bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan berlainan. Hibrid umumnya mempunyai larva lebih pendek, mortalitas lebih rendah, jumlah kokon ganda lebih tinggi, sedangkan berat kokon, berat kulit kokon, panjang serat dan berat serat lebih tinggi dari nilai rata-rata galur induknya (Atmosoedarjoet al., 2000).

Memperbaiki susunan genetik hewan ternak, yaitu dengan sistem perkawinan. Persilangan adalah perkawinan antar individu, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan biasanya berdampak pada peningkatan daya hidup. Selain itu, persilangan memiliki tingkat kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut dengan heterosis atau keunggulan hasil silangan (Minkema, 1993).

(10)

9 jarang dilakukan, karena ternak dari spesies yang berbeda sering gagal disilangkan (Noor, 2008).

(11)

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni 2011 sampai dengan Agustus 2011.

Materi Ulat Sutera

Ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat sutera (Bombyx mori L.) yang merupakan persilangan dari ulat sutera ras Jepang dan ras Cina, dengan kode 108, 808, 806, 903, (kode angka pertama merupakan tempat asal dan angka ketiga merupakan urutan jenis ulat) dan bibit komersial C301 serta BS09 sebagai kontrol. Telur persilangan ulat sutera diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, divisi Persuteraan Alam. Telur bibit komersial C301 diperoleh dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto, Jawa Tengah dan BS09 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan rehabilitasi Persuteraan Alam Ciomas. Jumlah ulat yang dipelihara 1800 ekor.

Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapur dan kaporit dengan dosis 5:95 (ulat kecil) dan 10:90 (ulat besar) sebagai desinfektan, cairan karbol sebagai sanitizer, kapur, formalin dan PK untuk fumigasi, serta daun murbei (M. chatayana) sebagai pakan ulat sutera.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital, sasag, rak, stand untuk sasag, tudung saji, keranjang daun, ember, baskom, pinset, kaca pembesar, bulu angsa (untuk mempermudah menghitung ulat kecil), sapu, alat tulis, kertas parafin, koran bekas (untuk alas), tali rafia, sapu tangan, kain untuk penutup daun, triplek dari fiber (untuk penutup tudung saji), ayakan plastik, sikat, termohigrometer, kamera digital dan seriframe (tempat pengokonan).

(12)

11 kaporit dilarutkan dalam 5 liter air) kecuali termohigrometer, timbangan digital dan kamera digital.

Prosedur Ruang dan Kandang Pemeliharaan

Ruang pemeliharaan ulat berdinding semen, dengan lantai keramik, dan atap asbes serta ventilasi yang cukup. Rak penempatan tundung saji terbuat dari besi dan ukuran ruangan 6 x 4 m. Pada siang hari ruangan dikipasi dengan kipas angin untuk menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban. Ruang pemeliharaan ulat dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5. (a) Rak Pemeliharaan Ulat Sutera (b) Lantai Ruang Pemeliharaan

Pembuatan Desinfektan

Desinfektan digunakan sebagai antiseptik untuk menghindari adanya kontaminasi dari bibit penyakit. Kontaminasi dapat disebabkan karena penyakit pada saat pemeliharaan. Ruang didesinfektan dengan menggunakan campuran kaporit dan formalalin. Desinfektan lantai dan alat dibuat dengan mencampurkan 100 gram kaporit dalam 5 liter air.

Desinfeksi Ruangan dan Peralatan Pemeliharaan

(13)

12 Seluruh alat yang digunakan dalam pemeliharaan baik yang bersentuhan langsung dengan ulat sutera maupun tidak, dimasukkan ke dalam ruang pemeliharaan saat akan didesinfeksi. Proses desinfeksi ruang pemeliharaan dilakukan setelah seluruh ruangan bibersihkan, lubang ventilasi udara, jendela, dan pintu ditutup rapat. Penutupan bertujuan untuk menghindari keluarnya gas formalin desinfektan dari ruangan. Setiap 10 m2 diperlukan PK 25 gram dan formalin 0,5 liter.

Proses fumigasi yaitu PK (Permanganat Kalicus) dituangkan pada wadah lalu ditambahkan formalin. Seketika itu juga akan keluar asap dengan bau menyengat. Penyemprotan desinfektan dilakukan 4 hari sebelum kegiatan pemeliharaan.

Ruang pemeliharaan yang telah difumigasi, lantai dibersihkan kembali dengan menggunakan larutan campuran 100 gram kaporit dalam 5 liter air. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bau menyengat yang masih tersisa.

Persiapan Ruang Pemeliharaan

Langkah awal sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera yaitu persiapan ruang pemeliharaan. Dilakukan desinfeksi sebelum pemeliharaan ulat berlangsung. Desinfeksi bertujuan untuk mematikan segala kuman-kuman penyakit pada lantai, dinding ruangan pemeliharaaan dan alat-alat pemeliharaan yang akan dipergunakan. Desinfeksi menggunakan dengan larutan kaporit atau formalin dengan konsentrasi 0,5%. Seluruh ruangan disemprot dengan larutan kaporit sebanyak 1-2 liter larutan per meter persegi luas ruangan. Penyemprotan dilakukan sekitar 5 hari sebelum digunakan untuk pemeliharaan. Fumigasi dilakukan 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum ruangan digunakan.

Penetasan dan Pemindahan Ulat

(14)

13 Setelah telur sudah menetas semua kemudian dipindahkan ke kotak pemeliharaan, dan sasag dialasi kertas parafin atau kertas minyak. Pemindahan dilakukan sekitar pukul 08.00-09.00 WIB. Tutup kotak penetasan dibuka, kemudian diletakan di atas sasag sehingga ulat menyebar pada sasag. Kemudian ulat didesinfeksi tubuhnya dengan menggunakan kapur halus dan kaporit. Perbandingan kapur 95% dan kaporit 5%. Beberapa menit kemudian ulat diberi pakan daun murbei (M. chatayana) yang dipotong-potong antara 0,5 – 1 cm. Pada sasag diberi penutup dan dibuka saat pemberian pakan untuk menjaga suhu dan kelembaban serta gangguan binatang lain.

Pemberian Pakan

Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Pakan yang diberikan yaitu daun murbei (M. chatayana). Untuk mempermudah ulat mengkonsumsinya daun dipotong-potong. Instar I potongan sekitar 0,5 – 1 cm, instar II antara 1,5 – 2 cm, instar III antara 3 – 4 cm, dan untuk instar IV dan V daun tidak dipotong-potong langsung diberikan. Instar IV dan instar V pemberian pakan dilakukan empat kali yaitu pagi, siang, sore dan malam. Setiap setelah pemberian pakan, sasag tempat pemeliharaan ditutup dengan penutup untuk mencegah dimangsa oleh binatang dari luar.

Perlakuan Saat Pergantian Kulit

Setiap pergantian instar ulat mengalami tidur dan berganti kulit. Apabila ulat kurang lebih 90% tidur, kemudian ditaburi kapur dan daun kering agat ulat tidak makan. Setelah ulat bangun ditaburi desinfektan untuk melindungi kulitnya yang masih sensitive. Kemudin sekitar 30 menit setelah pemberian desinfektan diberi pakan (Gambar 6).

Penimbangan Ulat Setiap Awal Instar dan Akhir Instar

(15)

14 Gambar 6. Pemberian Desinfektan

Penimbangan Sisa Pakan

Penimbangan sisa pakan dilakukan pada pagi hari, untuk mengetahui jumlah konsumsi ulat setiap harinya. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital dan timbangan duduk.

Pembersihan Sasag dan Pencegahan Penyakit

Pemeliharaan ulat sutera agar tidak mudah terkena penyakit yaitu dilakukan pembersihan alas pada sasag. Pada ulat kecil penggantian alas dilakukan pada saat setelah ulat bangun dan pemberian desinfektan. Sasag dibersihkan dengan mengganti alas koran. Fase ulat besar penggantian alas dilakukan setiap hari. Ruang pemeliharaan lantai dibersihkan.

Pengokonan

(16)

15 Gambar 7. Pengokonan Ulat Sutera

Rancangan Percobaan Perlakuan

Perlakuan terdiri atas persilangan antara Ras Jepang dengan Ras Cina kode 108, 806, 808, dan 903 beserta resiproknya serta bibit komersial C301 dan BS09. Penelitian ini terdiri atas enam taraf perlakuan dengan tiga ulangan.

H1 : betina kode 808 disilangkan dengan jantan kode 108 H2 : betina kode 903 disilangkan dengan jantan kode 806 H3 : betina kode 806 disilangkan dengan jantan kode 903 H4 : betina kode 108 disilangkan dengan jantan kode 808 H5 : bibit ulat sutera komersial C301

H6 : bibit ulat sutera komersial BS09

Model

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, model rancangan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :

(17)

16 Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan persilangan ke-i dan kelopok ke-j µ = Rataan umum pengamatan persilangan

τi = Pengaruh persilangan pada taraf ke-i (i = H1, H2, H3, H4, H5, H6) εij = Pengaruh galat percobaan persilangan ke-i pada kelopok ke-j

Uji lanjut yang digunakan bila hasil analisis ragam berbeda nyata yaitu Uji banding Tukey.

Peubah yang Diamati

Peubah yang akan diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bobot badan larva setiap instar, dapat dihitung dengan cara berat badan awal instar dikurangi berat badan akhir instar.

2. Pakan yang dikonsumsi ulat, dapat dihitung dengan cara bobot daun awal dikurangi bobot daun akhir (penimbangan dilakukan setiap hari).

3. Konversi pakan dihitung dengan cara konsumsi berat kering dibagi pertambahan bobot badan

Konversi pakan = Konsumsi berat kering Pertambahan bobot badan

(18)

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban

Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar antara 27-28 ºC dan kelembaban sekitar 62%-64%. Rataan suhu dan kelembaban ulat kecil dan ulat besar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan Ulat Sutera

Suhu dan

Keterangan: UK= Ulat Kecil; UB= Ulat Besar; A= Andadari et al. (1998); B= Sihombing (1998)

Suhu pemeliharaan ulat kecil berkisar 28,12 ºC sudah optimum menurut Andadari et al. (1998), namun kelembaban lebih rendah dari kelembaban optimum. Kelembaban ruang pemeliharaan dijaga selalu dengan melakukan pemercikan air secara rutin. Rendahnya kelembaban dikarenakan jendela ventilasi terbuka lebar angin terlalu kencang sehingga air dilantai cepat menguap.

Suhu maupun kelembaban pada pemeliharaan ulat besar lebih rendah daripada suhu dan kelembaban optimum menurut Sihombing (1999). Sedangkan suhu dan kelembaban pemeliharaaan ulat besar berkisar 62,25 ºC dan 62,25%, menurut Sihombing (1999) data tersebut tidak optimum. Hal tersebut dikarenakan ventilasi pada ruang pemeliharaan ulat sutera terlalu lebar yang mengakibatkan suhu lingkungan diluar meningkat sehingga kelembaban ruangan pemeliharaan ulat sutera cepat menurun. Kelembaban ruangan pemeliharaan dijaga dengan melakukan pemercikan air secara rutin dan ventilasi tidak dibuka terlalu lebar.

Konsumsi Kosumsi Ulat Kecil

(19)

18 kecil sebesar 10,51%. Atmosoedarjo et al. (2000), menyatakan bahwa kebutuhan pakan untuk larva ulat kecil adalah 10% dari kebutuhan keseluruhan pakan.

Konsumsi pakan ulat kecil berkisar 740,33-858,69 mg/ekor. Menurut Wageansyah (2007), konsumsi pakan ulat kecil berkisar 746,10-778,18 mg/ekor (Tabel 2). Konsumsi ulat kecil hampir sama dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Wageansyah, 2007). Hal ini disebabkan oleh kelembabannya tidak optimum (Tabel 1).

Hasil uji ANOVA menunjukan hibrid ulat kecil tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan ulat kecil, yaitu rata-rata 800,96 mg/ekor. Konsumsi pakan cukup seragam dengan keragaman berkisar 1,79%-9,88%. Ulat H2 dan H5 memiliki koefisien keragaman tinggi (9,88% dan 9,28%), sedangkan H1 memiliki koefisien keragaman rendah (1,79%). Berdasarkan peubah konsumsi H1 merupakan hibrid yang lebih baik dari lainnya karena koefisien keragaman paling rendah.

Konsumsi Ulat Besar

Ulat besar merupakan larva instar IV dan instar V dengan kebutuhan pakan paling banyak. Konsumsi ulat instar IV berkisar 1.538,65-2.052,65 mg/ekor. Berdasarkan uji ANOVA perbedaan hibrid tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan instar IV, dengan rataan 1.831,73 mg/ekor. Koefisien keragaman instar IV berkisar 6,69%-26,06%. H5 memiliki koefisien keragaman paling tinggi (26,06%), sedangkan H4 paling rendah (3,58%). Koefisien keragaman menunjukkan larva beradaptasi terhadap lingkungan. Galur ulat H4 lebih tahan terhadap cekaman karena respon konsumsi lebih seragam. Menurut Wageansyah (2007), bahwa konsumsi ulat instar IV berkisar 2.213,80-2.614,80 mg/ekor. Konsumsi pakan ulat instar IV lebih rendah dari Wageansyah (2007).

Rataan konsumsi pakan ulat besar pada penelitian ini sebesar 89,49%. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa larva instar V mengkonsumsi pakan kira-kira sebanyak 90% dari keperluan seluruh pakan untuk seluruh instar, hal ini berhubungan dengan cadangan makanan yang akan digunakan untuk pembentukan kelenjar sutera.

(20)

19 mg/ekor. Konsumsi pakan ulat instar V pada penelitian sangat rendah hal ini dikarenakan suhu dan kelembaban instar V tidak optimal (Tabel 1). Keadaan lingkungan yang panas menyebabkan ulat mengkonsumsi pakan sedikit.

Uji ANOVA menunjukan bahwa hibrid berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan ulat instar V. H2 dan H6 hibrid mengkonsumsi pakan paling tinggi (8.220,13-8.605,52 mg/ekor). Sedangkan hibrid H1 dan H4 paling rendah (5.065,86-5.679,83 mg/ekor) (Tabel 2).

Tabel 2. Konsumsi Ulat Kecil dan Ulat Besar

Hibrid

Pakan Ulat Kecil Pakan Ulat Besar

Instar III Akhir Instar IV Instar V

Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan konsumsi berbeda nyata (P<0,05);

Angka didalam tanda kurung ( ) adalah konsumsi bahan kering

(21)

20 Bobot Badan

Bobot Badan Ulat Kecil

Data bobot badan ulat kecil diambil hanya pada awal instar I dan akhir instar III karena ulat kecil sangat rentan terhadap sentuhan. Bobot badan tiap hibrid pada awal instar I diambil satu ulangan saja, sedangkan pada akhir instar III dari semua ulangan.

Uji ANOVA menunjukan bahwa bobot badan pada akhir instar III berbeda nyata (P<0,05). Ulat H2 memiliki bobot badan paling tinggi (183 mg/ekor) dengan keragaman terendah (3,15%), sedangkan ulat H5 dan H6 paling rendah (123 dan 117 mg/ekor). Ulat kecil tahan terhadap cekaman kering. H2 pada instar III memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih tinggi dibandingkan hibrid lainya (Tabel 3).

Tabel 3. Bobot Badan Ulat Kecil

Hibrid

Ulat Kecil

Instar IAwal Instar III Akhir BB akhir Instar III/ BB awal instar I

Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan bobot badan ulat kecil berbeda nyata (P<0,05)

(22)

21 Bobot Badan Ulat Besar

Fase ulat besar terdiri dari ulat instar IV dan instar V. Bobot badan ditimbang setiap awal instar dan akhir instar. Bobot badan instar IV awal berkisar 130-170 mg/ekor, sedangkan instar IV akhir bobot badan berkisar 520-800 mg/ekor. Bobot badan ulat instar V awal berkisar 460-730 mg/ekor, sedangkan bobot badan instar V akhir antara 2.360-3.640 mg/ekor. Bobot badan ulat besar Instar IV dan V disajikan Tabel 4. Wageansyah (2007) menyatakan bahwa bobot badan ulat instar V akhir berkisar 3.982,8-4.173,3 mg/ekor (Tabel 4).

Uji statistik menunjukan bahwa bobot badan instar IV dan instar V antar hibrid berbeda nyata (P<0,05). Ulat H2 tetap memperlihatkan keunggulannya dibandingkan H6 pada akhir instar IV, terlihat dari bobot badannya yang lebih tinggi dari H6 meskipun terhadap konsumsinya sama (Tabel 2).

Tabel 4. Bobot Badan Ulat Besar

Hibrid

Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan bobot badan ulat besar berbeda nyata

(P<0,05); Δ= BB Akhir-BB Awal; satuan = mg/ekor

Bobot badan tinggi merupakan faktor untuk menentukan kwalitas kokon dan bobot pembentukan serat sutera. Bobot badan tinggi tersimpan dalam bentuk kelenjar sutera dan deposit makanan tubuh, dengan demikian bobot badan merupakan indikator untuk mengetahui kwalitas kokon segar.

(23)

22 tubuh dari larva menjadi imago. Bobot badan instar V besar sejalan dengan membesarnya kelenjar sutera sehingga menghasilkan kokon yang berkualitas (Norati,

1996).

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan instar IV berkisar 390-630 mg/ekor dan instar V berkisar 1.900-6.700 mg/ekor. Menurut Rustini (2002), pertambahan bobot badan instar IV berkisar 544,6-772,3 mg/ekor dan instar V berkisar 1398,6-2291,5 mg/ekor.

Uji ANOVA menunjukan bahwa hibrid instar IV dan V berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan instar IV dan V. Pertambahan bobot badan instar IV dan instar V paling tinggi H2, sedangkan terendah H5. Hibrid H1 memiliki pertambahan bobot badan rendah di instar IV, dan instar V mengalami kenaikan. Koevisien keragaman tinggi dibandingkan dengan hibrid lainya. Koevisien keragaman tinggi menujukan bahwa hibrid tidak tahan terhadap cekaman. Pertambahan bobot badan paling rendah instar IV dan instar V yaitu H5. Hal tersebut disebabkan karena ada sebagian ulat H5 terkena penyakit Glasserie (Tabel 5).

Pertambahan bobot badan ulat kecil berkisar (122,56-182,56 mg/ekor) dengan rataan 148,94 mg/ekor. Hibrid baru memiliki pertambahan bobot badan paling tinggi ke rendah H2, H3, H4, dan H1 (182,56, 159,56, 159,49, dan 152,67 mg/ekor) lebih tinggi dari ulat jenis komersial. Pertambahan bobot badan pada instar IV dan instar V nyata (P<0,05) berpengaruh terhadap perbedaan hibrid. Pertambahan bobot badan yang tinggi pada instar V sejalan dengan pertumbuhan kelenjar sutera. Pertambahan bobot badan yang tinggi pada H2 disebabkan perbesaran kelenjar sutera yang tinggi sehingga kokon yang dihasilkan juga lebih tebal. Hal ini sesuai dengan pendapat Samsijah dan Kusumaputra (1978), kelenjar sutera tumbuh sangat cepat pada saat instar V.

(24)

23 Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan Ulat Kecil, Instar IV, dan Instar V

Hibrid

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan pertambahan bobot badan berbeda nyata pada

taraf 5%.

Umur Ulat

Pemeliharaan ulat sutera terdiri dari ulat kecil dan ulat besar. Rata-rata pemeliharaan ulat kecil adalah ulat yang berumur 1 hari hingga 12 hari, sedangkan ulat besar adalah fase sejak ulat berumur 12 hari hingga 22 hari hingga ulat memasuki fase pengokonan. Ulat kecil terdiri dari instar I (1-4 hari), instar 2 (5-7 hari) dan instar 3 (8-11 hari). Ulat besar terdiri dari ulat instar IV (12-17 hari) dan ulat instar V (18-22 hari).

Tabel 6. Umur Ulat Tiap Instar

Instar

(25)

24 instar 5 (19-23 hari). Umur ulat setiap instar (Tabel 6). Lama pemeliharaan hibrid H2 paling cepat mengokon yaitu 23 hari 1 jam 23 menit, sedangkan H1, H2, H3 dan H4 mengokon 24 hari 1 jam 7 menit. Menurut Guntoro 1994, ulat sutera fase pengokonan dari umur sekitar 21-28 hari.

Hal ini menunjukan bahwa fase mengokon ulat sesuai dengan fase pengokonan. Lama umur ulat dipengaruhi suhu dan kelembaban lingkungan. Suhu yang tinggi mempercepat umur ulat, sedangkan suhu rendah memperlambat umur ulat.

Konversi Pakan

Konversi pakan ulat kecil pemeliharaan ulat memliliki rataan 4,55. Sedangkan instar IV memiliki rataan konversi pakan 2,73 dan konversi ulat besar memiliki rataan 2,37 (Tabel 7). Konversi yang memiliki nilai rendah menunjukkan bahwa ulat lebih efisien mengkosumsi pakan untuk menghasilkan bobot badan.

Tabel 7. Konversi Pakan Ulat Kecil, Instar IV, dan Instar V

Hibrid UK Instar IV KK (%) Instar V KK (%)

H1 4,12 3,18 16,55 1,86 26,87

H2 3,41 2,61 6,47 3,51 5,67

H3 3,72 2,39 17,14 2,30 10,82

H4 4,03 2,81 8,98 0,68 9,61

H5 5,62 3,17 25,80 3,35 31,75

H6 5,82 2,23 7,82 2,53 17,98

Rataan 4,45 2,73 13,79 2,37 17,12

Keterangan: UK= ulat kecil; KK= koefisien keragaman

(26)

25 Mortalitas

Pemeliharaan ulat sutera periode ulat kecil memiliki mortalitas dari tinggi ke rendah H2, H3, H4, H1, H6, dan H5 (0%, 0%, 0%, 1%, 2%, dan 5%) dan mortalitas periode ulat besar dari tinggi ke rendah H5, H3, H4, H1, H6, dan H2 (8%, 4%, 3%, 3%, 3%, dan 1%). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975), mortalitas pemeliharaan ulat sutera sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas pada penelitian ini melebihi angka tersebut, yang disebabkan karena ulat H5 terkena serangan penyakit Glasserie (Gambar 8).

Mortalitas ulat sutera hibrid baru lebih rendah dibandingkan dengan hibrid komersial. Mortalitas yang tinggi dapat disebabkan karena ulat tidak tahan terhadap penyakit dan tidak tahan terhadap lingkungan.

Gambar 8. Ulat Sutera Terserang Glasserie

Performa Ulat Sutera Hibrid Baru dan Jenis Komersial

Ulat H2 memiliki konsumsi, berat badan, pertambahan bobot badan, mortalitas rendah. H2 memiliki performa paling tinggi dibandingkan dengan hibrid lainya. Ulat H2 memiliki performa rendah dikarenakan ulat terserang penyakit

Glasseriedi awal ulat besar (Tabel 8).

(27)

26 Tabel 8. Performa Ulat Sutera Hibrid Baru dan Jenis Komersial

Hibrid Konsumsi BB PBB Mortalitas Konversi

UK UB UK UB UK UB UK UB UK UB

H1 a b b b c bc 1% 3% 4,12 2,52

H2 a a a a a a 0% 1% 3,41 2,88

H3 a ab b b ab b 0% 4% 3,72 2,73

H4 a b b b ab b 0% 3% 4,03 1,75

H5 a ab c c c c 5% 8% 5,62 3,26

H6 a a c c ab ab 2% 3% 5,82 2,38

Keterangan: a lebih baik dari b; b lebih baik dari ab; ab lebih baik dari c

(28)

27 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ulat sutera persilangan antara betina ras Jepang kode 903 dengan jantan ras Cina kode 806 menghasilkan pertumbuhan paling baik dibandingkan jenis hibrid komersial maupun ketiga persilangan lainnya berdasarkan performa konsumsi pakan, bobot badan, pertambahan bobot badan, mortalitas, dan konversi pakan.

Saran

(29)

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (

Bombyx mori

L.)

HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL

SKRIPSI

NUR INDAWATI HIDAYAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(30)

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (

Bombyx mori

L.)

HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL

SKRIPSI

NUR INDAWATI HIDAYAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(31)

RINGKASAN

Hidayah, Nur Indawati. D14070150. 2012. Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid Baru dan Jenis Komersial. Skripsi. 2012. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir Hotnida C. H. Siregar, M Si. Pembimbing Anggota : Dra. Lincah Andadari, M Si.

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi persuteraan alam di Indonesia yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam Ciomas melakukan seleksi dan persilangan untuk mendapatkan hibrid baru yang memiliki produksi benang sutera tinggi. Hibrid baru yang dihasilkan memiliki produksi kokon tinggi. Hibrid-hibrid yang digunakan pada penelitian ini yaitu hibrid baru 903, 108, 808 dan 806 serta hibrid komersial C301 dan BS09. Hibrid baru ini dilakukan persilangan resiprokal. Persilangan resiprokal ialah salah satu metode persilangan yang perlu mendapat perhatian dari aspek penurunan sifat secara maternal.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pertumbuhan larva pada ulat sutera

Bombyx mori L. (903, 108, 806, 808, C301 dan BS09) untuk mendapatkan hibrid baru. Lokasi penelitian di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam Ciomas, dari bulan Juli sampai bulan Agustus 2011. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam taraf perlakuan tiap taraf terdiri dari tiga ulangan yaitu H1, H2, H3, H4, H5 dan H6. Uji lanjut yang digunakan mengggunakan uji Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembaban periode ulat kecil tidak optimal, sedangkan suhu dan kelembaban periode ulat besar tidak optimal. Konsumsi ulat sutera instar V berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perbedaan hibrid. Bobot badan instar III, instar IV, dan instar V berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perbedaan hibrid. Pertambahan bobot badan instar IV dan instar V berpengaruh nyata terhadap perbedaan hibrid. H2 memiliki berat badan, PBB, dan konsumsi paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan hibrid lainya. H5 memiliki berat badan, PBB, dan konsumsi lebih rendah dibandingkan dengan hibrid lainya dikarenakan ada sebagian ulat H5 terkena penyakit Glasserie. Untuk menjaga suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan ulat dengan cara membasahi lantai dengan rutin dan memberi kipas angin di ruangan.

(32)

ABSTRACT

The Growth of Silkworm ( Bombyx mori L. ) New Hybrid and Commersial's Type Hidayah, N.I., Hotnida, C.H.S. and L. Andadari

Silkworm larvae has a silk gland that produces silk threads. Silk thread quality is obtained from a qualified cocoon. Clean cocoons with no stains and have a strong fiber will havea high value. To attain qualified cocoons then the larvae feed consumption must be taken into account. The feed consumed will affect the growth performances such as body weight and body weight gain which are the most decisive indicator of the quality of cocoon. This study aimed to evaluate the growth of new hybridobtained from reciprocal cross breeding system and commercial type. The Completely Randomized Design was used as the experimental design with six hybrids as the treatment, i.e. H1 (Mainland China rase 808♂ X Japan race 108 ♀), H2 (Mainland China race 903 ♂ X Japan race 806 ♀), H3(Japan race 903 ♀ X Mainland China race 806 ♂), H4 (Mainland China race 808 ♀ X Japan race 108 ♂), H5 (commercial silkworm C301), and H6 (commercial silkworm BS09). The data taken from 30 larvae hybrid each were analyzed by ANOVA (95%) and then by Tukey test. The results showed that H2 (Mainland China race 903 ♂ X Japan race 806 ♀) was superior hybrid than any hybrid based on the variables of feed consumption, body weight gain, feed conversion, and mortality.

(33)

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (

Bombyx mori

L.) HIBRID

BARU DAN JENIS KOMERSIAL

NUR INDAWATI HIDAYAH D14070150

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(34)

Judul : Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid Baru dan Jenis Komersial

Nama : Nur Indawati Hidayah NRP : D14070150

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Ir. Hotnida C. H Siregar, M.Si.) NIP. 196206171990032001

Pembimbing Anggota,

(Dra. Lincah Andadari, M.Si.) NIP. 196304131990032002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc) NIP.19591212 198603 1 004

(35)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 13 September 1989 sebagai putri kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Drs. Sihadi dan Dra. Susin Listyowati.

Pendidikan kanak-kanak diselesaikan di TK Aisiyah Bustanul Atfhal I pada tahun 1994, dilanjutkan dengan pendidikan dasar pada SDN Gatak II lulus pada tahun 2001. Sekolah lanjutan tingkat pertama lulus pada tahun 2004 di SLTPN 4 Klaten, kemudian dilanjutkan ke SMU Muhammadiyah I Klaten dan lulus pada tahun 2007.

Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2007. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor angkatan 2007 (44).

(36)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan serangkaian tugas akhir yaitu penelitian, seminar dan skripsi. Tugas akhir ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Usaha budidaya ulat sutera dipelopori oleh bangsa Cina sekitar 200 SM, kemudian usaha ini menyebar ke Jepang, Korea, India dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ulat sutera di Indonesia telah berkembang sejak abad ke-4 dan terus berkembang, namun produksi suteranya masih belum dapat memenuhi kebutuhan. Salah satu kendalanya adalah pengadaan bibit yang unggul, tahan penyakit, dapat menyesuaikan iklim yang ada dan menghasilkan kokon yang tebal. Kokon yang tebal akan menghasilkan benang yang kuat.

Keadaan iklim yang tidak menentu merupakan kendala yang dihadapi dalam penelitian ini adalah waktu pelaksanaan penelitian keadaan iklim tidak menentu sehingga mempengaruhu pertumbuhan ulat, ketersediaan daun murbei terbatas karena adanya perubahan iklim menyebabkan daun murbei cepat menguning dan beberapa ualt terserang penyakit Glasseri. Galur baru yang tidak terserang penyakit menghasilkan produksi kokon baik. Galur baru memiliki performa baik dalam penelitian ini diharapkan dapat mendukung perkembangan persuteraan alam di Indonesia.

Bogor, Januari 2012

(37)
(38)
(39)

i

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rataan Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan Ulat

Sutera …... 17 2. Konsumsi Pakan Ulat Kecil dan Ulat Besar ………. 19 3. Bobot Badan Ulat Kecil ...

20 4. Bobot Badan Ulat Besar ...

21 5. Pertambahan Bobot Badan Ulat Kecil, Instar IV dan Instar V

23

6. Umur Ulat Tiap Instar………

24 7. Konversi Pakan Ulat Kecil, Instar IV dan Instar V…………...

24 8. Performa Ulat Sutera Hibrid Baru dan Jenis Komersial ...……

(40)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(41)

i

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Konsumsi Pakan Instar V ……….…...

32

2. Bobot Badan Instar III ……….………. 32

3. Bobot Badan Instar IV ...

32 4. Bobot Badan Instar V …...

32 5. Pertambahan Bobot Badan Instar IV ………...

33 6. Pertambahan Bobot Badan Instar V ..………...

33 7. Analisis Daun Murbei (M. cathayana) ……….

(42)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ulat sutera adalah ngengat yang memiliki kelenjar sutera sehingga dapat menghasilkan serat sutera. Siklus hidup ulat sutera cepat, hal ini menunjukan bahwa memproduksi benang sutera tidak membutuhkan waktu lama, dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga benang sutera lokal Rp 250.000/kg (Dewan Kerajinan Nasional, 2009). Produksi benang mentah pada tahun 2007 sebesar 65.194 kg/tahun, akan tetapi tahun 2009 mengalami penurunan yaitu 19.212 kg/tahun (Ditjen RLPS, 2010). Penurunan dipengaruhi keadaan cuaca dan kualitas bibit. Persilangan merupakan salah satu penyelesaian untuk mendapatkan bibit yang berkualitas.

Persilangan resiprokal merupakan persilangan untuk mendapatkan bibit unggul. Persilangan resiprokal adalah persilangan dihibrid, yang terdiri dari bibit murni. Bibit unggul menghasilkan kokon berkualitas, sehingga memiliki harga jual tinggi. Pemeliharaan ulat yang intensif menghasilkan kokon yang berkualitas, pertumbuhan ulat sangat mempengaruhi hasil kokon. Pertumbuhan ulat dengan bobot badan tinggi akan menghasilkan kokon yang tebal. Kokon ras Jepang memiliki kokon tebal, produksi kokon tinggi, tetapi rentan terhadap penyakit. Kokon ras Cina memilik lapisan kokon tipis, produksi kokon rendah, dan tahan penyakit. Berdasarkan hal tersebut persilangan dari dua ras ulat sutera akan menghasikan kokon yang berkualitas dari persilangan ras tersebut.

Galur 903 dan 108 dari ras Jepang, 808 dan 806 dari ras Cina, serta C301 dan BS09. Keunggulan galur tersebut yaitu memiliki persentase kulit kokon yang tinggi dibandingkan dengan galur lainnya dan bibit yang unggul. Galur ulat sutera berasal dari koleksi Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam Ciomas, Bogor.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini ialah mengevaluasi pertumbuhan ulat sutera

(43)

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.)

Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim disebut ulat, pupa dan ngengat. Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa di mana ulat makan, merupakan masa yang sangat penting untuk sintesa protein sutera dan pembentukan telur. Ulat sutera adalah serangga yang masuk ke dalam Ordo Lepidoptera yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat (Atmosoedarjo et al., 2000).

Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut: Filum : Arthophoda

Pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di Cina sejak beberapa abad yang lalu. Leluhurnya adalah ulat sutera liar, Bombyx mandarina, ditemukan dipohon murbei yang banyak di Cina, Jepang dan Negara lain di Asia Timur. Ulat sutera yang dikenal sekarang Bombyx mori tidak dapat mandiri dialam bebas, penciumannya sudah sangat tumpul sehingga tidak dapat mengenal tanaman murbei dalam jarak beberapa meter, pergerakkannya lambat dalam mendapatkan daun karena kemampuan merangkaknya sudah lemah. Daya pegang ulat yang sangat lemah, sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh angin, ulat tidak dapat melindungi diri melawan musuh dan tidak bisa bergerak cepat (Atmosoedarjoet al., 2000).

Ras Ulat Sutera

(44)

3 Banyak galur yang menghasilkan larva dengan ukuran medium dan kokon berbentuk kacang, ras Jepang ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 1. Ulat Sutera dan Kokon Ras Cina Sumber: Andadari et al.(1998)

Ras Cina memiliki ciri-ciri yaitu umur produksi lebih pendek atau cepat, ulat polos, bentuk kokon bulat, lapisan kokon tipis sehingga produksi rendah dibandingkan dengan Ras Jepang dan daya tahan ulat lebih kuat dibandingkan dengan Ras Jepang (Guntoro, 1994). Ras Cina terdiri dari univoltin dan bivoltin iyang mencakup banyak galur yang menghasilkan larva kecil dan kokon oval (Gambar 1).

Gambar 2. Ulat Sutera dan Kokon Ras Jepang Sumber: Andadari et al. (1998)

(45)

4 Ras Eropa hanya mencakup jenis univoltin, dengan larva yang besar dan kokon oval. Ras Eropa ini tumbuh lambat dan tidak kuat, sehingga hanya dapat dipelihara di musim semi yang hangat di daerah subtropik.

Banyak galur yang dipelihara pada saat ini merupakan hibrid dari ketiga ras tersebut di atas, yang telah diperbaiki dengan menghimpun kelebihan-kelebihannya. Hibrid ini untuk memudahkan pemakaian, diklasifikasikan berdasarkan darah Jepang, darah Cina dan darah Eropa, dan disebut sebagai ras masing-masing, paling umum pada saat ini adalah galur dari ras Jepang dan ras Cina. Para petani biasanya memelihara generasi pertama (F1) dari ras-ras tersebut (Atmosoedarjo et al., 2000).

Generasi Pertahun Ulat Sutera Monovoltin

Ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam satu tahun karena terjadi penundaan pematangan embrio selama musim dingin.Ulat sutera ini tidak tahan dipeliharaan di daerah panas, berukuran besar dan kokon besar (Atmosoedarjo et al., 2000).

Bivoltin

Ulat sutera dapat menghasilkan dua generasi dalam setahun. Kokon yang dihasikan berukuran besar dan tahan terhadap lingkungan panas (Atmosoedarjo et al., 2000)

Polivoltin

Ulat sutera dapat menghasilkan generasi lebih dari tiga generasi atau lebih. Ulat sutera ini tahan terhadap lingkungan panas, kokon yang dihasilkan sedikit, dan serat suter sedikit (Atmosoedarjo et al., 2000).

Siklus Hidup Telur

(46)

5 bertelur. Telur ini dorman atau hibernasi. Setelah melewati musim dingin, embrio dalam telur berkembang dan menetas. Siklus tersebut disebut satu generasi per tahun (Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Sutera Sumber : Tazima (1978)

Telur ras bivoltin menetas pada musim semi dan tumbuh menjadi ngengat awal musim panas untuk bertelur, seperti univoltin. Akan tetapi telur ini tidak dorman, sehingga akan menetas 10 hari kemudian. Larva generasi kedua ini menetas dan akan menjadi ngengat pada awal musim gugur untuk bertelur. Telur dorman selama musim dingin dan akan terputus dormansinya pada saat musim semi berikutnya tiba. Saat musim tersebut telur akan menetas. Siklus seperti ini disebut dua generasi per tahun. Warna telur bivoltin, pada saat diletakkan, kuning muda, akan tetapi dalam 2-3 hari mulai berubah, sesuai dengan rasnya, yang pada umumnya berwarna abu-abu atau kehijauan (Atmosoedarjo et al., 2000).

(47)

6 Pupa

Sekitar lima atau enam hari setelah ulat mulai membentuk kokon, ulat sutera berubah bentuk di dalam kokon dan menjadi pupa. Segera setelah menjadi pupa, pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap berubah mengeras. Periode pupa menghabiskan waktu 11 hingga 12 hari (Sinchaisri, 1993).

Ngengat

Ngengat tidak bisa terbang untuk berkopulasi, atau kalau betina untuk bertelur pada daun murbei. Ngengat yang sudah keluar dari kokon, sebaiknya ngengat di kopulasi hanya pada saat sayap sudah berkembang dengan sempurna. Waktu kopulasi selama sekitar satu jam sudah cukup bagi jantan untuk ejakulasi pertama, akan tetapi untuk kenyamanan serta untuk mengurangi proporsi telur yang tidak dibuahi, kopulasi dibiarkan sampai lebih dari dua jam. Ngengat jantan yang akan digunakan kembali maka ngengat disimpan pada suhu 5–10 ºC. Sebaiknya ngengat jantan yang sudah digunakan maka kemampuan kopulasi sudah berkurang dan mengakibatkan jumlah telur yang tidak dibuahi akan bertambah (Atmosoedarjoet al., 2000).

Warna ngengat dewasa berwarna putih susu dengan garis halus melintang berwarna kecoklatan pada sayap bagian depan dan tubuh dilapisi oleh bulu yang lebat. Ngengat dewasa tidak memerlukan makanan, tidak dapat terbang dan siklus hidupnya pendek. Masing-masing betina dapat menghasilkan telur 300-400 butir, sedangkan pada saat larva tubuhnya tidak berbulu dan makanan utamanya daun murbei, pertumbuhan sangat cepat dan dapat menghasilkan kokon dalam waktu enam minggu (Borror et al., 1996).

Ulat atau Larva

(48)

7 atau molting. Karena selama masa larva, ganti kulit ini terjadiempat kali, maka terdapat lima periode makan atau disebut instar.

Pertumbuhan Ulat

Pertumbuhan ulat seluruhnya merupakan masa makan dan masa tumbuh. Sewaktu baru ditetaskan dari telur, berat tubuh hanya sekitar 0,038 mg dan panjang badan 0,25 cm, tetapi setelah mencapai umur 23-25 hari berat tubuhnya sekitar 360 mg dengan panjang tubuh mencapai 7,2 cm. Pertumbuhan ini suatu yang menakjubkan, karena berat tubuh sampai umur 23-25 hari berlipat sekitar 9.500 kali dan panjang berlipat hampir 30 kali. Waktu ganti kulit (moulting) berat basah akan menurun (Sihombing, 1999).

Lama istirahat berkisar antara 20-32 jam dan selama pertumbuhannya ulat istirahat 4 kali, yaitu dari pergantian instar I ke II, instar II ke III, instar III ke IV, instar IV ke V.Tanda-tanda ulat yang akan istirahat ialah nafsu makan mulai berkurang, lebih banyak diam dan lama kelamaan akan diam, tidak bergerak sama sekali (Guntoro, 1994).

Selama pertumbuhan dan selama pergantian kulit dan aktivitas ulat, dalam tubuh ulat pun terjadi perubahan-perubahan, terutama pada kelenjar sutera. Perubahan ini terlihat jelas pada stadium V, atau stadium terakhir sebelum mengokon (Sihombing,1999).

(49)

8

(a) (b)

Gambar 4. (a) Hibernasi Ulat, (b) Ulat Sutera Siap Mengokon (Warna Bening)

Persilangan

Persilangan dilakukan antara galur yang berasal dari daerah yang berbeda agar supaya sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki masing-masing galur dapat bergabung pada hibridnya. Dengan persilangan ini akan muncul heterosis yaitu nilai peningkatan dari hibrid bila dibandingkan dengan induknya. Nilai heterosis untuk setiap sifat berbeda dan tingkat heterosis bagi masing-masing sifatpun ternyata tidak konsisten, atau bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan berlainan. Hibrid umumnya mempunyai larva lebih pendek, mortalitas lebih rendah, jumlah kokon ganda lebih tinggi, sedangkan berat kokon, berat kulit kokon, panjang serat dan berat serat lebih tinggi dari nilai rata-rata galur induknya (Atmosoedarjoet al., 2000).

Memperbaiki susunan genetik hewan ternak, yaitu dengan sistem perkawinan. Persilangan adalah perkawinan antar individu, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan biasanya berdampak pada peningkatan daya hidup. Selain itu, persilangan memiliki tingkat kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut dengan heterosis atau keunggulan hasil silangan (Minkema, 1993).

(50)

9 jarang dilakukan, karena ternak dari spesies yang berbeda sering gagal disilangkan (Noor, 2008).

(51)

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni 2011 sampai dengan Agustus 2011.

Materi Ulat Sutera

Ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat sutera (Bombyx mori L.) yang merupakan persilangan dari ulat sutera ras Jepang dan ras Cina, dengan kode 108, 808, 806, 903, (kode angka pertama merupakan tempat asal dan angka ketiga merupakan urutan jenis ulat) dan bibit komersial C301 serta BS09 sebagai kontrol. Telur persilangan ulat sutera diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, divisi Persuteraan Alam. Telur bibit komersial C301 diperoleh dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto, Jawa Tengah dan BS09 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan rehabilitasi Persuteraan Alam Ciomas. Jumlah ulat yang dipelihara 1800 ekor.

Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapur dan kaporit dengan dosis 5:95 (ulat kecil) dan 10:90 (ulat besar) sebagai desinfektan, cairan karbol sebagai sanitizer, kapur, formalin dan PK untuk fumigasi, serta daun murbei (M. chatayana) sebagai pakan ulat sutera.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital, sasag, rak, stand untuk sasag, tudung saji, keranjang daun, ember, baskom, pinset, kaca pembesar, bulu angsa (untuk mempermudah menghitung ulat kecil), sapu, alat tulis, kertas parafin, koran bekas (untuk alas), tali rafia, sapu tangan, kain untuk penutup daun, triplek dari fiber (untuk penutup tudung saji), ayakan plastik, sikat, termohigrometer, kamera digital dan seriframe (tempat pengokonan).

(52)

11 kaporit dilarutkan dalam 5 liter air) kecuali termohigrometer, timbangan digital dan kamera digital.

Prosedur Ruang dan Kandang Pemeliharaan

Ruang pemeliharaan ulat berdinding semen, dengan lantai keramik, dan atap asbes serta ventilasi yang cukup. Rak penempatan tundung saji terbuat dari besi dan ukuran ruangan 6 x 4 m. Pada siang hari ruangan dikipasi dengan kipas angin untuk menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban. Ruang pemeliharaan ulat dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5. (a) Rak Pemeliharaan Ulat Sutera (b) Lantai Ruang Pemeliharaan

Pembuatan Desinfektan

Desinfektan digunakan sebagai antiseptik untuk menghindari adanya kontaminasi dari bibit penyakit. Kontaminasi dapat disebabkan karena penyakit pada saat pemeliharaan. Ruang didesinfektan dengan menggunakan campuran kaporit dan formalalin. Desinfektan lantai dan alat dibuat dengan mencampurkan 100 gram kaporit dalam 5 liter air.

Desinfeksi Ruangan dan Peralatan Pemeliharaan

(53)

12 Seluruh alat yang digunakan dalam pemeliharaan baik yang bersentuhan langsung dengan ulat sutera maupun tidak, dimasukkan ke dalam ruang pemeliharaan saat akan didesinfeksi. Proses desinfeksi ruang pemeliharaan dilakukan setelah seluruh ruangan bibersihkan, lubang ventilasi udara, jendela, dan pintu ditutup rapat. Penutupan bertujuan untuk menghindari keluarnya gas formalin desinfektan dari ruangan. Setiap 10 m2 diperlukan PK 25 gram dan formalin 0,5 liter.

Proses fumigasi yaitu PK (Permanganat Kalicus) dituangkan pada wadah lalu ditambahkan formalin. Seketika itu juga akan keluar asap dengan bau menyengat. Penyemprotan desinfektan dilakukan 4 hari sebelum kegiatan pemeliharaan.

Ruang pemeliharaan yang telah difumigasi, lantai dibersihkan kembali dengan menggunakan larutan campuran 100 gram kaporit dalam 5 liter air. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bau menyengat yang masih tersisa.

Persiapan Ruang Pemeliharaan

Langkah awal sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera yaitu persiapan ruang pemeliharaan. Dilakukan desinfeksi sebelum pemeliharaan ulat berlangsung. Desinfeksi bertujuan untuk mematikan segala kuman-kuman penyakit pada lantai, dinding ruangan pemeliharaaan dan alat-alat pemeliharaan yang akan dipergunakan. Desinfeksi menggunakan dengan larutan kaporit atau formalin dengan konsentrasi 0,5%. Seluruh ruangan disemprot dengan larutan kaporit sebanyak 1-2 liter larutan per meter persegi luas ruangan. Penyemprotan dilakukan sekitar 5 hari sebelum digunakan untuk pemeliharaan. Fumigasi dilakukan 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum ruangan digunakan.

Penetasan dan Pemindahan Ulat

(54)

13 Setelah telur sudah menetas semua kemudian dipindahkan ke kotak pemeliharaan, dan sasag dialasi kertas parafin atau kertas minyak. Pemindahan dilakukan sekitar pukul 08.00-09.00 WIB. Tutup kotak penetasan dibuka, kemudian diletakan di atas sasag sehingga ulat menyebar pada sasag. Kemudian ulat didesinfeksi tubuhnya dengan menggunakan kapur halus dan kaporit. Perbandingan kapur 95% dan kaporit 5%. Beberapa menit kemudian ulat diberi pakan daun murbei (M. chatayana) yang dipotong-potong antara 0,5 – 1 cm. Pada sasag diberi penutup dan dibuka saat pemberian pakan untuk menjaga suhu dan kelembaban serta gangguan binatang lain.

Pemberian Pakan

Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Pakan yang diberikan yaitu daun murbei (M. chatayana). Untuk mempermudah ulat mengkonsumsinya daun dipotong-potong. Instar I potongan sekitar 0,5 – 1 cm, instar II antara 1,5 – 2 cm, instar III antara 3 – 4 cm, dan untuk instar IV dan V daun tidak dipotong-potong langsung diberikan. Instar IV dan instar V pemberian pakan dilakukan empat kali yaitu pagi, siang, sore dan malam. Setiap setelah pemberian pakan, sasag tempat pemeliharaan ditutup dengan penutup untuk mencegah dimangsa oleh binatang dari luar.

Perlakuan Saat Pergantian Kulit

Setiap pergantian instar ulat mengalami tidur dan berganti kulit. Apabila ulat kurang lebih 90% tidur, kemudian ditaburi kapur dan daun kering agat ulat tidak makan. Setelah ulat bangun ditaburi desinfektan untuk melindungi kulitnya yang masih sensitive. Kemudin sekitar 30 menit setelah pemberian desinfektan diberi pakan (Gambar 6).

Penimbangan Ulat Setiap Awal Instar dan Akhir Instar

(55)

14 Gambar 6. Pemberian Desinfektan

Penimbangan Sisa Pakan

Penimbangan sisa pakan dilakukan pada pagi hari, untuk mengetahui jumlah konsumsi ulat setiap harinya. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital dan timbangan duduk.

Pembersihan Sasag dan Pencegahan Penyakit

Pemeliharaan ulat sutera agar tidak mudah terkena penyakit yaitu dilakukan pembersihan alas pada sasag. Pada ulat kecil penggantian alas dilakukan pada saat setelah ulat bangun dan pemberian desinfektan. Sasag dibersihkan dengan mengganti alas koran. Fase ulat besar penggantian alas dilakukan setiap hari. Ruang pemeliharaan lantai dibersihkan.

Pengokonan

(56)

15 Gambar 7. Pengokonan Ulat Sutera

Rancangan Percobaan Perlakuan

Perlakuan terdiri atas persilangan antara Ras Jepang dengan Ras Cina kode 108, 806, 808, dan 903 beserta resiproknya serta bibit komersial C301 dan BS09. Penelitian ini terdiri atas enam taraf perlakuan dengan tiga ulangan.

H1 : betina kode 808 disilangkan dengan jantan kode 108 H2 : betina kode 903 disilangkan dengan jantan kode 806 H3 : betina kode 806 disilangkan dengan jantan kode 903 H4 : betina kode 108 disilangkan dengan jantan kode 808 H5 : bibit ulat sutera komersial C301

H6 : bibit ulat sutera komersial BS09

Model

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, model rancangan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :

(57)

16 Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan persilangan ke-i dan kelopok ke-j µ = Rataan umum pengamatan persilangan

τi = Pengaruh persilangan pada taraf ke-i (i = H1, H2, H3, H4, H5, H6) εij = Pengaruh galat percobaan persilangan ke-i pada kelopok ke-j

Uji lanjut yang digunakan bila hasil analisis ragam berbeda nyata yaitu Uji banding Tukey.

Peubah yang Diamati

Peubah yang akan diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bobot badan larva setiap instar, dapat dihitung dengan cara berat badan awal instar dikurangi berat badan akhir instar.

2. Pakan yang dikonsumsi ulat, dapat dihitung dengan cara bobot daun awal dikurangi bobot daun akhir (penimbangan dilakukan setiap hari).

3. Konversi pakan dihitung dengan cara konsumsi berat kering dibagi pertambahan bobot badan

Konversi pakan = Konsumsi berat kering Pertambahan bobot badan

(58)

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban

Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar antara 27-28 ºC dan kelembaban sekitar 62%-64%. Rataan suhu dan kelembaban ulat kecil dan ulat besar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan Ulat Sutera

Suhu dan

Keterangan: UK= Ulat Kecil; UB= Ulat Besar; A= Andadari et al. (1998); B= Sihombing (1998)

Suhu pemeliharaan ulat kecil berkisar 28,12 ºC sudah optimum menurut Andadari et al. (1998), namun kelembaban lebih rendah dari kelembaban optimum. Kelembaban ruang pemeliharaan dijaga selalu dengan melakukan pemercikan air secara rutin. Rendahnya kelembaban dikarenakan jendela ventilasi terbuka lebar angin terlalu kencang sehingga air dilantai cepat menguap.

Suhu maupun kelembaban pada pemeliharaan ulat besar lebih rendah daripada suhu dan kelembaban optimum menurut Sihombing (1999). Sedangkan suhu dan kelembaban pemeliharaaan ulat besar berkisar 62,25 ºC dan 62,25%, menurut Sihombing (1999) data tersebut tidak optimum. Hal tersebut dikarenakan ventilasi pada ruang pemeliharaan ulat sutera terlalu lebar yang mengakibatkan suhu lingkungan diluar meningkat sehingga kelembaban ruangan pemeliharaan ulat sutera cepat menurun. Kelembaban ruangan pemeliharaan dijaga dengan melakukan pemercikan air secara rutin dan ventilasi tidak dibuka terlalu lebar.

Konsumsi Kosumsi Ulat Kecil

(59)

18 kecil sebesar 10,51%. Atmosoedarjo et al. (2000), menyatakan bahwa kebutuhan pakan untuk larva ulat kecil adalah 10% dari kebutuhan keseluruhan pakan.

Konsumsi pakan ulat kecil berkisar 740,33-858,69 mg/ekor. Menurut Wageansyah (2007), konsumsi pakan ulat kecil berkisar 746,10-778,18 mg/ekor (Tabel 2). Konsumsi ulat kecil hampir sama dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Wageansyah, 2007). Hal ini disebabkan oleh kelembabannya tidak optimum (Tabel 1).

Hasil uji ANOVA menunjukan hibrid ulat kecil tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan ulat kecil, yaitu rata-rata 800,96 mg/ekor. Konsumsi pakan cukup seragam dengan keragaman berkisar 1,79%-9,88%. Ulat H2 dan H5 memiliki koefisien keragaman tinggi (9,88% dan 9,28%), sedangkan H1 memiliki koefisien keragaman rendah (1,79%). Berdasarkan peubah konsumsi H1 merupakan hibrid yang lebih baik dari lainnya karena koefisien keragaman paling rendah.

Konsumsi Ulat Besar

Ulat besar merupakan larva instar IV dan instar V dengan kebutuhan pakan paling banyak. Konsumsi ulat instar IV berkisar 1.538,65-2.052,65 mg/ekor. Berdasarkan uji ANOVA perbedaan hibrid tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan instar IV, dengan rataan 1.831,73 mg/ekor. Koefisien keragaman instar IV berkisar 6,69%-26,06%. H5 memiliki koefisien keragaman paling tinggi (26,06%), sedangkan H4 paling rendah (3,58%). Koefisien keragaman menunjukkan larva beradaptasi terhadap lingkungan. Galur ulat H4 lebih tahan terhadap cekaman karena respon konsumsi lebih seragam. Menurut Wageansyah (2007), bahwa konsumsi ulat instar IV berkisar 2.213,80-2.614,80 mg/ekor. Konsumsi pakan ulat instar IV lebih rendah dari Wageansyah (2007).

Rataan konsumsi pakan ulat besar pada penelitian ini sebesar 89,49%. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa larva instar V mengkonsumsi pakan kira-kira sebanyak 90% dari keperluan seluruh pakan untuk seluruh instar, hal ini berhubungan dengan cadangan makanan yang akan digunakan untuk pembentukan kelenjar sutera.

(60)

19 mg/ekor. Konsumsi pakan ulat instar V pada penelitian sangat rendah hal ini dikarenakan suhu dan kelembaban instar V tidak optimal (Tabel 1). Keadaan lingkungan yang panas menyebabkan ulat mengkonsumsi pakan sedikit.

Uji ANOVA menunjukan bahwa hibrid berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan ulat instar V. H2 dan H6 hibrid mengkonsumsi pakan paling tinggi (8.220,13-8.605,52 mg/ekor). Sedangkan hibrid H1 dan H4 paling rendah (5.065,86-5.679,83 mg/ekor) (Tabel 2).

Tabel 2. Konsumsi Ulat Kecil dan Ulat Besar

Hibrid

Pakan Ulat Kecil Pakan Ulat Besar

Instar III Akhir Instar IV Instar V

Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan konsumsi berbeda nyata (P<0,05);

Angka didalam tanda kurung ( ) adalah konsumsi bahan kering

(61)

20 Bobot Badan

Bobot Badan Ulat Kecil

Data bobot badan ulat kecil diambil hanya pada awal instar I dan akhir instar III karena ulat kecil sangat rentan terhadap sentuhan. Bobot badan tiap hibrid pada awal instar I diambil satu ulangan saja, sedangkan pada akhir instar III dari semua ulangan.

Uji ANOVA menunjukan bahwa bobot badan pada akhir instar III berbeda nyata (P<0,05). Ulat H2 memiliki bobot badan paling tinggi (183 mg/ekor) dengan keragaman terendah (3,15%), sedangkan ulat H5 dan H6 paling rendah (123 dan 117 mg/ekor). Ulat kecil tahan terhadap cekaman kering. H2 pada instar III memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih tinggi dibandingkan hibrid lainya (Tabel 3).

Tabel 3. Bobot Badan Ulat Kecil

Hibrid

Ulat Kecil

Instar IAwal Instar III Akhir BB akhir Instar III/ BB awal instar I

Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan bobot badan ulat kecil berbeda nyata (P<0,05)

(62)

21 Bobot Badan Ulat Besar

Fase ulat besar terdiri dari ulat instar IV dan instar V. Bobot badan ditimbang setiap awal instar dan akhir instar. Bobot badan instar IV awal berkisar 130-170 mg/ekor, sedangkan instar IV akhir bobot badan berkisar 520-800 mg/ekor. Bobot badan ulat instar V awal berkisar 460-730 mg/ekor, sedangkan bobot badan instar V akhir antara 2.360-3.640 mg/ekor. Bobot badan ulat besar Instar IV dan V disajikan Tabel 4. Wageansyah (2007) menyatakan bahwa bobot badan ulat instar V akhir berkisar 3.982,8-4.173,3 mg/ekor (Tabel 4).

Uji statistik menunjukan bahwa bobot badan instar IV dan instar V antar hibrid berbeda nyata (P<0,05). Ulat H2 tetap memperlihatkan keunggulannya dibandingkan H6 pada akhir instar IV, terlihat dari bobot badannya yang lebih tinggi dari H6 meskipun terhadap konsumsinya sama (Tabel 2).

Tabel 4. Bobot Badan Ulat Besar

Hibrid

Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan bobot badan ulat besar berbeda nyata

(P<0,05); Δ= BB Akhir-BB Awal; satuan = mg/ekor

Bobot badan tinggi merupakan faktor untuk menentukan kwalitas kokon dan bobot pembentukan serat sutera. Bobot badan tinggi tersimpan dalam bentuk kelenjar sutera dan deposit makanan tubuh, dengan demikian bobot badan merupakan indikator untuk mengetahui kwalitas kokon segar.

(63)

22 tubuh dari larva menjadi imago. Bobot badan instar V besar sejalan dengan membesarnya kelenjar sutera sehingga menghasilkan kokon yang berkualitas (Norati,

1996).

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan instar IV berkisar 390-630 mg/ekor dan instar V berkisar 1.900-6.700 mg/ekor. Menurut Rustini (2002), pertambahan bobot badan instar IV berkisar 544,6-772,3 mg/ekor dan instar V berkisar 1398,6-2291,5 mg/ekor.

Uji ANOVA menunjukan bahwa hibrid instar IV dan V berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan instar IV dan V. Pertambahan bobot badan instar IV dan instar V paling tinggi H2, sedangkan terendah H5. Hibrid H1 memiliki pertambahan bobot badan rendah di instar IV, dan instar V mengalami kenaikan. Koevisien keragaman tinggi dibandingkan dengan hibrid lainya. Koevisien keragaman tinggi menujukan bahwa hibrid tidak tahan terhadap cekaman. Pertambahan bobot badan paling rendah instar IV dan instar V yaitu H5. Hal tersebut disebabkan karena ada sebagian ulat H5 terkena penyakit Glasserie (Tabel 5).

Pertambahan bobot badan ulat kecil berkisar (122,56-182,56 mg/ekor) dengan rataan 148,94 mg/ekor. Hibrid baru memiliki pertambahan bobot badan paling tinggi ke rendah H2, H3, H4, dan H1 (182,56, 159,56, 159,49, dan 152,67 mg/ekor) lebih tinggi dari ulat jenis komersial. Pertambahan bobot badan pada instar IV dan instar V nyata (P<0,05) berpengaruh terhadap perbedaan hibrid. Pertambahan bobot badan yang tinggi pada instar V sejalan dengan pertumbuhan kelenjar sutera. Pertambahan bobot badan yang tinggi pada H2 disebabkan perbesaran kelenjar sutera yang tinggi sehingga kokon yang dihasilkan juga lebih tebal. Hal ini sesuai dengan pendapat Samsijah dan Kusumaputra (1978), kelenjar sutera tumbuh sangat cepat pada saat instar V.

Gambar

Gambar 1. Ulat Sutera dan Kokon Ras Cina
Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Sutera
Gambar 4. (a) Hibernasi Ulat, (b) Ulat Sutera Siap Mengokon (Warna Bening)
Gambar 5. (a) Rak Pemeliharaan Ulat Sutera (b) Lantai Ruang Pemeliharaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikianlah kami sarnpaikan kepada Saudara,

Sebelum mendapat pinjaman dari UPPKA jumlah nasabah

Berdasarkan hasil pembahasan : (1) Mortar air pencampur air tawar dengan perendaman air tawar, air laut, air kulong spritus, dan air kulong rebo pada umur 14 hari kuat tekan

[r]

tanaman Akasin, perkebunan karet, lierkebunan kelapa, perkebunan kelapa sawit, padang rornput atau alang-alang: dan areal pemukiman. Setiap kelas pada masing-masiny

Jawablah soal dengan MENULISKAN JAWABAN DENGAN JELAS DAN MUDAH DIBACA pada tempat yang telah disediakan.. Besarnya nilai setiap soal dapat dilihat pada

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34'1lKpts/OT.1401912005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Hasil penelitian ada perbedaan tingkat pengetahuan dan perilaku antara sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan dengan menggunakan leaflet dan audio visual.. Penyuluhan