• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu"

Copied!
235
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENYEDIAAN

KARBOHIDRAT BERSUMBER DARI UBI KAYU

SJOUFJAN AWAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu” merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

SJOUFJAN AWAL. Strategy for the Supply of Cassava-Based Carbohydrate. Under the supervision of Irawadi Jamaran, Marimin, Amril Aman, and Yandra Arkeman.

Import dependency reduction, or elimination, can be achieved by increasing locally grown carbohydrate source. Local cassava maintains good environmental adaptability characteristics and can be readily grown throughout Indonesia. Farmers are familiar with cassava, due to its relatively easy cultivation and allows for a high degree of land productivity. Being the third most important carbohydrate source, after rice and maize, the use of cassava raw material for various industries continues to grow. Several sub-Saharan African countries’ experience has shown that cassava provides a greater income, to both poor and rich farmers, than any other commodity.

This research establishes a strategy and thought framework for cassava based carbohydrate supply, providing potential prosperity to cassava farmers and a fair profit to stakeholders, as well as designs a cooperation scheme that ensures upstream and downstream supply chain sustainability, through a mutually beneficial agreement/contract. The cassava based carbohydrate supply is calculated by forecasting future cassava demand, using the double exponential smoothing method with trend (DEST). From the forecasting results, year 2015 cassava demand is estimated to reach 23.5 million tons, require 1.3 million ha cultivation land, involve 668,197 farmers, assuming per farmer holds a 2 ha land area, and require 392 tapioca plants of 200 tons / day capacity. B/C analysis is made to determine the supply chain parties’ benefit level. B/C balancing has limitation, as each supply chain party maintains differing material volume and production time. B/C equalization only leads to greater income inequality amongst the supply chain parties. As the benefit aspect of this analysis emphasizes price, thus the B/C is substituted with Bh/C.

Various efforts can be pursued for the improvement of cassava farmers’ welfare, i.e. increased plantation area through increased land ownership, or grant farmers greater access to land use that can be supported through existing laws and regulations pertaining to idle land utilization; improve intercropping benefits through increased

efficiency, or shift some process stages to the farmer’s level.

Various partnership arrangements amongst farmers, suppliers and agro-industries are suggested.

(6)
(7)

Dibawah bimbingan : Irawadi Jamaran sebagai ketua, Marimin, Amril Aman, dan Yandra Arkeman masing-masing sebagai anggota.

Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada impor mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai bahan pangan pun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat.

Swa-sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu alternatif dari impor. Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia. Disamping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang. Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain.

Produksi ubi kayu Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas, meskipun luas areal panennya tidak mengalami peningkatan. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/ ha.

Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu. Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Disamping itu penelitian ini merancang pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok. Strategi yang dihasilkan akan dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu, dan mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.

(8)

tahun. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat ini bersumber dari beras, ubi kayu dan gandum. Dari hasil peramalan, pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan ubi kayu mencapai 23,5 juta ton yang membutuhkan lahan budidaya sebesar 1,3 juta Ha. Dengan asumsi penguasaan lahan oleh petani seluas 2 Ha per petani, maka jumlah petani yang akan terlibat mencapai 668.197 petani dan 392 unit pabrik tapioka dengan kapasitas 200 ton/hari.

Penyeimbangan B/C mempunyai keterbatasan. Karena setiap pelaku dalam rantai pasok memiliki volume material dan waktu produksi yang berbeda. Penyetaraan B/C hanya akan menyebabkan ketimpangan pendapatan yang makin besar antar pelaku rantai pasok. B/C petani ubi kayu saat ini sudah cukup tinggi (3,5), sedangkan B/C pabrik tapioka cukup rendah (1,08). Namun demikian walaupun mempunyai B/C yang tinggi pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera. Laba yang diterima petani ubi kayu hanya sebesar Rp. 12.5 juta/ha/tahun (rata-rata sekitar Rp. 1 juta/bulan/Ha). Pada pabrik tapioka karena volume penjualan yang besar, maka pabrik tepung tapioka mampu memperoleh penghasilan yang tinggi. Dalam analisis ini benefit ditekankan kepada price atau harga. Nilai benefit adalah price atau harga pe satuan produk dikali jumlah produk, dan diberi notasi Bh. Sehingga benefit

ratio yang dipakai adalah Bh/C.

Peningkatan kesejahteraan petani ubi kayu perlu diupayakan, agar petani tidak beralih membudiyakan tanaman yang lebih menjamin kesejahteraannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu antara lain dengan peningkatan luas lahan kebun ubi kayu, dengan cara penambahan kepemilikan lahan atau pemberian akses penggunaan lahan pada petani ubi kayu. Peraturan Perundangan antara lain tentang tata cara penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dapat dijadikan landasan untuk mendukung upaya tersebut. Di samping itu peningkatan kesejahteraan petani dapat juga diupayakan melalui tanaman tumpang sari dan peningkatan efisiensi penggunaan lahan, menggeser sebagian tahapan proses ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar, dan petani ikut memiliki pabrik melalui kepemilikan saham, dengan pembayaran langsung atau melalui pembagian keuntungan yang diterima petani ubi kayu.

Beberapa alternatif diberikan untuk menunjang hubungan kemitraan antara petani, pemasok dan pabrik. Alternatif pertama pabrik memberikan pinjaman permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang bermitra dengan petani berdasarkan modal yang dipinjamkan ditambah modal pedagang sendiri atau dari sumber lain. Alternatif kedua adalah pola yang digunakan pada alternatif pertama yang diterapkan pada koperasi yang permodalannya dapat diajukan kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah miliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecil. Alternatif ketiga adalah pola kemitraan petani-pabrik, dimana pabrik memberikan pinjaman kepada petani.

(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)
(12)

SJOUFJAN AWAL

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Ujian Tetutup

Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. 2. Dr. Ir. Sukardi, MM.

Ujian Terbuka

(14)
(15)

Nama : Sjoufjan Awal

NRP : F361030101

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua

Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc. Dr. Ir. Amril Aman, MSc.

Anggota Anggota

Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng. Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.

(16)
(17)
(18)

PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena hanya dengan pertolongan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa banyak pihak telah membantu sampai selesainya Disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan, dukungan serta dorongan sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc; Bapak Dr. Ir. Amril Aman, MSc; dan Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan masukan hingga terselesaikannya Disertasi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM selaku Penguji Luar Komisi, dan Bapak Dr. Ir. Machfud, MS selaku pimpinan sidang pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan untuk perbaikan disertasi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua, Ibu Dr. Titi Candra Sunastri, STP, MSi dan Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi masing-masing selaku Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian.

5. Bapak Dr. Ir. Sulistyo Sidik Purnomo, MSi, Bapak Dr. Ir. Iding Chaidir, MS, Bapak Dr. Ir. Alexie Herryandie Bronto Adi, MS, Bapak Ir. Syarif Hidayat, M.Eng.Sc., MM, Bapak Ir. Bambang Triwiyono, MSi, Bapak. Ir. Nurul Rusdi dan Bapak Suyono atas masukan dan bantuannya.

(19)

dalam pengurusan administrasi.

8. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, utamanya rekan-rekan kelompok konsultasi hari Sabtu di Halulas, surau kami, atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini dengan sebaik-baiknya.

Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS penulis menyampaikan terima kasih yang dalam dan penghargaan yang setinggi-setingginya atas dorongan, dukungan dan utamanya memberi semangat agar penulis terus berjuang sampai studi penulis selesai.

Penulis selalu mendoakan agar Allah SWT memelihara, mengasihi dan mengampuni Mami Hj. Fathimah Zahara (Almarhumah) dan Ayah Awaluddin (Almarhum), sebagaimana beliauu memelihara penulis semasa kecil. Dalam keadaan ekonomi rumah tangga yang jatuh bangun dan turun naik, beliau selalu memberi berkecukupan kepada penulis sehingga tidak pernah berkekurangan. Penulis selalu merasa tidak cukup memberikan yang terbaik kepada beliau. Jika ada nilai-nilai (values) yang baik pada diri penulis hanyalah semata-mata dengan ijin Allah dan penanaman yang dilakukan oleh Mami dan Ayah.

Pada saat-saat yang sangat indah dan berarti ini penulis selalu mengenang Almarhum Letjen H. Bustanil Arifin, SH, seorang yang berbudi mulia selalu ingin melihat orang lain bahagia dan berkecukupan dan selalu siap untuk membantu mereka mencapai kebahagiaan dan berkecukupan tersebut. Beliau dengan ijin Allah telah merubah serta menuntun jalan hidup penulis ke arah yang lebih baik dan bermanfaat. Dengan segala kerendahan hati, disertasi ini penulis dedikasikan kepada Almarhum Letjen (Purnawirawan) H. Bustanil Arifin, SH. Beliau adalah seorang mantan atasan, kemudian sahabat abadi yang sangat akrab. Begitu juga isteri beliau Hj. Suhardani Arifin beserta keluarga besarnya juga mempunyai hati yang mulia dan terus melanjutkan silaturahmi dan persaudaraan dengan penulis dan keluarga.

(20)

H. Andrew dan Hj. Maya Yusufina telah memberikan suasana “persahabatan” yang telah memberikan kebahagiaan luar biasa kepada keluarga kami. Hubungan kami lebih bersifat antara sahabat ketimbang antara anak dan orang tua. Isteri penulis beserta anak dan menantu selalu mendukung dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian disertasi ini. Untuk semua itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas dukungan, bantuan dan doa mereka.

Semoga anak-anak dan menantu terpanggil untuk melanjutkan studinya ke tingkatan yang lebih tinggi. Amin.

Jakarta, 24 Februari 2012

(21)
(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada 23 Juni 1939, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Awaluddin (Alm.) dan Ibu Hj. Fathimah Zahara (Almh.). Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di Medan dan selesai tahun 1957. Penulis menyelesaikan Program Sarjana (S1) Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1962, Program Master of Science in Electrical Engineering, Illinois Institute of Technology (IIT), Chicago, Amerika Serikat tahun 1965. Penulis adalah lulusan Kursus Reguler Lembaga Pertahanan Nasional, Angkatan XX (9 bulan) pada tahun 1987. Selanjutnya penulis menyelesaikan Program Pascasarjana (S2) Magister Manajemen di Universitas Indonesia (UI) tahun 1994. Penulis mengikuti Program Studi Teknologi Industri Pertanian (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai tahun 2003.

(23)
(24)
(25)
(26)

xxii 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43 4.1. Tren Penyediaan Karbohidrat dari Ubi Kayu... 43 4.1.1. Volume Impor Gandum... 44 4.1.2. Volume Konversi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu... 45 4.1.3. Volume Produksi Ubi Kayu Indonesia... 46 4.1.4 Perencanaan Total Produksi Ubi Kayu untuk Tepung

Tapioka... 48 4.1.5 Luas lahan yang Dibutuhkan... 50 4.1.6 Jumlah Petani dan Industri yang Akan Terlibat... 55 4.2. Rantai Pasok Ubi Kayu Dalam Rangka Penyediaan Karbohidrat... 57 4.3. Penyeimbangan Bh/C... 60

4.4.Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik Bahan Pangan Ubi Kayu, Beras,

dan Terigu……… 63

4.5. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani ………...…… 65 4.5.1. Permasalahan-permasalahan dalam Penyediaan Bahan

Baku Industri Sumber Karbohidrat Berbasis Ubi Kayu... 65 4.5.2. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan

(27)

xxiii Halaman Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk

Pertanian... 9 Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram... 14 Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi

Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009... 15 Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun

2010……….... 16

Tabel 2.5 Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram... 20 Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di

Indonesia tahun 2000 – 2009... 22 Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan

makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 –

2009………... 23

Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman Jagung

di Indonesia tahun 2000 – 2009... 25 Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100

gram... 26 Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun

1998-2002... 32 Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun

1992-2002... 33 Tabel 4.1. Volume Impor Gandum Tahun 2003-2008 dan Peramalannya

Tahun 2009-2015... 44 Tabel 4.2. Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Tahun

2009-2015... 46 Tabel 4.3. Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu Hanya

untuk Tepung Tapioka Tahun 2000-2009 dan Peramalannya

(28)

xxiv Tabel 4.4. Perencanaan Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk

Tapioka Tahun 2010-2015……….. 49 Tabel 4.5. Forecast Luas Lahan Ubi Kayu yang Dibutuhkan Tahun

2010-2015………..………. 50

Tabel 4.6. Analisis Bh/CKondisi Awal………... 62

Tabel 4.7. Analisis Bh/Cdisetarakan dengan Bh/C Petani……….. 62

Tabel 4.8. Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik pada Beras, dan Tepung

Terigu……….. 64

Tabel 4.9. Contoh Perhitungan Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan

Peningkatan Luas Lahan Budidaya……… 69

Tabel 4.10. Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku Agroindustri

(29)

xxv Halaman

Gambar 2.1 Jaringan Rantai Pasok Vertical……… 6 Gambar 2.2 Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk

pertanian... 7 Gambar 2.3 Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya... 11 Gambar 2.4 Peta Sebaran Produksi Ubi Kayu Indonesia Tahun 2010……. 18 Gambar 2.5. Produk nilai tambah dari ubi kayu... 21 Gambar 2.6. Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka……… 30 Gambar 2.7. Jalur Distribusi Tepung Terigu... 34 Gambar 3.1. Tahapan Penelitian ………...……… 38 Gambar 4.1. Metode perhitungan kebutuhan ubi kayu, jumlah petani

dan pabrik tapioka yang diperlukan ………. 43 Gambar 4.2. Grafik Forecasting Volume Impor Gandum Tahun

2009-2015... 45 Gambar 4.3. Grafik Forecasting Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi

Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015... 48 Gambar 4.4. Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung

Tapioka Tahun 2010-2015……….. 49 Gambar 4.5. Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka... 57 Gambar 4.6. Rantai Pasok Tepung Tapioka ke Konsumen... 60 Gambar 4.7. Kategorisasi Bh/C untuk Para Pelaku dalam Rantai Pasok

Agroindustri... 63 Gambar 4.8. Pola Kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu... 76 Gambar 4.9. Evaluasi Kemitraan Koperasi………... 78 Gambar 4.10. Sumber dan Alokasi Keuntungan Koperasi………… 79 Gambar 4.11. Sumber Pendapatan Petani……… 79 Gambar 4.12. Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka Berdasarkan

(30)

xxvi DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(31)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada import mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu.

Indonesia kaya dengan berbagai sumber karbohidrat di samping beras, seperti jagung, sagu dan ubi kayu (Maniohot esculenta). Sesuai budaya dan kearifan lokal, bahan tersebut dikonsumsi sebagai makanan pokok. Setelah beras diperkenalkan ke seluruh pelosok tanah air, antara lain melalui pembagian jatah beras bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan POLRI, maka bahan-bahan karbohidrat yang lain beralih peran menjadi penganan (INDEF 1995). Pada tahun 1993 dan 1996 tingkat partisipasi konsumsi beras hampir mendekati 100%, yaitu masing-masing sebesar 98,6% dan 98,8% (Ariani 1999).

Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai pengananpun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat (INDEF 1995). Swa-sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu alternatif dari impor.

(32)

negara penghasil. Sehubungan hal itu perlu disiapkan skenario pengembangan sumber karbohidrat lokal. Dalam skenario tersebut seyogyanya sumber karbohidrat yang ingin dikembangkan tidak mengganggu penyediaan karbohidrat oleh sumber lokal yang telah berlangsung. Gangguan tersebut antara lain dapat berupa persaingan mendapatkan lahan. Sumber karbohidrat yang akan dikembangkan tidak akan berkompetisi untuk mendapatkan lahan dengan sumber lokal antara lain padi dan jagung.

Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia (Deptan 2009a). Di samping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang (Subandi et al. 2005). Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain (Nweke 1996).

Jadi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu bukan karena ingin menyediakan karbohidrat yang sama dengan atau mendekati sifat-sifat terigu. Tujuannya adalah menyediakan sumber karbohidrat dalam jumlah yang banyak yang kemudian dapat menarik ahli kuliner untuk menciptakan makanan enak berbasis karbohidrat bersumber dari ubi kayu.

Di Indonesia ubi kayu memainkan peranan penting bagi perekonomian negara serta peranannya semakin strategis sebab selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang (Subandi et al. 2005).

(33)

ton. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/Ha.

Menurut Subandi et al. (2005) terdapat beberapa permasalahan dalam produksi ubi kayu di Indonesia diantaranya rata-rata produktivitas ubi kayu secara nasional masih rendah (15,5 ton/ha ubi segar), sebab umumnya adalah diusahakan oleh petani kecil pada lahan kering yang tanahnya kurang subur, dengan sedikit menanam varietas unggul (10%) dan sebahagian besar tidak memupuk. Padahal hasil penelitian produktivitas tanaman ubi kayu dapat mencapai 30-40 ton/ha.

Rendahnya produktivitas tanaman juga masih ditambah dengan rendahnya harga jual produk dan nilai tambah hasil produksi. Berdasarkan hasil penelitian Limbongan et al. (1999) menyebutkan bahwa harga jual 100 kg ubi kayu basah seharga Rp 25.000 (Rp 250 per kg), sementara dalam bentuk chip dijual seharga Rp 120.000 dengan biaya produksi Rp 80.000, sehingga nilai tambah yang diperoleh hanya Rp 15.000 untuk 100 kg ubi kayu basah atau rata-rata Rp 150 / kg.

Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu. Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Salah satu upaya untuk lebih meningkatkan pendapatan petani adalah pengembangan agroindustri ubi kayu yang memiliki nilai tambah yang tinggi, dimana petani dapat ikut memiliki industri atau mempunyai aliansi strategis.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

(34)

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan gambaran umum dan permasalahan yang dihadapi para stakeholder dalam rantai pasok ubi kayu.

2. Mendapatkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu.

3. Mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.

1.3 Ruang Lingkup

(35)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Rantai Pasok

Rantai pasok adalah rangkaian yang terkait dari proses dalam perusahaan dan lintas perusahaan lain yang menghasilkan produk atau jasa yang memuaskan konsumen. Lebih jauh rantai pasok adalah jejaring aliran produk, jasa, keuangan, dan atau informasi yang mengaitkan pemasok dan konsumen (Krajewski et al. 2010). Sedangkan manajemen rantai pasok adalah seperangkat keputusan dan kegiatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang, pengangkut, pengecer, dan konsumen yang efisien, sehingga produk atau jasa dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan waktu yang tepat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya dengan tingkat pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Tujuan manajemen rantai pasok ini adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Li 2007; Levi etal. 2000).

Sementara itu, menurut Vorst (2006), manajemen rantai pasok merupakan perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, dan pengawasan seluruh proses dan kegiatan bisnis dalam rantai pasok yang memberikan nilai kepuasan yang tinggi kepada konsumen dengan biaya yang minimum. Namun demikian, tetap memuaskan keinginan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok tersebut.

(36)

Gambar 2.1 Jaringan Rantai Pasok Vertikal (Lazzarini 2000)

Untuk produk pertanian, rantai pasok merujuk kepada kegiatan seluruh rantai pasok, yaitu mulai produksi di kebun, pengolahan, distribusi, hingga kegiatan mengecer ke konsumen (Chen 2004). Berbeda dengan sistem manufaktur, manajemen rantai pasok untuk produk pertanian memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) produk pertanian bersifat mudah rusak, 2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, 3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, 4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994 dalam Marimin etal. 2010).

Pembentukkan rantai pasok produk pertanian didorong oleh keinginan untuk meningkatkan daya saing. Menurut Chen (2004), terdapat tiga hal yang menjadi market drivers pembentukkan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) keamanan pangan dan jaminan kualitas produk, dari mulai produksi sampai ke konsumen, 2) inovasi produk dan diferensiasi, 3) minimalisasi biaya untuk mengurangi biaya logistik yang mencakup berbagai transaksi, pengiriman, penggudangan, dan biaya pengiriman.

Menurut Vorst (2006) yang mengadaptasi Lambert dan Cooper (2000) terdapat empat elemen yang dapat digunakan untuk menjelaskan, menganalisis, dan membentuk rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) struktur jaringan yang membatasi jaringan rantai pasok dan menjelaskan pelaku utama rantai pasok,

(37)

aturan dan penyusunan kelembagaan yang mengatur jaringan tersebut, 2) rantai proses bisnis, yang terukur dalam kegiatan bisnis yang terencana untuk memproduksi output yang spesifik (produk fisik, jasa, dan informasi) bagi konsumen atau pasar tertentu, 3) manajemen jaringan dan rantai pasok yang menunjukkan koordinasi dan struktur manajemen dalam jaringan yang memfasilitasi pelaksanaan proses oleh para pelaku rantai pasok dan penggunaan sumber daya rantai pasok, 4) sumber daya rantai pasok yang digunakan untuk memproduksi produk dan menyalurkannya ke konsumen. Frame work rantai pasok produk pertanian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian (Vorst 2006, adaptasi Lambert dan Cooper 2000)

(38)

dimana target ini sesuai dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk yang aman dan ramah lingkungan, 3) optimasi jaringan, yang dilakukan untuk mengurangi biaya melalui efisiensi rantai pasok dengan pasokan informasi yang rasional (Vorst 2006).

Tujuan dari rantai pasok yang akan diwujudkan harus dapat diukur melalui output yang dihasilkan, yaitu kinerja rantai pasok. Menurut Vorst (2006) kinerja rantai pasok didefinisikan sebagai tingkat rantai pasok dalam memenuhi keinginan pengguna akhir dan pemangku kepentingan dengan memperhatikan indikator kinerja setiap saat. Sedangkan indikator kinerja adalah operasionalisasi karakteristik proses yang membandingkan kinerja sistem dengan target nilai. Contoh indikator kinerja logistik untuk rantai pasok produk pertanian disajikan pada Tabel 2.1.

Dalam rantai pasok produk pertanian, bagian untuk petani dari pengeluaran konsumen kemungkinan kecil karena penyalahgunaan kekuatan pasar oleh industri pengolahan dan distributor. Industri pengolahan dapat mengambil nilai tambah yang besar baik dari harga pembelian yang lebih rendah atau harga konsumen yang lebih tinggi ataupun keduanya (Bunte 2006).

(39)

Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian

Level Indikator Kinerja Penjelasan

Jaringan Rantai Pasok Ketersedian produk Tersedianya produk dalam jaringan rantai pasok Kualitas produk Produk yang masih terjaga

kualitasnya

Responsiveness Siklus waktu order rantai pasok

Realibility pengiriman Sesuai dengan waktu pengiriman yang terjamin Total biaya rantai pasok Jumlah seluruh biaya

organisasi dalam rantai pasok

Organisasi Level persediaan Jumlah produk yang tersedia

Waktu proses Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rantai proses bisnis

Responsiveness Fleksibilitas organisasi

Realibility pengiriman Persen order yang dikirim tepat waktu dan jumlah Total biaya organisasi Jumlah seluruh biaya

proses dalam organisasi yang spesifik

Proses Responsiveness Fleksibilitas proses Waktu proses Waktu yang dibutuhkan

untuk melakukan proses Hasil proses Hasil dari proses

Biaya proses Biaya untuk melakukan proses

(40)

2.2 Studi Sistem

Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem.

Menurut Eriyatno (2003) metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah 1 sampai ke-6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem.

Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek 1985). Manetch and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut.

(41)

Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen (input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta mengklasifikasikan output ke dalam output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik.

Gambar 2.3 Organisasi, sumber daya dan lingkungannya (Schoderbek 1985)

2.3Pendekatan Sistem

(42)

(Schoderbek 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti sebelum digabungkan kembali, (6) Komponen sistem saling berinteraksi, perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem.

Menurut Schoderbeck (1985) terdapat tiga fase utama dalam melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer (Eriyatno 2003).

2.4 Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia

Sumber karbohidrat yang penting di Indonesia adalah padi, jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar. Padi dan jagung sudah sangat penting sehingga telah banyak mendapat perhatian dan penanganan pemerintah dan masyarakat. Walau belum tersebar luas, sagu sudah mulai dibudidayakan di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau Daratan. Sedangkan singkong, walau penting belum mendapat perhatian dan penanganan yang cukup, telah dibudidayakan (dengan siklus 1 tahun) dan melibatkan petani. Ubi kayu bisa ditanam kapan dan di mana saja,

tidak memerlukan tanah yang “baik”, dan tidak se-sensitif padi.

Tanaman ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae, dengan spesies

(43)

1500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 24 – 29oC, pada suhu yang lebih tinggi dari 29oC produksi akan menurun sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari 10oC pertumbuhan akan terhenti (Kay 1973). Tanaman ubi kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus, tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering

Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2011), produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, tekstur tanah agak halus/sedang, rata-rata temperatur sekitar 24 – 29oC, dengan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun, dan lama bulan kering 3,5-5 bulan. Kriteria kesesuaian lahan ubi kayu secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan bentuk umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah.

Mengingat nilai produksi dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditanam bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu karena bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah tertentu.

Ubi kayu mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan terbesar tepung ubi kayu adalah air sebesar 62,8 persen, dan karbohidrat sebesar 34,7 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,3 dan 1,2 persen.

(44)

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram

Indonesia pada kurun waktu 1961-2005 merupakan net eksportir ubi kayu dan produk olahannya, namun mengimpor pula pati ubi kayu mulai tahun 1989 karena lambatnya laju produksi dalam negeri. Pada Tahun 2008 Volume ekspor ubi kayu sebanyak 166.685 ton dan volume impor 158.100 ton. Nilai ekspor pada Tahun 2008 senilai US$ 35.871.000 sementara nilai impornya lebih tinggi yaitu US$ 57.948.000 (Pusdatin Deptan 2010).

Komoditi ubi kayu, walau diekspor dan secara makro memberikan kontribusi pendapatan devisa dan mendukung industri domestik sebagai bahan baku, relatif tidak memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya. Harga ubi kayu di tingkat petani hanya meningkat dari Rp. 161 /kg pada periode 1990-1999 menjadi Rp. 514 /kg pada periode 2000-2005. Keadaan tersebut dapat juga dilihat dari index pendapatan per unit biaya produksi (R/C) yang menurun sebesar -2.4 % pada periode 1980-1999 (Darwanto 2007).

(45)

kayu atau singkong di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 22.028.502 ton dengan luas tanam 1.174.819 Hektare, meningkat sebesar 1,25 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya di mana pada tahun 2008 produksi singkong tercatat 21.756.991 ton dengan luas tanam 1.204.933 Hektare. Jumlah produksi dan luas tanam ubi kayu Indonesia Tahun 2000 - 2009 disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009

Sumber: BPS 2010 dan Deptan.go.id 2010

(46)

Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010

Sumatera Selatan 161.613

Bengkulu 46.311

Kalimantan Barat 193.662

Kalimantan Tengah 80.175

Kalimantan Selatan 102.697

Kalimantan Timur 113.824

Sulawesi Utara 88.425

Sulawesi Tengah 76.737

Sulawesi Selatan 487.165

(47)
(48)
(49)

Ubi kayu diambil umbinya dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Sebagai bahan pangan ubi kayu atau singkong dapat dikonsumsi langsung dalam berbagai jenis makanan seperti ubi kayu rebus, goreng, keripik dan sebagainya. Sebagai bahan baku industri ubi kayu biasanya diolah sebagai produk antara (intermediate product) dalam bentuk tepung gaplek, tapioka dan tepung ubi kayu. Pohon Industri ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Tepung ubi kayu atau singkong dibuat dengan mengeringkan singkong baik sesudah perajangan maupun dengan pemarutan, dan kemudian ditepungkan. Tepung ubi kayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk antara lain tepung tapioka, glukosa, fruktosa, sorbitol, dekstrin, alkohol dan sebagainya. Sorbitol dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening seperti gel yang digunakan antara lain pada industri permen/kembang gula dan minuman instan, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis pasta gigi, kosmetik dan cat minyak (Hafsah 2003). Dekstrin antara lain digunakan pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan industri kimia. Selain itu tepung ubi kayu atau tepung kasava sudah sejak puluhan tahun lalu telah dimanfaatkan di kabupaten Boyolali sebagai bahan baku pembuatan mie-kuning untuk memasok kebutuhan penjual bakso di daerah tersebut (Darwanto 2007).

(50)

Tabel 2.5 Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram

Komposisi Nilai Satuan

Energi 363.0 Kkal

Protein 1.1 Gram

Lemak 0.5 Gram

Karbohidrat 88.2 Gram Kalsium 84.0 Miligram

Fosfor 125.0 Miligram

Besi 1.0 Miligram

Vitamin B1 0.0 Miligram

Vitamin A 0.0 SI

Vitamin C 0.0 Miligram

Niacin 9.1 Gram

(51)

Gambar 2.5 Pohon Industri Ubi Kayu.

(Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2007)

(52)

2.5 Status dan Variasi Penyediaan Sumber Karbohidrat

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Indonesia memiliki aneka ragam sumber karbohidrat dan yang utama adalah beras, jagung dan ubi kayu. Produksi padi pada Tahun 2009 sebanyak 64.329.329 ton atau 37.954.304 ton setara beras. Produksi padi tahun 2009 mengalami peningkatan 6,64% dibanding Tahun 2008 sebanyak 60.325.925 ton (setara beras 35.592.296 ton). Peningkatan produksi padi disebabkan oleh adanya peningkatan luas lahan dan peningkatan produktivitas tanaman. Secara lebih rinci data luas panen dan produksi padi sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 disajikan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di Indonesia tahun 2000 – 2009

Sumber BPS 2010

(53)

Peningkatan laju permintaan (konsumsi) beras selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, juga adanya peningkatan tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia dari 116,5 kg/kapita pada tahun 2000 menjadi 139,0 kg per kapita pada tahun 2009. Pada Tabel 2.7 disajikan data jumlah penduduk Indonesia dan tingkat konsumsi per kapita berbagai tanaman penghasil karbohidrat.

Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009

Tahun Penduduk

Sumber: Susenas 2000, 2003, 2006, BPS 2009, Deptan go.id (2010)

(54)

rata-rata penurunan luas panen 0,9% per tahun. Padahal permintaan (konsumsi) ubi kayu selama periode 2000 – 2009 terjadi peningkatan yaitu dari 2.748.768,8 ton tahun 2000 menjadi 3.279.597,0 to tahun 2009 yang meningkat 19,3% atau terjadi rata-rata kenaikan permintaan ubi kayu 2,1% per tahun. Peningkatan permitaan ubi kayu lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yaitu bila diperhatikan tingkat konsumsi ubi kayu perkapita sejak tahun 2000 sampai 2009 hanya mengalami peningkatan 0,7% per tahun sedangkan laju peningkatan penduduk mencapai 1,4% per tahun.

Produksi jagung selama tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang cukup tinggi (82%) yaitu dari 9.676.899 ton tahun 2000 menjadi 17.592.309 ton tahun 2009 atau rata-rata menigkat 9% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan luas areal rata-rata 2,1% per tahun yang meningkat dari 3.500.318 ha tahun 2000 menjadi 4.156.706 ha pada tahun 2009.

(55)

Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman jagung di Indonesia tahun 2000 – 2009

Sumber: BPS 2010

(56)

Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram

Komposisi Satuan Beras Giling Terigu Tapioka

Energi Kal 360.0 365 363.0

Protein Gram 6,8 8,9 1.1

Lemak Gram 0,7 1,3 0.5

Karbohidrat Gram 78,9 77,3 88.2

Kalsium Miligram 6 16 84.0

Fosfor Miligram 140 106 125.0

Besi Miligram 0,8 1,2 1.0

Vitamin B1 Miligram 0,26 0,12 0.0

Vitamin C Miligram 0.12 0,12 0.0

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)

2.6 Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu

Secara garis besar rantai pasok ubi kayu terdiri dari: (1) petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka, (4) Distributor, (5) Konsumen.

2.6.1 Petani

(57)

Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pellet/gaplek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas Kasetsart 50 dari Thailand. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha, sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9 ton/ha (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008)

2.6.2 Pengumpul

Petani yang mempunyai luas lahan 1 – 2 ha biasanya menjual produksi ubi kayu tidak langsung kepada pabrik tapioka, tetapi melalui pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari pabrik pengolahan ubi kayu, sehingga memerlukan biaya tambahan transportasi. Para pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak pengumpul atau perantara itu sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu.

Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu sebelum panen dari para pengumpul atau para perantara ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga dengan penentuan refraksinya yang tidak transparan. Perhitungan/patokan pengumpul atau agen yang berlaku adalah sebagai berikut :

Harga beli lokal (dari Petani) + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + % refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik

(58)

Pengumpul akan mencari keuntungan setinggi mungkin. Sering memainkan % refraksi, timbangan atau sistem Botongan di Kebun dengan Petani. Biasanya Agen / Pengumpul menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton.

2.6.3 Industri Pengolahan Ubi Kayu

Pengolahan ubi kayu menjadi produk antara (intermediate product) merupakan salah satu cara pengawetan ubi kayu yang berkadar air tinggi. Selain itu, pengolahan ubi kayu menjadi produk antara berguna, yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses pengolahan ubi kayu menjadi produk antara yang dianjurkan karena produk antara yang dihasilkan lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur dengan bahan lain, dapat diperkaya zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Darwis etal. 2009).

Pada strategi penyediaan karbohidrat dari ubi kayu ini, tanaman ubi kayu akan diolah menjadi tepung tapioka. Tapioka merupakan pati ubi kayu. Proses pengolahan tapioka terdiri dari penggilingan (pada industri skala kecil perlu dilakukan pengupasan kulit ubi kayu), pengepresan, pemisahan ampas (onggok), pengendapan pati, pengambilan dan pengeringan pati. Pada industri besar pengendapan pati dilakukan dengan proses sentrifugasi dan pengeringannya dilakukan dengan menggunakan oven sehingga dapat dihasilkan rendemen dan mutu tinggi.

(59)

1. Singkong segar (maksimal 2 hari setelah panen) dimasukkan ke dalam mesin pengupas kulit.

2. Singkong yang telah dikupas dibersihkan dalam mesin pembersih untuk memisahkan dari kotoran-kotoran yang melekat. Tujuan pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan, dan lendir yang ada di lapisan permukaan umbi, dan mengurangi kandungan HCN

3. Singkong yang telah bersih diparut atau dihancurkan dengan mesin penghancur.

4. Hasil pemarutan dicampur dengan air dan diaduk dalam sebuah mesin pengaduk.

5. Hasil adukan diperas untuk memisahkan pati dengan ampasnya.

6. Pati yang bercampur air diendapkan untuk memisahkan cairan pati yang kental dan berat dengan cairan yang ringan atau air limbah.

7. Cairan pati kental dan berat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki pati dan ditambahkan sulfur (belerang) agar hasil produksinya bersih dari kotoran.

8. Dari tangki pati cairan tersebut selanjutnya dikeringkan menjadi tepung. Hasil pengeringan ini masih berupa gumpalan tepung kasar, yang kemudian diayak untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi.

9. Pada tahap yang paling akhir, tepung tapioka dimasukkan ke dalam karung plastik dan diangkut dengan mesin khusus dan selanjutnya disimpan dalam gudang sebelum di jual.

Dalam proses produksi tersebut dihasilkan tiga jenis limbah, yaitu :

1. Kulit singkong, limbah ini tidak memiliki nilai ekonomi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk bahan kompos oleh penduduk yang ada di sekitarnya. 2. Ampas singkong (onggok), merupakan ampas basah hasil pemisahan dengan

pati. Ampas dapat digunakan untuk pakan ternak dan pabrik asam sitrat. 3. Air limbah cair, yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang karena

(60)

Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka (Sriroth 1999)

(61)

2.7 Perkembangan Industri Tepung Terigu

Di Indonesia, selain industri tepung berbasis karbohidrat Indonesia juga terdapat industri tepung berbasis gandum atau tepung terigu yang gandum tersebut dipenuhi melalui impor. Indonesia sebelumnya langsung mengimpor dalam bentuk tepung terigu. Industri tepung terigu di Indonesia dimulai dari pendirian perusahaan penggilingan terigu pertama, yaitu PT. Bogasari Flour Mills pada Tahun 1971. Pendirian perusahaan penggilingan ini disebabkan oleh sering terjadinya penurunan kualitas tepung terigu impor yang tiba di pelabuhan Indonesia, seperti berkutu dan bau apek sebagai akibat waktu perjalanan yang cukup lama. Selain itu, pendirian perusahaan penggilingan juga disebabkan semakin meningkatnya konsumsi pangan berbasis tepung terigu (Visidata Riset Indonesia 2003).

Sampai tahun 1995 PT. Bogasari Flour Mills hanya bertindak sebagai pelaksana penggilingan. Bahan baku gandum dan hasil penggilingan tepung terigu dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog). PT. Bogasari Flour Mills hanya menerima fee untuk penggilingan gandum tersebut. Bulog melakukan pembelian bahan baku, pengapalan bahan baku ke Indonesia, dan pemasaran dan distribusi tepung terigu yang dihasilkan PT. Bogasari Flour Mills (Visidata Riset Indonesia 2003).

Pemerintah Indonesia kemudian secara bertahap melakukan deregulasi tata niaga gandum dan terigu. Pada tahun 1995 pemerintah mencabut larangan investasi terhadap tepung terigu. Monopoli Bulog atas impor gandum dan terigu dihapus pada tahun 1997. Deregulasi Juni 1998 menghentikan monopoli Bulog terhadap suplai tepung terigu, harga domestik, dan distribusi tepung terigu. Sejak itu setiap perusahaan dapat mengimpor gandum sendiri, melakukan pemasaran, dan menetapkan harga (Visidata Riset Indonesia 2003).

(62)

tercatat sebagai kelompok pemakai terbesar dari total kebutuhan tepung terigu dalam negeri, yaitu sebesar 58,86%. Penggunaan ini diikuti oleh kelompok industri besar dan modern yang meliputi industri mi instan, mi kering, mi basah, biskuit, snack, roti dan industri plywood, yaitu sebesar 34,37%. Sedangkan untuk industri rumah tangga sebesar 3,54% dan pemakaian rumah tangga sebesar 3,23% (Visidata Riset Indonesia 2003). Penggunaan tepung terigu untuk berbagai industri tahun 1998-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002

Industri Pemakai Jumlah (Ton)

Sub Total 777.405 851.750 953.645 1.019.111 1.099.964 Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Mi basah dan

Kering

600.504 597.082 728.017 740.457 743.868

Biskuit dan Snack 286.535 323.419 356.425 318.361 354.355

Roti 637.084 634.399 811.436 729.726 785.520

Sub Total 1.524.123 1.554.900 1.895.878 1.788.544 1.883.743 Industri Rumah

Tangga

78.411 88.924 122.512 102.031 113.220

Rumah Tangga 71.060 68.598 91.884 93.028 103.516

Sub Total 149.471 157.522 214.396 195.059 216.736 Total 2.450.999 2.564.172 3.063.919 3.002.714 3.200.443

(63)

Tingkat konsumsi tepung terigu di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Pada tahun 1992 tingkat konsumsi tepung terigu hanya sebesar 9,9 kg/kapita kemudian meningkat mencapai 15,4 kg/kapita pada tahun 1997. Pada tahun 1998 terjadi penurunan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar 20,8% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 tingkat konsumsi tepung terigu mencapai 14,8 kg/kapita atau mengalami peningkatan sebesar 8,8% dari tahun sebelumnya (Aptindo 2003). Tingkat konsumsi tepung terigu dan pertumbuhannya tahun 1992-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun 1992-2002

(64)

distributor. Selanjutnya, distributor memasok tepung terigu ke sub distributor, industri menengah, dan wholesaler. Wholesaler kemudian memasok tepung terigu ke industri kecil dan retailer. Industri rumah tangga dan konsumen akhir mendapat pasokan tepung terigu dari retailer. Rantai pasok tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Jalur Distribusi Tepung Terigu

Pabrik Tepung Terigu

Industri Besar Distributor

Wholesaler Industri

Menengah Sub

Retailer Industri Kecil

Industri Rumah

(65)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Ubi kayu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki produktivitas paling tinggi per satuan luas lahan bila dibandingkan dengan tanaman padi, jagung dan ubi jalar. Meskipun demikian peranan ubi kayu sebagai penyedia karbohidrat masih lebih rendah dibanding dengan padi, dan jagung. Peran ubi kayu juga semakin pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Panganan dari bahan terigu semakin tersebar dan beragam, sementara panganan dari bahan ubi kayu relatif tidak berkembang. Seiring dengan itu pula pendapatan petani ubi kayu hampir tidak mengalami peningkatan, bahkan ikut menurun. Untuk meningkatkan kembali pamor ubi kayu sebagai alternatif sumber karbohidtrat perlu dibuat suatu strategi penyediaan karbohidrat di Indonesia bersumber dari ubi kayu.

Penelitian ini fokus kepada peningkatan pendapatan petani, distribusi pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan, penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang berkualitas, harga terjangkau dan delivery tepat waktu, harga ubi kayu yang stabil di tingkat petani.

Penelitian ini fokus kepada peningkatan pendapatan petani dengan merancang pola kemitraan dan distribusi pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan dalam penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu.

(66)

3.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Namun secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Studi pustaka dan survei awal

Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam penelitian adalah studi pustaka. Peneliti melakukan penelusuran studi pustaka terhadap literatur yang ada guna menggali pemahaman teori-teori yang telah berkembang dengan bidang ilmu pengetahuan yang berkepentingan. Peneliti juga melakukan studi pustaka untuk mencari metode yang digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan data dan juga analisa data, sehingga memperoleh orientasi yang lebih luas dalam menyelesaikan permasalahan yang telah ditentukan.

2. Pengumpulan data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data di provinsi lampung. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara yang mendalam dengan praktisi dan ahli pakar. Kriteria pemilihan pakar dilakukan berdasarkan kriteria menurut Marimin (2002), yaitu 1) keberadaan pakar atau responden dan kesediaannya untuk dilakukan wawancara, 2) memiliki reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai ahli atau pakar pada substansi yang diteliti, dan 3) telah memiliki pengalaman dalam bidangnya.

Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran artikel-artikel, buku, dan media elektronik, seperti Biro Pusat Statistik (BPS), data perkembangan penyediaan karbohidrat di indonesia dari departemen pertanian dan departemen perdagangan republik indonesia , maupun dari sumber lain.

3. Peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang (dengan pola kebutuhan saat ini)

(67)

berdasarkan data kebutuhan ubi kayu pada saat ini. Peramalan di lakukan dengan metode double exponential smoothing with trend (DEST). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan.

4. Peramalan kebutuhan gandum pada masa yang akan datang dan konversi kebutuhan gandum ke ubi kayu pada masa yang akan datang

Peramalan kebutuhan gandum dilakukan guna untuk melihat seberapa besar kebutuhannya pada masa yang akan datang. Sehingga bisa diketahui seberapa besar kebutuhan ubi kayu guna untuk mengkonversi kebutuhan karbohidrat gandum. Peramalan menggunakan metode double exponential smoothing with trend yang memiliki dua komponen utama yaitu level dan

trend. Dimana pada setiap periode dilakukan koreksi terhadap level dan trend

tersebut. Dengan metode ini dilakukan peramalan impor gandum Indonesia selama 5 tahun ke depan. Smoothing constant alpha dan beta dipilih yang terbaik, antara 0 hingga 1.

5. Perencanaan kebutuhan total produksi ubi kayu, kebutuhan luasan, dan kebutuhan jumlah petani mitra

Dengan didapatkannya kebutuhan ubi kayu dan kebutuhan konversi gandum menjadi ubi kayu pada masa yang akan datang, maka didapat pula total produksi ubi kayu pada masa yang akan datang, sehingga bisa lihat seberapa besar luasan lahan dan jumlah petani yang dibutuhkan. Dengan data total luasan lahan maka diketahui persentase (%) distribusi luas lahan petani yang dibutuhkan sebagai bahan perencanaan.

6. Evaluasi kemitraan dan pola kemitraan usulan

(68)
(69)

yang dilakukan saat ini dan memberikan usulan kemitraan bagi para pelaku rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka

7. Kesimpulan dan saran

Tahap terakhir dari penelitian ini adalah menarik kesimpulan dari hasil-hasil yang telah didapat dan dianalisa serta memberikan saran untuk peningkatan dan kemajuan dimasa akan datang.

3.3 Analisa Peramalan dengan menggunakan Double Exponential Smoothing

with Trend

Analisa ini dilakukan guna melihat sejauh mana trend pertumbuhan produksi ubi kayu. Adapun metode forecasting yang digunakan adalah metode

Double Exponential Smoothing (DES). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan (Krajewski et al. 2010).

Berdasarkan overview dari data yang ada dimana terdapat trend kenaikan yang stabil namun tidak tetap setiap tahunnya, digunakan metode forecast double exponential smoothing with trend yang memiliki dua komponen utama yaitu level

dan trend. Pada setiap periode dilakukan koreksi terhadap level dan trend tersebut. Formula yang digunakan pada metode ini adalah:

At = α. Dt + (1-α).(At-1+Tt-1)

Tt= β.(At-At-1) + (1-β) Tt-1

Ft+1 = At + Tt

Dalam formula ini F adalah nilai forecast, A adalah level dan T adalah

(70)

konstanta yang menunjukkan mana yang lebih menentukan nilai corrected level, antara levelactual atau forecast periode sebelumnya.

Corrected Trend

Nilai trend pada periode tertentu adalah jumlah dari selisih level saat ini dan sebelumnya atau dapat disebut trend actual (At-At-1) yang diberi bobot β dan

nilai trend dari periode sebelumnya (Tt-1) yang diberi bobot (1-β). Karena itu nilai β adalah suatu konstanta yang menunjukkan mana yang lebih menentukan nilai corrected trend, antara trend actual atau trend periode sebelumnya.

Sehubungan hal tersebut perlu dilakukan adjustment nilai α dan β agar diperoleh

nilai forecast yang paling akurat (error terkecil).

3.4 Analisa Benefit-Cost Ratio

Benefit Cost Ratio (B/C) adalah nilai kini benefit dibagi oleh nilai kini

cost. B/C digunakan sebagai salah satu kriteria investasi dan kegiatan untuk menentukan apakah suatu proyek atau kegiatan memberikan keuntungan (B/C >1) dan patut dilaksanakan (Gittinger 1982).

Walaupun mempunyai keterbatasan, B/C sering dipergunakan sebagai kriteria dalam pengukuran kinerja suatu rantai pasok. Kesetaraan B/C di antara para pelaku rantai pasok dapat menunjukkan bahwa para pelaku rantai pasok mendapat harga yang wajar dan keuntungan yang adil. Dengan perkataan lain keuntungan di dalam rantai pasok terbagi di antara para pelaku dengan berkeadilan.

(71)

Dalam analisis ini benefit ditekankan kepada price atau harga. Nilai benefit adalah price atau harga per satuan produk dikali jumlah produk. Oleh karena itu B/C yang dipakai adalah benefit berdasarkan harga (Bh) dibagi oleh cost (C) sehingga benefit cost ratio ditulis sebagai Bh/C. Cost sendiri adalah cost per satuan produk

atau harga pokok produk (HPP) dikali jumlah produk. Karena jumlah produk yang dijual adalah jumlah produk yang diproduksi, dalam perhitungan benefit cost ratio

(benefit dibagi cost) faktor jumlah produk saling meniadakan. Sehubungan hal tersebut faktor jumlah produk tidak lagi dicantumkan dalam perhitungan benefit cost ratio.

Pada penelitian ini dilakukan analisis Bh/C untuk melihat tingkat

(72)
(73)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tren Penyediaan Karbohidrat Dari Ubi Kayu

Analisis ini dilakukan untuk melihat sejauh mana tren pertumbuhan produksi ubi kayu.Metode peramalan yang digunakan adalah Double Exponential Smoothing (DES). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan yang teratur (Krajewski et al. 2010).

Impot Gandum

Gambar 4.1 Metode perhitungan kebutuhan ubi kayu, jumlah petani dan pabrik tapioka yang diperlukan

(74)

sumber karbohidrat yang potensial yang banyak tersedia di Indonesia. Dengan tersedianya data ini diharapkan dapat berkembang berbagai makanan yang bersumber dari ubi kayu.

4.1.1 Volume Impor Gandum

Pemakaian terigu terus meningkat yang pada gilirannya meningkatkan impor gandum. Volume impor gandum Indonesia Tahun 2003 – 2008 terus mengalami peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dengan menggunakan metode Double Exponential Smooting, dilakukan peramalan impor gandum selama 5 tahun ke depan. Dengan memakai masing-masing smoothing constant alpha sebesar 0.8 dan beta 0.8 didapat MSE dan MAPE terkecil yaitu sebesar 13.339.340.791 untuk MSE dan 2.04 % untuk MAPE (Lampiran 2). Impor gandum Indonesia selama 5 tahun ke depan disajikan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.2. Pada tahun 2015 diperkirakan impor gandum Indonesia mencapai 5.882.711 ton.

Tabel 4.1 Volume Impor Gandum Tahun 2003-2008 dan Peramalannya Tahun 2009-2015

Gambar

Gambar 2.2 Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian
Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian
Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010
Tabel 2.5  Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram
+7

Referensi

Dokumen terkait

Numbered Heads Together (NHT) untuk meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa kelas IV SDN 016 Simpang Poros semester 2 menggunakan penerapan model pembelajaran

Skripsi Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Perkotaan.. Sri

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Laporan Tugas Akhir Dengan judul Evaluasi Efektifitas

Menurut Hasbullah (2006: 75), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama dalam membangun suatu

Dari hasil pengolahan data tentang posisi Ipomea batatas sebagai makanan keluarga maka sebanyak 22,5 % responden menyatakan tidak perlu menjadikan Ipomea batatas sebagai

Hasil estimasi dengan menggunakan model efek common (Common Effect) menunjukkan nilai R 2 atau koefisien determinasi pada hasil estimasi tersebut dapat diketahui bahwa

Hasil dari penelitian ini adalah terbentuknya model klasifikasi data lama studi mahasiswa STMIK Indonesia yang nantinya dapat digunakan untuk prediksi jumlah mahasiswa lulus

Hal ini juga dibuktikan dari data Profil Kesehatan Indonesia 2010 yang menunjukkan bahwa penyakit kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit