• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial Modelling Of Flood Inundation and Risk: Case Study Mangottong River Area, Sinjai Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial Modelling Of Flood Inundation and Risk: Case Study Mangottong River Area, Sinjai Regency"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

SAMPUL DEPAN

MODEL SPASIAL GENANGAN DAN RISIKO BENCANA BANJIR: STUDI KASUS WILAYAH SUNGAI MANGOTTONG,

KABUPATEN SINJAI

SENIARWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Spasial Genangan Dan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Wilayah Sungai Mangottong, Kabupaten Sinjai adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

(4)
(5)

ABSTRACT

SENIARWAN.

Spatial Modelling Of Flood Inundation and Risk: Case Study

Mangottong River Area, Sinjai Regency. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and KOMARSA GANDASASMITA.

Flood is one of the natural disasters that often happens in Indonesia due to high rainfall. Sinjai is one of the regencies in South Sulawesi which had been severely hit by flood. It happened in 2006 which caused many losses and victims, especially in the capital regency due to the overflow of Mangottong River. The objectives of the research were to develop and simulate spatial modeling of flood inundation, analyzing hazard, vulnerability, and risk level of flood in Mangottong River area. Spatial modelling of flood inundation is using GIS based DEM and flood volume data, while the risk was analyzed by combining of hazard and vulnerability components. Inundation model validation results showed a fairly good accuracy for the flood depth in 2006 simulation with the value of R2 was 0.72. Flood hazard level based on water depth of 25 year return period simulation model result showed that most area of North Sinjai District are in low and middle class, while East Sinjai District are in high class of hazards. Flood vulnerability and flood risk level showed North Sinjai District has a higher percentage of area than East Sinjai District for all classes.

(6)
(7)

RINGKASAN

SENIARWAN.

Model Spasial Genangan Dan Risiko Bencana Banjir: Studi

Kasus Wilayah Sungai Mangottong, Kabupaten Sinjai. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan KOMARSA GANDASASMITA.

Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia dan penyebab utamanya adalah curah hujan yang tinggi. Kabupaten Sinjai merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang pernah dilanda banjir bandang pada tanggal 20 Juni 2006. Bencana banjir yang terjadi di daerah tersebut menimbulkan banyak kerugian dan korban jiwa, khususnya di ibukota kabupaten. Kurangnya informasi khususnya data spasial mengenai kondisi wilayah yang berpotensi atau terkena dampak banjir dapat memperparah kerugian yang akan ditimbulkan kedepannya. Kajian spasial wilayah bencana banjir sangat diperlukan sebagai referensi upaya mitigasi. Penelitian ini difokuskan pada wilayah Sungai Mangottong di Kabupaten Sinjai yang memiliki kondisi topografi yang relatif datar atau merupakan dataran banjir. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model spasial genangan, menganalisis tingkat bahaya, kerentanan, serta tingkat risiko bencana banjir di wilayah Sungai Mangottong, Kabupaten Sinjai. Model spasial genangan dan risiko banjir diharapkan dapat memberikan arahan kebijakan bagi perencanaan tata ruang wilayah berbasis mitigasi bencana di Kabupaten Sinjai khususnya pada wilayah Sungai Mangottong.

Metode penelitian terdiri dari beberapa tahapan analisis yaitu: 1) Pembuatan DEM (Digital Elevation Model), 2) Klasifikasi penggunaan lahan, 3) Pemodelan spasial genangan banjir, dan 4) Analisis risiko bencana banjir.

Pembuatan DEM dilakukan dengan metode penggabungan DEM yaitu DEM SRTM 30 m dan DEM yang dibuat dari data titik tinggi (point height) melalui proses interpolasi. DEM yang dibuat terdiri dari DEM Awal dan DEM Sungai. DEM Awal merupakan hasil interpolasi titik tinggi daratan dari berbagai sumber peta dengan metode interpolasi semivariogram kriging spherical, sedangkan DEM Sungai merupakan hasil interpolasi titik tinggi wilayah sungai dari sumber pengukuran cross section sungai dengan metode interpolasi spline with barrier.

Metode untuk klasifikasi penggunaan lahan pada citra satelit WorldView-2 (resolusi spasial 0.5 m) adalah metode visual dengan teknik dijitasi on screen berdasarkan warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan, asosiasi spasial dan kedekatan interpreter dengan objek. Penggunaan lahan di lokasi penelitian dibedakan menjadi 12 kelas yaitu dari Pemukiman/Perumahan, Bisnis, Perkantoran, Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Kesehatan, Ruang Terbuka/Lapangan, Sawah, Kebun Campuran, Semak Belukar, Tambak/Empang, Mangrove, dan Sungai. Hasil klasifikasi penggunaan lahan digunakan sebagai input untuk analisis kerentanan.

(8)

terhadap ketinggian genangan hasil observasi di lokasi penelitian melalui survei dan wawancara penduduk (rekonstruksi kejadian tahun 2006). Simulasi model dilanjutkan untuk memprediksi genangan berdasarkan periode ulang debit banjir 25, 50, dan 100 tahun

Analisis risiko bencana banjir terdiri 3 tahapan analisis yaitu analisis bahaya (hazard), analisis kerentanan (vulnerability), dan analisis risiko (risk). Analisis bahaya banjir dilakukan dengan memilih hasil simulasi genangan periode ulang 25 tahun sebagai peta bahaya banjir. Tingkat bahaya banjir dikelaskan berdasarkan kelas kedalaman banjir. Kedalaman banjir <0.76 m merupakan kelas bahaya rendah, kedalaman banjir 0.76 – 1.5 m merupakan kelas bahaya sedang, dan kedalaman banjir >1.5 m merupakan kelas bahaya tinggi (BNPB 2012). Analisis kerentanan dikaji berdasarkan kriteria kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan eksposur lahan. Kerentanan fisik dinilai berdasarkan jumlah bangunan (data titik) yang dianalisis dengan metode Point Statistics. Kerentanan sosial dinilai berdasarkan kepadatan penduduk yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk (mewakili 1 unit bangunan pemukiman) per km2 menggunakan metode Point Density. Ekposur lahan dinilai berdasarkan nilai kerugian (ekonomi) setiap kelas penggunaan lahan yang dihitung secara relatif berupa bobot, berdasarkan penilaian pakar (responden) dengan metode perbandingan berpasangan dalam metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil dari setiap kriteria kerentananan digabungkan dengan metode spasial Multi Criteria Decision Analysis (MCDA). Analisis risiko merupakan penggabungan dari hasil analisis bahaya dan kerentanan dengan menggunakan metode spasial MCDA.

Data DEM Awal menghasilkan ketinggian berkisar antara 0 – 130.03 m. Data error DEM Awal menunjukkan bahwa nilai error ketinggian berkisar antara 0.25 – 2.43 meter. DEM Gabungan menghasilkan nilai ketinggian berkisar antara -2.37 – 130.81 m. Berdasarkan 100 data titik yang digunakan untuk mengevaluasi data DEM Gabungan, diperoleh nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 2.62. Nilai RMSE tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh kesalahan nilai pada daerah perbukitan. Pada daerah dengan kerapatan titik yang tinggi yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Dasar Pendaftaran memiliki nilai rata-rata kesalahan yang rendah, sedangkan pada daerah dengan kerapatan titik yang rendah yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Rupabumi Indonesia memiliki nilai rata-rata kesalahan yang tinggi. Secara keseluruhan, nilai RMSE tersebut untuk DEM Gabungan dianggap cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mensimulasikan genangan banjir.

Hasil interpretasi citra satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011 memberikan gambaran distribusi penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong. Penggunaan lahan sawah dan tambak/empang merupakan penggunaan lahan utama di lokasi penelitian.

(9)

berdasarkan kedalaman air (genangan). Persentase luas masing-masing kelas bahaya banjir yaitu kelas tinggi 36.63%, kelas sedang 35.17%, dan kelas rendah 28.20%. Kecamatan Sinjai Utara didominasi oleh kelas bahaya rendah dan sedang (di Kelurahan Lappa), sedangkan Kecamatan Sinjai Timur didominasi oleh kelas bahaya tinggi (di Kelurahan Samataring).

Tingkat kerentanan banjir di lokasi penelitian menghasilkan 3 kelas kerentanan yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Persentase luas masing-masing kelas kerentanan banjir yaitu kelas tinggi 16.34%, kelas sedang 7.21%, dan kelas rendah 76.45%. Kecamatan Sinjai Utara memiliki persentase luasan yang lebih tinggi untuk semua kelas kerentanan (di Kelurahan Lappa dan Kelurahan Biringere).

Tingkat risiko bencana banjir di lokasi penelitian menghasilkan 3 kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kelas risiko sedang mendominasi dengan persentase luas 48% dari total luas daerah yang berisiko, kemudian diikuti oleh kelas risiko rendah dengan persentase luasan 40%, sedangkan kelas risiko tinggi memiliki luasan yang terendah yaitu 12%. Kecamatan Sinjai Utara memiliki persentase luasan yang lebih tinggi untuk semua kelas risiko bencana banjir (di Kelurahan Lappa dan Kelurahan Biringere).

(10)
(11)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

(12)
(13)

HALAMAN JUDUL

MODEL SPASIAL GENANGAN DAN RISIKO BENCANA BANJIR: STUDI KASUS WILAYAH SUNGAI MANGOTTONG,

KABUPATEN SINJAI

SENIARWAN A153100021

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Judul Tesis : Model Spasial Genangan Dan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Wilayah Sungai Mangottong, Kabupaten Sinjai

Nama : Seniarwan NRP : A153100021

HALAMAN PENGESAHAN

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi

Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

Dr. Ir. Baba Barus, M. Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah banjir dengan judul Model Spasial Genangan Dan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Wilayah Sungai Mangottong, Kabupaten Sinjai.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan dan masukannya, selama proses penelitian berlangsung hingga penulisan tesis ini selesai.

2. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi. 3. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Dr. Budi Tjahjono, DEA, selaku ketua dan

sekretaris Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, atas segala perhatiannya kepada penulis selama masa perkuliahan dan penyusunan tesis.

4. Prof. Dr. Ir. Sumbangan Baja, M.Phil, Prof. Dr. Ir. Hazairin Zubair, MS, dan Dr. Ir. Burhanuddin Rasyid M.Sc, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB.

5. Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc yang telah membantu dalam memberikan beberapa referensi yang terkait dengan penelitian, dan Cecep Saipul Rahman, S.TP yang telah membantu dalam pembuatan script model, serta para staf instansi Kantor Pertanahan Kab. Sinjai, BPS Kab. Sinjai, Kanwil BPN Sulsel, Balai Besar Wilayah Sungai Jeneberang Pompengang dan LAPAN Pare-Pare yang telah memberikan data untuk mendukung penelitian ini.

6. Rekan-rekan MBK 2010, Ikqra, SP dan Muh. Munawir Sarif, SP, serta rekan-rekan PWL 2010, khususnya Muh. Ahmad Lanta, SP, Dwi Maryanto, S.Si, dan Djoko Purnomo Adi, S.Si atas diskusinya terkait penelitian ini.

7. Muh. Dirham, SP, Miswar Farid, SP, Muh. Fitrah Irawan, SP, Akbar, dan Hadi atas bantuannya di lokasi penelitian.

8. Kedua orang tua Bapak H. Arifin, SP dan Hj. Marwati, S.Pd, atas segala pengorbanan, doa dan dukungan yang tak ternilai yang diberikan kepada penulis. Saudara-saudari penulis Seniarfan, SP, Aswar Hermawan, dan St. Surya Musdalifah atas doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan ilmu dan pengetahuan bangsa Indonesia.

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1986 di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak H. Arifin, SP dan Ibu Hj. Marwati S.Pd. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bantaeng pada tahun 2004 dan melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin hingga lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan program magister sains di Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, Sekolah Pascasarjana IPB.

(20)
(21)
(22)
(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa penyebab banjir (Kodoatie & Sugiyanto 2002) ... 5 2 Jenis, bentuk, dan sumber data penelitian ... 14 3 Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan ... 19 4 Kelas bahaya banjir berdasarkan kedalaman genangan (BNPB 2012) ... 27 5 Skala nilai kepentingan untuk perbandingan berpasangan (pairwise

comparison) ... 29 6 Nilai RI pada berbagai tingkat order... 30 7 Periode ulang debit puncak Sungai Mangottong (Rahayu 2008) ... 35 8 Jumlah penduduk dan rumah tangga di setiap desa/kelurahan di lokasi

penelitian ... 37 10 Jumlah rata-rata penduduk per unit bangunan berdasarkan administrasi

wilayah desa/kelurahan di daerah bahaya ... 51 11 Matriks penilaian komposit untuk bobot kriteria eksposur lahan, perhitungan

nilai CR (Consistency Ratio), dan normalisasi skor. ... 53 12 Matriks penilaian komposit untuk bobot kriteria kerentanan dan perhitungan

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Lokasi studi. ... 13 2 Sebaran titik tinggi di lokasi penelitian... 16 3 DEM SRTM resolusi 30 meter ... 16 4 Bagan alir metode pembuatan DEM. ... 18 5 Citra satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011. ... 19 6 Header data DEM dalam format ascii ... 22 7 Tipe ketetanggaan piksel: (a) 4 tetangga, (b) 8 tetangga. ... 23 8 Algoritma model genangan banjir. ... 24 9 Ilustrasi simulasi model genangan dengan data DEM ukuran matriks 4×4

berdasarkan tahapan algoritma. ... 24 10 Alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA. ... 31 11 Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA. ... 32 12 Peta lereng lokasi penelitian ... 33 13 Peta curah hujan lokasi penelitian berdasarkan polygon thiessen... 34 14 Grafik curah hujan harian maksimum tiap stasiun di lokasi penelitian

dalam kurun waktu tahun 1992 – 2006 (Rahayu 2008). ... 34 15 Kurva hidrograf debit banjir Sungai Mangottong. ... 35 16 Peta jenis tanah lokasi penelitian. ... 36 17 Peta administrasi di lokasi penelitian ... 37 18 DEM Awal (prediction map). ... 39 19 Error DEM Awal (prediction standart error map). ... 40 20 DEM Gabungan. ... 40 21 Peta sebaran titik tinggi validasi data DEM ... 41 22 Peta penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong tahun 2011. . 42 23 Luas kelas penggunaan lahan di lokasi penelitian. ... 42 24 Verifikasi model: (a) sebagian wilayah penelitian,

(b) perbedaan ketinggiaan genangan, dan

(26)

29 Peta genangan banjir periode ulang 50 tahun. ... 47 30 Peta genangan periode ulang 100 tahun. ... 48 31 Perbandingan ketinggian genangan antara hasil simulasi model

periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. ... 48 32 Peta daerah genangan berdasarkan hasil simulasi model

periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. ... 49 33 Persentase luas kelas bahaya banjir. ... 49 34 Peta bahaya banjir. ... 50 35 Luas setiap kelas bahaya berdasarkan administrasi desa/kelurahan

di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. ... 50 36 Peta sebaran bangunan. ... 52 37 Peta jumlah bangunan di daerah bahaya. ... 52 38 Peta kepadatan penduduk di daerah bahaya. ... 53 39 Peta eksposur lahan di daerah bahaya. ... 54 40 Peta kerentanan di daerah bahaya. ... 55 41 Persentase luas kelas kerentanan... 56 42 Luas setiap kelas kerentanan berdasarkan administrasi desa/kelurahan

di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. ... 56 43 Peta risiko bencana banjir. ... 57 44 Matriks penentuan kelas risiko bencana. ... 58 45 Persentase luas kelas risiko. ... 58 46 Luas setiap kelas risiko berdasarkan administrasi desa/kelurahan

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Pengaturan parameter metode semivariogram ... 69 Lampiran 2 Script algoritma genangan banjir dengan menggunakan

(28)
(29)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia. Faktor penyebab utamanya adalah curah hujan, mengingat Indonesia berada pada wilayah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi. Kejadian bencana banjir memberikan dampak negatif pada wilayah yang berkaitan dengan aktivitas manusia yaitu dapat menimbulkan korban jiwa dan kerugian material serta efek psikologis (trauma) terhadap masyarakat yang terkena dampak. Berdasarkan data dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa dalam kurun waktu tahun 1998 – 2012 di seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 228 kejadian banjir dimana jumlah kejadian banjir yang paling tinggi yaitu pada tahun 2010 sebanyak 74 kejadian yang tersebar di beberapa kabupaten.

(30)

Kurangnya informasi khususnya data spasial mengenai kondisi wilayah yang berpotensi terkena dampak banjir dapat memperparah kerugian yang akan ditimbulkan kedepannya. Kajian spasial wilayah bencana banjir sangat diperlukan sebagai referensi upaya mitigasi. Menurut Plate (2002) langkah pertama dalam manajemen risiko banjir adalah pemetaan bahaya banjir.

Banjir adalah proses yang kompleks dipengaruhi oleh banyak faktor di mana karakteristik debit banjir dan topografi wilayah yang terendam air adalah sangat penting (Jing 2010). Untuk memodelkan kondisi nyata banjir (real world) yang sangat kompleks, diperlukan pendekatan yang dapat menyederhanakan proses-proses kejadian di alam yang bersifat dinamis dan berdasarkan lokasi ruang (spasial) kejadiannya. Pemodelan berbasis spasial dapat dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan data Digital Elevation Model (DEM).

Penelitian tentang prediksi genangan melalui simulasi model dengan menggunakan data DEM telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Yulianto, et al. (2009), Wang et al. (2010), Jing (2010), dan Zhou (2011). Pada penelitian ini, kajian tentang pemodelan spasial genangan dan analisis risiko bencana banjir difokuskan pada wilayah Sungai Mangottong di Kabupaten Sinjai yang memiliki kondisi topografi yang relatif datar atau merupakan dataran banjir (flood plain). Analisis dilakukan berdasarkan data DEM dan data volume banjir berdasarkan periode ulang debit banjir.

Perumusan Masalah

(31)

Permasalahan bencana banjir tidak hanya dipengaruhi oleh fenomena alam yang ekstrim, tetapi juga dipengaruhi oleh fenomena sosial masyarakat khususnya penduduk yang bermukim pada daerah yang rawan bencana banjir. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat menuntut ketersediaan lahan yang tinggi untuk menjalankan berbagai aktivitas, tidak terkecuali pada daerah yang rawan bencana. Namun tidak berarti bahwa lahan yang ada di daerah rawan bencana tidak dapat dimanfaatkan, melainkan secara bijaksana pemanfaatannya harus disesuaikan dengan potensi bencana yang ada.

Pengembangan wilayah secara keruangan perlu memperhatikan kendala pengembangan secara fisik, termasuk diantaranya risiko banjir. Menurut Carter (1992) penilaian risiko (risk) bencana dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan menduga tingkat kerentanan (vulnerability). Tingkat bahaya banjir dapat diketahui melalui pemodelan spasial genangan, sedangkan tingkat kerentanan dapat diketahui melalui analisis secara spasial aspek-aspek yang rentan terhadap bencana banjir. Penelitian tentang pemodelan spasial genangan dan risiko banjir di wilayah Sungai Mangottong perlu dilakukan, mengingat ibukota Kabupaten Sinjai yang padat penduduk dilalui oleh sungai ini dan telah memberikan dampak yang merugikan saat kejadian banjir pada tahun 2006.

Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan-pertanyaan yang mendasari penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana membangun model spasial genangan banjir di wilayah Sungai Mangottong?

2. Bagaimana tingkat bahaya banjir di wilayah Sungai Mangottong? 3. Bagaimana tingkat kerentanan banjir di wilayah Sungai Mangottong? 4. Bagaimana tingkat risiko bencana banjir di wilayah Sungai Mangottong?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(32)

3. Menganalisis tingkat kerentanan bencana banjir di wilayah Sungai Mangottong.

4. Menganalisis tingkat risiko bencana banjir di wilayah Sungai Mangottong.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Diharapkan dapat memberikan arahan kebijakan bagi perencanaan tata ruang wilayah berbasis mitigasi bencana di Kabupaten Sinjai khususnya pada wilayah Sungai Mangottong.

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Banjir

Banjir didefinisikan sebagai kenaikan drastis dari aliran sungai, kolam, danau, dan lainnya dimana kelebihan aliran tersebut menggenangi keluar dari tubuh air dan menyebabkan kerusakan dari segi sosial ekonomi dari sebuah populasi (Smith &Ward1998).

Apabila suatu peristiwa terendamnya air di suatu wilayah yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis maka banjir tersebut dapat disebut Bencana Banjir (Reed 1995).

Banjir dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa penyebab banjir (Kodoatie & Sugiyanto 2002)

No. Penyebab banjir Alam Manusia

1. Perubahan land-use V

2. Pembuangan sampah V

3. Erosi dan sedimentasi VV V

4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase V

5. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat V

6. Curah Hujan V

7. Fisiografi/ geofisik sungai VV V

8. Kapasitas sungai/ drainase yang tidak memadai V VV

9. Air pasang (rob) V

10. Penurunan tanah V V

11. Drainase lahan V V

12. Bendung dan bangunan air V

13. Kerusakan bangunan pengendali banjir V

Keterangan: tanda V menunjukkan penyebab banjir, VV menunjukkan dominan penyebab.

Secara umum penyebab terjadinya banjir di berbagai belahan dunia adalah (Smith &Ward1998):

(34)

laut dan besarnya ombak yang di asosiasikan dengan terjadinya gelombang badai yang hebat.

2. Perubahan tata guna lahan dan kenaikan populasi; perubahan tataguna lahan dari pedesaan menjadi perkotaan sangat berpotensi menyebabkan banjir. Banyak lokasi yang menjadi subjek dari banjir terutama daerah muara. Perencanaan penaggulangan banjir merupakan usaha untuk menanggulangi banjir pada lokasi-lokasi industri, komersial dan pemukiman. Proses urbanisasi, kepadatan bangunan, kepadatan populasi memiliki efek pada kemampuan kapasitas drainase suatu daerah dan kemampuan tanah menyerap air, dan akhirnya menyebabkan naiknya volume limpasan permukaan. Meskipun luas area perkotaan lebih kecil dari 3% dari permukaan bumi, tapi sebaliknya efek dari urbanisasi pada proses terjadinya banjir sangat besar.

3. Land subsidence; adalah proses penurunan level tanah dari elevasi sebelumnya. Ketika gelombang pasang datang dari laut melebihi aliran permukaan sungai, area land subsidence akan tergenangi.

Pemodelan Banjir

Pengertian Model dan Sistem

Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model menurut Marimin (2005) adalah simplifikasi dari sistem. Model spasial adalah model yang berbasis data spasial, baik masukan (input), analisis, maupun keluaran (output) datanya dari model spasial tersebut (Munibah 2008).

Menurut Manetch dan Park (1977) sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan menurut Marimin (2005) sistem adalah kumpulan berbagai komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir dengan baik serta mempunyai tujuan yang sama.

(35)

atau matriks, yang menyatakan hubungan antar unsur dan tidak digunakan rumus-rumus, matematika, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil (Muhammadi et al. 2001).

Menurut Jorgensen (1988) kegunaan model sebagai alat bantu dalam ekologi dapat dikelompokkan ke dalam empat kegunaan :

1. Model merupakan instrumen yang berguna untuk memahami sistem yang kompleks.

2. Model dapat dipakai untuk menggambarkan karakteristik sistem secara sederhana.

3. Model dapat dipakai untuk menyusun prioritas-prioritas penelitian.

4. Model dapat dipakai untuk menguji hipotesis ilmiah dengan jalan mensimulasikan reaksi ekosistem dan dibandingkan dengan hasil observasi.

Model simulasi lebih berguna dan dapat diandalkan bila memenuhi ketiga. syarat berikut :

1. Model merupakan sistem yang rill, harus realistis dan inovatif. 2. Model harus sederhana agar mudah dikelola.

3. Model merupakan distorsi dari sistem, karena itu dalam aplikasi harus seksama dan waspada.

Ada 10 tahap dalam pemodelan (Dahuri 1995; Hall & Day 1977; Jorgensen 1988) meliputi :

1. Pendefinisian masalah : menentukan masalah yang akan dicari solusinya sekaligus menetapkan tujuan yang akan dicapai.

2. Pembatasan masalah berdasarkan waktu, ruang dan komponen dari model. 3. Penyusunan model konseptual/verbal : menjelaskan variabel keadaan

(state variables) dan variabel luar (exogenous variables) yang penting serta kaitan keduanya secara konseptual.

4. Penyusunan model diagram.

(36)

menentukan variabel luar yang dapat mengubah nilai variabel keadaan. Ketiga, merumuskan setiap hubungan fungsional antar variabel menjadi persamaan matematika serta penentuan nilai koefisien dan konstanta. 6. Penerjemahan persamaan matematika kedalam bahasa komputer.

7. Melakukan simulasi komputer dengan cara menentukan nilai awal kemudian membatasi skenario simulasi lalu dieksperimentasikan sesuai dengan batas waktu yang akan diestimasi.

8. Verifikasi, untuk melihat logika internal model, yaitu keluaran model hasil simulasi sesuai dengan logika ilmiah.

9. Analisis kepekaan (sensitivity analysis), dilakukan dengan merubah nilai setiap peubah/parameter ke atas dan ke bawah, sehingga dapat dilihat respon model terhadap perubahan tersebut. Bila respon model kecil maka dikatakan bahwa model tidak sensitif terhadap peubah dan parameter tersebut, sebaiknya bila respon model besar terhadap perubahan dikatakan bahwa model peka terhadap peubah/parameter tersebut.

10.Validasi model, membandingkan keluaran model dengan hasil observasi untuk melihat kelayakan model.

Model Spasial Genangan Banjir

Simulasi dan pemodelan untuk estimasi banjir adalah bidang yang berkembang pesat dalam hidrologi (Boughton & Droop 2003). Simulasi banjir dan hasil model adalah cara yang baik untuk memberikan informasi yang relevan tentang bagaimana banjir akan berperilaku pada lokasi (spasial) di mana orang beraktifitas dan bagaimana banjir akan mempengaruhi mereka. Menurut Plate (2002) untuk prosedur perencanaan dan evakuasi, permintaan untuk informasi peta digital banjir hasil prediksi dan risiko banjir telah meningkat. Untuk menghasilkan peta-peta tersebut, SIG, remote sensing (penginderaan jauh) dan pemodelan banjir sangat berguna.

(37)

model spasial, salah satunya adalah model untuk analisis banjir dengan menggunakan pemodelan numerik (Meijerink et al. 1994).

SIG berbasis algoritma dengan menggunakan data DEM umumnya mensimulasikan banjir dalam dua kasus yaitu berdasarkan volume banjir dan berdasarkan ketinggian banjir (Jing 2010; Zhou 2011). Kasus yang pertama cocok untuk genangan yang meluap melewati badan sungai atau gagalnya suatu tanggul/dam, dengan memperhitungkan tingkat air banjir berdasarkan pada akumulasi massa air (volume banjir yaitu sama dengan volume genangan), dan kasus yang kedua digunakan untuk dataran banjir.

Liu R dan Liu N (2001) dan Wang et al. (2010) menambahkan bahwa dua kasus tersebut dapat disebut sebagai "source flood" untuk kasus berdasarkan volume banjir dan "non-source flood" untuk kasus berdasarkan ketinggian banjir. "Non-source flood" adalah metode sederhana untuk mengekstrak daerah genangan dengan mencari sel (nilai piksel) pada daerah yang berada di bawah ketinggian banjir satu per satu, sedangkan "source flood" memiliki algoritma yang lebih kompleks yang mempertimbangkan konektivitas daerah, dimana sel-sel (piksel) genangan harus memenuhi kedua kondisi, yaitu daerah yang memiliki ketinggian di bawah ketinggian banjir dan memiliki koneksi ke titik sumber.

(38)

meluapnya Sungai Zhujiang. Berdasarkan data DEM dan menggunakan algoritma berdasarkan ketinggian genangan dan volume debit banjir yang telah diketahui, hasil yang diperoleh adalah peta daerah genangan banjir untuk periode ulang 20 tahun.

Risiko Bencana

Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan, kerugian dan dampak psikologis (BAKORNAS PB 2007).

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter 1992). Lebih lanjut Carter menambahkan bahwa untuk menentukan ancaman bencana, maka diperlukan penilaian risiko (risk) bencana dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan menduga tingkat kerentanan (vulnerability). Saat ini, penelitian dan praktek penanggulangan bencana makin fokus pada pengurangan kerentanan sosial dari masyarakat (Wisner 2006; Birkmann 2006; Pelling 2003; Bankoff et al. 2004; Wisner et al. 2004; UNISDR 2004). Pemahaman ini datang dari kesadaran bahwa kerentanan terhadap bencana sesungguhnya dihasilkan dari proses-proses sosial, ekonomi dan politik yang memodifikasi cara bagaimana masyarakat mereduksi risiko, berhadapan (coping) dan respon terhadap ancaman (hazards) secara beragam (Wisner et al. 2004).

(39)

Bahaya (Hazard)

Menurut UNISDR (2009) bahaya adalah potensi kehancuran fisik dan aktifitas manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa atau terluka, kehancuran harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau degradasi lingkungan. Bahaya dapat digolongkan dalam kondisi yang terpendam (laten) yang menggambarkan ancaman dan dapat disebabkan oleh alam (geologi, hidrometeorologi dan biologi) atau aktifitas manusia (degradasi lingkungan dan bahaya teknologi).

Bahaya banjir merupakan suatu ancaman yang ditimbulkan oleh kejadian banjir yang memberikan dampak negatif pada daerah yang terkena dampak. Bahaya banjir diukur berdasarkan probabilitas kejadian yang memunculkan nilai kerusakan, dipahami secara umum sebagai risiko banjir, atau dampaknya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan material pada masyarakat (Rossi et al. 1994).

Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan (vulnerability) adalah karakteristik dari seseorang atau kelompok dan situasi yang mempengaruhi kapasitasnya untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari dampak bahaya alam (suatu peristiwa alam atau proses yang ekstrim) (Wisner et al. 2004). Penilaian kerentanan digambarkan sebagai sesuatu yang berguna untuk menentukan potensi kerusakan dan hilangnya nyawa dari peristiwa ekstrim (Cutter 1996) dan juga dalam mengusulkan alternatif pengurangan bahaya di mana mitigasi biasanya dilakukan dengan pendekatan bentuk struktural (rekayasa) untuk pengurangan bahaya (Coburn & Spence 1992; Clayton 1994).

Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila bahaya terjadi pada kondisi yang rentan (BAKORNAS PB 2007). Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial dan ekonomi (Carter 1992), seperti diuraikan oleh BAKORNAS PB (2007) sebagai berikut:

(40)

bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA, dll. 2. Kerentanan sosial yaitu suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam

menghadapi bahaya. Beberapa indikator kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase usia tua-balita dan penduduk wanita.

3. Kerentanan ekonomi yaitu suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi yaitu persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan terhadap PHK dan persentase rumah tangga miskin.

Eksposur/Keterpaparan (Eksposure)

(41)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan wilayah hilir Sungai Mangottong yang secara administrasi wilayah berada di Kecamatan Sinjai Utara dan Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas sekitar 27,86 km2. Pemilihan daerah studi berdasarkan kondisi topografi yang relatif rendah (dataran banjir) yang berkontribusi terhadap kejadian banjir di kota Kabupaten Sinjai dan sekitarnya, dan berdasarkan ketersediaan data spasial untuk mendukung penelitian (Gambar 1). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Desember 2012.

(42)

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi data spasial dan data tabular seperti yang tersaji pada Tabel 2. Adapun alat yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Microsoft Word, Microsoft Excel, ArcGIS, dan peralatan penunjang lain seperti alat tulis, kamera dijital, Global Positioning System (GPS) Garmin Oregon.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan yaitu: 1) pengumpulan data dan 2) analisis data.

Pengumpulan data

Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder seperti tersaji pada Tabel 2. Data primer berupa data citra dan data yang diperoleh melalui survei dan wawancara penduduk. Data sekunder terdiri dari data spasial dan data tabular.

Tabel 2 Jenis, bentuk, dan sumber data penelitian

Jenis Data Skala Bentuk Sumber Data

Peta Topografi (Rupa Bumi Indonesia)

1:50.000 Dijital Bakosurtanal

Peta Administrasi 1:100.000 Dijital BPN Kanwil Sulsel Peta Dasar

Pendaftaran 1:1.000 Analog BPN

Peta Land System 1:250.000 Dijital Bakosurtanal Cross Section

(43)

Analisis Data

1) Pembuatan DEM (Digital Elevation Model)

Data DEM dibuat untuk menggambarkan kondisi medan (terrain) di lokasi penelitian yang merupakan dataran banjir (flood plain). Data DEM yang tersedia adalah DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan ukuran piksel 30 × 30 meter. Dalam penelitian ini dibutuhkan data DEM yang memiliki akurasi yang tinggi dan informasi yang lebih detil, khususnya penggambaran kondisi geometri sungai (river geometry). Oleh karena itu dilakukan pembuatan DEM baru dengan metode penggabungan DEM dari berbagai sumber data (Trisakti dan Julzarika 2011; Tsamalashvili 2010; Yulianto et al. 2009; Shaviraachin 2005; Marfai 2003) yaitu DEM SRTM dan DEM yang dibuat dengan teknik interpolasi.

Secara lebih rinci, bagan alir pembuatan DEM disajikan pada Gambar 4 dan tahapan proses pembuatan DEM dijelaskan sebagai berikut:

a) Ekstraksi dan penggabungan titik tinggi

Data titik tinggi (point height) yang bersumber dari: 1) peta topografi (RBI) skala 1:50.000 berupa garis kontur dan titik tinggi, 2) peta dasar pendaftaran skala 1:1.000 berupa titik tinggi tanah, dan 3) pengukuran cross section Sungai Mangottong berupa titik tinggi, diekstraksi dan digabungkan menjadi 1 data. Hasil ekstraksi titik tinggi disajikan pada Gambar 2.

b) Penyiapan data DEM SRTM dan DEM hasil interpolasi

(44)

Selanjutnya dilakukan normalisasi nilai DEM SRTM berdasarkan nilai DEM Awal dengan cara melakukan co-registrasi antara kedua DEM dan koreksi topografi berbasis nilai deviasi dan rata-rata (mean) ketinggian pada kedua DEM tersebut, sehingga diperoleh DEM yang relatif sama secara geometrik dan nilai ketinggiannya.

Gambar 2 Sebaran titik tinggi di lokasi penelitian.

(45)

Data titik tinggi pada badan sungai dipisahkan untuk membuat DEM Sungai. Pembuatan DEM Sungai dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi spline with barrier. Barrier yang digunakan adalah poligon badan sungai untuk membatasi daerah interpolasi, sehingga dihasilkan nilai ketinggian (DEM) hanya pada daerah badan sungai.

c) Penggabungan DEM

Berdasarkan hasil error DEM Awal, dilakukan penghilangan nilai error pada DEM Awal dengan terlebih dahulu mengekstrak titik tingginya. Kemudian proses selanjutnya adalah pengisian titik tinggi pada daerah error yang tinggi (pengisian void) dengan titik tinggi yang diekstrak dari DEM SRTM yang telah dinormalisasi. Proses akhir dari penggabungan tersebut adalah melakukan kembali interpolasi titik tinggi dengan metode semivariogram tipe ordinary kriging dengan model spherical untuk menghasilkan DEM Gabungan. Output yang dihasilkan adalah DEM dengan ukuran piksel 20 x 20 meter. Resolusi spasial atau ukuran piksel DEM yang dibuat, ditentukan berdasarkan jumlah dan kerapatan titik tinggi yang tersedia, serta lebar sungai minimum yaitu 20 m.

d) Evaluasi DEM Gabungan

Evaluasi DEM Gabungan dilakukan dengan menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) untuk mengetahui tingkat keakurasian antara nilai ketinggian DEM yang dibuat terhadap ketinggian titik validasi. Terdapat 100 titik tinggi validasi (secara acak) yang digunakan (selain dari data titik tinggi yang diinterpolasi) untuk menghitung nilai RMSE. Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan RMSE sebagai berikut:

... (1)

(46)

Gambar 4 Bagan alir metode pembuatan DEM.

2) Klasifikasi Penggunaan Lahan

Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan citra satelit WorldView-2 yang telah terkoreksi secara geometrik (Gambar 5). Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode visual dengan teknik dijitasi on screen berdasarkan warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand & Kiefer 1997) dan kedekatan interpreter dengan objek (Munibah 2008). Penggunaan lahan di lokasi penelitian dikelaskan menjadi 12 kelas yaitu terdiri dari Pemukiman/Perumahan, Bisnis, Perkantoran, Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Kesehatan, Ruang Terbuka/Lapangan, Sawah, Kebun Campuran, Semak Belukar, Tambak/Empang, Mangrove, dan Sungai. Hasil klasifikasi penggunaan lahan digunakan sebagai input untuk analisis selanjutnya.

(47)

Gambar 5 Citra satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011.

Secara visual kenampakan (tampilan) objek pada citra satelit memberikan informasi yang berbeda-beda terkait penggunaan lahannya. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit berdasarkan kondisi pengamatan (foto lapangan) di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan

No Penggunaan Lahan Citra Satelit Foto Lapangan

1 Pemukiman/Perumahan

2 Bisnis

3 Perkantoran

(48)

Lanjutan Tabel 3

No Penggunaan Lahan Citra Satelit Foto Lapangan

5 Fasilitas Kesehatan

6 Ruang

Terbuka/Lapangan

7 Sawah

8 Kebun Campuran

9 Semak Belukar

10 Tambak/Empang

11 Mangrove

(49)

3) Pemodelan Spasial Genangan Banjir

Pemodelan spasial genangan banjir di wilayah Sungai Mangottong mengacu pada analisis model genangan berdasarkan volume sumber banjir yang diketahui dengan menggunakan data DEM (Jing 2010). Model ini menggunakan algoritma aproksimasi (approximation algorithm) untuk menganalisis ketinggian genangan (H) berdasarkan perbandingan antara volume air (V) daerah yang tergenang dan volume air (Q) sumber banjir.

Fungsi dari algoritma aproksimasi untuk menentukan daerah genangan didefinisikan berdasarkan persamaan berikut:

... (1) Nilai V dihitung dengan menggunakan persamaan:

... (2)

dimana Hi yaitu akumulasi ketinggian antara ketinggian genangan (hi) dan elevasi

DEM (Ei)pada unit piksel ke-i, artinya ; m yaitu jumlah unit piksel

yang tergenang; A yaitu luas unit piksel.

Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diketahui nilai V yang paling mendekati atau sama dengan nilai Q. Dalam penelitian ini, untuk mencapai kondisi tersebut dilakukan pengembangan algoritma melalui proses distribusi limpasan (ketinggian) genangan.

(50)

Gambar 6 Header data DEM dalam format ascii

Adapun tahapan algoritma dalam simulasi model genangan banjir berdasarkan proses distribusi limpasan genangan yaitu sebagai berikut:

1) Menetapkan kondisi awal yaitu Hi = Ei, sehingga hi = 0. Artinya belum

terjadi genangan dan V = 0.

2) Menentukan piksel awal (h0) yaitu unit piksel bagian hulu pada data DEM.

3) Menetapkan nilai Q sebagai nilai masukan untuk proses perhitungan genangan.

4) Melakukan pengisian piksel h0 dengan persamaan:

... (3) dimana adalah tinggi genangan sebelumnya; dan n adalah penambahan ketinggian. Nilai n digunakan untuk memberikan nilai ketinggian genangan pada piksel h0 sehingga dapat mendistribusikan genangan ke

piksel selanjutnya. Asumsi ini mengikuti prinsip bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

5) Setelah piksel h0terisi, maka dilakukan pendistribusian limpasan genangan

pada piksel tetangga (t) yang terpilih (j). Pengecekan piksel tetangga ditentukan berdasarkan 8 arah dari piksel pusat atau disebut tipe 8 tetangga (Gambar 7). Penentuan piksel j berdasarkan perbedaan (selisih) ketinggian maksimum (∆H) dengan menggunakan persamaan:

... (4) dimana Ht adalah akumulasi ketinggian (genangan dan elevasi) pada

(51)

Gambar 7 Tipe ketetanggaan piksel: (a) 4 tetangga, (b) 8 tetangga. 6) Menentukan limpasan genangan (hlimpas):

... (5)

Nilai maksimum hlimpas yang dapat didistribusikan adalah sama dengan

tinggi genangan (hi). Pada kondisi dimana nilai ∆H menghasilkan nilai

hlimpas > hi, maka ditetapkan hlimpas = hi. Distribusi limpasan genangan ke

piksel tetangga yang terpilih digunakan persamaan:

... (6)

... (7)

dimana adalah ketinggian genangan pada piksel tetangga sebelum memperoleh limpasan; dan adalah ketinggian genangan pada piksel ke-i sebelum memberi limpasan.

7) Proses pada tahap 4 sampai tahap 6 dilakukan secara berulang (diiterasi), hingga kondisi berdasarkan Persamaan 1 terpenuhi, yaitu Q = V. Untuk menghitung volume daerah yang tergenang digunakan Persamaan 2. Secara ringkas algoritma model genangan banjir untuk simulasi disajikan pada Gambar 8. Ilustrasi simulasi model genangan banjir berdasarkan tahapan algoritma tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 9.

(52)

Gambar 8 Algoritma model genangan banjir.

(53)

Batasan Model

Pembuatan model spasial genangan banjir di lokasi penelitian memiliki batasan yang diasumsikan sebagai berikut:

- Pengaruh pasang air laut tidak diperhitungkan, sehingga tidak terjadi

akumulasi genangan akibat masuknya air laut ke daratan. Dalam penelitian ini, daerah laut merupakan NODATA yang memiliki nilai -9999 pada data DEM, sehingga tidak diperhitungkan (diabaikan) dan batas perhitungan dilakukan hanya sampai pada batas garis pantai. Asumsi tersebut dianggap bahwa kejadian banjir terjadi saat pasang, sehingga aliran air sungai tertahan di muara.

- Pengaruh luapan sungai lainnya di sekitar wilayah Sungai Mangottong

tidak diperhitungkan, sehingga tidak terjadi akumulasi genangan akibat luapan sungai yang lain. Pada bagian utara terdapat Sungai Tangka dan pada bagian selatan terdapat Sungai Baringeng Sungai, yang merupakan 2 sungai di sekitar Sungai Mangottong. Daerah genangan yang diperhitungkan hanya bersumber dari luapan Sungai Mangottong.

- Resapan air ke dalam tanah sebagai proses infiltrasi tidak

diperhitungkan, dengan asumsi tanah dalam keadaan jenuh. Verifikasi Model

(54)

Simulasi Model Kejadian Banjir tahun 2006

Simulasi model untuk kejadian banjir pada tahun 2006 dilakukan dengan menetapkan nilai Q sebesar 10 507 600 m3 yang dihitung berdasarkan volume kurva hidrograf sintetis, dengan debit puncak banjir yang dihasilkan oleh Sungai Mangottong sebesar 346.66 m3/s atau setara dengan debit banjir periode ulang 25.3 tahun (Rahayu 2008).

Validasi Model

Hasil simulasi daerah yang tergenang tersebut kemudian divalidasi berdasarkan perbandingan terhadap data titik kedalaman genangan hasil observasi (pengukuran) di lokasi penelitian. Data titik kedalaman genangan di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan wawancara penduduk terkait kondisi banjir pada tahun 2006.

Model Prediksi Genangan Periode Ulang 50 dan 100 Tahun

Setelah proses validasi dilakukan, maka dilanjutkan dengan simulasi genangan untuk memprediksi dan memetakan daerah genangan pada periode ulang 25, 50 dan 100 tahun dengan input nilai volume masing-masing yaitu sebesar 10 476 400 m3, 11 989 800 m3 dan 13 531 400 m3, yang juga dihitung berdasarkan volume kurva hidrograf sintetis debit banjir yang dihasilkan oleh Sungai Mangottong (Rahayu 2008). Data DEM yang telah dianalisis dalam proses simulasi yaitu telah diperoleh daerah yang tergenang, selanjutnya akan dikonversi kembali ke bentuk format raster Esri grid menggunakan ArcGIS untuk digunakan dalam analisis selanjutnya.

4) Analisis Risiko Bencana Banjir

a. Analisis Bahaya (Hazard)

(55)

Tabel 4 Kelas bahaya banjir berdasarkan kedalaman genangan (BNPB 2012) Kelas Bahaya Kedalaman (meter)

Rendah <0.76

Sedang 0,76 – 1,5

Tinggi >1,5

b. Analisis Kerentanan (Vulnerabilty)

Dalam penelitian ini, analisis kerentanan dikaji berdasarkan kriteria kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan eksposur lahan. Setiap kriteria dianalisis dengan prosedur sebagai berikut:

1. Kerentanan fisik dinilai berdasarkan jumlah bangunan yang berada di daerah genangan banjir, yang diperoleh dengan melakukan dijitasi citra satelit WorldView-2 dalam bentuk data titik (point). Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengelompokkan jumlah bangunan dengan metode Point Statistics di ArcGIS berdasarkan analisis ketetanggaan (neighborhood) menggunakan tipe circle dengan radius 100 meter, dan tipe statistik yang dipilih yaitu sum, dengan output berupa data raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks), Metode tersebut juga dikenal sebagai goodness of varians fit, digunakan untuk meminimalkan penyimpangan kuadrat dari rata-rata kelas (ESRI 2012). Jumlah bangunan di lokasi penelitian dikelaskan sebanyak 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1).

(56)

jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga merupakan jumlah rata-rata penduduk yang tinggal dalam 1 unit bangunan. Selanjutnya dilakukan analisis Point Density untuk menghitung kepadatan penduduk dengan menggunakan data titik bangunan pemukiman yang atributnya telah diisi dengan jumlah penduduk. Point Density di ArcGIS dilakukan berdasarkan analisis ketetanggaan (neighborhood) menggunakan tipe circle dengan radius 100 meter per unit luasan km2, dengan output berupa data raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks) sebanyak 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1).

3. Ekposur lahan dinilai berdasarkan nilai kerugian (ekonomi) setiap kelas penggunaan lahan di daerah genangan banjir. Nilai kerugian setiap kelas penggunaan lahan dihitung secara relatif berupa bobot, berdasarkan pembobotan yang dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dalam metode Analytialc Hierarchy Process (AHP) (Saaty 1988). Kelas penggunaan lahan yang dinilai adalah kelas Pemukiman/Perumahan (PP), Bisnis (B), Perkantoran (PK), Fasilitas Pendidikan (FP), Fasilitas Kesehatan (FK), Sawah (S), Kebun Campuran (KC), dan Tambak/Empang (T), sedangkan kelas Ruang Terbuka/Lapangan, Semak Belukar, Mangrove, dan Sungai diberi nilai 0, dengan asumsi tidak menghasilkan dampak kerugian bagi penduduk. Nilai bobot yang dihasilkan kemudian dinormalisasi untuk menghasilkan skor dengan kisaran nilai 0 – 1. Data eksposur lahan kemudian dikonversi kebentuk raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter.

(57)

kerentanan. Berdasarkan hal tersebut, untuk menganalisis kerentanan digunakan persamaan berikut:

... (9)

dimana V adalah kerentanan; Vpadalah kerentanan fisik berdasarkan nilai skornya;

Vsadalah kerentanan sosial berdasarkan nilai skornya; El adalah eksposur lahan

berdasarkan nilai skornya; dan w adalah bobot masing-masing kriteria.

Pembobotan (weighting) masing-masing kriteria kerentanan dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan dalam metode AHP (Saaty 1988). Perbandingan antara masing-masing kriteria diminta dari tim ahli (pakar) melalui kuisioner (Lampiran 4), yang memiliki tujuan untuk membuat penilaian komparatif (preferensi) tentang kepentingan relatif dari masing-masing pasangan kriteria dalam hal kriteria yang mereka ukur. Pemberian nilai oleh pakar berdasarkan skala nilai kepentingan yang disarankan Saaty (1988), seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Skala nilai kepentingan untuk perbandingan berpasangan (pairwise comparison)

Skala Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Sama penting Kedua elemen sama pentingnya

3 Sedikit lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen

yang lainnya.

5 Lebih penting Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya.

7 Sangat penting Satu elemen jelas sangat lebih penting daripada elemen lainnya dan memiliki dominasi nyata 9 Mutlak penting Satu elemen mutlak penting daripada elemen

lainnya dan dipilih secara tegas.

2,4,6,8 Nilai menengah Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2 pilihan.

1/n Kebalikan (reciprocals) Nilai untuk kebalikan perbandingan. Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka disbanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.

(58)

mengungkapkan rincian penting tentang pola dalam matriks data yang dihitung. Beberapa pengalaman dalam proses AHP, nilai-nilai dari matriks perbandingan berpasangan biasanya akan dianggap baik dan tidak ditetapkan secara sewenang-wenang. Namun, perasaan responden dan preferensi tetap tidak konsisten dan intransitif, yang kemudian dapat menyebabkan gangguan dalam perhitungan eigenvektor (Marinoni 2004). Agar hasil penilaian konsisten melalui kuisioner yang dibuat, responden diarahkan untuk terlebih dahulu mengurutkan tiap indikator berdasarkan urutan prioritas yang dianggap penting kemudian memberikan nilai kepentingan relatifnya (Panuju, Desember 2012, komunikasi pribadi), seperti disajikan pada Lampiran 2.

Untuk menilai konsistensi hasil penilaian kepentingan relatif secara berpasangan, digunakan rasio konsistensi/consistency ratio (CR). Saaty (1988) mendefinisikan CR sebagai rasio antara consistency index (CI) terhadap suatu average consistency index (RI) berdasarkan persamaan berikut:

... (10)

... (11)

dimana λmax adalah vektor prioritas dikalikan dengan masing-masing jumlah

kolom; dan n adalah jumlah kriteria. Nilai CR <0.1 disebut konsisten.

RI atau juga disebut indeks acak (random index), adalah dihitung oleh Saaty dan Sodenkamp (2008) sebagai konsistensi rata-rata matriks persegi pada berbagai n yang di-order yang diisi dengan masukan acak. Nilai RI pada berbagai tingkat order disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai RI pada berbagai tingkat order

Order 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

RI 0 0 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.40 1.45 1.49 1.52 1.54 1.56 1.58 1.59

(59)

dilakukan kembali perhitungan dengan metode pairwise comparison. Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan rata-rata geometrik yaitu sebagai berikut:

... (12)

dimana adalah rata-rata geometrik; n adalah jumlah responden; dan Xiadalah

penilaian oleh responden ke-i.

Berdasarkan konsep analisis spasial, alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA untuk menghasilkan peta kerentanan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan menggunakan klasifikasi Equal Interval (interval sama) menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1).

Gambar 10 Alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA.

c. Analisis Risiko (Risk)

Risiko banjir dapat dihitung berdasarkan persamaan umum:

(60)

dimana: R adalah risiko (risk); H adalah bahaya (hazard); dan V adalah kerentanan (vulnerability).

Menurut BNPB (2012) hasil indeks perkalian perlu dikoreksi dengan menunjukkan pangkat 1/n, untuk mendapatkan kembali dimensi asalnya. Berdasarkan koreksi tersebut digunakan persamaan:

... (14)

Berdasarkan persamaan tersebut, analisis risiko dikaji secara spasial yaitu dalam bentuk peta risiko, dengan menggabungkan komponen H (peta bahaya) dan V (peta kerentanan). Seperti halnya dalam analisis kerentanan, risiko bencana banjir dianalisis dengan menggunakan metode spasial MCDA. Nilai skor masing-masing komponen risiko diberi nilai pada kisaran 0 – 1, yaitu untuk kelas rendah diberi skor 0.33, kelas sedang diberi skor 0.67, dan kelas tinggi diberi skor 1. Nilai-nilai skor tersebut merupakan nilai normalisasi dari pemberian nilai pada skala 1 – 3. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin besar pengaruhnya terhadap risiko. Selanjutnya, untuk nilai bobot masing-masing komponen risiko diberikan nilai bobot yang sama yaitu 0.5.

Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA disajikan pada Gambar 11. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan menggunakan klasifikasi Equal Interval (interval sama) menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah, sedang, dan tinggi.

Gambar 11 Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA.

(61)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Topografi

Kondisi topografi berdasarkan analisis DEM SRTM (Gambar 12) menunjukkan bahwa daerah yang relatif datar (0 – 5%) mendominasi di lokasi penelitian, baik pada wilayah administratif Kabupaten Sinjai maupun Kabupaten Bone. Daerah datar yang berada di sekitar sungai merupakan dataran banjir yang terkena dampak pada kejadian banjir pada tahun 2006.

Gambar 12 Peta lereng lokasi penelitian

Curah Hujan

(62)

Gambar 13 Peta curah hujan lokasi penelitian berdasarkan polygon thiessen.

Gambar 14 Grafik curah hujan harian maksimum tiap stasiun di lokasi penelitian dalam kurun waktu tahun 1992 – 2006 (Rahayu 2008).

0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 350.0

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(63)

Hidrologi

Data hidrologi berupa debit puncak dari diperoleh hasil penelitian Rahayu (2008) berdasarkan perhitungan dengan metode hidrograf sintetik Snyder untuk Sungai Mangottong. Adapun nilai debit puncak untuk beberapa periode ulang yang dihitung pada outlet sub DAS Mangottong disajikan pada Tabel 7. Kurva hidrograf sintetik untuk debit banjir Sungai Mangottong dapat dilihat pada Gambar 15.

Tabel 7 Periode ulang debit puncak Sungai Mangottong (Rahayu 2008) Periode Ulang

(Tahun) Debit (m

3

/s) Probabilitas Kejadian

2 163.17 0.5

5 233.65 0.2

10 282.34 0.1

25 345.66 0.04

50 393.98 0.02

100 443.19 0.01

(64)

Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah pada lokasi penelitian, jenis tanah pada tingkat great group (sistem taksonomi USDA 1975) dijumpai sebanyak 4 kelas yang merupakan asosiasi dari beberapa jenis tanah. Jenis tanah yang mendominasi di lokasi penelitian (Gambar 16) yaitu asosiasi Ustropepts, Ustifluvents, dan Fluvaquents yang terdapat pada daerah dengan bentuklahan (landform) Alluvial. Secara umum, asosiasi jenis tanah tersebut dapat dikategorikan pada tingkat ordo yaitu termasuk Entisols.

Gambar 16 Peta jenis tanah lokasi penelitian.

Administrasi dan Demografi

(65)

Gambar 17 Peta administrasi di lokasi penelitian

Tabel 8 Jumlah penduduk dan rumah tangga di setiap desa/kelurahan di lokasi penelitian

Kecamatan Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk

Rumah Tangga

Sinjai Utara Kel. Biringere 8 721 1 873

Kel. Balangnipa 11 155 2 278

Kel. Lappa 10 723 2 062

Sinjai Timur Kel. Samataring 3 383 766

Desa Kampala 2 610 575

Desa Saukang 2 488 473

Sumber: BPS Kabupaten Sinjai (2011)

(66)
(67)

HASIL DAN PEMBAHASAN

DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian

Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary kriging, model spherical, menghasilkan DEM Awal (prediction map) dan error DEM Awal (prediction standart error map) yang masing-masing disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Data DEM Awal menghasilkan ketinggian berkisar antara 0 – 130.03 meter. Data error DEM Awal menunjukkan bahwa nilai kesalahan (error) ketinggian berkisar antara 0.25 – 2.43 meter. Besarnya nilai error hasil interpolasi terdapat pada daerah yang ketersediaan data titik tingginya kurang. Semakin banyak (kerapatan tinggi) titik tinggi pada daerah yang diinterpolasi maka akan semakin kecil error yang dihasilkan.

(68)

Gambar 19 Error DEM Awal (prediction standart error map).

Penggabungan DEM Awal (setelah dilakukan pengisian void pada daerah yang error-nya tinggi menggunakan DEM SRTM hasil normalisasi) dan DEM Sungai menghasilkan DEM Gabungan dengan nilai ketinggian berkisar antara -2.37 – 130.81 meter. Perolehan nilai pada DEM Gabungan (Gambar 20) dan perbedaannya terhadap nilai DEM Awal dipengaruhi oleh nilai pada DEM SRTM yang telah dinormalisasi dan DEM Sungai.

(69)

Berdasarkan 100 data titik yang digunakan untuk mengevaluasi data DEM Gabungan (Gambar 21), diperoleh nilai RMSE sebesar 2.62. Nilai RMSE tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh kesalahan nilai pada daerah perbukitan. Pada daerah dengan kerapatan titik yang tinggi yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Dasar Pendaftaran memiliki nilai rata-rata kesalahan yang rendah, sedangkan pada daerah dengan kerapatan titik yang rendah yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Rupabumi Indonesia memiliki nilai rata-rata kesalahan yang tinggi. Secara keseluruhan, nilai RMSE tersebut untuk DEM Gabungan dianggap cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mensimulasikan genangan banjir.

Gambar 21 Peta sebaran titik tinggi validasi data DEM

Penggunaan Lahan Wilayah Penelitian

(70)

Gambar 22 Peta penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong tahun 2011.

Luas penggunaan seluruhnya dalam penelitian ini mengikuti luas daerah penelitian yaitu 27.86 km2 atau 2 786 ha. Penggunaan lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang mendominasi diikuti oleh tambak/empang di lokasi penelitian. Penggunaan lahan pemukiman/perumahan di bagian utara Sungai Mongottong mengkan banyaknya penduduk yang bermukim dan banyaknya infrastrukstur yang terbangun. Penggunaan lahan bisnis, perkantoran, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan juga berpusat di bagian utara Sungai Mongottong yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai. Luas masing-masing kelas penggunaan lahan disajikan secara grafik pada Gambar 23.

(71)

Model Genangan Banjir

Verifikasi Model

Analisis model spasial genangan berdasarkan tahapan algoritma yang dibuat sangat dipengaruhi oleh penentuan nilai n (penambahan ketinggian genangan pada piksel awal sehingga dapat didistribusikan ke piksel selanjutnya), namun tidak mempengaruhi nilai volume (V) yang dihasilkan. Berdasarkan verifikasi model dengan menggunakan nilai n yang berbeda pada sebagian wilayah penelitian, menunjukkan ketinggian (kedalaman air) genangan dan luasan daerah yang tergenang yang berbeda seperti tersaji pada Gambar 24.

(a)

(b)

(c)

Gambar 24 Verifikasi model: (a) sebagian wilayah penelitian, (b) perbedaan ketinggiaan genangan, dan (c) perbedaan luasan daerah yang tergenang.

1 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800

(72)

Berdasarkan Gambar 24, semakin kecil nilai n maka sebaran kedalaman air semakin merata dan menghasilkan luasan daerah yang tergenang lebih luas. Sedangkan semakin besar nilai n maka sebaran kedalaman air lebih memuncak (tinggi) pada daerah bagian hulu dibandingkan pada daerah bagian hilir dan mempengaruhi luasan daerah yang tergenang (luasannya lebih rendah dibandingkan nilai n yang semakin kecil). Nilai n = 0.1 lebih menunjukkan pola alami kejadian banjir dimana sebaran dan distribusi kedalaman air terlihat merata. Selain dari perbedaan sebaran kedalaman air dan luasan daerah yang tergenang, perbedaan yang paling penting dalam menjalankan simulasi model ini adalah waktu yang diperlukan hingga simulasi model selesai dijalankan.

Secara komputasi (processing time) nilai n = 0.1 sangat memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan tahapan simulasi dalam proses verifikasi model. Artinya semakin kecil nilai n maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan simulasi model, terutama pada daerah yang luas. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini dipilih penggunaan nilai n sebesar 0.5 untuk mensimulasikan genangan pada kejadian banjir pada tahun 2006, dengan mempertimbangkan peralatan komputasi yang digunakan yaitu laptop.

Genangan Kejadian Banjir tahun 2006

Hasil simulasi model untuk kejadian banjir tahun 2006 menunjukkan kedalaman air berkisar antara 0 – 6.25 m (Gambar 25). Kedalaman air yang mencapai 6.25 m merupakan ketinggian genangan pada wilayah sungai (termasuk kedalaman sungai). Semakin jauh jarak dari sungai, maka kedalaman air semakin rendah, yang dapat dipengaruhi oleh variasi ketinggian topografi wilayah.

Validasi Model

(73)

Gambar 25 Peta genangan banjir tahun 2006.

Gambar 26 Peta titik validasi genangan hasil observasi lapangan.

Gambar

Gambar 1  Lokasi studi.
Gambar 7  Tipe ketetanggaan piksel: (a) 4 tetangga, (b) 8 tetangga.
Gambar 8  Algoritma model genangan banjir.
Gambar 10  Alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seorang wanita yang mengalami Seorang wanita yang mengalami menopause alamiah sama sekali tidak dapat mengetahui apakah saat menstruasi tertentu benar-. benar merupakan

diberikan kepada siswa, dan adanya keaktifan siswa secara langsung terhadap pembelajaran. Hal itu tercermin pada sikap positif siswa terhadap kegiaan pembelajaran

Tari Kretek merupakan salah satu tarian khas yang lahir dari Kabupaten Kudus. Tari Kretek diciptakan berdasarkan pada proses pembuatan rokok kretek. Kegiatan produksi

METODE SET SYSTEM DAN METODE SUPER SET SYSTEM KAITANNYA DENGAN PENINGKATAN DAYA TAHAN OTOT: studi eksperimen pada atlet dayung Kabupaten Purwakarta.. Universitas Pendidikan Indonesia

Puji Syukur Kepada Allah Bapa di Surga atas kasih dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “Upaya

Bab ini akan berisi mengenai kereta api sebagai salah satu sarana pelayanan publik dalam bidang transportasi, berita seputar kecelakaan kereta api yang terjadi di sepanjang

Nilai rata-rata nilai KOT yaitu 3,71% menunjukkan nilai yang rendah, hal ini dapat disebabkan karena sedimen yang mendomasi perairan laut Belitung adalah sedimen pasir

trebušastega ostenja in nizkega vratu z ravnim robom, ki je na zunanji strani profiliran; prehod ram v vrat je klekast; ostenje in vrat okrašena z navpičnimi in poševnimi vrezi;