• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian

Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary kriging, model spherical, menghasilkan DEM Awal (prediction map) dan error DEM Awal (prediction standart error map) yang masing-masing disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Data DEM Awal menghasilkan ketinggian berkisar antara 0 – 130.03 meter. Data error DEM Awal menunjukkan bahwa nilai kesalahan (error) ketinggian berkisar antara 0.25 – 2.43 meter. Besarnya nilai error hasil interpolasi terdapat pada daerah yang ketersediaan data titik tingginya kurang. Semakin banyak (kerapatan tinggi) titik tinggi pada daerah yang diinterpolasi maka akan semakin kecil error yang dihasilkan.

Gambar 19 Error DEM Awal (prediction standart error map).

Penggabungan DEM Awal (setelah dilakukan pengisian void pada daerah yang error-nya tinggi menggunakan DEM SRTM hasil normalisasi) dan DEM Sungai menghasilkan DEM Gabungan dengan nilai ketinggian berkisar antara -2.37 – 130.81 meter. Perolehan nilai pada DEM Gabungan (Gambar 20) dan perbedaannya terhadap nilai DEM Awal dipengaruhi oleh nilai pada DEM SRTM yang telah dinormalisasi dan DEM Sungai.

Berdasarkan 100 data titik yang digunakan untuk mengevaluasi data DEM Gabungan (Gambar 21), diperoleh nilai RMSE sebesar 2.62. Nilai RMSE tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh kesalahan nilai pada daerah perbukitan. Pada daerah dengan kerapatan titik yang tinggi yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Dasar Pendaftaran memiliki nilai rata-rata kesalahan yang rendah, sedangkan pada daerah dengan kerapatan titik yang rendah yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Rupabumi Indonesia memiliki nilai rata-rata kesalahan yang tinggi. Secara keseluruhan, nilai RMSE tersebut untuk DEM Gabungan dianggap cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mensimulasikan genangan banjir.

Gambar 21 Peta sebaran titik tinggi validasi data DEM

Penggunaan Lahan Wilayah Penelitian

Hasil interpretasi citra satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011 memberikan gambaran distribusi penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong. Kelas penggunaan lahan terdiri dari Pemukiman/Perumahan, Bisnis, Perkantoran, Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Kesehatan, Ruang Terbuka/Lapangan, Sawah, Kebun Campuran, Semak Belukar, Tambak/Empang, Mangrove, dan Sungai. Sebaran penggunaan lahan di lokasi penelitian pada tahun 2011 disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Peta penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong tahun 2011.

Luas penggunaan seluruhnya dalam penelitian ini mengikuti luas daerah penelitian yaitu 27.86 km2 atau 2 786 ha. Penggunaan lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang mendominasi diikuti oleh tambak/empang di lokasi penelitian. Penggunaan lahan pemukiman/perumahan di bagian utara Sungai Mongottong mengkan banyaknya penduduk yang bermukim dan banyaknya infrastrukstur yang terbangun. Penggunaan lahan bisnis, perkantoran, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan juga berpusat di bagian utara Sungai Mongottong yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai. Luas masing-masing kelas penggunaan lahan disajikan secara grafik pada Gambar 23.

Model Genangan Banjir Verifikasi Model

Analisis model spasial genangan berdasarkan tahapan algoritma yang dibuat sangat dipengaruhi oleh penentuan nilai n (penambahan ketinggian genangan pada piksel awal sehingga dapat didistribusikan ke piksel selanjutnya), namun tidak mempengaruhi nilai volume (V) yang dihasilkan. Berdasarkan verifikasi model dengan menggunakan nilai n yang berbeda pada sebagian wilayah penelitian, menunjukkan ketinggian (kedalaman air) genangan dan luasan daerah yang tergenang yang berbeda seperti tersaji pada Gambar 24.

(a)

(b)

(c)

Gambar 24 Verifikasi model: (a) sebagian wilayah penelitian, (b) perbedaan ketinggiaan genangan, dan (c) perbedaan luasan daerah yang tergenang. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 1 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 E le v a si (m dp l) Panjang Sungai (m) Dasar Sungai n = 1 n = 0.5 n = 0.1 n= 0.1 n= 0.5 n= 1

Berdasarkan Gambar 24, semakin kecil nilai n maka sebaran kedalaman air semakin merata dan menghasilkan luasan daerah yang tergenang lebih luas. Sedangkan semakin besar nilai n maka sebaran kedalaman air lebih memuncak (tinggi) pada daerah bagian hulu dibandingkan pada daerah bagian hilir dan mempengaruhi luasan daerah yang tergenang (luasannya lebih rendah dibandingkan nilai n yang semakin kecil). Nilai n = 0.1 lebih menunjukkan pola alami kejadian banjir dimana sebaran dan distribusi kedalaman air terlihat merata. Selain dari perbedaan sebaran kedalaman air dan luasan daerah yang tergenang, perbedaan yang paling penting dalam menjalankan simulasi model ini adalah waktu yang diperlukan hingga simulasi model selesai dijalankan.

Secara komputasi (processing time) nilai n = 0.1 sangat memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan tahapan simulasi dalam proses verifikasi model. Artinya semakin kecil nilai n maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan simulasi model, terutama pada daerah yang luas. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini dipilih penggunaan nilai n sebesar 0.5 untuk mensimulasikan genangan pada kejadian banjir pada tahun 2006, dengan mempertimbangkan peralatan komputasi yang digunakan yaitu laptop.

Genangan Kejadian Banjir tahun 2006

Hasil simulasi model untuk kejadian banjir tahun 2006 menunjukkan kedalaman air berkisar antara 0 – 6.25 m (Gambar 25). Kedalaman air yang mencapai 6.25 m merupakan ketinggian genangan pada wilayah sungai (termasuk kedalaman sungai). Semakin jauh jarak dari sungai, maka kedalaman air semakin rendah, yang dapat dipengaruhi oleh variasi ketinggian topografi wilayah.

Validasi Model

Validasi ketinggian genangan (kedalaman air) hasil simulasi model untuk kejadian banjir 2006 dilakukan dengan membandingkannya terhadap ketinggian genangan hasil observasi di lapangan sebanyak 25 titik (Gambar 26). Hasil validasi menunjukkan nilai R2 sebesar 0.72 yang berarti cukup akurat dalam menggambarkan kondisi genangan (Gambar 27).

Gambar 25 Peta genangan banjir tahun 2006.

Gambar 26 Peta titik validasi genangan hasil observasi lapangan.

Secara umum, kedalaman air hasil model menghasilkan estimasi kedalaman yang rendah (under estimate) dibandingkan terhadap kedalaman air hasil observasi (lihat Lampiran 3). Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi topografi di lokasi penelitian berbeda dengan kondisi topografi yang digambarkan oleh data DEM. Selain itu, nilai kedalaman hasil observasi di lapangan diduga memiliki bias akibat ketidaktepatan ingatan dan pengamatan masyarakat secara

relatif dalam memberikan informasi (rekonstruksi kejadian) terkait kedalaman banjir. Ingatan atau pengamatan secara langsung oleh masyarakat pada kejadian banjir tahun 2006 terkait kedalaman air, khususnya pada daerah hulu, kemungkinan adalah genangan maksimum pada kondisi sesaat (durasi waktu genangan) sebelum luapan air sungai mengalir ke daerah hilir. Data luasan daerah yang tergenang secara aktual (real) di lapangan tidak tersedia. Sedangkan luas daerah yang tergenang berdasarkan hasil simulasi model yaitu 903.92 ha atau 32.43% dari luas daerah penelitian.

Gambar 27 Hasil validasi model genangan banjir tahun 2006.

Genangan Periode Ulang 25, 50 dan 100 Tahun

Hasil simulasi model berdasarkan nilai volume pada periode ulang 25, 50 dan 100 tahun diperoleh kedalaman air maksimum masing-masing yaitu 6.24, 6.31 m dan 6.34 m (Gambar 28, 29, dan 30). Perbandingan ketinggian genangan antara simulasi model periode ulang 25 tahun terhadap model periode ulang 50 tahun menghasilkan rata-rata ketinggian sebesar 0.09 m, sedangkan perbandingan antara model periode ulang 50 tahun terhadap model periode ulang 100 tahun menghasilkan rata-rata ketinggian sebesar 0.08 m (Gambar 31).

y = 1.0124x + 0.5572 R² = 0.7201 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 G e n a n g a n O b se rv a si (m) Genangan Model (m)

Gambar 28 Peta genangan banjir periode ulang 25 tahun.

Gambar 30 Peta genangan periode ulang 100 tahun.

Gambar 31 Perbandingan ketinggian genangan antara hasil simulasi model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun.

Daerah yang tergenang berdasarkan hasil simulasi model (Gambar 32) menghasilkan luasan yang berbeda antara model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. Luas daerah yang tergenang untuk model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun masing-masing yaitu 903.36 ha, 934.36 ha, dan 961.20 ha.

-4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2000 4000 6000 8000 10000 E le v a si ( m d p l) Panjang Sungai (m) Dasar Sungai Q100 Q50 Q2006

Gambar 32 Peta daerah genangan berdasarkan hasil simulasi model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun.

Risiko Bencana Banjir Bahaya Banjir

Analisis bahaya banjir berdasarkan kelas kedalaman genangan untuk hasil simulasi model periode ulang 25 tahun menghasilkan peta bahaya banjir di lokasi penelitian (Gambar 34). Kelas bahaya rendah merupakan kelas bahaya yang mendominasi di lokasi penelitian dengan luas sebesar 413 ha (46% dari total luas daerah bahaya), sedangkan kelas bahaya sedang dan tinggi masing-masing dengan luas sebesar 226.16 ha (25%) dan 25.12 ha (29%). Persentase luas masing-masing kelas bahaya disajikan pada 33.

Gambar 33 Persentase luas kelas bahaya banjir. Rendah 46% Sedang 25% Tinggi 29%

Gambar 34 Peta bahaya banjir.

Tingkat bahaya banjir berdasarkan kelas bahaya menunjukkan tingkat ancaman pada suatu wilayah dimana terdapat aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan dampak kerugian. Secara administrasi, kelas bahaya tinggi mendominasi di Kecamatan Sinjai Timur yaitu pada Kelurahan Samataring (87.44 ha atau 9.77% dari total luas daerah bahaya) dan Desa Saukang (54.20 ha atau 6.05%). Di Kecamatan Sinjai Utara, kelas bahaya rendah dan sedang mendominasi di wilayah tersebut, yaitu di Kelurahan Lappa dengan luas masing- masing kelas seluas 247.88 ha (27.69%) dan 100.72 ha (11.25%).

Gambar 35 Luas setiap kelas bahaya berdasarkan administrasi desa/kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur.

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 Kel. Biringere Kel. Balangnipa

Kel. Lappa Kel.

Samataring Desa Kampala

Desa Saukang

Kec. Sinjai Utara Kec. Sinjai Timur

Lua

s

(ha

)

Kerentanan Banjir

Analisis setiap kriteria kerentanan yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan ekspour lahan diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Kerentanan fisik menghasilkan peta jumlah bangunan yang dianalisis berdasarkan jumlah titik bangunan (Gambar 36) yang berada di daerah yang tergenang (daerah bahaya), dengan jumlah titik bangunan sebanyak 2474 titik. Hasil yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kelas yang disajikan pada Gambar 37.

b. Kerentanan sosial menghasilkan peta kepadatan penduduk yang dianalisis berdasarkan jumlah penduduk per km2 yang berada di daerah yang tergenang (daerah bahaya), dengan jumlah titik bangunan pemukiman sebanyak 2323 titik. Jumlah rata-rata penduduk per unit bangunan berdasarkan administrasi wilayah desa/kelurahan disajikan pada Tabel 10. Hasil yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kelas yang disajikan pada Gambar 38.

c. Eksposur lahan menghasilkan peta eksposur lahan dengan nilai berdasarkan kerugian setiap kelas penggunaan lahan akibat terkena dampak (terpapar) oleh bahaya banjir (Gambar 39). Hasil penilaian oleh responden dengan metode pairwise comparison (AHP) untuk eksposur lahan yang telah dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik setiap bobot dari masing-masing responden disajikan pada Tabel 11.

Tabel 9 Jumlah rata-rata penduduk per unit bangunan berdasarkan administrasi wilayah desa/kelurahan di daerah bahaya

Kecamatan Desa/Kelurahan Rata-rata jumlah penduduk per unit bangunan pemukiman

Sinjai Utara Kel. Biringere 5

Kel. Balangnipa 5

Kel. Lappa 5

Sinjai Timur Kel. Samataring 4

Desa Kampala 4

Gambar 36 Peta sebaran bangunan.

Gambar 38 Peta kepadatan penduduk di daerah bahaya.

Tabel 10 Matriks penilaian komposit untuk bobot kriteria eksposur lahan, perhitungan nilai CR (Consistency Ratio), dan normalisasi skor.

Eksposur Lahan PP B PK FP FK S KC T Bobot CR Normalisasi skor PP 1.000 1.284 1.240 1.263 1.336 1.583 2.390 2.897 0.181 0.0 1.00 B 0.779 1.000 0.966 0.984 1.040 1.233 1.861 2.256 0.141 0.78 PK 0.807 1.036 1.000 1.019 1.077 1.277 1.927 2.337 0.146 0.81 FP 0.792 1.016 0.982 1.000 1.057 1.253 1.892 2.294 0.143 0.79 FK 0.749 0.961 0.928 0.946 1.000 1.185 1.789 2.169 0.136 0.75 S 0.632 0.811 0.783 0.798 0.844 1.000 1.510 1.830 0.114 0.63 KC 0.418 0.537 0.519 0.529 0.559 0.662 1.000 1.212 0.076 0.42 T 0.345 0.443 0.428 0.436 0.461 0.546 0.825 1.000 0.063 0.35

Keterangan: PP (Pemukiman/Perumahan), B (Bisnis), PK (Perkantoran), FP (Fasilitas Pendidikan), FK (Fasilitas Kesehatan), S (Sawah), KC (Kebun Campuran), dan T (Tambak/Empang).

Berdasarkan hasil dari Tabel 11, nilai eksposur dari kelas penggunaan lahan menunjukkan bahwa pemukiman/perumahan merupakan kelas penggunaan lahan yang memiliki nilai kerugian tertinggi ketika terkena (terpapar) dampak banjir. Pemukiman/perumahan yang terkena dampak banjir dapat menimbulkan kerugian material maupun korban (luka-luka atau hilangnya nyawa) karena merupakan tempat tinggal (rumah) masyarakat. Hilangnya kenyamanan di dalam rumah juga dapat muncul akibat genangan banjir.

Gambar 39 Peta eksposur lahan di daerah bahaya.

Pembobotan setiap kriteria kerentanan dengan metode pairwise comparison oleh beberapa pakar (responden) menghasilkan bobot untuk setiap kriteria kerentanan (Tabel 12) yang telah dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik setiap bobot dari masing-masing responden. Nilai CR yang diperoleh yaitu 0.0 (konsisten).

Tabel 11 Matriks penilaian komposit untuk bobot kriteria kerentanan dan perhitungan nilai CR (Consistency Ratio)

Kriteria Kerentanan Kerentanan Fisik Kerentanan Sosial Eksposur lahan Bobot CR Kerentanan Fisik 1.00 0.97 1.12 0.34 0.00 Kerentanan Sosial 1.03 1.00 1.15 0.35 Eksposur lahan 0.90 0.87 1.00 0.31

Hasil pembobotan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa kerentanan sosial merupakan kriteria paling penting (bobot tertinggi) dalam analisis kerentanan. Semakin banyak penduduk di daerah yang memiliki potensi bahaya, maka kerentanan akan semakin tinggi. Bobot untuk setiap kriteria kerentanan digunakan untuk analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA yaitu menggabungkan setiap kriteria dengan proses overlay. Hasil yang diperoleh menunjukkan kelas kerentanan berdasarkan daerah bahaya, seperti disajikan pada Gambar 40.

Gambar 40 Peta kerentanan di daerah bahaya.

Berdasarkan Gambar 40, daerah yang merupakan kelas kerentanan tinggi mendominasi di bagian utara Sungai Mangottong yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai. Luas kelas kerentanan tinggi yaitu 133.16 ha (16% dari luas daerah bahaya). Secara keseluruhan, kelas kerentanan rendah paling mendominasi diantara kelas lainnya, dengan luas yaitu 541.80 ha (60% dari luas daerah bahaya), sedangkan luas kelas kerentanan sedang yaitu 121.80 ha (15%). Tingginya kerentanan pada daerah bahaya dapat dipengaruhi oleh jumlah bangunan yang tinggi, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dan banyaknya penggunaan lahan yang secara ekonomi mengalami kerugian akibat terpapar oleh bahaya banjir. Adapun persentase luas masing-masing kelas kerentanan disajikan pada Gambar 41. Daerah yang tidak rentan merupakan daerah yang tidak terdapat bangunan, penduduk, maupun penggunaan lahan yang bernilai ekonomi di dalam daerah bahaya.

Gambar 41 Persentase luas kelas kerentanan.

Secara administrasi, Kecamatan Sinjai Utara merupakan wilayah rentan yang didominasi oleh semua kelas kerentanan dengan luasan tertinggi (Gambar 42). Kelas kerentanan rendah sebagian besar terdapat di Kelurahan Lappa dengan luas 307 ha (34.24% dari total luas daerah bahaya). Kelas kerentanan sedang dan tinggi mendominasi di Kelurahan Biringere dengan luas masing-masing yaitu 37.12 ha (4.13%) dan 61.44 ha (6.84%). Luasnya daerah rentan untuk semua kelas kerentanan di Kecamatan Sinjai Utara dipengaruhi oleh posisi administrasi wilayah yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai, dimana sebagai pusat pemukiman dan pemerintahan, serta kegiatan perekonomian.

Gambar 42 Luas setiap kelas kerentanan berdasarkan administrasi desa/kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur.

Rendah 60% Sedang 14% Tinggi 15% Tidak rentan 11% 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

Kel. Biringere Kel. Balangnipa Kel. Lappa Kel. Samataring Desa Kampala Desa Saukang

Kec. Sinjai Utara Kec. Sinjai Timur

L

ua

s

(ha

)

Risiko Banjir

Analisis risiko bencana banjir dengan penggabungan peta bahaya dan peta dengan metode spasial MCDA menghasilkan peta risiko bencana banjir di lokasi penelitian (Gambar 43). Dengan mendefinisikan nilai secara kualitatif (rendah, sedang, tinggi), memberikan gambaran secara jelas bagaimana bahaya dan berbagai komponen kerentanan memiliki peran dalam kejadian banjir.

Gambar 43

Peta risiko bencana banjir.

Sebaran daerah risiko didominasi oleh kelas rendah dan sedang (lihat Gambar 45). Kelas risiko sedang berarti memiliki komponen bahaya yang rendah dan komponen kerentanan tinggi, memiliki komponen bahaya yang sedang dan komponen kerentanan yang sedang, atau memiliki komponen bahaya yang tinggi dan komponen kerentanan yang rendah. Hal tersebut dapat diidentifikasi dengan menggunakan matriks antara kelas bahaya dan kelas kerentanan, seperti yang disajikan pada Gambar 44. Penilaian secara kualitatif kelas risiko berdasarkan matriks tersebut dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi nilai/skor kelas bahaya dan kelas kerentanan yang berada dalam rentang (interval) nilai yang sama.

Gambar 44 Matriks penentuan kelas risiko bencana.

Kelas risiko sedang mendominasi dengan persentase luas 48% dari luas total daerah yang berisiko, kemudian diikuti oleh kelas risiko rendah dengan persentase luasan 40%. Kelas risiko tinggi memiliki luasan yang terendah yaitu 12%.

Gambar 45 Persentase luas kelas risiko.

Berdasarkan wilayah administrasi yang berada di dalam daerah berisiko, di Kecamatan Sinjai Utara memiliki luasan yang lebih tinggi untuk semua kelas risiko (Gambar 46). Kelurahan Biringere memiliki luasan yang lebih tinggi untuk kelas risiko tinggi dibandingkan desa/kelurahan yang lainnya, yaitu 51.04 ha (5.7% dari total luas daerah bahaya). Kelas risiko sedang dan rendah sebagian besar berada di Kelurahan Lappa dengan luas masing-masing sebesar 152.84 ha (17.07%) dan 229.12 ha (25.59%).

Kelas Risiko Kelas Kerentanan

Rendah Sedang Tinggi

K e la s Ba h a y

a Rendah Rendah Rendah Sedang

Sedang Rendah Sedang Tinggi

Tinggi Sedang Tinggi Tinggi

Rendah 40% Sedang 48% Tinggi 12%

Gambar 46 Luas setiap kelas risiko berdasarkan administrasi desa/kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur.

Kecamatan Sinjai Utara merupakan ibukota Kabupaten Sinjai, dimana daerah bahaya dan rentan sebagian besar mendominasi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, kegiatan manajemen bencana dan langkah-langkah mitigasi bencana banjir harus ditingkatkan. Mitigasi struktural berupa pembangunan tanggul dan bangunan pengendali banjir di Sungai Mangottong perlu dilakukan, sedangkan mitigasi non-struktural berupa perencanaan dan penataan ruang perlu disesuaikan terhadap risiko bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dan menanggulangi bencana banjir di daerah yang berisiko juga perlu ditingkatkan agar kerugian, khususnya korban jiwa dapat diminimalisir.

Pada daerah dengan kelas risiko rendah, khususnya berada dalam kelas bahaya tinggi namun memiliki kelas kerentanan yang rendah membutuhkan pertimbangan dalam pengembangan wilayah secara fisik. Daerah dengan kondisi tersebut akan meningkatkan risiko bencana kedepannya apabila dilakukan pengembangan kawasan khususnya pemukiman.

Dokumen terkait