• Tidak ada hasil yang ditemukan

Banjir

Banjir didefinisikan sebagai kenaikan drastis dari aliran sungai, kolam, danau, dan lainnya dimana kelebihan aliran tersebut menggenangi keluar dari tubuh air dan menyebabkan kerusakan dari segi sosial ekonomi dari sebuah populasi (Smith &Ward1998).

Apabila suatu peristiwa terendamnya air di suatu wilayah yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis maka banjir tersebut dapat disebut Bencana Banjir (Reed 1995).

Banjir dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa penyebab banjir (Kodoatie & Sugiyanto 2002)

No. Penyebab banjir Alam Manusia

1. Perubahan land-use V

2. Pembuangan sampah V

3. Erosi dan sedimentasi VV V

4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase V

5. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat V

6. Curah Hujan V

7. Fisiografi/ geofisik sungai VV V

8. Kapasitas sungai/ drainase yang tidak memadai V VV

9. Air pasang (rob) V

10. Penurunan tanah V V

11. Drainase lahan V V

12. Bendung dan bangunan air V

13. Kerusakan bangunan pengendali banjir V

Keterangan: tanda V menunjukkan penyebab banjir, VV menunjukkan dominan penyebab.

Secara umum penyebab terjadinya banjir di berbagai belahan dunia adalah (Smith &Ward1998):

1. Keadaan iklim; seperti masa turun hujan yang terlalu lama, dan mengakibatkan banjir sungai. Banjir di daerah muara pantai umumnya disebabkan karena kombinasi dari kenaikan pasang surut, tinggi muka air

laut dan besarnya ombak yang di asosiasikan dengan terjadinya gelombang badai yang hebat.

2. Perubahan tata guna lahan dan kenaikan populasi; perubahan tataguna lahan dari pedesaan menjadi perkotaan sangat berpotensi menyebabkan banjir. Banyak lokasi yang menjadi subjek dari banjir terutama daerah muara. Perencanaan penaggulangan banjir merupakan usaha untuk menanggulangi banjir pada lokasi-lokasi industri, komersial dan pemukiman. Proses urbanisasi, kepadatan bangunan, kepadatan populasi memiliki efek pada kemampuan kapasitas drainase suatu daerah dan kemampuan tanah menyerap air, dan akhirnya menyebabkan naiknya volume limpasan permukaan. Meskipun luas area perkotaan lebih kecil dari 3% dari permukaan bumi, tapi sebaliknya efek dari urbanisasi pada proses terjadinya banjir sangat besar.

3. Land subsidence; adalah proses penurunan level tanah dari elevasi sebelumnya. Ketika gelombang pasang datang dari laut melebihi aliran permukaan sungai, area land subsidence akan tergenangi.

Pemodelan Banjir Pengertian Model dan Sistem

Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model menurut Marimin (2005) adalah simplifikasi dari sistem. Model spasial adalah model yang berbasis data spasial, baik masukan (input), analisis, maupun keluaran (output) datanya dari model spasial tersebut (Munibah 2008).

Menurut Manetch dan Park (1977) sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan menurut Marimin (2005) sistem adalah kumpulan berbagai komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir dengan baik serta mempunyai tujuan yang sama.

Klasifikasi model terdiri dari model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus, matematika, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk , diagram

atau matriks, yang menyatakan hubungan antar unsur dan tidak digunakan rumus- rumus, matematika, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil (Muhammadi et al. 2001).

Menurut Jorgensen (1988) kegunaan model sebagai alat bantu dalam ekologi dapat dikelompokkan ke dalam empat kegunaan :

1. Model merupakan instrumen yang berguna untuk memahami sistem yang kompleks.

2. Model dapat dipakai untuk menggambarkan karakteristik sistem secara sederhana.

3. Model dapat dipakai untuk menyusun prioritas-prioritas penelitian.

4. Model dapat dipakai untuk menguji hipotesis ilmiah dengan jalan mensimulasikan reaksi ekosistem dan dibandingkan dengan hasil observasi.

Model simulasi lebih berguna dan dapat diandalkan bila memenuhi ketiga. syarat berikut :

1. Model merupakan sistem yang rill, harus realistis dan inovatif. 2. Model harus sederhana agar mudah dikelola.

3. Model merupakan distorsi dari sistem, karena itu dalam aplikasi harus seksama dan waspada.

Ada 10 tahap dalam pemodelan (Dahuri 1995; Hall & Day 1977; Jorgensen 1988) meliputi :

1. Pendefinisian masalah : menentukan masalah yang akan dicari solusinya sekaligus menetapkan tujuan yang akan dicapai.

2. Pembatasan masalah berdasarkan waktu, ruang dan komponen dari model. 3. Penyusunan model konseptual/verbal : menjelaskan variabel keadaan

(state variables) dan variabel luar (exogenous variables) yang penting serta kaitan keduanya secara konseptual.

4. Penyusunan model diagram.

5. Penyusunan model persamaan matematika untuk setiap fungsi transfer melalui tiga tahap. Pertama, menentukan nilai awal (initial value) untuk setiap variabel keadaan berdasarkan hasil riset atau informasi lain. Kedua,

menentukan variabel luar yang dapat mengubah nilai variabel keadaan. Ketiga, merumuskan setiap hubungan fungsional antar variabel menjadi persamaan matematika serta penentuan nilai koefisien dan konstanta. 6. Penerjemahan persamaan matematika kedalam bahasa komputer.

7. Melakukan simulasi komputer dengan cara menentukan nilai awal kemudian membatasi skenario simulasi lalu dieksperimentasikan sesuai dengan batas waktu yang akan diestimasi.

8. Verifikasi, untuk melihat logika internal model, yaitu keluaran model hasil simulasi sesuai dengan logika ilmiah.

9. Analisis kepekaan (sensitivity analysis), dilakukan dengan merubah nilai setiap peubah/parameter ke atas dan ke bawah, sehingga dapat dilihat respon model terhadap perubahan tersebut. Bila respon model kecil maka dikatakan bahwa model tidak sensitif terhadap peubah dan parameter tersebut, sebaiknya bila respon model besar terhadap perubahan dikatakan bahwa model peka terhadap peubah/parameter tersebut.

10.Validasi model, membandingkan keluaran model dengan hasil observasi untuk melihat kelayakan model.

Model Spasial Genangan Banjir

Simulasi dan pemodelan untuk estimasi banjir adalah bidang yang berkembang pesat dalam hidrologi (Boughton & Droop 2003). Simulasi banjir dan hasil model adalah cara yang baik untuk memberikan informasi yang relevan tentang bagaimana banjir akan berperilaku pada lokasi (spasial) di mana orang beraktifitas dan bagaimana banjir akan mempengaruhi mereka. Menurut Plate (2002) untuk prosedur perencanaan dan evakuasi, permintaan untuk informasi peta digital banjir hasil prediksi dan risiko banjir telah meningkat. Untuk menghasilkan peta-peta tersebut, SIG, remote sensing (penginderaan jauh) dan pemodelan banjir sangat berguna.

SIG didefinisikan sebagai sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta output (Aronoff 1989). SIG dapat digunakan untuk membangun

model spasial, salah satunya adalah model untuk analisis banjir dengan menggunakan pemodelan numerik (Meijerink et al. 1994).

SIG berbasis algoritma dengan menggunakan data DEM umumnya mensimulasikan banjir dalam dua kasus yaitu berdasarkan volume banjir dan berdasarkan ketinggian banjir (Jing 2010; Zhou 2011). Kasus yang pertama cocok untuk genangan yang meluap melewati badan sungai atau gagalnya suatu tanggul/dam, dengan memperhitungkan tingkat air banjir berdasarkan pada akumulasi massa air (volume banjir yaitu sama dengan volume genangan), dan kasus yang kedua digunakan untuk dataran banjir.

Liu R dan Liu N (2001) dan Wang et al. (2010) menambahkan bahwa dua kasus tersebut dapat disebut sebagai "source flood" untuk kasus berdasarkan volume banjir dan "non-source flood" untuk kasus berdasarkan ketinggian banjir. "Non-source flood" adalah metode sederhana untuk mengekstrak daerah genangan dengan mencari sel (nilai piksel) pada daerah yang berada di bawah ketinggian banjir satu per satu, sedangkan "source flood" memiliki algoritma yang lebih kompleks yang mempertimbangkan konektivitas daerah, dimana sel-sel (piksel) genangan harus memenuhi kedua kondisi, yaitu daerah yang memiliki ketinggian di bawah ketinggian banjir dan memiliki koneksi ke titik sumber.

Yulianto et al. (2009) membuat model simulasi luapan banjir Sungai Ciliwung di wilayah Kampung Melayu – Bukit Duri, Jakarta, dengan melakukan pengembangan aplikasi neighbourhood operation berupa perhitungan raster piksel yang diterapkan pada nilai model ketinggian suatu tempat dengan model iterasi untuk menentukan daerah genangan berdasarkan data DEM dari peta topografi. Hasil penelitian menggambarkan kondisi di lapangan ketika luapan banjir terjadi dan dampaknya terhadap penggunaan lahan di sekitar daerah penelitian. Wang et al. (2010) memprediksi daerah genangan banjir di Sungai Nanpanjiang dan Lujiang, Cina, dengan menggunakan suatu algoritma dan data DEM. Penelitian tersebut menghasilkan pemetaan daerah genang an banjir berdasarkan ketinggian genangan banjir yang pernah terjadi dan berdasarkan volume banjir yang telah diketahui. Berdasarkan isu dan pendekatan yang sama, Jing (2010) melakukan pemodelan daerah genangan banjir menggunakan SIG di Kota Wenshan, Provinsi Yunnan, Cina, akibat

meluapnya Sungai Zhujiang. Berdasarkan data DEM dan menggunakan algoritma berdasarkan ketinggian genangan dan volume debit banjir yang telah diketahui, hasil yang diperoleh adalah peta daerah genangan banjir untuk periode ulang 20 tahun.

Risiko Bencana

Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan, kerugian dan dampak psikologis (BAKORNAS PB 2007).

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter 1992). Lebih lanjut Carter menambahkan bahwa untuk menentukan ancaman bencana, maka diperlukan penilaian risiko (risk) bencana dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan menduga tingkat kerentanan (vulnerability). Saat ini, penelitian dan praktek penanggulangan bencana makin fokus pada pengurangan kerentanan sosial dari masyarakat (Wisner 2006; Birkmann 2006; Pelling 2003; Bankoff et al. 2004; Wisner et al. 2004; UNISDR 2004). Pemahaman ini datang dari kesadaran bahwa kerentanan terhadap bencana sesungguhnya dihasilkan dari proses-proses sosial, ekonomi dan politik yang memodifikasi cara bagaimana masyarakat mereduksi risiko, berhadapan (coping) dan respon terhadap ancaman (hazards) secara beragam (Wisner et al. 2004).

Konsep risiko dalam berbagai literatur tentang bencana berevolusi sepanjang waktu dengan dilengkapi hal baru, dan menyempurnakan elemen yang ada. Aspek seperti eksposur/keterpaparan (exposure) terhadap bahaya, jangka waktu periode analisis, pencantuman aspek sosial-budaya dan kerentanan telah dimasukkan dalam konsep risiko. Hal ini secara luas diterima dalam komunitas ilmiah bahwa risiko tidak hanya bisa ditentukan sebagai fungsi dari bahaya, menggambarkan kemungkinan kerusakan fisik, tetapi juga harus mencakup kerentanan dari elemen yang berisiko (Cannon 1993; Bollin et al. 2003).

Bahaya (Hazard)

Menurut UNISDR (2009) bahaya adalah potensi kehancuran fisik dan aktifitas manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa atau terluka, kehancuran harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau degradasi lingkungan. Bahaya dapat digolongkan dalam kondisi yang terpendam (laten) yang menggambarkan ancaman dan dapat disebabkan oleh alam (geologi, hidrometeorologi dan biologi) atau aktifitas manusia (degradasi lingkungan dan bahaya teknologi).

Bahaya banjir merupakan suatu ancaman yang ditimbulkan oleh kejadian banjir yang memberikan dampak negatif pada daerah yang terkena dampak. Bahaya banjir diukur berdasarkan probabilitas kejadian yang memunculkan nilai kerusakan, dipahami secara umum sebagai risiko banjir, atau dampaknya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan material pada masyarakat (Rossi et al. 1994).

Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan (vulnerability) adalah karakteristik dari seseorang atau kelompok dan situasi yang mempengaruhi kapasitasnya untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari dampak bahaya alam (suatu peristiwa alam atau proses yang ekstrim) (Wisner et al. 2004). Penilaian kerentanan digambarkan sebagai sesuatu yang berguna untuk menentukan potensi kerusakan dan hilangnya nyawa dari peristiwa ekstrim (Cutter 1996) dan juga dalam mengusulkan alternatif pengurangan bahaya di mana mitigasi biasanya dilakukan dengan pendekatan bentuk struktural (rekayasa) untuk pengurangan bahaya (Coburn & Spence 1992; Clayton 1994).

Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila bahaya terjadi pada kondisi yang rentan (BAKORNAS PB 2007). Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial dan ekonomi (Carter 1992), seperti diuraikan oleh BAKORNAS PB (2007) sebagai berikut:

1. Kerentanan Fisik yaitu suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator seperti: persentase kawasan terbangun, kepadatan

bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA, dll. 2. Kerentanan sosial yaitu suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam

menghadapi bahaya. Beberapa indikator kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase usia tua- balita dan penduduk wanita.

3. Kerentanan ekonomi yaitu suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi yaitu persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan terhadap PHK dan persentase rumah tangga miskin.

Eksposur/Keterpaparan (Eksposure)

Eksposur didefinisikan oleh Adger (2006) sebagai derajat, durasi atau tingkat dimana sistem mengalami kontak atau terkena gangguan. Sedangkan menurut Barus (2011) eksposur adalah nilai atau tingkat kerugian atau kerusakan suatu komponen akibat adanya suatu proses. Menurut Davidson dan Shah (1997) eksposur merupakan komponen dari risiko. Betapa pun besarnya suatu bahaya tidak ada artinya tanpa eksposur populasi dan infrastruktur karena tidak ada kerusakan ataupun kerugian yang dialami sehingga seberapa besar eksposur sebesar itu pula risiko. Komponen eksposur terdiri dari populasi, ekonomi, fisik infrastruktur dan sosial-politik. Beberapa disiplin ilmu juga menyertakan konsep eksposur mengacu terutama pada aspek fisik kerentanan atau merupakan bagian dari konsep kerentanan (Baas et al. 2008).

Dokumen terkait