• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3) Pemodelan Spasial Genangan Banjir

Pemodelan spasial genangan banjir di wilayah Sungai Mangottong mengacu pada analisis model genangan berdasarkan volume sumber banjir yang diketahui dengan menggunakan data DEM (Jing 2010). Model ini menggunakan algoritma aproksimasi (approximation algorithm) untuk menganalisis ketinggian genangan (H) berdasarkan perbandingan antara volume air (V) daerah yang tergenang dan volume air (Q) sumber banjir.

Fungsi dari algoritma aproksimasi untuk menentukan daerah genangan didefinisikan berdasarkan persamaan berikut:

... (1) Nilai V dihitung dengan menggunakan persamaan:

... (2)

dimana Hi yaitu akumulasi ketinggian antara ketinggian genangan (hi) dan elevasi

DEM (Ei)pada unit piksel ke-i, artinya ; m yaitu jumlah unit piksel

yang tergenang; A yaitu luas unit piksel.

Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diketahui nilai V yang paling mendekati atau sama dengan nilai Q. Dalam penelitian ini, untuk mencapai kondisi tersebut dilakukan pengembangan algoritma melalui proses distribusi limpasan (ketinggian) genangan.

Sebelum proses simulasi dimulai, data DEM dengan format raster Esri grid dikonversi ke bentuk format ascii (sejenis format teks) yang dapat di-import ke dalam software Microsoft Excel dengan tetap mempertahankan header data (lihat Gambar 6). Di dalam lingkungan Microsoft Excel, proses simulasi dijalankan dengan memanfaatkan macro VBA (Visual Basic Application) untuk membuat script yang dapat menjalankan algoritma yang telah dibuat (Lampiran 2).

Gambar 6 Header data DEM dalam format ascii

Adapun tahapan algoritma dalam simulasi model genangan banjir berdasarkan proses distribusi limpasan genangan yaitu sebagai berikut:

1) Menetapkan kondisi awal yaitu Hi = Ei, sehingga hi = 0. Artinya belum

terjadi genangan dan V = 0.

2) Menentukan piksel awal (h0) yaitu unit piksel bagian hulu pada data DEM.

3) Menetapkan nilai Q sebagai nilai masukan untuk proses perhitungan genangan.

4) Melakukan pengisian piksel h0 dengan persamaan:

... (3) dimana adalah tinggi genangan sebelumnya; dan n adalah penambahan ketinggian. Nilai n digunakan untuk memberikan nilai ketinggian genangan pada piksel h0 sehingga dapat mendistribusikan genangan ke

piksel selanjutnya. Asumsi ini mengikuti prinsip bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

5) Setelah piksel h0terisi, maka dilakukan pendistribusian limpasan genangan

pada piksel tetangga (t) yang terpilih (j). Pengecekan piksel tetangga ditentukan berdasarkan 8 arah dari piksel pusat atau disebut tipe 8 tetangga (Gambar 7). Penentuan piksel j berdasarkan perbedaan (selisih) ketinggian maksimum (∆H) dengan menggunakan persamaan:

... (4) dimana Ht adalah akumulasi ketinggian (genangan dan elevasi) pada

Gambar 7 Tipe ketetanggaan piksel: (a) 4 tetangga, (b) 8 tetangga. 6) Menentukan limpasan genangan (hlimpas):

... (5)

Nilai maksimum hlimpas yang dapat didistribusikan adalah sama dengan

tinggi genangan (hi). Pada kondisi dimana nilai ∆H menghasilkan nilai

hlimpas > hi, maka ditetapkan hlimpas = hi. Distribusi limpasan genangan ke

piksel tetangga yang terpilih digunakan persamaan:

... (6)

... (7)

dimana adalah ketinggian genangan pada piksel tetangga sebelum memperoleh limpasan; dan adalah ketinggian genangan pada piksel ke-i sebelum memberi limpasan.

7) Proses pada tahap 4 sampai tahap 6 dilakukan secara berulang (diiterasi), hingga kondisi berdasarkan Persamaan 1 terpenuhi, yaitu Q = V. Untuk menghitung volume daerah yang tergenang digunakan Persamaan 2. Secara ringkas algoritma model genangan banjir untuk simulasi disajikan pada Gambar 8. Ilustrasi simulasi model genangan banjir berdasarkan tahapan algoritma tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8 Algoritma model genangan banjir.

Gambar 9 Ilustrasi simulasi model genangan dengan data DEM ukuran matriks 4×4 berdasarkan tahapan algoritma.

Tidak

Ya

Ya

Tidak Pengisian piksel awal

h0 = h0’ + n

Pengecekan dan pemilihan piksel tetangga

∆H= maks(Hi+ Ht) Distribusi limpasan genangan dari piksel awal ke piksel tetangga terpilih

hlimpas= ½∆H Kondisi genangan: hj= hj’ + hlimpas hi = hi’ -hlimpas hlimpas> hi? hlimpas= hi Input DEM dan nilaiQ Menentukan piksel awal (h0) Kondisi awal Hi= Ei→ hi = 0 Mulai Q = V terpenuhi? Daerah genangan Hitung volume genangan (V) Selesai 5.4 4.5 3.9 3.7 3.7 3.0 2.8 3.1 4.0 4.3 4.9 5.7 7.1 8.1 8.9 9.6 5.4 4.5 3.9 3.7 3.8 3.8 2.8 3.1 4.0 4.3 4.9 5.7 7.1 8.1 8.9 9.6 5.4 4.5 3.9 3.7 4.3 3.6 3.6 3.1 4.0 4.3 4.9 5.7 7.1 8.1 8.9 9.6 5.4 4.5 3.9 3.7 4.5 4.0 3.6 3.6 4.0 4.3 4.9 5.7 7.1 8.1 8.9 9.6 5.4 4.5 3.9 3.7 4.7 3.8 3.7 3.7 4.7 4.3 4.9 5.7 7.1 8.1 8.9 9.6 5.4 4.5 3.9 3.8 4.7 4.5 3.9 3.8 4.5 4.3 4.9 5.7 7.1 8.1 8.9 9.6 Iterasi ke-1 Iterasi ke-2

Iterasi ke-4 Iterasi ke-3

Iterasi ke-5 Q= 2000 m3 n= 1 m Daerah genangan; Perubahan nilaiHi Keterangan:

Batasan Model

Pembuatan model spasial genangan banjir di lokasi penelitian memiliki batasan yang diasumsikan sebagai berikut:

- Pengaruh pasang air laut tidak diperhitungkan, sehingga tidak terjadi

akumulasi genangan akibat masuknya air laut ke daratan. Dalam penelitian ini, daerah laut merupakan NODATA yang memiliki nilai - 9999 pada data DEM, sehingga tidak diperhitungkan (diabaikan) dan batas perhitungan dilakukan hanya sampai pada batas garis pantai. Asumsi tersebut dianggap bahwa kejadian banjir terjadi saat pasang, sehingga aliran air sungai tertahan di muara.

- Pengaruh luapan sungai lainnya di sekitar wilayah Sungai Mangottong

tidak diperhitungkan, sehingga tidak terjadi akumulasi genangan akibat luapan sungai yang lain. Pada bagian utara terdapat Sungai Tangka dan pada bagian selatan terdapat Sungai Baringeng Sungai, yang merupakan 2 sungai di sekitar Sungai Mangottong. Daerah genangan yang diperhitungkan hanya bersumber dari luapan Sungai Mangottong.

- Resapan air ke dalam tanah sebagai proses infiltrasi tidak

diperhitungkan, dengan asumsi tanah dalam keadaan jenuh. Verifikasi Model

Verifikasi model dilakukan untuk melihat logika internal model. Adapun verifikasi yang dilakukan yaitu menganalisis pengaruh nilai n (penambahan ketinggian genangan pada piksel awal sehingga dapat didistribusikan ke piksel selanjutnya; lihat tahap 4 dalam tahapan algoritma dan Gambar 8) terhadap keluaran hasil simulasi model. Verifikasi dilakukan pada sebagian wilayah penelitian dengan menggunakan nilai Q sebesar 500.000 m3 (uji coba), kemudian membandingkan hasil simulasi nilai n yang berbeda terhadap ketinggian dan luas daerah genangan, serta waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan simulasi, yang dihasilkan oleh masing-masing simulasi. Nilai n yang disimulasikan yaitu 1 m, 0.5 m, dan 0.1 m. Berdasarkan hasil simulasi, selanjutnya dipilih nilai n yang mendekati atau sesuai dengan pola alami genangan banjir, untuk dimasukkan dalam proses simulasi genangan pada kejadian banjir pada tahun 2006.

Simulasi Model Kejadian Banjir tahun 2006

Simulasi model untuk kejadian banjir pada tahun 2006 dilakukan dengan menetapkan nilai Q sebesar 10 507 600 m3 yang dihitung berdasarkan volume kurva hidrograf sintetis, dengan debit puncak banjir yang dihasilkan oleh Sungai Mangottong sebesar 346.66 m3/s atau setara dengan debit banjir periode ulang 25.3 tahun (Rahayu 2008).

Validasi Model

Hasil simulasi daerah yang tergenang tersebut kemudian divalidasi berdasarkan perbandingan terhadap data titik kedalaman genangan hasil observasi (pengukuran) di lokasi penelitian. Data titik kedalaman genangan di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan wawancara penduduk terkait kondisi banjir pada tahun 2006.

Model Prediksi Genangan Periode Ulang 50 dan 100 Tahun

Setelah proses validasi dilakukan, maka dilanjutkan dengan simulasi genangan untuk memprediksi dan memetakan daerah genangan pada periode ulang 25, 50 dan 100 tahun dengan input nilai volume masing-masing yaitu sebesar 10 476 400 m3, 11 989 800 m3 dan 13 531 400 m3, yang juga dihitung berdasarkan volume kurva hidrograf sintetis debit banjir yang dihasilkan oleh Sungai Mangottong (Rahayu 2008). Data DEM yang telah dianalisis dalam proses simulasi yaitu telah diperoleh daerah yang tergenang, selanjutnya akan dikonversi kembali ke bentuk format raster Esri grid menggunakan ArcGIS untuk digunakan dalam analisis selanjutnya.

4) Analisis Risiko Bencana Banjir

a. Analisis Bahaya (Hazard)

Berdasarkan hasil simulasi pemodelan spasial genangan banjir, maka analisis bahaya banjir dilakukan dengan memilih hasil simulasi genangan periode ulang 25 tahun sebagai peta bahaya banjir. Analisis bahaya banjir pada lokasi penelitian dilakukan dengan membagi kelas kedalaman genangan berdasarkan tingkat bahayanya. Adapun pembagian kelas kedalaman genangan mengacu pada BNPB (2012) yaitu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kelas bahaya banjir berdasarkan kedalaman genangan (BNPB 2012) Kelas Bahaya Kedalaman (meter)

Rendah <0.76

Sedang 0,76 – 1,5

Tinggi >1,5

b. Analisis Kerentanan (Vulnerabilty)

Dalam penelitian ini, analisis kerentanan dikaji berdasarkan kriteria kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan eksposur lahan. Setiap kriteria dianalisis dengan prosedur sebagai berikut:

1. Kerentanan fisik dinilai berdasarkan jumlah bangunan yang berada di daerah genangan banjir, yang diperoleh dengan melakukan dijitasi citra satelit WorldView-2 dalam bentuk data titik (point). Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengelompokkan jumlah bangunan dengan metode Point Statistics di ArcGIS berdasarkan analisis ketetanggaan (neighborhood) menggunakan tipe circle dengan radius 100 meter, dan tipe statistik yang dipilih yaitu sum, dengan output berupa data raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks), Metode tersebut juga dikenal sebagai goodness of varians fit, digunakan untuk meminimalkan penyimpangan kuadrat dari rata-rata kelas (ESRI 2012). Jumlah bangunan di lokasi penelitian dikelaskan sebanyak 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1).

2. Kerentanan sosial dinilai berdasarkan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan jumlah penduduk (mewakili 1 unit bangunan pemukiman yang berada di daerah genangan banjir) per km2. Berdasarkan data titik bangunan, dilakukan penyeleksian terhadap titik bangunan yang termasuk bangunan pemukiman dengan mengacu pada data penggunaan lahan. Jumlah penduduk untuk setiap unit bangunan pemukiman dihitung berdasarkan jumlah penduduk di setiap administrasi desa/kelurahan dibagi dengan jumlah rumah tangga di setiap administrasi desa/kelurahan di lokasi penelitian. Hasil bagi antara

jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga merupakan jumlah rata-rata penduduk yang tinggal dalam 1 unit bangunan. Selanjutnya dilakukan analisis Point Density untuk menghitung kepadatan penduduk dengan menggunakan data titik bangunan pemukiman yang atributnya telah diisi dengan jumlah penduduk. Point Density di ArcGIS dilakukan berdasarkan analisis ketetanggaan (neighborhood) menggunakan tipe circle dengan radius 100 meter per unit luasan km2, dengan output berupa data raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks) sebanyak 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1).

3. Ekposur lahan dinilai berdasarkan nilai kerugian (ekonomi) setiap kelas penggunaan lahan di daerah genangan banjir. Nilai kerugian setiap kelas penggunaan lahan dihitung secara relatif berupa bobot, berdasarkan pembobotan yang dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dalam metode Analytialc Hierarchy Process (AHP) (Saaty 1988). Kelas penggunaan lahan yang dinilai adalah kelas Pemukiman/Perumahan (PP), Bisnis (B), Perkantoran (PK), Fasilitas Pendidikan (FP), Fasilitas Kesehatan (FK), Sawah (S), Kebun Campuran (KC), dan Tambak/Empang (T), sedangkan kelas Ruang Terbuka/Lapangan, Semak Belukar, Mangrove, dan Sungai diberi nilai 0, dengan asumsi tidak menghasilkan dampak kerugian bagi penduduk. Nilai bobot yang dihasilkan kemudian dinormalisasi untuk menghasilkan skor dengan kisaran nilai 0 – 1. Data eksposur lahan kemudian dikonversi kebentuk raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter.

Setelah semua kriteria kerentanan telah dianalisis, analisis kerentanan bencana banjir di lokasi penelitian dilakukan dengan metode spasial MCDA (Multi Criteria Decision Analysis) yaitu menggabungkan beberapa kriteria secara spasial berdasarkan nilai dari masing-masing kriteria (Malczewski 1999). Penggabungan beberapa kriteria dilakukan dengan proses overlay secara operasi matematika berdasarkan nilai skor dan bobot (weight) masing-masing kriteria

kerentanan. Berdasarkan hal tersebut, untuk menganalisis kerentanan digunakan persamaan berikut:

... (9)

dimana V adalah kerentanan; Vpadalah kerentanan fisik berdasarkan nilai skornya;

Vsadalah kerentanan sosial berdasarkan nilai skornya; El adalah eksposur lahan

berdasarkan nilai skornya; dan w adalah bobot masing-masing kriteria.

Pembobotan (weighting) masing-masing kriteria kerentanan dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan dalam metode AHP (Saaty 1988). Perbandingan antara masing-masing kriteria diminta dari tim ahli (pakar) melalui kuisioner (Lampiran 4), yang memiliki tujuan untuk membuat penilaian komparatif (preferensi) tentang kepentingan relatif dari masing-masing pasangan kriteria dalam hal kriteria yang mereka ukur. Pemberian nilai oleh pakar berdasarkan skala nilai kepentingan yang disarankan Saaty (1988), seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Skala nilai kepentingan untuk perbandingan berpasangan (pairwise comparison)

Skala Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Sama penting Kedua elemen sama pentingnya

3 Sedikit lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen

yang lainnya.

5 Lebih penting Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya.

7 Sangat penting Satu elemen jelas sangat lebih penting daripada elemen lainnya dan memiliki dominasi nyata 9 Mutlak penting Satu elemen mutlak penting daripada elemen

lainnya dan dipilih secara tegas.

2,4,6,8 Nilai menengah Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2 pilihan.

1/n Kebalikan (reciprocals) Nilai untuk kebalikan perbandingan. Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka disbanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.

Langkah selanjutnya dari proses perhitungan yaitu nilai-nilai preferensi yang diberikan disintesis menggunakan tabel matriks untuk menentukan ranking dari faktor yang relevan dalam hal nilai-nilai numerik yang setara dengan bobot faktor. Oleh karena itu nilai-nilai eigen dan eigenvektor dari matriks preferensi

mengungkapkan rincian penting tentang pola dalam matriks data yang dihitung. Beberapa pengalaman dalam proses AHP, nilai-nilai dari matriks perbandingan berpasangan biasanya akan dianggap baik dan tidak ditetapkan secara sewenang- wenang. Namun, perasaan responden dan preferensi tetap tidak konsisten dan intransitif, yang kemudian dapat menyebabkan gangguan dalam perhitungan eigenvektor (Marinoni 2004). Agar hasil penilaian konsisten melalui kuisioner yang dibuat, responden diarahkan untuk terlebih dahulu mengurutkan tiap indikator berdasarkan urutan prioritas yang dianggap penting kemudian memberikan nilai kepentingan relatifnya (Panuju, Desember 2012, komunikasi pribadi), seperti disajikan pada Lampiran 2.

Untuk menilai konsistensi hasil penilaian kepentingan relatif secara berpasangan, digunakan rasio konsistensi/consistency ratio (CR). Saaty (1988) mendefinisikan CR sebagai rasio antara consistency index (CI) terhadap suatu average consistency index (RI) berdasarkan persamaan berikut:

... (10)

... (11)

dimana λmax adalah vektor prioritas dikalikan dengan masing-masing jumlah

kolom; dan n adalah jumlah kriteria. Nilai CR <0.1 disebut konsisten.

RI atau juga disebut indeks acak (random index), adalah dihitung oleh Saaty dan Sodenkamp (2008) sebagai konsistensi rata-rata matriks persegi pada berbagai n yang di-order yang diisi dengan masukan acak. Nilai RI pada berbagai tingkat order disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai RI pada berbagai tingkat order

Order 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

RI 0 0 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.40 1.45 1.49 1.52 1.54 1.56 1.58 1.59

Proses akhir dari penentuan bobot masing-masing kriteria dilakukan dengan menggabungkan nilai bobot dari masing-masing responden menjadi satu nilai, dengan menggunakan metode rata-rata geometrik (Marimin 2008). Hasil dari perhitungan rata-rata geometrik terhadap bobot masing-masing kriteria akan

dilakukan kembali perhitungan dengan metode pairwise comparison. Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan rata-rata geometrik yaitu sebagai berikut:

... (12)

dimana adalah rata-rata geometrik; n adalah jumlah responden; dan Xiadalah

penilaian oleh responden ke-i.

Berdasarkan konsep analisis spasial, alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA untuk menghasilkan peta kerentanan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan menggunakan klasifikasi Equal Interval (interval sama) menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1).

Gambar 10 Alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA.

c. Analisis Risiko (Risk)

Risiko banjir dapat dihitung berdasarkan persamaan umum:

... (13) Kerentanan Fisik (Jumlah Bangunan) Kerentanan Sosial (Jumlah Penduduk) Eksposur Lahan (Penggunaan Lahan) Penentuan skor Penentuan Bobot

Penentuan skor Penentuan skor

Penentuan Bobot Penentuan Bobot

Overlay

Reklasifikasi (Rendah, Sedang, Tinggi)

dimana: R adalah risiko (risk); H adalah bahaya (hazard); dan V adalah kerentanan (vulnerability).

Menurut BNPB (2012) hasil indeks perkalian perlu dikoreksi dengan menunjukkan pangkat 1/n, untuk mendapatkan kembali dimensi asalnya. Berdasarkan koreksi tersebut digunakan persamaan:

... (14)

Berdasarkan persamaan tersebut, analisis risiko dikaji secara spasial yaitu dalam bentuk peta risiko, dengan menggabungkan komponen H (peta bahaya) dan V (peta kerentanan). Seperti halnya dalam analisis kerentanan, risiko bencana banjir dianalisis dengan menggunakan metode spasial MCDA. Nilai skor masing- masing komponen risiko diberi nilai pada kisaran 0 – 1, yaitu untuk kelas rendah diberi skor 0.33, kelas sedang diberi skor 0.67, dan kelas tinggi diberi skor 1. Nilai-nilai skor tersebut merupakan nilai normalisasi dari pemberian nilai pada skala 1 – 3. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin besar pengaruhnya terhadap risiko. Selanjutnya, untuk nilai bobot masing-masing komponen risiko diberikan nilai bobot yang sama yaitu 0.5.

Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA disajikan pada Gambar 11. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan menggunakan klasifikasi Equal Interval (interval sama) menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah, sedang, dan tinggi.

Gambar 11 Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA.

Peta Bahaya Peta Kerentanan Penentuan Skor Penentuan Bobot Penentuan Skor Penentuan Bobot Overlay Reklasifikasi

(Rendah, Sedang, Tinggi)

Peta Risiko

Dokumen terkait