OLEH
DEPY MUHAMAD PAUZY H14070045
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPY MUHAMAD PAUZY. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI).
Kegiatan pembangunan industri bertujuan untuk menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyediakan lapangan perkerjaan, menaikan devisa negara serta menaikan prestise nasional. Kegiatan industri merubah wajah suatu negara dari negara agraris menjadi wajah yang disebut dengan negara modern. Karakteristik negara agraris ditandai dengan tenaga kerja yang melimpah dan sebagian besar mengganggur sedangkan negara industri ditandai dengan padat modal dan padat karya serta pengangguran yang relatif sedikit.
Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Kota Tasikmalaya. Berdasarkan pada PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi kedua pada PDRB Kota Tasikmalaya setelah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan sektor industri pengolahan tidak terlepas dari semua perkembangan faktor-faktor produksi yang mempengaruhinya. Selama periode penelitian faktor-faktor produksi yang mencakup tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik menunjukan fluktuasi pada penggunaannya meskipun dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan pada tenaga kerja, nilai investasi serta bahan baku mampu melaju positif sedangkan laju pertumbuhan pada bahan bakar minyak dan listrik menunjukan hal yang sebaliknya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi (tenaga kerja, nilai investasi, bahan baku, bahan bakar minyak dan listrik) terhadap pencapaian nilai output, menganalisis elastisitas dan skala usaha (return to scale) dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, serta menganalisis nilai tambah, efisiensi serta produktivitas tenaga kerja dari industri pengolahan di Kota Tasikmalaya. Adapun metode analisis yang digunakan yaitu metode analisis regresi berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) E-Views 6 dan Microsoft Office Excel2007.
Oleh
DEPY MUHAMAD PAUZY H14070045
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Periode Tahun 2002-2008 Nama Mahasiswa : Depy Muhamad Pauzy
NIM : H14070045
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tanti Novianti, M.Si NIP. 1972 1117 1998022005
Mengetahui, Ketua Departemen
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 1964 1022 1989031003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Penulis bernama Depy Muhamad Pauzy lahir tanggal 19 Juni 1989 di Ciawi, Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Ade Sopyan dan Hj. Siti Rokayah, S.Pd. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Kurniabakti, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2004. Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melajutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga sumber daya berguna bagi pembangunan kota tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Himalaya (Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008”. Industri merupakan topik yang menarik karena sebagian besar perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor ini. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan industri, khususnya di daerah Kota Tasikmalaya. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Ade Sopyan dan Hj. Siti Rokayah, S.Pd,
yang telah memberikan doa dan restu kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
2. Asep Diki Purniawan, S.E dan Aneta. R, S.E selaku kakak yang telah memberikan semangat dan dorongannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
3. Tanti Novianti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan semangat kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
4. Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah memberikan banyak saran yang membangun demi kebaikan skripsi ini.
5. Ranti Wiliasih selaku dosen penguji komisi pendidikan yang turut memberikan saran atas berbagai penulisan skripsi.
6. Resti Lestari yang telah memberikan semangat dan bantuan terhadap penyelesaian skripsi ini.
7. Dedi Budiman Hakim, Ph.D sebagai ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
9. Irvan Prasetya dan Dian Nurdiana yang telah bersedia menjadi teman diskusi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
10. Yaya Sunarya atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 11. Yuhana Rahayu dan Ari Kusuma atas segala saran yang diberikan selama
proses penyelesaian skripsi ini.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Besar harapan penulis agar penelitian ini memiliki manfaat bagi pembaca.
Bogor, Juli 2011
Depy Muhamad Pauzy
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Kegunaan Penelitian ... 7
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Tinjauan Teoritis ... 9
2.1.1. Industri ... 9
2.1.2. Industri Pengolahan ... 11
2.1.3. Pengertian Produksi ... 15
2.1.3.1.Konsep Fungsi Produksi ... 17
2.1.3.2. Faktor-Faktor Produksi ... 23
2.1.4. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 26
2.1.5. Skala Usaha (Return to Scale) ... 30
2.1.6. Nilai Tambah dan Efisiensi ... 32
2.2. Tinjauan Empiris ... 34
2.2.1. Penelitian Terdahulu ... 34
2.2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 36
III. METODE PENELITIAN ... 38
3.1. Jenis dan Sumber Data ... 38
3.2. Metode Analisis ... 39
3.2.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 39
3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi ... 40
3.2.3. Analisis Regresi Berganda ... 41
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI KOTA TASIKMALAYA ... 49
4.1. Gambaran Umum ... 49
4.1.1. Letak Geografis ... 49
4.1.2. Gambaran Perekonomian Kota Tasikmalaya ... 50
4.2. Gambaran Umum Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya .. 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
5.1. Perkembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 56
5.1.1. Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 56
5.1.2. Perkembangan Faktor-Faktor Produksi (Input) Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 57
5.2. Hasil Estimasi Model Persamaan Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 60
5.2.1. Analisis Ekonometrika ... 61
5.2.2. Analisis Statistik dan Kriteria Ekonomi ... 64
5.4. Skala Usaha (Return to Scale) Industri Pengolahan di Kota
Tasikmalaya ... 73
5.5. Nilai Tambah Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 74
5.6. Efisiensi Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 75
5.7. Produktivitas Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 75
5.8. Peran Pemerintah daerah Kota Tasikmalaya dalam Upaya Pengembangan Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya ... 76
5.8.1 Kebijakan Sektoral ... 77
5.8.2 Kebijakan Anggaran ... 78
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
6.1. Kesimpulan ... 81
6.2. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 84
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten
Tasikmalaya Tahun 2008 ... 2
1.2. Perkembangan Nilai Input dan Output Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2006-2008 ... 5
2.1. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009 Sektor Industri Penolahan Non-Migas ... 14
4.1. Jumlah Industri Besar atau Sedang Persubsektor Kota Tasikmalaya Tahun 2008 ... 52
5.1. Perkembangan Output Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 56
5.2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 57
5.3. Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 58
5.4. Perkembangan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Sektor Industri Pengolahan Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 59
5.5. Uji Kenormalan ... 60
5.6. Heteroskedasticity Test: White ... 61
5.7. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test ... 62
5.8. Covariance Analisys ... 63
5.9. Analisis Kriteria Statistik Fungsi Produksi ... 64
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi Pada Jangka
Pendek ... 18 2.2. Gambar Kerangka Pemikiran Konseptual ... 37 4.1. PDRB Kota Tasikmalaya Tahun 2001-2008 Atas Dasar Harga
Konstan 2000 ... 50
4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tasikmalaya dan beberapa
wilayah sekitar Tahun 2006-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ... 51
5.1. Nilai Tambah Riil pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya
Periode Tahun 2002-2008 ... 74
5.2. Nilai Efisiensi pada Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya
Periode Tahun 2002-2008 ... 75
5.3. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota
Tasikmalaya Periode Tahun 2002-2008 ... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel PDRB dan Persentase PDRB Kota Tasikmalaya Atas Dasar
Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2008 menurut Lapangan Usaha ... 88
2. Lanjutan lampiran 1 ... 89
3. Data Statistik Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 90
4. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 91
5. Data nominal faktor-faktor produksi yang memengaruhi Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 92
6. Data riil faktor-faktor produksi yang memengaruhi Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 93
7. Data Nilai Tambah nominal Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 94
8. Data Nilai Tambah riil Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya tahun 2002-2008 ... 95
9. Data efisiensi Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008 ... 96
10. Data variabel dependen dan independen OLS ( di Ln-kan) ... 97
11. Covariance Analisys ... 98
12. Uji Statistik Fungsi Produksi ... 99
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu teori ekonomi pembangunan yang menjadi rujukan bagi negara
yang sedang berkembang adalah teori perubahan struktural (structural change
theory). Teori ini menekankan bahwa suatu negara akan berkembang dengan pesat
jika mampu mentransformasikan struktur perekonomiannya, dari pola
perekonomian pertanian subsisten tradisional berbasis pedesaan menjadi
perekonomian yang lebih modern berbasis perkotaan, serta memiliki sektor industri
manufaktur yang bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh (Chenery dalam
Todaro dan Smith, 2006).
Sejarah berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak terlepas
dari sejarah berdirinya Kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah kabupaten
induknya, maka rangkaian sejarah ini merupakan bagian dari perjalanan
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sampai terbentuknya Pemerintah Kota
Tasikmalaya. Semenjak berlakunya otonomi daerah, maka setiap daerah lebih
mampu menggali potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
dimilikinya untuk dapat menggerakkan roda perekonomian wilayahnya dengan
perencanaan yang lebih terarah dan berkesinambungan. Undang-undang Nomor 10
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah menjadi dasar hukum
bagi Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya menjadi Daerah Otonomi Kota
menjadi daerah yang mempunyai kewenangan dalam mengatur rumah tangga
sendiri.
Secara umum bidang-bidang ekonomi yang ada di Kota Tasikmalaya dibagi
ke dalam sembilan sektor atau lapangan usaha yaitu: (1)pertanian, (2)pertambangan
dan penggalian, (3)industri pengolahan, (4)listrik, gas kota dan air bersih,
(5)konstruksi atau bangunan, (6)perdagangan, hotel dan restoran (7)pengangkutan
dan komunikasi, (8)keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9)jasa-jasa.
Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Persentase PDRB Atas Harga Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2008
No Sektor
Kota Tasikmalaya Kabupaten Tasikmalaya
PDRB Persentase PDRB Persentase
(juta) (%) (juta) (%)
1 Pertanian 295,204.03 8.51 2,325,521.28 47.51
2 Pertambangan dan
Penggalian 196.93 0.01 12,185.07 0.25
3 Industri
Pengolahan 621,586.84 17.91 378,693.39 7.74
4 Listrik, Gas dan Air
Bersih 57,112.97 1.65 49,782.83 1.02
5 Bangunan 360,041.49 10.38 36,945.57 0.75
6 Perdagangan, Hotel
dan Restoran 1,036,979.45 29.88 1,082,152.92 22.10
7 Pengangkutan dan
Komunikasi 306,170.95 8.82 239,527.63 4.89
8
Keuangan,
Persewaan dan Jasa Perusahaan
365,102.47 10.52 193,154.52 3.95
9 Jasa-jasa 427,846.77 12.33 577,840.51 11.80
Tabel 1.1 menyajikan PDRB atas dasar harga konstan 2000 Kota
Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya menurut lapangan usaha pada tahun
2008. Terdapat perbedaan yang signifikan pada struktur perekonomian Kota
Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan Tabel 1.1 perekonomian
Kota Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel
dan restoran; sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa yang masing-masing
menyumbang 29.88 persen; 17.91 persen dan 12.33 persen terhadap PDRB Kota
Tasikmalaya, sedangkan Kabupaten Tasikmalaya ditopang oleh 3 sektor utama
yaitu sektor pertanian yang menyumbang 47.51 persen; sektor perdagangan, hotel
dan restoran yang menyumbang 22.10 persen serta sektor jasa-jasa yang
menyumbang 11.80 persen terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya.
Kontribusi sektor industri pengolahan di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota
Tasikmalaya terdapat perbedaan. Tabel 1.1 menjelaskan bahwa sektor industri
pengolahan berperan besar terhadap PDRB Kota Tasikmalaya yang mampu
menyumbang 17.91 persen terhadap PDRB Kota Tasikmalaya dibandingkan
dengan peran sektor industri pengolahan di Kabupaten Tasikmalaya yang hanya
berkontribusi 7.74 persen terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya. Kecilnya
kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya
lebih dikarenakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai lumbung padi nasional dengan
peran sektor pertanian yang sangat mendominasi. Industri pengolahan sebagai
salah satu sektor utama di Kota Tasikmalaya diharapkan dapat berkembang dan
lebih maju seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, sehingga proses
Pembangunan sektor industri pengolahan bagi Kota Tasikmalaya pada
masa sekarang diarahkan untuk dapat memberikan sumbangan yang nyata dan
optimal dalam pencapaian sasaran utama pembangunan jangka panjang. Sasaran
yang dimaksud adalah tercapainya kondisi ekonomi yang seimbang dimana
terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang lebih maju dalam menciptakan
lapangan kerja dan meningkatkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota
Tasikmalaya.
Berbagai kendala dan rintangan muncul sejak tahun 2006, seperti
melambungnya harga minyak dunia, krisis energi yang berkepanjangan serta
fenomena alam yang sering kali tidak mendukung telah mempengaruhi kinerja
perekonomian Kota Tasikmalaya. Peningkatan harga minyak dunia memengaruhi
hampir semua sektor perekonomian karena bahan bakar minyak merupakan salah
satu input produksi bagi semua sektor ekonomi khususnya sektor listrik, gas dan
air bersih, juga sektor industri pengolahan. Krisis keuangan pula telah
memengaruhi sektor Perbankan serta fenomena alam yang sering kali tidak
mendukung akan memengaruhi kinerja sektor pertanian di Kota Tasikmalaya
(lampiran 2, halaman 89).
Kondisi ekonomi yang terjadi selama kurun waktu 2006 sampai 2008 telah
memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan sektor industri
pengolahan di Kota Tasikmalaya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari
output produksi pada sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya merupakan
pangsa pasar ekspor. Adanya resesi ekonomi di Amerika dan negara maju lainnya
pengolahan di Indonesia maupun Kota Tasikmalaya, sehingga berpengaruh pula
pada penggunaan input serta pencapaian output sektor industri pengolahan.
Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Input dan Output Industri Pengolahan di Kota Tasikmalaya Tahun 2002-2008
Tahun
Output (Nominal) Input (Nominal)
Nilai Laju
Pertumbuhan Nilai
Laju Pertumbuhan
(Ribu Rupiah) (%) (Ribu Rupiah) (%)
2006 196,467,183,900 * 142,199,848,772 *
2007 159,026,336,980 -23.54 76,010,737,054 -87.08
2008 156,607,053,603 -1.54 104,626,254,116 27.35
Total 512,100,574,483 -25.09 322,836,839,942 -59.73
Rata-rata 170,700,191,494 -12.54 107,612,279,981 -29.86
Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2006-2008
Keterangan:
* : Perhitungan data tidak mendukung
Kondisi perekonomian di Kota Tasikmalaya berpengaruh terhadap
penggunaan nilai input serta pencapaian nilai output pada industri pengolahan di
Kota Tasikmalaya tercermin pada Tabel 1.2. Pengunaan input cenderung
mengalami penurunan dengan rata-rata 29.86 persen begitu pula pencapaian nilai
output yang mempunyai kecenderungan yang sama dengan laju pertumbuhan
rata-rata -12.54.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah umum yang sering dihadapi oleh sektor industri pengolahan
teknologi sederhana dan tingkat inefisiensi manajemen yang relatif tinggi.
Penggunaan teknologi yang masih sederhana berdampak pada produktivitas yang
rendah jika dibandingkan dengan penggunaan teknologi canggih dengan
mesin-mesin otomatis. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
menghambat sektor industri pengolahan untuk mencapai tingkat output yang
efisien. Tingginya harga bahan baku dan tarif listrik yang sangat penting dalam
menjalankan dunia usaha juga menambah beban biaya sehingga menurunkan
tingkat efisiensi pada sektor industri pengolahan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota
Tasikmalaya selama periode 2002-2008?
2. Bagaimana perkembangan faktor-faktor produksi (input) sektor industri
pengolahan di Kota Tasikmalaya selama periode 2002-2008?
3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat output industri
pengolahan di Kota Tasikmalaya dan berapa besar pengaruh
masing-masing faktor tersebut?
4. Kebijakan apa yang dapat dilakukan pemerintah daerah Kota Tasikmalaya
dalam rangka meningkatkan output sektor industri pengolahan di wilayah
tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka dapat
1. Mengidentifikasi perkembangan output sektor industri pengolahan di Kota
Tasikmalaya selama periode 2002-2008.
2. Mengidentifikasi perkembangan faktor-faktor produksi (input) sektor
industri pengolahan di Kota Tasikmalaya periode 2002-2008.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat output industri
pengolahan di Kota Tasikmalaya pada periode 2002-2008 serta
menganalisis besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut.
4. Mengkaji kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
(Kota Tasikmalaya) dalam rangka meningkatkan output sektor industri
pengolahan di wilayah tersebut.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.
Bagi Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan dalam peran Kota Tasikmalaya
dalam upaya peningkatan perkembangan industri pengolahan di Kota
Tasikmalaya, sedangkan bagi pihak lainnya hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai referensi tambahan dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pihak
yang membutuhkan.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Industri pengolahan merupakan industri yang sangat kompleks karena
kegiatannya sangat beragam dan saling berkait. Keberadaan industri ini akan
memengaruhi nilai output produksi, pendapatan daerah, kesempatan kerja, upah,
investasi, net ekspor dan sebagianya. Peneliti hanya mengkaji tentang
faktor-faktor yang memengaruhi output sektor industri pengolahan di Kota Tasikmalaya.
Peneliti juga hanya memfokuskan pada nilai agregasi setiap model penduga
(variabel) pada industri pengolahan di Kota Tasikmalaya tanpa mengkaji lebih
mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi setiap model penduga pada
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Industri
Industri adalah sekelompok perusahaan yang menawarkan suatu produk
yang memiliki substitusi yang dekat satu sama lain. Menurut BPS (2002), industri
merupakan kumpulan dari beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan atau
aktivitas produksi yang sejenis seperti industri pengolahan.
Hasibuan (1993) mengatakan industri dapat dibagi ke dalam industri
makro dan industri mikro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari
perusahaan yang menghasilkan barang sejenis. Sedangkan secara makro, industri
adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai tambah. Selama ini ada empat
masalah yang dihadapi oleh sektor industri pengolahan, masalah-masalah tersebut
seperti diuraikan berikut ini:
1. Orientasinya yang terlalu mengarah kepada pemenuhan permintaan dalam
negeri. Hal ini, telah mengakibatkan rendahnya nilai ekspor produk-produk
industri. Dibandingkan dengan negara lain yang meletakan ekspor industri
pengolahannya sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonominya, maka nilai
ekspor produk-produk industri sebagai persentase ekspor barang dan jasa masih
sangat tergolong rendah.
2. Pertumbuhan industri yang pesat selama ini tidak bisa terlaksana berkat adanya
kebijakan perdagangan luar negeri yang protektif, yang bertujuan untuk
3. Pertumbuhan sektor industri pengolahan selama ini tidak banyak menyumbang
perluasan kesempatan kerja, sebagai contoh tenaga kerja yang keluar dari
sektor pertanian tidak sepenuhnya mampu ditampung oleh sektor industri.
4. Pertumbuhan sektor industri selama ini ditopang oleh adanya devisa yang
cukup besar untuk impor bahan baku yang diperlukan. Disamping itu,
perkembangan sektor ini tidak ditunjang oleh perkembangan teknik dan
teknologi serta tidak didukung oleh keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor
lainnya.
Untuk menjawab persoalan yang dinyatakan diatas, ada tiga strategi yang
dapat digunakan. Ketiga strategi tersebut menjelaskan bahwa industrialisasi di
Indonesia harus didasarkan pada:
1. Keunggulan komparatif, yaitu dilihat dari sumberdaya alam yang tersedia
di Indonesia.
2. Keterkaitan antar sektor terutama sektor hulu dan hilir. Dari kedua strategi
ini diharapkan timbul suatu keterkaitan dimana pertumbuhan yang terjadi
pada sektor industri pemakai akan ikut menumbuhkan industri komponen.
Efek selanjutnya adalah terciptanya penghematan devisa, meningkatkan
pendapatan, keahlian, dan kesempatan kerja.
3. Teknologi yang tinggi dan selalu berkembang untuk pembangunan industri
hulu secara simultan. Faktor industri hulu harus merupakan pertimbangan
yang dominan karena apabila industri hulu menggunakan teknologi yang
tinggi dan efisien, maka industri hilirnya tidak mengalami biaya tinggi dan
ini sesuai dengan sasaran untuk mengembangkan industri yang kompetitif
2.1.2. Industri Pengolahan
Pengertian industri pengolahan diartikan sebagai suatu kegiatan ekonomi
yang melakukan aktivitas mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia
atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi, atau suatu
kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang yang kurang
nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada
pemakai akhir (BPS, 2002).
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, industri pengolahan dibagi
kedalam 2 kelompok besar yaitu:
1. Industri Migas
a) Industri pengilangan minyak bumi
b) Industri Gas alam cair
2. Industri Bukan Migas
a) Industri makanan, minuman, dan tembakau
b) Industri textil, barang kulit dan alas kaki
c) Industri barang kayu dan hasil hutan lain
d) Industri barang kertas dan barang cekatan
e) Industri pupuk, kimia, dan barang dari karet
f) Industri semen dan barang galian bukan logam
g) Industri logam dasar besi dan baja
h) Industri alat angkutan, mesin dan peralatan
i) Industri barang lainnya.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2002) industri pengolahan terdapat
kehutanan, pertambangan, farmasi, dan pengolahan. Pada garis besarnya industri
terdiri dari:
a) Industri Primer (Industri Hulu)
Industri primer merupakan industri yang mengolah bahan-bahan
pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan pertambangan,
industri ini juga disebut dengan industri hulu. Karakteristik dari
industri hulu adalah penggunaan teknologi yang tinggi yang mengubah
bahan-bahan dari alam menjadi barang setengah jadi, kebutuhan
investasi yang tinggi sebagai konsekuensi dari belanja teknologi yang
dibutuhkan dalam proses produksi (padat modal), penggunaan
mesin-mesin yang berjalan otomatis sehingga peran tenaga kerja tidak begitu
dominan. Penggunaan mesin-mesin yang berjalan otomatis membuat
produktivitas pada industri hulu sangat tinggi.
b) Industri Sekunder (Industri Antara)
Industri sekunder atau industri antara merupakan industri yang
mengolah hasil-hasil industri primer dan bahan-bahan lain yang tidak
termasuk industri primer. Karakteristik dari industri ini adalah
penggunaan teknologi semi otomatis sehingga peranan teknologi serta
tenaga kerja berjalan secara seimbang (padat modal dan padat karya).
Artinya, setiap penambahan modal pada industri ini akan diimbangi
pula dengan penyerapan tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja dari
industri sekunder cukup tinggi karena faktor penggunaan mesin-mesin
yang berjalan semi otomatis dengan penyerapan tenaga kerja yang
c) Industri Tersier (Industri Hilir)
Industri tersier atau industri hilir merupakan industri yang merubah
bahan setengah jadi menjadi barang konsumsi. Karakteristik dari
industri ini adalah peranan tenaga kerja yang dominan (padat karya).
Poduktivitas tenaga kerja dari industri hilir rendah. Besarnya peranan
tenaga kerja dalam industri tersier adalah sebagai akibat dari
penggunaan teknologi yang masih sederhana.
Industri bagi pemerintah dan masyarakat mempunyai arti yang sangat
penting, karena merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang menghasilkan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Industri merupakan
salah satu sumber dan sarana yang efektif bagi pemerintah untuk menjalankan
kebijakan pembagian pendapatan nasional. Oleh sebab itu, pemerintah pada
dasarnya mempunyai kepentingan dan ikut bertanggung jawab atas kelangsungan
dan keberhasilan setiap industri.
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga pihak
yaitu pengusaha, pekerja atau serikat pekerja dan pemerintah mempunyai
kepentingan atas jalannya dan keberhasilan industri. Berhasilnya industri akan
meningkatkan keuntungan yang diterima oleh industri tersebut sedangkan bagi
pekerja keberhasilan industri akan meningkatkan tingkat upah yang akan diterima
atau terbukanya kesempatan kerja baru bagi masyarakat. Bagi pemerintah
keberhasilan industri akan meningkatkan pendapatan nasional yang diperoleh.
BPS (2002), mengklasifikasikan subsektor industri pengolahan
berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2 digit seperti
Tabel 2.1. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2002 Sektor Industri Pengolahan
No Kode
KBLI Deskripsi Sektor Industri Pengolahan
1 15 Industri Makanan dan Minuman
2 16 Industri Pengolahan Tembakau
3 17 Industri Tekstil
4 18 Industri Pakaian Jadi
5 19 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
6 20 Industri Kayu, Barang dari Kayu, Barang-barang anyaman dari rotan
7 21 Industri Kertas, Barang dari Kertas dan sejenisnya
8 22 Industri Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
9 23 Industri Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi dan bahan baku nuklir
10 24 Industri kimia dan barang-barang dari kimia
11 25 Industri Karet, barang dari Karet dan barang dari plastik
12 26 Industri barang galian logam
13 27 Industri Logam Dasar
14 28 Industri Barang dari Logam, kecuali mesin dan peralatannya
15 29 Industri mesin dan peralatannya
16 30 Industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
17 31 Industri pengolahan lainnya dan perlengkapannya
18 32 Industri radio, televisi, peralatan komunikasi, serta peralatannya
19 33 Industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng
20 34 industri kendaraan bermotor
21 35 Industri alat angkutan
22 36 Industri furnitur dan industri pengolahan lainnya
23 37 Daur Ulang
2.1.3. Pengertian Produksi
Menurut Sanimah (2006), produksi adalah hasil akhir dari proses atau
aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Produksi
menurut Tasliah (2006) adalah merujuk pada transformasi dari berbagai macam
input atau sumberdaya menjadi output berupa barang dan jasa. Input menurutnya
adalah berbagai sumberdaya yang digunakan dalam produksi barang dan jasa.
Dengan demikian, proses produksi adalah mengkombinasikan berbagai macam
input atau masukan untuk menghasilkan output. Setiap kegiatan ekonomi yang
dilakukan baik itu perorangan maupun perusahaan (industri) bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang terbaik, begitu pun dalam hal berproduksi. Untuk
menghasilkan output yang optimal maka setiap input harus digunakan secara
efisien.
Pada sebuah proses produksi, sebuah industri atau perusahaan
membutuhkan input produksi yang dalam teori mikroekonomi disebut dengan
faktor produksi (factors of production). Faktor produksi jika dilihat secara
keseluruhan terdiri dari tenaga kerja (labor), bahan dasar (raw materials), dan
investasi modal (capital). Faktor buruh dalam beberapa kasus dapat dibedakan
menjadi tenaga kerja yang mempunyai keahlian (skilled labor) dan yang tidak
memiliki keahlian (unskilled labor). Bahan dasar biasanya mengacu pada
barang-barang yang diolah oleh perusahaan untuk kemudian dijadikan produk akhir
(output), sedangkan modal mengacu pada bangunan, alat-alat yang digunakan
untuk pengolahan (equipment) dan inventaris lainnya. Secara teoritis hubungan
dengan fungsi produksi. Dengan kata lain, fungsi produksi menghubungkan input
dengan output.
Produksi atau memproduksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu
barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru
atau lebih dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor
produksi, yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi. Faktor-faktor
produksi yang dimaksudkan dalam ilmu ekonomi adalah manusia (tenaga kerja =
TK), modal (uang atau alat modal seperti mesin = M), SDA (tanah = T), dan skill
(teknologi = S). Yang dimaksud fungsi produksi adalah hubungan teknis antara
faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Secara matematis hubungan
teknis itu dapat ditulis O = f(TK, M, T, S). Hubungan teknis yang dimaksud
adalah bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor
produksi yang dimaksud. Bila faktor produksi tidak ada, maka tidak ada juga
produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksud dalam pemanfaatannya harus
dikombinasikan, baik sebagai variabel atau pun tetap. Faktor produksi yang paling
utama adalah manusia dan tanah (SDA) (Putong, 2003).
Produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi material-material dan
kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya, atau jasa-jasa produksi) dalam
pembuatan suatu barang dan jasa (output atau produk). Kata input dan output
hanya memiliki pengertian dalam hubungannya dengan proses produksi tertentu
(Beattie dan Taylor, 1994).
Dalam produksi dikenal istilah nilai output dan biaya input. Nilai output
terbentuk dari berbagai komponen seperti barang yang dihasilkan, tenaga listrik
setengah jadi, dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Biaya input adalah
semua biaya yang dipakai untuk memproduksi suatu barang seperti bahan baku;
bahan bakar; tenaga listrik dan gas; dan barang lainnya (diluar bahan baku atau
bahan penolong); perbaikan dari jasa industri; sewa gedung; mesin dan alat-alat
serta jasa non-industri (BPS, 2002).
2.1.3.1. Konsep Fungsi Produksi
Hubungan penggunaan faktor-faktor produksi atau input dan produk atau
output yang dihasilkan disebut fungsi produksi. Menurut Debertin, D.L. (1986)
dalam Machmud (1997), fungsi produksi menguraikan suatu teknik hubungan
yang mentransformasikan input (sumberdaya) ke dalam output (komoditi). Secara
matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f ( X1, X2, X3,….. Xn) ... (2.1)
Dimana :
Y = output
Xn = input atau faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi
Y
f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input dalam
output.
Fungsi produksi menghubungkan antara input yang dalam proses produksi
dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, at al., 1995). Hubungan fisik
antara input dan output sering disebut dengan fungsi produksi. Fungsi produksi
adalah hubungan fisik antara masukan produksi (input) dan keluaran produksi
mereka menginginkan informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti
tanah, tenaga kerja dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi
maksimum dapat diperoleh (Soekartawi, 1993). Fungsi produksi adalah sebuah
deskripsi matematis atau kuantitatif dari berbagai macam
kemungkinan-kemungkinan produksi teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Fungsi
produksi memberikan output maksimum dalam pengertian fisik dari tiap-tiap
tingkat input dalam pengertian fisik (Baettie dan Taylor, 1994).
Fungsi produksi dapat dinyatakan pula dalam grafik, dengan asumsi
bahwa hanya satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor produksi
lainnya dianggap tetap atau cateris paribus. Kebaikan fungsi produksi dinyatakan
dalam grafik adalah mudah menganalisis peranan faktor produksi terhadap produk
yang dihasilkan.
[image:32.595.100.508.84.842.2]Sumber: Debertin, D.L. (1986) dalam Machmud (1997).
Keterangan:
MPP = Produk Marjinal (Marginal Physical Product)
APP = Produk Rata-Rata (Average Physical Product)
TPP = Produk Total (Total Physical Product)
A = Inflection Point
B = Titik Singgung Kurva TPP
C = Titik Maksimum TPP
Produk Total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode
tertentu. Jika semua input kecuali satu faktor dijaga konstan, produksi total akan
berubah menurut banyak sedikitnya variabel yang digunakan. Produk rata-rata
(AP) adalah produk total produk total dibagi jumlah unit variabel yang digunakan
untuk memproduksinya. Dalam Gambar 2.1. dengan makin banyaknya faktor
variabel yang digunakan, produk rata-rata kemudian meningkat dan kemudian
menurun. Tingkat output dimana produk rata-rata mencapai maksimum disebut
titik berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average
productivity). Sampai dengan titik ini rata-rata produktivitas terus naik, diluar ini
produktivitas rata-rata akan terus turun.
Produk marjinal (MP), kadang-kadang disebut juga produk incremental
(incremental product) atau produk fisik marjinal (MPP), adalah perubahan dalam
produk total sebagai akibat penambahan satu unit penggunaan variabel. Tingkat
output dimana produk marjinal mencapai maksimum dinamakan titik
berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal productivity)
(Lipsey, et al.1995).
AP =
=
... (2.3)Untuk melihat perubahan dari jumlah produksi yang disebabkan oleh
faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi.
Elastisitas produksi (EP) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat
dari persentase perubahan dari input, atau dapat diartikan sebagai rasio tambahan
relatif produk yang dihasilkan dengan perubahan relatif jumlah faktor produksi
yang dipakai. Secara Matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
EP = ∆ ∆ ... (2.4)
atau
EP = ∆
∆
. =
... (2.5)Karena ∆ ∆ adalah MP, maka besarnya EP tergantung dari besar
kecilnya MP dari suatu input. Adapun hubungan antara MP dan TP adalah:
1. Bila TP tetap naik, maka MP positif
2. Bila TP mencapai maksimum, maka nilai MP menjadi nol
3. Bila TP sudah mulai menurun, maka nilai MP menjadi negatif
4. Bila TP naik pada tahapan increasing rate, maka MP bertambah pada
decreasing rate.
Apabila AP didefinisikan sebagai perbandingan antara TP per jumlah
input, maka rumus untuk mencari AP adalah:
Dengan demikian hubungan antara MP dan AP adalah:
1. Bila MP lebih besar dari AP, maka posisi AP masih dalam keadaan
menaik.
Sebaliknya , bila MP lebih kecil dari pada AP, maka posisi AP dalam
keadaan menurun.
2. Bila terjadi MP sama dengan AP maka AP dalam keadaan maksimum.
Pada Gambar 2.1 menunjukan grafik fungsi produksi yang
menggambarkan hubungan fisik antara satu faktor produksi dengan produksi,
cateris paribus. Menurut Debertin, D.L (1986) dalam Machmud (1997), fungsi
produksi terbagi dalam tiga daerah yang dibedakan elastisitas produksi dari
faktor-faktor, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih besar dari
satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol dan satu (daerah II)
dan daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol (daerah III).
Daerah I adalah yang terletak antara titik asal dan X2. Daerah ini produksi
marjinal (MP) mencapai titik maksimum dan kemudian mengalami penurunan
tetapi marjinal masih lebih besar dari produk rata-rata (AP). Elastisitas produksi
pada daerah I bernilai lebih besar dari satu, artinya penambahan faktor produksi
sebanyak satu persen akan menyebabkan penambahan produksi selalu lebih besar
dari satu persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai karena
masih selalu dapat ditingkatkan dengan penambahan input (faktor produksi).
Dengan demikian, daerah ini merupakan daerah irasional (irrational region).
Daerah II adalah daerah yang terletak antara X2 dan X3. dengan elastisitas
produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi satu
Daerah ini dikatakan daerah decreasing diminishing returns karena setiap
penambahan faktor produksi akan meningkatkan jumlah produksi yang
peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Pada suatu tingkat tertentu dari
penggunaan input akan memberikan keuntungan maksimum yaitu pada saat Nilai
Produk Marjinal (Value Marginal Product atau VMP) untuk faktor produksi sama
dengan biaya Korbanan Marjinal (Marginal Factor Costatau atau MFC). Jika
harga faktor produksi (P) tetap maka keuntungan maksimum dicapai pada saat
VMP = MFC = P. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi di
daerah ini sudah optimal, maka dikatakan di daerah II merupakan daerah rasional
(rational region).
Daerah III ini adalah daerah dengan elastisitas produksi dengan nilai
kurang dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang
ditunjukan oleh MP yang bernilai negatif. Dengan demikian, setiap penambahan
faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan,
sehingga daerah III ini disebut daerah irasional (irrational region).
Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu
hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Returns),
sehingga informasi yang diperoleh dapat dipakai untuk melakukan upaya agar
setiap upaya penambahan masukan produksi dapat menghasilkan tambahan
produksi yang lebih besar. Adapun bunyi hukum tersebut yaitu jika satu input
ditambahkan terus menerus dalam proses produksi, sedangkan input lain tetap,
tambahan output persatuan input akan berkurang. Hukum ini akan
Ada dua hal penting dari hukum ini:
1. Hukum ini menunjukan adanya input variabel dalam jumlah tertentu harus
dikombinasikan dengan input tetap. Perusahaan atau industri tidak boleh
menggunakan input terlalu banyak atau terlalu sedikit.
2. Hukum ini mensyaratkan bahwa metode produksi tidak berubah ketika input
variabel yang digunakan bertambah.
Dalam banyak kenyataan, penelitian melupakan asumsi tersebut, karena
berbagai alasan, antara lain:
1. Orang tidak mengetahui secara pasti bagaimana sebenarnya keadaan usaha
yang dilakukannya, apakah dalam keadaan decreasing, constant, increasing of
returns.
2. Orang menginginkan bagaimana pengaruh masing-masing masukan produksi
dalam keadaan skala berbeda.
3. Orang melakukan pendugaan dengan fungsi Cobb-Douglas sebagai dasar
untuk mendapatkan fungsi pendugaan dengan model yang lain.
2.1.3.2. Faktor-Faktor Produksi
a. Nilai Investasi atau Modal
Modal merupakan jumlah total mesin-mesin, bangunan-bangunan dan
sumber manufaktur non-labor yang ada dalam suatu waktu. Kekayaan suatu
perusahaan atau industri (assets) mencerminkan bagian dari suatu output ekonomi
diwaktu lalu yang tidak dikonsumsi, melainkan disisihkan untuk kegiatan
Sebuah perusahaan atau industri yang memenuhi aturan maksimal laba
akan melakukan ekspansi kapital dengan cara melakukan investasi. Investasi
dapat dilakukan dengan cara menyewa mesin dengan tingkat sewa yang berlaku
atau membeli mesin baru.
Menurut Mubyarto (1986) dalam Timor (2008), modal adalah barang atau
uang yang bersama-sama faktor-faktor produksi lainnya digunakan untuk
menghasilkan barang-barang baru, dalam hal ini adalah hasil produksi.
Modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Modal tidak bergerak (modal tetap), merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam satu kali
proses produksi. Modal tetap dapat berupa tanah, bangunan dan
mesin-mesin yang digunakan.
2. Modal bergerak (modal variabel), adalah biaya yang dikeluarkan
dalam proses produksi dan habis dipakai dalam satu proses produksi.
Modal bergerak dapat berupa biaya yang dikeluarkan untuk membeli
bahan baku atau bahan-bahan penunjang produksi, atau biaya yang
dikeluarkan untuk gaji tenaga kerja.
Investasi merupakan komponen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
yang paling mudah berubah (volatile).Jika pengeluaran terhadap barang dan jasa
turun selama resesi maka penurunannya berkenaan dengan jatuhnya dalam
pengeluaran untuk investasi. Ada tiga tipe pengeluaran investasi diantaranya:
(1)investasi dalam barang tetap yang melingkupi peralatan dan struktur dimana
dunia usaha membelinya untuk dipergunakan dalam proses produksi; (2)investasi
disewakan; (3)investasi inventori meliputi bahan baku dan bahan penolong,
barang setengah jadi dan barang jadi.
Perusahaan atau industri akan merubah kapital jika marginal produk dari
kapital lebih besar dari biaya sewanya sehingga:
∆K = (r+ ) ... (2.7)
Dimana:
∆K = penambahan kapital
= investasi
= harga kapital
P = harga barang
r = suku bunga
= depresiasi
Jadi total pengeluaran terhadap investasi dalam barang tetap adalah jumlah
netto ditas ditambah dengan penggantian kapital rusak (depresiasi) sehingga:
I = ∆K + ... (2.8)
= (r+ )]+ ... (2.9)
Dari persamaan diatas maka dapat diketahui bahwa investasi tergantung
dari marginal produk kapital, depresiasi dan tingkat suku bunga.
b. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah bagian dari penduduk yang mampu bekerja untuk
(PBB, 1992) yang termasuk tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15-64
tahun. Indonesia menggolongkan penduduk yang berusia 10 tahun ke atas sebagai
tenaga kerja, dengan alasan bahwa banyak penduduk yang berusai 10-14 tahun
dan 65 tahun yang bekerja. Banyaknya tenaga kerja yang berusia 10-14 tahun
maka kondisi ini menjadi perhatian pemerintah karena pada usia tersebut
merupakan usia berada di sekolah. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut,
pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1997 Tentang
Ketenagakerjaan dengan menetapkan batas bekerja menjadi usia 15 tahun.
Dengan berlakunya Undang-undang tersebut, mulai tanggal 1 Oktober 1998
tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berusia 15 tahun ke atas.
c. Bahan Baku
Bahan baku dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku utama dan bahan
baku penolong. Bahan baku utama merupakan faktor yang paling utama karena
tanpa bahan baku produksi tidak akan berjalan, sedangkan bahan baku penolong
sebagai penolong, pelengkap dan penyempurna saja. Tanpa bahan baku penolong,
produksi bisa berjalan tapi mutu atau kualitasnya berkurang.
2.1.4. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Pengamatan pengaruh beberapa faktor produksi terhadap output secara
keseluruhan dalam keadaan yang sebenarnya adalah tidak mungkin (Soekartawi,
1993). Oleh karena itu, hubungan antara faktor produksi dengan output perlu
disederhanakan dalam suatu model. Untuk mendapatkan suatu model berbentuk
fungsi produksi sebaiknya dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai logik secara
Bentuk fungsi produksi yang digunakan dalam menduga
parameter-parameter yang mempengaruhi produk ada beberapa macam, seperti fungsi
kuadratik, model elastisitas substitusi yang konstan (CES), model trasendental dan
fungsi Cobb-Douglas. Fungsi produksi kuadratik dan transendental memiliki
persamaan yang rumit dan parameternya bukan merupakan elastisitas dari
faktor-faktor produksi. Jika menggunakan fungsi CES sulit untuk mempertahankan
elastisitas yang konstan. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah
Douglas, P.H., pada tahun 1928 melalui artikel di majalah ilmiah American
Economic Review 18 (Suplement) halaman 139 sampai 165. Fungsi Cobb-Doglas
adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel;
variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan
yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X), (Soekartawi, 1993).
Secara matematis persamaan fungsi Cobb-Douglas dirumuskan sebagai berikut:
Y = X X X …… X ... (2.10)
Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan X dan Y,
maka:
Y = f (X1, X2, X3,…. Xn) ... (2.11)
dimana:
Y = variabel yang dijelaskan,
X = variabel yang menjelaskan,
a,bi = besaran yang diduga,
u = kesalahan (disturbance term), dan
Untuk memudahkan pendugaan terhadap Ep maka persamaan tersebut
diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan
tersebut adalah:
Log Y = Log a + b1 Log X1 + b2 Log X2 +……+ bn Log Xn + v ... (2.12)
atau
Y* = a* + b1 + + v* ... (2.13)
dimana:
Y*= Log Y; X*= Log X; v* = Log v; dan a* = Log a ... (2.13)
Persamaan diatas dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi
berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b1 dan b2 tetap walaupun
variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti bahwa b1 dan
b2 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukan elastisitas X terhadap Y.
Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaitmakan dan diubah
bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi sebelum seseorang menggunakan fungsi Cobb-Douglas.
Persyaratan ini antara lain (Soekartawi, 1993):
1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan
nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).
2. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi
pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technology),
ini artinya jika fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu
pengamatan; dan bila diperlukan analisis yang merupakan lebih dari satu
model (katakan dua model), maka perbedaan model tersebut terletak pada
3. Tiap variabel X adalah prefect competition.
4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup
pada faktor kesalahan, u.
Dari semua fungsi produksi di atas, fungsi Cobb-Douglas merupakan salah
satu bentuk yang banyak digunakan, karena memiliki kelebihan didasarkan pada
pertimbangan, yaitu (1)Mengurangi terjadinya heteroskedastisitas, (2)Koefisien
pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukan besarnya
elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap
output, (3)Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi
merupakan pendugaan terhadap skala usaha dari proses produksi, dan
(4)Perhitungannya sederhana menjadi bentuk linear dan dapat dilakukan dengan
menggunakan program komputer. Adapun kelemahan dari model Cobb-Douglas
yaitu elastisitas produksinya dianggap konstan, nilai dugaan elastisitas produksi
yang dihasilkan berbias bila faktor produksi yang digunakan tidak lengkap. Selain
itu, tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan
faktor produksi sama dengan nol dan pada fungsi Cobb-Douglas sering terjadi
multikolinearitas.
Hubungan yang membuktikan bahwa koefisien pangkat dari fungsi
produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitasnya dapat dilihat dalam
penjelasan dibawah ini, dengan menurunkan rumus dari persamaan fungsi
produksi Cobb-Douglas yang dicontohkan sebelumnya. Sebagai contoh
perhitungan yang dilakukan adalah terhadap faktor produksi tenaga kerja (X1).
maka:
e
x
1=
.
... (2.15)=
b X X X.
X X X
...
(2.16)=
X X XX X X ... (2.17)
=
b1 ... (2.18)dimana:
e
x
1 = elastisitas tenaga kerja,= perubahan output (Y) terhadap tenaga kerja (X1),
Y = nilai riil output yang dihasilkan dalam industri (ribu rupiah),
X1 = jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri (orang atau jiwa),
X2 = bahan baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribu rupiah) dan
X3 = nilai riil energi terdiri dari bahan bakar, listrik dan gas (ribu rupiah).
Jadi, koefisien dari tenaga kerja (X1) merupakan nilai elastisitas dari
tenaga kerja (X1) dengan nilai b1. Cara yang sama digunakan untuk menghitung
nilai elastisitas dari faktor produksi yang lainnya, maka akan diperoleh hasil yang
sama yaitu nilai koefisien pangkat dari bahan baku menunjukan nilai elastisitas
dari bahan baku (X2) tersebut. Demikian pula dengan faktor lainnya, seperti energi
(X3).
2.1.5. Skala Usaha (Return to Scale)
Konsep skala usaha (return to scale) menjelaskan suatu keadaan dimana
input. Konsep ini memiliki tiga kemungkinan keadaan. Pertama, sebuah fungsi
produksi dikatakan menunjukan skala hasil konstan (constant returns to scale)
jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan
output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan seluruh input
menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi
tersebut dikatakan menunjukan skala hasil menurun (decreasing returns to scale).
Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing
returns to scale) (Nicholson, 2002).
Jika parameter peubah bebas dari fungsi produksi Cobb-Douglas
dilambangkan dengan bi, skala usaha dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Decreasing returns to scale, bila (b1 + b2 + b3) 1. Dalam keadaan demikian,
dapat diartikan bahwa proprosi penambahan masukan produksi melebihi
proporsi penambahan produksi atau setiap penambahan faktor produksi secara
bersama-sama justru akan menurunkan produksi.
2. Contant returns to scale, bila (b1 + b2 + b3) 1. Dalam keadaan demikian,
penambahan masukan produksi akan proporsional dengan penambahan
produksi yang diperoleh atau tambahan ke atas faktor-faktor produksi tidak
memberikan dampak naik atau turun terhadap produksi.
3. Increasing returns to scale, bila (b1 + b2 + b3) 1. Artinya bahwa proporsi
penambahan masukan produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang
proporsinya lebih besar atau setiap penambahan faktor produksi secara
bersama-sama akan memberikan tambahan kepada produksi (Soekartawi,
2.1.6. Nilai Tambah dan Efisiensi
Nilai tambah adalah nilai tambah bruto yang sesuai dengan harga pasar
atau nilai tambah sebelum dikurangi pajak dan dapat juga diperoleh dari selisih
antara nilai output dan biaya input. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
hubungan berikut:
Nilai Tambah Bruto (NTB) = Nilai Output – Biaya Input
Nilai output merupakan penjumlahan dari nilai-nilai barang yang
dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pada pihak lain,
selisih nilai stok barang setengah jadi, dan penerimaan lain dari jasa non-industri.
Biaya input merupakan penjumlahan dari nilai bahan baku dan penolong yang
digunakan oleh perusahaan industri besar dan sedang baik yang berasal dari luar
negeri (impor) atau dalam negeri, nilai bahan bakar yang dipakai, tenaga listrik
dan gas yang dibeli, sewa gedung, mesin dan alat-alat serta jasa non-industri.
Semua perusahaan industri dalam kegiatannya untuk membuat produk
akan berupaya semaksimal mungkin untuk menekan semua input. Hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi kinerja perusahaan tersebut. Untuk
menilai tingkat keberhasilan suatu perusahaan dalam proses produksi maka salah
satu indikator yang bisa menggambarkan keadaan tersebut yaitu nilai efisiensi.
Nilai efisiensi ini merupakan perbandingan antara biaya produksi (biaya input)
dengan nilai outputnya (BPS, 2002). Secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut:
Efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil terhadap nilai
masukan (Lipsey, et. al., 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien
dari metode produksi lainnya, apabila menghasilkan produk lebih tinggi nilainya
untuk tingkat korbanan yang sama, atau dapat mengurangi korbanan untuk
memperoleh output dalam jumlah yang sama. Seorang pengusaha telah mencapai
keuntungan yang maksimum bila telah menentukan kombinasi faktor-faktor
produksi secara optimal (Nicholson, 1995).
2.1.7. Produktivitas
Dalam istilah sehari-hari produktivitas tenaga kerja biasanya dimaksudkan
sebagai produktivitas rata-rata per pekerja. Jika ada yang mengatakan
produktivitas kerja industri naik, maksudnya adalah output per tenaga kerja
mengalami peningkatan (Nicholson, 2001). Jika produktivitas tenaga kerja naik
maka barang dan jasa meningkat sehingga keuntungan dan pendapatan meningkat.
Definisi produk rata-rata tenaga kerja adalah:
=
... (2.19)Keterangan:
: Produk rata-rata tenaga kerja (Produktivitas tenaga kerja)
Q : Output
T : Tenaga Kerja
Jika Produktivitas tenaga kerja naik, berarti bahwa setiap tenaga kerja
dapat memproduksi lebih banyak, biaya satuan produksinya akan turun selama
produktivitasnya. Biaya yang lebih rendah pada umumnya akan diikuti dengan
harga yang lebih rendah pula. Perusahaan yang bersaing akan menurunkan
harganya dalam usaha untuk merebut pasar dan hasil akhir dari persaingan ini
adalah turunnya biaya produksi yang diikuti dengan turunnya harga (Lipsey,
1995).
2.2. Tinjauan Empiris
2.2.1. Penelitian Terdahulu
Ardina (2005) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Output Industri Logam Dasar di Indonesia” dengan
menggunakan Analisis Ordinary Least Square menerangkan bahwa faktor
produksi bahan baku, biaya sewa modal, memberikan pengaruh yang positif
terhadap peningkatan output industri logam dasar di Indonesia. Nilai elastisitas
bahan baku sebesar 0.424955. Artinya, jika terjadi peningkatan penggunaan bahan
baku dalam proses produksi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan
output yang dihasilkan industri logam dasar sebesar 0.424955 persen. Nilai
elastisitas biaya sewa modal sebesar 0, karena biaya sewa modal ini tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap output, sedangkan nilai elastisitas
pada bahan bakar dan energi, dan tenaga kerja masing-masing sebesar 0.212785
dan 0.468099. Skala hasil usaha industri logam dasar berada dalam kondisi
increasing returns to scale dengan nilai sebesar 1.11087. Nilai tambah industi
logam dasar cenderung mengalami peningkatan selama periode penelitian
(1983-2008) walaupun sempat terjadi penurunan nilai tambah setelah terjadi krisis
pada tahun 1987 dimana perbandingan antara input dan outputnya adalah sebesar
0.419387016 yang merupakan rasio paling kecil.
Sulistyono (2005) dengan penelitiannya dengan judul “Analisis Fungsi
Produksi Industri Kerajinan Genteng di Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten”.
Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa faktor produksi modal kerja, dan
jumlah tenaga kerja secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
berpengaruh positif dan nyata terhadap nilai produksi yang dihasilkan. Industri
kecil kerajinan genteng di Kecamatan Cawas berada pada kondisi Decreasing
Return to Scale. Hal ini berarti bahwa penambahan semua faktor produksi dalam
proporsi yang sama akan menghasilkan penambahan nilai produksi dalam
proporsi yang lebih kecil.
Fitriani (2005) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Output Industri Ban di Indonesia Periode tahun 1984-2002”
menggunakan Analisis Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas menerangkan
bahwa faktor produksi bahan baku, tenaga kerja dan bahan bakar memberikan
pengaruh yang positif terhadap peningkatan output industri ban di Indonesia. Nilai
elastisitas bahan baku sebesar 0.699. Artinya jika terjadi peningkatan penggunaan
bahan baku dalam proses produksi sebesar satu persen maka akan terjadi
peningkatan output yang dihasilkan industri logam dasar sebesar 0.699 persen.
Nilai elastisitas faktor produksi modal memberikan pengaruh yang negatif dan
tidak nyata yaitu sebesar 0.04, karena faktor produksi modal ini tidak efisien lagi
untuk meningkatkan nilai output, sedangkan nilai elastisitas pada bahan bakar dan
tenaga kerja berada pada daerah II (0< eq<1). Hal ini menunjukan bahwa
rasional. Skala usaha industri ban berada dalam kondisi increasing returns to
scale dengan nilai sebesar 1.215.
Legiman (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Efisiensi
Pemanfaatan Input dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Industri kecil
(Studi kasus pada sentra industri kecil keramik Kabupaten Klaten)”, diketahui
bahwa faktor-faktor produksi tenaga kerja, tanah liat, dan kayu bakar berpengaruh
positif terhadap produksi keramik di sentra industri keramik di Kabupaten Klaten.
Faktor modal, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja pengusaha berpengaruh
positif terhadap nilai efisiensi produksi keramik. Pemakaian faktor-faktor input
ditinjau dari harga faktor produksi terhadap harga output belum efisien.
Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada sejauh mana faktor-faktor
produksi memberikan pengaruh pada output sektor Industri pengolahan Kota
Tasikmalaya. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan
estimasi Cobb-Douglas, elastisitas dari masing-masing input dan bagaimana skala
usahanya serta nilai tambah dan efisiensinya. Untuk menjawab semua
permasalahan diatas digunakan Analisis regresi dengan menggunakan metode
Ordinary Least Square (OLS).
2.2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
Sektor Industri Pengolahan diharapkan mampu memberikan kontribusi
nyata baik pada sisi pendapatan yang terindikasi dalam PDRB maupun pada sisi
penyerapan tenaga kerja. Peningkatan output sektor industri yang diimbangi
dengan kenaikan input mengindikasikan peningkatan kapasitas produksi.
Peningkatan output yang disertai dengan penurunan penggunaan input produksi
sehingga dapat diartikan dengan peningkatan produktivitas. Peningkatan PDRB
sektor industri diharapkan dapat berbanding lurus dengan peningkatan jumlah
tenaga kerja sehingga peningkatan sektor industri pengolahan dapat dinikmati
[image:51.595.75.533.132.733.2]oleh semua elemen sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan
Pusat Statistik, berupa data input-input dari sektor industri pengolahan, yaitu
bahan baku, investasi, tenaga kerja, bahan bakar, energi, listrik, data PDRB
industri pengolahan dalam bentuk data time series periode 2002-2008, data Indeks
Harga Perdagangan Besar (2000=100) untuk kategori sektor industri, serta
data-data lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari sumber-sumber
lainnya. Data-data nominal yang dikumpulkan kemudian dideflasi dengan Indeks
Harga Perdagangan Besar (IHPB), kemudian diolah dengan menggunakan piranti
lunak Eviews 6.1 yang sebelumnya proses perhitungan data dibantu dengan piranti
lunak Microsoft Excel 2003. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Tasikmalaya, Graha Kadin Kota Tasikmalaya, Dinas UMKM,
Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya dan dinas terkait yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Penggunaan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator
dimaksudkan agar semua agregat dinilai atas harga dasar harga konstan suatu
tahun. Dalam penelitian ini, IHPB yang digunakan adalah IHPB tahun dasar 2000
(2000=100) dan harga dianggap tetap sehingga adanya perkembangan terhadap
agregat dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan riil, bukan fluktuasi
3.2. Metode Analisis
3.2.1. Analisis Fungsi produksi Cobb-Douglas
Output ditentukan oleh sejumlah input yang digunakan. Menurut
Syahruddin (1989) dalam Kurniawan (2008), fungsi produksi adalah suatu daftar
(schedule) yang memperlihatkan besarnya jumlah barang dan jasa secara
maksimum dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan (input) tertentu pada tingkat
teknologi tertentu. Model yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara
input dan output pada industri pengolahan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas,
yang secara matematis dapat ditulis :
Y = b X X ... (3.1)
Yang dapat dilinearkan dalam bentuk:
LnY = Lna+b1LnX1+b2LnX2+ b3LnX3+ b4LnX4+ b5LnX5+u ... (3.2)
dimana:
Y = Output riil yang dihasilkan dalam industri pengolahan (ribu rupiah)
X1 = Tenaga Kerja yang bekerja pada industri pengolahan (orang)
X2 = Modal yang dikeluarkan oleh industri pengolahan ( rupiah)
X3 = Bahan Baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribu rupiah)
X4 = Bahan bakar minyak yang digunakan pada industri pengolahan (ribu
rupiah)
X5 = Listrik yang dipakai pada industri pengolahan (ribu rupiah)
a = intersep
bi = koefisien regresi penduga(b1,….,b5)
u = residual (kesalahan atau error)
Variabel-variabel pada persamaan dianalisis dengan menggunakan fungsi
produksi Cobb-Douglas yang telah dilinearkan dengan analisis regresi linear
berganda dan metode Ordinary Least Square (OLS). Nilai masing-masing
koefisien regresi penduga pada persamaan adalah sama dengan nilai elastisitas
masing-masing input terhadap output sektor industri pengolahan. Nilai skala hasil
usaha dapat diperoleh melalui penjumlahan nilai koefisien dari masing-masing
koefisien regresi penduga. terdapat tiga alternatif penilaian tentang skala hasil
usaha, yaitu (Soekartawi, 1993) :
1. Decreasing return to scale, bila (b1+b2) < 1.
Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang
proporsinya lebih kecil daripada penambahan input.
2. Constant return to scale, bila (b1+b2) = 1.
Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang
proporsional dengan penambahan input.
3. Increasing return to scale, bila (b1+b2) > 1.
Yaitu proporsi penambahan input akan menghasilkan tambahan output yang
proporsinya lebih besar daripada penambahan input.
3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi
Nilai tambah digunakan untuk menganalisis pertumbuhan suatu industri.
Nilai tambah industri pengolahan yang semakin meningkat mencerminkan
pertumbuhan industri pengolahan yang positif. Secara matematis, nilai tambah
bruto dapat dihitung dengan rumus (Sanimah, 2006) :
tingkat efisiensi produksi pada industri pengolahan menunjukan alokasi input
yang efisien untuk menghasilkan sejumlah output pada industri pengolahan dan
menunjukan tingkat penciptaan nilai tambah oleh industri pengolahan.
Secara matematis, dapat dituliskan rumus efisiensi (Dumairy, 1996) :
Efisiensi =
3.2.3. Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda adalah suatu metode yang digunakan untuk
menjelaskan pengaruh variabel-variabel independen yang mempengaruhi variabel
dependennya. Penyelesaian persamaan tersebut dengan menggunakan metode
kuadrat terkecil (ordinary least square = OLS). Metode OLS diperkenalkan oleh
seoarang ahli mat