• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

i

KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS ILSTS073,

ILSTS030 DAN HEL013 PADA SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

SKRIPSI

RAHMAH MUTHMAINNAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i

RINGKASAN

RAHMAH MUTHMAINNAH. D14070235. 2011. Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Skripsi. Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M. Rur. Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si.

Sapi Katingan adalah salah satu plasma nutfah ternak di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah dan dipelihara oleh masyarakat di sepanjang aliran sungai Katingan. Penelitian ini perlu dilakukan karena adanya keterbatasan informasi genetik, khususnya pada tingkat molekuler (DNA mikrosatelit). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman DNA mikrosatelit lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah.

Sampel darah diambil dari 70 ekor sapi Katingan yang berasal dari tiga populasi, yaitu populasi Buntut Bali, Pendahara dan Tumbang Lahang masing-masing 26 ekor, 13 ekor dan 31 ekor. Amplifikasi DNA mikrosatelit dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian dielektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 6% dan dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan frekuensi alel, frekuensi genotipe, derajat heterozigositas dan pohon genetik.

Hasil amplifikasi lokus ILSTS073 menghasilkan 13 macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, M dan N. Frekuensi alel tertinggi yaitu alel E (0,5208) pada populasi Pendahara dan terendah yaitu alel C dan N pada populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe EE (0,3333) pada populasi Pendahara dan Tumbang Lahang dan terendah yaitu genotipe CD, DD, DE, EE FH, HH, EK, FK dan HN (0,0333) pada populasi Tumbang Lahang. Lokus ILSTS030 menghasilkan 10 macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I dan J. Frekuensi alel tertinggi adalah alel E (0,5167) pada populasi Tumbang Lahang dan terendah adalah alel C dan N (0,0167) pada populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe GG (0,3000) pada populasi Tumbang Lahang dan terendah yaitu genotipe AB, CC, BD, BF, AG, DG dan IJ (0,0333) pada populasi Tumbang Lahang. Lokus HEL013 menghasilkan 12 macam alel yaitu alel B, C, D, E, F, G, H, I, L, N, O dan P. Frekuensi alel tertinggi adalah alel F (0,4615) pada populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel I dan L (0,0167) pada populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe FN (0,7000) pada populasi Tumbang Lahang dan terendah yaitu genotipe EE, GI, EL dan GN (0,0333) pada populasi Tumbang Lahang.

Nilai heterozigositas tertinggi diperoleh pada populasi Tumbang Lahang Lokus HEL013 yaitu sebesar =0,9667, sedangkan yang terendah terdapat pada populasi Buntut Bali Lokus ILSTS030 sebesar =0,1538. Rataan Heterozigositas ( ) untuk lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 , masing-masing sebesar 0,5601, 0,2824 dan 0,9073.

(3)

ii

ABSTRACT

The Polymorphism of ILSTS073, ILSTS030, and HEL013 Microsatellite DNA Loci on Katingan Cattle in Central Kalimantan

Muthmainnah, R., R. R. Noor, and Jakaria

The aim of this research was to identify the polymorphisms of ILSTS070, ILSTS030 and HEL013 microsatellite DNA loci of Katingan cattle at Central Kalimantan. Blood samples were taken from 70 Katingan cattle which originated from three different populations, 13 blood samples were from Buntut Bali population, 26 blood samples were from Pendahara population and 31 blood samples were collected from Tumbang Lahang population. The amplification of microsatellite DNA marker was done by PCR (Polymerase Chain Reaction) and PCR product were then electrophoresed using 6% polyacrilamide gel followed by silver staining. The data were analyzed to get allele frequency, genotype frequency, heterozygosity value and genetic tree. The result showed that all microsatellite DNA loci were polymorphic. ILSTS073 locus had 13 alleles with the highest allele frequency was found in Pendahara population with allele E (0.5028) and the lowest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele C and N (0.0167). ILSTS030 locus had 10 alleles with the highest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele E (0.5167) and the lowest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele C and N (0.0167). HEL013 locus had 12 alleles with the highest allele frequency was found in Buntut Bali population with allele F (0.4615) and the lowest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele I and L (0.0167). The highest heterozygosity value was found in Tumbang Lahang population of HEL013 locus ( =0.9667) and the lowest heterozygosity value was found in Buntut Bali population of ILSTS030 locus ( =0.1538). The average heterozygosity ( ) from ILSTS073, ILSTS030 and HEL013 locus were 0.5601, 0.2824 and 0.9073.

(4)

iii

KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS ILSTS073,

ILSTS030 DAN HEL013 PADA SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

RAHMAH MUTHMAINNAH D14070235

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

iv

Judul : Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus ILSTS073, ILSTS030

dan HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Nama : Rahmah Muthmainnah

NIM : D14070235

Menyetujui,

Tanggal Ujian: 16 September 2011 Tanggal Lulus: Pembimbing Utama,

(Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc.) NIP: 19610210 198603 1 003

Pembimbing Anggota,

(Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si.) NIP: 19660105 199303 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(6)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Agustus 1989 di Cipinang, Jakarta Timur. Penulis adalah anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Purboyanto D. N. dan Ibu Suryanti.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di SD Negeri 7 Prabumulih Barat, Sumatera Selatan. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP N 2 Prabumulih Timur, Sumatera Selatan. Penulis melanjutkan di SMA N 1 Prabumulih Barat, Sumatera Selatan pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

(7)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipersembahkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul “Identifikasi Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sapi Katingan merupakan salah satu jenis sapi yang terdapat di Kalimantan Tengah. Sapi ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai sapi potong. Sapi ini dipelihara oleh suku Dayak secara ekstensif di sepanjang sungai Katingan. Keberadaan sapi ini sudah puluhan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan pemanfaatan beberapa teknologi, yaitu teknologi reproduksi dan teknologi DNA. Salah satu teknologi DNA yang digunakan untuk mengidentifikasi keragaman DNA adalah penciri DNA mikrosatelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman DNA mikrosatelit lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah.

Bogor, September 2011

(8)

ix

Polyacrilamide Gel Elektroforesis (PAGE) ... 10

Silver Staining (Pewarnaan Perak) ... 10

Alat-alat ... 10

Prosedur ... 10

Pengambilan Sampel Darah Sapi Katingan ... 10

Isolasi dan Ekstraksi DNA ... 10

Amplifikasi DNA Mikrosatelit ... 11

Deteksi Alel DNA Mikrosatelit ... 11

Analisis Data ... 13

Frekuensi Alel ... 13

Frekuensi Genotipe ... 13

(9)

x

Jarak Genetik dan Pohon Genetik ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Amplifikasi DNA Mikrosatelit ... 15

Keragaman DNA Mikrosatelit ... 16

Lokus ILSTS073 ... 16

Lokus ILSTS030 ... 20

Lokus HEL013 ... 23

Nilai Heterozigositas ... 26

Jarak Genetik ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

UCAPAN TERIMAKASIH ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 34

LAMPIRAN ... 37

(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan ... 5 2. Informasi tentang Tiga Pasang Primer Pengapit DNA Mikrosatelit 12 3. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus

ILSTS073 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ... 17 4. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada

Lokus ILSTS073 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ... 19 5. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus

ILSTS030 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ... 21 6. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada

Lokus ILSTS030 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ... 23 7. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus

HEL013 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ... 25 8. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus

HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ... 26 9. Nilai Heterozigositas sapi Katingan pada Ketiga Populasi ... 27 10.Rataan Heterozigositas ( ) dari Masing-masing Lokus ... 27 11.Rataan Heterozigositas ( ) pada Beberapa bangsa Sapi di Indonesia 28 12.Jarak Genetik Sapi Katingan Populasi Pendahara, Buntut Bali, dan

(11)

i

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina ... 4

2. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan ... 5

3. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sapi Katingan ... 9

4. Contoh Penentuan Genotipe Lokus ILSTS073 ... 16

5. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS073 ... 18

6. Contoh Penentuan Genotipe Lokus ILSTS030 ... 20

7. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS030 ... 22

8. Contoh Penentuan Genotipe Lokus HEL013 ... 24

9. Distribusi Frekuensi Alel Lokus HEL013 ... 25

(12)

ii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Informasi Ulangan Nukleotida Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan

HEL013 ... 38 2. Macam, Ukuran Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS073, Sapi

Katingan, Kalimantan Tengah ... 39 3. Macam, Ukuran Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS030, Sapi

Katingan, Kalimantan Tengah ... 40 4. Macam, Ukuran Alel dan Genotipe pada Lokus HEL013, Sapi

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan sapi potong merupakan salah satu komponen subsektor peternakan nasional yang mampu memberikan lahan usaha dan meningkatkan kesejahteraan sebagian masyarakat lokal setempat, memberikan perbaikan gizi melalui penyediaan protein hewani masyarakat luas. Sejumlah usaha telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong domestik. Salah satu kebijakan pembangunan peternakan di Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional adalah upaya untuk kecukupan daging.

Salah satu potensi ternak di Kalimantan Tengah adalah sapi lokal yang dipelihara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan secara ekstensif sehingga sapi tersebut oleh Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah dikenal sebagai sapi Katingan. Sapi Katingan merupakan sapi lokal di Kalimantan Tengah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sapi potong. Keberadaan sapi Katingan telah lama dipelihara dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya pada kondisi lahan yang tergolong asam pada pH berkisar antara 3-5 dan miskin mineral khususnya mineral Cu yang mungkin berpengaruh pada sapi Katingan. Sampai saat ini, informasi sapi Katingan masih terbatas, terutama dasar-dasar genetik, sehingga pemanfaatan potensi sapi Katingan sebagai ternak potong perlu dioptimalkan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi bidang molekuler yang semakin berkembang telah berhasil menemukan berbagai macam penanda molekuler khususnya marker berbasis DNA untuk mengetahui keragaman genetik (DNA) yang mungkin terkait dengan sifat-sifat ekonomis, kajian asal- usul atau kekerabatan dan studi genetika populasi.

(14)

2 runutan DNA pendek berulang dengan panjang basa 1-5 nukleotida serta memiliki panjang total sekitar 10-100 bp (Bennet, 2000). DNA mikrosatelit dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi keragaman genetik baik dalam ataupun antara populasi. DNA mikrosatelit juga banyak digunakan sebagai penanda molekuler untuk mendukung pemuliaan ternak meliputi kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal-usul keturunan, penggalian sumber-sumber genetik, dan menjadi penanda molekuler penting dalam analisis genetik pada beberapa bangsa sapi (Ciampolini et al., 1995). Penelitian ini dilakukan karena data yang berhubungan dengan aspek genetik sapi Katingan belum pernah dilakukan.

Tujuan

(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Lokal Kalimantan Tengah

Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km2 yang terdiri atas lahan pasang surut (rawa) 5,5 juta ha dan lahan kering 7,7 juta ha, dengan ketersediaan pakan lokal yang melimpah. Luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan peternakan seluas 1.158.500 ha, belum termasuk daerah rawa. Kalimantan Tengah setiap tahun mendatangkan ternak sapi potong dari luar provinsi sekitar 3.000 ekor karena produksi lokal hanya mampu memenuhi sekitar 45%-50% dari total kebutuhan, di sisi lain pemerintah secara nasional menargetkan swasembada daging sapi dicapai pada tahun 2014. Kondisi ini memerlukan berbagai upaya dan kerja keras semua pihak dan yang paling penting adalah bagaimana potensi sumberdaya lokal di daerah dapat dimanfaatkan secara optimal, baik sumberdaya genetik ternak maupun sumberdaya lahan dan pakan lokal (Adrial, 2010).

Potensi pakan untuk wilayah Kalimantan Tengah sebenarnya tidak menjadi masalah. Potensi rumput alam mampu menampung pengembangan ternak 2,5 juta ekor sapi, disertai limbah pertanian tanaman pangan, sayuran, hortikultura dan perkebunan. Selain itu, Kalimantan Tengah juga memiliki sapi lokal yang oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dinamakan sebagai sapi lokal. Sapi lokal Kalimantan Tengah belum memiliki nama, namun beberapa orang menyebut sesuai dengan nama Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana sapi tersebut hidup (Adrial, 2010).

Asal usul sapi lokal Kalimantan Tengah sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Keberadaan sapi sudah puluhan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang lahannya tergolong asam dan miskin mineral. Sapi tersebut dapat dijumpai di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas, diperkirakan juga terdapat di Kabupaten Seruyan. Dilaporkan populasi sapi lokal di Kabupaten Katingan sekitar 1.500 ekor (Adrial, 2010).

(16)

pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Potensi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal, bahkan banyak orang di Kalimantan Tengah yang tidak mengetahui bahwa Kalimantan Tengah mempunyai sapi lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan (Adrial, 2010).

Kabupaten Katingan merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Kalimantan Tengah. Kabupaten Katingan memiliki sapi lokal yang diberi nama sapi Katingan oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dimana sapi tersebut banyak ditemukan di sepanjang daerah aliran sungai Katingan. Data mengenai sapi Katingan baik dari pemerintah daerah Kalimantan Tengah maupun nasional belum ada, tetapi terdapat beberapa data mengenai keragaman morfometrik dan fenotipik sapi Katingan yang merupakan hasil penelitian Utomo et al. (2010), salah satunya yaitu keragaman warna bulu sapi Katingan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 1. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina

(17)

Sumber : Utomo et al. (2010)

Gambar 2. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan

Ciri umum sapi Katingan adalah bergelambir, berpunuk, bertanduk dan mempunyai banyak variasi warna bulu. Adapun penciri sapi Katingan ditunjukkan pada sapi betinanya. Ada enam variasi pertumbuhan tanduk pada sapi betina, namun yang dominan pertumbuhan tanduknya melengkung ke depan. Pertumbuhan tanduk pada sapi jantan umumnya ke samping atas. Ditemukan tonjolan diantara tanduk hanya pada sapi betina. Ada sembilan kombinasi warna pada sapi Katingan jenis kelamin betina yaitu warna coklat kemerahan, coklat keputihan, coklat warna sapi Bali, hitam, coklat keruh/kusam, coklat merah bata, kehitaman, putih kecoklatan dan putih keabuan. Sapi Katingan jenis kelamin jantan ditemukan delapan kombinasi warna yaitu coklat keputihan, coklat keputihan dan kemerahan, coklat kemerahan, kehitaman, coklat keputihan punuk hitam, coklat merah bata dan coklat merah bata punuk hitam (Utomo et. al., 2011). Hasil pengukuran bobot badan sapi Katingan di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan Populasi Betina Jantan

... Kg... Pendahara 208.9 + 21.3 250.5 + 106.0 Buntut Bali 201.8 + 26.6 299.9 + 86.1 Tumbang Lahang 217.1 + 23.0 261.1 + 20.5 Sumber : Utomo et al. (2010)

(18)

Keragaman Genetik

Keragaman genetik merupakan perbedaan antara individu dalam suatu populasi, antara individu dalam populasi yang berbeda dalam spesies yang sama atau dalam spesies yang berbeda (Hendrick, 2000). Keragaman genetik di dalam suatu populasi dapat dipengaruhi faktor-faktor yaitu seleksi, inbreeding, mutasi dan migrasi. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa variasi genetik terjadi jika terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (frekuensi lebih dari 1%). Keragaman genetik pada tingkat DNA dapat diketahui dengan melihat nilai frekuensi alel dan heterozigositas. Derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigot pada setiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi (Nei, 1987).

Hartl dan Clark (2000) menyatakan bahwa polimorfisme genetik berguna untuk menentukan hubungan genetik dalam dan antara populasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies. Menurut Li et al. (2000), keragaman genetik di antara subpopulasi dapat diketahui dengan cara melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi tersebut. Beberapa teknik yang digunakan untuk melakukan analisis keanekaragaman genetik adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Restricted Fragment Length Polymorphism (RFLP), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) dan DNA Mikrosatelit.

DNA Mikrosatelit

DNA mikrosatelit adalah satu dari tipe DNA berulang yang paling umum digunakan sebagai penciri DNA dengan motif ulangan nukleotida sederhana dalam bentuk salinan berdampingan (tandem). DNA mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik yang efisien dibandingkan dengan penanda genetik yang lain, karena jumlahnya yang sangat besar dan menyebar hampir diseluruh genom (Georges et al., 1993). DNA mikrosatelit dapat memberikan penampakan polimorfisme atau proporsi gen atau alel yang berbeda pada masing-masing individu ternak (Ciampolini et al., 1995), sehingga akan memberikan kemudahan dalam analisis keragaman pada tingkat DNA. Penanda ini dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan ternak terutama dalam mendeteksi keragaman genetik. Hoelzel (1998) menyatakan bahwa DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang ideal untuk analisis genom karena jumlah cukup banyak di dalam genom. DNA

(19)

mikrosatelit memiliki tingkat ulangan nukleotida 5-100 tiap lokus dan ditemukan pada sejumlah besar lokus spesifik dalam genom sehingga polimorfisme lokus tersebut dapat diketahui berdasarkan jumlah ulangan yang berbeda.

DNA Mikrosatelit banyak digunakan sebagai penanda molekuler untuk mendukung pemuliaan ternak yang meliputi kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal-usul keturunan, penggalian sumber-sumber genetik dan menjadi penanda molekuler penting dalam analisis genetik pada beberapa sapi (Ciampolini et al., 1995). Selain itu, DNA mikrosatelit juga digunakan dalam pengenalan spesies antar mamalia, sidik jari DNA dan konservasi.

Keragaman mikrosatelit ditunjukkan dengan variasi dalam jumlah pengulangan sekuen nukleotida. Tingkat keragaman mikrosatelit secara positif berhubungan dengan panjang dari sekuen berulang (Weber, 1990). Perbedaan alel yang dihasilkan disebabkan oleh perbedaan jumlah pengulangan basa (Bennett, 2000). Tipe dan kemurnian pengulangan merupakan bentuk dari keragaman mikrosatelit. Menurut Weber (1990) bahwa DNA mikrosatelit berdasarkan kemurnian pengulangan dibagi berdasarkan tiga kategori, yaitu: 1) mikrosatelit berulang sederhana (perfect repeats) yang terdiri dari sekuen tanpa tersisipi oleh penyela sepanjang unit berulangnya, 2) mikrosatelit berulang komplek (imperfect repeats) terdiri dari sekuen dengan satu atau lebih penyela dalam unit berulangnya, 3) mikrosatelit berulang campuran terdiri dari rangkaian perfect atau imperfect repeats berdampingan dengan sebuah rangkaian sekuen ulangan sederhana yang lain.

Keragaman mikrosatelit ini berkaitan dengan ketidakstabilan lokus. Keragaman yang tinggi dari lokus mikrosatelit dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi yaitu berkisar 10-3-10-5/lokus/generasi (Lehmann et al., 1996). Ketidakstabilan dan keragaman DNA mikrosatelit diduga disebabkan rekombinasi yang tidak seimbang dan DNA polimerase slippage (Maskur, 2001). Keragaman dalam DNA mikrosatelit dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan bantuan sekuen pengapit yang khas (primer) yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen target (lokus DNA mikrosatelit). Primer bersifat spesifik sehingga primer tersebut hanya mampu mengamplifikasi lokus tertentu. Fragmen DNA mikrosatelit yang diamplifikasi dapat divisualisasikan dengan melakukan proses elektroforesis yang dilanjutkan dengan proses pewarnaan perak (silver

(20)

staining). Penggunaan marka mikrosatelit sebelumnya juga sudah digunakan untuk meneliti sapi lokal Indonesia lainnya yaitu sapi Bali pada lokus INRA035 yang menemukan dua alel yaitu alel A dan B dan lokus HEL9yang menemukan satu alel yaitu alel A (Noor et al., 2000).

(21)

2 METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari Desember 2010 sampai dengan Mei 2011.

Materi

Sampel Darah Sapi Katingan

Sampel darah yang digunakan berasal dari populasi sapi Katingan di Kalimantan Tengah sebanyak 70 sampel darah dari populasi Pendahara sebanyak 26 ekor, Buntut Bali 13 ekor, dan Tumbang Lahang 31 ekor. Sapi tersebut diperoleh dari beberapa peternak yang terdiri atas sapi jantan dan sapi betina. Lokasi pengambilan sampel sapi Katingan dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Bhermana (2010)

(22)

Ekstraksi DNA

Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah sampel darah, SDS (sodium dosesil sulfat), proteinase-K, STE (Sodium Tris-EDTA), CIAA (Chloroform Iso Amil Alkohol), larutan phenol, ethanol absolut, NaCl, TE (Tris EDTA) dan DW (destilated water).

Amplifikasi DNA

Bahan-bahan yang digunakan dalam amplifikasi DNA yaitu DW (destilated water), primer, dNTPs, MgCl2, dream taq buffer dan Taq Polimerase.

Polyacrilamide Gel Elektrophoresis (PAGE)

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan PAGE yaitu larutan akrilamid, TEMED (N,N,N’,N’-tetramethylethylenediamine), DW (destilated water), APS (ammonium peroxodisulfat) 10%, dan larutan 5x TBE (tris boric acid-EDTA).

Silver Staining (Pewarnaan Perak)

Bahan-bahan yang digunakan untuk silver staining (pewarnaan perak), yaitu DW (destilated water), AgNO3, NaOH, formaldehida, asam asetat, dan amonia.

Alat-alat

Alat yang digunakan adalah mesin PCR, tabung eppendorf (0,2 µl dan 1,5 µl), pipet mikro, tip, vortex, centrifuge, inkubator, disposible syringe 10 ml, tube test 12 ml, kertas label, tabung 1,5 ml, freezer, desikator, spiser, penjepit, karet, sisir, mesin elektroforesis serta nampan.

Prosedur

Pengambilan Sampel Darah Sapi Katingan

Sampel darah sapi Katingan diperoleh dari koleksi Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak pada tahun 2010 yang dimasukkan dalam ethanol absolut dan disimpan pada suhu ruang.

Isolasi dan Ekstraksi DNA

Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode Sambrook et al. (1989) yang dimodifikasi. Sebanyak 200 µl sampel darah dalam etanol absolut dipindahkan

(23)

ke tabung 1,5 µl kemudian ditambahkan 1.000 µl DW/TE. Larutan dikocok kuat atau dengan menggunakan vortex dan didiamkan ± lima menit, disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm selama ± lima menit, bagian supernatan dibuang dan kemudian diulangi lagi tahapan tersebut, setelah itu ditambahkan SDS 10% sebanyak 40 µl, proteinase-K lima mg/ml sebanyak 10 µl, dan 1 x STE sampai 400 µl. Larutan dikocok dalam inkubator pada suhu 55 ºC selama dua jam, kemudian ditambahkan larutan phenol sebanyak 400 µl, kloroform isoamil alkohol (CIAA) sebanyak 400 µl, dan DNA diendapkan dengan 5 M NaCl sebanyak 40 µl. Larutan dikocok pelan pada suhu ruang selama 1 jam, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Bagian DNA (bening) dipindahkan dengan menggunakan pipet ke tabung 1.5 µ baru sebanyak 400 µl, kemudian ditambahkan EtOH absolut sebanyak 800 µl dan 5 M NaCl sebanyak 40 µl. Larutan disimpan di freezer selama satu malam. Endapan dicuci dengan menambahkan 70 % etanol sebanyak 400 μl, disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama lima menit, etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa vakum, selanjutnya DNA dilarutkan dengan 80% buffer TE sebanyak 80 μl.

Amplifikasi DNA Mikrosatelit

Primer yang digunakan untuk menganalisis keragaman DNA mikrosatelit sapi Katingan adalah ILSTS073, ILSTS030, dan HEL013 (Tabel 2). Reaksi PCR yang digunakan terdiri dari DNA 1 µl, primer 0,05 µl, dNTP 0,1 µl, MgCl2 0,25µl,

10 x buffer 1,25 µl, DW (destilated water) 9,3 µl, dan tag DNA Polimerase 0,05 µl. Kondisi PCR kemudian dijalankan sebagai berikut : siklus pertama adalah denaturasi awal pada 94 ºC selama lima menit, diikuti dengan 35 siklus yang masing-masing terdiri dari denaturasi (94 ºC selama 20 detik), penempelan primer (55-60 ºC), pemanjangan (72 ºC selama 45 detik), dan diakhiri dengan satu siklus berikutnya yaitu pemanjangan akhir pada 72 ºC selama lima menit.

Deteksi Alel DNA Mikrosatelit

Pengujian produk PCR dilakukan dengan menggunakan metode elektroforesis gel poliakrilamid (6%) dan dilanjutkan dengan pewarnaan perak (silver staining). Prosedur elektroforesis dilakukan dengan menggunakan metode Sambrook et al. (1989). Polyacrilamida Gel Electrophoresis (PAGE) yang digunakan yaitu

(24)

PAGE 6%. Elektroforesis akrilamid dijalankan pada voltase 100 volt selama ± 1,5 jam. Setiap sumur pada gel diisi dengan produk PCR sebanyak 2 µl yang dicampur dengan 0,25 µl larutan pemberat (loading dye). Satu sumur gel terakhir diisi dengan DNA marker 20 bp sebanyak 1 µl sebagai ukuran standar pita-pita DNA hasil amplifikasi.

Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan metode pewarnaan perak (silver staining) menurut Tegelstrom (1992). Pewarnaan perak terdiri atas empat tahap yaitu perendaman dengan larutan A (DW 200 ml, AgNO3 0,2 gram, 10 N NaOH sebanyak

80 ml, dan ammonia 800 µl), DW sebanyak 200 ml, larutan B (DW 200 ml, NaOH sebanyak 6 gram, formaldehid 200 µl) dan terakhir larutan C (DW 100 µl dan 100 µl asetat). Gel kemudian dimasukkan ke dalam larutan A sambil digoyang-goyang selama ± delapan menit, kemudian gel dicuci dengan DW (destilated water) selama dua menit. Selanjutnya gel direndam dalam larutan B sampai muncul pita. Larutan B sebelum digunakan dipanaskan terlebih dahulu di dalam waterbath pada suhu 60 -65 ºC sampai siap digunakan. Setelah pita muncul, kemudian gel dicuci dengan asam asetat glasial. Setelah selesai dicuci dengan larutan C, kemudian gel diletakkan di dalam plastik dan disimpan.

Tabel 2. Informasi tentang Tiga Pasang Primer Pengapit DNA Mikrosatelit

Kromosom Lokus TA

2 ILSTS 030 55 F:CTGCAGTTCTGCATATGTGG (GT)10

R:CTTAGACAACAGGGGTTTGG

11 HEL 013 55 F:TAAGGACTTGAGATAAGGAG (CA)18

R: CCATCTACCTCCATCTTAAC Sumber: Kathiravan et al. (2009)

Keterangan : TA = Temperature Annealing

(25)

Analisis Data

Frekuensi Alel

Frekuensi alel untuk setiap lokus DNA mikrosatelit dihitung menggunakan rumus Nei (1987):

Keterangan : j ≠ 1

xi = frekuensi alel ke-i

nij = jumlah individu untuk genotip ij

nii = jumlah individu untuk genotip ii

N = jumlah alel Frekuensi Genotipe

Frekuensi Genotipe ditentukan dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

Keterangan :

xi = frekuensi genotipe ke-i

ni = jumlah individu bergenotipe ke-i

N = jumlah individu

Derajat Heterozigositas

Derajat heterozigositas ditentukan dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

(26)

Keterangan :

h = nilai heterozigositas xi = frekuensi alel ke-i

n = jumlah individu

Rataan heterozigositas pada setiap lokus dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000):

Keterangan :

= rataan heterozigositas semua lokus

j = heterozigositas lokus ke-j

r = jumlah lokus

Jarak Genetik dan Pohon Genetik

Jarak dan pohon genetik dibuat dengan menggunakan perangkat lunak POPGENE Versi 32. Metode yang digunakan adalah metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Methode with Arithmetic Mean) (Nei, 1987).

(27)

2 HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi DNA Mikrosatelit

Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi dengan baik sampel DNA, namun dari total 70 sampel yang digunakan ditemukan beberapa sampel yang tidak dapat diamplifikasi oleh primer tersebut. Suhu annealing berhasil didapat setelah dilakukan optimasi, diperoleh suhu annealing untuk lokus ILSTS073 adalah 55 oC, lokus ILSTS030 60 oC dan lokus HEL013 55 oC. Suhu annealing pada lokus ILSTS030 berbeda dengan yang digunakan oleh Kathiravan et al. (2009). Perbedaan suhu ini mungkin disebabkan jenis ternak yang digunakan.

Lokus ILSTS073, lokus ILSTS030 dan HEL013 masing-masing dapat mengamplifikasi 67, 68 dan 65 sampel sapi Katingan. Pita target dapat dilihat setelah dilakukan proses silver staining pada gel akrilamid. Perbedaan panjang dari pita target menunjukkan perbedaan alel. Selain pita target, muncul juga pita-pita tambahan seperti yang dapat dilihat pada gambar gel akrilamid. Menurut Poerwanto (1993), konsentrasi enzim yang terlalu tinggi dan jumlah siklus yang berlebih juga dapat menjadi penyebab munculnya pita-pita tambahan.

Sampel yang tidak dapat diamplifikasi pada lokus ILSTS073, lokus ILSTS030 dan HEL013 masing-masing sejumlah 3, 2 dan 5 sampel. Hal ini mungkin dikarenakan primer tidak dapat menempel pada daerah komplemennya sehingga DNA mikrosatelit yang diapit tidak dapat diamplifikasi atau dikarenakan pencampuran bahan PCR tidak sempurna. Menurut Poerwanto (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil PCR adalah konsentrasi enzim (taq polimerase), dNTP (deoxynucleotide triphosphate), konsentrasi magnesium (MgCl2), suhu, jumlah

(28)

Keragaman DNA Mikrosatelit

Keragaman genetik merupakan perbedaan antara individu dalam suatu populasi, antara individu dalam populasi yang berbeda dalam spesies yang sama atau dalam spesies yang berbeda (Hendrick, 2000). Hasil analisis DNA mikrosatelit lokus ILSTS073, lokus ILSTS030 dan HEL013 masing-masing menghasilkan 13 alel, 10 alel dan 12 alel. Berikut ini disajikan keragaman DNA mikrosatelit setiap lokus pada sapi Katingan.

Lokus ILSTS073

Lokus ILSTS073 menghasilkan 13 alel dengan macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, M dan N. Ukuran alel terendah sebesar 148 pb dan ukuran alel tertinggi yaitu 184 pb. Kesemua alel tersebut diberi tanda abjad sesuai dengan ukuran alelnya. Contoh penentuan genotipe dari pewarnaan perak sampel pada lokus ILSTS073 dapat dilihat pada Gambar 4.

Keterangan : M = marker

(*) = tidak dilakukan genotyping (bukan sapi Katingan) (1a-8)= nomor sampel

Gambar 4. Contoh Penentuan Genotipe Lokus ILSTS073

Macam alel yang dihasilkan berbeda antara populasi Buntut Bali, populasi Pendahara, dan populasi Tumbang Lahang. Informasi mengenai macam alel, frekuensi alel, genotipe, dan frekuensi genotipe untuk masing-masing populasi pada lokus ILSTS073 dapat dilihat pada Tabel 3.

140 pb

(29)

Tabel 3. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus ILSTS073 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Populasi Jumlah

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada lokus ILSTS073, populasi Buntut Bali, Pendahara dan Tumbang Lahang masing-masing menghasilkan 7, 10 dan 8 alel. Frekuensi alel tertinggi pada lokus ILSTS073 adalah alel E pada populasi Pendahara sebesar 0,5208 dan alel yang rendah adalah alel C dan N pada populasi Tumbang Lahang yaitu masing-masingsebesar 0,0167. Frekuensi genotipe tertinggi pada ketiga populasi yaitu genotipe EE dengan nilai frekuensi genotipe untuk populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang berturut-turut 0,3076, 0,3333 dan 0,3333.

(30)

Frekuensi genotipe yang rendah untuk populasi Buntut Bali yaitu genotipe DD, EH, II, dan DM dengan nilai frekuensi genotipe 0,0769, frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Pendahara yaitu genotipe AB, DD, DE, DG, EG, EH, GK, dan GN dengan nilai frekuensi genotipe 0,0417, sedangkan untuk frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Tumbang Lahang yaitu genotipe CD, DD, DE, EE, FH, HH, EK, FK, HN dengan nilai frekuensi genotipe 0,0333. Distribusi frekuensi alel pada lokus ILSTS073 dari masing-masing populasi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS073

Hasil distribusi alel pada Gambar 5 menunjukkan bahwa beberapa alel yang hanya muncul pada populasi tertentu. Beberapa alel yang ditemukan pada populasi Pendahara dan Tumbang Lahang tidak ditemukan pada populasi Buntut Bali pada Lokus ILSTS073, seperti alel M yang hanya ditemukan pada populasi Buntut Bali serta alel C yang hanya terdapat pada populasi Buntut Bali dan Tumbang Lahang. Informasi mengenai frekuensi masing-masing alel dan genotipe untuk lokus ILSTS073 disajikan pada Tabel 4.

Buntut Bali

Pendahara

Tumbang Lahang 60

50

40

(%) 30 20

10

0

Macam Alel

(31)

Tabel 4. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS073 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Macam Alel Frekuensi Alel Macam Genotipe Frekuensi Genotipe

A 0,0075 DD 0,0448 dinyatakan oleh Ciampolini et al. (1995) bahwa DNA Mikrosatelit banyak digunakan sebagai penanda molekuler untuk mendukung pemuliaan ternak meliputi kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal-usul keturunan, penggalian sumber-sumber genetik, dan menjadi penanda molekuler penting dalam analisis genetik pada beberapa sapi.

Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa variasi genetik terjadi jika terdapat dua alel atau lebih dalam satu populasi (frekuensi alel lebih dari 1%). Perbedaan jumlah alel yang diperoleh disebabkan bangsa sapi yang digunakan (Bishop et al., 1994) dan perbedaan jumlah sampel yang digunakan (Winaya, 2000). Prahasta (2001) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah sampel yang digunakan maka akan semakin banyak kemungkinan alel yang muncul. Moxon dan Will (1999)

(32)

menyatakan bahwa keragaman mikrosatelit tersebut disebutkan perbedaan ukuran DNA mikrosatelit pada masing-masing lokus, sebagai hasil rekombinasi tidak seimbang saat replikasi DNA yang berakibat pada penarikan dan pengurangan jumlah nukleotida. Jumlah alel yang muncul tidak hanya dipengaruhi jumlah sampel yang digunakan, tetapi juga dipengaruhi oleh bangsa sapi dan sistem perkawinan yang dilakukan (Fikri, 2002). Menurut Utomo et. al. (2011), perkawinan pada sapi Katingan terjadi secara alam karena pejantan kebanyakan tersedia dalam kelompok sapi-sapi tersebut.

Lokus ILSTS030

Lokus ILSTS030 menghasilkan sebanyak 10 alel dengan macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I dan J. Ukuran alel terendah sebesar 140 pb dan ukuran alel tertinggi yaitu 178 pb. Kesemua alel tersebut diberi tanda abjad A hingga J sesuai dengan ukuran alelnya. Hasil sebagian genotipe dari pewarnaan perak sampel pada lokus ILSTS030 dapat dilihat pada Gambar 6.

Keterangan : M = marker

(*) = tidak dilakukan genotyping (bukan sapi Katingan) (21, 46-55)= nomor sampel

Gambar 6. Contoh Penentuan Genotipe Lokus ILSTS030

Informasi mengenai macam alel, frekuensi alel, genotipe, dan frekuensi genotipe pada masing-masing populasi pada lokus ILSTS030 dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah alel yang dihasilkan pada lokus ILSTS030 pada populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang masing-masing sebanyak 6, 8 dan 8 alel. Frekuensi alel tertinggi pada lokus ILSTS030 adalah alel G pada populasi Tumbang

140 pb

(33)

Lahang sebesar 0,4000 dan alel terendah adalah alel J pada populasi Tumbang Lahang yaitu sebesar 0,0167.

Tabel 5. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus ILSTS030 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

(34)

Frekuensi genotipe yang tinggi dari populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang berturut-turut yaitu GG, EE dan GG dengan nilai frekuensi genotipe 0,2308, 0,2000, dan 0,3000. Frekuensi genotipe yang rendah untuk populasi Buntut Bali yaitu genotipe BB, FF, BG dan GI dengan nilai frekuensi genotipe 0,0769, frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Pendahara yaitu genotipe BD, BE, CE, EH, HH, BI dan II dengan nilai frekuensi genotipe 0,0400, sedangkan untuk frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Tumbang Lahang yaitu genotipe AB, CC, BD, BF, AG, DG dan IJ dengan nilai frekuensi genotipe 0,0333. Distribusi frekuensi alel pada lokus ILSTS030, disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS030

Hasil distribusi alel pada Gambar menunjukkan bahwa beberapa alel yang hanya muncul pada populasi tertentu. Beberapa alel yang ditemukan pada populasi Tumbang Lahang tidak ditemukan pada populasi Buntut Bali dan Pendahara pada Lokus ILSTS030, seperti alel A dan J yang hanya ditemukan pada populasi Tumbang Lahang. Informasi mengenai frekuensi masing-masing alel dan genotipe untuk lokus ILSTS030 disajikan pada Tabel 6.

40

(%) 30 20

10

0

Macam Alel

(35)

Tabel 6. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS030 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Macam Alel Frekuensi Alel Macam Genotipe Frekuensi Genotipe

A 0,0147 DD 0,1176 ini mendominasi alel lainnya yang berarti bahwa kemungkinan salah satu tetua dari sapi Katingan yang beralel G ditemukan banyak pada sapi Katingan.

Lokus HEL013

Lokus HEL013 menghasilkan sebanyak 12 alel dengan macam alel yaitu alel B, C, D, E, F, G, H, I, M, N, O dan P. Ukuran alel terendah sebesar 174 pb dan ukuran alel tertinggi yaitu 204 pb. Kesemua alel tersebut diberi tanda abjad sesuai dengan ukuran alelnya berturut-turut (174, 176, 178, 180, 182, 184, 186, 188, 196, 200, 202, dan 204 pb). Contoh penentuan genotipe dari pewarnaan perak sampel pada lokus HEL013 dapat dilihat pada Gambar 8.

(36)

Keterangan : M = marker

(*) = tidak dilakukan genotyping (bukan sapi Katingan), (45-56)= nomor sampel

Gambar 8. Contoh Penentuan Genotipe Lokus HEL013

Informasi mengenai macam alel, frekuensi alel, genotipe, dan frekuensi genotipe untuk masing-masing populasi pada lokus HEL013 dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah alel yang dihasilkan pada lokus HEL013 pada populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang masing-masing sebanyak 5, 10 dan 8 alel. Frekuensi alel tertinggi pada lokus HEL013 adalah alel F pada populasi Buntut Bali sebesar 0,4615 dan alel yang rendah adalah alel I dan L pada populasi Tumbang Lahang yaitu sebesar 0,0167. Frekuensi genotipe tertinggi dari populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang yaitu genotipe FN dengan nilai frekuensi genotipe 0,6923, 0,5909, dan 0,7000. Frekuensi genotipe yang rendah untuk populasi Buntut Bali yaitu genotipe DF, FF, GG dan GO dengan nilai frekuensi genotipe 0,0769, frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Pendahara yaitu genotipe BB, CF, FF, EG, FH, GI dan EL dengan nilai frekuensi genotipe 0,0455, sedangkan untuk frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Tumbang Lahang yaitu genotipe EE, GI, EL dan GN dengan nilai frekuensi genotipe 0,0333.

140 pb

(37)

Tabel 7. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus HEL013 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Populasi Jumlah

Distribusi frekuensi alel lokus HEL013, disajikan pada Gambar 9.

(38)

Hasil distribusi alel pada Gambar 8 menunjukkan bahwa beberapa alel hanya muncul pada populasi tertentu. Beberapa alel yang ditemukan pada populasi Tumbang Lahang ada yang tidak ditemukan pada populasi Buntut Bali dan Pendahara pada lokus HEL013, seperti alel P yang hanya ditemukan pada populasi Tumbang Lahang serta alel D yang hanya ditemukan pada populasi Buntut Bali. Informasi mengenai frekuensi masing-masing alel dan genotipe untuk lokus ILSTS030 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada Lokus HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah

Macam Alel Frekuensi Alel Macam Genotipe Frekuensi Genotipe

B 0,0154 FN 0,6769 alel N merupakan alel tertinggi, kedua alel ini mendominasi alel lainnya yang berarti bahwa kemungkinan salah satu tetua dari sapi Katingan yang beralel F atau beralel N ditemukan banyak pada sapi Katingan.

Nilai Heterozigositas

Nilai heterozigositas ( ) tertinggi ditemukan pada populasi Tumbang Lahang yaitu pada lokus HEL013 (0,9667) dan terendah (0,1538) ditemukan pada populasi Buntut Bali yaitu pada lokus ILSTS030. Rataan Heterozigositas ( ) dari ketiga lokus menunjukkan bahwa sapi Katingan yang berasal dari populasi Tumbang Lahang mempunyai keragaman genetik yang sedikit lebih tinggi (0,6333) dibandingkan sapi Katingan yang berasal dari populasi Buntut Bali (0,5128) dan Pendahara (0,6063).

(39)

Prahasta (2001) menyatakan bahwa semakin banyak sampel yang digunakan pada suatu lokus maka semakin besar nilai heterozigositas yang diperoleh, Nilai heterozigositas dari ketiga primer yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Heterozigositas sapi Katingan pada Ketiga Populasi

Lokus

( ) pada Populasi

Buntut Bali Pendahara Tumbang Lahang

ILSTS073 0,5385 0,5417 0,6000

ILSTS030 0,1538 0,3600 0,3333

HEL013 0,8462 0,9091 0,9667

Rataan

Heterozigositas ( ) 0,5128 0,6036 0,6333

Nei (1987) menyatakan bahwa nilai heterozigositas ( ) merupakan cara paling akurat untuk mengukur variasi genetik. Menurut Takezaki dan Nei (1996), untuk mengukur keragaman genetik, rataan heterozigositas dari lokus-lokus mikrosatelit antara 0,3 dan 0,8 dalam populasi, dengan demikian sudah sesuai dengan kategori tersebut. Tingkat heterozigositas dapat dipengaruhi oleh ukuran atau jumlah populasi (Nei, 1987). Derajat heterozigositas dapat diperoleh dari rataan persentase lokus heterozigot tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi (Nei dan Kumar, 2000). Keragaman genetik pada tingkat DNA dapat diketahui dengan melihat nilai heterozigositas dan frekuensi alel. Rataan Heterozigositas ( ) dari masing-masing lokus dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Heterozigositas ( ) dari Masing-masing Lokus

No. Lokus Rataan Heterozigositas ( )

1 ILSTS073 0,5672

2 ILSTS030 0,3088

3 HEL013 0,9231

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa raatan heterozigositas ( ) tertinggi terdapat pada lokus HEL013 dan terendah terdapat pada lokus ILSTS030.

(40)

Rataan heterozigositas ( ) dari heterozigositas yang tinggi pada subpopulasi/populasi menurut Abdullah (2008) menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut mengandung alel-alel sapi lain. Hal ini dimungkinkan karena di lokasi Tumbang Lahang telah dikembangkan sapi jenis Zebu, PO, Bali bahkan juga FH melalui berbagai program, baik dari Pemerintah maupun dari misionaris. Menurut Utomo et. al. (2011), misionaris bekerja di Tumbang Lahang diantaranya pada saat itu untuk membina masyarakat lokal guna melakukan kegiatan pertanian menetap. Dalam rangka mendukung kegiatan pertanian tersebut dikembangkan pula sapi-sapi (sapi Zebu) yang dapat membantu untuk mengolah lahan. Sapi-sapi introduksi tersebut ada yang dikawinsilangkan dengan sapi lokal setempat. Adanya kawin silang menimbulkan segregasi gen-gen sapi-sapi tersebut yang beragam dan meluas pada populasi sapi Katingan yang ada di Tumbang Lahang, dan membentuk performan sapi Katingan populasi Tumbang Lahang seperti sekarang ini. Menurut Karthickeyan et al. (2009), tidak adanya kegiatan seleksi seperti yang ada di lapangan,memunculkan alel observasi yang tinggi dimana keragaman genetiknya juga akan tinggi.

Keragaman genetik ternak di Indonesia khususnya bangsa sapi telah banyak diteliti pada beberapa bangsa sapi, dan hasilnya menyatakan bahwa bangsa sapi tersebut bersifat polimorfik seperti yang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Heterozigositas ( ) pada Beberapa Bangsa Sapi di Indonesia

Bangsa Ternak Lokus ( ) Referensi

Sapi Pesisir ILSTS006 0,71 Harmayanti (2004)

Sapi Katingan ILSTS029 0,66 Purwanti (2011)

Sapi Bali 16 lokus* 0,33 Winaya et al. (2007)

Sapi Madura 16 lokus* 0,31 Winaya et al. (2007)

Sapi Katingan HEL013 0,92 Hasil Penelitian

Keterangan : (*) Terdiri dari BM2113, CSSM66, ETH3, ETH10, ETH152, ETH185, ETH225, HEL1, HEL9, ILSTS005, INRA023, INRA032, INRA035, INRA037, HAUT24

Crow (1986) menyatakan bahwa sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal memiliki peluang yang semakin besar untuk terekspresi ketika derajat heterozigositas semakin menurun yang diakibatkan derajat inbreeding yang tinggi dan fragmentasi populasi. Tingginya keragaman genetik juga menandakan bahwa

(41)

sifat-sifat yang dimiliki masih sangat beragam, baik sifat yang unggul maupun yang jelek (Harmayanti, 2004).

Jarak Genetik

Berdasarkan hasil penelitian sapi Katingan pada populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang diperoleh hasil bahwa populasi Pendahara memiliki jarak genetik yang lebih dekat dengan populasi Buntut Bali, sedangkan populasi Tumbang Lahang memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan populasi Buntut Bali dan Pendahara. Jarak genetik dari ketiga populasi sapi Katingan dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 12.

Tabel 12. Jarak Genetik Sapi Katingan Populasi Tumbang Lahang, Buntut Bali, dan Pendahara Berdasarkan Metode UPGMA

Populasi Jarak Genetik antar Populasi

Tumbang Lahang Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang 0,0000

Pendahara 0,0506 0,0000

Buntut Bali 0,0363 0,0099 0,0000

Berdasarkan pohon genetik sapi Katingan (Gambar 10), sapi Katingan pada populasi Buntut Bali dan Pendahara memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat, sedangkan sapi Katingan pada populasi Tumbang Lahang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan populasi Buntut Bali dan Pendahara. Hasil pada penelitian ini sama dengan kondisi di lapang yang sebenarnya.

Gambar 10. Pohon Genetik Sapi Katingan Sub Populasi Tumbang Lahang, Buntut Bali, dan Pendahara Berdasarkan Metode UPGMA

2,1712

0,4940 0,4940

1,6772

(42)

Jika dilihat pada peta lokasi pengambilan sampel sapi Katingan, jarak lokasi pengambilan sampel sapi Katingan populasi Buntut Bali berdekatan dengan populasi Pendahara. Hal ini dapat menyebabkan jarak genetik sapi Katingan pada populasi Buntut Bali berdekatan dengan populasi Pendahara karena sistem pemeliharaan ekstensif pada sapi Katingan dapat menyebabkan perkawinan sapi Katingan antara kedua populasi. Begitu juga dengan sapi Katingan pada populasi Tumbang Lahang, kemungkinan sapi Katingan pada populasi Tumbang Lahang belum terjadi perkawinan dengan sapi Katingan yang ada di populasi Buntut Bali dan populasi Pendahara, sehingga jarak genetiknya berjauhan.

(43)

2 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa sapi Katingan di Kalimantan Tengah memiliki tingkat keberagaman yang tinggi atau bersifat polimorfik untuk lokus ILSTS073, ILSTS030, dan HEL013. Nilai Rataan Heterozigositas ( ) tertinggi ditemukan pada lokus HEL013 dan terendah ditemukan pada lokus ILSTS030. Populasi Buntut Bali memiliki hubungan genetik yang lebih dekat dengan populasi Pendahara. Populasi Tumbang Lahang memiliki hubungan genetik lebih jauh dengan populasi Buntut Bali dan Pendahara.

Saran

(44)

2 UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT, Tuhan

semesta alam yang Maha Penyayang, Maha Pengasih dan Maha Penolong untuk hamba-hambaNya yang selalu meminta kepadaNya. Terima kasih Ya Rabb, hanya karena pertolongan-Mu Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc dan Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si selaku pembimbing skripsi atas segala kesabaran, bimbingan, motivasi dan bantuannya yang diberikan kepada Penulis. Terima kasih juga kepada Dr. Drh. Bambang Ngaji Utomo, M.Sc., yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk ikut dalam penelitiannya, terima kasih juga atas arahan dan bimbingan serta informasi yang telah diberikan kepada Penulis selama ini. Terima kasih kepada Ir. Rini H. Mulyono, M.Si., Ir. Anita S. Takradidjaja, M.Rur.Sc. dan M. Baihaqi, S.Pt., M.Sc., sebagai penguji yang telah memberikan kritikan dan masukannya.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Ummi dan Abi yang sangat penulis sayangi, segala kesabaran yang tak pernah ada batasnya, segala perhatian yang tak pernah ada hentinya, pengorbanan, motivasi, do’a dan nasihat yang selalu mengiringi perjalanan hidup Penulis sampai kapanpun, maaf tiada hentinya atas hasil yang mungkin selama ini belum memberikan suatu kebanggaan dan belum bisa memberikan yang terbaik bagi Ummi dan Abi. Kepada adikku yang keenam orang ini, terima kasih karena kalian telah menjadi adik-adik yang sangat lucu. Kepada pendamping hidupku Erwinsyah, Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya atas kesabaran, motivasi dan bantuannya selama ini.

(45)

kelembagaan dan kakak tingkat (Mbak Weni, Mbak Ayu, Mbak Henti, Mbak Rini) atas dukungannya selama ini kepada Penulis. Penulis banyak mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kebersamaan kalian selama ini.

Bogor, September 2011

Penulis

(46)

2 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. A. N. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah D-Loop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Adrial. 2010. Sapi Lokal Kalimantan Tengah Sumberdaya Lokal potensial yang Belum Termanfaatkan Secara Optimal. BPTP Kalteng. http://kalteng.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=a rticle. [1November 2010].

Bennet, P. 2000. Microsatellites. J. Clin. Pathol. Mol. Pathol. 53: 177-183.

Bhermana, A. 2010. Peta sumberdaya lahan Desa Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang, Kabupaten Katingan skala 1:250.000. palangka Raya: BPTP Kalimantan Tengah.

Bishop, M. D., S. M. Kappes, J. W. Keelle, R. T. Stone, S. L. F. Sunden, G. A. Hawkins, S. S. Toldo, R. Fries, M. D. Gronzs, J. Yoo & C. W. Beattie. 1994. A genetic linkage map for cattle. Genetics. 136: 619-639.

Ciampolini, R., K. M. Goudarzi, D. Vaiman, C. Dillmann, E. Mazzanti, J. L. Foulley, H. Leveziel, & D. Cianci. 1995. Individual multilocus genotypes using microsatellite polymorphisms to permit the analysis of the genetic variability within and between Italian beef cattle breeds. J. Anim. Sci. 73: 3259-3268. Crow, J. F. 1986. Basic Concept in Population, Quantitative, and Evolutionary

Genetics. W. H. Freeman Company, USA.

Fikri, M. 2002. Variasi alel DNA mikrosatelit BM 143 dan BM 888 berdasarkan nilai pemuliaan tertaksir pada sapi Fries Holland (FH) di BPT HMT Baturaden. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Georges, M., R. Drinkwater, T. King, D. Nielsen & L. S. Sargeant. 1993. Microsatellite mapping of gene affecting horn development in Bos taurus. Nature Genet. 4: 206-210.

Hartl, D. L. & A. G. Clark. 2000. Principles of Population Genetics. 3rd Eds. Sinaeur Assosiatess, Inc., Publisher Sunderlands, Massachusetts.

Harmayanti, W. A. 2004. Pendeteksian keragaman DNA mikrosatelit sapi Pesisir Sumatera Barat dengan menggunakan primer INRA037, BM2113, serta ILSTS006. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hendrick, P. W. 2000. Genetics of Population. 2nd Ed. Jones and barlett Publishers.

Sudbury, Massachussetts.

Hoelzel, A. R. 1998. Molecular Genetic Analysis of Populations. A Practical Approach.Second Edition. Oxford University Press, New York.

Karthickeyan, S.M.K., S.N. Sivaselvam, R. Selvam & P. Thangeraju. 2009. Microsatellite analysis of Kangayam cattle (Bos indicus). Indian J. Sci. Technol. 2(10): 38-40.

(47)

Lehmann, T., A. H. William & F. H Collins. 1996. An evolutionary constraints on microsatellite loci using null allels. J. Genet. 144: 1155-1163.

Li, X, K. Li, B. Fan, Y. Gong, S. Zhao, Z. Peng & B. Liu. 2000. The genetics diversity of seven pig breeds in China, estimated by means of microsatellites. J. Anim. Sci. 9: 1193-1195.

Maskur. 2001. Mikrosatelit sebagai penanda molekuler dalam analisis genom. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moxon, E. R & C. Wills. 1999. DNA Microsatellites: Agents of Evaluation.

Noor, R. R., Muladno, B. Benyamin, Z. Hedah, & Herliantin. 2000. The Purity Breed Test of Bali Cattle by Protein, Microsatellite DNA, Body Hair structure and Chromosome. Join Research Grand Program Reports. Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University and Artificial Insemination Center. Purwanti, R. 2011. Identifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM006,

ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Poerwanto, S. B. 1993. Teknik PCR dan Aplikasinya. Kursus Singkat Biologi Molekuler. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengentahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prahasta, P. 2001. Derajat heterozigositas DNA mikrosatelit pada populasi sapi Fries Holland (FH). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sambrook, J., E.F. Fritsch & T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning : Laboratory

Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, USA.

Takezaki, N., & M. Nei. 1996. Genetic distances and reconstruction of phylogenetic tree from microsatellite DNA. Genetics 144: 389-399.

Tegelstrom, H. 1992. Mitochondrial DNA in natural population: An improved routine for screening of genetic variation based on sensitive silver staining. Electrophoresis, 7: 226-229.

Utomo, B. N., R. R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, & E. Gurnardi. 2010. Keragaman morfometrik dan fenotipik Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. JITV (InPress).

Utomo, B. N. 2011. Keragaman fenoripik dan genetik, profil reproduksi serta strategi pelestarian dan pengembangan sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Utomo, B. N., R. R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, & E. Gurnardi. 2011.

Keragaman genetik sapi Katingan dan hubungan kekerabatannya dengan beberapa sapi lokal lain menggunakan analisis DNA mikrosatelit. JITV (InPress).

(48)

Weber, J.L. 1990. Informativeness of human (dC-dA)n(dG-dT)n polymorphism.

Genomics 7: 524-530.

Winaya, A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Winaya, A., Muladno, & B. Tappa. 2007. Panel 16 lokus mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan hubungan filogenetik pada genom sapi. Med. Pet. 24(2): 81-88.

(49)
(50)

Lampiran 1. Informasi Ulangan Nukleotida Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 (http://www.ncbi.nlm.nih.gov) [08 Juli 2011]

1. Lokus ILSTS073 Akses L37232.1

5´cgactctagaggatcttagggcaggagtaatctttggaagttatacacacacacacacacacacacacacacacac acacacacatatacacacacatacatacatatatatggttttgattgtgacctagcaggacactatggggccttttaaggac agactccaccaccatactctctgttttatttcctctctgaaagcacctagataatagtatcagatgcacatctggacttcccan nnncactagtggtaaagaaaccatgcctggcaatgcaagagtcataagagagacataagagattcaggttga 3´

2. Lokus ILSTS030 Akses L37212.1

5´ctcacccccattttatagcaccatacaaagataaactatttgatgaagtttcttaattcagttctaatacattctaaaatacatt cagaattaaatattaataatttatattatttatttaatatctgtgtgtttttattgtagtaatcaatataaggaaataaatttatncagtc tctatcctgaataaagtacaatattcacaactgaatgagtattggagaggcattctgaaaagggaataaacantggcaatgc aaagattgggaagattactttttttcctgtatacctcaaatttattttgtgagnnccaaatgatatacagttagttggncctagag atgttgacctctctaccctgtcgaaaatccaagtaaaactttacagttggaccttaaaatctgcagttctgcatatgtggattca aacaatcatggactccgtgtgtgtgtgtgtgtgtgtatgtgttagtcatactgtacaagtatgtattggaaacaagatctggt agaagtggacacacacagtccaaacccctgttgtctaaggatcc 3´

3. Lokus HEL013 Akses X65207.1

5´ttttcccatgtaatattatcttacttggaaaaagaatctttgcagatgcaattaagttaaggacttgagataaggaggttgtct tgaatcatctcnntnagctctgaatgctagcaagtgttcttgtaagagagaaacaaaggggcattagagagagacacaca cacatacacacacacacacacacacacacacacacacacacagggaggaagcaaagaggagggaataagatgtt aagatggaggtagatggtgcagtgattcagctacgggattcaagccactgattgccagaagccccccgaaagctgtaag aggcaaggaacagctcctcacatggagccctgaaacaattaacctgggattcctggcctccagaactgtgtgagaacaa atttttgctgttttaaaccattcagtctgtggccatttgtttcagcagccacgggaaacaaatacgctggcaaacggtttccgt ggtgatgacagcttctcccccc 3´

(51)

Lampiran 2. Macam, Ukuran Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS073, Sapi Katingan, Kalimantan Tengah

Macam alel menurut ukuran panjang (bp):

(52)

Lampiran 3. Macam, Ukuran Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS030, Sapi Katingan, Kalimantan Tengah

Macam alel menurut ukuran panjang (bp):

(53)

Lampiran 4. Macam, Ukuran Alel dan Genotipe pada Lokus HEL013, Sapi Katingan, Kalimantan Tengah

Macam alel menurut ukuran panjang (bp):

(54)

i

KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS ILSTS073,

ILSTS030 DAN HEL013 PADA SAPI KATINGAN

DI KALIMANTAN TENGAH

SKRIPSI

RAHMAH MUTHMAINNAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(55)

i

RINGKASAN

RAHMAH MUTHMAINNAH. D14070235. 2011. Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Skripsi. Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M. Rur. Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si.

Sapi Katingan adalah salah satu plasma nutfah ternak di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah dan dipelihara oleh masyarakat di sepanjang aliran sungai Katingan. Penelitian ini perlu dilakukan karena adanya keterbatasan informasi genetik, khususnya pada tingkat molekuler (DNA mikrosatelit). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman DNA mikrosatelit lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah.

Sampel darah diambil dari 70 ekor sapi Katingan yang berasal dari tiga populasi, yaitu populasi Buntut Bali, Pendahara dan Tumbang Lahang masing-masing 26 ekor, 13 ekor dan 31 ekor. Amplifikasi DNA mikrosatelit dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian dielektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 6% dan dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan frekuensi alel, frekuensi genotipe, derajat heterozigositas dan pohon genetik.

Hasil amplifikasi lokus ILSTS073 menghasilkan 13 macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, M dan N. Frekuensi alel tertinggi yaitu alel E (0,5208) pada populasi Pendahara dan terendah yaitu alel C dan N pada populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe EE (0,3333) pada populasi Pendahara dan Tumbang Lahang dan terendah yaitu genotipe CD, DD, DE, EE FH, HH, EK, FK dan HN (0,0333) pada populasi Tumbang Lahang. Lokus ILSTS030 menghasilkan 10 macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I dan J. Frekuensi alel tertinggi adalah alel E (0,5167) pada populasi Tumbang Lahang dan terendah adalah alel C dan N (0,0167) pada populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe GG (0,3000) pada populasi Tumbang Lahang dan terendah yaitu genotipe AB, CC, BD, BF, AG, DG dan IJ (0,0333) pada populasi Tumbang Lahang. Lokus HEL013 menghasilkan 12 macam alel yaitu alel B, C, D, E, F, G, H, I, L, N, O dan P. Frekuensi alel tertinggi adalah alel F (0,4615) pada populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel I dan L (0,0167) pada populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe FN (0,7000) pada populasi Tumbang Lahang dan terendah yaitu genotipe EE, GI, EL dan GN (0,0333) pada populasi Tumbang Lahang.

Nilai heterozigositas tertinggi diperoleh pada populasi Tumbang Lahang Lokus HEL013 yaitu sebesar =0,9667, sedangkan yang terendah terdapat pada populasi Buntut Bali Lokus ILSTS030 sebesar =0,1538. Rataan Heterozigositas ( ) untuk lokus ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013 , masing-masing sebesar 0,5601, 0,2824 dan 0,9073.

(56)

ii

ABSTRACT

The Polymorphism of ILSTS073, ILSTS030, and HEL013 Microsatellite DNA Loci on Katingan Cattle in Central Kalimantan

Muthmainnah, R., R. R. Noor, and Jakaria

The aim of this research was to identify the polymorphisms of ILSTS070, ILSTS030 and HEL013 microsatellite DNA loci of Katingan cattle at Central Kalimantan. Blood samples were taken from 70 Katingan cattle which originated from three different populations, 13 blood samples were from Buntut Bali population, 26 blood samples were from Pendahara population and 31 blood samples were collected from Tumbang Lahang population. The amplification of microsatellite DNA marker was done by PCR (Polymerase Chain Reaction) and PCR product were then electrophoresed using 6% polyacrilamide gel followed by silver staining. The data were analyzed to get allele frequency, genotype frequency, heterozygosity value and genetic tree. The result showed that all microsatellite DNA loci were polymorphic. ILSTS073 locus had 13 alleles with the highest allele frequency was found in Pendahara population with allele E (0.5028) and the lowest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele C and N (0.0167). ILSTS030 locus had 10 alleles with the highest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele E (0.5167) and the lowest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele C and N (0.0167). HEL013 locus had 12 alleles with the highest allele frequency was found in Buntut Bali population with allele F (0.4615) and the lowest allele frequency was found in Tumbang Lahang population with allele I and L (0.0167). The highest heterozygosity value was found in Tumbang Lahang population of HEL013 locus ( =0.9667) and the lowest heterozygosity value was found in Buntut Bali population of ILSTS030 locus ( =0.1538). The average heterozygosity ( ) from ILSTS073, ILSTS030 and HEL013 locus were 0.5601, 0.2824 and 0.9073.

(57)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan sapi potong merupakan salah satu komponen subsektor peternakan nasional yang mampu memberikan lahan usaha dan meningkatkan kesejahteraan sebagian masyarakat lokal setempat, memberikan perbaikan gizi melalui penyediaan protein hewani masyarakat luas. Sejumlah usaha telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong domestik. Salah satu kebijakan pembangunan peternakan di Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional adalah upaya untuk kecukupan daging.

Salah satu potensi ternak di Kalimantan Tengah adalah sapi lokal yang dipelihara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan secara ekstensif sehingga sapi tersebut oleh Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah dikenal sebagai sapi Katingan. Sapi Katingan merupakan sapi lokal di Kalimantan Tengah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sapi potong. Keberadaan sapi Katingan telah lama dipelihara dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya pada kondisi lahan yang tergolong asam pada pH berkisar antara 3-5 dan miskin mineral khususnya mineral Cu yang mungkin berpengaruh pada sapi Katingan. Sampai saat ini, informasi sapi Katingan masih terbatas, terutama dasar-dasar genetik, sehingga pemanfaatan potensi sapi Katingan sebagai ternak potong perlu dioptimalkan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi bidang molekuler yang semakin berkembang telah berhasil menemukan berbagai macam penanda molekuler khususnya marker berbasis DNA untuk mengetahui keragaman genetik (DNA) yang mungkin terkait dengan sifat-sifat ekonomis, kajian asal- usul atau kekerabatan dan studi genetika populasi.

Gambar

Gambar 2.
Gambar 2. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan
Gambar 3. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sapi Katingan
Tabel 2. Informasi tentang Tiga Pasang Primer Pengapit DNA Mikrosatelit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan kata “ لا ” bermakna “jangan” dalam Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam tiga bidang kajian pendidikan Islam, yaitu: (a) Akidah terdapat 102 ayat, di

Perawatan sapi induk dan anak sapi harus dilakukan secara rutin, yaitu dengan cara: (1) Memandikan sapi sebanyak dua kali dalam satu minggu; (2) Membersihkan

Observasi dilakukan oleh teman sejawat dengan menggunakan lembar observasi untuk mengetahui kegiatan dan aktifitas siswa dalam pembelajaran dan mengamati kegiatan guru

“Sejauhmanakah efektivitas sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG kepada ibu-ibu rumah tangga dalam rangka mengubah keputusan.. penggunaan bahan bakar di Kecamatan

Perupa ingin membebaskan ekspresi dan efek emosional penciptaannya untuk mencapai purity of form (kemurnian bentuk), kepuasan estetik, serta menuangkan imajinasinya akan

Berdasarkan indeks keragaman (H’) yang dihubungkan dengan kualitas perairan, kualitas air pada danau sekitar Muara Sungai Jembatan Dua, muara Sungai Koyabo

 Fluida panas bumi muncul ke permukaan dengan cepat. (>

Panggabean, HimpunanPutusan Mahkamah Agung Mencapai Perjanjian Kredit Perbankan(Berikut Tanggapan), Jilid 1, (Bandung : Penerbit PT. Sebagai perbandingan, Pasal