OLEH
ELVHA ADITIA SIDIK H14070031
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
ELVHA ADITIA SIDIK. Kajian Penilaian Dampak Kebijakan Penanganan Kasus Bank Century dengan Metode Percobaan Ekonomi (dibimbing oleh
BAMBANG JUANDA).
Kontroversi terkait tindakan penyelamatan Bank Century hingga saat ini masih menjadi pertanyaan besar. Berbagai kalangan menilai bahwa tindakan penyelamatan merupakan tindakan yang tepat karena tindakan penutupan Bank Century dapat menyebabkan dampak sistemik terhadap stabilitas perbankan dan ekonomi secara keseluruhan. Hal tersebut didasarkan pada kondisi krisis yang dialami pada saat itu. Kalangan yang lain menilai bahwa tindakan penyelamatan Bank Century tidak tepat karena penutupan Bank Century tidak akan berdampak sistemik disebabkan ukuran Bank Century yang relatif kecil.
Mengingat tindakan yang telah dilakukan pemerintah adalah tindakan penyelamatan Bank Century, perdebatan antara ada dan tidak adanya dampak sistemik akibat kebijakan penutupan Bank Century sulit dipecahkan dengan metode ekonomi yang lain, seperti metode survei atau kajian terhadap data sekunder. Oleh karena itu, kajian ada atau tidaknya dampak sistemik yang ditimbulkan penutupan Bank Century menarik untuk dikaji secara ilmiah melalui metode percobaan ekonomi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak kebijakan penanganan bank bermasalah terhadap variabel ekonomi yang ditimbulkan akibat kebijakan penanganan bank bermasalah yang dikaitkan dengan kondisi ekonomi (kondisi krisis dan kondisi normal) dan ukuran bank bermasalah (relatif kecil ataukah relatif sama besarnya ukuran bank bermasalah tersebut dengan bank lain pada umumnya). Variabel ekonomi tersebut terdiri dari suku bunga deposito, total deposito, suku bunga kredit, total pinjaman, tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat inflasi. Dengan demikian, diharapkan mampu menjawab kontroversi dampak sistemik dan nonsistemik akibat kebijakan penutupan Bank Century.
Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data hasil simulasi percobaan ekonomi. Sedangkan data sekunder yang digunakan data Statistik Perbankan bulan November 2008, data Rasio-rasio Keuangan Pokok Perbankan tahun 2008, data Suku Bunga Simpanan Berjangka Per tahun, dan data Suku Bunga Pinjaman Per tahun. Data-data tersebut digunakan sebagai acuan dalam menentukan kondisi awal percobaan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok 3 Faktor dengan menggunakan analisis ragam ANOVA. Metode analisis data tersebut digunakan untuk melihat pengaruh dan interaksi antara ketiga faktor, yaitu kebijakan penanganan bank, kondisi ekonomi, dan ukuran bank bermasalah terhadap respon suku bunga deposito, total deposito, suku bunga kredit, total pinjaman, tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat inflasi.
bunga kredit, total deposito, total pinjaman, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, interaksi antara kebijakan penanganan bank bermasalah dan kondisi ekonomi dan interaksi antara kebijakan penanganan bank bermasalah dan ukuran bank bermasalah terhadap tingkat inflasi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan simulasi yang dilakukan, kebijakan penutupan bank bermasalah berukuran kecil seperti Bank Century memiliki pengaruh yang lebih besar pada saat kondisi krisis dibandingkan kondisi normal terhadap respon suku bunga deposito, suku bunga kredit, total pinjaman, dan tingkat pengangguran. Selain itu, kebijakan penutupan bank bermasalah berukuran besar pada saat krisis memiliki pengaruh yang besar terhadap respon suku bunga deposito, suku bunga kredit, total deposito, total pinjaman, dan pertumbuhan ekonomi dibandingkan penutupan bank bermasalah berukuran kecil.
people consider that the closure of Century Bank could cause systemic impact on the stability of the banking and the economy. It is based on the crisis condition at that time. Closure of small bank during the crisis could lead bank panics which is shown by rush action of bank costumers. The others consider that the closure of Century Bank would not cause systemic impact due to the size of Century Bank which is relatively small. Based of the controversy, the closure of Century Bank considering economic condition and bank size factor needs to be studied scientifically against some economic variables by the economic experimental method.
Based on economic experimental method of this research, the closure of small troubled bank which is like Century Bank has a greater influence on the crisis condition compared to the normal condition on the responses of deposit rates, lending rates, total loans, and the unemployment rate. In additon, the closure of large troubled bank compared to the small troubled bank in crisis has a greater influenced on responses of deposit rates, lending rates, total deposits, total loans, and economic growth.
The answering of Century Bank closure controversy by economic experimental method suggests that the closure of Century Bank has a relatively low systemic impact. Greater systemic impact woud be happened on the closure of a big trouble bank in crisis. In normal condition, the closure of a small troubled
bank wouldn’t cause systemic impact because that condition dosesn’t influence
significantly to the consumer bank trust.
Oleh
ELVHA ADITIA SIDIK H14070031
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Nama : Elvha Aditia Sidik
NRP : H14070031
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. NIP. 19640101 198803 1 061
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2011
Penulis bernama Elvha Aditia Sidik lahir pada tanggal 3 November 1989
di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua saudara, dari
pasangan Iip Japar Sidik dan Etty Liswanty. Jenjang pendidikan penulis dilalui
tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Ciriung 2 Cibinong
pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Cibinong dan lulus
pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 3 Bogor
dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya ke
jenjang yang lebih tinggi. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi
seperti Unit Kegiatan Mahasisawa (UKM) Kewirausahaan Century dan
HIPOTESA. Pada tahun 2008, penulis aktif sebagai staf HRD UKM Century.
Pada tahun 2010, penulis aktif sebagai Staf Divisi Lable (Life for Academic and Education) HIPOTESA. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif sebagai Assisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Tentor Matematika Bimbingan
Belajar Primagama sejak tahun 2009 hingga tahun 2011. Pada tahun 2010, penulis
juga pernah mengikuti seleksi pemilihan Mahasiswa Berprestasi tingkat
Departemen Ilmi Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, para
keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir jaman.
Penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Penilaian Dampak Kebijakan Penanganan Kasus Bank Century dengan Metode Percobaan Ekonomi” merupakan pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor. Kontroversi seputar tindakan penyelamatan Bank
Century yang terjadi pada tahun 2008 sempat menimbulkan pro dan kontra terkait
ada atau tidaknya dampak sistemik jika tindakan penutupan Bank Century
dilakukan. Mengingat, kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pada saat itu
adalah kebijakan penyelamatan. Dampak ada atau tidaknya kebijakan penutupan
Bank Century sulit dipecahkan dengan metode lain, seperti survei atau kajian data
sekunder. Berdasarkan alasan tersebut, Penulis tertarik untuk mengkajinya secara
ilmiah dengan metode Percobaan Ekonomi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. selaku pembimbing skripsi yang selalu
memberi arahan dan bimbingan di sela-sela kesibukan beliau kepada penulis
demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
2. Dr. Nunung Nuryartono selaku dosen penguji utama yang telah memberikan
kontribusi pemikiran, kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji komdik yang telah memberikan
kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Kedua orang tua penulis, Ayah Iip Japar Sidik dan Ibu Etty Liswanty atas
semua kasih sayang, dukunga, perhatian, doa, serta pengorbanannya yang tak
6. Chandra Wangsa Setiadipura yang telah membantu penulis dalam pembuatan
program simulasi percobaan ekonomi.
7. Riska Nuridha Putri dan Putri Yasmin yang telah memberikan bimbingan dan
ilmunya terkait pengolahan data simulasi penelitian ini.
8. Teman satu bimbingan, Firza Fardilah, S.E. dan Meriani Puspa Wardani yang
selalu meluangkan watunya untuk berbagi ilmu, saran, serta nasihat selama
penyusunan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat penulis, Andy Inggryd, Rani Nutfitriani, Retno Priandini,
Lilih Suprianti, Ricky Setiawan, dan Adi Asrullah Daulay yang selama ini
selalu memberikan dukungan semangat, doa, serta masukan-masukan positif
kepada penulis.
10. Teman IE 44 dan IE 45, terima kasih atas dukungan dan kerja samanya dalam
membantu kelancaran simulasi ekonomi.
11. Semua Staf Tata Usaha serta para dosen Departemen Ilmu Ekonomi atas
bantuan serta ilmu yang diberikan selama penulis berkuliah.
Semoga semua bantuan dan jerih payah yang telah diberikan mendapat
imbalan dari Allah SWT. Akhirnya dengan segala kerendahan hati yang tulus,
penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
pihak-pihak yang bersangkutan.
Bogor, Agustus 2011
Elvha Aditia Sidik
DAFTAR ISI
2.1.1. Definisi dan Fungsi Perbankan dalam Perekonomian ...12
2.1.2. Tingkat Kesehatan Bank ...14
2.1.3. Tindakan Rush oleh Nasabah terhadap Bank ...18
2.1.4. Risiko Sistemik Perbankan ...21
2.1.5. Penanganan Bank Bermasalah...24
2.1.6. Percobaan Ekonomi ...28
3.3. Rancangan Simulasi Percobaan ...42
3.4. Metode Analisis ...48
3.5. Alur Berpikir Penelitian ...52
3.6. Prosedur Perlakuan Simulasi ...55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Implikasi Kebijakan terhadap Suku Bunga Deposito ...73
4.2. Implikasi Kebijakan terhadap Total Deposito ...78
4.3. Implikasi Kebijakan terhadap Suku Bunga Kredit ...80
4.4. Implikasi Kebijakan terhadap Total Pinjaman ...85
4.5. Implikasi Kebijakan terhadap Tingkat Pengangguran...90
4.6. Implikasi Kebijakan terhadap Pertumbuhan Ekonomi ...92
4.7. Implikasi Kebijakan terhadap Tingkat Inflasi ...94
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...96
5.2. Saran ...97
DAFTAR PUSTAKA ...99
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1. Kondisi Awal Bank Bermasalah Berukuran Besar ...47
3.2. Kondisi Awal Bank Bermasalah Berukuran Kecil ...48
3.3. Penjabaran Kondisi Perlakuan dalam Simulasi Percobaan Ekonomi ...56
4.1. Analisis Ragam Suku Bunga Deposito ...73
4.2. Analisis Ragam Total Deposito ...78
4.3. Analisis Ragam Suku Bunga Kredit ...81
4.4. Analisis Ragam Total Pinjaman ...85
4.5. Analisis Ragam Tingkat Pengangguran...90
4.6. Analisis Ragam Pertumbuhan Ekonomi ...92
DAFTAR GAMBAR
Nomor. Halaman
1.1. Financial Stability Index...3
1.2. Banking Pressure Index Indonesia ...4
2.3. Ilustrasi Perancangan Percobaan ...29
2.4. Karakteristik Pengumpulan Data dengan Rancangan Percobaan ...30
2.5. Kerangka Pemikiran ...38
3.1. Gambaran Simulasi Percobaan Ekonomi ...45
3.2. Kerangka Berpikir Simulasi ...52
4.1. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Deposito Per tahun (Kondisi Krisis) ...74
4.2. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Deposito Per tahun (Kondisi Normal) ...75
4.3. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Deposito Per tahun (Ukuran Bank Bermasalah Besar) ...77
4.4. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Deposito Per tahun (Bank Bermasalah Berukuran Kecil) ...77
4.5. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Total Deposito (Ukuran Bank Bermasalah Besar) ...79
4.6. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Total Deposito (Ukuran Bank Bermasalah Kecil) ...80
4.7. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Kredit Per tahun (Kondisi Krisis)...81
4.8. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Kredit Per tahun (Kondisi Normal) ...82
4.9. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Kredit Per tahun (Ukuran Bank Bermasalah Besar) ...84
4.10. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Suku Bunga Kredit Per tahun (Ukuran Bank Century Kecil) ...84
4.11. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Total Pinjaman (Kondisi Krisis) ...86
4.12. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Total Pinjaman (Kondisi Normal) ...87
4.14. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Total
Pinjaman (Ukuran Bank Bermasalah Kecil)...89
4.15. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Tingkat Pengangguran (Kondisi Krisis)...91
4.16. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap Tingkat Pengangguran (Kondisi Normal) ...92
4.17. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi (Ukuran Bank Bermasalah Besar) ...93
4.18. Implikasi Kebijakan Penanganan Bank Bermasalah terhadap
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Data Hasil Percobaan ...102
2. Instruksi Percobaan Ekonomi untuk Deposan ...103
3. Lembar Keputusan Deposan ...108
4. Instruksi Percobaan Ekonomi untuk Bank ...108
5. Lembar Keputusan Bank ...116
6. Instruksi Percobaan Ekonomi untuk Perusahaan ...116
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada tanggal 21
November 2008, berdasarkan Keputusan Nomor 04/KSSK.03/2008 secara resmi
memutuskan bahwa Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal yang
berdampak sistemik sehingga harus diselamatkan1. Dalam rapat tersebut, Komite
Koordinasi (KK) menyerahkan penanganan Bank Century kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) melalui keputusan KK Nomor 01/KK.01/2008.
Dengan demikian, secara resmi penanganan Bank Century sepenuhnya dilakukan
oleh LPS sesuai Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS2.
Berdasarkan data Bank Indonesia per 31 Oktober 2008, Bank Century
memenuhi kualifikasi sebagai bank gagal dengan nilai CAR (Capital Adequacy Ratio) sebagai salah satu indikator kesehatan bank sebesar negatif 3,53 persen3. Hal tersebut menyebabkan Bank Century mengalami gagal bayar (default) atas kewajibannya terhadap nasabah. Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia,
Bank Century memiliki permasalahan likuiditas dan telah melakukan beberapa
kali pelanggaran terhadap GWM (Giro Wajib Minimum)4. Hal tersebut terbukti
pada tanggal 13 November 2008, Bank Century ditengarai mengalami gagal
kliring karena telat menyetor prefund (penyediaan dana oleh bank untuk mengatasi risiko kegagalan bank dalam memenuhi kewajiban kliringnya). Dalam
kerangka stabilitas sistem perbankan, kondisi demikian dapat mengancam
1
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Buku Putih Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis, (Jakarta : Kemenkeu, 2010), hlm 39.
2
Ibid, 38. 3
Ibid, 46. 4
stabilitas perbankan secara keseluruhan sehingga perlu diselamatkan. Hasil
pengawasan Bank Indonesia juga menemukan tingkat kredit macet atau NPL
(non-performing loan) Bank Century berada di atas 5%5. Selain itu, terdapat surat-surat berharga valas senilai US$ 65 juta di luar skim AMA (Assets Management Agreement) yang berindikasi tidak terbayarkan (macet)6. Permasalahan likuiditas tersebut diperparah dengan adanya penarikan Dana Pihak
Ketiga (DPK) secara besar-besaran oleh deposan (rush) akibat semakin simpang siurnya pemberitaan seputar kinerja keuangan Bank Century yang semakin
memburuk7.
Berdasarkan keputusan rapat KSSK yang melibatkan Bank Indonesia,
Menteri Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 23
November 2008, Bank Century perlu diselamatkan dengan dana akhir sebesar 6,7
trilliun rupiah8. Meskipun sebelumnya, likuidasi (pembubaran) Bank Century
sempat menjadi opsi pada saat rapat KSSK tanggal 20-21 November 2008. Upaya
penyelamatan Bank Century tersebut ternyata menimbulkan kontroversi pada
sejumlah kalangan dan pakar ekonomi. Kontroversi tersebut didasarkan pada
kontoversi alasan sistemik dan nonsistemik yang ditimbulkan jika dilakukan
tindakan penutupan Bank Century pada saat itu.
Salah satu latar pertimbangan dalam menetapkan Bank Century sebagai
bank gagal yang berdampak sistemik adalah kondisi makroekonomi yang pada
saat itu dihadapkan pada krisis keuangan global. Krisis keuangan global yang
terjadi di Amerika Serikat akibat permasalahan kegagalan pembayaran kredit
perumahan di Amerika Serikat tidak hanya merusak sistem perbankan di Amerika
Serikat, namun telah menjalar membawa efek domino terhadap sektor keuangan
dan sektor perbankan di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Dalam buku Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia menjelaskan bahwa beberapa
indikator keuangan mengalami penurunan yang signifikan akibat ancaman dan
tekanan dari krisis finansial tersebut9. Hal tersebut juga tercermin pada Financial Stability Index (FSI) sebagai indikator kestabilan sektor keuangan yang dikeluarkan Bank Indonesia yang tercatat berada pada nilai 2,43 atau berada di
atas angka indikatif maksimum 2,0 per November 200810 (Gambar 1.1). Nilai
tersebut mengindikasikan bahwa sistem keuangan berada dalam kondisi genting.
Sumber : Bank Indonesia, 2010
Gambar 1.1. Financial Stability Index
Menurut Bank Indonesia, sejumlah kepanikan akibat krisis keuangan
global tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap industri perbankan
Indonesia. Hal tersebut juga tercermin dari nilai Banking Pressure Index yang
9
Indikator Krisis dapat dilihat pada Gambar Kerangka Pemikiran (Gambar 2.5) 10
dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute sebagai indikator untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis di sektor perbankan. Banking Pressure Index per Oktober 2008 tercatat sebesar 0,911 (Gambar 1.2). Nilai tersebut berada di atas nilai ambang normal yaitu sebesar 0,5 yang mengindikasikan bahwa
tekanan terhadap sistem perbankan cukup tinggi dan berpotensi terjadinya
kegagalan (default) yang sangat besar.
Sumber : Danareksa Research Institute, 2010
Gambar 1.2. Banking Pressure Index Indonesia
Di tengah kepanikan sektor keuangan dan perbankan tersebut akibat krisis
keuangan global, penutupan bank akan menimbulkan sentimen negatif pada pasar
keuangan terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap isu dan berita
yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar keuangan.
Penutupan sebuah bank berpotensi menimbulkan contagion effect yang akan menyebabkan kepanikan dari para nasabah bank-bank lain terutama peer banks
(bank yang lebih kecil) untuk melakukan penarikan dana secara besar-besaran
(rush) ataupun pemindahan dana pada bank yang dipandang lebih aman (flight to quality). Penarikan secara besar-besaran terutama pada peer banks (bank yang
11
lebih kecil) tersebut akan mengakibatkan bank-bank yang pada awalnya sehat
menjadi bermasalah dan mengalami masalah likuiditas. Berdasarkan data, fakta,
dan analisis Bank Indonesia, pada saat itu terdapat 23 bank yang setara atau lebih
kecil dari Bank Century serta sejumlah Bank Perkreditan Rakyat yang memiliki
permasalahan likuiditas dan juga permasalahan lain yang sama dengan Bank
Century12. Jika Bank Century ditutup, dikhawatirkan akan mengakibatkan rush
pada 23 bank yang setara atau lebih kecil dari Bank Century serta sejumlah Bank
Perkreditan Rakyat tersebut. Berbagai pihak yang setuju terhadap tindakan
penyelamatan Bank Century berpendapat bahwa sekecil apapun ukuran bank
apabila ditutup pada saat krisis akan menurunkan kepercayaan nasabah pada
bank-bank lain serta akan berpotensi sistemik mengganggu kelancaran sistem
keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai bahwa tindakan penyelamatan
Bank Century melalui tindakan bail out dinilai tidak tepat karena penutupan Bank Century diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak sistemik pada sistem
perbankan nasional. Hal tersebut didasarkan pada relatif kecilnya Bank Century
sehingga diperkirakan tidak akan menimbulkan rush pada sistem perbankan nasional. Sugema (2009) menyatakan relatif kecilnya Bank Century didasarkan
pada rendahnya market share Bank Century yang dapat dilihat dari jumlah nasabah Bank Century sebesar 65 ribu orang atau sebesar 0,1% dari jumlah
nasabah perbankan di Indonesia. Selain itu, aset Bank Century hanya berjumlah
15 trilliun rupiah atau sebesar 0,3% dari total aset perbankan Indonesia. Jika
dilihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK), total DPK yang terkumpul pada Bank
12
Century sekitar 10 trilliun rupiah atau tidak sampai 1% dari total simpanan
masyarakat yang tertampung pada semua bank13. Alasan nonsistemik juga
didukung oleh Abdullah (2009) yang menyatakan bahwa Bank Century
merupakan bank yang relatif kecil dan tidak termasuk pada kategori 15 bank
sistemik (Systemically Important Bank) yang secara umum menguasai 85% aset perbankan nasional14. Lima belas bank yang tergolong pada kategori Systemically Important Bank antara lain Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, BII, Danamon, Panin, BTN, Bank Mega, Bank Permata, Bank Niaga, Bukopin, Bank Lippo (Bank Lippo
kini bergabung dengan Bank Niaga). Nasution (2009) memiliki pendapat yang
serupa. Menurutnya, penutupan Bank Century tidak akan berdampak sistemik
karena Bank Century tidak memiliki peran yang penting dalam Pasar Uang Antar
Bank (PUAB)15. Peranan Bank Century dalam Pasar Uang Antar Bank hanya
sekitar 0,4%.
Pro dan kontra terhadap tindakan penyelamatan Bank Century
mencerminkan suatu spekulasi publik terhadap ketidakpastian dampak yang
terjadi jika dilakukan penutupan Bank Century. Tindakan yang telah dilakukan
pemerintah adalah tindakan penyelamatan Bank Century, perdebatan antara ada
dan tidak adanya dampak sistemik akibat kebijakan penutupan Bank Century sulit
dipecahkan dengan metode ekonomi yang lain, seperti metode survei atau kajian
terhadap data sekunder. Oleh karena itu, kajian ada atau tidaknya dampak sistemik
yang ditimbulkan dikaji secara ilmiah melalui metode percobaan ekonomi.
Dengan metode percobaan ekonomi, interaksi antara para pelaku ekonomi seperti
13
Dapat diakses pada http: xa.yimg.com/.../Brief+Analysis+Perbankan+-+Problem+Century_final.doc
14
http://us.detikfinance.com/read/2009/12/21/120517/1263532/5/burhanuddin-bank-century-tak-termasuk-bank-sistemik
15
bank, deposan, dan debitur (perusahaan) dalam membuat keputusan yang
menguntungkan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dampak
kebijakan penanganan bank bermasalah, sehingga dapat menjawab hal-hal
kontroversi seputar dampak sistemik dan nonsistemik yang ditimbulkan akibat
penutupan Bank Century.
1.2. Perumusan Masalah
Perdebatan yang terjadi antara tindakan penyelamatan dan penutupan Bank
Century pada dasarnya dilandasi oleh alasan ada atau tidaknya dampak sistemik
yang ditimbulkan. Alasan ada atau tidaknya dampak sistemik akibat kebijakan
penanganan bank bermasalah tersebut pada umumnya didasarkan pada dua faktor,
yaitu faktor kondisi ekonomi dan faktor ukuran bank bermasalah. Faktor kondisi
ekonomi adalah kondisi ekonomi yang dihadapi pada saat permasalahan
perbankan tersebut terjadi, yaitu kondisi krisis ekonomi ataukah kondisi normal
(tidak adanya gejolak krisis ekonomi). Sedangkan faktor ukuran bank bermasalah,
didasarkan pada relatif kecil atau sama besarnya bank bermasalah tersebut.
Risiko sistemik tidak hanya berpengaruh pada instabilitas sistem
perbankan nasional, namun lebih jauh berpengaruh terhadap sistem keuangan dan
perekonomian nasional. Dengan mengacu pada hal tersebut, dalam penelitian ini
akan dikaji dampak sistemik yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah dalam
menangani Bank Century tersebut terhadap kinerja ekonomi. Kinerja ekonomi
yang akan dikaji dalam penelitian ini mengacu pada hal-hal berikut, antara lain :
1. Rata-rata suku bunga deposito dan rata-rata suku bunga kredit sebagai
2. Total deposito yang dihimpun bank sebagai gambaran respon dari deposan
(nasabah),
3. Total pinjaman yang dipinjam dari para pelaku usaha (perusahaan),
4. Tingkat pengangguran yang dipengaruhi oleh keputusan pelaku usaha
(perusahaan) dalam alokasi penggunaan tenaga kerja (penggunaan atau
pemutusan hubungan kerja (PHK)),
5. Output yang dihasilkan dari kegiatan usaha debitur (perusahaan) sebagai
representasi dari gambaran pertumbuhan ekonomi, serta
6. Tingkat inflasi yang dipengaruhi oleh perkembangan harga dari kegiatan
produksi pelaku usaha (perusahaan).
Berdasarkan pemaparan tesrsebut, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini, antara lain :
1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh kebijakan penutupan bank
bermasalah terhadap kinerja perekonomian dalam kondisi krisis dan
normal ?
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh kebijakan penutupan bank
bermasalah terhadap kinerja perekonomian antara bank bermasalah yang
relatif kecil dengan bank bermasalah yang ukurannya relatif sama
besarnya dengan bank lain ?
3. Apakah kebijakan penutupan Bank Century sebagai bank bermasalah akan
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan dari penulisan skripsi ini
antara lain :
1. Mengetahui perbedaan pengaruh kebijakan penutupan bank bermasalah
terhadap kinerja perekonomian dalam kondisi krisis dan normal.
2. Mengetahui perbedaan pengaruh kebijakan penutupan bank bermasalah
terhadap kinerja perekonomian antara bank bermasalah yang relatif kecil
dengan bank bermasalah yang ukurannya relatif besar.
3. Mengetahui ada atau tidaknya dampak sistemik yang ditimbulkan jika
dilakukan kebijakan penutupan Bank Century.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain :
1. Bagi penulis, penggunaan metode percobaan ekonomi dalam penelitian ini
diharapkan dapat menjadi pembelajaran dalam memecahkan permasalahan
terkait dengan perdebatan tindakan penyelamatan dan penutupan bank
bermasalah. Mengingat kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah adalah
kebijakan penyelamatan bank, dampak dari kebijakan penutupan Bank
Century sulit dipecahkan dengan metode ekonomi lain, seperti survei atau
kajian terhadap data sekunder.
2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah keilmuan terkait kebijakan perbankan serta dapat menjadikan
penelitian ini sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya
3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat membuat keputusan yang tepat terkait
penanganan suatu bank bermasalah dengan mempertimbangkan kondisi
ekonomi yang dialami pada saat permasalahan perbankan terjadi dan
kondisi ukuran bank bermasalah tersebut.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi oleh sejumlah asumsi tertentu.
Penjelasan mengenai asumsi-asumsi tersebut akan dijelaskan dalam metode
penelitian. Adapun runag lingkup dalam penelitian ini, antara lain :
antara lain :
1. Penentuan market share bank sebagai objek penelitian didasarkan pada jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki bank, dimana DPK
diasumsikan hanya berasal dari deposito.
2. Dana bank diasumsikan hanya disalurkan pada penyaluran kredit pinjaman
modal kerja.
3. Deposan berperan sebagai tenaga kerja yang digunakan oleh debitur
(pelaku usaha). Penentuan deposan terkena PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) oleh debitur akan dilakukan secara acak oleh peneliti.
4. Dalam mengkaji tingkat pengangguran, tenaga kerja keseluruhan yang
diperhitungkan diasumsikan berasal dari tenaga kerja yang dipekerjakan
oleh keseluruhan debitur (pelaku usaha) selaku pelaku percobaan dalam
5. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang dikaji berdasarkan
perkembangan output dan perkembangan harga yang dihasilkan dari
respon simulasi percobaan ekonomi.
6. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer hasil
percobaan ekonomi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori-teori
2.1.1. Definisi dan Fungsi Perbankan dalam Perekonomian
Bank berasal dari kata Italia yaitu banco, yang artinya bangku (Hasibuan, 2008). Istilah bangku inilah yang dipergunakan oleh bankir dalam kegiatan operasionalnya melayani kepada para nasabah. Istilah bangku secara resmi dan
populer menjadi Bank. Menurut UU Perbankan No. 10 Tahun 1998, bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan dana tersebut kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank Indonesia (2006) menyatakan bahwa bank merupakan lembaga perantara
keuangan yang dalam menjalankan operasinya menerima simpanan masyarakat
dalam bentuk giro, tabungan dan deposito, untuk kemudian menanamkan dana
simpanan tersebut dalam bentuk penyaluran kredit dan pembiayaan lain kepada
dunia usaha maupun bentuk portfolio asset financial, seperti surat-surat berharga yang diterbitkan pemerintah dan bank sentral.
Bank merupakan bagian dari lembaga keuangan yang memiliki fungsi
sebagai lembaga intermediasi yang menjembatani kepentingan pihak yang
kelebihan dana (penyimpan dana atau kreditur) dan pihak yang membutuhkan
dana (peminjam dana atau debitur). Dalam Bank Indonesia (2006), fungsi bank
sebagai lembaga intermediasi mencakup tiga hal, yaitu:
1. Sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
2. Sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk
kredit, dan
3. Melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Terkait dengan bank sebagai lembaga intermediasi, pihak-pihak yang
berkelebihan dana, baik perseorangan, badan usaha, yayasan, maupun lembaga
pemerintah dapat menyimpan kelebihan dananya di bank dalam bentuk rekening
giro, tabungan, ataupun deposito berjangka sesuai dengan kebutuhan dan
preferensinya (Bank Indonesia, 2004). Di sisi lain, pihak-pihak yang kekurangan
dan membutuhkan dana akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank.
Hasibuan (2008) menjelaskan bahwa kredit dibagi menjadi tiga berdasarkan
tujuan penggunannya, yaitu :
1. Kredit konsumtif, yaitu kredit yang dipergunakan untuk kebutuhan
konsumsi. Kredit ini bersifat tidak produktif.
2. Kredit modal kerja, yaitu kredit yang akan dipergunakan untuk menambah
modal usaha debitur. Kredit ini bersifat produkstif.
3. Kredit invetasi, yaitu kredit yang dipergunakan dalam jangka waktu yang
relatif lama.
Melalui proses intermediasi, bank sebagai lembaga intermediasi memiliki peran
penting dalam memobilisasi dana-dana masyarakat sebagai salah satu sumber
pembiayaan utama bagi dunia usaha, baik untuk investasi maupun produksi
2.1.2. Tingkat Kesehatan Bank
Bank Indonesia (2004) menyatakan bahwa bank dikatakan sehat jika bank
dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dalam hal menjaga dan
memeilhara kepercayaan masyarakat, menjalankan fungsi intermediasi, membantu
kelancaran lalu lintas pembayaran, serta dapat mendukung efektifitas kebijakan
moneter. Untuk menjalankan fungsi bank dengan baik, bank harus memiliki
kriteria modal yang cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik, mengelola
dengan baik dan mengoperasikan bank berdasarkan prinsip kehati-hatian,
memelihara keuntungan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan
usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi kewajibannya
setiap saat.
Berdasarkan pasal 29 UU tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998, bank wajib memilihara tingkat
kesehatannya sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas
manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas, serta aspek lain yang
berkaitan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip
kehati-hatian (Bank Indonesia, 2004).
Dalam Bank Indonesia (2004), penilaian tingkat kesehatan bank di
Indonesia secara garis besar didasarkan pada faktor CAMEL (Capital, Asset Quality, Management, Earning, and Liquidity). Kelima faktor tersebut saling berkaitan dan merupakan faktor yang menentukan kondisi suatu bank. Secara
umum, faktor CAMEL sangat relevan dalam mengukur tingkat kesehatan semua
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMEL yang terdiri dari :
1. Permodalan (Capital)
Kecukupan modal merupakan faktor yang penting bagi bank dalam
mengembangkan usaha dan menampung risiko kerugian yang mungkin dihadapi.
Penilaian tingkat kesehatan bank melalui aspek permodalan yang dimiliki oleh
bank didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank. Bank
Indonesia menetapkan Capital Adequacy Ratio (CAR), yaitu kewajiban
penyediaan modal minimum yang harus selalu dipertahankan oleh setiap bank
sebagai suatu proporsi tertentu dari total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR). Dendawijaya (2005) menjelaskan bahwa CAR merupakan rasio kinerja
bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang
aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang
diberikan. Perbandingan rasio CAR adalah rasio modal terhadap ATMR. CAR
dapat dirumuskan sebagai berikut :
...(2.1)
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau CAR (Capital
Adequacy Ratio) berdasarkan standar BIS (Bank for International Settlement) yaitu sebesar 8%. CAR dipergunakan sebagai salah satu cara untuk menghitung
apakah modal yang ada pada suatu bank telah memadai atau belum. Ketetapan
CAR sebesar 8% bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada
perbankan, melindungi dana pihak ketiga pada bank bersangkutan, serta dalam
rangka untuk memenuhi ketetapan standar BIS Perbankan Internasional. Sanksi
penilaian tingkat kesehatan bank, juga akan dikenakan sanksi dalam rangka
pengawasan dan pembinaan bank (Hasibuan, 2008).
2. Kualitas Aktiva (Asset)
Dalam penilaian faktor ini, hal yang dilakukan adalah menilai jenis-jenis
aset yang dimiliki oleh bank. Penilaian aset harus sesuai dengan peraturan Bank
Indonesia dengan memperbandingkan antara aktiva produktif yang
diklasifikasikan terhadap aktiva produktif melalui rasio Kualitas Aktiva Produktif
(KAP) dan rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) terhadap
aktiva produktif yang diklasifikasikan (Hasibuan, 2008).
3. Aspek Manajemen (Management)
Penilaian terhadap faktor manajemen sulit diukur dengan penilaian secara
kuantitatif. Baik buruknya manajemen dalam suatu bank dapat dinilai secara
kualitatif berdasarkan aturan-aturan manajemen yang telah ditetapkan. Penilaian
dalam aspek manajemen meliputi manajemen umum dan manajemen risiko
(Hasibuan, 2008). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004
tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, penilaian faktor manajemen
antara lain dilakukan dengan penilaian komponen-komponen berikut, antara lain
manajemen umum, penerapan sistem manajemen risiko, dan kepatuhan bank
terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau
kepada pihak lainnya.
4. Aspek Rentabilitas (Earning)
Faktor rentabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam
meningkatkan keuntungan juga untuk mangukur tingkat efisiensi usaha dan
kemampuan bank dalam meningkatkan laba dan efisiensi usaha yang dicapai.
Penilaian dalam ini meliputi rasio laba terhadap total asset (Return on Asset
(ROA)) dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)
(Hasibuan, 2008).
...(2.2)
...(2.3)
5. Aspek Likuiditas (Liquidity)
Bank dapat dikatakan likuid jika bank tersebut mampu memenuhi semua
kewajiban, khususnya kewajiban jangka pendek yang berkaitan dengan simpanan
masyarakat (simpanan, tabungan, dan giro) dan bank tersebut juga mampu
memenuhi permohonan kredit yang layak untuk dibiayai. Tingkat likuiditas suatu
bank dapat diukur melalui rasio keuangan Loan Deposit Ratio (LDR). LDR adalah rasio antara jumah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima
oleh bank. LDR menyatakan seberapa jauh kemampuan suatu bank dalam
membayar penarikan dana yang dilakukan oleh deposan dengan mengandalkan
kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Dengan kata lain, seberapa
jauh pemberian kredit kepada nasabah kredit mampu mengimbangi kewajiban
bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali
uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan kredit (Dendawijaya,
2005). Perhitungan LDR dapat dilakukan sebagai berikut :
...(2.4)
Semakin tinggi rasio LDR memberikan indikasi bahwa semakin rendahnya
jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar. Sebagian
praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari rasio LDR suatu bank
adalah sekitar 80%. Namun, batas toleransi berkisar antara 85% - 100%
(Dendawijaya, 2005).
2.1.3. Tindakan Rush oleh Nasabah terhadap Bank
Kegiatan operasional bank sangat dipengaruhi oleh sumber dana dari
masyarakat. Oleh karena itu, kelangsungan kegiatan operasional bank sangat
dipengaruhi oleh aspek kepercayaan masyarakat terhadap bank. Menurut
Kemenkeu (2010) menjelaskan bahwa aspek kepercayaan dalam industri
perbankan sangat penting dalam menentukan keberlangsungan (going concern) suatu bank, baik itu kepercayaan dari para deposan maupun kepercayaan dari
kreditur lainnya. Aspek kepercayaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain :
1. Sifat/perilaku manusia yang cenderung tidak mau ambil risiko, cenderung
reaktif dan panik apabila mendengar berita yang buruk;
2. Adanya ketidakseimbangan penyaluran informasi antara nasabah dan
pengelola bank tentang kondisi bank yang sebenarnya.
Bank Indonesia (2004) memaparkan bahwa menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap bank akan memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan bank
bersangkutan.
Adanya ketidakseimbangan informasi antara nasabah dan pengelola bank
mengenai kondisi bank sebenarnya dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan
informasi lengkap mengenai kondisi bank menyebabkan mereka akan cenderung
mengandalkan informasi dari nasabah lainnya maupun indikator umum pasar
keuangan (seperti Surat Utang Negara (SUN), nilai tukar rupiah, kondisi
keuangan devisa, serta indeks saham). Bagi nasabah yang tidak memperoleh
informasi tersebut akan cenderung bereaksi mengikuti reaksi para pelaku pasar
dan nasabah yang lain. Reaksi-reaksi tersebut akan memicu kepanikan masyarakat
dan cenderung mendorong mereka mengambil tindakan yang irrasional
(Kemenkeu, 2010). Park (1991) mengidentifikasikan kurangnya informasi yang
diperoleh oleh masyarakat akan suatu bank akan menyebabkan kepanikan.
Bank Indonesia (2004) memaparkan bahwa keterbatasan informasi
nasabah mengenai kondisi bank dapat mengakibatkan suatu bank rentan terhadap
bank run atau penarikan dana masyarakat dari perbankan. Pemburukan kondisi bank baik disebabkan karena kesulitan likuiditas maupun kesulitan solvabilitas
ataupun adanya rumor (berita negatif) terhadap suatu bank akan mengakibatkan
kekhawatiran dan ketidakpercayaan nasabah (Kemenkeu, 2010). Kekhawatiran
tersebut akan menyebabkan para nasabah untuk saling berlomba menarik dananya
pada bank bersangkutan karena adanya ketakutan jika penarikan dana pada bank
tersebut didahului oleh nasabah lainnya. Bahkan hal tersebut memungkinkan
mempengaruhi nasabah lainnya di lokasi yang berbeda. Adanya antrian penarikan
dana oleh para nasabah terhadap satu bank dapat memicu nasabah bank lain untuk
menarik dananya dari bank mereka. Gilbert dan Wood (1986) menyatakan bahwa
kegagalan dari suatu bank akan membuat masyarakat khawatir akan keamanan
uang mereka pada bank lain sehingga masyarakat akan berusaha untuk menarik
tersebut akan memicu penarikan dana secara besar-besaran (rush/bank runs) pada banyak bank, meskipun tidak ada keterkaitan antara bank bermasalah dengan bank
lainnya tersebut.
Bank Indonesia (2010) menyatakan bahwa penutupan suatu bank dalam
kondisi tidak sedang menghadapi gejolak krisis keuangan, tidak akan
menimbulkan goncangan psikologi pada nasabah bank. Namun sebaliknya, ketika
kondisi makroekonomi dihadapkan pada kondisi krisis keuangan, isu mengenai
kondisi suatu bank bermasalah bersifat sensitif terhadap psikologi pelaku pasar
dan nasabah. Di tengah kondisi psikologi pasar yang sensitif akibat gejolak krisis
keuangan, kegagalan sebuah bank dapat menular secara cepat (contagion effect), bahkan bank dengan fundamental yang kuat juga akan terkena tindakan rush oleh nasabahnya (Kemenkeu, 2010). Penarikan dana secara besar-besaran (rush)
tersebut akan bersifat menular (contagion) pada bank-bank lainnya secara cepat dan mengakibatkan kepanikan. Akibatnya, bank-bank akan mengalami kesulitan
likuiditas bahkan lebih parah lagi akan mengalami kesulitan solvabilitas (self fulfilling prophecy). Gilbert (1998) menyatakan bahwa contagion dari suatu bank terjadi pada saat terdapat informasi negatif pada suatu bank yang menyebabkan
deposan menarik dananya dan memindahkan dananya ke bank lain meskipun
mereka tidak memiliki cukup informasi atas bank tersebut. Kaufman (1995)
2.1.4. Risiko Sistemik Perbankan
Rush terhadap perbankan pada umumnya bersifat menular dan dapat terjadi pada bank baik pada kondisi bank yang sehat maupun bank yang tidak
sehat (Bank Indonesia, 2004). Kejadian tersebut sering disebut sebagai
permasalahan perbankan yang bersifat sistemik. Kegagalan suatu bank khususnya
yang bersifat sistemik tersebut akan mengakibatkan terjadinya krisis yang dapat
mengganggu kegiatan suatu perekonomian.
Dalam Buku Putih yang berjudul Upaya Penanganan dan Pencegahan Krisis yang ditulis oleh Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Kementrian Keuangan Republik Indonesia
(2010), sistemik berasal dari kata sistem. Kerusakan sistemik berarti kerusakan
menyeluruh pada sistem yang ada. Mengacu pada definisi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Jaringan Pengaman Sistem Keuangan
(JPSK), dampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu
bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan atau gejolak pasar keuangan
yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau
LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem
keuangan dan perekonomian nasional. Lembaga Internasional seperti Bank for International Settlements dan European Central Bank menekankan dampak sistemik mengacu pada kekacauan yang menyeluruh, bersifat tiba-tiba,
menghasilkan efek domino kekacauan finansial yang besar.
Kemenkeu (2010) menjelaskan dua kriteria umum yang digunakan Bank
1. Too big to fail. Semakin besar ukuran suatu bank (misalnya dilihat dari sisi nilai asset, nilai transaksi, atau jumlah cabang), maka bank tersebut memiliki
dampak sistemik yang semakin tinggi. Oleh karena itu, bank tersebut tidak boleh
dibiarkan gagal.emerintah dalam Pence da
2. Too interconnected to fail. Semakin besar keterkaitan suatu bank dengan bank atau lembaga keuangan lainnya (misalnya melalui pinjaman antar bank atau
kepemilikan), maka bank tersebut semakin tinggi dampak sistemiknya. Oleh
karena itu, bank tersebut tidak boleh dibiarkan gagal.
Bank Indonesia selaku otoritas pengaturan dan pengawasan perbankan
mengelompokkan beberapa bank besar sebagai Systemically Important Bank
(SIB) (Kemenkeu, 2010). Systemically Important Bank merupakan bank yang memiliki ukuran yang cukup signifikan, dimana dalam keadaan normal akan
berdampak sistemik jika bank tersebut mengalami kegagalan. Dalam kondisi
normal, Systemically Important Bank tidak boleh gagal, terlebih lagi dalam kondisi krisis. Kegagalan Systemically Important Bank akan membahayakan sistem pembayaran, sistem keuangan, serta perekonomian nasional.
Kemenkeu (2010) memaparkan bahwa perkembangan sektor keuangan
yang semakin kompleks dan terkait satu sama lain, pertimbangan dampak
sistemik berdasarkan kategori SIB tidak dapat diterapkan, sebab kriteria umum
tersebut lazimnya digunakan dalam kondisi normal. Mengingat situasi kondisi
tahun 2008 tidak berada dalam kondisi normal, melainkan berada dalam gejolak
krisis keuangan global, aspek psikologis yang dihadapi para pelaku pasar turut
dijadikan pertimbangan tambahan dalam pengambilan kebijakan. Direktorat
sistem Memorandum of Understanding (MoU) Uni Eropa 1 Juni 2008 (Bank Indonesia, 2010). Salah satu petikan Mou Uni Eropa tersebut mengatakan :
“...in a such situation, one may also need to place more reliance on qualitative judgements rather than on up-to-date quantitative information.”
Inti pernyataan tersebut adalah bahwa penilaian kualitatif menjadi unsur lebih
penting daripada informasi kuantitatif terkini. Terdapat empat aspek yang dipakai
MoU UE dalam menganalisis bank gagal yang ditenggarai sistemik, yaitu institusi
keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran, dan sektor riil. Terhadap keempat
aspek itu, BI menambah satu aspek yang lain yaitu faktor psikologis pasar.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, bank sekecil apapun jika dilakukan tindakan
penutupan pada saat krisis akan berpotensi sistemik memicu menurunkan
kepercayaan nasabah terhadap bank-bank lain.
Kemenkeu (2010) menjelaskan bahwa tidak ada kriteria bank berdampak
sistemik yang dinyatakan secara tegas dalam undang-undang. Hal tersebut
didasarkan oleh dua alasan berikut, yaitu :
1. Berpotensi menimbulkan moral hazard
Kriteria berdampak sistemik memang tidak dinyatakan eksplisit. Jika
semua bank mengetahui tentang kriteria berdampak sistemik, maka pengelola
bank cenderung secara sengaja mendorong atau mengondisikan diri masuk ke
kriteria “berdampak sistemik” agar dapat memeperoleh bantuan pemerintah demi
keuntungan-keuntungan yang tidak wajar.
2. Pengukuran Dampak Sistemik Bersifat Situasional
Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal.
Hal yang bersifat internal umumnya berupa masalah dari dalam lembaga bank itu
keuangan global maupun bentuk-bentuk lain yang berpengaruh terhadap sistem
keuangan. Ini yang menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya.
Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi
tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi yang berbeda. Untuk itu
diperlukan professionaljudgment untuk memutuskan hal tersebut.
2.1.5. Penanganan Bank Bermasalah
Kegagalan suatu bank khususnya yang bersifat sistemik akan dapat
mengakibatkan terjadinya krisis yang dapat mengganggu kegiatan suatu
perekonomian. Crockett (1997) menyatakan bahwa stabilitas dan kesehatan sektor
perbankan sebagai bagian dari stabilitas sektor keuangan terkait erat dengan
kesehatan suatu perekonomian. Kajian yang dilakukan Lindgren (1996)
menunjukkan bahwa banyak negara yang perekonomiannya rusak sebagai akibat
tidak sehatnya sektor perbankan. Sektor keuangan, terutama di negara-negara
berkembang pada umumnya didominasi oleh lembaga perbankan. Mengingat
kondisi demikian, kondisi lembaga perbankan yang tidak sehat dan tidak
berfungsinya secara optimal, maka dapat dipastikan akan berakibat pada
terganggunya kegiatan perekonomian.
Sistem perbankan yang tidak sehat menunjukkan bahwa fungsi bank
sebagai lembaga intermediasi tidak befungsi secara optimal (Bank Indonesia,
2004). Fungsi intermediasi yang tidak optimal tersebut mengakibatkan alokasi dan
penyediaan dana dari perbankan untuk kegiatan investasi dan pembiayaan
sektor-sektor produktif dalam perekonomian menjadi terbatas. Sistem perbankan yang
sistem perbankan tidak lancar dan tidak berjalan efisien. Selain itu, sistem
perbankan yang tidak sehat juga akan menghambat efektifitas kebijakan moneter.
Melihat akibat yang ditimbulkan dari sistem perbankan yang tidak sehat tersebut,
maka pengaturan dan pengawasan bank dinilai sangat penting dalam upaya
menciptakan dan memelihara kesehatan sistem perbankan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undand Nomor 3 Tahun
2004, dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau
membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, maka Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia
dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat (financial safety net).
Dalam Bank Indonesia (2010), pengawas Bank Indonesia akan
memasukkan bank dalam pengawasan intensif jika permasalahan pada bank
tersebut hanya sebatas pada peningkatan NPL (non-performing loan). Pengetatan pengawasan dilakukan dengan serangkaian arahan tindakan koreksi yang akan
direkomendasi oleh Pengawas Bank. Langkah koreksi ini dimaksudkan agar
kondisi bank mengalami pemulihan dalam waktu tidak terlalu lama sehingga
status bank dalam status pengawasan intensif pun dapat dicabut. Langkah-langkah
tertentu, misalnya, informasi profil kredit bermasalah yang membuat bank dalam
kondisi terancam kelangsungan usahanya.
Apabila kinerja bank dalam pengawasan intensif tidak juga bergerak
memperlihatkan perbaikan, status pengawasan pun ditingkatkan lagi menjadi bank
dalam pengawasan khusus (special surveilance unit/SSU). Predikat bank SSU pada umumnya menyebabkan ketidaknyamanan pada manajemen bank. Seperti
sudah digambarkan, bila informasi ini beredar di publik disertai rumor negatif
akan menyebabkan tindakan rush dari para nasabah. Santoso (2010) memaparkan
bahwa bank dalam pengawasan khusus pada umumnya memiliki permasalahan
yang lebih buruk yang ditandai dengan kinerja modal (CAR) bank yang berada
pada kisaran nilai kurang dari 8% disertai NPL yang lebih besar dari 5% sehingga
memungkinkan adanya permasalahan lain yaitu menurunnya tingkat profitabilitas.
Jika penanganan bank dalam pengawasan khusus tidak membuahkan hasil,
maka bank tersebut dapat dinyatakan sebagai bank gagal oleh Dewan Gubernur
Bank Indonesia. Selanjutnya diputuskan apakah bank gagal tersebut berdampak
sistemik atau tidak. Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani Ketua
Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pejabat Sementara
Gubernur BI pada 22 Oktober 2009 mengatur perihal tata cara sebuah bank gagal
(sistemik atau nonsistemik) yang untuk selanjutnya akan diserahkan ke LPS.
Dalam menangani bank gagal tidak sistemik pihak LPS akan melakukan kajian
dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan
lebih mahal dari pada melikuidasi, maka penyelesaian singkat saja, bank
diusulkan dicabut izin usahanya lalu dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas
Apabila LPS memutuskan bank gagal untuk diselamatkan, maka berlaku
dua perlakuan berbeda. Terhadap bank gagal nonsistemik, tindakan penyelamatan
tidak akan melibatkan pemegang saham lama. Artinya, semua biaya yang timbul
dari tindakan penyelamatan itu akan ditanggung oleh LPS. Sedangkan
penanganan bank gagal sistemik dapat dilakukan baik dengan melibatkan
pemegang saham lama atau tanpa melibatkan mereka didalamnnya. Bila
pemegang saham lama terlibat didalamnya, maka LPS mewajibkan menyetor dana
setidaknya 20% dari total biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan LPS.
Dalam hal menangani bank gagal dalam skim apa pun, pihak LPS
mendasari tidakan tersebut berdasarkan mandat Undang-Undang No. 24 Tahun
2004 tentang LPS. Penanganan bank gagal yang dipertimbangkan untuk
diselamatkan akan diambil langkah-langkah bahwa kewenangan mengadakan
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dan pengelolaan bank sepenuhnya
diambilalih LPS. Terhadap bank gagal yang diselamatkan, LPS akan melakukan
penyertaan modal sementara (PMS). Selain itu, LPS juga dapat melakukan merger
dan konsolidasi dengan bank lain
Bank Indonesia (2010) menyatakan bahwa dalam kondisi ekonomi yang
tidak dihadapkan pada gejolak krisis keuangan, penutupan bank berjalan secara
alamiah tanpa menimbulkan goncangan psikologi nasabah bank. Namun
sebaliknya, ketika penutupan bank bermasalah dalam kondisi krisis, pendekatan
dan penanganan dilakukan secara berbeda. Dalam kondisi krisis, aspek psikologis
nasabah harus dipertimbangkan dalam kebijakan penangangan bank bermasalah.
pasar sehinga dikhawatirkan penutupan bank bermasalah tersebut akan berpotensi
sistemik mempengaruhi perbankan lain.
2.1.6. Percobaan Ekonomi
Perancangan percobaan adalah suatu uji atau sederetan uji, baik itu
menggunakan statistika deskripsi maupun statistika inferensia, yang bertujuan
untuk mengubah peubah input menjadi suatu output yang merupakan respon dari
percobaan tersebut (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Juanda (2009) menjelaskan
bahwa rancangan percobaan (experimental design) merupakan suatu metode pengumpulan data yang efektif dalam mengkaji hubungan sebab akibat antar
peubah (variabel) tapi seringkali sulit dilakukan terutama dalam ilmu sosial atau
ilmu ekonomi. Penggunaan percobaan memungkinkan peneliti mengubah nilai
suatu peubah atau faktor yang dikaji, namun mempertahankan nilai dari
faktor-faktor lainnya, sehingga pengaruh faktor-faktor yang dikaji tersebut dapat diketahui
dengan jelas. Percobaan terkontrol memberikan suatu dasar untuk mengisolasi
faktor penyebab karena faktor lainnya dibuat (dikendalikan) sama sehingga tidak
berperan pengaruhnya. Dalam terminologi statistika tindakan ini sering disebut
“kontrol lingkungan”.
dua perlakuan yang diperbandingkan untuk menilai pengaruh dari
perlakuan-perlakuan atau kondisi tertentu (independent variables) dan peubah bebas tersebut dimanipulasi secara langsung oleh peneliti untuk mengkaji pengaruhnya pada satu
atau lebih respon atau outcome (dependent variables).
Sumber : Juanda, 2009
Gambar 2.1. Ilustrasi Perancangan Percobaan
Juanda (2009) memaparkan bahwa data dari hasil suatu perancangan
percobaan (experimental design) dikatakan valid apabila memenuhi tiga prinsip dasar, yaitu :
1. Ulangan
Fungsi dari ulangan antara lain menghasilkan nilai dugaan bagi galat
(kekeliruan) percobaan, meningkatkan ketepatan percobaan dengan
memperkecil simpangan baku nilai tengah perlakuan.
2. Pengacakan (randomization)
Sebelum percobaan, pengalokasian subjek ke kelompok yang akan
dicobakan ditentukan melalui pengacakan. Melalui pengacakan tersebut,
dapat dianggap bahwa subjek-subjek tersebut hanya berbeda karena faktor
kebetulan dalam peubah yang diuji. Tujuan dari pengacakan ini adalah
Input Proses Output
Peubah Tak Terkendali Z1, Z2, Z3, ..., Zq
untuk mendapatkan dugaan tak bias bagi galat percobaan dan nilai tengah
perlakuan.
3. Pengelompokan (kontrol lingkungan)
Peneliti harus mengontrol faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi
respon (outcome). Tujuan pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi galat percobaan, sehingga lebih yakin dalam menyimpulkan
bahwa perbedaan respon diakibatkan karena perbedaan perlakuan (Gambar
2.4).
Perlakuan Respon
Kontrol Lingkungan (Faktor lain diasumsikan sama)
Sumber : Juanda, 2009
Gambar 2.2. Karakteristik Pengumpulan Data dengan Rancangan Percobaan
Meskipun metode percobaan ini banyak memiliki kelebihan, namun
hingga saat ini masih banyak ekonom yang memiliki keyakinan bahwa ilmu
ekonomi ridak dapat menguji hipotesis atau teorinya dengan melakukan
percobaan-percobaan di laboratorium (Davis dan Holt, 1993). Persepsi tersebut
muncul karena menganggap bahwa karakteristik yang dimiliki pelaku ekonomi
sangat beragam dan sulit untuk dikontrol sehingga sulit pula untuk mengambil
kesimpulan hubungan sebab akibat karena adanya confounding variables. Meskipun demikian, para ekonom sepakat menganggap bahwa setiap pelaku
ekonomi bertindak rasional, artinya dalam setiap aktifitas selalu
mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkannya atau
Seiring dengan perkembangan metode percobaan ekonomi, muncul suatu
teori yang disebut induced-value theory yang dikembangkan oleh Smith (1976). Ide dasar dari teori ini adalah bahwa penggunaan media imbalan yang tepat
memungkinkan peneliti untuk memunculkan (induce) karakteristik pelaku ekonomi tertentu dan karakteristik bawaanya menjadi tidak berpengaruh lagi
(irrelevant). Apabila karakteristik dasar pelaku ekonomi (experimental unit) sama atau homogen, maka peneliti dapata melakukan percobaan karena prinsip dasar
“pengendalian lingkungan sudah dilakukan”. Juanda (2009) mengemukakan
bahwa terdapat tiga syarat cukup untuk memunculkan karakteristik pelaku
ekonomi tertentu, antara lain adalah:
1. Monotonicity, yaitu pelaku percobaan harus menyukai imbalan yang lebih besar.
2. Salience, yaitu Imbalan yang diterima pelaku tergantung dari tindakan mereka (dan pelaku-pelaku lain) dalam percobaan sesuai aturan intitusi
yang mereka pahami.
3. Dominance, yaitu adanya dominansi kepentingan pelaku di dalam pelaksanaan dan mengabaikan hal-hal lain.
Friedman dan Sunder (1994) mengemukakan bahwa percobaan ekonomi
dilakukan di dalam lingkungan yang terkontrol. Lingkungan ekonomi terdiri dari
para pelaku ekonomi bersama aturan yang berlaku atau institusi sebagai tempat
berinteraksi antar pelaku ekonomi. Juanda (2009) menyatakan bahwa dalam
percobaan ekonomi diberikan instruksi percobaan yang terdiri dari deskripsi
tentang ketentuan percobaan, pilihan-pilihan, dan tindakan-tindakan yang harus
imbalan (reward) kepada subjek, yang tergantung pada tindakan mereka. Lembar instruksi percobaan diberikan kepada subjek penelitian pada saat percobaan akan
dilaksanakan sehingga subjek penelitian jelas memahami prosedur percobaan dan
aturan yang berlaku. Dalam instruksi percobaan juga dapat dilengkapi dengan
contoh ilustrasi yangs sederhana yang akan lebih memperjelas permasalahan bagi
subjek percobaann.
Dalam penelitian di bidang ekonomi dengan metode percobaan, kelompok
masyarakat yang seringkali menjadi subjek penelitian berasal dari kelompok
mahasiswa (Friedman and Sunder, 1994). Alasan penggunaan mahasiswa sebagai
subjek penelitian yaitu :
1. Kelompok ini dinilai paling siap untuk masuk ke dalam kelompok
eksperimen
2. Latar belakang kelompok ini berasal dari kampus, dimana dari kampus
inilah sebagian besar peneliti muncul
3. Biaya imbangan (opportunity cost) yang rendah
4. Merupakan salah satu cara untuk mengurangi pengaruh eksternal yang
dapat menjadi variabel pengganggu di dalam penelitian
Metode percobaan dalam ilmu ekonomi adalah suatu cara yang sangat baik
untuk membangkitkan data yang kualitasnya lebih baik (dan kemungkinan
biayanya lebih kecil) daripada data yang tersedia di publikasi. Metode percobaan
paling tidak memberikan cara alternatif untuk mendapatkan data (Juanda, 2009).
Untuk tujuan ilmiah, data hasil percobaan relatif mudah diinterpretasikan dalam
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kajian terhadap kebijakan pemerintah terhadap kasus
Bank Century melalui metode percobaan ekonomi relatif masih jarang dilakukan.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Fardilah (2011) dalam skripsinya yang
berjudul “Percobaan Ekonomi Mengkaji Alternatif Kebijakan Pemerintah
terhadap Penyelamatan Bank Century”. Kajian terhadap kebijakan pemerintah
dalam penanganan kasus Bank Century dilakukan dengan membandingkan suku
bunga deposito, suku bunga pinjaman, jumlah total deposito yang dapat dihimpun
seluruh bank, persentase deposito yang ditarik, dan jumlah total pinjaman yang
dipinjam oleh debitur (pelaku usaha).
Kebijakan membantu bank bermasalah dan menutup bank bermasalah
memiliki perbedaan nyata terhadap suku bunga pinjaman, jumlah deposito,
jumlah pinjaman, dan persentase deposito yang ditarik. Dalam penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa suku bunga deposito pada kebijakan membantu bank
bermasalah lebih tinggi dibandingkan kebijakan menutup bank bermasalah.
Sebaliknya suku bunga pinjaman pada kebijakan membantu bank bermasalah
lebih rendah dibandingkan kebijakan menutup bank bermasalah. Pada kebijakan
bank bermasalah dibantu, jumlah deposito dan jumlah pinjamannya lebih besar
dibandingkan saat kebijakan bank bermasalah ditutup. Dalam penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa jumlah deposito memberikan dampak yang bertolak
belakang dengan deposito yang ditarik. Sebaliknya, deposito yang ditarik bertolak
belakang dengan kenaikan deposito, baik pada kebijakan membantu maupun