,167,7873(57$1,$1%2*25 )$.8/7$6(.2120,'$10$1$-(0(1
'(3$57(0(1,/08(.2120,
# $ !&) &" 6# 2&) 7 6
6# 1 $ 7
# %$ 7 # #
8 % 7 $QDOLVLV'D\DVDLQJGDQ$OLUDQ(NVSRU3URGXN &UXGH&RFRQXW2LO&&2,QGRQHVLD
$ $ # ! $ $ # # & %' # $ # # #" 9$ # 2' # " $$$ $ ,
2 $'" #!#!
* 1 $0" 2% 6 -: ;: - -
2 $&"
( $ $ # # #
,# #" 2+ 6 -- ;: :
,,,0(72'(3(1(/,7,$1 : 8 %#! $ :- 2 $ & $
:- 5HYHDOHG&RPSDUDWLYH$GYDQWDJH 1
'$)7$5/$03,5$1
6# #
& 2 $ 1 EEEE .
- & 2 $ EEEEEE
: & 2 $ < EEEEE : F! /F! # 2
-/-EEEEEEEEEEE .
. >' &) < $ # < $ 2 6 <'EEEEEEEE $$ 2 6 <' -/- )L[HG(IIHFW */6EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE >' 6#$ 2 6 <'
-/- )L[HG(IIHFW*/6EEEEEEEEEEEEE -
; >' 6 ( 2
6 <' -/- )L[HG(IIHFW
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, perekonomiannya bertumpu
pada sektor pertanian. Salah satu subsektor pertanian yang menjadi andalan adalah
subsektor perkebunan. Beberapa komoditi unggulan Indonesia dari sektor ini
yaitu, kelapa sawit, kelapa, karet, tebu, kakao, dan kopi. Masing masing komoditi
memiliki kekhasan yang membuat Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar
di dunia. Tabel 1.1. menyajikan produksi komoditi perkebunan Indonesia dari
tahun 2005 sampai 2009. Produksi kelapa menempati posisi kedua setelah kelapa
sawit dengan jumlah produksi pada tahun 2009 sebesar 3,257 juta ton. Selain itu,
setiap tahun produksi kelapa meningkat. Hal ini merupakan salah satu potensi
kelapa yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Tabel 1.1. Produksi Komoditi Perkebunan ( juta Ton)
Komoditi/
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Kelapa Sawit 11,861 17,35 17,664 17,539 19,324
Kelapa 3,096 3,131 3,193 3,239 3,257
Karet 2,270 2,637 2,755 2,751 2,44
Tebu 2,241 2,307 2,623 2,668 2,517
Kakao 0,748 0,769 0,74 0,803 0,809
Kopi 0,640 0,682 0,676 0,698 0,682
Sumber : Kementan RI ,2011.
Kelapa (Cocos nucivera L.) merupakan komoditi perkebunan yang
memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber
pendapatan bagi petani kelapa itu sendiri, kelapa juga berkontribusi pada ekspor
sektor hulu sampai sektor hilirnya serta berperan dalam pemenuhan kebutuhan
Kehutanan dan Perikanan 262.402,8 271.509,3 284.620,7 296.369,3 Tanaman Bahan
Makanan 129.548,6 133.888,5 142.000,4 148.691,6
Tanaman Perkebunan 41.318 43.199,2 44.785,5 45.887,1
Peternakan 33.430,2 34.220,7 35.425,3 36.743,6
Kehutanan 16.686,9 16.548,1 16.543,3 16.793,8
Perikanan 41.419,1 43.652,8 45.866,2 48.253,2
2. Pertambangan dan
Penggalian 168.031,7 171.278,4 172.442,7 179.974,9
3. Industri Pengolahan 514.100,30 538.084,6 557.764,4 569.550,8 4. Listrik, Gas & Air
Bersih 12.251 13.517 14.993,6 17.059,8
5. Konstruksi 112.233,60 121.808,9 130.951,6 140.184,2
6. Perdagangan, Hotel &
Restoran 312.518,70 340.437,1 363.813,5 367.958,8
7. Pengangkutan dan
Komunikasi 124.808,90 142.326,7 165.905,5 191.674
9. Jasa jasa 170.705,40 181.706 193.024,3 205.371,5
PDB 1.847.126 1.964.327 2.082.315 2.176.975
PDB Tanpa Migas 1.703.422 1.821.757 1.939.482 2.035.125 Sumber: BPS RI, 2011.
*Angka sementara
**Angka Sangat Sementara
Tabel 1.2. menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB atas
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha pada tahun 2009 sebesar 296.369,3
miliar rupiah dengan kontribusi 13,6 persen dari total PDB sebesar 2.176.975
miliar rupiah. Periode 2006 2009 menunjukkan kontribusi baik sektor pertanian
khususnya tanaman perkebunan yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.
setelah tanaman bahan makanan dan perikanan dengan kontribusi sebesar 15
persen pada tahun 2009.
Potensi Indonesia sangat besar untuk mengembangkan berbagai produk
olahan kelapa dimana populasi tanaman kelapa Indonesia adalah yang terbesar di
dunia. Tabel 1.3. memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang produksi
kelapanya terbesar di seluruh dunia dengan jumlah produksi sebesar 19.500.000
metrik ton. Posisi kedua ditempati oleh Filipina dengan jumlah produksi
15.319.500 metrik ton dan India merupakan produsen ke tiga terbesar dengan
jumlah produksi sebesar 10.894.000 metrik ton.
Tabel 1.3. Negara Terbesar pada Produksi Kelapa Di Dunia 2008 (metrik ton)
Negara Produksi
Indonesia 19.500.000
Filipina 15.319.500
India 10.894.000
Brazil 2.759.044
Sri Lanka 2.210.800
Sumber: FAO, 2011.
Pohon kelapa tumbuh sekitar 3 juta hektar di Indonesia atau 31 persen dari
total pohon kelapa dunia. Indonesia seharusnya dapat menguasai produk berbahan
dasar kelapa, misalnya produk minyak kelapa, sabut, dan tempurung. Selain itu,
pohon kelapa juga mudah dikembangbiakkan, usia produktivitasnya hampir
mencapai 50 tahun dan dapat diselingi pohon tumpang sari lainnya sehingga
investasi menjadi lebih murah.
Berikut disajikan pada tabel 1.4. mengenai luas areal, produksi dan
produktivitas kelapa Indonesia kurun waktu 2005 2009. Luas areal kelapa yang
tahunnya menunjukkan bahwa potensi kelapa Indonesia sangat besar dari sektor
hulu sampai sektor hilirnya. Hal yang utama adalah bagaimana meningkatkan
produktivitas kelapa agar potensi tersebut menjadi maksimal.
Tabel 1.4. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Kelapa
Indikator Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha)
2005 3,803,614 3,096,845 1,105
2006 3,788,892 3,131,158 1,119
2007 3,787,989 3,193,266 1,145
2008 3,783,074 3,239,673 1,168.86
2009 3,799,124 3,257,970 1,175
Sumber: Kementan RI, 2011.
Dari sisi nilai ekspornya, produk kelapa dan olahannya berfluktuatif. Pada
tahun 2005 Indonesia mengekspor sebanyak 1,413 juta ton dengan nilai sebesar
US$ 536,252 juta. Kurun waktu 5 tahun, nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun
2008 dengan nilai ekspor sebesar US$ 900,499 juta dan volume ekspor 1,080 juta
ton serta luas lahan sebanyak 191,944 juta hektar. Nilai ini lebih rendah
ketimbang ekspor kepala Filipina yang sebesar US$ 1,493 miliar dengan luas
lahan produksi sebesar 29,817 juta hektar (Kementan, 2011).
Sumber: UNComtrade, 2011 (diolah).
Penurunan ekspor yang signifikan terjadi pada tahun 2009 dengan nilai
ekspor sebesar US$ 494,533 juta dan volume ekspor 992,76 ribu ton. Padahal
volume ekspor 2009 hanya menurun sebesar 8,1 persen sedangkan nilai ekspornya
turun 45,1 persen. Penyebab utama penurunan ekspor yang terjadi tahun 2009
adalah harga, pada tahun 2008 harga ekspor produk kelapa dan olahannya 0,9
US$/kg dan pada tahun 2009 hanya 0,49 US$/kg.
Menurut APCC, perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih
rendah dibanding negara pesaing utama (Filipina), padahal bila dibandingkan
tingkat harga ekspor antar produk kelapa di kedua negara, harga beberapa produk
kelapa asal Indonesia lebih murah. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
perolehan manfaat perdagangan kelapa Indonesia, pengaruh faktor nonharga
masih cukup signifikan. Faktor faktor yang terkait dengan kualitas produk,
tingginya biaya transportasi, dan kompleksitas prosedur ekspor diduga turut
berpengaruh terhadap perolehan manfaat perdagangan (ekspor) produk kelapa
Indonesia yang belum maksimal.
1.2 Perumusan Masalah
Pada era perdagangan yang semakin bebas seperti saat ini, dayasaing
produk kelapa terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, di
mana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat
berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus
berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha kecil,
Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia tetapi sebagian
besar dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Hal ini
mengakibatkan pangsa pasar terutama minyak kelapa di pasar internasional relatif
kecil. Berbeda dengan Filipina yang merupakan negara penghasil kelapa nomor
dua dunia setelah Indonesia, namun 80 persen produksinya untuk ekspor
(Kementan RI, 2011).
Permasalahan yang dihadapi industri pengolahan kelapa antara lain
persoalan bahan baku. Saat ini tingkat pertanaman kelapa yang tidak produktif
karena sudah tua dan rusak mencapai 30 40 persen dari luas areal perkebunan
kelapa rakyat. Produktivitas tanaman kelapa masih sangat rendah yaitu sekitar
4.200 butir/ha atau setara 0,83 ton kopra/ha. Pasokan bahan baku terbatas dari segi
jumlah maupun mutu.
Di bidang produksi masalah yang dihadapi adalah terbatasnya untuk
diversifikasi produk kelapa olahan. Saat ini industri pengolahan kelapa masih
didominasi oleh produk setengah jadi berupa kopra dan crude coconut oil. Harga
nominal kelapa relatif makin turun sehingga pertambahan input tidak akan
meningkatkan nilai tambah. Utilitas kapasitas produksi Industri olahan kelapa
masih rendah sekitar 40 persen. Produk olahan kelapa yang dihasilkan hanya
beberapa jenis, sedangkan di Filipina mencapai 100 jenis produk (Kementan,
2011).
Berbagai produk kelapa dan olahannya diekspor Indonesia ke dunia yaitu,
kopra, minyak kelapa (MK), kelapa olahan (KO), bungkil kelapa (BK), serar kasar
produk yang menyumbang devisa terbesar dengan nilai rata rata ekspor selama
2005 2009 sebesar US$ 481,881,600 walaupun pendapatan ekspor akan produk
tersebut berfluktuatif. Sementara itu, produk kelapa lainnya memiliki perolehan
nilai ekspor yang cenderung konstan.
Sumber: Ditjenbun Kementan RI, 2010.
Gambar 1.2. Nilai Ekspor Produk Kelapa dan Olahan Indonesia
Nilai ekspor minyak kelapa Indonesia pada tahun 2005 sebesar US$
411,830 juta sedangkan pada tahun 2006, produk ini mengalami penurunan yang
signifikan sebesar US$141,156 juta. Pada tahun berikutnya, nilai ekspor minyak
kelapa mengalami peningkatan dua kali lipat menjadi US$ 570,410 juta.
Selanjutnya produk ini kembali meningkat dengan perolehan nilai ekspor sebesar
US$ 769,134 juta dan merupakan perolehan ekspor tertinggi selama kurun waktu
5 tahun terakhir. Selanjutnya di tahun 2009, minyak kelapa mengalami penurunan
nilai ekspor hampir 50 persen menjadi US$ 387,36 juta. Hal ini disebabkan oleh
penurunan permintaan yang masih terkait dengan dampak krisis finansial global
Sumber: Ditjenbun Kementan RI, 2010
Gambar 1.3. Rata Rata Kontribusi Ekspor Jenis Produk Minyak Kelapa Indonesia
Periode 2005 2009
Selama periode 2005 2009, minyak kelapa kasar (CCO) merupakan
penyumbang devisa terbesar diantara jenis produk minyak kelapa lainnya dengan
kontribusi nilai ekspor sebesar 77 persen. Selanjutnya minyak kelapa setengah
jadi berkontribusi sebesar 15 persen, minyak kelapa murni atau yang lebih dikenal
dengan VCO sebesar 6 persen dan sisanya 2 persen berupa minyak kelapa.
Potensi produk CCO dilihat dari sisi nilai ekspor cukup tinggi. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, kontribusinya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
ini sebesar 77 persen dari jenis produk minyak kelapa lainnya. Selanjutnya perlu
dilakukan penelitian mengenai dayasaing baik kompetitif maupun komparatif
agar dapat diketahui bagaimana dayasaing produk tersebut di pasar internasional
khususnya di negara negara tujuan ekspor. Selain itu, perlu diteliti faktor faktor
apa saja yang memengaruhi aliran ekspor produk CCO Indonesia di negara negara
Berdasarkan pada latar belakang dan uraian tersebut maka rumusan
masalah yang perlu diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dayasaing produk crude coconut oil (CCO) Indonesia?
2. Faktor faktor apa saja yang memengaruhi aliran ekspor produk crude coconut
oil (CCO) Indonesia di negara tujuan?
3. Bagaimana implikasi kebijakan pada produk crude coconut oil (CCO)
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis dayasaing produk crude coconut oil (CCO) Indonesia.
2. Menganalisis faktor faktor yang memengaruhi aliran ekspor produk crude
coconut oil (CCO) Indonesia di negara tujuan.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan pada produk crude coconut oil (CCO)
Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun
pihak pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara
1. Bagi pemerintah atau instansi terkait diharapkan dapat memberikan masukan
dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun dalam pengambilan
keputusan terkait dengan ekspor produk crude coconut oil (CCO) Indonesia.
2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan dalam
penelitian penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan ilmu
pengetahuan sekaligus menambah pengalaman selama menuntut ilmu di
Institut Pertanian Bogor.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup serta keterbatasan dalam penelitian ini yaitu :
1. Periode tahun analisis aliran eskpor yang digunakan hanya dari tahun 2001
sampai 2009 dikarenakan keterbatasan data pada tahun sebelum 2001
sedangkan analisis dayasaing dari tahun 2005 2009, dan data pada tahun 2010
yang masih belum tersedia pada saat penelitian dilakukan.
2. Pada analisis aliran ekspor produk kelapa dan olahannya hanya difokuskan
pada produk crude coconut oil (CCO) yang disesuaikan dengan tujuan dari
penelitian ini.
3. Kode HS dari produk kelapa dan olahan yang digunakan dalam analisis
dayasaing dan aliran ekspor adalah HS 151311 yaitu, crude coconut oil (CCO).
4. Penelitian ini menggunakan 5 variabel independen yang terdiri dari GDP
perkapita riil Indonesia, GDP perkapita riil negara tujuan ekspor, populasi
dan jarak ekonomi antara negara Indonesia dengan negara mitra dagangnya
sedangkan volume ekspor produk CCO sebagai variebel dependen.
5. Negara tujuan ekspor yang digunakan hanya 8 negara karena negara negara
tersebut secara berkesinambungan mengimpor produk CCO dari Indonesia
selama periode 2001 2009.
6. Model yang digunakan dalam mengestimasi adalah model Fixed Effects karena
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Perdagangan Internasional
Teori mengenai perdagangan antara dua negara yang dikenal luas dengan
teori keunggulan absolut dikemukakan oleh Adam Smith. Asumsi yang menjadi
dasar dalam teori ini adalah perdagangan internasional hanya dapat terjadi pada
negara yang memiliki keuntungan absolut. Jika suatu negara lebih efisien atau
memiliki keunggulan absolut terhadap negara lainnya dalam memproduksi suatu
komoditas, namun kurang efisien dibandingkan negara lain dalam memproduksi
komoditi lain, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan
cara masing masing melakukan spesialisasi dalam komoditi unggulan dan
menukarkannya dengan komiditi lain yang tidak memiliki keunggulan absolut
dalam suatu mekanisme perdagangan internasional (Salvatore, 1997).
Kenyataannya dalam forum perdagangan global, fakta menunjukan bahwa
tidak semua negara di dunia mempunyai keunggulan absolut dalam perdagangan.
Kelemahan teori keunggulan absolut ini dikoreksi oleh David Ricardo melalui
buku yang berjudul Principal of Political Economy and Taxation. Teori tersebut
dalam perkembangannya disebut sebagai teori keunggulan komparatif. Menurut
hukum keunggulan komparatif, meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki
kerugian absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas,
namun masih terdapat asumsi keunggulan komparatif yang dapat mendasari dalam
perdagangan internasional. Asumsi ini diaplikasikan melalui spesialisasi dalam
komparatif) dan sebaliknya melakukan impor terhadap komoditas yang memiliki
kerugian absolut (kerugian komparatif) yang lebih besar.
Beberapa asumsi lain yang dikemukakan oleh Ricardo yaitu, (1) hanya
terdapat dua negara dengan dua komoditas, (2) perdagangan bersifat bebas, (3)
Terdapat mobilitas antardua negara tersebut, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak
terdapat biaya transportasi, (6) teknologi konstan, (7) menggunakan teori nilai
tenaga kerja.
Perkembangan dalam teori perdagangan internasional selanjutnya
dikemukakan oleh Heckscher Ohlin (H O). Menurut Hecksher Ohlin, terdapat
perbedaan opportunity cost suatu produk antarsuatu negara dengan negara lain
yang disebabkan karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi yang dimiliki
masing masing negara. Negara negara yang memiliki faktor produksi relatif
banyak dan murah dalam produksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing masing negara akan mengimpor
barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif
langka dan mahal dalam produksinya (Salvatore, 1997).
Untuk melihat sebuah proses terciptanya harga komoditas relatif
ekuilibrium dengan adanya perdagangan antar negara yang ditinjau dari analisis
keseimbangan parsial dijelaskan dalam Salvatore (1997). Dalam panel A dan
panel C, kurva Dx dan kurva Sx pada Gambar 2.1. masing masing melambangkan
kurva permintaan dan penawaran untuk komoditas X di negara 1 dan negara 2.
Untuk sumbu vertikal pada ketiga panel mengukur harga harga relatif untuk
dikorbankan oleh suatu negara dalam rangka memproduksi satu unit tambahan
komoditas X. Sedangkan, sumbu horizontal di ketiga panel mengukur kuantitas
komoditas X.
Sumber : Salvatore,1997
Gambar 2.1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional
Secara spesifik, Panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif
P1, kuantitas komoditas X yang ditawarkan akan sama dengan kuantitas yang
diminta oleh konsumen di Negara 1, sehingga Negara 1 tidak akan mengekspor
komoditas X sama sekali (keseimbangan terletak pada titik A). Hal tersebut
memunculkan titik A* pada kurva S di panel B (yang merupakan kurva
penawaran ekspor Negara 1). Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan
harga relatif P2, maka akan terjadi kelebihan penawaran apabila dibandingkan
dengan tingkat permintaan untuk komoditas X, dan kelebihan itu sebesar BE.
Kuantitas sebesar BE itulah yang merupakan kuantitas komoditas X yang akan
dan disitulah letak titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran ekspor
komoditas X dari Negara 1.
Sementara itu Panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif
P3, maka penawaran dan permintaan untuk komoditas X akan sama besarnya,
sehingga Negara 2 tidak akan mengadakan impor komoditas X sama sekali. Hal
tersebut dilambangkan oleh titik A’ yang terletak pada kurva permintaan impor
komoditas X Negara 2 yang berada di Panel B. Panel C juga menunjukkan bahwa
berdasarkan harga relatif P2 akan terjadi kelebihan permintaan lebih besar dari
penawarannya, yaitu sebesar B’E’. Kelebihan itu sama artinya dengan kuantitas
komoditas X yang akan diimpor oleh Negara 2 berdasarkan harga relatif P2.
Kemudian jumlah tersebut sama dengan B*E* pada Panel B, yang menjadi titik
E*.
Kemudian berdasarkan harga relatif P2, kuantitas impor komoditas X yang
diminta oleh Negara 2 (sebesar B’E’ dalam Panel C) sama dengan kuantitas
ekspor komoditas X yang ditawarkan oleh Negara 1 (sebesar BE dalam Panel A).
Hal tersebut diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan kurva S setelah
komoditas X diperdagangkan di antara kedua negara (lihat Panel B). Dengan
demikian P2 merupakan harga relatif ekuilibrium untuk komoditas X setelah
perdagangan internasional berlangsung. Dari Panel B dapat juga dilihat bahwa
apabila Px/Py lebih besar dari P2 maka kuantitas ekspor komoditas X yang
ditawarkan akan melebihi tingkat permintaan impor sehingga lambat laun harga
relatif komoditas X tersebut (Px/Py) akan mengalami penurunan sehingga
lebih kecil dari P2 maka kuantitas impor komoditas X yang diminta akan melebihi
kuantitas ekspor komoditas X yang ditawarkan sehingga Px/Py pun akan
meningkat dan pada akhirnya sama dengan P2.
2.2. Konsep Dayasaing
Dayasaing menurut Porter (1995) didefinisikan sebagai kemampuan suatu
perusahaan dalam suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan.
Dayasaing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat
tergantung pada tingkat sumberdaya relatif yang dimilikinya. Penelitian Porter
tentang keunggulan bersaing negara negara mencakup tersedianya peranan
sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada keadaan negara yang memengaruhi
dayasaing perusahaan perusahaan internasional pada industri yang berbeda.
Dayasaing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar
luar negeri dan kemampuan untuk bertahan di dalam pasar tersebut. Pengertian
dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan
produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter,
1990).
Gonarsyah (1995) menyatakan bahwa dayasaing berarti mengenai
keunggulan kompetitif (competitive advantage). Suatu produk yang mempunyai
keunggulan komparatif belum tentu memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan
kompetitif selain ditentukan oleh keunggulan komparatif juga ditentukan oleh
biaya pemasaran dan biaya biaya lainnya. Suatu produk yang memiliki
pemerintah maupun struktur pasar, maka produk tersebut bisa saja tidak memiliki
keunggulan komparatif.
2.3. Konsep Aliran Ekspor
Adanya aliran perdagangan berupa ekspor ke negara negara tujuan ekspor
dapat dikarenakan penawaran ekspor dari eskportir maupun permintaan ekspor
dari negara importir. Penawaran ekspor dan permintaan ekspor dapat diturunkan
dari pengertian penawaran atau permintaan komoditas pada suatu pasar.
Arti dari penawaran dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999)
yaitu jumlah komoditas yang dijual oleh penjual atau supplier dalam suatu waktu
dan pada suatu pasar. Jika dalam penawaran ekspor, maka arti tersebut akan
menjadi jumlah komoditas yang dapat dijual oleh suatu negara. Dalam Lipsey,
Courant, dan Ragan (1999) juga dijelaskan bahwa komoditas yang ditawarkan ini
adalah jumlah komoditas yang diproduksi oleh supplier. Semakin banyak jumlah
yang diproduksi, maka penawaran ekspor suatu negara juga meningkat. Jumlah
komoditas yang diproduksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau
kapasitas supplier (dalam hal ini adalah negara) dalam memproduksi komoditas
atau output.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan suatu
negara dalam memproduksi output merupakan faktor penting yang memengaruhi
jumlah penawaran ekspor. Output yang dihasilkan suatu negara dapat disebut
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).
Seperti yang dijelaskan oleh Dornbusch, Fischer, dan Startz dalam bukunya
jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada suatu waktu. GDP ini merupakan
nilai ouput total yang telah diproduksi (output akhir). Selanjutnya dijelaskan
bahwa di sisi produksi, output ini akan dibayarkan sebagai pembayaran atas
faktor faktor yang digunakan selama proses produksi, seperti tenagakerja dan
modal.
GDP merupakan faktor penting dalam penawaran ekspor. Hal ini terkait
dengan meningkatnya GDP maka pembayaran untuk tenagakerja dan modal akan
meningkat sehingga akan mendorong produktivitas dari tenagakerja dan modal
tersebut. Peningkatan produktivitas ini maka barang yang diproduksi akan
meningkat sehingga output nasional akan meningkat kembali, kemudian
penawaran ekspor juga meningkat.
Untuk permintaan ekspor juga sama halnya dengan penawaran ekspor,
bahwa pengertian dari permintaan eskpor dapat diambil dari pengertian
permintaan. Pengertian dari permintaan (Lipsey, Courant, dan Ragan, 1999)
adalah jumlah suatu komoditas yang akan dibeli oleh rumahtangga sedangkan
permintaan ekspor dapat berarti jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh
suatu negara tertentu.
Beberapa faktor yang menentukan suatu permintaan komoditas di pasar
dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999) diantaranya yaitu, rata rata
pendapatan rumah tangga, dimana jika ada kenaikan pendapatan rata rata rumah
tangga akan menyebabkan jumlah komoditas yang diminta lebih banyak pada
setiap harga tertentu. Serta jumlah penduduk, jika ada kenaikan jumlah penduduk
tertentu. Jika dalam konteks perdagangan internasional, maka pendapatan rumah
tangga merupakan pendapatan suatu negara, dan jumlah penduduk adalah
populasinya.
Gross Domestic Product juga dapat diartikan sebagai pendapatan yang
diterima oleh suatu negara. Pendapatan ini dapat diukur dari nilai total barang dan
jasa yang diproduksi suatu negara. Kemudian dijelaskan pula dalam Dornbusch,
Fischer, dan Startz (1998) bahwa dari sisi konsumsi, output atau GDP ini akan
digunakan dalam kegiatan konsumsi dan investasi oleh pemerintah dan para
sektor swasta seperti eksportir. Oleh karena itu, GDP merupakan faktor yang juga
penting dalam hal permintaan ekspor, jika GDP meningkat maka pendapatan juga
meningkat, sehingga konsumsi suatu negara juga meningkat.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi memiliki hubungan yang
positif dengan permintaan. Namun, dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005)
populasi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap ekspor. Di satu sisi,
populasi yang besar menandakan besarnya pasar domestik dan besarnya pasar
tenaga kerja, dengan tingginya pasar tenagakerja dan pasar domestik biaya,
terutama untuk tenagakerja akan semakin murah sehingga efisiensi ekonomi dapat
tercapai.
Ketika ada peningkatan pasar tenagakerja sebagai faktor produksi maka
biaya tenagakerja dapat ditekan sehingga produktivitas meningkat. Ketika
produktivitas meningkat, besarnya pasar domestik mampu menyerap banyaknya
barang yang ditawarkan. Hal ini akan menyebabkan semakin menurunnya
dari tenagakerja yang produktif tidak sebesar peningkatan konsumsi pasar
domestiknya, maka dengan meningkatnya populasi akan meningkatkan
permintaan ekspor dalam perdagangan internasional karena kebutuhan domestik
yang besar tidak terpenuhi dengan produksi domestiknya.
Selain GDP dan populasi, nilai tukar juga memengaruhi permintaan ekspor
dari suatu negara (Mankiw, 2002). Kurs merupakan perbandingan nilai tukar
matauang suatu negara dengan negara lain. Nlai tukar matauang memiliki peranan
sentral dalam hubungan perdagangan internasional karena kurs dapat
membandingkan harga barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Hal ini juga
dijelaskan dalam Salvatore (1997) bahwa dalam melakukan transasksi
perdagangan antarnegara maka digunakan matauang asing. Apabila matauang
domestik terapresiasi maka harga impor bagi penduduk domestik relatif menjadi
lebih murah sedangkan bagi para eksportir hal ini akan berdampak pada kenaikan
harga produk mereka sebab harganya menjadi relatif lebih mahal. Sebaliknya, jika
nilai matauang domestik terdepresiasi maka harga ekspor bagi para negara
importir akan relatif lebih murah sedangkan bagi penduduk domestik akan merasa
barang impor relatif lebih mahal. Hal tersebut menyebabkan konsumen dunia akan
meningkatkan permintaannya terhadap komoditas ekspor Indonesia. Permintaan
yang meningkat ini akan meningkatkan harga dari komoditas tersebut. Maka dari
itu dari sisi produsen, dalam jangka panjang, jika ada kenaikan harga akan
memberikan sinyal untuk terus berproduksi hingga keuntungannya maksimal. Hal
Kurs terdiri dari dua jenis yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal
(nominal exchange rate) adalah harga relatif dari matauang dua negara. Sebagai
contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen jepang adalah 120 yen per dolar
maka orang Amerika Serikat dapat menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang.
Sebaliknya, orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen
untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang orang mengacu pada “kurs” diantara
kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw,2002).
Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang barang
diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana suatu negara dapat
memperdagangkan barang barangnya di negara lain dengan kata lain nilai tukar
nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga harga dalam negeri
dibandingkan dengan harga harga luar negeri. Nilai tukar riil ini dapat pula
disebut dengan Terms of Trade (TOT). Rumus dari nilai tukar riil Rp/US$
dinyatakan dalam persamaan (2.1).
Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x P (AS) ………(2.1)
P (Indonesia)
Jika nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terdepresiasi,
maka harga barang Indonesia di luar negeri akan menjadi relatif lebih murah
daripada harga barang yang diperdagangkan di pasar dunia. Hal tersebut
menyebabkan konsumen dunia akan meningkatkan permintaannya terhadap
komoditas ekspor Indonesia. Permintaan yang meningkat ini akan meningkatkan
harga dari komoditas tersebut. Maka dari itu dari sisi produsen, dalam jangka
hingga keuntungannya maksimal. Hal ini tentunya akan meningkatkan penawaran
ekspor. Pada Gambar 2.2. diperlihatkan pengaruh dari nilai tukar riil (e) terhadap
net ekspor (NX). Terjadinya depresiasi atau penurunan harga barang domestik di
mata dunia ditunjukkan pada penuruan e dari e1 menjadi e2. Penurunan harga
barang domestik ini mengakibatkan ekspor meningkat sehingga net ekspor (NX)
juga meningkat dari NX(e1) menjadi NX(e2).
Sumber: Mankiw, 2002.
Gambar 2.2. Dampak Depresiasi Matauang Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat pada Net Ekspor
2.4. Konsep
Gravity Model didasarkan pada teori gravitasi Newton mengenai interaksi
antara dua objek. Teori Gravitasi Newton menyatakan bahwa kekuatan yang
digunakan oleh dua objek adalah suatu fungsi dari massa masing masing objek
dan kuadrat jarak antara kedua objek tersebut. Prinsip tersebut telah dapat
digunakan untuk sejumlah konteks pemikiran yang berbeda, diantaranya
e
NX(e1) NX(e2)
NX e1
menjelaskan interaksi dalam dimensi ruang, seperti perpindahan penduduk atau
perpindahan barang dan jasa (perdagangan).
Gravity model saat ini sudah lazim dipakai sebagai metode standar untuk
mengevaluasi potensi perdagangan suatu produk atau jasa antarnegara yang
berbeda. Secara fisik, gravity model didasarkan pada peramalan potensi
perdagangan melalui variabel jarak, populasi dan GNP dari negara tersebut.
Argumen yang melatarbelakangi pemakaian gravity model, bahwa negara yang
lebih besar dan kaya akan lebih banyak melakukan perdagangan luar negeri bila
dibandingkan dengan negara yang lebih kecil dan miskin dimana jarak yang
semakin jauh dianggap bukan sebagai hambatan. Gravity model berkaitan dengan
long range equilibrium aliran perdagangan dan sebagai model ideal untuk
membandingkan perdagangan dari dua daerah atau dari dua sistem ekonomi yang
berbeda.
Gravity Model mempresentasikan perdagangan antardua negara sebagai
fungsi dari massa ekonomi masing masing negara, jarak antarnegara, dan faktor
lainnya. Dalam Cortez (2005) dijelaskan bahwa model ini diperkenalkan pertama
kali oleh Tinbergen (1962) dan Poyhonen (1963) yang meneliti tentang aliran
perdagangan diantara negara negara di Eropa. Sejak saat itu model ini mulai
digunakan dengan ekstensif sebagai studi empiris perdagangan internasional.
Sinaga dalam Napitupulu (2007) menjelaskan bahwa pemikiran mendasar yang
menjadi argumen pemakaian gravity model adalah negara yang lebih besar dan
dengan negara yang kecil dan miskin. Perumusan Teori Gravitasi Newton dalam
fisika dituliskan dalam persamaan 2.2.
Fij =
G X Mi X Mj
... (2.2) Dij
“interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan berbanding
terbalik dengan jarak masing masing”
Jika persamaan (2.2) diaplikasikan dalam perdagangan internasional maka:
F : Volume interaksi antaradua negara (aliran perdagangan)
M : Ukuran ekonomi untuk kedua negara
D : Jarak ekonomi kedua negara
G : Konstanta
Kemudian dengan menggunakan logaritma, persamaan (2.2) akan diubah
ke dalam bentuk linear dan menjadi bentuk umum dari Gravity Model untuk
analisis ekonometrika (persamaan 2.3), dimana konstanta G menjadi bagian dari
β0, dan GDP menggambarkan ukuran ekonomi untuk kedua negara.
Log (Aliran Perdagangan Bilateral) = β0 + β1 log (GDP negara 1) + β2 log (GDP
negara 2) + β3 log (Jarak) + O ... (2.3)
Dalam perdagangan antar negara, bentuk model ini disusun oleh tiga jenis
variabel utama yang selalu terdapat pada setiap gravity model untuk aliran
perdagangan bilateral (Sinaga dalam Napitupulu, 2007). Tiga jenis variabel
tersebut adalah:
a. Variabel variabel yang memiliki total permintaan potensial negara pengimpor.
c. Variabel variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antarnegara
pengekspor dan negara pengimpor.
Variabel indikator dari total permintaan potensial negara pengimpor dapat
digambarkan dengan GDP negara importir dan populasinya sedangkan untuk
indikator penawaran potensial dari negara pengekspor dapat digunakan GDP
negara pengekspor. Selain itu, pendapatan per kapita pun dapat digunakan sebagai
pengganti variabel GDP. Pendapatan per kapita adalah ukuran berapa banyak
perolehan pendapatan setiap individu dalam perekonomian. Pengertian lain
mengenai pendapatan per kapita adalah jumlah yang tersedia bagi rumah tangga
atau perusahaan untukmelakuan pengeluaran. Dengan demikian tingkat konsumsi
atau kemampuan daya beli suatu negara atas suatu komoditi dapat diukur dari
pendapatan perkapita penduduknya. Jika pendapatan per kapita suatu negara dinilai
cukup tinggi, maka dapat dikatakan suatu negara tersebut merupakan pasar potensial
bagi pemasaran suatu komoditi ataupun produk tertentu. Beberapa variabel
tambahan sebagai penghambat dalam aliran ekspor adalah adanya variabel jarak
antardua negara.
Variabel jarak tersebut dapat dimodifikasi menjadi economic distance atau
jarak ekonomi. Li, Song, dan Zhou (2008) menggunakan jarak ekonomi sebagai
pendekatan yang mewakili biaya transportasi. Variabel ini menghitung jarak
geografis antara dua negara juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau
yang disebut weighted average economis distance. Rumus yang digunakan dalam
menghitung jarak ekonomi yaitu:
Jarak
Ekonomi =
jarak geografis antar negara X GDP j
Pengaruh biaya transportasi terhadap keseimbangan internasional
dijelaskan dalam Salvatore (1997). Pada Gambar 2.4. sumbu vertikal mengukur
harga komoditas Z dalam satuan dollar yang berlaku di kedua negara. Setiap
pergerakan ke sebelah kiri dari pusat sumbu mengukur peningkatan kuantitas
komoditas Z untuk Negara 1. Tanpa adanya perdagangan internasional, Negara 1
akan berproduksi sebanyak 50Z dan semuanya akan habis dikonsumsi sendiri.
Harga komoditas Z yang berlaku di Negara 1 adalah Pz = 5 dollar. Sedangkan
Negara 2 akan memproduksi komoditas Z sebanyak 50 unit dan semuanya juga
akan habis dikonsumsi berdasarkan harga yang berlaku yakni Pz = 11 dollar.
Sumber: Salvatore: 1997
Gambar 2.3. Analisis Keseimbangan Parsial Atas Biaya Transportasi
Setelah perdagangan internasional berlangsung antar kedua negara tersebut
(tanpa biaya transportasi), Negara 1 akan mengekspor komoditas Z ke Negara 2
ketika harga Pz di Negara 1 mulai naik. Kenaikan harga ini mendorong Negara 1
untuk memproduksi komoditas Z dan kemudian kelebihan produksinya akan
adanya biaya transportasi maka harga yang berlaku di kedua negara adalah sama
yaitu sebesar 8 dollar dengan jumlah komoditas Z yang diperdagangkan antar
negara sebanyak 60 unit.
Namun, ketika perdagangan internasional terjadi dengan adanya biaya
transportasi, misalkan sebesar 2 dollar per unit, maka Pz di Negara 2 akan
melampaui Pz di Negara 1 sebesar 2 dollar. Dalam Gambar 2.3., hal tersebut
terjadi apabila Pz = 7 dollar di Negara 1 dan Pz = 9 dollar di Negara 2. Pada Pz =
7 dollar tersebut maka Negara 1 akan meningkatkn produksi domestik atas
komoditas Z hingga 70 unit, diantaranya konsumsi domestik sebanyak 30 unit,
dan 40 unit sisanya diekspor ke Negara 2. Sedangkan di Negara 2. sendiri di saat
Pz = 9 dollar produksi komoditas Z turun menjadi 30 unit dan tingkat konsumsi
domestiknya naik menjadi 70 unit, sisa 40 unit kekurangannya diimpor dari
Negara 1.
Secara lebih ringkas dapat dikatakan jika ada perdagangan internasional
tetapi tidak ada biaya transportasi jumlah komoditas Z yang diperdagangkan
sebanyak 60 unit, dan ketika ada perdagangan internasional dengan biaya
transportasi sebesar 2 dollar kuantitas yang diperdagangkan menurun menjadi 40
unit. Hal ini berarti adanya biaya transportasi mengakibatkan turunnya volume
dan keuntungan perdagangan.
2.5. Panel Data
Panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan dari data time
series dan cross section. Dalam teori ekonometrika, bentuk panel data dapat
observasi jika hanya dengan menggunakan data time series atau cross section saja.
Adapun beberapa keuntungan dalam menggunakan panel data (Baltagi, 2005)
adalah :
a. Panel data mampu mengontrol heterogenitas individu.
b. Panel data dapat memberikan informasi data yang lebih banyak, lebih
bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of
freedom, dan lebih efisien.
c. Jika menggunakan data cross section, walaupun terlihat stabil namun
sebenarnya dalam data tersebut tersimpan banyak perubahan, seperti data
pengangguran, perpindahan pekerjaan, atau perubahan kebijakan pemerintah.
Dengan menggunakan panel data maka penyesuaian penyesuaian yang dinamis
tersebut dapat dengan lebih mudah dipelajari.
d. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat
diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.
e. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.
Dalam pengolahan data panel dikenal tiga macam metode, yaitu metode pooled
least square, metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek acak (random
effect). Ketiga metode ini dapat diterapkan dengan pembobotan (cross section
weights) atau tanpa pembobotan (no weighting).
2.5.1.
Dalam metode ini data panel yang mengkombinasikan semua data cross
section dan time series akan digabungkan menjadi pooled data. Dengan
lebih akurat jika dibandingkan dengan regresi biasa, karena dalam panel berarti
menggabungkan data cross section dan time series bersama sama sehingga
memiliki jumlah observasi data yang lebih banyak. Kelemahan dalam metode ini
adalah tidak terlihatnya perbedaan baik antar individu karena data yang semakin
berkurangnya degree of freedom akibat adanya penambahan variabel dummy pada
persamaan, dan terntunya akan memengaruhi keefisienan parameter yang diduga.
Pendugaan metode ini dinyatakan dalam persamaan (2.5).
Yit = αi + βj xjit + /it …... (2.5)
dimana :
yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i
αi = intersep yang akan berbeda antar individu cross section i
xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i
βj = parameter untuk variabel ke j
/it = komponen error di waktu t untuk unit cross section i
2.5.2. Efek Tetap ( )
Metode pooled least square memiliki kekurangan, yaitu tidak terlihatnya
perbedaan baik antar individu, sehingga asumsi intersep dan slope dari persamaan
regresi yang dianggap konstan. Sedangkan untuk generalisai secara umum, dapat
dilakukan dengan memasukkan variabel dummy untuk menghasilkan nilai
parameter yang berbeda beda pada setiap unit cross section. Metode dengan
memasukkan variabel dummy disebut dengan metode Fixed Effect atau Least
Square Dummy Variable.
Metode fixed effect akan menghasilkan intersep yang berbeda beda antar
degree of freedom akibat adanya penambahan variabel dummy pada persamaan,
dan terntunya akan memengaruhi keefisienan parameter yang diduga. Pendugaan
metode ini dinyatakan dalam persamaan (2.6).
Yit = αi + βj xjit + /it ... (2.6)
dimana :
yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i
αi = intersep yang akan berbeda antar individu cross section i
xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i
βj = parameter untuk variabel ke j
/it = komponen error di waktu t untuk unit cross section i
2.5.3. Efek Acak ( )
Pada metode efek acak (random effect) karakteristik antar individu terlihat
pada komponen error yang ada pada model. Hal ini tidak akan mengurangi derajat
bebas (degree of freedom) akibat penambahan variabel, sehingga efisiensi dalam
pendugaan parameter juga tidak berkurang. Bentuk model efek acak ini adalah :
Yit = α + βj xjit + wit ... (2.7)
dimana :
yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i
α1i = α1 + /it , dengan nilai intersep yang akan berbeda antar individu cross
section i akibat random error (/it) antar individu tersebut O
xjit= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i
βj = parameter untuk variabel ke j
wit= /it + τi, yaitu /it : error dan τi: individual effect
kriteria pembobotan yang berbeda beda, yakni:
1. No Weighting : semua observasi diberi bobot yang sama.
2. Cross Section Weight : Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan
estimasi varians residual cross section. Digunakan apabila ada asumsi bahwa
terdapat cross section heteroskedasticity.
3. SUR (seemingly unrelated regression) : GLS menggunakan estimasi residual
covariance matrix cross section. Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas
maupunautokorelasi antar unit cross section.
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang digunakan penulis sebagai acuan terdiri dari
empat jenis, yaitu: mengenai dayasaing, gravity model, perdagangan intra industri,
dan kelapa.
2.6.1. Penelitian Mengenai Dayasaing
Batra dan Khan (2005) dengan judul “Revealed Comparative Advantage:
An Analysis For India and China” dilakukan selama periode 2000 2003.
Penelitian mengidentifikasi pola RCA dengan menggunakan indeks Balassa
(1965) juga keunggulan komparatif berdasarkan intensitas faktor dengan
menghitung pada sektor dan komoditi berdasarkan klasifikasi Harmonized System
(HS). Hasil menunjukkan terdapat banyak kesamaan struktur keunggulan
komparatif pada India dan China di pasar internasional.
Zhou, Wu, dan Si (2006) melihat fenomena peningkatan permintaan China
pada impor produk pertanian menghadirkan kesempatan yang baik untuk ekspor
industri pertanian Australia yaitu terjadinya perubahan pola perdagangan
pertaninan antara China dan Australia. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis perdagangan pertanian antara kedua negara dengan menggunakan
beberapa metode seperti, Trade Intensity Index, Revealed Comparative
Advantage, dan Trade Complementarity Index. Hasilnya menunjukkan bahwa
perlu ditingkatkannya perdagangan produk pertanian dan kerjasama antara
Australia dan China.
Kartikasari (2008), penelitiannya yang berjudul “Analisis Daya Saing
Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar
Internasional” dengan metode RCA mengungkapkan bahwa perkembangan
industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand
sebagai kompetitor utama untuk kawasan Asia Tenggara. Waktu penelitian dari
1996 2006 menunjukkan perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia jauh lebih
rendah dibandingkan dengan Thailand. Selain itu, Thailand juga memegang
pangsa ekspor tanaman hias lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Di pasar
Korea komoditi tanamana hias Indonesia memiliki keunggulan komparatif berarti
memiliki dayasaing yang tinggi di pasar tersebut sebaliknya terjadi di pasar
Jepang, Amerika Serikat, dan Belanda.
Selain itu, ada juga penelitian mengenai analisis dayasaing produk
Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dan faktor faktor yang
memengaruhinya (Dewi, 2009). Hasilnya menunjukkan bahwa dari empat produk
yang dianalisis hanya satu produk yaitu Palm kernel or babassu oil and frac
Produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) dan Semi bleached or
bleached Pulp of Paper (bubur kertas) memiliki keunggulan komparatif. Produk
yang tidak memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif adalah Coniferous
of Wood (kayu serabut). Penggunaan analisis CMS menghasilkan tentang
dayasaing keempat produk yang dianalisis dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan
impor dan faktor komposisi komoditi selama periode 2000 2006, kecuali produk
minyak sawit yang paling dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan impor saja.
2.6.2. Penelitian Mengenai
Napitupulu (2007) dalam penelitian yang berjudul “Analisis Faktor Faktor
yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Beras Intra ASEAN”, melakukan analisa
kualitatif untuk mengetahui keragaan produksi, konsumsi, dan kebijakan
perberasan negara negara ASEAN serta melakukan analisa kuantitatif untuk
mengetahui faktor faktor yang memengaruhi aliran perdagangan beras intra
ASEAN. Dari hasil chow test, analisis gravity model menggunakan fixed effect
dengan estimasi GLS. R2 yang diperoleh 49,57 persen. Faktor yang berpengaruh
nyata pada taraf lima persen yaitu GDP negara asalimpor, populasi negara tujuan
impor, konsumsi beras negara asal impor, konsumsi beras negara tujuan impor,
dan nilai tukar terhadap USD negara tujuan impor.
Sinaga (2007), di dalam penelitiannya yang berjudul aliran perdagangan
komoditas karet alam Indonesia dan faktor faktor yang memengaruhinya di
negara tujuan, manganalisis dengan menggunakan gravity model. Dari hasil
pengolahan diketahui bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi ekspor karet
ekspor produk ban negara tujuan. Faktor faktor lainnya di luar model yang
disusun adalah persediaan dan cadangan karet alam negara tujuan, pesaing serta
peristiwa global dan kondisi sosial politik negara tujuan.
Penelitian yang berjudul “Analisis Perdagangan Bilateral Indonesia
Pendekatan Gravity Model menggunakan data 10 negara utama dari perdagangan
Indonesia yang diteliti selama periode 1970 2002 (Yuniarti, 2007). Hasilnya
menunjukkan bahwa pendapatan domestik, populasi, dan kesamaan ukuran
ekonomi memiliki dampak positif terhadap perdagangan bilateral Indonesia
sedangkan variable yang berdampak negative adalah jarak. Faktor endowment dan
dummy Regional Trade Arrangement tidak berdampak pada perdagangan bilateral
Indonesia.
Li, Song, dan Zhau (2008) melakukan penelitian dengan judul
“Component Trade and China’s Global Economic Integration” mengenai faktor
faktor yang memengaruhi pola perdagangan China pada komponen dan bagiannya
Penggunaan gravity model menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi,
peningkatan ukuran pasar dan economies of scale, investasi asing langsung, serta
peningkatan infrastruktur termasuk telekomunikasi dan transportasi adalah faktor
faktor yang penting pada perdagangan China dengan negara mitra dagangnya.
2.6.3. Penelitian Mengenai Perdagangan Intra Industri
Hermanto (2002) melakukan penelitian dengan judul “Perdagangan Intra
Industri Indonesia di Pasar Dunia”. Perdagangan Intra Industri dikategorikan
dalam 3 jenis yaitu, county specific, industry specific dan policy based. Penelitian
Indonesia. Analisis deskriptif dan model ekonometrika diaplikasikan guna
menghasilkan kesimpulan mengenai perdagangan intra industri Indonesia dan
variabel variabel yang memengaruhinya khusus pada produk industri manufaktur
berdasarkan pada SITC dan ISIC pada periode 1980 1997.
Budhijana (2008) dalam “Performa Ekspor Impor dan Dampaknya
Terhadap Ekonomi Indonesia: Kasus Perdagangan Bilateral Antara Indonesia dan
Malaysia”. Penelitiannya bertujuan melihar pengaruh kebijakan pemerintah
terhadap perdagangan internasional Indonesia khususnya dengan Malaysia
sebelum dan setelah krisis sampai tahun 2000. Metode Grubel Lloyd digunakan
untuk mengukur kinerja perdagangan bilateral Indonesia Malaysia seperti
kontribusi dalam perdagangan, laju pertumbuhan total perdagangan dan kontribusi
ekspor dan impor. Hasil menunjukkan bahwa perdagangan bilateral antara
Indonesia dan Malaysia banyak memberikan keuntungan bagi pihak Indonesia.
Penelitian selanjutnya berjudul “Intra Industry Trade and Revealed
Comparative Advantage: An Inverted U Relationship” oleh Faustino (2008).
Tujuannya adalah untuk meneliti hubungan antara keuntungan komparatif dengan
berbagai tipe intra industry trade (IIT) pada perdagangan bilateral antara Portugal
dan Spanyol dengan 40 jenis produk utama. Hasilnya menunjukkan bukti kuat
mengenai hubungan terbalik U. Selain itu, biaya relatif autarki adalah determinan
yang umum pada semua tipe IIT hal ini berkontradiksi dengan prediksi yang
dibuat berdasarkan teori untuk memisahkan determinan determinan dari IIT
Leitao (2011) dengan judul “Intra Industry Trade in The Agriculture
Sector : The Experience of United States”. Penelitian ini menganalisis faktor
faktor ynag memengaruhi Inta Industry Trade (IIT) Amerika Serikat khususnya
pada sektor pertanian selama periode 1995 2008. Hasilnya menunjukkan bahwa
variabel perbedaan GDP perkapita antara Amerika Serikat dengan negara mitra
dagangnya berpengaruh negatif terhadap IIT sedangkan variabel arus investasi
langsung berpengaruh positif.
2.6.4. Penelitian Mengenai Kelapa
Muslim (2006) dengan judul “Analisis Daya Saing Produk Ekspor
Agroindustri Komoditas Berbasis Kelapa di Indonesia” berdasarkan permintaan
jenis produk komoditas perkebunan utama di Sulawesi Utara, Bangka Belitung,
dan Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode RCA, Acceleration Ratio
(AR), dan Trade Specialization Index (TSI). Hasilnya adalah produk CCO,
bungkil kopra, dan coconut desiccated Indonesia menempati urutan pengekspor
kedua setelah Filipina sedangkan produk kopra dan arang tempurung Indonesia
masih tetap sebagai negara pengekspor terbesar di dunia.
2.7. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Produk kelapa dan olahan yang diteliti adalah khusus produk crude
coconut oil (CCO) Indonesia untuk meneliti dayasaing selama periode 2005 2009
sedangkan penelitian sebelumnya meneliti tentang dayasaing semua produk
kelapa dan olahan Indonesia pada periode 2000 2004. Untuk melengkapi
ekspor produk CCO Indonesia periode 2001 2009, khususnya di negara negara
tujuan ekspor dengan menggunakan gravity model.
2.8. Kerangka Pemikiran
Subsektor perkebunan berperan dalam PDB (Produk Domestik Bruto)
meskipun kontribusinya relatif tidak besar dibandingkan subsektor lainnya yaitu,
penyumbang ketiga terbesar setelah bahan tanaman makanan dan perikanan pada
sektor pertanian (BPS, 2011). Salah satu andalan subsektor perkebunan Indonesia
adalah komoditi kelapa. Produksi kelapa Indonesia menempati posisi kedua
setelah kelapa sawit (Ditjenbun RI, 2010). Potensi ini dimanfaatkan Indonesia
untuk mengolah komoditi kelapa menjadi produk olahan yang tentunya memiliki
nilai tambah yang tinggi. Namun, industri kelapa Indonesia didominasi oleh
produk setengah jadi berupa kopra dan crude coconut oil (CCO). Dari segi luar
areal tanam, pohon kelapa tumbuh sekitar 3 juta hektar di Indonesia atau 31
persen dari total pohon kelapa dunia.
Selain itu, produksi kelapa Indonesia merupakan nomor satu di dunia
namun nilai ekspor produk kelapa dan olahannya masih kalah bersaing dengan
Filipina, India, Srilanka, dan Thailand karena para pelaku industrinya yang
mayoritas Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Produksi buah kelapa sebanyak 16
miliar butir pertahun, nilai ekspor produk kelapa dan olahannya hanya sebesar
US$ 427,16 juta sedangkan Filipina yang produksinya hanya 12 miliar butir per
tahun, nilai ekspor dua kali lipat Indonesia yakni US$ 841,038 juta (Kemenperin
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Produk olahan kelapa Indonesia yang memiliki nilai ekspor paling tinggi
adalah crude coconut oil (CCO) meskipun eksportir kedua setelah Filipina.
Produk ini dijadikan sebagai salah satu bahan baku untuk memperoleh produk jadi
oleh negara importir. Oleh karena itu, dengan posisi tersebut perlu diteliti
bagaimana dayasaing produk tersebut dengan menggunakan beberapa metode
yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA), Export ProductDynamic (EPD),
dan Inter Industry Trade (IIT). Selanjutnya perlu diteliti mengenai aliran ekspor
produk CCO Indonesia di negara tujuan ekspor. Penelitian ini diharapkan dapat Ekspor Produk
Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia
Dayasaing Produk CCO Indonesia di Pasar Internasional dan Negara
Tujuan Ekspor
Faktor Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Produk CCO Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
menghasilkan rekomendasi kebijakan sehingga terjadi peningkatan dayasaing
produk CCO Indonesia di pasar internasional dan khususnya pada negara tujuan
ekspor.
2.9. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda
koefisien variabel variabel yang memengaruhi aliran ekspor produk crude
coconut oil (CCO) Indonesia di negara tujuan ekspor. Hipotesis yang digunakan,
yaitu :
1. GDP per kapita riil negara Indonesia diharapkan berpengaruh negatif terhadap
volume ekspor produk CCO di negara tujuan.
2. GDP per kapita riil negara tujuan ekspor diharapkan berpengaruh positif
terhadap volume ekspor produk CCO Indonesia.
3. Populasi penduduk negara importir diharapkan berpengaruh positif terhadap
volume ekspor produk CCO Indonesia.
4. Jarak ekonomi atau economic distance, diduga berpengaruh negatif terhadap
volume ekspor produk CCO Indonesia.
5. Nilai tukar riil rupiah terhadap matauang negara tujuan diharapkan berpengaruh
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Sumber sumber tersebut adalah World Bank,
IMF (International Monetary Fund), BPS (Badan Pusat Statistik), Kementrian
Pertanian, dan UNComtrade. Selain itu, sumber data yang digunakan juga melalui
penelusuran internet dan literatur terkait.
Adapun data data yang diperlukan dalam permodelan yaitu volume ekspor
produk CCO Indonesia ke negara negara tujuan utama ekspor, GDP dan GDP per
kapita riil negara Indonesia, GDP dan GDP per kapita riil negara tujuan ekspor,
populasi penduduk negara tujuan ekspor, nilai tukar riil Rp/matauang negara
tujuan, serta jarak ekonomi antar Indonesia dan negara importir.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang
merupakan penggabungan antara data time series dan cross section. Time series
yang digunakan berupa data sekunder tahunan periode 2001 2009. Cross section
yang digunakan adalah negara tujuan ekspor sebanyak 8 negara. Untuk lebih
jelasnya keseluruhan data yang digunakan dalam penelitian ini, baik yang
Tabel 3.1. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
2. Nilai impor produk CCO Indonesia UN COMTRADE
(wits.worldbak.org)
3. Nilai dan Volume Ekspor Produk Kelapa dan
Olahannya periode 2003 2009
Kementrian Pertanian
4. Jarak geografis antara Indonesia dan negara
negara tujuan ekspor
www.timeanddate.com
5. Populasi penduduk negara negara tujuan
utama eskpor produk CCO periode 2001 2009
International Monetary Fund (www.imf.org)
6. GDP riil dan GDP perkapita riil Indonesia dan
negara negara tujuan ekspor produk CCO Indonesia 2001 2009
Worldbank Database (www.worldbank.org)
7. Nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS www.oanda.com
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif. Metode
kuantitatif dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantege
(RCA), Export Product Dynamic (EPD), dan Intra Industry Trade (IIT) yang
bertujuan menganalisis dayasaing produk crude coconut oil (CCO) Indonesia.
Selain itu, digunakan juga analisis regresi panel data dengan menggunakan gravity
model dengan persamaan tunggal yang digunakan untuk menganalisis faktor
faktor yang memengaruhi aliran ekspor produk tersebut. Data sekunder diolah
dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Eviews 6 yang
kemudian hasil outputnya akan diinterpretasikan.
3.2.1. (RCA)
Revealed Comparative Advantage digunakan dengan obyektif untuk
ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap
bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam
ekspornya (Batra dan Khan 2005).
Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan
antarwilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap
total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai
produk dalam perdagangan dunia.
RCA
mempunyai keunggulan komparatif dalam produknya.
Keunggulan metode Revealed Comparative Advantage adalah mengurangi
dampak pengaruh campur tangan pemerintah sehingga kita dapat melihat
keunggulan komparatif yang jelas suatu produk dari waktu ke waktu. Sedangkan
kelemahannya yaitu :
2.Nilai RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola perdagangan yang sedang
berlangsung tersebut sudah optimal.
3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk produk yang berpotensi di
masa yang akan datang.
3.2.2. (EPD)
Pendekatan Export Product Dynamic digunakan untuk mengidentifikasi
keunggulan kompetitif suatu produk, juga mengetahui apakah produk tersebut
merupakan produk dengan performa yang dinamis atau tidak. Walaupun beberapa
produk mungkin bukan merupakan bagian yang besar pada ekspor suatu negara,
namun terdapat beberapa alasan untuk mengidentifikasi produk yang dinamis
(pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara. Jika pertumbuhannya di atas
rata rata secara berkesinambungan selama waktu yang panjang, maka produk ini
mungkin menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut.
Selanjutnya, jika produk dinamis tersebut mempunyai karakteristik produksi yang
spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang penting dalam kesempatan
ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang serupa. Terdapat ketertarikan
untuk mengidentifikasi produk produk dinamis sehingga negosiasi multilateral
atau bilateral untuk mengatasi berbagai hambatan perdagangan beberapa produk
di pasar ekspor bisa terfokuskan. Metode yang paling sering digunakan untuk
mengidentifikasi produk produk dinamis adalah dengan memilih produk produk
berdasarkan tingkat pertumbuhannya selama periode yang ditetapkan.
Penambahan fungsional indikator pangsa pasar adalah posisi pangsa pasar
dianggap bersaing dalam produk ketika pangsa pasar mereka meningkat. Sebuah
produk ekspor dianggap dinamis dalam perdagangan dunia jika pangsa pasarnya
meningkat lebih cepat daripada rata rata pangsa pasar dunia.
Gambar 3.1. Matriks Posisi Pasar
Keterangan: sumbu x = pangsa pertumbuhan ekspor produk sumbu y = pangsa pertumbuhan produk
Sumber: Nabi & Luthria, 2002 dalam Esterhuizen, D (2006)
Tabel 3.2. Matriks Posisi Pasar
Pangsa produk di dunia
“Rising star” “Falling star”
Falling
(Non competitive)
“Lost opportunity” “Retreat”
Sumber: Nabi & Luthria, 2002 dalam Esterhuizen, D (2006)
Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi
sebagai “Rising Star”, ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar
untuk produk produk yang berkembang cepat. “Lost Opportunity” dihubungkan
diinginkan, terjadi ketika ada peningkatan, tetapi bukan pada produk produk
dinamis. Sementara itu, “Retreat” tidak diinginkan lagi di pasar. Hal ini adalah hal
yang paling tidak diinginkan. “Retreat” bisa diinginkan kembali jika
pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan
pada produk dinamis. Tabel 3.1 menggambarkan empat dekomposisi umum
ekspor (berdasarkan posisi pangsa pasar) dan Gambar 3.1. memperlihatkan posisi
produk dalam matriks. Sumbu x menunjukkan pangsa pertumbuhan ekspor suatu
negara di dunia dan sumbu y menerangkan pangsa pertumbuhan suatu produk di
dunia. Empat dekomposisi indikator dayasaing perdagangan tersebut diterapkan
pada banyak penyusunan indikator kuantitatif.
3.2.3! " " # (IIT)
Untuk melihat aliran perdagangan internasional digunakan indikator Intra
Industry Trade (IIT) atau Grubel Lloyd index (GLI). Berdasarkan formula,
indikator tersebut berada pada ukuran nilai antara 0 dan 1. IIT yang mendekati 0
mencerminkan aliran perdagangan yang bersifat inter industri, sedangkan IIT
yang mendekati 1 mencerminkan aliran perdagangan yang bersifat intra industri.
IITjk = [1│(Xijk Mijk)│/ (Xijk+Mijk)] ………...………...(3.2)
dimana:
Xijk = nilai ekspor produk i dari negara j ke negara k
Mijk = nilai impor produk i negara j dari negara k
Perdagangan intra industri terjadi karena adanya perbedaan faktor
“endowment” sehingga terjadi spesialisasi di masing masing negara yang
diterangkan dalam teori Heckscher Ohlin. Teori perdagangan ini menerangkan