• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dayasaing dan aliran ekspor produk Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dayasaing dan aliran ekspor produk Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

,167,7873(57$1,$1%2*25 )$.8/7$6(.2120,'$10$1$-(0(1

'(3$57(0(1,/08(.2120,

# $ !&) &" 6# 2&) 7 6

6# 1 $ 7

# %$ 7 # #

8 % 7 $QDOLVLV'D\DVDLQJGDQ$OLUDQ(NVSRU3URGXN &UXGH&RFRQXW2LO&&2,QGRQHVLD

$ $ # ! $ $ # # & %' # $ # # #" 9$ # 2' # " $$$ $ ,

2 $'" #!#!

* 1 $0" 2% 6 -: ;: - -

2 $&"

( $ $ # # #

,# #" 2+ 6 -- ;: :

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

,,,0(72'(3(1(/,7,$1 : 8 %#! $ :- 2 $ & $

:- 5HYHDOHG&RPSDUDWLYH$GYDQWDJH 1

(11)
(12)
(13)
(14)

'$)7$5/$03,5$1

6# #

& 2 $ 1 EEEE .

- & 2 $ EEEEEE

: & 2 $ < EEEEE : F! /F! # 2

-/-EEEEEEEEEEE .

. >' &) < $ # < $ 2 6 <'EEEEEEEE $$ 2 6 <' -/- )L[HG(IIHFW */6EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE >' 6#$ 2 6 <'

-/- )L[HG(IIHFW*/6EEEEEEEEEEEEE -

; >' 6 ( 2

6 <' -/- )L[HG(IIHFW

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, perekonomiannya bertumpu

pada sektor pertanian. Salah satu subsektor pertanian yang menjadi andalan adalah

subsektor perkebunan. Beberapa komoditi unggulan Indonesia dari sektor ini

yaitu, kelapa sawit, kelapa, karet, tebu, kakao, dan kopi. Masing masing komoditi

memiliki kekhasan yang membuat Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar

di dunia. Tabel 1.1. menyajikan produksi komoditi perkebunan Indonesia dari

tahun 2005 sampai 2009. Produksi kelapa menempati posisi kedua setelah kelapa

sawit dengan jumlah produksi pada tahun 2009 sebesar 3,257 juta ton. Selain itu,

setiap tahun produksi kelapa meningkat. Hal ini merupakan salah satu potensi

kelapa yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Tabel 1.1. Produksi Komoditi Perkebunan ( juta Ton)

Komoditi/

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009

Kelapa Sawit 11,861 17,35 17,664 17,539 19,324

Kelapa 3,096 3,131 3,193 3,239 3,257

Karet 2,270 2,637 2,755 2,751 2,44

Tebu 2,241 2,307 2,623 2,668 2,517

Kakao 0,748 0,769 0,74 0,803 0,809

Kopi 0,640 0,682 0,676 0,698 0,682

Sumber : Kementan RI ,2011.

Kelapa (Cocos nucivera L.) merupakan komoditi perkebunan yang

memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber

pendapatan bagi petani kelapa itu sendiri, kelapa juga berkontribusi pada ekspor

(16)

sektor hulu sampai sektor hilirnya serta berperan dalam pemenuhan kebutuhan

Kehutanan dan Perikanan 262.402,8 271.509,3 284.620,7 296.369,3 Tanaman Bahan

Makanan 129.548,6 133.888,5 142.000,4 148.691,6

Tanaman Perkebunan 41.318 43.199,2 44.785,5 45.887,1

Peternakan 33.430,2 34.220,7 35.425,3 36.743,6

Kehutanan 16.686,9 16.548,1 16.543,3 16.793,8

Perikanan 41.419,1 43.652,8 45.866,2 48.253,2

2. Pertambangan dan

Penggalian 168.031,7 171.278,4 172.442,7 179.974,9

3. Industri Pengolahan 514.100,30 538.084,6 557.764,4 569.550,8 4. Listrik, Gas & Air

Bersih 12.251 13.517 14.993,6 17.059,8

5. Konstruksi 112.233,60 121.808,9 130.951,6 140.184,2

6. Perdagangan, Hotel &

Restoran 312.518,70 340.437,1 363.813,5 367.958,8

7. Pengangkutan dan

Komunikasi 124.808,90 142.326,7 165.905,5 191.674

9. Jasa jasa 170.705,40 181.706 193.024,3 205.371,5

PDB 1.847.126 1.964.327 2.082.315 2.176.975

PDB Tanpa Migas 1.703.422 1.821.757 1.939.482 2.035.125 Sumber: BPS RI, 2011.

*Angka sementara

**Angka Sangat Sementara

Tabel 1.2. menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB atas

harga konstan 2000 menurut lapangan usaha pada tahun 2009 sebesar 296.369,3

miliar rupiah dengan kontribusi 13,6 persen dari total PDB sebesar 2.176.975

miliar rupiah. Periode 2006 2009 menunjukkan kontribusi baik sektor pertanian

khususnya tanaman perkebunan yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.

(17)

setelah tanaman bahan makanan dan perikanan dengan kontribusi sebesar 15

persen pada tahun 2009.

Potensi Indonesia sangat besar untuk mengembangkan berbagai produk

olahan kelapa dimana populasi tanaman kelapa Indonesia adalah yang terbesar di

dunia. Tabel 1.3. memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang produksi

kelapanya terbesar di seluruh dunia dengan jumlah produksi sebesar 19.500.000

metrik ton. Posisi kedua ditempati oleh Filipina dengan jumlah produksi

15.319.500 metrik ton dan India merupakan produsen ke tiga terbesar dengan

jumlah produksi sebesar 10.894.000 metrik ton.

Tabel 1.3. Negara Terbesar pada Produksi Kelapa Di Dunia 2008 (metrik ton)

Negara Produksi

Indonesia 19.500.000

Filipina 15.319.500

India 10.894.000

Brazil 2.759.044

Sri Lanka 2.210.800

Sumber: FAO, 2011.

Pohon kelapa tumbuh sekitar 3 juta hektar di Indonesia atau 31 persen dari

total pohon kelapa dunia. Indonesia seharusnya dapat menguasai produk berbahan

dasar kelapa, misalnya produk minyak kelapa, sabut, dan tempurung. Selain itu,

pohon kelapa juga mudah dikembangbiakkan, usia produktivitasnya hampir

mencapai 50 tahun dan dapat diselingi pohon tumpang sari lainnya sehingga

investasi menjadi lebih murah.

Berikut disajikan pada tabel 1.4. mengenai luas areal, produksi dan

produktivitas kelapa Indonesia kurun waktu 2005 2009. Luas areal kelapa yang

(18)

tahunnya menunjukkan bahwa potensi kelapa Indonesia sangat besar dari sektor

hulu sampai sektor hilirnya. Hal yang utama adalah bagaimana meningkatkan

produktivitas kelapa agar potensi tersebut menjadi maksimal.

Tabel 1.4. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Kelapa

Indikator Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha)

2005 3,803,614 3,096,845 1,105

2006 3,788,892 3,131,158 1,119

2007 3,787,989 3,193,266 1,145

2008 3,783,074 3,239,673 1,168.86

2009 3,799,124 3,257,970 1,175

Sumber: Kementan RI, 2011.

Dari sisi nilai ekspornya, produk kelapa dan olahannya berfluktuatif. Pada

tahun 2005 Indonesia mengekspor sebanyak 1,413 juta ton dengan nilai sebesar

US$ 536,252 juta. Kurun waktu 5 tahun, nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun

2008 dengan nilai ekspor sebesar US$ 900,499 juta dan volume ekspor 1,080 juta

ton serta luas lahan sebanyak 191,944 juta hektar. Nilai ini lebih rendah

ketimbang ekspor kepala Filipina yang sebesar US$ 1,493 miliar dengan luas

lahan produksi sebesar 29,817 juta hektar (Kementan, 2011).

Sumber: UNComtrade, 2011 (diolah).

(19)

Penurunan ekspor yang signifikan terjadi pada tahun 2009 dengan nilai

ekspor sebesar US$ 494,533 juta dan volume ekspor 992,76 ribu ton. Padahal

volume ekspor 2009 hanya menurun sebesar 8,1 persen sedangkan nilai ekspornya

turun 45,1 persen. Penyebab utama penurunan ekspor yang terjadi tahun 2009

adalah harga, pada tahun 2008 harga ekspor produk kelapa dan olahannya 0,9

US$/kg dan pada tahun 2009 hanya 0,49 US$/kg.

Menurut APCC, perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih

rendah dibanding negara pesaing utama (Filipina), padahal bila dibandingkan

tingkat harga ekspor antar produk kelapa di kedua negara, harga beberapa produk

kelapa asal Indonesia lebih murah. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam

perolehan manfaat perdagangan kelapa Indonesia, pengaruh faktor nonharga

masih cukup signifikan. Faktor faktor yang terkait dengan kualitas produk,

tingginya biaya transportasi, dan kompleksitas prosedur ekspor diduga turut

berpengaruh terhadap perolehan manfaat perdagangan (ekspor) produk kelapa

Indonesia yang belum maksimal.

1.2 Perumusan Masalah

Pada era perdagangan yang semakin bebas seperti saat ini, dayasaing

produk kelapa terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, di

mana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat

berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus

berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha kecil,

(20)

Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia tetapi sebagian

besar dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Hal ini

mengakibatkan pangsa pasar terutama minyak kelapa di pasar internasional relatif

kecil. Berbeda dengan Filipina yang merupakan negara penghasil kelapa nomor

dua dunia setelah Indonesia, namun 80 persen produksinya untuk ekspor

(Kementan RI, 2011).

Permasalahan yang dihadapi industri pengolahan kelapa antara lain

persoalan bahan baku. Saat ini tingkat pertanaman kelapa yang tidak produktif

karena sudah tua dan rusak mencapai 30 40 persen dari luas areal perkebunan

kelapa rakyat. Produktivitas tanaman kelapa masih sangat rendah yaitu sekitar

4.200 butir/ha atau setara 0,83 ton kopra/ha. Pasokan bahan baku terbatas dari segi

jumlah maupun mutu.

Di bidang produksi masalah yang dihadapi adalah terbatasnya untuk

diversifikasi produk kelapa olahan. Saat ini industri pengolahan kelapa masih

didominasi oleh produk setengah jadi berupa kopra dan crude coconut oil. Harga

nominal kelapa relatif makin turun sehingga pertambahan input tidak akan

meningkatkan nilai tambah. Utilitas kapasitas produksi Industri olahan kelapa

masih rendah sekitar 40 persen. Produk olahan kelapa yang dihasilkan hanya

beberapa jenis, sedangkan di Filipina mencapai 100 jenis produk (Kementan,

2011).

Berbagai produk kelapa dan olahannya diekspor Indonesia ke dunia yaitu,

kopra, minyak kelapa (MK), kelapa olahan (KO), bungkil kelapa (BK), serar kasar

(21)

produk yang menyumbang devisa terbesar dengan nilai rata rata ekspor selama

2005 2009 sebesar US$ 481,881,600 walaupun pendapatan ekspor akan produk

tersebut berfluktuatif. Sementara itu, produk kelapa lainnya memiliki perolehan

nilai ekspor yang cenderung konstan.

Sumber: Ditjenbun Kementan RI, 2010.

Gambar 1.2. Nilai Ekspor Produk Kelapa dan Olahan Indonesia

Nilai ekspor minyak kelapa Indonesia pada tahun 2005 sebesar US$

411,830 juta sedangkan pada tahun 2006, produk ini mengalami penurunan yang

signifikan sebesar US$141,156 juta. Pada tahun berikutnya, nilai ekspor minyak

kelapa mengalami peningkatan dua kali lipat menjadi US$ 570,410 juta.

Selanjutnya produk ini kembali meningkat dengan perolehan nilai ekspor sebesar

US$ 769,134 juta dan merupakan perolehan ekspor tertinggi selama kurun waktu

5 tahun terakhir. Selanjutnya di tahun 2009, minyak kelapa mengalami penurunan

nilai ekspor hampir 50 persen menjadi US$ 387,36 juta. Hal ini disebabkan oleh

penurunan permintaan yang masih terkait dengan dampak krisis finansial global

(22)

Sumber: Ditjenbun Kementan RI, 2010

Gambar 1.3. Rata Rata Kontribusi Ekspor Jenis Produk Minyak Kelapa Indonesia

Periode 2005 2009

Selama periode 2005 2009, minyak kelapa kasar (CCO) merupakan

penyumbang devisa terbesar diantara jenis produk minyak kelapa lainnya dengan

kontribusi nilai ekspor sebesar 77 persen. Selanjutnya minyak kelapa setengah

jadi berkontribusi sebesar 15 persen, minyak kelapa murni atau yang lebih dikenal

dengan VCO sebesar 6 persen dan sisanya 2 persen berupa minyak kelapa.

Potensi produk CCO dilihat dari sisi nilai ekspor cukup tinggi. Seperti

telah dijelaskan sebelumnya, kontribusinya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir

ini sebesar 77 persen dari jenis produk minyak kelapa lainnya. Selanjutnya perlu

dilakukan penelitian mengenai dayasaing baik kompetitif maupun komparatif

agar dapat diketahui bagaimana dayasaing produk tersebut di pasar internasional

khususnya di negara negara tujuan ekspor. Selain itu, perlu diteliti faktor faktor

apa saja yang memengaruhi aliran ekspor produk CCO Indonesia di negara negara

(23)

Berdasarkan pada latar belakang dan uraian tersebut maka rumusan

masalah yang perlu diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dayasaing produk crude coconut oil (CCO) Indonesia?

2. Faktor faktor apa saja yang memengaruhi aliran ekspor produk crude coconut

oil (CCO) Indonesia di negara tujuan?

3. Bagaimana implikasi kebijakan pada produk crude coconut oil (CCO)

Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan

penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis dayasaing produk crude coconut oil (CCO) Indonesia.

2. Menganalisis faktor faktor yang memengaruhi aliran ekspor produk crude

coconut oil (CCO) Indonesia di negara tujuan.

3. Memberikan rekomendasi kebijakan pada produk crude coconut oil (CCO)

Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun

pihak pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara

(24)

1. Bagi pemerintah atau instansi terkait diharapkan dapat memberikan masukan

dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun dalam pengambilan

keputusan terkait dengan ekspor produk crude coconut oil (CCO) Indonesia.

2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan dalam

penelitian penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan ilmu

pengetahuan sekaligus menambah pengalaman selama menuntut ilmu di

Institut Pertanian Bogor.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup serta keterbatasan dalam penelitian ini yaitu :

1. Periode tahun analisis aliran eskpor yang digunakan hanya dari tahun 2001

sampai 2009 dikarenakan keterbatasan data pada tahun sebelum 2001

sedangkan analisis dayasaing dari tahun 2005 2009, dan data pada tahun 2010

yang masih belum tersedia pada saat penelitian dilakukan.

2. Pada analisis aliran ekspor produk kelapa dan olahannya hanya difokuskan

pada produk crude coconut oil (CCO) yang disesuaikan dengan tujuan dari

penelitian ini.

3. Kode HS dari produk kelapa dan olahan yang digunakan dalam analisis

dayasaing dan aliran ekspor adalah HS 151311 yaitu, crude coconut oil (CCO).

4. Penelitian ini menggunakan 5 variabel independen yang terdiri dari GDP

perkapita riil Indonesia, GDP perkapita riil negara tujuan ekspor, populasi

(25)

dan jarak ekonomi antara negara Indonesia dengan negara mitra dagangnya

sedangkan volume ekspor produk CCO sebagai variebel dependen.

5. Negara tujuan ekspor yang digunakan hanya 8 negara karena negara negara

tersebut secara berkesinambungan mengimpor produk CCO dari Indonesia

selama periode 2001 2009.

6. Model yang digunakan dalam mengestimasi adalah model Fixed Effects karena

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan Internasional

Teori mengenai perdagangan antara dua negara yang dikenal luas dengan

teori keunggulan absolut dikemukakan oleh Adam Smith. Asumsi yang menjadi

dasar dalam teori ini adalah perdagangan internasional hanya dapat terjadi pada

negara yang memiliki keuntungan absolut. Jika suatu negara lebih efisien atau

memiliki keunggulan absolut terhadap negara lainnya dalam memproduksi suatu

komoditas, namun kurang efisien dibandingkan negara lain dalam memproduksi

komoditi lain, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan

cara masing masing melakukan spesialisasi dalam komoditi unggulan dan

menukarkannya dengan komiditi lain yang tidak memiliki keunggulan absolut

dalam suatu mekanisme perdagangan internasional (Salvatore, 1997).

Kenyataannya dalam forum perdagangan global, fakta menunjukan bahwa

tidak semua negara di dunia mempunyai keunggulan absolut dalam perdagangan.

Kelemahan teori keunggulan absolut ini dikoreksi oleh David Ricardo melalui

buku yang berjudul Principal of Political Economy and Taxation. Teori tersebut

dalam perkembangannya disebut sebagai teori keunggulan komparatif. Menurut

hukum keunggulan komparatif, meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki

kerugian absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas,

namun masih terdapat asumsi keunggulan komparatif yang dapat mendasari dalam

perdagangan internasional. Asumsi ini diaplikasikan melalui spesialisasi dalam

(27)

komparatif) dan sebaliknya melakukan impor terhadap komoditas yang memiliki

kerugian absolut (kerugian komparatif) yang lebih besar.

Beberapa asumsi lain yang dikemukakan oleh Ricardo yaitu, (1) hanya

terdapat dua negara dengan dua komoditas, (2) perdagangan bersifat bebas, (3)

Terdapat mobilitas antardua negara tersebut, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak

terdapat biaya transportasi, (6) teknologi konstan, (7) menggunakan teori nilai

tenaga kerja.

Perkembangan dalam teori perdagangan internasional selanjutnya

dikemukakan oleh Heckscher Ohlin (H O). Menurut Hecksher Ohlin, terdapat

perbedaan opportunity cost suatu produk antarsuatu negara dengan negara lain

yang disebabkan karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi yang dimiliki

masing masing negara. Negara negara yang memiliki faktor produksi relatif

banyak dan murah dalam produksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan

mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing masing negara akan mengimpor

barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif

langka dan mahal dalam produksinya (Salvatore, 1997).

Untuk melihat sebuah proses terciptanya harga komoditas relatif

ekuilibrium dengan adanya perdagangan antar negara yang ditinjau dari analisis

keseimbangan parsial dijelaskan dalam Salvatore (1997). Dalam panel A dan

panel C, kurva Dx dan kurva Sx pada Gambar 2.1. masing masing melambangkan

kurva permintaan dan penawaran untuk komoditas X di negara 1 dan negara 2.

Untuk sumbu vertikal pada ketiga panel mengukur harga harga relatif untuk

(28)

dikorbankan oleh suatu negara dalam rangka memproduksi satu unit tambahan

komoditas X. Sedangkan, sumbu horizontal di ketiga panel mengukur kuantitas

komoditas X.

Sumber : Salvatore,1997

Gambar 2.1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional

Secara spesifik, Panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif

P1, kuantitas komoditas X yang ditawarkan akan sama dengan kuantitas yang

diminta oleh konsumen di Negara 1, sehingga Negara 1 tidak akan mengekspor

komoditas X sama sekali (keseimbangan terletak pada titik A). Hal tersebut

memunculkan titik A* pada kurva S di panel B (yang merupakan kurva

penawaran ekspor Negara 1). Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan

harga relatif P2, maka akan terjadi kelebihan penawaran apabila dibandingkan

dengan tingkat permintaan untuk komoditas X, dan kelebihan itu sebesar BE.

Kuantitas sebesar BE itulah yang merupakan kuantitas komoditas X yang akan

(29)

dan disitulah letak titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran ekspor

komoditas X dari Negara 1.

Sementara itu Panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif

P3, maka penawaran dan permintaan untuk komoditas X akan sama besarnya,

sehingga Negara 2 tidak akan mengadakan impor komoditas X sama sekali. Hal

tersebut dilambangkan oleh titik A’ yang terletak pada kurva permintaan impor

komoditas X Negara 2 yang berada di Panel B. Panel C juga menunjukkan bahwa

berdasarkan harga relatif P2 akan terjadi kelebihan permintaan lebih besar dari

penawarannya, yaitu sebesar B’E’. Kelebihan itu sama artinya dengan kuantitas

komoditas X yang akan diimpor oleh Negara 2 berdasarkan harga relatif P2.

Kemudian jumlah tersebut sama dengan B*E* pada Panel B, yang menjadi titik

E*.

Kemudian berdasarkan harga relatif P2, kuantitas impor komoditas X yang

diminta oleh Negara 2 (sebesar B’E’ dalam Panel C) sama dengan kuantitas

ekspor komoditas X yang ditawarkan oleh Negara 1 (sebesar BE dalam Panel A).

Hal tersebut diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan kurva S setelah

komoditas X diperdagangkan di antara kedua negara (lihat Panel B). Dengan

demikian P2 merupakan harga relatif ekuilibrium untuk komoditas X setelah

perdagangan internasional berlangsung. Dari Panel B dapat juga dilihat bahwa

apabila Px/Py lebih besar dari P2 maka kuantitas ekspor komoditas X yang

ditawarkan akan melebihi tingkat permintaan impor sehingga lambat laun harga

relatif komoditas X tersebut (Px/Py) akan mengalami penurunan sehingga

(30)

lebih kecil dari P2 maka kuantitas impor komoditas X yang diminta akan melebihi

kuantitas ekspor komoditas X yang ditawarkan sehingga Px/Py pun akan

meningkat dan pada akhirnya sama dengan P2.

2.2. Konsep Dayasaing

Dayasaing menurut Porter (1995) didefinisikan sebagai kemampuan suatu

perusahaan dalam suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan.

Dayasaing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat

tergantung pada tingkat sumberdaya relatif yang dimilikinya. Penelitian Porter

tentang keunggulan bersaing negara negara mencakup tersedianya peranan

sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada keadaan negara yang memengaruhi

dayasaing perusahaan perusahaan internasional pada industri yang berbeda.

Dayasaing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar

luar negeri dan kemampuan untuk bertahan di dalam pasar tersebut. Pengertian

dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan

produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter,

1990).

Gonarsyah (1995) menyatakan bahwa dayasaing berarti mengenai

keunggulan kompetitif (competitive advantage). Suatu produk yang mempunyai

keunggulan komparatif belum tentu memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan

kompetitif selain ditentukan oleh keunggulan komparatif juga ditentukan oleh

biaya pemasaran dan biaya biaya lainnya. Suatu produk yang memiliki

(31)

pemerintah maupun struktur pasar, maka produk tersebut bisa saja tidak memiliki

keunggulan komparatif.

2.3. Konsep Aliran Ekspor

Adanya aliran perdagangan berupa ekspor ke negara negara tujuan ekspor

dapat dikarenakan penawaran ekspor dari eskportir maupun permintaan ekspor

dari negara importir. Penawaran ekspor dan permintaan ekspor dapat diturunkan

dari pengertian penawaran atau permintaan komoditas pada suatu pasar.

Arti dari penawaran dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999)

yaitu jumlah komoditas yang dijual oleh penjual atau supplier dalam suatu waktu

dan pada suatu pasar. Jika dalam penawaran ekspor, maka arti tersebut akan

menjadi jumlah komoditas yang dapat dijual oleh suatu negara. Dalam Lipsey,

Courant, dan Ragan (1999) juga dijelaskan bahwa komoditas yang ditawarkan ini

adalah jumlah komoditas yang diproduksi oleh supplier. Semakin banyak jumlah

yang diproduksi, maka penawaran ekspor suatu negara juga meningkat. Jumlah

komoditas yang diproduksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau

kapasitas supplier (dalam hal ini adalah negara) dalam memproduksi komoditas

atau output.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan suatu

negara dalam memproduksi output merupakan faktor penting yang memengaruhi

jumlah penawaran ekspor. Output yang dihasilkan suatu negara dapat disebut

dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).

Seperti yang dijelaskan oleh Dornbusch, Fischer, dan Startz dalam bukunya

(32)

jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada suatu waktu. GDP ini merupakan

nilai ouput total yang telah diproduksi (output akhir). Selanjutnya dijelaskan

bahwa di sisi produksi, output ini akan dibayarkan sebagai pembayaran atas

faktor faktor yang digunakan selama proses produksi, seperti tenagakerja dan

modal.

GDP merupakan faktor penting dalam penawaran ekspor. Hal ini terkait

dengan meningkatnya GDP maka pembayaran untuk tenagakerja dan modal akan

meningkat sehingga akan mendorong produktivitas dari tenagakerja dan modal

tersebut. Peningkatan produktivitas ini maka barang yang diproduksi akan

meningkat sehingga output nasional akan meningkat kembali, kemudian

penawaran ekspor juga meningkat.

Untuk permintaan ekspor juga sama halnya dengan penawaran ekspor,

bahwa pengertian dari permintaan eskpor dapat diambil dari pengertian

permintaan. Pengertian dari permintaan (Lipsey, Courant, dan Ragan, 1999)

adalah jumlah suatu komoditas yang akan dibeli oleh rumahtangga sedangkan

permintaan ekspor dapat berarti jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh

suatu negara tertentu.

Beberapa faktor yang menentukan suatu permintaan komoditas di pasar

dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999) diantaranya yaitu, rata rata

pendapatan rumah tangga, dimana jika ada kenaikan pendapatan rata rata rumah

tangga akan menyebabkan jumlah komoditas yang diminta lebih banyak pada

setiap harga tertentu. Serta jumlah penduduk, jika ada kenaikan jumlah penduduk

(33)

tertentu. Jika dalam konteks perdagangan internasional, maka pendapatan rumah

tangga merupakan pendapatan suatu negara, dan jumlah penduduk adalah

populasinya.

Gross Domestic Product juga dapat diartikan sebagai pendapatan yang

diterima oleh suatu negara. Pendapatan ini dapat diukur dari nilai total barang dan

jasa yang diproduksi suatu negara. Kemudian dijelaskan pula dalam Dornbusch,

Fischer, dan Startz (1998) bahwa dari sisi konsumsi, output atau GDP ini akan

digunakan dalam kegiatan konsumsi dan investasi oleh pemerintah dan para

sektor swasta seperti eksportir. Oleh karena itu, GDP merupakan faktor yang juga

penting dalam hal permintaan ekspor, jika GDP meningkat maka pendapatan juga

meningkat, sehingga konsumsi suatu negara juga meningkat.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi memiliki hubungan yang

positif dengan permintaan. Namun, dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005)

populasi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap ekspor. Di satu sisi,

populasi yang besar menandakan besarnya pasar domestik dan besarnya pasar

tenaga kerja, dengan tingginya pasar tenagakerja dan pasar domestik biaya,

terutama untuk tenagakerja akan semakin murah sehingga efisiensi ekonomi dapat

tercapai.

Ketika ada peningkatan pasar tenagakerja sebagai faktor produksi maka

biaya tenagakerja dapat ditekan sehingga produktivitas meningkat. Ketika

produktivitas meningkat, besarnya pasar domestik mampu menyerap banyaknya

barang yang ditawarkan. Hal ini akan menyebabkan semakin menurunnya

(34)

dari tenagakerja yang produktif tidak sebesar peningkatan konsumsi pasar

domestiknya, maka dengan meningkatnya populasi akan meningkatkan

permintaan ekspor dalam perdagangan internasional karena kebutuhan domestik

yang besar tidak terpenuhi dengan produksi domestiknya.

Selain GDP dan populasi, nilai tukar juga memengaruhi permintaan ekspor

dari suatu negara (Mankiw, 2002). Kurs merupakan perbandingan nilai tukar

matauang suatu negara dengan negara lain. Nlai tukar matauang memiliki peranan

sentral dalam hubungan perdagangan internasional karena kurs dapat

membandingkan harga barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Hal ini juga

dijelaskan dalam Salvatore (1997) bahwa dalam melakukan transasksi

perdagangan antarnegara maka digunakan matauang asing. Apabila matauang

domestik terapresiasi maka harga impor bagi penduduk domestik relatif menjadi

lebih murah sedangkan bagi para eksportir hal ini akan berdampak pada kenaikan

harga produk mereka sebab harganya menjadi relatif lebih mahal. Sebaliknya, jika

nilai matauang domestik terdepresiasi maka harga ekspor bagi para negara

importir akan relatif lebih murah sedangkan bagi penduduk domestik akan merasa

barang impor relatif lebih mahal. Hal tersebut menyebabkan konsumen dunia akan

meningkatkan permintaannya terhadap komoditas ekspor Indonesia. Permintaan

yang meningkat ini akan meningkatkan harga dari komoditas tersebut. Maka dari

itu dari sisi produsen, dalam jangka panjang, jika ada kenaikan harga akan

memberikan sinyal untuk terus berproduksi hingga keuntungannya maksimal. Hal

(35)

Kurs terdiri dari dua jenis yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal

(nominal exchange rate) adalah harga relatif dari matauang dua negara. Sebagai

contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen jepang adalah 120 yen per dolar

maka orang Amerika Serikat dapat menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang.

Sebaliknya, orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen

untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang orang mengacu pada “kurs” diantara

kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw,2002).

Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang barang

diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana suatu negara dapat

memperdagangkan barang barangnya di negara lain dengan kata lain nilai tukar

nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga harga dalam negeri

dibandingkan dengan harga harga luar negeri. Nilai tukar riil ini dapat pula

disebut dengan Terms of Trade (TOT). Rumus dari nilai tukar riil Rp/US$

dinyatakan dalam persamaan (2.1).

Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x P (AS) ………(2.1)

P (Indonesia)

Jika nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terdepresiasi,

maka harga barang Indonesia di luar negeri akan menjadi relatif lebih murah

daripada harga barang yang diperdagangkan di pasar dunia. Hal tersebut

menyebabkan konsumen dunia akan meningkatkan permintaannya terhadap

komoditas ekspor Indonesia. Permintaan yang meningkat ini akan meningkatkan

harga dari komoditas tersebut. Maka dari itu dari sisi produsen, dalam jangka

(36)

hingga keuntungannya maksimal. Hal ini tentunya akan meningkatkan penawaran

ekspor. Pada Gambar 2.2. diperlihatkan pengaruh dari nilai tukar riil (e) terhadap

net ekspor (NX). Terjadinya depresiasi atau penurunan harga barang domestik di

mata dunia ditunjukkan pada penuruan e dari e1 menjadi e2. Penurunan harga

barang domestik ini mengakibatkan ekspor meningkat sehingga net ekspor (NX)

juga meningkat dari NX(e1) menjadi NX(e2).

Sumber: Mankiw, 2002.

Gambar 2.2. Dampak Depresiasi Matauang Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat pada Net Ekspor

2.4. Konsep

Gravity Model didasarkan pada teori gravitasi Newton mengenai interaksi

antara dua objek. Teori Gravitasi Newton menyatakan bahwa kekuatan yang

digunakan oleh dua objek adalah suatu fungsi dari massa masing masing objek

dan kuadrat jarak antara kedua objek tersebut. Prinsip tersebut telah dapat

digunakan untuk sejumlah konteks pemikiran yang berbeda, diantaranya

e

NX(e1) NX(e2)

NX e1

(37)

menjelaskan interaksi dalam dimensi ruang, seperti perpindahan penduduk atau

perpindahan barang dan jasa (perdagangan).

Gravity model saat ini sudah lazim dipakai sebagai metode standar untuk

mengevaluasi potensi perdagangan suatu produk atau jasa antarnegara yang

berbeda. Secara fisik, gravity model didasarkan pada peramalan potensi

perdagangan melalui variabel jarak, populasi dan GNP dari negara tersebut.

Argumen yang melatarbelakangi pemakaian gravity model, bahwa negara yang

lebih besar dan kaya akan lebih banyak melakukan perdagangan luar negeri bila

dibandingkan dengan negara yang lebih kecil dan miskin dimana jarak yang

semakin jauh dianggap bukan sebagai hambatan. Gravity model berkaitan dengan

long range equilibrium aliran perdagangan dan sebagai model ideal untuk

membandingkan perdagangan dari dua daerah atau dari dua sistem ekonomi yang

berbeda.

Gravity Model mempresentasikan perdagangan antardua negara sebagai

fungsi dari massa ekonomi masing masing negara, jarak antarnegara, dan faktor

lainnya. Dalam Cortez (2005) dijelaskan bahwa model ini diperkenalkan pertama

kali oleh Tinbergen (1962) dan Poyhonen (1963) yang meneliti tentang aliran

perdagangan diantara negara negara di Eropa. Sejak saat itu model ini mulai

digunakan dengan ekstensif sebagai studi empiris perdagangan internasional.

Sinaga dalam Napitupulu (2007) menjelaskan bahwa pemikiran mendasar yang

menjadi argumen pemakaian gravity model adalah negara yang lebih besar dan

(38)

dengan negara yang kecil dan miskin. Perumusan Teori Gravitasi Newton dalam

fisika dituliskan dalam persamaan 2.2.

Fij =

G X Mi X Mj

... (2.2) Dij

interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan berbanding

terbalik dengan jarak masing masing”

Jika persamaan (2.2) diaplikasikan dalam perdagangan internasional maka:

F : Volume interaksi antaradua negara (aliran perdagangan)

M : Ukuran ekonomi untuk kedua negara

D : Jarak ekonomi kedua negara

G : Konstanta

Kemudian dengan menggunakan logaritma, persamaan (2.2) akan diubah

ke dalam bentuk linear dan menjadi bentuk umum dari Gravity Model untuk

analisis ekonometrika (persamaan 2.3), dimana konstanta G menjadi bagian dari

β0, dan GDP menggambarkan ukuran ekonomi untuk kedua negara.

Log (Aliran Perdagangan Bilateral) = β0 + β1 log (GDP negara 1) + β2 log (GDP

negara 2) + β3 log (Jarak) + O ... (2.3)

Dalam perdagangan antar negara, bentuk model ini disusun oleh tiga jenis

variabel utama yang selalu terdapat pada setiap gravity model untuk aliran

perdagangan bilateral (Sinaga dalam Napitupulu, 2007). Tiga jenis variabel

tersebut adalah:

a. Variabel variabel yang memiliki total permintaan potensial negara pengimpor.

(39)

c. Variabel variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antarnegara

pengekspor dan negara pengimpor.

Variabel indikator dari total permintaan potensial negara pengimpor dapat

digambarkan dengan GDP negara importir dan populasinya sedangkan untuk

indikator penawaran potensial dari negara pengekspor dapat digunakan GDP

negara pengekspor. Selain itu, pendapatan per kapita pun dapat digunakan sebagai

pengganti variabel GDP. Pendapatan per kapita adalah ukuran berapa banyak

perolehan pendapatan setiap individu dalam perekonomian. Pengertian lain

mengenai pendapatan per kapita adalah jumlah yang tersedia bagi rumah tangga

atau perusahaan untukmelakuan pengeluaran. Dengan demikian tingkat konsumsi

atau kemampuan daya beli suatu negara atas suatu komoditi dapat diukur dari

pendapatan perkapita penduduknya. Jika pendapatan per kapita suatu negara dinilai

cukup tinggi, maka dapat dikatakan suatu negara tersebut merupakan pasar potensial

bagi pemasaran suatu komoditi ataupun produk tertentu. Beberapa variabel

tambahan sebagai penghambat dalam aliran ekspor adalah adanya variabel jarak

antardua negara.

Variabel jarak tersebut dapat dimodifikasi menjadi economic distance atau

jarak ekonomi. Li, Song, dan Zhou (2008) menggunakan jarak ekonomi sebagai

pendekatan yang mewakili biaya transportasi. Variabel ini menghitung jarak

geografis antara dua negara juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau

yang disebut weighted average economis distance. Rumus yang digunakan dalam

menghitung jarak ekonomi yaitu:

Jarak

Ekonomi =

jarak geografis antar negara X GDP j

(40)

Pengaruh biaya transportasi terhadap keseimbangan internasional

dijelaskan dalam Salvatore (1997). Pada Gambar 2.4. sumbu vertikal mengukur

harga komoditas Z dalam satuan dollar yang berlaku di kedua negara. Setiap

pergerakan ke sebelah kiri dari pusat sumbu mengukur peningkatan kuantitas

komoditas Z untuk Negara 1. Tanpa adanya perdagangan internasional, Negara 1

akan berproduksi sebanyak 50Z dan semuanya akan habis dikonsumsi sendiri.

Harga komoditas Z yang berlaku di Negara 1 adalah Pz = 5 dollar. Sedangkan

Negara 2 akan memproduksi komoditas Z sebanyak 50 unit dan semuanya juga

akan habis dikonsumsi berdasarkan harga yang berlaku yakni Pz = 11 dollar.

Sumber: Salvatore: 1997

Gambar 2.3. Analisis Keseimbangan Parsial Atas Biaya Transportasi

Setelah perdagangan internasional berlangsung antar kedua negara tersebut

(tanpa biaya transportasi), Negara 1 akan mengekspor komoditas Z ke Negara 2

ketika harga Pz di Negara 1 mulai naik. Kenaikan harga ini mendorong Negara 1

untuk memproduksi komoditas Z dan kemudian kelebihan produksinya akan

(41)

adanya biaya transportasi maka harga yang berlaku di kedua negara adalah sama

yaitu sebesar 8 dollar dengan jumlah komoditas Z yang diperdagangkan antar

negara sebanyak 60 unit.

Namun, ketika perdagangan internasional terjadi dengan adanya biaya

transportasi, misalkan sebesar 2 dollar per unit, maka Pz di Negara 2 akan

melampaui Pz di Negara 1 sebesar 2 dollar. Dalam Gambar 2.3., hal tersebut

terjadi apabila Pz = 7 dollar di Negara 1 dan Pz = 9 dollar di Negara 2. Pada Pz =

7 dollar tersebut maka Negara 1 akan meningkatkn produksi domestik atas

komoditas Z hingga 70 unit, diantaranya konsumsi domestik sebanyak 30 unit,

dan 40 unit sisanya diekspor ke Negara 2. Sedangkan di Negara 2. sendiri di saat

Pz = 9 dollar produksi komoditas Z turun menjadi 30 unit dan tingkat konsumsi

domestiknya naik menjadi 70 unit, sisa 40 unit kekurangannya diimpor dari

Negara 1.

Secara lebih ringkas dapat dikatakan jika ada perdagangan internasional

tetapi tidak ada biaya transportasi jumlah komoditas Z yang diperdagangkan

sebanyak 60 unit, dan ketika ada perdagangan internasional dengan biaya

transportasi sebesar 2 dollar kuantitas yang diperdagangkan menurun menjadi 40

unit. Hal ini berarti adanya biaya transportasi mengakibatkan turunnya volume

dan keuntungan perdagangan.

2.5. Panel Data

Panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan dari data time

series dan cross section. Dalam teori ekonometrika, bentuk panel data dapat

(42)

observasi jika hanya dengan menggunakan data time series atau cross section saja.

Adapun beberapa keuntungan dalam menggunakan panel data (Baltagi, 2005)

adalah :

a. Panel data mampu mengontrol heterogenitas individu.

b. Panel data dapat memberikan informasi data yang lebih banyak, lebih

bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of

freedom, dan lebih efisien.

c. Jika menggunakan data cross section, walaupun terlihat stabil namun

sebenarnya dalam data tersebut tersimpan banyak perubahan, seperti data

pengangguran, perpindahan pekerjaan, atau perubahan kebijakan pemerintah.

Dengan menggunakan panel data maka penyesuaian penyesuaian yang dinamis

tersebut dapat dengan lebih mudah dipelajari.

d. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat

diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.

e. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.

Dalam pengolahan data panel dikenal tiga macam metode, yaitu metode pooled

least square, metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek acak (random

effect). Ketiga metode ini dapat diterapkan dengan pembobotan (cross section

weights) atau tanpa pembobotan (no weighting).

2.5.1.

Dalam metode ini data panel yang mengkombinasikan semua data cross

section dan time series akan digabungkan menjadi pooled data. Dengan

(43)

lebih akurat jika dibandingkan dengan regresi biasa, karena dalam panel berarti

menggabungkan data cross section dan time series bersama sama sehingga

memiliki jumlah observasi data yang lebih banyak. Kelemahan dalam metode ini

adalah tidak terlihatnya perbedaan baik antar individu karena data yang semakin

berkurangnya degree of freedom akibat adanya penambahan variabel dummy pada

persamaan, dan terntunya akan memengaruhi keefisienan parameter yang diduga.

Pendugaan metode ini dinyatakan dalam persamaan (2.5).

Yit = αi + βj xjit + /it …... (2.5)

dimana :

yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i

αi = intersep yang akan berbeda antar individu cross section i

xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i

βj = parameter untuk variabel ke j

/it = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

2.5.2. Efek Tetap ( )

Metode pooled least square memiliki kekurangan, yaitu tidak terlihatnya

perbedaan baik antar individu, sehingga asumsi intersep dan slope dari persamaan

regresi yang dianggap konstan. Sedangkan untuk generalisai secara umum, dapat

dilakukan dengan memasukkan variabel dummy untuk menghasilkan nilai

parameter yang berbeda beda pada setiap unit cross section. Metode dengan

memasukkan variabel dummy disebut dengan metode Fixed Effect atau Least

Square Dummy Variable.

Metode fixed effect akan menghasilkan intersep yang berbeda beda antar

(44)

degree of freedom akibat adanya penambahan variabel dummy pada persamaan,

dan terntunya akan memengaruhi keefisienan parameter yang diduga. Pendugaan

metode ini dinyatakan dalam persamaan (2.6).

Yit = αi + βj xjit + /it ... (2.6)

dimana :

yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i

αi = intersep yang akan berbeda antar individu cross section i

xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i

βj = parameter untuk variabel ke j

/it = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

2.5.3. Efek Acak ( )

Pada metode efek acak (random effect) karakteristik antar individu terlihat

pada komponen error yang ada pada model. Hal ini tidak akan mengurangi derajat

bebas (degree of freedom) akibat penambahan variabel, sehingga efisiensi dalam

pendugaan parameter juga tidak berkurang. Bentuk model efek acak ini adalah :

Yit = α + βj xjit + wit ... (2.7)

dimana :

yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i

α1i = α1 + /it , dengan nilai intersep yang akan berbeda antar individu cross

section i akibat random error (/it) antar individu tersebut O

xjit= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i

βj = parameter untuk variabel ke j

wit= /it + τi, yaitu /it : error dan τi: individual effect

(45)

kriteria pembobotan yang berbeda beda, yakni:

1. No Weighting : semua observasi diberi bobot yang sama.

2. Cross Section Weight : Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan

estimasi varians residual cross section. Digunakan apabila ada asumsi bahwa

terdapat cross section heteroskedasticity.

3. SUR (seemingly unrelated regression) : GLS menggunakan estimasi residual

covariance matrix cross section. Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas

maupunautokorelasi antar unit cross section.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang digunakan penulis sebagai acuan terdiri dari

empat jenis, yaitu: mengenai dayasaing, gravity model, perdagangan intra industri,

dan kelapa.

2.6.1. Penelitian Mengenai Dayasaing

Batra dan Khan (2005) dengan judul “Revealed Comparative Advantage:

An Analysis For India and China” dilakukan selama periode 2000 2003.

Penelitian mengidentifikasi pola RCA dengan menggunakan indeks Balassa

(1965) juga keunggulan komparatif berdasarkan intensitas faktor dengan

menghitung pada sektor dan komoditi berdasarkan klasifikasi Harmonized System

(HS). Hasil menunjukkan terdapat banyak kesamaan struktur keunggulan

komparatif pada India dan China di pasar internasional.

Zhou, Wu, dan Si (2006) melihat fenomena peningkatan permintaan China

pada impor produk pertanian menghadirkan kesempatan yang baik untuk ekspor

(46)

industri pertanian Australia yaitu terjadinya perubahan pola perdagangan

pertaninan antara China dan Australia. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis perdagangan pertanian antara kedua negara dengan menggunakan

beberapa metode seperti, Trade Intensity Index, Revealed Comparative

Advantage, dan Trade Complementarity Index. Hasilnya menunjukkan bahwa

perlu ditingkatkannya perdagangan produk pertanian dan kerjasama antara

Australia dan China.

Kartikasari (2008), penelitiannya yang berjudul “Analisis Daya Saing

Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar

Internasional” dengan metode RCA mengungkapkan bahwa perkembangan

industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand

sebagai kompetitor utama untuk kawasan Asia Tenggara. Waktu penelitian dari

1996 2006 menunjukkan perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia jauh lebih

rendah dibandingkan dengan Thailand. Selain itu, Thailand juga memegang

pangsa ekspor tanaman hias lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Di pasar

Korea komoditi tanamana hias Indonesia memiliki keunggulan komparatif berarti

memiliki dayasaing yang tinggi di pasar tersebut sebaliknya terjadi di pasar

Jepang, Amerika Serikat, dan Belanda.

Selain itu, ada juga penelitian mengenai analisis dayasaing produk

Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dan faktor faktor yang

memengaruhinya (Dewi, 2009). Hasilnya menunjukkan bahwa dari empat produk

yang dianalisis hanya satu produk yaitu Palm kernel or babassu oil and frac

(47)

Produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) dan Semi bleached or

bleached Pulp of Paper (bubur kertas) memiliki keunggulan komparatif. Produk

yang tidak memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif adalah Coniferous

of Wood (kayu serabut). Penggunaan analisis CMS menghasilkan tentang

dayasaing keempat produk yang dianalisis dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan

impor dan faktor komposisi komoditi selama periode 2000 2006, kecuali produk

minyak sawit yang paling dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan impor saja.

2.6.2. Penelitian Mengenai

Napitupulu (2007) dalam penelitian yang berjudul “Analisis Faktor Faktor

yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Beras Intra ASEAN”, melakukan analisa

kualitatif untuk mengetahui keragaan produksi, konsumsi, dan kebijakan

perberasan negara negara ASEAN serta melakukan analisa kuantitatif untuk

mengetahui faktor faktor yang memengaruhi aliran perdagangan beras intra

ASEAN. Dari hasil chow test, analisis gravity model menggunakan fixed effect

dengan estimasi GLS. R2 yang diperoleh 49,57 persen. Faktor yang berpengaruh

nyata pada taraf lima persen yaitu GDP negara asalimpor, populasi negara tujuan

impor, konsumsi beras negara asal impor, konsumsi beras negara tujuan impor,

dan nilai tukar terhadap USD negara tujuan impor.

Sinaga (2007), di dalam penelitiannya yang berjudul aliran perdagangan

komoditas karet alam Indonesia dan faktor faktor yang memengaruhinya di

negara tujuan, manganalisis dengan menggunakan gravity model. Dari hasil

pengolahan diketahui bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi ekspor karet

(48)

ekspor produk ban negara tujuan. Faktor faktor lainnya di luar model yang

disusun adalah persediaan dan cadangan karet alam negara tujuan, pesaing serta

peristiwa global dan kondisi sosial politik negara tujuan.

Penelitian yang berjudul “Analisis Perdagangan Bilateral Indonesia

Pendekatan Gravity Model menggunakan data 10 negara utama dari perdagangan

Indonesia yang diteliti selama periode 1970 2002 (Yuniarti, 2007). Hasilnya

menunjukkan bahwa pendapatan domestik, populasi, dan kesamaan ukuran

ekonomi memiliki dampak positif terhadap perdagangan bilateral Indonesia

sedangkan variable yang berdampak negative adalah jarak. Faktor endowment dan

dummy Regional Trade Arrangement tidak berdampak pada perdagangan bilateral

Indonesia.

Li, Song, dan Zhau (2008) melakukan penelitian dengan judul

Component Trade and China’s Global Economic Integration” mengenai faktor

faktor yang memengaruhi pola perdagangan China pada komponen dan bagiannya

Penggunaan gravity model menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi,

peningkatan ukuran pasar dan economies of scale, investasi asing langsung, serta

peningkatan infrastruktur termasuk telekomunikasi dan transportasi adalah faktor

faktor yang penting pada perdagangan China dengan negara mitra dagangnya.

2.6.3. Penelitian Mengenai Perdagangan Intra Industri

Hermanto (2002) melakukan penelitian dengan judul “Perdagangan Intra

Industri Indonesia di Pasar Dunia”. Perdagangan Intra Industri dikategorikan

dalam 3 jenis yaitu, county specific, industry specific dan policy based. Penelitian

(49)

Indonesia. Analisis deskriptif dan model ekonometrika diaplikasikan guna

menghasilkan kesimpulan mengenai perdagangan intra industri Indonesia dan

variabel variabel yang memengaruhinya khusus pada produk industri manufaktur

berdasarkan pada SITC dan ISIC pada periode 1980 1997.

Budhijana (2008) dalam “Performa Ekspor Impor dan Dampaknya

Terhadap Ekonomi Indonesia: Kasus Perdagangan Bilateral Antara Indonesia dan

Malaysia”. Penelitiannya bertujuan melihar pengaruh kebijakan pemerintah

terhadap perdagangan internasional Indonesia khususnya dengan Malaysia

sebelum dan setelah krisis sampai tahun 2000. Metode Grubel Lloyd digunakan

untuk mengukur kinerja perdagangan bilateral Indonesia Malaysia seperti

kontribusi dalam perdagangan, laju pertumbuhan total perdagangan dan kontribusi

ekspor dan impor. Hasil menunjukkan bahwa perdagangan bilateral antara

Indonesia dan Malaysia banyak memberikan keuntungan bagi pihak Indonesia.

Penelitian selanjutnya berjudul “Intra Industry Trade and Revealed

Comparative Advantage: An Inverted U Relationship” oleh Faustino (2008).

Tujuannya adalah untuk meneliti hubungan antara keuntungan komparatif dengan

berbagai tipe intra industry trade (IIT) pada perdagangan bilateral antara Portugal

dan Spanyol dengan 40 jenis produk utama. Hasilnya menunjukkan bukti kuat

mengenai hubungan terbalik U. Selain itu, biaya relatif autarki adalah determinan

yang umum pada semua tipe IIT hal ini berkontradiksi dengan prediksi yang

dibuat berdasarkan teori untuk memisahkan determinan determinan dari IIT

(50)

Leitao (2011) dengan judul “Intra Industry Trade in The Agriculture

Sector : The Experience of United States”. Penelitian ini menganalisis faktor

faktor ynag memengaruhi Inta Industry Trade (IIT) Amerika Serikat khususnya

pada sektor pertanian selama periode 1995 2008. Hasilnya menunjukkan bahwa

variabel perbedaan GDP perkapita antara Amerika Serikat dengan negara mitra

dagangnya berpengaruh negatif terhadap IIT sedangkan variabel arus investasi

langsung berpengaruh positif.

2.6.4. Penelitian Mengenai Kelapa

Muslim (2006) dengan judul “Analisis Daya Saing Produk Ekspor

Agroindustri Komoditas Berbasis Kelapa di Indonesia” berdasarkan permintaan

jenis produk komoditas perkebunan utama di Sulawesi Utara, Bangka Belitung,

dan Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode RCA, Acceleration Ratio

(AR), dan Trade Specialization Index (TSI). Hasilnya adalah produk CCO,

bungkil kopra, dan coconut desiccated Indonesia menempati urutan pengekspor

kedua setelah Filipina sedangkan produk kopra dan arang tempurung Indonesia

masih tetap sebagai negara pengekspor terbesar di dunia.

2.7. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Produk kelapa dan olahan yang diteliti adalah khusus produk crude

coconut oil (CCO) Indonesia untuk meneliti dayasaing selama periode 2005 2009

sedangkan penelitian sebelumnya meneliti tentang dayasaing semua produk

kelapa dan olahan Indonesia pada periode 2000 2004. Untuk melengkapi

(51)

ekspor produk CCO Indonesia periode 2001 2009, khususnya di negara negara

tujuan ekspor dengan menggunakan gravity model.

2.8. Kerangka Pemikiran

Subsektor perkebunan berperan dalam PDB (Produk Domestik Bruto)

meskipun kontribusinya relatif tidak besar dibandingkan subsektor lainnya yaitu,

penyumbang ketiga terbesar setelah bahan tanaman makanan dan perikanan pada

sektor pertanian (BPS, 2011). Salah satu andalan subsektor perkebunan Indonesia

adalah komoditi kelapa. Produksi kelapa Indonesia menempati posisi kedua

setelah kelapa sawit (Ditjenbun RI, 2010). Potensi ini dimanfaatkan Indonesia

untuk mengolah komoditi kelapa menjadi produk olahan yang tentunya memiliki

nilai tambah yang tinggi. Namun, industri kelapa Indonesia didominasi oleh

produk setengah jadi berupa kopra dan crude coconut oil (CCO). Dari segi luar

areal tanam, pohon kelapa tumbuh sekitar 3 juta hektar di Indonesia atau 31

persen dari total pohon kelapa dunia.

Selain itu, produksi kelapa Indonesia merupakan nomor satu di dunia

namun nilai ekspor produk kelapa dan olahannya masih kalah bersaing dengan

Filipina, India, Srilanka, dan Thailand karena para pelaku industrinya yang

mayoritas Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Produksi buah kelapa sebanyak 16

miliar butir pertahun, nilai ekspor produk kelapa dan olahannya hanya sebesar

US$ 427,16 juta sedangkan Filipina yang produksinya hanya 12 miliar butir per

tahun, nilai ekspor dua kali lipat Indonesia yakni US$ 841,038 juta (Kemenperin

(52)

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran

Produk olahan kelapa Indonesia yang memiliki nilai ekspor paling tinggi

adalah crude coconut oil (CCO) meskipun eksportir kedua setelah Filipina.

Produk ini dijadikan sebagai salah satu bahan baku untuk memperoleh produk jadi

oleh negara importir. Oleh karena itu, dengan posisi tersebut perlu diteliti

bagaimana dayasaing produk tersebut dengan menggunakan beberapa metode

yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA), Export ProductDynamic (EPD),

dan Inter Industry Trade (IIT). Selanjutnya perlu diteliti mengenai aliran ekspor

produk CCO Indonesia di negara tujuan ekspor. Penelitian ini diharapkan dapat Ekspor Produk

Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia

Dayasaing Produk CCO Indonesia di Pasar Internasional dan Negara

Tujuan Ekspor

Faktor Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Produk CCO Indonesia di Negara Tujuan Ekspor

(53)

menghasilkan rekomendasi kebijakan sehingga terjadi peningkatan dayasaing

produk CCO Indonesia di pasar internasional dan khususnya pada negara tujuan

ekspor.

2.9. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda

koefisien variabel variabel yang memengaruhi aliran ekspor produk crude

coconut oil (CCO) Indonesia di negara tujuan ekspor. Hipotesis yang digunakan,

yaitu :

1. GDP per kapita riil negara Indonesia diharapkan berpengaruh negatif terhadap

volume ekspor produk CCO di negara tujuan.

2. GDP per kapita riil negara tujuan ekspor diharapkan berpengaruh positif

terhadap volume ekspor produk CCO Indonesia.

3. Populasi penduduk negara importir diharapkan berpengaruh positif terhadap

volume ekspor produk CCO Indonesia.

4. Jarak ekonomi atau economic distance, diduga berpengaruh negatif terhadap

volume ekspor produk CCO Indonesia.

5. Nilai tukar riil rupiah terhadap matauang negara tujuan diharapkan berpengaruh

(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

diperoleh dari beberapa sumber. Sumber sumber tersebut adalah World Bank,

IMF (International Monetary Fund), BPS (Badan Pusat Statistik), Kementrian

Pertanian, dan UNComtrade. Selain itu, sumber data yang digunakan juga melalui

penelusuran internet dan literatur terkait.

Adapun data data yang diperlukan dalam permodelan yaitu volume ekspor

produk CCO Indonesia ke negara negara tujuan utama ekspor, GDP dan GDP per

kapita riil negara Indonesia, GDP dan GDP per kapita riil negara tujuan ekspor,

populasi penduduk negara tujuan ekspor, nilai tukar riil Rp/matauang negara

tujuan, serta jarak ekonomi antar Indonesia dan negara importir.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang

merupakan penggabungan antara data time series dan cross section. Time series

yang digunakan berupa data sekunder tahunan periode 2001 2009. Cross section

yang digunakan adalah negara tujuan ekspor sebanyak 8 negara. Untuk lebih

jelasnya keseluruhan data yang digunakan dalam penelitian ini, baik yang

(55)

Tabel 3.1. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian

2. Nilai impor produk CCO Indonesia UN COMTRADE

(wits.worldbak.org)

3. Nilai dan Volume Ekspor Produk Kelapa dan

Olahannya periode 2003 2009

Kementrian Pertanian

4. Jarak geografis antara Indonesia dan negara

negara tujuan ekspor

www.timeanddate.com

5. Populasi penduduk negara negara tujuan

utama eskpor produk CCO periode 2001 2009

International Monetary Fund (www.imf.org)

6. GDP riil dan GDP perkapita riil Indonesia dan

negara negara tujuan ekspor produk CCO Indonesia 2001 2009

Worldbank Database (www.worldbank.org)

7. Nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS www.oanda.com

3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif. Metode

kuantitatif dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantege

(RCA), Export Product Dynamic (EPD), dan Intra Industry Trade (IIT) yang

bertujuan menganalisis dayasaing produk crude coconut oil (CCO) Indonesia.

Selain itu, digunakan juga analisis regresi panel data dengan menggunakan gravity

model dengan persamaan tunggal yang digunakan untuk menganalisis faktor

faktor yang memengaruhi aliran ekspor produk tersebut. Data sekunder diolah

dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Eviews 6 yang

kemudian hasil outputnya akan diinterpretasikan.

3.2.1. (RCA)

Revealed Comparative Advantage digunakan dengan obyektif untuk

(56)

ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap

bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam

ekspornya (Batra dan Khan 2005).

Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan

antarwilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh

suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap

total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai

produk dalam perdagangan dunia.

RCA

mempunyai keunggulan komparatif dalam produknya.

Keunggulan metode Revealed Comparative Advantage adalah mengurangi

dampak pengaruh campur tangan pemerintah sehingga kita dapat melihat

keunggulan komparatif yang jelas suatu produk dari waktu ke waktu. Sedangkan

kelemahannya yaitu :

(57)

2.Nilai RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola perdagangan yang sedang

berlangsung tersebut sudah optimal.

3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk produk yang berpotensi di

masa yang akan datang.

3.2.2. (EPD)

Pendekatan Export Product Dynamic digunakan untuk mengidentifikasi

keunggulan kompetitif suatu produk, juga mengetahui apakah produk tersebut

merupakan produk dengan performa yang dinamis atau tidak. Walaupun beberapa

produk mungkin bukan merupakan bagian yang besar pada ekspor suatu negara,

namun terdapat beberapa alasan untuk mengidentifikasi produk yang dinamis

(pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara. Jika pertumbuhannya di atas

rata rata secara berkesinambungan selama waktu yang panjang, maka produk ini

mungkin menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut.

Selanjutnya, jika produk dinamis tersebut mempunyai karakteristik produksi yang

spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang penting dalam kesempatan

ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang serupa. Terdapat ketertarikan

untuk mengidentifikasi produk produk dinamis sehingga negosiasi multilateral

atau bilateral untuk mengatasi berbagai hambatan perdagangan beberapa produk

di pasar ekspor bisa terfokuskan. Metode yang paling sering digunakan untuk

mengidentifikasi produk produk dinamis adalah dengan memilih produk produk

berdasarkan tingkat pertumbuhannya selama periode yang ditetapkan.

Penambahan fungsional indikator pangsa pasar adalah posisi pangsa pasar

(58)

dianggap bersaing dalam produk ketika pangsa pasar mereka meningkat. Sebuah

produk ekspor dianggap dinamis dalam perdagangan dunia jika pangsa pasarnya

meningkat lebih cepat daripada rata rata pangsa pasar dunia.

Gambar 3.1. Matriks Posisi Pasar

Keterangan: sumbu x = pangsa pertumbuhan ekspor produk sumbu y = pangsa pertumbuhan produk

Sumber: Nabi & Luthria, 2002 dalam Esterhuizen, D (2006)

Tabel 3.2. Matriks Posisi Pasar

Pangsa produk di dunia

“Rising star” “Falling star”

Falling

(Non competitive)

“Lost opportunity” “Retreat”

Sumber: Nabi & Luthria, 2002 dalam Esterhuizen, D (2006)

Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi

sebagai “Rising Star”, ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar

untuk produk produk yang berkembang cepat. “Lost Opportunity” dihubungkan

(59)

diinginkan, terjadi ketika ada peningkatan, tetapi bukan pada produk produk

dinamis. Sementara itu, “Retreat” tidak diinginkan lagi di pasar. Hal ini adalah hal

yang paling tidak diinginkan. “Retreat” bisa diinginkan kembali jika

pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan

pada produk dinamis. Tabel 3.1 menggambarkan empat dekomposisi umum

ekspor (berdasarkan posisi pangsa pasar) dan Gambar 3.1. memperlihatkan posisi

produk dalam matriks. Sumbu x menunjukkan pangsa pertumbuhan ekspor suatu

negara di dunia dan sumbu y menerangkan pangsa pertumbuhan suatu produk di

dunia. Empat dekomposisi indikator dayasaing perdagangan tersebut diterapkan

pada banyak penyusunan indikator kuantitatif.

3.2.3! " " # (IIT)

Untuk melihat aliran perdagangan internasional digunakan indikator Intra

Industry Trade (IIT) atau Grubel Lloyd index (GLI). Berdasarkan formula,

indikator tersebut berada pada ukuran nilai antara 0 dan 1. IIT yang mendekati 0

mencerminkan aliran perdagangan yang bersifat inter industri, sedangkan IIT

yang mendekati 1 mencerminkan aliran perdagangan yang bersifat intra industri.

IITjk = [1│(Xijk Mijk)│/ (Xijk+Mijk)] ………...………...(3.2)

dimana:

Xijk = nilai ekspor produk i dari negara j ke negara k

Mijk = nilai impor produk i negara j dari negara k

Perdagangan intra industri terjadi karena adanya perbedaan faktor

“endowment” sehingga terjadi spesialisasi di masing masing negara yang

diterangkan dalam teori Heckscher Ohlin. Teori perdagangan ini menerangkan

Gambar

Gambar 2.2. Dampak Depresiasi Matauang Rupiah Terhadap Dollar Amerika
Gambar 2.3. Analisis Keseimbangan Parsial Atas Biaya Transportasi
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Tabel 3.1. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Biaya yang diperlukan bagi pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan pada APBD Provinsi DKI Jakarta Anggaran Dinas Pariwisata dan

Oleh karenanya penulis membuat proposal PKM Kewirausahaan yang berjudul Koruptor(Koperas Usaha Tanpa Aktor) Asrama. Kehadiran Koperasi ini dinilai sangat membantu para

Titanium murni adalah logam putih, logam putih, lustrous lustrous dengan sifat densitas rendah, dengan sifat densitas rendah, kekuatan tinggi dan daya tahan terhadap korosi yang

1. Bapak Sumarno Ph.D dan Prof. Zamroni, Ph.D selaku promotor penulisan disertasi yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan wacana baru hingga

Penilaian Sikap adalah penilaian terhadap perilaku peserta didik dalam proses pembelajaran, di dalam kelas, dan di luar kelas untuk menumbuhkembangkan sikap, perilaku dan

Perbedaan lain dengan anova adalah uji beda rerata hanya membandingkan dua Perbedaan lain dengan anova adalah uji beda rerata hanya membandingkan dua rerata populasi yang

Sistem manual seperti ini jika dituntut untuk cepat mencari data yang dibutuhkan agak sulit, karena harus mencari satu persatu arsip-arsip yang telah disimpan, itu

Although this study is still in the form an opinion paper; I then dream to conduct a related research specially investigating the probability of using ARALISH