• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

i

DETEKSI POTENSI KEKERINGAN

BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DI KABUPATEN KLATEN

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1 Untuk Meraih Gelar Sarjana Sains

Oleh

Dzulfikar Habibi Jamil 3211409055

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Unnes pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Heri Tjahjono, M.Si Drs. Satyanta Parman, M.T

19680202 1999031 0 112 NIP.19611202 199002 1 001

Mengesahkan: Ketua Jurusan Geografi

(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Penguji Utama

Dr. Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si NIP.196210191988031002

Penguji I Penguji II

Drs. Heri Tjahjono, M.Si. Drs. Satyanta Parman, M.T.

19680202 1999031 0 112 NIP.19611202 199002 1 001

Mengetahui:

Dekan Fakultas Ilmu Sosial

(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulisan orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Februari 2013

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto:

1. Alloh akan senantiasa memahami kita, jika kita memahami-Nya. 2. Membahagiakan orang yang kita cintai merupakan hal terindah.

3. Jika kita berfikir sukses maka kita akan sukses, sebaliknya jika kita berfikir gagal maka kita akan gagal (pikiran adalah sumber kekuatan).

Persembahan:

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Alloh SWT, kupersembahkan karyaku ini kepada:

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kemudahan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan

skripsi untuk meraih gelar sarjana yang berjudul “Deteksi Potensi Kekeringan

Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten

Klaten” pada Jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari pihak-pihak terkait. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Subagyo, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 3. Drs. Apik Budi Santoso, M.Si., Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang.

4. Drs. Heri Tjahjono, M.Si., Dosen Pembimbing pertama yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penelitian hingga akhir penyusunan skripsi.

5. Drs. Satyanta Parman, M.T., Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan hingga akhir penyusunan skripsi.

6. Dr. Tjaturrahono Budi Sanjoto, M.Si, Penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan.

(7)

vii

8. Seluruh Staf Pengajar dan karyawan Jurusan Geografi, terima kasih untuk ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

9. Istianah yang telah memebriku semangat dalam belajar dan menggapai cita-cita.

10. Mas Husen, Utar dan Rois, lantaran kalian, aku ditunjukan jalan untuk melanjutkan kuliah.

11. Mas Aris faiz, Mas Arif, Mas Anwar, Mas Halim dan Mas Yunianto, kalian kaka angkatan yang baik, ikhlas bertukar pikiran, terimakasih buat pengalaman-pengalaman yang kalian berikan.

12. Teman-teman geografi Unnes angkatan 2009, kalian teman seperjuanganku yang memberiku inspirasi.

13. Teman-teman kos; Afroni, Najib, Wawan dan Roni Fajar. Banyak kenangan bersama kalian, tunjukkan kesuksesan kita.

14. Pemerintah Kabupaten Klaten yang telah memberi izin penelitian sehingga. 15. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih ats

dukungan dan bantuanya.

Semoga segala kebaikan Bapak/Ibu dan rekan-rekan semua mendapatkan balasan dari Alloh SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca semua.

Semarang, Februari 2013

(8)

viii SARI

Dzulfikar Habibi Jamil. 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Drs. Heri Tjahjono, M.Si dan Drs. Satyanta Parman, M.T.

Kata Kunci: Deteksi, Potensi kekeringan, Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

Kekeringan merupakan bencana alam yang hampir setiap tahun terjadi. Bencana kekeringan di Kabupaten Klaten dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan dengan dibuktikanya pada tahun 2009 Kabupaten Klaten menduduki peringkat 9 bencana kekeringan secara nasional yang dibuat oleh Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana. Kurangnya data peta yang menyediakan informasi daerah potensial dilanda kekeringan turut berperan sebagai salah satu faktor yang menghambat penyelesaian masalah kekeringan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimana sebaran daerah berpotensi kekeringan dengan menggunakan teknik analisis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis?, 2) bagaimana kemampuan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mendeteksi daerah berpotensi kekeringan?. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis 2) Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi geografis dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan di Kabupaten Klaten.

Populasi dalam penelitian ini adalah potensi kekeringan Kabupaten Klaten. Sampel berjumlah 30 lokasi yang didasarkan pada kelas hasil interpretasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Dalam penelitian potensi kekeringan ini menggunakan enam variabel yaitu: NDVI, Indeks Kecerahan, Indeks Kebasahan, Curah Hujan, Hidrogeologi dan Penggunaan Lahan. Teknik interpretasi citra digital digunakan untuk menganalisis kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan, kerapatan vegetasi dapat diiterpretasi menggunakan transformasi Normalized Difference Vegetation

Index (NDVI), kelembaban permukaan dapat diiterpretasi menggunakan

transformasi Indeks Kecerahan (Brightness Index) dan Indeks Kebasahan

(Wetness Index). Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk

menggabungkan ke-enam parameter tersebut dan memanipulasinya sehingga mengeluarkan keluaran baru berupa informasi potensi kekeringan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan sebaran daerah berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dibagi menjadi 5 kelas potensi. Potensi kekeringan sangat rendah seluas 155,610 ha (0,22%), potensi kekeringan rendah seluas 5348,789 ha (7,63%), potensi kekeringan agak tinggi seluas 34839,348 ha (49,73%), potensi kekeringan tinggi seluas 24724,229 ha (35,29%) dan potensi kekeringan sangat tinggi seluas 4992,734 ha (7,13%). Kemampuan penginderaan jauh dalam menganalisis daerah berpotensi kekeringan mengahasilkan tiga keluaran yang menjadi parameter yaitu; Normalized Difference Vegetation Index

(9)

ix

geografis dalam menganalisis daerah berpotensi kekeringan dengan cara pengharkatan, pembobotan dan penggabungan dari keenam parameter.

(10)
(11)

xi

(12)

xii

4.2.1 Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan... 4.2.2 Kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

dalam Mendeteksi Daerah Berpotensi Kekeringan... 4.3 Pembahasan...

4.3.1 Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan... 4.3.2 Kemampuan Penginderaan Jauh dan sistem Informasi Geografis

dalam Mengidentifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...

5.1 Kesimpulan... 5.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

56

91 97 97

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Peringkat Bencana Kekeringan Nasional...

Tabel 2.1 Karakteristik Citra Landsat 7ETM+... Tabel 2.2 Klasifikasi dan Pengharkatan NDVI....... Tabel 2.3 Algoritma Transformasi Tasseled Cap Landsat 7ETM+... Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan... Tabel 2.5 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kecerahan... Tabel 2.6 Klasifikasi Curah Hujan Terhadap Kekeringan... Tabel 2.7 Klasifikasi Hidrogeologi Terhadap Kekeringan... Tabel 2.8 Klasifikasi Penggunaan Lahan Terhadap Kekeringan... Tabel 2.9 Penelitian Sebelumnya... Tabel 3.1 Klasifikasi Kelas Potensi Kekeringan... Tabel 4.1 Luasan Kecamatan di Kabupaten Klaten... Tabel 4.2 Luas Bentuk Lahan Kabupaten Klaten... Tabel 4.3 Luas Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten... Tabel 4.4 Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten... Tabel 4.5 Luas Kelas NDVI......... Tabel 4.6 Luas Kelas Indeks Kecerahan......... Tabel 4.7 Luas Kelas Indeks Kebasahan... Tabel 4.8 Luas Potensi Kekeringan Kabupaten Klaten berbasis PJ&SIG... Tabel 4.9 Luas Potensi Kekeringan Tiap Kecamatan di Kabupaten Klaten.... Tabel 4.10 Hasil Uji Akurasi Interpretasi...

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Illustrasi Uraian Sub-sistem SIG... Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten... Gambar 4.2 Peta Bentuk Lahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.3 Peta Ketinggian Tempat Kabupaten Klaten... Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Kabupaten Klaten... Gambar 4.5 Peta Curah Hujan Kabupaten Klaten... Gambar 4.6 Peta Hidrogeologi Kabupaten Klaten... Gambar 4.7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.8 Hasil Transformasi NDVI Kabupaten Klaten...

Gambar 4.9 Histogram Transformasi NDVI………...

Gambar 4.10 Kondisi Lapangan Kelas NDVI... Gambar 4.11 Hasil Klasifikasi Transformasi NDVI Kabupaten Klaten... Gambar 4.12 Hasil Transformasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.13 Histogram Transformasi Indeks Kecerahan ………... Gambar 4.14 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kecerahan... Gambar 4.15 Hasil Klasifikasi Indeks Kecerahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.16 Hasil Transformasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.17 Histogram Transformasi Indeks Kebasahan….………... Gambar 4.18 Kondisi Lapangan Kelas Indeks Kebasahan... Gambar 4.19 Hasil Klasifikasi Indeks Kebasahan Kabupaten Klaten... Gambar 4.20 Peta Potensi Kekeringan Berbasis PJ&SIG... Gambar 4.21 Perbaikan Klasifikasi Sampel Tidak Akurat...

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Cara Pengolahan Data Raster atau Citra... Lampiran 1.1 Layer Stacking (Penggabungan band)... Lampiran 1.2 Koreksi Geometri dan Reproyeksi Citra... Lampiran 1.3 Cloud masking (Pemisahan awan)... Lampiran 1.4 Penggabungan Citra 2002 dan 2012... Lampiran 1.5 Pemotongan Citra (cropping citra)... Lampiran 1.6 Koreksi Radiometri... Lampiran 1.7 Transormasi NDVI... Lampiran 1.8 Klasifikasi Nilai Spektral NDVI... Lampiran 1.9 Transformai Indeks Kecerahan (Brightness Index)... Lampiran 1.10 Klasifikasi Nilai Spektral Indeks Kecerahan......... Lampiran 1.11 Transformai Indeks Kebasahan (Wetness Index)...... Lampiran 1.12 Klasifikasi Nilai Spektral Indeks Kebasahan... Lampiran 2 Cara Pengolahan Data Vector... Lampiran 2.1 Pendugaan Daerah Berpotensi Kekeringan... Lampiran 2.2 Pembuatan Peta Curah Hujan...

Lampiran 2.3 cara Penentuan Titik Sampel………..………

Lampiran 3 Tabel Curah Hujan Kabupaten Klaten Tahun 2008 – 2011...

Lampiran 4 Peta Pengamatan Lapangan……….………..

Lampiran 5 Peta Validasi Hidrogeologi………..

Lampiran 6 Tabel Cek Lapangan Hasil Interpretasi... Lampiran 7 Tabel Pengharkatan dan Pembobotan Parameter...

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam merupakan fenomena yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan. Dampak negatif dari bencana alam berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana alam yang frekuensi kejadianya tinggi (hampir setiap tahun) adalah kekeringan. Kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi setelah tahun 1990-an sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebakaran hutan, dan ledakan penyakit (Yuwono, 2012).

Kekeringan pada dasarnya diakibatkan oleh kondisi hidrologi suatu daerah dalam kondisi air tidak seimbang. Kekeringan terjadi akibat dari distribusi hujan tidak merata yang merupakan satu-satunya input bagi suatu daerah. Ketidakmerataan hujan ini akan mengakibatkan di beberapa daerah yang curah hujanya kecil akan mengalami ketidakseimbangan antara input dan output air (Shofiyati, 2007).

(17)

kekeringan. Adapun sepuluh peringkat tertinggi bencana kekeringan nasional dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Peringkat Bencana Kekeringan Nasional

Kabupaten Kelas Rangking Nasional

Lombok Tengah Tinggi 1

Lamongan Tinggi 2

Gresik Tinggi 3

Cilacap Tinggi 4

Banyumas Tinggi 5

Banjarnegara Tinggi 6

Kebumen Tinggi 7

Magelang Tinggi 8

Klaten Tinggi 9

Sukoharjo Tinggi 10

Sumber : Indeks Rawan Bencana BNPB, 2009

(18)

2012). Oleh karen itu, masih terdapat kemungkinan bertambahnya daerah rawan kekeringan di Kabupaten Klaten.

Kurangnya data peta berisi informasi daerah potensial dilanda kekeringan turut berperan sebagai salah satu faktor yang menghambat penyelesaian masalah kekeringan, sehingga saat ini sangat diperlukan peta-peta tersebut mengingat kekeringan merupakan suatu masalah berdampak serius pada seluruh sektor kehidupan. Peta yang berkaitan dengan keruangan hendaknya merupakan peta yang bergeoreferensi. Pembuatan peta yang bergeorefensi dapat menggunakan teknik Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Dewasa ini teknologi Penginderaan Jauh (inderaja) berkembang pesat. Teknologi ini menghasilkan berbagai data baik foto udara maupun citra satelit yang dapat menggambarkan permukaan bumi. Berbagai penelitian sudah dan terus dilakukan untuk memanfaatkan data inderaja dalam menganalisis masalah-masalah keruangan.

(19)

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukanya penelitian potensi kekeringan di Kabupaten Klaten, dalam hal ini disusun dalam sebuah skripsi dengan judul “Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan

Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dengan menggunakan teknik analisis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

2. Bagaimana kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk mendeteksi daerah berpotensi rawan terhadap kekeringan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sebaran daerah berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten dengan menggunakan teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. 2. Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

dalam mendeteksi daerah rawan terhadap kekeringan di Kabupaten Klaten.

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini di antaranya adalah:

(20)

berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

2. Manfaat teoritis, sebagai sarana pengembangan ilmu dan pengetahuan yang secara teori telah didapatkan di bangku kuliah, khususnya mata kuliah Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

1.5 Penegasan Istilah

Penegasan istilah dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian dan memudahkan dalam menangkap isi serta sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian.

1. Deteksi: Usaha menemukan dan menentukan keberadaan, anggapan ataupun kenyataan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:202).

2. Potensi: Sesuatu kemungkinan yang dapat menjadi aktual (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:697).

3. Kekeringan: Kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air (TKPSDA, 2003).

4. Berbasis: Didasarkan pada (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:83).

(21)

6. Sistem Informasi Geografis: Kumpulan yang terorganisasi dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (Esri, 1990 dalam Prahasta, 2009:117).

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi

Secara garis besar sistematika penulisan skripsi terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian penutup.

1. Bagian awal skripsi

Bagian awal skripsi meliputi: halaman sampul, lembar judul, lembar persetujuan pembimbing, lembar pengesahan penguji, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, sari, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.

2. Bagian isi skripsi

Bagian isi skripsi memuat lima pokok bahasan, yaitu:

a. BAB I. Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

(22)

c. BAB III. Metode penelitian, memuat tentang metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi lokasi dan obyek penelitian, alat dan bahan penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

d. BAB IV. Hasil dan Pembahasan e. BAB V. Kesimpulan dan Saran 3. Bagian akhir skripsi

Pada bagian akhir skripsi berisi tentang:

a. Daftar pustaka yang berisi tentang daftar buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian.

(23)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekeringan

Kekeringan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah daerah yang mempunyai curah hujan kecil atau jumlah bulan kering dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Menurut Kementerian Ristek (2008) kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu tertentu (Raharjo, 2010).

Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) membagi dua kategori kekeringan yaitu kekeringan alamiah dan kekeringan yang diakibatkan perbuatan manusia (TKPSDA, 2003). Adapun kekeringan alamiah terbagi menjadi lima sudut pandang yaitu:

a. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.

(24)

b. danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

c. Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (Kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu dalam wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis.

d. Kekeringan sosial ekonomi berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti: rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan.

e. Kekeringan hidrotopografi berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan, musim kering dan topografi lahan.

Kekeringan tidak taat aturan atau yang disebabkan manusia terjadi karena:

a. Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak taatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air.

b. Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.

2.2 Penginderaan Jauh

2.2.1 Pengertian Penginderaan Jauh

(25)

dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan kiefer, 1994 dalam Purwadhi dan Sanjoto, 2008:3).

2.2.2 Sistem Satelit Penginderaan Jauh

Satelit tak berawak sebagai wahana penyadap informasi dari permukaan

bumi telah mulai dikembangkan sejak awal tahun „60an. Aplikasi utamanya

adalah di bidang kemiliteran. Baru awal pada dekade „70an, satelit tak berawak diluncurkan untuk sumberdaya bumi, yaitu ERT-1. Peluncuran ini diikuti oleh peluncuran satelit sumberdaya lain, dan juga pengembangan sistem pengolahan datanya. Mulai saat itulah teknologi di bidang pengolahan citra dikembangkan secara lebih serius.

Berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu satelit cuaca dan satelit sumberdaya. Selain berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dikelompokkan berdasarkan cara mengorbitnya yaitu satelit geostasioner dan satelit singkron matahari.

Satelit geostasioner merupakan satelit yang diorbitkan pada ketinggian lebih kurang 36.000 km di atas bumi, pada posisi geostasioner. Pada ketinggian ini, pengaruh gaya gravitasi dan sentrifugal bumi lebih kurang sebanding sehingga satelit yang ditempatkan di sana tidak tertarik ke bumi ataupun terlempar ke luar orbit. Pada umumnya satelit cuaca merupakan satelit geostasioner, misalnya

GOES dan GMS. Pada posisi „diam‟ (yang sebenarnya terus bergerak untuk

(26)

hari, tetapi dengan liputan yang sangat luas. Satelit jenis ini disebut singkron bumi

(geo-synchronus satellite) karena posisi relatif tetap di atas permukaan bumi. Satelit singkron matahari (sun-synchronous satellite) sering pula disebut sebagai satelit berorbit polar karena mengorbit bumi dengan hampir melewati kutub, memotong arah rotasi bumi. Hampir semua satelit sumberdaya termasuk satelit singkron matahari, misalnya Landsat, SPOT, ERS dan JERS, IKONOS, Quickbird, Alos, Terra dan Aqua. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang sebenarnya merupakan satelit cuaca, juga melakukan orbit singkron matahari.

Sesuai dengan namanya, satelit singkron matahari selalu bergerak memotong arah rotasi bumi dengan melalui atau hampir melalui kutub sehingga dapat meliput hampir seluruh bagian permukaan bumi. Oleh karena itu, satelit ini akan selalu berada di atas wilayah yang sama di permukaan bumi pada waktu lokal yang sama pula. Ketinggian orbit satelit jenis ini berkisar dari 600 km sampai dengan sekitar 1000 km, jauh rendah dibandingkan satelit geostasioner (Danoedoro, 2012:67).

2.2.3 Data Penginderaan Jauh Digital

(27)

(Picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Informasi yang terkandung dalam pixel tersebut bersifat diskrit yaitu mempunyai ukuran presisi tertentu (Purwadhi, 2001:48).

Setiap citra digital penginderaan jauh satelit yang dihasilkan oleh setiap sensor mempunyai sifat khas datanya. Sifat khas data tersebut dipengaruhi oleh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelombang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (objek), dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sistem sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran pixel datanya.

Sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif. Kedua sistem tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem, prosedur, dan metode pengolaan datanya. Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sumber tenaga diambil dari matahari atau sumber lain. Salah satu data penginderaan jauh sistem pasif adalah data satelit (Landsat).

2.2.4 Interpretasi Citra Penginderaan Jauh

(28)

data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra.

Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara digital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu.

2.3 Citra Landsat

Satelit Landsat (Land satellite) merupakan suatu hasil program satelit sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical

and Space Administration) Amerika Serikat pertama kali diluncurkan pada 1972

dengan nama ERTS-1 ((Earth Resources Technology Satellite). Dengan kesuksesan peluncuran pertama, dilanjutkan dengan peluncuran selanjutnya seri kedua yang dengan nama Landsat-1.

(29)

dan 7). Landsat 1 dan 2 memuat dua macam sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicion) yang terdiri atas 3 saluran dan MSS (multispectral scanner) yang terdiri atas 4 saluran dengan resolusi spasial 79 meter.

Landsat 4 dan 5 memuat dua macam sensor pula, dengan mempertahankan MSS-nya, tetapi menggantikan RBV dengan TM (Thematic Mapper) karena alasan kapabilitas. Dengan demikian, urutan penomeran MSS menjadi MSS1, MSS2, MSS3, dan MSS4. Sensor TM yang mempunyai 7 saluran dinomeri urut dari 1 sampai dengan 7. Pada 1993 Landsat generasi 3 (Landsat 6) diluncurkan, tetapi misi ini gagal karena sesaat peluncuran satelit Landsat 6 hilang.

Pada 1999 Landsat 7 diluncurkan dengan membawa sensor multispektral beresolusi 15 meter untuk citra pankromatik dan 30 meter untuk citra multispektral serta 60 meter untuk citra inframerah termal. Dengan demikian, berbeda dari sensor TM pendahulunya yang hanya membawa tujuh saluran spektral, sensor Landsat 7 yang disebut ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus, atau TM yang telah diperbaiki kinerjanya) ini memuat 8 saluran, di mana saluran 6 telah dinaikkan resolusi spasialnya dai 120 meter menjadi 60 meter, dan saluran 8 merupakan saluran pankromatik dengan julat panjang gelombang antara 0,58 – 0,90 µm.

(30)

yang menampakkan baris-baris pemindai yang melompat-lompat (Danoedoro, 2012:68). Karakteristik citra Landsat 7ETM+ dijelaskan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+

Band Saluran untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan, dan mengidentifikasi budidaya manusia. 2 0.52 – 0.60 Hijau 30 X 30 Untuk pengukuran nilai pantul hijau

pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan budidaya manusia

3 0.63 – 0.69 Merah 30 X 30 Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman.

4 0.76 – 0.90 Infra merah dekat

30 X 30 Untuk membedakan jenis tumbuhan, aktifitas dan kandungan biomas untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah.

5 1.55 – 1.75 Infra merah dekat

30 X 30 Menunjukan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan 6 10.4 – 12.5 Infra merah

termal

60 X 60 Untuk menganalisis tingkat tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas

7 2.08 – 2.35 Infra merah sedang

30 X 30 Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitive terhadap kelembaban tumbuhan

8 0.50 – 0.90 Pankroma-tik

15 X 15 Untuk peningkatan resolusi spasial. Sumber: Humaidi 2005 (www.Satelit-inderajablogspot.com).

2.4 Sistem Informasi Geografis

2.4.1 Pengertian SIG (Sistem Informasi Geografis)

(31)

geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena di mana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis (Prahasta, 2009:116).

Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data dan (d) keluaran.

2.4.2 Subsistem SIG (Sistem Informasi Geografis)

Berdasarkan definisi diatas, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem yang dapat diuraikan sebagai berikut (Prahasta, 2009:118):

a. Data Input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengonversikan atau mentranformasikan format-format data aslinya ke dalam format (native) yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan.

b. Data Output

(32)

c. Data Management

Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau diretrieve (diload ke memori), diupdate, dan diedit.

d. Data manipulation dan analisyis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi (Evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator matematis&logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Subsistem SIG dapat diilustrasikan pada gambar 2.1 dibawah ini dengan memperjelas uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada di dalamnya.

Gambar 2.1 Ilustrasi uraian Sub-sistem SIG (Prahasta, 2009:119) 2.4.3 Kemampuan SIG

(33)

a. Kemampuan analisis atribut

Analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basisdata (DBMS) dan perluasanya. Operasi dasar basisdata mencakup: membuat basis data baru, menghapus basisdata, membuat tabel basisdata, mengisi dan menyisipkan data, membaca dan mencari data, mengedit data yang terdapat di dalam tabel basisdata dan membuat indeks untuk setiap tabel basisdata

Sedangkan perluasan basisdata meliputi: Membaca basisdata dalam sistem basisdata yang lain, dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain, dapat menggunakan bahasa basisdata standar SQL, operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basisdata

b. Kemampuan analisis spasial

1. Klasifikasi: Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.

2. Jaringan (netWork): Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (line) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan.

3. Overlay: Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkanya.

(34)

5. 3D analysis: Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi.

6. Digital image processing (pengolahan citra digital): fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster.

2.5 Identifikasi Daerah Berpotensi Kekeringan

Penelitian deteksi potensi kekeringan berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis ini menggunakan data penginderaan jauh berupa Landsat 7ETM+ serta kondisi fisiografis yang berpengaruh terhadap kekeringan, diantaranya: kondisi curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan.

Citra Landsat sudah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian kekeringan, salah satu metode yang sering digunakan pada citra landsat untuk identifikasi kekeringan yaitu dengan menggunakan indeks vegetasi dan Tasseled

Cap Tranformation (TCT). Transformasi Tasseled Cap merupakan formula

(35)

2.5.1 Indeks Vegetasi

Indeks Vegetasi merupakan suatu bentuk tranformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi Klorofil dan sebagainya (Danoedoro, 2012:246). Secara praktis, indeks vegetasi merupakan suatu tranformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi.

(36)

Hal tersebut mengakibatkan pada band merah nilai reflectance vegetasi sangat rendah. Berbeda dengan bend merah, pada band inframerah dekat nilai pantulan vegetasi sehat meningkat tajam. Sepanjang julat inframerah dekat ini (0,7 – 1,2 µm) cahaya matahari yang diterima oleh tanaman mengandung sebagian besar energi matahari. Jika tanaman menyerap energi tersebut seperti pada panjang gelombang tampak maka tanaman akan terlalu panas sehingga protein yang didalamnya akan rusak. Pada panjang gelombang ini terjadi pantulan yang tinggi (40% - 60%), transmisi juga tinggi (40 – 60%), serta penyerapan yang rendah (5-10%). Rouse et al (1974) dalam Dian (2010) mengembangkan formula untuk mendapatkan kerapatan vegetasi:

NDVI = (NIR-Red) / (NIR+Red)

Hasil dari formula tersebut berkisar antara -1 sampai +1. Nilai -1 mengindikasikan bahwa pada saluran merah memiliki nilai pantulan maksimum dan pada saluran inframerah dekat memiliki pantulan minimum. Hal ini menunjukan daerah non vegetasi. Begitupun sebaliknya, nilai +1 menunjukan terjadi pantulan maksimum pada saluran inframerah dekat dan pantulan minimum pada saluran merah, sehingga menunjukka area bervegetasi kerapatan tinggi.

(37)

Hasil transformasi NDVI pada citra menghasilkan nilai yang sngat beragam, maka dilakukan penyederhanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberpa kelas. Berikut klasifikasi nilai NDVI dengan pengharkatan yang disesuaikan terhadap potensi kekeringan di Kabupaten Klaten.

Tabel 2.2 Klasifikasi dan pengharkatan NDVI

No Nilai NDVI Keterangan Harkat

1 -1 s/d - 0.005 Lahan tidak bervegatasi 5 2 - 0.005 s/d 0.19 Kehijauan sangat rendah 4

3 0.19 s/d 0.50 Kehijauan rendah 3

4 0.50 s/d 0.63 Kehijauan sedang 2

5 0.63 s/d 1.00 Kehijauan tinggi 1

Sumber: Perhitungan data, tahun 2012.

2.5.2 Indeks Kebasahan dan Indeks Kecerahan

Kelembaban tanah permukaan adalah air yang mengisi pori-pori horizon tanah atau lapisan tanah bagian atas. Setiap permukaan tanah mampunyai kelembaban tanah yang berbeda-beda dan mempunyai karakteristik nilai pantulan pada sensor yang berbeda-beda pula. Dengan hubungan bahwa suatu tanah yang mempunyai kelembaban yang tinggi mengasumsikan bahwa tanah tersebut sering tergenang air, sehingga dari sini didapat hubungan bahwa semakin tinggi kelembaban tanah maka semakin sering tanah tersebut tergenang dan mempunyai kerawanan yang rendah terhadap kekeringan. Demikian pula sebaliknya jika kelembaban tanah semakin rendah maka semakin jarang pula daerah tersebut tergenang air dan kerawanan kekeringan juga semakin tinggi.

Kelembaban tanah diperoleh dengan pendekatan indeks kebasahan

(38)

ini selanjutnya digunakan sebagai nilai kelembaban tanah. Mengetahui kebasahan tanah pada suatu tempat dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dapat rnenggunakan formula yang merupakan pengalian, penambahan dan pengurangan pada saluran 1, saluran 2, saluran 3, saluran 4, saluran 5 dan saluran 7.

Algoritma Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan Landsat 7 ETM+ disajikan dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Algoritma Tranformasi Tasseled Cap Landsat 7ETM+

Saluran Tranformasi

Sumber: Liu dan Mason dalam Danoedoro, 2012:271

Nilai wetness yang negatif menunjukkan bahwa tingkat kebasahan tanah yang kecil, sedangkan nilai wetness yang semakin positif menunjukkan tingkat kebasahan yang semakin besar. Nilai spektral dari trnformasi Indeks Kebasahan

(Wetness Index) dalam hubunganya kekeringan di Kabupaten Klaten dapat

diklasifikasikan pada tabel 2.4 sebagai berikut:

Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan

No Nilai Wetness Index Keterangan Harkat

(39)

Indeks Kecerahan memberikan informasi bahwa permukaan cerah dipantulkan dari permukaan yang kering. Artinya, semakin gelap tanah maka ketersediaan bahan organik lebih tinggi, kelembaban tinggi dan ketersediaan air cukup. Nilai spektral dari trnformasi Indeks Kecerahan (Brightess index) dalam hubunganya kekeringan di Kabupaten Klaten dapat diklasifikasikan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kecerahan

No Nilai Brightness Index Keterangan Harkat

1 >206.641 Sangat cerah 5

2 177.663 – 206.641 Cerah 4

3 147.368 – 177.663 Agak cerah 3

4 113.122 – 147.368 Gelap 2

5 Nilai terendah s/d 113.122 Sangat gelap 1 Sumber: Perhitungan data, 2012.

2.5.3 Curah Hujan

Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih. Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir.

Curah hujan menjadi sangat penting dalam penelitian ini karena merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan kondisi permukaan dalam sudut pandang sumberdaya air. Hujan merupakan suatu masukan (input) yang akan diproses oleh permukaan lahan untuk menghasilkan suatu keluaran (Raharjo, 2010).

(40)

daerah yang mempunyai nilai curah hujan rendah akan diberi nilai skor yang lebih tinggi daripada daerah dengan curah hujan tinggi. Adapun pengharkatan tertera pada tabel 2.6.

Tabel 2.6 Klasifikasi curah hujan terhadap kekeringan No Curah hujan rata-rata Harkat

1 <1500 4

2 1500-200 3

3 2001-2500 2

Sumber : Fersely, 2007 2.5.4 Kondisi Hidrogeologi

Hidrogeologi digunakan dalam penelitian ini karena dapat menggambarkan kondisi air bawah tanah. Tipe dan jenis akuifer menentukan dalam kemungkinan terjadinya kekeringan. Kondisi air tanah yang relatif sedikit akan semakin berkurang dengan adanya musim kemarau. Suplai air tanah berkurang dan menjadikan ketersediaan air menjadi kecil (Raharjo, 2010). Pengharkatan jenis akuifer dilakukan dengan melihat tingkat pengaruh jenis akuifer terhadap potensi kekeringan. Pengharkatan kondisi hidrogeologi disajikan pada tabel 2.7.

Tabel 2.7 Klasifikasi kondisi hidrogeologi terhadap kekeringan

No Tipe Akuifer Harkat

1 Air tanah langka 4

2 Produktivitas kecil 3

3 Produktivitas sedang 2

4 Produktivitas tinggi 1

Sumber: Tjahjono 2008, dengan meodifikasi. 2.5.5 Penggunaan Lahan

(41)

dalam penyerapan air sehingga air akan mudah ditampung dan limpasan air akan kecil sekali terjadi. Hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan dan lambatnya air limpasan mengalir akibat tertahan oleh akar dan batang pohon.

Kaitanya dalam kekeringan, nilai skor rendah diberikan pada daerah dengan tutupan lahan didominasi oleh pepohonan, sedangkan nilai skor tinggi untuk daerah dengan penutup lahan minim pepohonan atau tanpa pepohonan. Pemberian nilai nol pada tubuh air dikarenakan tubuh air dianggap tidak pernah mengalami kekeringan. Klasifikasi masing-masing penggunaan lahan yang berkaitan dengan potensi kekeringan dapat dilihat pada tabel 2.8.

Tabel 2.8 Klasifikasi penggunaan lahan terhadap kekeringan

No Penggunaan lahan Harkat

1 Tanah terbuka, lahan terbangun(pemukiman) 4

2 Pertanian lahan kering, tegalan, sawah 3

3 Semak 2

4 Hutan, kebun campuran, perkebunan, tambak 1

5 Tubuh air 0

(42)

Keterangan :

Input Hasil antara Proses Output

Gambar 2.3. Diagram Alir Penelitian Citra Landsat 7ETM+

(43)

2.6 Penelitian Relevan

Penelitian mengenai kekeringan berbasis penginderaan jauh telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian yang dilakukan baik hanya berdasarkan analisis citra satelit maupun gabungan antara analisis citra satelit dengan parameter kondisi fisik lahan. Rahma Winati (2006) telah melakukan penelitian di sebagian Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini mencoba memetakan daerah potensi rawan kekeringan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ perekaman bulan Juni 2002. Metode yang digunakan yaitu analisis berbasis Citra Satelit dengan menghitung nilai spektral citra hasil Tranformasi Normalized Difference Vegetation Index dan Wetness Index dan mengkelaskan ke dalam beberapa tingkat klasifikasi. Hasil dari penelitian ini adalah peta potensi rawan kekeringan.

Penelitian dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2007) yaitu oleh Rizatus Shofiyati pada lahan sawah DAS Citarum Jawa Barat. Menggunakan citra Landsat TM dengan pemilihan tanggal perekaman yang mewakili musim kemarau, peneliti mencoba mengintegrasikan nilai spektral citra Landsat TM hasil tranformasi NDVI, Wetness Index dan Brightness Temperatur. Adapun penelitian tersebut hanya pada lahan pertanian yaitu sawah. Hasil dari integrasi tranformasi tersebut dikelaskan menjadi empat kelas dengan hasil akhir peta tingkat kekeringan lahan sawah DAS Citarum Jawa Barat.

(44)

Penelitian ini menggunakan data citra Landsat TM 7 perekaman bulan juni 2002. Analisis citra satelit untuk kekeringan yang dilakukan yaitu menggunakan tranformasi Normalized Difference Vegetation Index, Wetness Index dan Brightess Index. Hasil tranformasi tersebut dipisahkan nilai spektral yang berpotrensi dan yang tidak berpotensi kekeringan. Adapun parameter kondisi fisik yang digunakan yaitu Kondisi Hidrogeologi (potensi air tanah), Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Hasil analisi citra satelit dioverlaykan dengan parameter penunjang dengan memperhitungkan tingkat pengaruh kekeringan dengan hasil akhir peta identifikasi potensi kekeringan.

(45)

Tabel 2.9 Penelitian sebelumnya

Nama Judul Penelitian Tujuan Peneltian Parameter Data citra Hasil Penelitian

Rahma Winati, 2006

Aplikasi Indeks Vegetasi untuk Penentuan Potensi Rawan Terhadap Kekeringan di sebagian Kabupaten Kulonprogo

 Mengetahui kemampuan Citra landsat 7 ETM+ dalam mengidentifikasi potensi

Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di Lahan Pertanian

mengidentifikasi, mengkaji, memetakan, dan memonitor kekeringan menggunakan pola spektral, TCT, NDVI, dan BT

 NDVI

Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan Kabupaten Kebumen

Mengidentifikasi wilayah yang mempunyai potensi kekeringan

di Kabupaten Kebumen

(46)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah dengan obyek penelitian yaitu potensi kekeringan.

3.2 Populasi dan Sampel

Penelitian deteksi potensi kekeringan ini yang menjadi populasi adalah potensi kekeringan wilayah Kabupaten Klaten. Sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling. Penentuan sampel dilakukan pada hasil penggabungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan. Sampel yang diambil sebanyak 30 titik yang didasarkan pada kelas NDVI, namun tetap mempertimbangkan indeks kecerahan dan indeks kebasahan sehingga hasil dari kelas ke tiga indeks tersebut dapat terwakili (Lampiran 2.3)

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian deteksi potensi kekeringan ini terdiri dari 2 kelompok yautu variabel yang didapatkan dari interpretasi citra Landsat 7 ETM+ dan variabel kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan.

1. Interpretasi citra Landsat 7 ETM+

a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

(47)

c. Indeks Kecerahan (Brightness Index)

2. Kondisi fisiografis berpengaruh kekeringan a. Curah hujan

b. Kondisi geohidrologi c. Penggunaan lahan

3.4 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Laptop Amd 2.0 Ghz, Ram 2 Gb, Hardisk 500 Gb, sebagai alat untuk kegiatan pemetaan dan interpretasi citra satelit.

(2) Aplikasi program Er Mapper 7.0, sebagai aplikasi untuk kegiatan analisis citra satelit.

(3) Aplikasi program ArcGIS 9.3 dan ArcVew 3.3, sebagai aplikasi untuk pemrosesan peta digital.

(4) GPS, untuk menentukan titik koordinat sampel di lapangan. (5) Kamera, untuk kegiatan dokumentasi di lapangan.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Citra Landsat 7 ETM+ Path 120 row 65, perekaman September 2002 dan September 2012

(2) Peta Geohidrologi Kabupaten Klaten

(48)

3.5 Teknik Perolehan Data

Pada penelitian ini teknik perolehan data yang digunakan meliputi:

1. Pengumpulan data penginderaan jauh adalah pengumpulan data hasil perekaman obyek dengan menggunakan sensor buatan. Data ini dapat berupa citra foto dan non-foto atau data numerik. Data numerik umumnya direkam pada Computer Compatible Tape (CCT). Data ini bisa dipesan melalui instansi-instansi tertentu, baik dalam maupun luar negeri (Tika, 2005:61). Teknik memperoleh data penginderaan jauh berupa citra Landsat 7ETM+ yaitu dengan cara men-download langsung melalui situs resmi USGS yaitu www.glovis.usgs.gov. Untuk dapat men-download harus mempunyai akun terlebih dahulu yang berisikan informasi data pen- download dan keperluan penggunaan data. Citra satelit Landsat 7ETM+ yang didownload merupakan citra perekaman September 2002 dan September 2012.

(49)

3. Observasi, merupakan cara dan teknik perolehan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian (Tika, 2005:44). Dalam mengumpulkan data menggunakan teknik observasi, peneliti mengamati kondisi lapangan dengan mencocokkan hasil interpretasi yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun kondisi lapangan yang diamati meliputi kondisi fisik wilayah di Kabupaten Klaten berdasarkan hasil interpretasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Indeks Kecerahan dan Indeks Kebasahan..

3.6 Tahap Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian, meliputi tahap persiapan, tahap penelitian dan tahap akhir yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Tahap persiapan

Pada tahap ini dilakukan berbagai persiapan dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian seperti citra satelit Landsat 7 ETM+, peta curah hujan, peta geohidrologi, peta penggunaan lahan, persiapan peralatan dan studi kepustakaan mengenai literatu-literatur yang terkait dengan obyek penelitian.

2. Tahap penelitian

(50)

penggabungan tersebut akan dilakukan sekoring hingga didapatkan tingkat potensi kekringan. Pengukuran lapangan diperlukan guna validasi hasil analisis citra maupun hasil peta potensi kekeringan.

3. Tahap akhir

Pada tahap akhir ini, berupa penyusunan hasil penelitian dalam bentuk laporan.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik dalam penelitian ini menggunakan kombinasi antara analisis citra digital dan dilanjutkan dengan teknik sistem informasi geografis.

1. Teknik Interpretasi Citra Digital

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital.

Pada penelitian ini menggunakan teknik interpretasi citra secara digital. Salah satu metode interpretasi digital adalah transformasi citra. Transformasi citra merupakan upaya untuk menonjolkan salah satu obyek dan menekan aspek yang lain. Citra yang digunakan untuk transformasi ini adalah citra yang telah terkalibrasi radiometri, sehingga nilai yang digunakan adalah nilai surface reflectance.

(51)

Transformasi tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi spasial mengenai kerapatan vegetasi dan kelembaban permukaan.

2. Teknik Sistem Informasi Geografis a. Metode Pengharkatan (Scoring)

Metode pengharkatan adalah pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam setiap parameter. Pemberian harkat ini didasarkan pada seberapa besar pengaruh kelas tersebut terhadap kekeringan. Semakin tinggi pengaruhnya terhadap kekeringan maka harkat yang diberikan akan semakin tinggi.

Pemberian harkat terhadap parameter-parameter kekeringan dilakukan secara linear terhadap kelas-kelas dalam suatu parameter kekeringan. Adapun penjelasan dan kriteria pengharkatan untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada bab II yang telah dijelaskan sebelumnya.

Menentukan interval kelas potensi kekeringan dalam penelitian ini dengan cara menjumlahkan skor tertinggi dikurangi jumlah skor terendah dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan. Rumus berikut digunakan untuk mempermudah perhitungan:

Skor maksimal – skor minimal Interval Kelas =

Jumlah kelas

Berdasarkan parameter-parameter yang telah disebutkan didapatkan penjumlahan skor maksimum adalah 27 dan jumlah skor minimum adalah 6, jumlah kelas yang dibuat dalam penelitian ini adalah 5 kelas.

27 – 6

(52)

Setelah interval kelas didapatkan, maka kelas potensi kekeringan dapat ditetapkan dan disajikan pada tabel 3.1 sebagai berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi kelas potensi kekeringan

No Kelas Interval Kelas Potensi Kekeringan

1 I 6 – <=10 Sangat rendah

2 II >10 – <=14 Rendah

3 III >14 – <=18 Agak tinggi

4 IV >18 – <=22 Tinggi

5 V >22 Sangat tinggi

Sumber: perhitungan data, 2012.

b. Metode Tumpang tindih (overlay)

Tumpang tindih merupakan interaksi atau gabungan dari beberapa peta biofisik pemicu kekeringan. Tumpang tindih beberapa peta menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut. Peta yang ditumpang tindih merupakan peta-peta yang sebelumnya telah diberi skor pada setiap kelas dari masing-masing parameter biofisik sehingga menghasilkan peta zonasi kekeringan.

3.8 Uji Ketelitian Interpretasi Citra

(53)

berbasis citra penginderaan jauh. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode simple random sampling karena populasi merupakan Kabupaten Klaten dengan daerah yang luas. Pengambilan sampel didasarkan pada hasil interpretasi digital citra satelit Landsat 7ETM+ yaitu kelas Normalized Difference Index, Indeks Kecerahan (Brightess Index) dan Indeks Kebasahan

(Wetness Index).

Nilai keakuratan dapat diketahui dengan menggunakan rumus di atas, yaitu dengan membandingkan jumlah titik survei yang benar dengan jumlah titik keseluruhan survei (Danoedoro, 2012:330).

∑ Titik benar

(54)

39 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum daerah Penelitian 4.1.1 Lokasi Penelitian

a. Letak Astronomis

Letak astronomis adalah letak suatu daerah yang didasarkan atas garis lintang dan garis bujur. Secara astronomis Kabupaten Klaten berada pada

koordinat 110˚ 26‟ 14” –110˚ 47‟ 33” BT dan 07˚ 32‟ 19” –07˚ 48‟ 33” LS.

b. Letak Administratif

Kabupaten Klaten merupakan salah satu dari 35 kabupaten/kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Secara administrasi, Kabupaten Klaten terbagi menjadi 26 Kecamatan yaitu: Kemalang, Prambanan, Gantiwarno, Bayat, Cawas, Karangdowo, Wonosari, Polanharjo, Tulung, Jatinom, Karangnongko, Wedi, Karangnom, Ngawen, Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten Selatan, Kebonarum, Manisrenggo, Kalikotes, Trucuk, Ceper, Pedan, Jogonalan, Delanggu dan Juwiring. Adapun batas administrasi Kabupaten Klaten sebagai berikut:

1. Sebelah utara : Kabupaten Boyolali

2. Sebelah selatan : Kabupaten Gunung Kidul (Provinsi D.I.Y) 3. Sebelah barat : Kabupaten Sleman (Provinsi D.I.Y)

(55)
(56)

Tabel 4.1. Luasan Kecamatan di Kabupaten Klaten

5 Gantiwarno 2680,444

6 Jatinom 3622,698

7 Jogonalan 2754,349

8 Juwiring 3121,710

9 Kalikotes 1393,621

10 Karanganom 2583,952

11 Karangdowo 3056,010

12 Karangnongko 2986,014

13 Kebonarum 1099,184

14 Kemalang 5749,488

15 Klaten Selatan 1504,658

16 Klaten Tengah 998,570

17 Klaten Utara 1144,567

18 Manisrenggo 3081,444

19 Ngawen 1843,058

20 Pedan 2009,806

21 Polanharjo 2531,468

22 Prambanan 2667,418

23 Trucuk 3609,612

24 Tulung 3463,108

25 Wedi 2650,788

26 Wonosari 3321,185

Jumlah 70060,71

Sumber: Perhitungan data tahun 2012 4.1.2 Kondisi Bentuk Lahan

(57)

a. Satuan puncak Gunung Merapi

Satuan puncak gunung merapi Kabupaten Klaten mempunyai luas 852.195 ha dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl yang terletak di bagian atas Kecamatan kemalang

b. Satuan kaki Gunung Merapi

Satuan kaki Gunung Merapi Kabupaten Klaten mempunyai luas 31769.399 ha dengan ketinggian antara 100 – 1000 mdpl. Satuan ini berada pada hampir separuh Kabupaten Klaten yaitu pada Kecamatan Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Tulung, Kebonarum, Ngawen, dan sebagian besar dari Kecamatan Kemalang, Prambanan, Jogonalan, Klaten selatan, Klaten Utara, Klaten Tengah, Kebonarum, Karangnom dan Polanharjo.

c. Satuan Perbukitan

Satuan perbukitan di Kabupaten Klaten merupakan satuan bentuk lahan terkecil dibandingkan dari satuan bentuk lahan yang lain berkisar antara 720.051 ha yang berada pada sebagian Kecamatan Bayat.

d. Satuan Dataran

(58)
(59)

Tabel 4.2. Luasan Satuan Bentuk Lahan Kabupaten Klaten

Sumber: Pengolahan data tahun 2012

No Kecamatan Bentuk Lahan Luas (ha) No Kecamatan Bentuk Lahan Luas (ha)

1 Bayat Satuan Perbukitan 700,63 15 Klaten

Selatan

Satuan Kaki Gunung Merapi 827,673

Satuan Dataran 3329,936 Satuan Dataran 676,985

2 Cawas Satuan Dataran 3640,932 16 Klaten

Tengah

Satuan Kaki Gunung Merapi 298,854

3 Ceper Satuan Kaki Gunung Merapi 178,685 Satuan Dataran 699,716

Satuan Dataran 2375,008 17 Klaten Utara Satuan Kaki Gunung Merapi 1083,636

4 Delanggu Satuan Kaki Gunung Merapi 232,972 Satuan Dataran 60,931

Satuan Dataran 1729,389 18 Manisrenggo Satuan Kaki Gunung Merapi 3081,444

5 Gantiwarno Satuan Dataran 2680,444 19 Ngawen Satuan Kaki Gunung Merapi 1842,419

6 Jatinom Satuan Kaki Gunung Merapi 3622,697 Satuan Dataran 0,639

7 Jogonalan Satuan Kaki Gunung Merapi 1857,711 20 Pedan Satuan Dataran 2009,806

Satuan Dataran 896,638 21 Polanharjo Satuan Kaki Gunung Merapi 2278,673

8 Juwiring Satuan Dataran 3121,71 Satuan Dataran 252,795

9 Kalikotes Satuan Kaki Gunung Merapi 78,555 22 Prambanan Satuan Kaki Gunung Merapi 1475,626

Satuan Dataran 1315,066 Satuan Dataran 1191,792

10 Karanganom Satuan Kaki Gunung Merapi 2431,677 23 Trucuk Satuan Dataran 3609,612

Satuan Dataran 152,275 24 Tulung Satuan Kaki Gunung Merapi 3463,108

11 Karangdowo Satuan Dataran 3056,01 25 Wedi Satuan Perbukitan 29,759

12 Karangnongko Satuan Kaki Gunung Merapi 2986,014 Satuan Dataran 2621,029

13 Kebonarum Satuan Kaki Gunung Merapi 1099,184 26 Wonosari Satuan Dataran 3321,185

(60)

4.1.3 Kondisi Topografi

Letak Kabupaten Klaten secara topografis diapit oleh Gunung Merapi dan Pegunungan Seribu dengan ketinggian antara 75 – 2991 meter di atas permukaan air laut (DPL). Adapun pengelomokkan wilayah Kabupaten berdasarkan ketinggian sebagai berikut:

a. Wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl, meliputi sebagian besar dari Kecamatan Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas dan sebagian kecil dari Kecamatan Pedan.

b. Wilayah dengan ketinggian antara 100 – 200 mdpl, meliputi Kecamatan Delanggu, Ceper, Kalten tengah, Klaten Utara, klaten Selatan, Trucuk, Bayat, Wedi, Gantiwarno, dan sebagian dari Kecamatan Jogonalan, Prambanan, Kebonarum, Ngawen, Karangnom, Polanharjo, Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas, pedan.

c. Wilayah dengan ketinggian 200 – 400 mdpl meliputi sebagian besar dari Kecamatan Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Tulung dan sebagian kecil dari Kecamatan Jogonalan, Prambanan, Kebonarum, Ngawen, Karangnom, Polanharjo, Wonosari, Juwiring, Karangdowo, Cawas, pedan.

d. Wilayah dengan ketinggian 400 – 1000 mdpl meliputi sebagian besar Kecamatan Kemalang, sebagian kecil dari Kecamatan Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Tulung.

e. Wilayah dengan ketinggian 1000 – 2000 mdpl terletak di Kecamatan kemalang.

(61)
(62)
(63)

4.1.4 Kondisi Jenis Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten (Gambar 4.4), jenis tanah di Kabupaten Klaten terdiri atas beberapa jenis, baik yang terdapat secara tunggal, campuran beberapa jenis tanah, maupun kelompok tanah.

a. Aluvial Kelabu: Terbentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah, memiliki sifat tanah yang subur. Tanah jenis ini berada di sebagian Kecamatan Bayat, Cawas, Juwiring, Karangdowo, Trucuk dan Wonosari. b. Grumosol: Bahan induk berupa abu dan pasir vulkan intermidier terdapat di

sebagian Kecamatan Cawas, Bayat, Gantiwarno dan Wedi.

c. Komplek Litosol & Mediteran Latosol: bahan induk dari skis kristal dan batu tulis yang terdapat di Kecamatan Bayat.

d. Komplek Litosol & Regosol Kelabu: Tanah campuran dari litosol dan regosol terdapat pada daerah puncak gunung dan kaki gunung tepatnya di Kecamatan Kemalang, Manisrenggo, Prambanan, Gantiwarno, Jogonalan dan Wedi.

e. Komplek Regosol Coklat dan Kealabu: bahan induk berupa abu dan pasir vulkan intermidier terdapat di Kecamatan Bayat dan Kalikotes.

(64)
(65)

4.1.5 Kondisi Curah Hujan

Kondisi curah hujan di Kabupaten Klaten berdasarkan hasil analisis dari data yang diperoleh Badan Meteorologi dan Geofisika menunjukkan rata-rata curah hujan pada tahun 2008 – 2011 sebesar 1000 – 2500 mm/th. Data curah hujan di 7 stasiun penakar hujan dapat dilihat pada lampiran 3. Dari data tersebut dibuat menjadi peta curah hujan dengan menggunakan metode polygon thiessen. Proses pembuatan peta curah hujan menggunakan metode polygon thiessen dapat dilihat pada lampiran 2.2. Berdasarkan hasil pembuatan peta curah hujan didapatkan informasi 50% dari wilayah Kabupaten Klaten mempunyai kisaran curah hujan antara 2000 – 2500 mm/th, 25% dari wilayah Kabupaten Klaten mempunyai kisaran curah hujan antara 1500 – 2000 mm/th dan 25% dari wilayah Kabupaten Klaten mempunyai kisaran curah hujan antara 1000 – 1500 mm/th. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.5.

(66)
(67)

4.1.6 Kondisi Hidrologi & Hidrogeologi

Wilayah kabupaten klaten dilalui oleh 28 sungai parenial atau sungai yang mengalir sepanjang tahun, sungai-sungai tersebut antara lain yaitu sungai bengawan solo, sungai dengkeng, sungai pususur, sungai gawe, dan sungai ujung. Sungai-sungai ini mengalir di beberapa kecamatan dengan banyak anak sungai dan sungai musiman. Potensi sumberdaya air dari beberapa sungai parenial tersebut dimanfaatkan dan dikelola dengan membuat saluran-saluran irigasi, baik teknis maupun setengah teknis maupun sederhana. Berdasarkan pola aliran dan batas administrasi, departemen pekerjaan umum sub bidang pengairan telah membagi kabupaten klaten ke dalam lima wilayah irigasi atau UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah) yaitu: UPDT Delanggu, UPDT Pedan, Jatinom, Gondang, Kota.

Jenis akuifer yang berada di Kabupaten Klaten terdiri dari beberapa tingkatan produktivitas air tanah yaitu:

1. Akuifer dengan produktivitas tinggi, penyebaran luas 2. Akuifer dengan produktivitas sedang, penyebaran luas 3. Akuifer dengan produktivitas sedang, penyebaran setempat 4. Akuifer produktif kecil penyebaran luas

5. Akuifer produktif kecil penyebaran setempat 6. Daerah airtanah langka

(68)
(69)

4.1.7 Kondisi Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kabupaten Klaten dibedakan menjadi enam jenis yaitu pemukiman, kebun, tegalan, semak/belukar, sawah dan rawa. Berdasarkan peta yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Klaten (Gambar 4.7), pada tahun 2011 Kabupaten Klaten memiliki luas kebun 3.921,11 ha (5,5%), pemukiman seluas 20.368,94 ha (29%), rawa seluas 163,28 ha (0,2%), sawah seluas 30723,95 ha (43,8%), semak belukar seluas 3.657,04 ha (5,2%) dan tegalan seluas 11.226,41 ha (16%). Perhitungan luasan penggunaan lahan pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Klaten dapat dilihat pada tabel 4.4.

Jenis penggunaan lahan pada penelitian ini menjadi salah satu parameter kondisi fisiografis yang berpengaruh terhadap kekeringan. Setiap jenis penggunaan lahan dikelaskan berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap kekeringan.

Tabel 4.4 Luasan Penggunaan Lahan Kabupaten Klaten No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Kebun 3.921,111 5,59

2 Pemukiman 20.368,904 29,07

3 Rawa 163,287 0,23

4 Sawah 30.723,950 43,85

5 Semak Belukar 3.657,046 5,21

6 Tegalan 11.226,412 16,02

(70)
(71)

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Sebaran Daerah Berpotensi Kekeringan

Sebaran daerah berpotensi kekeringan dalam penelitian ini didapatkan dari penggabungan (Overlay) serta pengharkatan (Scoring) parameter-parameter yang digunakan yaitu: NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), Indeks Kecerahan (Brightness Index), Indeks Kebasahan (Wetness Index), kondisi curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan. Data atribut penggabungan keenam parameter tersebut dapat dilihat pada lampiran 5. Hasil sebaran daerah potensi kekeringan dapat dilihat pada gambar 4.20, tabel 4.8 dan tabel 4.9. Berikut penjelasan hasil analisis citra Landsat 7ETM+ untuk mengetahui kondisi permukaan lahan yang berkaitan dengan kekeringan yaitu: NDVI, indeks kecerahan dan indeks kebasahan. Sedangkan kondisi fisiografis berpengaruh terhadap kekeringan yaitu: curah hujan, kondisi hidrogeologi dan penggunaan lahan sudah dijelaskan pada gambaran umum wilayah.

a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

(72)

nilai NDVI yang rendah menunjukkan daerah dengan kerapatan vegetasi yang rendah, kemamupan penyerapan air rendah.

Berdasarkan hasil pengolahan transformasi NDVI yang diterapkan pada citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Klaten perekaman bulan kering yang ditunjukkan gambar 4.8 menghasilkan nilai spektral antara -0,878 sampai dengan 0,948. Nilai negatif memperlihatkan bahwa obyek yang berada pada piksel tersebut memiliki nilai pantulan yang lebih tinggi pada band 3 (merah) jika dibandingkan dengan pantulan pada band 4 (inframerah dekat). Pantulan yang tinggi pada band merah mengindikasikan kerapatan vegetasi yang rendah karena pada dasarnya terjadi penyerapan cahaya merah oleh pigmen tanaman.

(73)
(74)

Hasil transormasi NDVI pada citra memiliki nilai yang sangat beragam. Nilai yang bervariasi ini akan mempengaruhi dalam pemilihan sempel serta pengharkatan potensi kekeringan karena homogenitasnya. Oleh karena itu, dilakukan penyerdehanaan nilai-nilai tersebut menjadi beberapa kelas sehingga dapat dihasilkan daerah yang lebih homogen atau dalam hal ini memiliki nilai yang hampir seragam. Adapun teknik pengkelasan transformasi NDVI menggunakan teknik pemotongan nilai spektral dengan melihat kurva histogram yang dihasilkan. Berikut gambar kurva histogram hasil transformasi NDVI citra Landsat 7ETM+ kabupaten Klaten.

Gambar 4.9. Histogram Transformasi NDVI

(75)

NDVI dapat dilihat pada lampiran 1.8. Berdasarkan pengkelasan interval nilai spektral, hasil klasifikasi NDVI Kabupaten Klaten dikategorikan kedalam 5 kelas yaitu: kelas lahan tidak bervegetasi, kehijauan sangat rendah, kehijauan rendah, kehijauan sedang dan kehijauan tinggi. Berikut luasan masing – masing kelas hasil transformasi NDVI.

Tabel 4.5 Luas Kelas NDVI No Interval nilai

spektral

Klasifikasi Luas (ha) Persentase (%)

Kelas kerapatan vegetasi hasil transformasi NDVI dijelaskan sebagai berikut: 1. Kelas Lahan Tidak Bervegetasi

Gambar

Tabel 2.4 Klasifikasi dan Pengharkatan Indeks Kebasahan
Gambar 2.3. Diagram Alir Penelitian
Tabel 2.9 Penelitian sebelumnya
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kekeringan selalu mengancam ketika musim kemarau tiba untuk itu sangat diperlukan pemetaan potensi kekeringan geomorfologi di Kabupaten Purworejo yang akan

Judul Kajian Daerah Penangkapan Ikan dan Budidaya Laut Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis WiJayah Kabupaten Situbondo1. Nama

Untuk menyajikan data fisik kota yang paling mutakhir dapat digunakan data penginderaan jauh sebagai sumber data utamanya. Hal ini karena data penginderaan jauh

Penelitian ini merupakan integrasi antara teknik penginderaan jauh untuk perolehan data dan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk pengolahan data serta web untuk diseminasi

Informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) berbasis data satelit penginderaan jauh yang secara operasional dibuat di Bidang Sumber Daya Wilayah Pesisir dan

Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Menghitung Persentase Ruang Terbuka Hijau di Daerah Permukiman Kota Denpasar. Nuarsa, I Wayan and

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERUBAHAN LUASAN PERTAMBANGAN PASIR ILEGAL DI KOTA BATAM Oleh : Destri ramadani/18331017

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MENGKAJI KESEHATAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN ULAKAN TAPAKIS KABUPATEN PADANG PARIAMAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA