Menguji Integritas Hakim Sarpin…
Oleh: Nona Evita (Researcher Populi Center Public Opinion and Policy Research)
Sebentar lagi, publik akan mendengar keputusan sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan terhadap penetapannya sebagai tersangka oleh KPK. Bisa jadi, ini adalah klimaks dari kisruh dua lembaga negara penegak hukum, KPK dan Polri yang sudah hangat diperbincangkan selama kurang lebih 1 bulan terakhir. Apabila kita melihat periode waktu pasca penetapan tersangka Budi Gunawan hingga kini, berbagai media menyorot pihak-pihak dua kubu dan juga saksi-saksi yang dihadirkan saat sidang praperadilan yang sudah berlangsung sepekan lebih. Lewat sorotan media baik di layar kaca maupun surat kabar, masyarakat terus menilai dan mengawasi agar tidak terjadi pelemahan terhadap komisi anti rasuah.
Kini, jelang putusan sidang praperadilan, publik pun harus jeli dan teliti. Kita jangan lagi disibukkan oleh kejanggalan-kejanggalan dalam sidang praperadilan sang jenderal. Saat ini yang perlu kita soroti adalah Hakim Sarpin Rizaldi. Mengapa harus dia? Sejak penangkapan eks Ketua MK Akil Mochtar yang terlibat kasus suap
sengketa pilkada, wajah hukum di Indonesia sungguh ternodai. Praktik korupsi masih berkeliaran pada penegak hukum sehingga publik mempertanyakan ketegasan
supremasi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai hakim tunggal yang menerima, memeriksa, dan mengadili perkara praperadilan Budi Gunawan, hakim Sarpin harus dapat mematahkan paradigma tersebut. Hakim Sarpin harus benar-benar memiliki pemahaman yang komprehensif dan jelas tentang esensi sidang
praperadilan.
Pertama, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Bab 10 Pasal 77-83 menyebut aturan tentang praperadilan. Praperadilan pun memiliki batasan, yaitu hanya pada sah atau tidaknya penangkapan dan ganti rugi. Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto juga membenarkan hal yang sama, dalam kutipan wawancara dengan tempo.co pada hari Minggu, 08 Februari 2015.
Sejauh ini, sebobrok-bobroknya hukum di Indonesia, para tersangka kpk tidak ada yang mengajukan sidang praperadilan atas penetapan status tersangka oleh KPK karena mereka mengetahui bahwa sidang praperadilan tidak tepat diajukan apabila mereka masih berstatus tersangka dan belum ditangkap. Praperadilan Budi Gunawan adalah pertama kalinya dalam sejarah KPK bahwa tersangka mengajukan
praperadilan. Dari klausa tersebut, seharusnya dari awal sidang praperadilan tidak tepat digelar karena bertentangan dengan apa yang sudah digariskan dalam UU nomor 8 tahun 1981. Dari sini saja, Hakim Sarpin harus mengikuti aturan undang-undang yang berlaku.
Kedua, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini. Hal ini karena berkas Jenderal bintang tiga, Budi Gunawan, akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Tentunya disini publik juga harus bertanya, mengapa PN Jakarta Selatan masih terus memproses sidang praperadilan Budi Gunawan padahal seharusnya mereka tidak memiliki kewenangan?
Professor Jimly Asshiddiqie yang menyebut bahwa hukum itu ibarat kapal, dan etika adalah samuderanya. Memang benar, guna menjunjung tinggi akhlak bangsa, hukum harus berdasarkan etika. Putusan yang akan dibacakan hakim Sarpin akan menjadi acuan bagi para tersangka-tersangka lainnya. Apabila hakim Sarpin tidak
mengabulkan, maka secara langsung pak Sarpin mengajarkan moral pada para tersangka untuk menghargai aturan hukum yang berlaku. Namun sebaliknya, apabila sang hakim mengabulkan gugatan Komjen Budi Gunawan, secara langsung hakim Sarpin menurunkan moral hukum negeri ini dengan membukakan pintu bagi para tersangka yang tidak mau diusut, untuk mengajukan gugatan praperadilan.