• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Trophic Status and Carrying Capacity for Floating Cage Aquaculture at Saguling Reservoir, West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Trophic Status and Carrying Capacity for Floating Cage Aquaculture at Saguling Reservoir, West Java"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

JAWA BARAT

REINDI MAULANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SAGULING JAWA BARAT

REINDI MAULANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Status Trofik dan Daya Dukung Perairan Untuk Kegiatan Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

(4)

ABSTRACT

Reindi Maulana. Study of Trophic Status and Carrying Capacity for Floating Cage Aquaculture at Saguling Reservoir, West Java. Under the direction of AKHMAD ARIF AMIN and ENAN M. ADIWILAGA.

Saguling Reservoir as multipurpose reservoir have many problem, one of that is organic matter loading with two sources. Internal source of organic matter loading is floating cage aquaculture. The Purpose of this study was to estimate status trophic and carrying capacity for floating cage aquaculture in Waduk Saguling. Most of floating cage cultivated cat fish (Pangasius sp) with artifical feed which contain 1,19% of phospat. Several of water quality parameter exceed quality standar, that means there has been contamination of organic material in the Saguling reservoir. Dissolved Oxygen content can reached lower than 1 mg/l on inlet reservoir, dissolved oxygen content can not support the growth of aquatic organisms in maximal condition. Based of trophic classification using TRIX method, the productivity of the Saguling Reservoir has reached eutrophic level. Estimating water carrying capacity use phosporus budget model was found that total acceptable production to be 12.460 tons/year.

Keywords : Trophic Status, Carrying Capacity, Saguling Reservoir, Floating Cage Aquaculture

(5)

RINGKASAN

REINDI MAULANA. Kajian Status Trofik Dan Daya Dukung Perairan Bagi Kegiatan Budidaya Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN dan ENAN M. ADIWILAGA

Ekosistem perairan Waduk Saguling saat ini mendapat masukan pencemar dari dalam perairan itu sendiri (Autochthonous) dan dari luar perairan (Allochthonous). Masukan Allochthonous pada Waduk Saguling bersumber dari buangan industri, domestik, dan pertanian yang berada di sekitar sungai Citarum. Masukan Autochthonous di Waduk Saguling adalah aktivitas karamba jaring apung (KJA) dan aktivitas domestik. Kegiatan Karamba Jaring Apung di Waduk Saguling Kabupaten Bandung memiliki dampak positif dan negatif, dampak positifnya ialah KJA di Waduk tersebut dapat membantu perekonomian warga sekitar. Selain dampak positif, kegiatan KJA di Waduk Saguling juga memiliki dampak negatif yaitu sebagai sumber limbah organik yang berasal dari sisa pakan ikan, ikan-ikan yang mati, dan sisa metabolisme ikan. Seiring semakin bertambahnya jumlah unit KJA dan pengelolaannya bersifat intensif di Waduk tersebut, maka limbah organik yang dihasilkan juga semakin besar sehingga akan mempengaruhi tingkat trofik atau kesuburan dan kelayakan kualitas air. Semakin besar beban pencemaran bahan organik yang masuk kedalam ekosistem Waduk Saguling akan mempengaruhi daya dukung perairan waduk bagi kegiatan perikanan yang akibatnya akan mengancam keberlangsungan fungsi-fungsi waduk Saguling itu sendiri.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui status trofik waduk, (2) Mengestimasi daya dukung perairan waduk saguling bagi kegiatan budidaya karamba jaring apung.

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa Parameter fisika, kimia, dan Biologi perairan yang diambil pada setiap stasiun pengamatan, kandungan Phospor pada pakan ikan, serta hasil wawancara terhadap pembudidaya KJA dan instansi terkait berupa data jenis pakan yang dipakai dalam kegiatan budidaya di karamba jaring apung, jenis ikan yang dibudidaya, Food Convertion Ratio (FCR), serta sistem pengelolaan karamba jaring apung. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait berupa Data fisik waduk (luas, volume air, total outflow, dan kedalaman rata-rata), dan jumlah KJA yang aktif. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, analisis data yang digunakan untuk parameter air adalah analisis statistik rancangan acak kelompok dengan tujuan melihat pengaruh kedalaman terhadap nilai yang didapat dan melihat pengaruh perbedaan stasiun terhadap nilai yang didapatkan dan uji duncan lanjut duncan; beban pencemaran bahan organik dengan analisis TRIX (Trophical Index), ; dan penentuan daya dukung perairan untuk budidaya perikanan dalam KJA menggunakan model daya dukung berdasarkan total limbah fosfor yang masuk ke dalam perairan Waduk Saguling.

(6)

Kelas Chlorophyceae ditemukan 5 genera yaitu Cosmarium, Closterium, Scenedesmus, Pediastrum, dan Spirogyra. Kelas Bacillariophyceae ditemukan 8 genera yaitu Fragillaria, Navicula, Surirella, Synedra, Nitzschia, Cymbella, Denticula, dan Gyrosigma. Kelas Dinophyceae ditemukan 2 genera yaitu Ceratium, dan Peridinium. Penyusun utama komunitas fitoplankton adalah Microcystis, Oscilatoria dari kelas cyanophyceae yang dapat ditemukan pada setiap stasiun dan kedalaman. Kelimpahan fitoplankton bervariasi mengikuti perubahan kedalaman. Kelimpahan maksimal sebesar 173355 cel/liter.

Beban pencemaran bahan organik berdasarkan analisis TRIX memperlihatkan bahwa perairan waduk Saguling dalam kondisi eutrofik dengan kisaran TRIX sebesar 3,81 – 4,8. Kondisi eutrofik pada waduk Saguling disebabkan karena adanya masukan pencemaran dari sungai Citraum dan aktivitas KJA didalam waduk, hal ini diperlihatkan oleh tingginya nilai total nitrogen, klorofil-a, dan total fosfat pada stasiun 2,3,dan 4.

Jenis ikan yang dibudidaya dalam KJA adalah ikan patin sebanyak 64%, dan selebihnya adalah ikan nila dan mas dengan nilai FCR sebesar 1 : 1,76. Kandungan fosfor didalam pakan komersial yang dipakai pembudidaya adalah 1,19% sehingga berdasarkan perhitungan Penv

Kisaran produksi ikan para petani KJA Waduk Saguling sebesar 2760 kg / petak / tahun sehingga jika produksi aman sebesar 12.460 ton/tahun maka didapatkan hasil berupa jumlah unit maksimal yang aman bagi perairan sebesar 4514 unit KJA. Oleh karena itu, Jumlah unit KJA aktif aktual sebesar 7209 unit di Waduk Saguling telah melebihi daya dukung sehingga perlu adanya pengaturan dan tindakan dari stakeholder Waduk tersebut. Jumlah unit KJA di Waduk Saguling akan terus bertambah setiap tahunnya, dengan memperhatikan data yang didapat dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat, jumlah unit KJA di Waduk Saguling akan terus bertambah tiap tahunnya dengan estimasi rata-rata pertambahan unit KJA sebesar 0,62 % dari kondisi awal oleh karena itu dibutuhkan pembatasan, memperketat perizinan, dan pengawasan yang baik terhadap oprasional KJA di Waduk Saguling serta sosialisasi kepada pembudidaya tentang sistem pengelolaan KJA yang efisien terutama manajemen pemberian pakan.

(7)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Udang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KAJIAN STATUS TROFIK DAN DAYA DUKUNG PERAIRAN BAGI KEGIATAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG DI WADUK

SAGULING JAWA BARAT

REINDI MAULANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Kajian Status Trofik Dan Daya Dukung Perairan bagi Kegiatan Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Reindi Maulana Nomor Pokok (NRP) : P052070181

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. drh. Akhmad Arif Amin

Ketua Anggota

Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)

Judul Tesis : Kajian Status Trofik Dan Daya Dukung Perairan bagi Kegiatan Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Reindi Maulana Nomor Pokok (NRP) : P052070181

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. drh. Akhmad Arif Amin

Ketua Anggota

Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(12)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Raab yang senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih-Nya, shalawat dan salam atas Kekasih Allah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Kajian Status Trofik dan Daya Dukung bagi Kegiatan Karamba Jaring Apung di Waduk Saguling Jawa Barat. Usulan ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan yang tak hingga selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

2. Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA (almarhum) selaku ketua komisi pembimbing awal, Dr. drh. Akhmad Arif Amin sebagai ketua pembimbing komisi dan Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga sebagai anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, motivasi dan pikiran dalam penyusunan tesis ini. Semoga semuanya menjadi ibadah yang tiada putusnya dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari ALLAH SWT. Amin.

3. Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku penguji luar dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M. Sc selaku penguji Program Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, atas segala waktu, pikiran dan pengetahuan yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini.

(13)

5. Segenap Keluarga penulis di Bandung yang tidak pernah berhenti untuk mendukung penulis dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi dan kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, sehingga kekurangan–kekurangan yang menyertai merupakan gambaran keterbatasan manusia. Oleh karena itu, saran, kritik dan sumbangan pemikiran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap, semoga hasil ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.

.

Bogor, Agustus 2010

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada hari Jumat, 28 September 1984 dari pasangan Thamrin Munir dan Lili Hadiana di Tembagapura, Papua. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis masuk Sekolah Dasar Pelita Kota Bekasi pada tahun 1990 dan tamat tahun 1996. Kemudian melanjutkan studi pada tahun 1996 pada jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 Bogor dan tamat pada tahun 1999. Setelah menamatkan SLTP, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Bina Bangsa Sejahtera Bogor dan tamat pada tahun 2002.

(15)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ekosistem Perairan Waduk Saguling ... 5

2.2 Eutrofikasi ... 8

2.3 Bahan Organik di Perairan ... 11

2.4Karamba Jaring Apung ... 11

2.5Daya Dukung Perairan ... 14

2.6Parameter Fisika ... 15

2.6.1 Kekeruhan dan Kecerahan ... 15

2.6.2 Total Suspended Solid ... 15

2.6.3 Suhu ... 16

2.7Parameter Kimia ... 17

2.7.1 pH ... 17

2.7.2 Nitrogen ... 18

2.7.3 Total Fosfor ... 19

2.7.4 Oksigen Terlarut dan Oksigen Saturasi... 20

2.7.5 COD ... 21

2.8Parameter Biologi ... 22

2.8.1 Klorofil a ... 22

(16)

2.9Permodelan Estimasi Daya Dukung Lingkungan untuk Karamba Jaring Apung

3.4 Metode Penentuan Stasiun Pengamatan dan Titik Sampel ... 27

3.5 Metode Pengambilan Sampel Air dan Fitoplankton ... 27

3.6 Analisis dan Identifikasi Struktur Komunitas Fitoplankton ... 28

3.7 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 28

3.8 Analisis Klorofil-a... 30

3.9 Metode Estimasi Tingkat Trofik Perairan ... 30

3.10 Metode Estimasi Daya Dukung untuk Kegiatan KJA ... 31

3.10.1 Metode Estimasi Total-P dari Pakan Ikan yang Masuk ke Lingkungan 31 3.10.2 Estimasi Produksi Ikan Maksimal yang Dapat Diterima Lingkungan .. 31

3.11 Analisis Statistik Parameter Kualitas Air ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Keadaan Umum Waduk Saguling Pada Saat Penelitian ... 34

4.2 Kondisi Kualitas Perairan Waduk Saguling ... 35

(17)

4.2.3.1 Klorofil a ... 49

4.2.3.2 Fitoplankton ... 50

4.3 Status Trofik Perairan Waduk Saguling berdasarkan Indeks TRIX ... 55

4.4 Daya Dukung Perairan Waduk Saguling untuk Kegiatan KJA………….…… 56

4.6 Pembahasan Manajemen KJA yang Didasarkan Nilai Daya Dukung ... 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1 Kesimpulan ... 64

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Trophic state index (TSI) dan parameternya ... 9

2. Parameter fisika dan kimia Kualitas Perairan ... 29

3. Data hidrologi dan morfologi Waduk Saguling ... 34

4. Kisaran nilai suhu berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 35

5. Kisaran nilai kekeruhan berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 36

6. Kisaran nilai TSS berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 39

7. Kisaran nilai DO berdasarkan rataan dan standar deviasi... 41

8. Kisaran nilai DO saturasi berdasarkan rataan dan standar deviasi. ... 43

9. Kisaran nilai total nitrogen berdasarkan rataan dan standar deviasi... 44

10.Kisaran nilai total fosfat berdasarkan rataan dan standar deviasi ………...….. 46

11.Kisaran nilai COD berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 47

12.Kisaran nilai klorofil-a berdasarkan rataan dan standar deviasi ... 49

13.Komposisi genera fitoplankton... 52

14.Nilai TRIX pada setiap stasiun………...….…….. 55

15.Hidromorfologi Waduk Saguling dan perhitungan flushing rate……..…..….. 59

(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ... 3

2. Waduk Saguling ... 5

3. Hubungan antara status trofik dengan total phospat (TP) ... 10

4. Hubungan antara status trofik dengan kandungan chlorophyl-a ... 10

5. Karamba jaring apung di Waduk Saguling ... 12

6. Ukuran dan tipe KJA di Waduk Saguling ... 13

7. Letak stasiun penelitian ... 29

8. Grafik fluktuasi suhu rata-rata pada kedalaman berbeda ... 36

9. Grafik fluktuasi kekeruhan rata-rata pada kedalaman berbeda ... 38

10.Grafik fluktuasi TSS rata-rata pada kedalaman berbeda ... 40

11.Grafik fluktuasi DO rata-rata pada kedalaman berbeda... 42

12.Grafik fluktuasi DO saturasi rata-rata pada kedalaman berbeda... 43

13.Grafik fluktuasi total nitrogen rata-rata pada kedalaman berbeda ... 45

14.Grafik fluktuasi total fosfat rata-rata pada kedalaman berbeda... 46

15.Grafik fluktuasi COD rata-rata pada kedalaman berbeda... 48

16.Grafik fluktuasi klorofil-a rata-rata pada kedalaman berbeda ... 50

17.Komposisi genera fitoplankton pada tiap kelas ... 51

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuisioner wawancara pembudidaya KJA ... 69

2. Data dasar parameter fisika, kimia, dan biologi perairan ... 73

3. Analisis statistik suhu ... 78

4. Analisis statistik kekeruhan ... 79

5. Analisis statistik TSS ... 80

6. Analisis statistik DO ... 81

7. Analisis statistik total nitrogen ... 82

8. Analisis statistik total fosfat ... 83

9. Analisis statistik COD ... 84

10.Analisis statistik klorofil-a ... 85

11.Kelimpahan total fitoplankton pada setiap kelas di bulan Juli ... 86

12.Kelimpahan total fitoplankton pada setiap kelas di bulan Agustus ... 87

(21)

1.1 Latar Belakang

Waduk Saguling adalah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan salah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Dua waduk lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata. Fungsi utama Waduk Saguling dipergunakan untuk satu tujuan (single purpose) yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Menurut International Lake Committee / ILEC, pada saat ini Waduk Saguling dimanfaatkan untuk beberapa keperluan (multipurpose), yaitu transportasi, budidaya perikanan, dan pariwisata. Berbagai masalah lingkungan muncul akibat kurangnya rencana pengelolaan waduk “multipurpose” ini, bahkan saat ini Waduk Saguling digunakan oleh penduduk sekitar untuk kegiatan domestik (ILEC, 2008). Fungsi waduk yang diperuntukan untuk beberapa keperluan dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan waduk yang dipergunakan untuk satu tujuan, akan tetapi perlu diperhitungkan daya dukung lingkungan untuk masing-masing fungsi perairan tersebut agar tidak terjadi kerusakan ekosistem. Daya dukung suatu ekosistem penting untuk dijaga, karena daya dukung dapat berkurang sejalan dengan berkembangnya aktivitas dan tehnologi yang digunakan manusia.

(22)

menyebabkan menurunnya daya dukung perairan Waduk Saguling. Jumlah karamba jaring apung aktif di Waduk Saguling pada tahun 2008 berjumlah 7209 unit. Keberadaan karamba jaring apung di Waduk Saguling dapat bermanfaat secara ekonomi bagi penduduk sekitar, akan tetapi perlu diperhatikan pengelolaannya agar keberlanjutan fungsi waduk dapat terus dimanfaatkan. Penelitian tentang daya dukung perairan untuk kegiatan karamba jaring apung perlu dilakukan sebagai faktor penting dalam manajemen perairan Waduk Saguling.

1.2 Kerangka Pemikiran

Terdapat tiga faktor utama (gambar 1) yang akan menentukan kualitas air Waduk Saguling, faktor pertama yaitu masukan internal dari aktivitas karamba jaring apung (KJA) dan domestik rumah tangga; faktor kedua adalah masukan eksternal berupa domestik rumah tangga, industri, dan pertanian; dan faktor ketiga adalah hidromorfologi waduk. Ketiga faktor tersebut akan mengalami proses dan interaksi yang akhirnya akan menentukan kualitas air Waduk Saguling itu sendiri.

Kegiatan KJA di Waduk Saguling juga memiliki dampak negatif yaitu sebagai sumber limbah organik yang berasal dari sisa pakan ikan, ikan-ikan yang mati, dan sisa metabolisme ikan sehingga akan menyebabkan perubahan kualitas fisika, kimia, dan biologi Waduk Saguling. Perubahan kualitas fisik, kimia, dan biologi perairan waduk juga disebabkan oleh pencemar allochthonous yang sebagian berasal dari masukan air dari Sungai Citarum. Peningkatan bahan organik yang berasal dari sumber pencemar tersebut akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Perubahan kualitas fisik, kimia, dan biologi juga terkait dengan hidromorfologi waduk seperti outflow dan volume waduk yang mempengaruhi tingkat pencucian (flushing rate).

(23)

sehingga dapat diketahui berapa produksi total dan jumlah unit karamba yang dapat mendukung fungsi-fungsi waduk secara berkelanjutan.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui status trofik Waduk Saguling

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

(25)

2.1 Ekosistem Perairan Waduk Saguling

Waduk adalah perairan yang terbentuk karena adanya pembendungan aliran sungai, yang ditujukan untuk berbagai keperluan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), irigasi, pengendali banjir, sumberbaku air minum, perikanan dan pariwisata. Waduk Saguling adalah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut (Gambar 2).

Gambar 2. Waduk Saguling

(26)

Waduk Saguling adalah waduk yang terletak pada bagian hulu dari tiga Waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Setelah aliran Sungai Citarum masuk ke dalam Waduk Saguling, selanjutnya aliran Sungai Citarum masuk ke waduk Cirata dan Jatiluhur yang terletak di atas Waduk Saguling. Waduk Saguling dikelilingi oleh topografi daerah yang berbukit-bukit, dimana Sungai Citarum memiliki banyak aliran sungai sehingga Waduk Saguling memiliki karakteristik bentuk sebagai waduk dendritik.

Waduk memiliki beberapa karakteristik bentuk, seperti bentuk longitudinal dan dendritik. Karakteristik waduk dengan bentuk dendritik disebabkan karena pada wilayah waduk tersebut berbukit-bukit dan sungai yang dibendung memiliki banyak aliran sungai sehingga menyebabkan waduk berbentuk dendrtik. Menurut Cooke et al. (2005), waduk secara umum memiliki 3 karakteristik zona, yaitu:

1. Riverine Zone

Riverine zone adalah daerah inlet Waduk sehingga umumnya berbentuk lekukan dan berukuran lebih sempit dari zona lainnya. Kecepatan arus pada zona ini tinggi dan penetrasi cahaya yang kecil karena kekeruhan perairan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi pada zona ini disebabkan tingginya kandungan padatan tersuspensi. Kekeruhan tersebut juga mempengaruhi kemampuan fitoplankton dan algamakro untuk melakukan fotosintesis. Zona Riverine biasanya memiliki kandungan nutrien yang tinggi sehingga keadaan zona ini umumnya eutrofik.

2. Transitional Zone

(27)

3. Lacustrine Zone

Lacutrine zone adalah zona yang berada setelah zona transisi yang dicirikan dengan kedalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan transitional zone tetapi lebih dalam dari riverine zone, memiliki daerah yang paling luas, kecepatan arus sangat rendah dibandingkan dengan zona lainnya. Kecerahan perairan pada zona ini sangat tinggi yang disebabkan karena kandungan nutrien dan padatan tersuspensi sangat rendah. Rendahnya kandungan nutrien ini berpengaruh pada kelimpahan fitoplankton yang umumnya rendah pada zona ini sehingga zona ini umunya memiliki keadaan oligotrofik.

(28)

lingkungan adalah sebesar 34279 ton per tahun pada tahun 2005. Hasil tersebut menunjukkan bahwa produksi ikan pada tahun 2005 masih lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung perairan waduk dengan catatan bahwa kadar oksigen terlarut mengalami defisit sehingga disarankan budidaya KJA untuk jenis-jenis ikan tertentu saja. Hasil penelitian pada tahun 2005 perlu ditindaklanjuti pada saat ini, khususnya masukan bahan organik yang diduga menjadi penyebab utama masalah defisit oksigen dan dengan adanya perubahan jumlah KJA yang aktif di tahun 2009.

Daya dukung perairan waduk sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan perairan waduk itu sendiri. Tingkat kesuburan perairan tergenang termasuk perairan waduk dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air, fitoplankton, jenis ikan, dan produktivitas primer. Menurut Scholten et al. (2005), Berdasarkan tingkat kesuburannya, maka perairan tergenang diklasifikasikan menjadi 4 kelas sebagai berikut :

1. Oligotrofik (miskin unsur hara dan produktivitas rendah): perairan dengan produktivitas primer dan biomassa rendah. Perairan ini memilki kadar unsur hara nitrogen dan fosfor rendah, namun cendrung jenuh dengan oksigen.

2. Mesotrofik (Unsur hara dan Produktivitas sedang) : Perairan dengan produktivitas primer dan biomassa sedang. Perairan ini merupakan peralihan antara oligotrofik dan eutrofik.

3. Eutrofik (kaya unsur hara dan Produktivitas tinggi) : Perairan dengan kadar unsur hara dan tingkat produktivitas primer tinggi. Perairan ini memilki tingkat kecerahan yang rendah dan kadar oksigen pada lapisan hipolimnion dapat lebih kecil dari 1 mg/liter.

4. Hiper-eutrofik : perairan dengan kadar unsur hara dan produktivitas primer sangat tinggi. Pada perairan ini, kondisi anoksik terdapat pada lapisan hipolimnion.

2.2 Eutrofikasi

(29)

tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas fitoplankton, hal ini disebabkan fitoplankton membutuhkan nutrient-nutrien tertentu yang menjadi batasannya. Menurut Scholten et al. (2005), perairan yang mengalami eutrofikasi memiliki ciri meningkatnya kelimpahan cyanobakteri dan menurunnya kelimpahan organisme lainnya sehingga menyebabkan kekeruhan perairan tinggi, anoksik, timbul bau tidak sedap, dan munculnya penyakit yang disebabkan meningkatnya populasi chironomide dan culex.

Bebagai pendekatan telah banyak dilakukan untuk mengukur tingkat eutrofikasi, diantaranya adalah dengan metode Trophic state index (TSI) yang dikemukakan oleh Carlson (1977) dalam Cooke et al. (2005). Pengukuran ini menggunakan tiga parameter, yaitu kandungan phosphor pada permukaan, kandungan chlorofil-a permukaan, dan kecerahan secchi. Tabel 1 merupakan nilai-nilai parameter yang digunakan dalam TSI : Table 1. Trophic state index (TSI) dan parameternya

Menurut Cooke et al. (2005), metode TSI adalah metode yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat eutrofikasi suatu perairan, akan tetapi metode TSI memiliki kelemahan-kelemahan yaitu tidak dapat digunakan pada waduk yang memiliki kekeruhan yang tidak hanya disebabkan oleh fitoplankton, hal ini dikarenakan dalam metode TSI kekeruhan hanya diasumsikan dari keberadaan fitoplankton, dan metode TSI parameter

(30)

menggunakan parameter fosfor permukaan, oleh karena itu tidak dapat digunakan pada waduk yang memiliki keberadaan makrophyta yang tinggi.

Metode lainnya yang sering digunakan dalam penentuan status trofik suatu perairan yaitu TRIX / trophic index (Jorgensen et al. , 2005) model ini menggunakan 4 parameter yaitu total nitrogen (TN), total phosphor (TP), klorofil-a, dan oksigen terlarut saturasi (%). Menurut Scholten (2005), Penggunaan konsentrasi total phosphor pada permukaan perairan (TP) sering digunakan sebagai indikator status trofik karena disini diasumsikan phosphor adalah salah satu nutrient yang sangat diperlukan oleh pertumbuhan alga. Scholten et al. (2005) juga mengatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara tingkatan trofik dengan kandungan phosphor (Gambar 3) dan hubungan antara tingkatan trofik dengan kandungan chlorophyl-a (Gambar 4).

Gambar 3. Hubungan antara status trofik dengan total phospat (Scholten et al. 2005)

Gambar 4. Hubungan antara status trofik dengan kandungan chlorophyl-a (Scholten et al. 2005)

(31)

suatu perairan. Penelitian tersebut menyimpulkan dengan mereduksi fosfor sebesar 20% - 80% maka akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas perairan dari status eutrofik menjadi mesotrofik dan oligotrofik.

2.3 Bahan Organik Di Perairan

Karbon (C) yang merupakan penyusun utama bahan organik adalah elemen atau unsur yang melimpah pada semua mahluk hidup. Jenis bahan organik dalam perairan adalah senyawa-senyawa organik dalam bentuk larutan (berukuran <0.5 µ m), partikel-partikel besar (>0,5 µ m), yang berasal dari organisme hidup maupun organisme yang telah mati (Basmi, 1991).

Calf dan Eddy (1979) membedakan bahan organik berdasarkan sumbernya menjadi tiga macam yaitu:

a) Bahan organik yang berasal dari limbah domestik, sebagian besar terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan minyak.

b) Bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, minyak, lemak, dan fenol.

c) Bahan organik yang berasal dari limbah pertanian seperti pestisida

Menurut Nuryanto (2001), Bahan organik yang masuk ke perairan Waduk Saguling berasal dari ketiga sumber diatas yang sebagian besar berasal dari DAS Citarum dan anak-anak sungainya.

Kandungan bahan organik dalam perairan akan mengalami peningkatan yang disebabkan buangan dari rumah tangga, pertanian, industri, limpasan permukaan tanah, dan kegiatan perikanan. Total Fosfor dapat memberikan gambaran besaran bahan organik di perairan, karena menurut Bronmark dan Hansson (2005), sebagian besar bentuk fosfor (lebih dari 80%) didalam perairan adalah dalam bentuk organik

2.4 Karamba Jaring Apung

(32)

para nelayan untuk menyimpan ikan yang belum layak konsumsi selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali ketika sudah mencapai ukuran konsumsi. Budidaya ikan pada karamba jaring apung pertama kali digunakan oleh Masyarakat Cina pada Dinasti Han sekitar 2200 tahun yang lalu menggunakan rangkaian bambu. Di Indonesia, kegiatan karamba jaring apung dimulai sekitar tahun 1920-an di Sungai Mungdung Sulawesi dengan cara menangkap ikan pada sungai tersebut dan membesarkannya pada karamba (Beveridge, 2004). Kegiatan karamba jaring apung modern saat ini menggunakan tiga prinsip manipulasi daur hidup ikan, yaitu mengontrol reproduksi, mengontrol pertumbuhan, dan meminimalkan penyebab-penyebab kematian alami ikan.

Kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung merupakan kegiatan budidaya yang cocok diterapkan pada perairan tertutup termasuk waduk. Kegiatan KJA di Waduk Saguling (Gambar 5) pada awalnya adalah program pemerintah dalam pelaksanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan waduk (re-settlement). Awal program tersebut adalah memperkenalkan tehnologi budidaya pada karamba kepada 3000 rumah tangga dari 40000 rumah tangga yang ditempatkan disekitar Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (Pierce, 2002). Aktivitas karamba jaring apung di Waduk Saguling dilakukan dengan budidaya intensif dengan sebagian besar ikan yang dibudidaya saat ini adalah ikan patin selama 12 bulan waktu pemeliharaan.

(33)

Sistem budidaya intensif yaitu sistem budidaya yang mengandalkan pakan buatan berupa pellet sebagai sumber makanan utamanya. Karamba pada Waduk Saguling rata-rata menggunakan pakan sebesar 16 – 18 kg dalam satu petak perharinya. Pakan yang diberikan tidak seluruhnya dapat dikonsumsi oleh ikan-ikan yang dibudidayakan, oleh karena itu sebagian pakan yang tidak dikonsumsi akan menyumbang bahan organik ke perairan. Sisa pakan yang terkonsumsi oleh ikan akan dibuang dalam bentuk feses ikan sehingga akan menyumbang bahan organik di perairan.

Tipe KJA (Gambar 6) yang digunakan oleh petani budidaya di Waduk Saguling adalah tipe kuadrat dengan ukuran 7 x 7 m2 dengan kedalaman rata-rata 2,5 meter. Sebagian petani KJA menggunakan jaring lapis dengan membudidaya 2 jenis ikan dalam satu karamba yaitu ikan mas di lapisan atas dan ikan nila pada jaring lapisan bawah. Ikan yang dibudidayakan umumnya adalah ikan patin, nila, ikan mas, dan sebagian kecil ikan gurame. Seiring dengan waktu, karamba jaring apung di Waduk Saguling semakin banyak sehingga masukan bahan organik dari aktivitas karamba jaring apung akan dapat berdampak negatif dan dapat dikategorikan sebagai polutan perairan. Sistem pengoprasian karamba jaring apung yang kurang memperhatikan cara pemberian pakan, tata letak, dan daya dukung perairan akan menimbulkan masalah pada ekosistem perairan. Daya dukung perairan dapat menurun akibat cemaran aktivitas karamba jaring apung.

Gambar 6. Ukuran dan tipe KJA di Waduk Saguling Tipe jaring tunggal Tipe jaring lapis

7

7

2,5 Ikan

(34)

2.5 Daya Dukung Perairan

Menurut Wardhana (2004), daya dukung alam dapat diartikan sebagai kemampuan alam atau ekosistem untuk mendukung kehidupan biota di dalamnya dan kehidupan manusia sebagai pengguna ekosistem. Berkurangnya daya dukung akan berakibat pula terhadap kemampuan alam untuk mendukung kehidupan manusia. Daya dukung suatu ekosistem penting untuk dijaga, karena daya dukung dapat berkurang sejalan dengan berkembangnya aktivitas dan tehnologi yang digunakan manusia.

Beveridge (2004) mengatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan bagi kegiatan budidaya perairan lebih menekankan pada bagaimana mewujudkan kegiatan produksi budidaya perairan yang berkelanjutan dengan menetapkan beberapa kriteria pembatas. Kegiatan budidaya yang berkelanjutan adalah kegiatan budidaya yang dapat mendukung faktor lingkungan sehingga kegiatan budidaya tersebut dapat dilakukan terus menerus. Menurut FAO (1991) dalam Pillay (2004), kegiatan yang berkelanjutan adalah kegiatan yang mengelola dan meng-konservasi dalam mengekstrasi sumberdaya alam dan berorientasi pada penggunaan tehnologi tepat guna untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan generasi selanjutnya.

Dalam menentukan daya dukung lingkungan bagi kegiatan budidaya perairan digunakkan berbagai macam permodelan, permodelan-permodelan tersebut menggunakan 4 prinsip dasar pertimbangan, yaitu:

1. Bagaimana menentukan tingkat produktivitas perairan.

2. Pakan yang digunakan dalam kaitannya dengan masukan limbah pakan. 3. Bagaimana respon lingkungan dari adanya masukan limbah.

4. Sejauh mana perubahan lingkungan yang dapat dianggap aman bagi ekosistem. Daya dukung lingkungan juga sangat erat kaitanya dengan kapasitas assimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam suatu ekosistem tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi merupakan ukuran kemampuan air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air (Pillay, 2004).

(35)

dan Rigler (1974) dapat digunakan sebagai rencana awal pengembangan danau dan waduk berbasis daya dukung.

2.6 Parameter Fisika

2.6.1 Kekeruhan dan Kecerahan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1987) mengatakan, kekeruhan perairan yang tinggi tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Kekeruhan perairan berbanding lurus dengan padatan tersuspensi, sehingga semakin tinggi padatan tersuspensi maka kekeruhan perairan akan semakin tinggi, berbeda halnya dengan tingginya kandungan padatan terlarut tidak selalu dikut i oleh tingginya nilai kekeruhan (APHA, 1992). Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya.

Kecerahan perairan ditentukan oleh warna dan kekeruhan perairan. Semakin tinggi kecerahan maka semakin dalam penetrasi cahaya yang dapat masuk kedalam air, yang selanjutnya akan menentukan kedalaman lapisan air yang produktif. Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan piringan secchi.

2.6.2 Total Suspended Solid

(36)

Besarnya padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menurunkan penetrasi cahaya, sehingga akan dapat menurunkan aktivitas fotosintesis berbagai alga perairan, termasuk didalamnya fitoplankton. Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Subarijanti, 1990).

Padatan tersuspensi dapat menyebabkan dampak langsung dan tidak langsung pada biota perairan. Dampak langsung yang akan dirasakan oleh biota perairan adalah 1) gangguan langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi predator dan filter feeding). Dampak tidak langsung akibat tingginya padatan tersuspensi adalah meningkatnya kekeruhan perairan yang akan menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis sehingga produktivtas primer akan menurun. Menurut Newcombe dan Macdonald (1991), selain konsentrasi TSS yang tinggi, durasi konsentrasi TSS yang tinggi di dalam perairan juga berpengaruh terhadap organisme perairan. Kandungan total padatan tersuspensi pada kegiatan perikanan adalah kurang dari 80 mg/l.

2.6.3 Suhu

Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen dalam air. Menurut Canter dan Hill (1979), suhu mempunyai pengaruh yang utama dalam proses alami dalam suatu perairan, yaitu menentukan fungsi fisiologis suatu organisme dan mempengaruhi perubahan kualitas perairan. Menurut Mason (1981), bahwa fluktuasi suhu dalam air akan berpengaruh terhadap kehidupan didalamnya. Peningkatan dan penurunan suhu dalam air dipengaruhi oleh derajat ketinggian tempat, komposisi substrat, kekeruhan, curah hujan, angin, suhu masukan (limbah), dan reaksi kimia yang terjadi. Setiap organisme akuatik mempunyai kisaran tersendiri terhadap suhu.

(37)

dengan lapisan dibawahnya. Akibat dari perbedaan suhu pada berbagai ke dalam waduk, menyebabkan terjadinya stratifikasi suhu pada perairan. Stratifikasi suhu pada waduk secara umum dikategorikan menjadi dua strata, yaitu lapisan epilimnion (hangat, oksigen terlarut tinggi, dan memiliki keanekaragaman alga yang tinggi), dan hipolimnion (dingin, oksigen terlarut rendah dan cendrung anoxik, dan biasanya banyak mengandung Fe3+, Mn3+, H2S) (UNESCO, 1996).

Fluktuasi suhu di perairan akan mempengaruhi berbagai macam parameter perairan yang lain. Suhu perairan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya reaksi kimia perairan dan menurunkan kelarutan gas-gas di dalam air (Scholten et al, 2005). Lebih lanjut dikatakan oleh Welch dan Jacoby (2004), meningkatnya suhu di perairan akan menyebabkan metabolisme organisme perairan meningkat diikuti dengan meningkatnya konsumsi oksigen dan meningkatnya dekomposisi bahan-bahan organik.

2.7 Parameter Kimia 2.7.1 pH

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen (Barus, 2002). pH air dipengaruhi oleh bentuk dari karbondioksida dalam perairan, pada pH air yang rendah (pH=4) karbondioksida terdapat dalam bentuk terlarut, pada pH antara 7 sampai 10 semuanya membentuk ion HCO3-, sementara pada pH sekitar 11 umumnya dijumpai ion CO3

-Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya antara 7 sampai 8,5. Kondisi pH yang sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan

.

(38)

hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2002).

2.7.2 Nitrogen

Nitrogen adalah unsur yang esensial bagi organisme untuk pembentukan protein dan material genetik. Tumbuhan dan mikroorganisme perairan berperan dalam merubah bentuk anorganik nitrogen (nitrat-NO3-, nitrit-NO2-, ion ammonium NH4+) menjadi bentuk organik seperti amino acids (UNESCO, 1996). Total nitrogen adalah gambaran nitrogen dalam bentuk anorganik yang berupa N-NO3, N-NO2, dan N-NH3 yang bersifat larut dan nitrogen organik yang berupa partikulat yang tidak larut dalam air (Abel, 1989). Ammonia (NH3)

Sumber ammonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam air dan tanah yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik lain yang telah mati) oleh mikroba dan jamur, feses biota perairan, reduksi gas nitrogen yang berasal dari difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik (Effendi, 2003). Lebih lanjut dikatakan oleh Welch dan Jacoby (2004), ammonia didalam perairan terdapat dalam 2 bentuk yaitu ammonia (NH3) dan ion ammonium (NH4-) yang keduanya disebut sebagai total ammonia. Konsentrasi ammonia (NH3) yang tinggi dapat menyebabkan kondisi toksik bagi organisme perairan. Perairan alami biasanya memiliki konsentrasi total ammonia kurang dari 0,1 mg/l N dan dapat mencapai lebih dari 2 mg/l N pada perairan yang terindikasi adanya masukan polutan organik, limbah industri, dan run-off. Ammonia dapat dijadikan indikator polusi organik (UNESCO, 1996).

(39)

Pada perairan dengan kondisi alami, konsentrasi nitrat tidak melebihi 0,1 mg/l NO3-N. Pada kondisi perairan yang mengalami masukan dari limbah industri dan leachate dari sanitary landfill mengandung konsentrasi nitrat lebih dari 0,1 mg/l NO3-N (UNESCO, 1996). Lebih lanjut dikatakan oleh Effendi (2003), perairan yang memiliki konsentrasi nitrat sebesar 5 mg/l NO3-N biasanya perairan tersebut telah terindikasi tercemar oleh aktivitas manusia dan tinja hewan.

2.7.3 Total Fosfor

Fosfor adalah nutrien yang sangat penting bagi organisme yang digunakan dalam proses dasar pembentukan dan transpor informasi genetik (DNA / deoxyribonucleic acid dan RNA / ribonucleid acid), metabolisme sel, dan dalam proses pembentukan energi didalam sel (adenosine triphospate / ATP). Sebagian besar bentuk fosfor (lebih dari 80%) didalam perairan adalah dalam bentuk organik, oleh karena itu analisa fosfor didalam perairan dapat menggambarkan besaran bahan organik didalam perairan (Bronmark dan Hansoon, 2004). Total fosfor adalah suatu nilai yang menunjukkan besaran fosfor baik dalam bentuk organik maupun dalam bentuk anorganik, oleh karena itu total fosfor sering digunakan dalam menentukan kesuburan suatu perairan (Welch, 1980).

(40)

Total Fosfor menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik. Menurut Bronmark dan Hansson (2005), kesuburan perairan tawar dapat dikategorikan menurut nilai total fosfor, yaitu oligotrophic jika perairan tersebut memiliki kisaran total fosfor 0.005 – 0.01 mg/l, mesotrophic jika perairan tersebut memiliki kisaran fosfor 0.01 – 0.03 mg/l, eutrophic jika perairan tersebut memiliki kisaran total fosfor 0.03 – 0.1 mg/l, dan hypereutrophik jika perairan tersebut memiliki kisaran total fosfor lebih besar dari 0.1 mg/l. Metode estimasi menggunakan beban limbah fosfor menggunakan asumsi bahwa partikulat fosfor akan tenggelam kedalam sedimen dan fosfor terlarut akan lebih lama di permukaan dan badan perairan (Lung et al. 1976).

2.7.4 Oksigen Terlarut dan Oksigen Saturasi

Oksigen terlarut sangat penting keberadaannya bagi organisme perairan sehingga sering digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan perairan. Fluktuasi suhu di perairan akan mempengaruhi berbagai macam parameter perairan yang lain. Suhu perairan yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya reaksi kimia perairan dan menurunkan kelarutan gas-gas di dalam air (Scholten et al. 2005). Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup didalam air maupun hewan terestrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak menggunakan oksigen pada waktu penguraian bahan organik tersebut berlangsung. Barus (2002) menjelaskan bahwa perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat berpengaruh langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri.

Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen terlarut di suatu perairan, yaitu:

(41)

2. Tipe clinograde : terjadi pada perairan yang memilki unsur hara tinggi. Pada tipe ini oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau bahkan habis sebelum mencapai dasar perairan.

3. Tipe heterograde : Tipe ini fotosintesis terjadi dominan di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.

Presentase kadar oksigen saturasi adalah presentase yang didapatkan dari perbandingan antara kadar oksigen terlarut yang terukur di perairan dengan kadar oksigen terlarut secara teoritis. Oksigen saturasi dapat dibagi dua yaitu kadar oksigen jenuh dan kadar oksigen tidak jenuh. Kadar oksigen saturasi jenuh terjadi jika kadar oksigen terlarut di perairan sama dengan kadar oksigen terlarut secara teoritis. Kadar oksigen tidak jenuh terjadi jika kadar oksigen terlarut di perairan lebih kecil daripada kadar oksigen secara teoritis (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).

Konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan bervariasi tergantung dari suhu, salinitas, aktivitas fotosintesis oleh alga dan tumbuhan air, dan tekanan atmospher. Sebagai contoh, kelarutan oksigen akan menurun ketika suhu meningkat dan salinitas meningkat. Menurut Holmer et al. (2008), Kegiatan budidaya perairan termasuk karamba jaring apung akan memiliki dampak yaitu pakan yang terbuang dan feses ikan yang akan mengendap di sedimen sebagai bahan organik, sehingga jika aktivitas budidaya tersebut tidak terkontrol maka akan terjadi peningkatan proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri yang memerlukan oksigen dalam prosesnya. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut. Pada perairan tawar, konsentrasi oksigen terlarut dibawah < 4 mg/l akan menyebabkan ketidaknormalan pertumbuhan organisme perairan dan konsentrasi oksigen terlarut dibaawah 2 mg/l akan menyebabkan kematian sebagian besar organisme perairan (UNESCO, 1996).

2.7.5 COD

(42)

bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, seperti selulosa, tanin, lignin, polisakarida, benzena, dan yang lainnya.

Perairan yang memiliki nilai COD kurang dari 20 mg/l digolongkan pada perairan yang tidak tercemar, sedangkan pada perairan yang tercemar biasanya memiliki nilai COD lebih dari 200 mg/l dan pada perairan yang menerima masukan limbah industri biasanya memiliki nilai COD 60.000 mg/l (UNESCO, 1996).

2.8 Parameter Biologi 2.8.1 Klorofil a

Klorofil secara umum merupakan suatu bentuk molekul yang sangat komplek yang tersusun dari empat cincin karbon yang mengelilingi satu atom magnesium. Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis utama yang terdapat pada semua jenis alga dan memiliki rumus kimia C55H72O5N4

Jumlah klorofil a pada setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh karena itu komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap klorofil a di perairan. Tinggi rendahnya konsentrasi klorofil fitoplankton dapat dijadikan petunjuk kelimpahan sel fitoplankton dan potensi bahan organik di suatu perairan (Arinardi, 1996). Pigmen klorofil-a dapat diukur dengan cara ekstrasi dan menggunakan spektrofotometer. Sampel klorofil yang akan diukur di laboratorium sebaiknya menggunakan botol polyethylen yang ditutup dengan kertas gelap untuk mencegah

(43)

masuknya cahaya kedalam botol sehingga dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton pada sampel, dan menggunakan magnesium karbonat sebagai zat pengawet, Sampel klorofil ini hanya dapat bertahan selama 8 jam (UNESCO, 1996)

2.8.2 Fitoplankton

Plankton merupakan organisme hidup yang melayang dalam air laut, payau dan tawar yang pergerakanya secara pasif tergantung pada arus dan angin (Herawati, 2005). Fitoplankton adalah plankton yang bersifat nabati / tumbuhan. Fitoplankton sebagian besar merupakan organisme autotropik dan menjadi produsen primer, dengan demikian fitoplankton bersifat sebagai dasar atau base line dari jaring-jaring makanan pada lingkungan perairan.

Fitoplankton sebagai organisme primer mikro yang sangat penting keberadaannya di dalam ekosistem perairan akan terkena dampak oleh kerusakan perairan akibat aktivitas karamba jaring apung baik secara langsung ataupun tidak langsung oleh karena itu fitoplankton dapat menentukan seberapa besar kesuburan suatu perairan. Peranan organisme mikro sebagai produsen primer sangat penting dalam suatu perairan karena produsen berarti “pembuat”, dalam hal ini membuat bahan organik dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis sehingga keseimbangan antara bahan organik dan anorganik di dalam perairan dapat berlangsung baik. Keberadaan fitoplankton sebagai organisme primer di dalam suatu ekosistem perairan sangat penting karena akan mempengaruhi tingkat organisme yang lebih tinggi dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia yang mengambil manfaat dari keberadaan ekosistem perairan tersebut.

(44)

dari jenis Cladophora glomerata dapat menggambarkan bahwa suatu perairan telah terkontaminasi polutan organik jika spesies tersebut ditemukan dalam jumlah tertentu dan relatif mendominasi perairan. Contoh lain adalah dari jenis Microsystis sp biasanya ditemukan pada perairan yang terkena dampak dari pembuangan bahan organik.

2.9 Permodelan Estimasi Daya Dukung Lingkungan Untuk Karamba Jaring Apung Intensif

Metode Estimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan KJA berbeda tergantung dari tipe KJA. Hal tersebut disebabkan perbedaan dalam produktifitas perairan pada KJA extensif, semi-intensif, dan intensif. Pada KJA extensif lebih mengandalkan pada produktiftas perairan secara alami dalam konsumsi ikan tanpa ada pemberian pakan tambahan, pada KJA semi-intensif memanfaatkan produktifitas alami perairan dan sedikit pakan tambahan, pada KJA intensif menggunakan pakan secara intensif dan dapat menyebabkan produktifitas primer perairan akan berlebih.

Model estimasi daya dukung ini berasumsi bahwa fosfor adalah nutrien utama sebagai pembatas kehidupan fitoplankton, hal ini didasarkan atas penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada perairan danau dan waduk. Menurut Guo dan Li (2003), fosfor merupakan nutrien yang dihasilkan dari wilayah budidaya karamba jaring apung yang akan mempengaruhi daya dukung perairan. Model estimasi daya dukung lingkungan harus mencakup 4 hal, yaitu:

1. Penentuan produktivitas lingkungan

2. Macam pakan yang digunakan kaitannya dengan masukan limbah pakan 3. Bagaimana lingkungan me-respon adanya masukan limbah

4. Berapa jauh masukan dan perubahan yang dapat diterima lingkungan

Model yang digunakan adalah model Dillon dan Rigler (1974) yang dimodifikasi dari model Vollenweider dalam Beveridge (2004). Model Dillon dan Rigler dilakukan dalam 4 langkah, yaitu:

•Langkah 1 :

(45)

•Langkah 2 :

Fosfor (P) dapat digunakan dalam analisa produktifitas, oleh karena itu P memiliki hubungan dengan biomassa alga. Biomassa alga dapat dihitung menggunakan pendekatan kandungan klorofil-a. Pada langkah 2 ini akan ditentukan berapa total P maksimum yang dapat diterima lingkungan dengan menggunakan pendekatan korelasi antara P dengan klorofil-a.

•Langkah 3 :

Menentukan berapa besar total P yang dihasilkan oleh karamba. •Langkah 4 :

Pada langkah 4 dilakukan 2 perhitungan, yaitu : 1). Menentukan total P yang dihasilkan karamba di seluruh luasan waduk tetapi masih dalam batasan aman bagi kelestarian lingkungan, dan 2). Mengestimasi produksi total ikan karamba dalam satu tahun yang masih dapat mendukung kelestarian lingkungan.

Model estimasi daya dukung menggunakan beban limbah P ini berkaitan erat dengan flushing rate sebagai mekanisme asimilasi perairan. Penelitian yang dilakukan oleh Dillon (1975) dalam pengembangan model ini memberikan kesimpulan bahwa danau yang memiliki konsentrasi total fosfat tinggi (1,70 dan 2,21 g/m2/tahun) tidak menunjukan kondisi yang eutrofik. Hal tersebut disebabkan oleh flushing rate yang tinggi.

(46)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dari Juli hingga Agustus 2009 di perairan Waduk Saguling, Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan dengan dua lingkup kegiatan, yaitu pengambilan sampel sebanyak 3 kali pengambilan yang dilakukan pada bulan Juli dan Agustus serta analisis laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian bogor.

Jenis dan Sumber Data

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

 Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lapangan melalui pengambilan sampel yang selanjutnya dianalisa di laboratorium. Data primer juga didapatkan melalui wawancara dengan petani tambak jaring apung yang dipandu dengan pengisian kuisioner. Adapun data primer yang diambil pada penelitian ini sebagai berikut:

• Parameter fisika, kimia, dan biologi perairan yang diambil pada setiap stasiun pengamatan

• Komunitas fitoplankton yang diambil pada setiap titik stasiun pengamatan • Kandungan Phospor pada pakan ikan.

• Data jenis pakan yang dipakai dalam kegiatan budidaya di karamba jaring apung, jenis ikan yang dibudidaya, food convertion ratio (FCR), serta strategi pengelolaan karamba jaring apung yang digunakan saat ini yang didapatkan melalui wawancara.

 Data sekunder merupakan data yang telah didokumentasikan yang berhubungan dengan penelitian diperoleh dari instansi terkait. Data sekunder pada penelitian ini adalah:

• Data fisik waduk (luas, volume air, total outflow, dan kedalaman rata-rata) • Jumlah KJA aktif

(47)

Metode Penentuan Sampel Wawancara

Data jenis pakan yang digunakan dalam budidaya, jenis ikan budidaya, food convertion ratio (FCR), jumlah karamba jaring apung yang aktif, serta strategi pengelolaan karamba jaring apung yang digunakan oleh petani KJA saat ini diperoleh dengan metode survey dengan wawancara yang dipandu dengan pengisian kuisioner (lampiran 1) oleh petani tambak KJA sekitar Waduk Saguling dengan jumlah responden sebanyak 34 responden.

3.4 Metode Penentuan Stasiun pengamatan dan Titik Sampel

Metode penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu penentuan stasiun pengamatan yang dilakukan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan kondisi serta keadaan daerah penelitian. Pertimbangan kondisi dan daerah penelitian (Gambar 7) ini lebih dititik beratkan pada stasiun 1 pada area dam (intensitas KJA rendah), stasiun 2 pada daerah budidaya karamba jaring apung di Daerah Bongas (intensitas KJA tinggi), stasiun 3 pada zona transisi di Daerah Maroko (intensitas KJA tinggi), dan stasiun 4 pada daerah inlet Waduk Saguling di Daerah Cihampelas (intensitas KJA rendah).

3.5 Metode Pengambilan Sampel Air dan Fitoplankton

Pengambilan sample air dan organisme primer mikro dilakukan pada setiap stasiun pengamatan dan pada setiap titik sample sebanyak 3 kali pengambilan sampel pada waktu yang berbeda. Sample air diambil secara horizontal pada 6 kedalaman berbeda, yaitu 0 m (permukaan), 1 meter, 2 meter, 3 meter, 4 meter, dan 5 meter menggunakan Van Dorn Water Sampler yang selanjutnya dimasukkan dalam botol polyethylen, khusus untuk sampel klorofil-a menggunakan botol yang telah dilapisi kertas alumunium foil dengan tujuan meminimalkan cahaya yang masuk dalam sampel. Botol-botol sampel tersebut kemudian dimasukan dalam cool box yang telah berisi es untuk dibawa menuju laboratorium.

(48)

untuk perairan permukaan dan water sampler untuk kedalaman tertentu. kemudian sample plankton yang sudah terkumpul di botol penampung diawetkan dengan larutan lugol dan diberi label (nomor stasiun, posisi titik sample, cuaca, tanggal dan waktu pengambilan). Setelah sample tersebut diawetkan, sample tersebut diletakkan pada wadah tahan es dan diangkut menuju laboratorium untuk diidentifikasi dan dianalisis menggunakan mikroskop.

3.6 Analisis dan identifikasi struktur komunitas fitoplankton

Setelah sample tiba di laboratorium, dari 25 ml sample berisi plankton yang telah diberi pengawet, diambil larutan sample dengan pipet dan diteteskan kedalam sedwick rafter counting cell berkapasitas 1 ml untuk diamati dibawah mikroskop. Pengamatan dilakukan pada keseluruhan luasan sedwick rafter counting cell dan Selanjutnya di identifikasi dengan mikroskop pada berbagai perbesaran.

Kelimpahan fitoplankton dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah sel/liter. Kelimpahan plankton dihitung berdasarkan rumus:

N = n x (Vr/Vo) x (1/Vs) Dengan:

N= Jumlah sel per liter n= Jumlah sel yang diamati

Vr=Volume air pada botol sample (ml) Vo= Volume air yang diamati (ml) Vs= Volume air yang disaring (liter)

3.7 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

(49)

Tabel 2. Parameter fisika dan kimia kualitas perairan

parameter satuan alat/metode Kedalaman Lokasi

(0,1,2,3,4,5 meter)

parameter fisika

suhu C termometer semua kedalaman insitu

kekeruhan NTU turbidimeter semua kedalaman laboratorium

kecerahan m secchi disk

permukaan (0

meter) insitu

TSS mg/l gravimetri semua kedalaman laboratorium

parameter

Total P mg/l Spektrofotometri semua kedalaman laboratorium Total N mg/l Spektrofotometri semua kedalaman laboratorium

pH pH meter semua kedalaman laboratorium

DO mg/l DO meter semua kedalaman insitu

DO saturasi % Do meter semua kedalaman insitu

COD mg/l Titrimetri semua kedalaman laboratorium

Paramete r Biologi

Klorofil-a mg/l Spektrofotometr i

semua kedalaman laboratorium

Fitoplankton cel/l Mikroskop semua kedalaman laboratorium

Sumber: Sukimin, 2009

(50)

3.8 Analisis Klorofil-a

Analisis klorofil-a dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri (APHA,1992), dengan rumus:

Ca = Konsentrasi Klorofil-a (mg/l)

OD664 = Nilai absorbansi pada panjang gelombang 664 nm OD647 = Nilai absorbansi pada panjang gelombang 647 nm OD630

Setelah diketahui Ca, selanjutnya menentukan konsentrasi klorofil-a per unit volume dengan rumus:

Ve = Volume aseton yang digunakan pada proses ekstrasi (ml) Vt = Volume air yang disaring (ml)

3.9 Metode Estimasi Tingkat Trofik Perairan

Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat trofik adalah menggunakan trofik index / TRIX yang mengacu pada 4 variabel yang erat hubungannya dengan proses eutrofikasi, variabel tersebut adalah total nitrogen, total fosfor, klorofil-a, dan oksigen saturasi (Jorgenson, 2005).

Trofik index / TRIX digunakan untuk menentukan seberapa jauh eutrofikasi yang terjadi secara kuantitatif dengan menggunakan 4 variabel, dengan perhitungan:

= Nilai absorbansi pada panjang gelombang 630 nm

Keterangan:

k : Skala yang digunakan 0-10 (k=10) n : Jumlah variabel yang digunakan (4) Mi : Nilai variabel i

Li : Nilai terendah variabel i Ui : Nilai tertinggi Variabel i

TRIX = k n ∑ (Mi-Li) / (Ui-Li)

Ca = 11,851 (OD664) – 1,54 (OD647) – 0,08 (OD630)

Ca x Ve Klorofil-a =

(51)

3.10 Metode Estimasi Daya Dukung untuk Kegiatan KJA

3.10.1 Metode Estimasi Total-P dari Pakan Ikan yang Masuk ke Lingkungan

Keterangan :

Penv : fosfor yang lepas ke lingkungan dari aktivitas KJA

Pfood : Fosfor yang terkandung pada pakan ikan

Pfish : Fosfor yang terkandung pada tubuh ikan

Besarnya Pfish pada metode ini ditentukan oleh jenis ikan yang dibudidaya. Pfood

•Langkah 1 :

ditentukan dari besarnya fosfor yang terkandung pada pakan dikalikan dengan perbandingan FCR (food convertion ratio). FCR adalah perbandingan dari pemakaian pakan dalam jumlah tertentu yang akan menghasilkan produksi ikan dalam jumlah tertentu (Beveridge, 2004)

3.10.2 Estimasi Produksi Ikan Maksimal yang Dapat Diterima Lingkungan

Metode yang digunakan adalah model Vollenweider yang telah dimodifikasi oleh Dillon dan Rigler (1974) dalam Beveridge (2004). Dalam model analisis daya dukung lingkungan Dillon dan Rigler, terdapat 4 langkah proses, yaitu:

Pengukuran steady state konsentrasi fosfat [P]i

•Langkah 2 :

. Dapat ditentukan melalui konsentrasi rata-rata total fosfor pada badan perairan yang diperoleh dari sejumlah sampel total fosfat pada penelitian.

Menentukan [P] maksimum yang dapat diterima oleh badan air [P]f akibat adanya budidaya KJA intensif. P maksimum yang diperbolehkan di perairan tergenang untuk daerah tropis sistem budidaya intensif adalah 250 mg/m3

•Langkah 3 :

(Beveridge, 2004)

Tentukan kapasitas dari badan perairan bagi kegiatan karamba jaring apung intensif dalam menerima fosfor ( [P] ), dengan rumus :

P

env

= P

food

- P

fish

(52)

Selanjutnya adalah menentukan total P yang dihasilkan oleh karamba (Likan

Menentukan R untuk waduk

),

dengan

[P] : Kapasitas badan perairan bagi kegiatan karamba jaring apung dalam menerima masukan fosfor

z : Kedalaman rata-rata Waduk Saguling p : flushing rate (tingkat pencucian) = Q

: Total fosfor yang dihasilkan karamba

o/V

Qo : Outflow atau rata-rata volume air yang mengalir keluar waduk V : Volume waduk

Rikan : Besarnya bagian dari total fosfat yang berasal dari ikan dalam KJA yang

dapat ditahan oleh sedimen. Likan

R : Proporsi dari total fosfat terlarut yang akan ditahan oleh sedimen, nilai ini dapat dihitung dengan rumus hasil penelitian Larsen dan Mercier (1976) dalam Beveridge (2004)

: Total P yang dihasilkan dari budidaya ikan dalam KJA

x : Besarnya bagian dari total fosfat yang ditahan selamanya oleh sedimen. Biasanya nilai x berkisar antara 0,45 – 0,55 (dalam perhitungan

menggunakan 0,5) Likan

=

(53)

•Langkah 4

Tentukan total fosfor yang berasal dari karamba yang dapat diterima lingkungan pertahun, dengan perhitungan:

Total P yang dapat diterima waduk = Likan

Setelah diketahui kapasitas penerimaan perairan dalam menerima masukan fosfor, maka dapat diestimasi produksi ikan (ton) yang aman bagi kelestarian lingkungan, dengan perhitungan :

3.11 Analisis Statistik Parameter Kualitas Air

Analisis stastistik parameter kualitas air menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua kelompok berbeda yaitu kelompok kedalaman dan kelompok stasiun. Rancangan acak kelompok dilakukan dengan tujuan melihat pengaruh kedalaman terhadap nilai yang didapat dan melihat pengaruh perbedaan stasiun terhadap nilai yang didapatkan. Analisis rancangan acak kelompok ini menggunakan software SAS dalam perhitungannya.

x A A adalah luas waduk.

Total P yang aman diterima Waduk Penv

=

(54)

4.1 Keadaan Umum Waduk Saguling Pada Saat Penelitian

Selain dimanfaatkan sebagai PLTA, Waduk Saguling juga dimanfaatkan oleh

penduduk sekitar untuk budidaya ikan di karamba jaring apung. Kegiatan karamba jaring

apung telah dimulai sejak tahun 1985 yang memiliki tujuan untuk pemerdayaan

penduduk yang terkena proyek pembangunan Waduk Saguling (resettlement).

Perkembangan jumlah karamba jaring apung di Waduk Saguling setiap tahun mengalami

peningkatan, tercatat pada tahun 1999 jumlah KJA telah mencapai 4425 unit dan terus

meningkat hingga pada tahun 2008 jumlah KJA sebesar 7272 unit. Tipe KJA yang

digunakan oleh petani budidaya di Waduk Saguling adalah tipe kuadrat dengan ukuran 7

x 7 m2

Tabel 3. Data hidrologi dan morfologi waduk saguling

dengan kedalaman rata-rata 2,5 meter. Ikan yang dibudidayakan umumnya adalah

ikan patin, nila, dan ikan mas. Beberapa data hidrologi dan morfologi Waduk Saguling

dapat berubah, Tabel 3 menunjukan data hidrologi dan morfologi Waduk Saguling pada

tahun 2009.

No Parameter Satuan Nilai

1 Luas Waduk Ha 4869

2 Panjang maksimal Km 18,4

3 Lebar rata-rata Km 3

4 Kedalaman maksimal M 90

5 Kedalaman rata-rata M 17,5

6 Panjang garis pantai Km 473

7 Volume maksimal x 106 m3 982

8 Kemiringan lereng rata-rata pada area pertanian % 4

9 Wilayah Tampung Km2 2315

(55)

4.2 Kondisi Kualitas Perairan Waduk Saguling 4.2.1 Parameter Fisika Perairan

4.2.1.1 Suhu

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi (Tabel 4) memperlihatkan

bahwa kisaran nilai suhu di Waduk Saguling pada stasiun 1 memiliki rentang nilai yang

tinggi dibandingkan stasiun yang lain, nilai maksimal dapat mencapai 30,90 C pada

lapisan permukaan sampai kedalaman 3 meter. Tingginya rentang nilai suhu pada stasiun

1 disebabkan oleh waktu pengukuran dan kekeruhan yang rendah sehingga intensitas

cahaya matahari dapat masuk sampai pada kedalaman 3 meter. Sedangkan nilai maksimal

terendah ada pada stasiun 4 yaitu 27,90 C pada lapisan permukaan dan terus mengalami

penurunan nilai suhu pada kedalaman di bawahnya.

Tabel 4. Kisaran nilai suhu (0 Ket: Data dasar pada lampiran 1

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman dan perbedaan

stasiun berpengaruh terhadap suhu. Berdasarkan analisis RAK, karakteristik nilai suhu

pada stasiun 3 dan 2 memilki persamaan karakteristik nilai suhu dan berbeda signifikan

dengan stasiun 1 dan 4. Berdasarkan kedalaman, pada kedalaman 0 meter – 3 meter

fluktuasi suhu tidak berbeda secara signfikan akan tetapi pada kedalaman 4 dan 5 meter

suhu memperlihatkan perbedaan yang signifikan, dapat diartikan bahwa penurunan suhu

secara signifikan terjadi dibawah kedalaman 3 meter (hasil analisis statistik dapat dilihat

pada Lampiran 2).

Gambar 8 memperlihatkan bahwa semakin menurun kedalaman maka nilai suhu

akan semaikin menurun dengan rata-rata suhu tertinggi di setiap stasiun berada pada

permukaan perairan. Pada grafik (Gambar 8) juga memperlihatkan bahwa suhu rata-rata

(56)

Gambar 8. Fluktuasi suhu rata-rata pada kedalaman berbeda

Pengukuran suhu yang dilakukan pada penelitian ini di bulan juli dan Agustus

berada pada kisaran 26,20 – 30,70

C (Lampiran 1).

4.2.1.2 Kekeruhan dan Kecerahan

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi (Tabel 5) memperlihatkan

bahwa kisaran nilai kekeruhan tertinggi di Waduk Saguling ada pada stasiun 4 yang

memiliki rentang maksimal sebesar 6,1 NTU dan rentang minimum sebesar 4,63 NTU.

Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 4 disebabkan oleh tingginya intensitas masukan

pencemar dari sungai Citarum yang diduga berasal dari aktivitas industri yang berada di

sekitar aliran sungai Citarum dan akibat limpasan tanah yang berasal dari daerah

pertanian terutama pada bulan Agustus dimana secara fisik air pada stasiun 4 terlihat

sangat hitam.

Tabel 5. kisaran nilai kekeruhan (NTU) berdasarkan rataan dan standar deviasi (χ± sd)

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Stasiun 4 Ket: Data dasar pada lampiran 1

(57)

Hasil analisis stastistik RAK menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman perairan

tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada nilai kekeruhan. Akan tetapi

perbedaan stasiun memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai kekeruhan. Hasil

uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa ada 3 kelompok stasiun yang memiliki

perbedaan karakteristik nilai kekeruhan yaitu stasiun 1 yang merupakan dam waduk

Saguling, kelompok kedua adalah stasiun 2 dan 3 memiliki kesamaan karakteristik

kekeruhan yang disebabkan lokasi stasiun 2 dan 3 merupakan lokasi padat KJA dan

kelompok ketiga adalah stasiun 4 merupakan inlet Waduk Saguling dan memiliki nilai

kekeruhan yang sangat tinggi dibandingkan stasiun yang lain (hasil analisis statistik dapat

dilihat pada Lampiran 4).

Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai kekeruhan pada setiap stasiun sangat

berbeda dengan nilai rata-rata terendah pada stasiun 3 dan tertinggi pada stasiun 4 yang

nilainya melebihi 4 NTU. Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 4 berbanding lurus

dengan tingginya nilai TSS yang disebabkan karena lokasi stasiun 4 yang berada pada

inlet waduk yaitu masukan air dari Sungai Citarum.

Kekeruhan pada lokasi penelitian yang diukur pada bulan Juli dan Agustus 2009

memperlihatkan kenaikan yang sangat signifikan pada bulan Agustus di stasiun 4 yaitu

berkisar antara 5,5 – 6,2 NTU, sedangkan pada stasiun 1, 2, 3, dan 4 di bulan Juli yaitu 3

– 3,9 NTU, 2 – 4,2 NTU, 2 – 3,8 NTU dan 2,8 – 4,8 NTU. Kekeruhan pada bulan

Agustus di stasiun 1, 2, 3, dan 4 yaitu 2.6 – 3 NTU, 2,5 – 3 NTU, 2,2 – 2,5 NTU, dan 5,5

– 6,2 NTU (lampiran 2). Tingginya nilai kekeruhan di stasiun 4 pada bulan Agustus

diduga karena tingginya intensitas masukan pencemaran dari industri disekitar kabupaten

Bandung sehinga menyebabkan nelayan karamba jaring apung yang berada dekat stasiun

4 lebih memilih untuk memanen ikan lebih cepat. Sedangkan pada bulan Juli, kekeruhan

di stasiun 4 juga lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya, hal ini dikarenakan adanya

lokasi pertanian dan pertambangan pasir pada daerah ini sehingga terjadi erosi yang akan

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Gambar 2. Waduk Saguling
+7

Referensi

Dokumen terkait