• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketergantungan Laju Absorpsi Dari Asam Mefenamat Terhadap Konsentrasi Pada Mukosa Usus Halus Kelinci Yang Dihomogenkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ketergantungan Laju Absorpsi Dari Asam Mefenamat Terhadap Konsentrasi Pada Mukosa Usus Halus Kelinci Yang Dihomogenkan"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KETERGANTUNGAN LAJU ABSORPSI DARI ASAM

MEFENAMAT TERHADAP KONSENTRASI PADA

MUKOSA USUS HALUS

KELINCI YANG DIHOMOGENKAN

SKRIPSI

OLEH

JONSON A SITORUS

NIM 030804008

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KETERGANTUNGAN LAJU ABSORPSI DARI ASAM

MEFENAMAT TERHADAP KONSENTRASI PADA

MUKOSA USUS HALUS

KELINCI YANG DIHOMOGENKAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH

JONSON A SITORUS

NIM 030804008

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Lembar Pengesahan Skripsi

KETERGANTUNGAN LAJU ABSORPSI DARI ASAM MEFENAMAT

TERHADAP KONSENTRASI PADA MUKOSA USUS HALUS

KELINCI YANG DIHOMOGENKAN

0LEH

JONSON A SITORUS

NIM 030804008

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: Oktober 2008

Pembimbing I, Panitia Penguji,

(Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt.) (Dr.Karsono, Apt.) NIP 130 809 699 NIP 131 415 891

Pembimbing II, Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt.) NIP 130 809 699

(Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt) (Dra.Azizah Nasution, M.Sc., Apt.) NIP:130 935 857 NIP 131 283 721

(Drs.Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt) NIP 130 810 737

Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Tuhan Allah Yang Maha Kuasa sebab hanya oleh kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Ketergantungan Laju Absorpsi Dari Asam Mefenamat Terhadap Konsentrasi Pada Mukosa Usus Halus Kelinci Yang Dihomogenkan” ini dengan baik.

Penulis mempersembahkan skripsi ini sebagai bentuk ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Palentin Sitorus dan Ibunda Rumondang br Pangaribuan serta saudara-saudara saya tercinta (Hotma br Sitorus, Rudy Sitorus, Lumasti br Sitorus, Tonggo R br Sitorus dan Dermawan br Sitorus) yang selalu sabar memberikan dukungan materil, moril dan doa yang tiada hentinya selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Atas segala bimbingan, bantuan, serta fasilitas yang tersedia selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai, maka penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.M.Timbul Simanjuntak, M.SC., Apt, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan perhatiannya kepada penulis selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt, yang juga telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Bapak Prof.Dr.Sumadio Hadisahputra, Apt, selaku dekan fakultas farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di fakultas Farmasi.

4. Bapak Drs.Nahitma Ginting M.Si, Apt, selaku dosen penasehat akademik yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama perkuliahan.

5. Teman-teman fakultas farmasi khususnya Rensus, Noble, Erwin, Suparman, Junus serta teman-teman yang lainnya, atas dukungan dan kebersamaan selama perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini. 6. Adik-adik Angkatan ’04 khususnya Fanny atas bantuannya selama

(5)

Lambok, Parna, Krisna, Ferina, Reny dan teman-teman yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas dukungan selama penulisan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan berkat dan balasan atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umunya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Medan, Oktober 2008 Penulis,

(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian ketergantungan laju absorpsi asam mefenamat terhadap konsentrasi pada mukosa usus halus kelinci yang dihomogenkan. Media yang digunakan adalah larutan dapar fosfat pH 7,4. konsentrasi asam mefenamat yang digunakan adalah 0,0015 M, 0,002 M dan 0,005 M. Kadar asam mefenamat yang terabsorpsi diperiksa dalam larutan dapar fosfat dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 285,0 nm.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju absorpsi asam mefenamat dipengaruhi oleh konsentrasi. Dimana laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,005 M pada duodenum, jejunum dan ileum secara berurutan sebesar 0.1732 mcg/µl/detik, 0.2141 mcg/µl/detik dan 0.1229 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,002 M pada duodenum, jejunum dan ileum secara berurutan sebesar 0.0261 mcg/µl/detik, 0.0376 mcg/µl/detik dan 0.0303 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,0015 M pada duodenum, jejunum dan ileum secara berurutan sebesar 0.0403 mcg/µl/detik,

(7)

ABSTRACT

The absorption rate of mefenamic acid dependenciest on concentration at rabbit’s mucosa intestinal homogenated had been conducted. The concentration of mefenamic acid were 0,0015 M, 0,002 M and 0,005 M in buffer phosphate solution pH 7,4. Determination of absorpted mefenamic acid which checked in buffer phosphate solution by using ultraviolet spectrophotometer at wavelength 285,0 nm.

The result of research showed that the absorption rate of mefenamic acid was influenced by different concentration. The absorption rate of mefenamic acid with concentration 0,005 M at duodenum, jejunum and ileum were 0.1732 mcg/µl/second, 0.2141 mcg/µl/second, and 0.1229 mcg/µl/second, respectively. The absorption rate of mefenamic acid with concentration 0,002 M at duodenum, jejunum and ileum were 0.0261 mcg/µl/second, 0.0376 mcg/µl/second and 0.0303 mcg/µl/second respectively. The absorption rate of mefenamic acid with concentration 0,0015 M at duodenum, jejunum and ileum were 0.0403

(8)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitiam ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Asam Mefenamat ... 5

2.2 Farmakologi Asam Mefenamat ... 6

2.2.1 Mekanisme Kerja ... 6

2.2.2 Farmakokinetik ... 6

2.2.3 Efek Samping ... 6

2.2.4 Penggunaan Klinik ... 7

2.2.5 Sediaan ... 7

2.3 Absorpsi Obat Melalui Saluran Cerna ... 7

2.4 Struktur Membran Sel ... 9

2.5 Usus Halus ... 11

2.6 Mukosa Usus Halus ... 13

2.7 Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis ... 15

2.8 Persamaan Michaelis Menten Dan Lineweaver Burk Plot ... 22

BAB III.METODOLOGI PENELITIAN ... 23

(9)

3.2 Bahan-Bahan ... 23

3.3 Hewan Percobaan ... 23

3.4 Pembuatan Pereaksi ... 23

3.4.1 Larutan Air Bebas Karbondioksida ... 23

3.4.2 Larutan Kalium Dihidrogenfosfat 0,2 M ... 24

3.4.3 Larutan NaOH 0,1 N ... 24

3.4.4 Larutan NaOH 0,2 N ... 24

3.4.5 Larutan Dapar Fosfat pH 7,4 ... 24

3.4.6 Larutan Etanol Netral ... 24

3.4.7 Larutan Indikator Fenolftalein ... 24

3.5 Prosedur ... 25

3.5.1 Pembakuan Larutan NaOH 0,1 N ... 25

3.5.2 Penetapan Kadar Asam Mefenamat Baku ... 25

3.5.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Asam Mefenamat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4 ... 25

3.5.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Mefenamat Dalam Larutan Dapar Fosfat pH 7,4 ... 25

3.5.5 Pembuatan larutan Obat Dari Asam Mefenamat Dengan Konsentrasi 0,0015 M, 0,002 M, 0,005 M Dalam Larutan Dapar Fosfat pH 7,4 ... 26

3.5.6 Penentuan Pola Penembusan Membran Oleh Asam Mefenamat ... 26

3.5.6.1 Pembuatan Usus Terbalik ... 26

3.5.6.2 Pengambilan Mukosa Dan Pembuatan Mukosa Homogen ... 27

(10)

3.5.6.4 Percobaan Up-take Asam Mefenamat Dengan Variasi Konsentrasi Dan Variasi

Waktu Pada Mukosa Usus Halus Kelinci ... 28

3.5.7 Analisis data ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Penentuan Normalitas NaOH ... 29

4.2 Penetapan Kadar Asam Mefenamat ... 29

4.3 Penentuan Panjang gelombang Maksimum Asam Mefenamat Dalam Larutan Dapar Fosfat pH 7,4 ... 29

4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Asam Mefenamat Pada Mukosa Usus Halus Yang Dihomogenkan ... 30

4.5 Ketergantungan Laju Absorpsi Asam Mefenamat Terhadap Konsentrasi Pada Mukosa Usus Halus Kelinci Yang Dihomogenkan ... 30

4.6 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap laju Absorpsi Asam MefenamatUntuk Masing-Masing Bagian Usus Halus Kelinci ... 31

4.7 Ketergantungan Laju Absorpsi Asam Mefenamat Terhadap Konsentrasi Pada Mukosa Usus Halus Kelinci ... 33

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 Kesimpulan ... 38

5.4 Saran ... 39

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Laju Absorpsi Asam Mefenamat Berbagai

Konsentrasi Pada Mukosa Duodenum (mcg/µl/detik) ... 30

Tabel 2. Data Laju Absorpsi Asam Mefenamat Berbagai

Konsentrasi Pada Mukosa Jejunum (mcg/µl/detik) ... 31

Tabel 3. Data Laju Absorpsi Asam Mefenamat Berbagai

Konsentrasi Pada Mukosa Ileum (mcg/µl/detik) ... 31

Tabel 4. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing bagian

Usus Halus Kelinci Dengan Konsentrasi 0,0015 M ... 32

Tabel 5. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing bagian

Usus Halus Kelinci Dengan Konsentrasi 0,002 M ... 32

Tabel 6. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing bagian

Usus Halus Kelinci Dengan Konsentrasi 0,005 M ... 32

Tabel 7. Data Variasi Konsentrasi Up-take Dari Asam Mefenamat

Pada Mukosa Duodenum ... 33

Tabel 8. Data Variasi Konsentrasi Up-take Dari Asam Mefenamat

Pada Mukosa Jejunum ... 34

Tabel 9. Data Variasi Konsentrasi Up-take Dari Asam Mefenamat

Pada Mukosa Ileum ... 35

Tabel 10.Data Harga Vmaks Dan Km Dari Asam Mefenamat Pada

(12)

Tabel 11.Data Harga AUC Asam Mefenamat Pada Berbagai Konsentrasi Dalam mcg/µl/detik Pada Mukosa

Duodenum Kelinci ... 36

Tabel 12.Data Harga AUC Asam Mefenamat Pada Berbagai Konsentrasi Dalam mcg/µl/detik Pada Mukosa

Jejunum Kelinci ... 36

Tabel 13.Data Harga AUC Asam Mefenamat Pada Berbagai Konsentrasi Dalam mcg/µl/detik Pada Mukosa

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kimia Asam Mefenamat ... 5

Gambar 2. Struktur Membran Sel ... 11

Gambar 3. Difusi Pasif Melalui Pori ... 16

Gambar 4. Difusi Pasif Dengan Fasilitas ... 19

Gambar 5. Sistem Pengangkutan Aktif ... 21

Gambar 6. Sistem Pengangkutan Secara Pinositosis ... 21

Gambar 7. Kurva Lineweaver-Burk Plot Dari Absorpsi Asam Mefenamat Pada Mukosa Duodenum Kelinci. Temperatur ± 370C, pH = 7,4, n = 2-4 ... 34

Gambar 8. Kurva Lineweaver-Burk Plot Dari Absorpsi Asam Mefenamat Pada Mukosa Jejunum Kelinci. Temperatur ± 370C, pH = 7,4, n = 2-4 ... 34

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Diagram Rancangan Percobaan ... 42 Lampiran 2. Contoh Perhitungan Kadar Asam Mefenamat ... 43 Lampiran 3. Flowsheet Pembuatan Larutan Induk Baku

Asam Mefenamat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4 ... 45

Lampiran 4. Flowsheet Penentuan λ Maksimum Asam Mefenamat

Dalam Dapar Fosfat pH 7,4 ... 46

Lampiran 5. Flowsheet Pembuatan Usus Terbalik ... 47 Lampiran 6. Flowsheet Pengambilan Mukosa dan Pembuatan

mukosa homogen ... 48 Lampiran 7. Flowsheet Pembuatan Kurva Kalibrasi Dalam

Mukosa Usus Halus Kelinci ... 49 Lampiran 8. Penentuan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi

Asam Mefenamat Baku Dalam Mukosa Usus Halus Kelinci ... 50 Lampiran 9. Flowsheet Percobaan Up-take Asam Mefenamat

dengan variasi Konsentrasi dan variasi waktu pada

Mukosa Usus Halus Kelinci ... 52 Lampiran 10.Contoh Perhitungan Harga Konsentrasi

Asam Mefenamat Dalam Moksa Usus Halus Kelinci

Berbagai Konsentrasi Dalam mcg/ml ... 53 Lampiran 11.Data Konsentrasi Asam Mefenamat Dalam

Masing-Masing Mukosa Usus Halus Kelinci Pada Berbagai

Konsentrasi dalam mcg/50 µl mukosa homogen ... 54 Lampiran 12.Kurva Konsentrasi Terabsorpi (mcg/µl/20 detik) VS Waktu

(Detik) Dengan Variasi Konsentrasi Pada Masing-Masing

Bagian Usus Halus Kelinci ... 63

Lampiran 13.Contoh Perhitungan Penentuan Harga AUC Asam Mefenamat

(15)
(16)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian ketergantungan laju absorpsi asam mefenamat terhadap konsentrasi pada mukosa usus halus kelinci yang dihomogenkan. Media yang digunakan adalah larutan dapar fosfat pH 7,4. konsentrasi asam mefenamat yang digunakan adalah 0,0015 M, 0,002 M dan 0,005 M. Kadar asam mefenamat yang terabsorpsi diperiksa dalam larutan dapar fosfat dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 285,0 nm.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju absorpsi asam mefenamat dipengaruhi oleh konsentrasi. Dimana laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,005 M pada duodenum, jejunum dan ileum secara berurutan sebesar 0.1732 mcg/µl/detik, 0.2141 mcg/µl/detik dan 0.1229 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,002 M pada duodenum, jejunum dan ileum secara berurutan sebesar 0.0261 mcg/µl/detik, 0.0376 mcg/µl/detik dan 0.0303 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,0015 M pada duodenum, jejunum dan ileum secara berurutan sebesar 0.0403 mcg/µl/detik,

(17)

ABSTRACT

The absorption rate of mefenamic acid dependenciest on concentration at rabbit’s mucosa intestinal homogenated had been conducted. The concentration of mefenamic acid were 0,0015 M, 0,002 M and 0,005 M in buffer phosphate solution pH 7,4. Determination of absorpted mefenamic acid which checked in buffer phosphate solution by using ultraviolet spectrophotometer at wavelength 285,0 nm.

The result of research showed that the absorption rate of mefenamic acid was influenced by different concentration. The absorption rate of mefenamic acid with concentration 0,005 M at duodenum, jejunum and ileum were 0.1732 mcg/µl/second, 0.2141 mcg/µl/second, and 0.1229 mcg/µl/second, respectively. The absorption rate of mefenamic acid with concentration 0,002 M at duodenum, jejunum and ileum were 0.0261 mcg/µl/second, 0.0376 mcg/µl/second and 0.0303 mcg/µl/second respectively. The absorption rate of mefenamic acid with concentration 0,0015 M at duodenum, jejunum and ileum were 0.0403

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dunia farmasi banyak senyawa monokarboksilat yang digunakan sebagai obat, antara lain furosemid, asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, aspirin dan lain sebagainya.

Berbagai penelitian tentang senyawa monokarboksilat sudah banyak dilakukan antara lain pada furosemid. Percobaan-percobaan yang dilakukan antara lain: menurut Yagi, et al., (1990), menyatakan bahwa fotolisis furosemid mengikuti reaksi kinetika orde satu. Dalam suasana asam laju fotolisis furosemid lebih besar daripada suasana netral dan basa, dan laju fotolisis furosemid yang tak terionkan jauh lebih besar dari pada furosemid yang terionkan. Siregar (2006), meneliti pengaruh perbedaan pH terhadap laju absorpsi furosemid pada duodenum kelinci, menunjukkan bahwa laju absorpsi furosemid lebih cepat pada pH 5,8

dibandingkan pH 6,0. Panggabean (2006), meneliti pengaruh perbedaan pH terhadap laju absorpsi furosemid pada ileum kelinci, menyatakan bahwa laju absorpsi furosemid pada pH 8,0 lebih cepat dibandingkaan dengan pH 7,0 dan 7,6.

Percobaan pada furosemid dilakukan dengan metode kantung terbalik (everted sac intestine). Sianipar ( 2007), menyatakan bahwa salah satu kelemahan dari metode everted sac intestine adalah terjadinya ikatan protein dengan obat yang mengakibatkan jumlah zat yang diabsorbsi lebih besar dari yang sebenarnya. Ikatan protein obat dapat saja terjadi pada mukosa dan pada serosa, maka untuk memperoleh data yang lebih rinci sebaiknya dilakukan dengan metode intestinal mucosa homogenated. Selain furosemid penelitian tentang senyawa karboksilat

(19)

konsentrasi maksimum pada kelinci normal dengan kelinci yang mengalami dehidrasi.

Menurut Joseph, (1971) dalam Pharmacology in Medicine bahwa asam mefenamat lambat diabsorpsi dari saluran intestinal. Asam mefenamat terikat kuat pada protein plasma, dan didistribusikan tidak merata dalam berberapa jaringan. Pada berbagai spesies asam mefenamat diekskresikan melalui urin, dan oleh sirkulasi enterohepatic asam mefenamat akan disekresikan kedalam empedu. Ada juga yang ditemukan pada feses.

Asam mefenamat diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral. Pemberian 500 mg dosis tunggal yang diujikan, laju absorpsi rata-rata sekitar 30,5 mcg/ml/jam. Konsentrasi puncak pada plasma dicapai dalam 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam (Neuvonen, et al, 1994).

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian mengenai absorpsi asam mefenamat dalam mukosa usus halus homogen untuk mengetahui ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci.

1.2Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah ada pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci.

b. Bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci.

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian adalah:

a. Ada pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci.

(20)

1.4Tujuan

Berdasarkan hipotesis diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Absorpsi Obat Melalui Saluran Cerna

Absorpsi obat didefinisikan sebagai penetrasi suatu obat melewati membran tempat pemberian (site of application), dan obat tersebut berada dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan (Syukri, 2002).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain:

a. Bentuk Sediaan

Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan, proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan

hayati kemungkinan juga berlainan.

Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin

besar sehingga kecepatan melarut obat makin besar.

Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelicin, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat.

b. Sifat Kimia Fisika Obat

Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasai juga mempengaruhi proses absorpsi obat.

c. Faktor Biologis

(22)

gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi.

d.Faktor Lain-lain

Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu (Siswandono, 1995).

2.2 Struktur Membran Sel

Sebelum obat yang diberikan dapat mencapai tempat kerjanya dalam konsentrasi efektif, obat tersebut harus menembus sejumlah pembatas atau (barrier). Barrier ini pada dasarnya merupakan membran-membran biologis seperti epitel lambung usus, paru-paru, darah, dan otak. Membran tubuh pada umumnya digolongkan menjadi tiga tipe utama : (a) membran yang terdiri dari beberapa lapisan sel, seperti kulit; (b) membran yang terdiri dari satu lapis sel, seperti epitel usus halus; (c) membran yang tebalnya kurang dari satu lapis sel,

seperti membran dari suatu sel tunggal. Dalam banyak hal obat harus melalui lebih dari satu tipe membran tersebut sebelum obat tersebut mencapai tempat kerjanya. Sebagai contoh suatu obat yang dimakan secara oral harus menembus

membran lambung-usus (lambung, usus halus, dan usus besar), dapat masuk ke dalam sirkulasi umum, melewati organ atau jaringan dimana obat tersebut mempunyai afinitas, dapat masuk kedalam jaringan tersebut, dan kemudian msuk kedalam sel-sel individualnya (Ansel, 1989).

(23)

statis tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup.

Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida protein globular yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom. Model ‘Mosaik Cair’ konsisten tentang eksistensi dari chanel-chanel ion khusus dan reseptor-reseptor di dalam dan di sepanjang membran-membran permukaan (Syukri, 2002).

Gambar 1. Stuktur Membran Sel

2.3 Usus Halus

Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga penyerapan zat makanan.

Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-lipatan mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan-lipatan kerckring, yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut

(24)

tebal dinding yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung.

Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau fraksi-fraksi tak terionkan yang larut lemak.

Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan susjacent.

Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, dkk, 1993).

Pencernaan makanan yang dimulai dalam lambung, dilanjutkan dalam

usus halus oleh enzim-enzim yang dihasilkan mukosanya dan dibantu agen pengemulsi dan enzim yang disekresi kedalam lumennya oleh hati dan pankreas. Inilah fungsi utama usus halus yang panjangnya 4-7 m dan dibagi dalam 3 segmen

berurutan duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, terikat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jejunum dapat digerakkan bebas pada mesentriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya (Fawcett, 2002).

2.4Mukosa

(25)

Mereka tidak terdapat pada bagian awal duodenum dan mulai ada sekitar 5 cm distal dari pilorus dan paling banyak pada bagian terminal segmen ini dan bagian pertama jejunum. Sejak dari situ berangsur berkurang jumlah dan ukurannya, dan jarang ditemukan setelah pertengahan ileum.

Cara kedua perluasan permukaan mukosa yang lebih efektif adalah banyaknya villi intestinalis. Juluran mirip jari dari mukosa ini panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm, tergantung derajat peregangan dinding usus dan derajat kontraksi serat otot polos didalamnya. Villi menutupi seluruh permukaan dalam usus dan memberinya tampilan khas pada organ segar yang dibuka. Jumlahnya bervariasi antara 10 sampai 40 per milimeter persegi. Mereka paling banyak di duodenum dan jejunum proksimal. Pembesaran luas permukaan dapat pula terjadi melalui invaginasi mukosa diantara basis vili, disebut kripti Lieberkuhn atau kelenjar intestinal. Kelenjar tubuler ini panjangnya 320 sampai 450 µm, meluas kebawah

hampir sampai muskularis mukosa. Diantara kelenjar intestinal terdapat jaringan ikat longgar yang membentuk lamina propria dari mukosa usus. Permukaan mukosa dilapisi epitel selapis kolumnar dengan tiga jenis sel: sel absorptif, sel

goblet, dan sel enteroendokrin (Fawcett, 2002).

Sel absorptif (sel silindris) terletak diatas lamina basal. Intinya lonjong dan terletak dibagian basal sel. Mitokondria berbentuk lonjong, berjumlah banyak dan

tersusun longitudinal, terutama dibagian basal sel. Tiap sel mempunyai batas yang bergaris (striated border) atau berbentuk sikat (brush border) yang terdiri atas mikrivili berjajar dan berhimpitan. Sel-sel silindris mengabsorpsi gula dan asam amino dari lumen usus. Sel-sel juga berfungsi untuk mengabsorpsi lipid. Sel-sel silindris yang menjadi “matang“ hanya bila mencapai puncak vilus, dibentuk dalam kriptus dan bermigrasi keatas sepanjang vili menuju ke ujungnya (puncaknya) dan akhirnya dilepaskan. Sel-sel yang belum matang mempunyai mikrovili lebih pendek, tidak begitu teratur, kurang aktivitas serta daya absorpsinya lebih rendah (Leeson, 1996).

Sel goblet adalah kelenjar unisel penggetah mukus yang tersebar diantara sel-sel absorptif dari epitel usus (Fawcett, 2002).

(26)

dan berisi inti. Puncaknya menggembung berbentuk khusus karena kumpulan butir-butir sekret mukus. Sekret mukus merupakan glikoprotein asam dan membentuk lapisan pelindung diatas glikokaliks mikrovili sel silindris (Leeson, 1996).

Sel enteroendokrin terdapat dalam kriptus dan vilus, dan mengeluarkan peptida pengatur aktif yang berhubungan dengan sekresi lambung, motilitas intestinal, sekresi pankreas, dan kontraksi kandung empedu (Leeson, 1996).

Penyebaran sel endokrin usus telah dikaji pada manusia. Jumlah dan variasinya paling banyak dalam duodenum dan jejunum (Fawcett, 2002).

2.5Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis

Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran biologis.

Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas : 1. Difusi pasif

Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.

a. Difusi Pasif Melalui Pori

Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache, dkk, 1993).

(27)

b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hulum difusi Fick :

V = P (Ce – Ci), P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan Ce dan Ci adalah konsentrasi pada kedua kompartmen.

Jadi konsentrasi senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi.

Tetapan permeabilitas P tergantung pada membran dan molekul obat. Sehingga persamaan hukum Fick dapat dituliskan :

)

V = laju pelintasan zat aktif melalui membran

K = koefisien partisi membran biologik / cairan pelarutan D = koefisien difusi molekul zat aktif melintasi membran A = permukaan membran yang kontak dengan pelarutan

X

∆ = tebal membran

Ce-Ci = perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran

Dari persamaan tersebut, dapat dilihat hal-hal yang berpengaruh pada penyerapan zat aktif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa laju penyerapan berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran (Ce-Ci).

Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan jumlah yang diserap.

Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif

(28)

Hanya fraksi zat aktif yang terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul (Aiache, dkk.,1993).

c. Difusi Pasif dengan Fasilitas

Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih rendah dan berhenti setelah mencapai kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki energi dan terjadi secara spontan.

Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul

pembawa dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain kompleks akan terurai melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas

kembali ke tempat semula.

Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil (Siswandono, 1995).

(29)

2. Transpor Aktif

Pergerakan molekul melalui membran biologi membutuhkan energi dan terjadi perbedaan potensial kimia. Proses ini sama seperti difusi terfasilitasi yang membutuhkan pembawa, namun transpor aktif membutuhkan energi untuk bergerak dari konsentrasi yang rendah menuju konsentrasi yang lebih tinggi. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh molekul obat agar dapat dinyatakan mempunyai mekanisme transpor aktif:

1. Molekul (senyawa) ditranspor dari daerah yang mempunyai perbedaan potensial kimia yang rendah menuju yang lebih tinggi.

2. Hasil metabolisme senyawa akan mengganggu transpor.

3. Kecepatan transpor akan mengalami penjenuhan apabila konsentrasi dari senyawa meningkat.

4. Sistem transpor umumnya memperlihatkan struktur kimia spesifik.

5. Senyawa kimia dengan struktur yang hampir sama akan bekerja sebagai kompetitif inhibitor (Gennaro, 2000).

Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan

suatu bagian dari membran, berupa enzim atau senyawa protein dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya,

lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa).

Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.

(30)

difusi, maka laju transpor aktif tidak tergantung pada konsentrasi (Aiache, dkk, 1993).

Gambar 4. Sistem Pengangkutan Aktif

3. Pinositosis

Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin, vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada bakteri (Siswandono, 1995).

Gambar 5. Sistem Pengangkutan Secara Pinositosis

2.6 Asam Mefenamat

COOH

H N

CH3

H3C

(31)

Nama kimia : Asam N-2,3-xililantranilat Rumus molekul : C15H15NO2

Berat molekul : 241,29

Pemerian : Serbuk hablur putih atau hampir putih, melebur pada suhu 2300-C disertai peruraian

Kelarutan : Larut dalam larutan alkali hidroksida, agak sukar larut dalam kloroform, sukar larut dalam etanol dan dalam metanol, praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,1995)

2.7 Farmakologi

2.7.1 Mekanisme kerja

Asam mefenamat adalah obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) yang memberikan efek anti inflamasi, analgesik dan antipiretik. Sebagai golongan analgesik asam mefenamat telah digunakan untuk mengurangi rasa sakit dari rematik, luka-luka, musculosketal dan dysmenorrheal. Asam mefenamat bekerja dengan cara menghambat cox 1, cox 2 dan phospolipase A2 (Gillman, 1996).

2.7.2 Farmakokinetika

Asam mefenamat diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral.

Pemberian 500 mg dosis tunggal yang diujikan, laju absorpsi rata-rata sekitar 30,5 mcg/ml/jam. Konsentrasi puncak pada plasma dicapai dalam 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam. (Neuvonen, et al, 1994).

Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan (Ganiswara, 1995).

2.7.3 Efek Samping

(32)

2.7.4 Penggunaan Klinik

Sebagai golongan antiinflamasi asam mefenamat sebagian besar telah diuji dalam pengobatan jangka pendek pada osteoarthritis dan rheumatoid arthritis dan tidak ada keuntungan yang lebih dibandingkan NSAID yang lainnya (Gillman, 1996).

Penggunaan asam mefenamat di indikasikan hanya sebagai analgesik dan untuk mengurangi gejala-gejala dari prymary dysmenorrhea (Gillman, 1996).

2.7.5 Sediaan

Asam mefenamat tersedia dalam tablet dan kapsul dengan dosis 500 mg untuk pemberian awal, kemudian 3-4 kali sehari dengan dosis 250 mg maksimal selama 7 hari (Tjay dan Kirana, 2002).

2.8 Persamaan Michaelis Menten Dan Lineweaver-Burk Plot

Konsentrasi substrat yang menghasilkan kecepatan setengah maksimal, disebut nilai Km atau konstanta Michaelis, dapat ditentukan secara eksperimental

dengan membuat grafik vi sebagai fungsi [S]. Kecepatan awal reaksi yang dikatalisis enzim terhadap [S] dan terhadap Km dapat dilukiskan dengan menilai

persamaan Michaelis-Menten berikut;

Vi =

Dengan penambahan [S] ke Km pada penyebut sekarang sangat sedikit merubah

nilainya, sehingga [S] dapat dihilangkan dari penyebutnya. Karena Vmaks dan

Km keduanya konstan, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:

Vi = ≈

Dalam kata lain, bila konsentrasi substrat cukup rendah dari yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecepatan setengah maksimal (nilai Km), kecepatan awal

(33)

Dengan penambahan Km ke [S] pada penyebut sangat sedikit merubah nilai

pada penyebutnya, sehingga Km dapat dihilangkan dari penyebut.

Vi = ≈

Ini menyataan bahwa bila konsentrasi substrat [S] jauh melebihi nilai Km, maka

kecepatan awal (Vi), adalah Vmaks.

3. Bila [S] = Km, maka:

Ini menyatakan bahwa bila nilai substrat [S] sama dengan nilai Km, maka

kecepatan awal (Vi) adalah setengah maksimal. Ini juga menerangkan bagaimana mengevaluasi Km, yaitu untuk menentukan secara eksperimental

konsentrasi substrat dimana kecepatan awal setengah maksimal.

Karena banyak enzim memberikan kurva kejenuhan yang mudah membuat penilaian Vmaks dan oleh karena itu Km bila dibuat grafik Vi dan [S], maka sangat

mudah menyusun kembali persamaan Michaelis-Menten untuk menyederhanakan penilaian Km dan Vmaks. Persamaan Michaelis-Menten dapat dibalik dan diberi

faktor sebagai berikut:

Vi=

= , diberi factor menjadi:

[ ]

V

[ ]

[ ]

S

, disederhanakan menjadi :

[ ]

maks

Persamaan diatas merupakan persamaan untuk garis lurus: y = ax + b, dimana

y =

Jika y dipetakan sebagai fungsi x, garis potong y, b, adalah 1/Vmaks, dan

garis miring, a, adalah Km/Vmaks. Garis potong (intercept) x negatif dapat

(34)

X = -

m K a

b 1

=

Pemetaan (plot) seperti ini disebut pemetaan rangkap timbal balik (double reciprocal plot), yaitu kebalikan Vi (1/Vi) dirancang versus kebalikan [S] (1/[S]). Km diperkirakan dari pemetaan rangkap timbal balik atau Lineweaver-Burk Plot

dengan menggunakan baik kemiringan maupun garis potong y (y-intercept) atau garis potong x negatif. Karena [S] dinyatakan dalam molaritas, maka satuan Km

adalah molaritas atau molar per liter. Bentuk kurva:

1/Vi

1/Vmaks

(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah homogenizer mixer (modifikasi), voertex, sentrifuge, spektrofotometer UV-Visibel (Shimadzu), neraca analitik (Metler Toledo), waterbath, pH-meter (Hanna), stopwatch, thermometer, buret, erlenmeyer, gelas ukur, polytube, pipet volum, maat pipet, tabung reaksi, mikro pipet, sarung tangan, masker, satu set alat bedah dan alat lain yang dibutuhkan.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah asam mefenamat baku, eter p.a., natrium hidroksida p.a. (E Merck), kalium dihidrogen fosfat p.a. (E Merck), kalium biftalat, etanol, fenolftalein, NaCl fisiologis, aquadest, mukosa usus halus kelinci, es batu.

3.3 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah kelinci jantan dengan berat 1,5 – 2 kg.

3.4 Pembuatan Pereaksi

3.4.1 Larutan Air bebas Karbondioksida

Air murni yang telah dididihkan, kemudian dibiarkan selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin dan tidak boleh menyerap karbon dioksida dari udara (Ditjen POM, 1995).

3.4.2 Larutan Kalium Dihidrogenfosfat 0.2 M

Dilarutkan sejumlah 27.218 g kalium dihidrogenfosfat P dalam air bebas karbondioksida P secukupnya hingga 1000 ml (Depkes RI, 1979).

3.4.3 Larutan NaOH 0.1 N

(36)

3.4.4 Larutan NaOH 0.2 N

Dilarutkan sejumlah 8.001 g natrium hidroksida secukupnya hingga 1000 ml (Depkes RI, 1979).

3.4.5 Larutan Dapar Fosfat pH 7,4

Dicampurkan 50 ml larutan KH2PO4 0,2 M dengan 39,1 ml larutan NaOH

0,2 N, lalu diencerkan dengan air bebas karbondioksida hingga 200 ml (Depkes RI, 1979).

3.4.6 Larutan Etanol Netral

Pada sejumlah etanol (95%) P ditambahkan 0,5 ml larutan fenolftalein P dan natrium hidroksida 0,02 N atau 0,1 N secukupnya hingga larutan berwarna merah jambu. Etanol netral P harus dibuat baru (Depkes RI, 1979).

3.4.7 Larutan Indikator Fenolftalein

Dilarutkan 1 g fenolftalein P dalam 100 ml etanol P (Ditjen POM, 1995).

3.5 Prosedur

3.5.1 Pembakuan Larutan NaOH 0,1 N

Ditimbang seksama lebih kurang 150 mg kalium biftalat P yang sebelumnya telah dihaluskan dan dikeringkan pada suhu 120oC selama 2 jam, dan dilarutkan dalam 15 ml air bebas karbondioksida P. Ditambahkan 2 tetes fenolftalein LP dan titrasi dengan larutan natrium hidroksida hingga terjadi warna merah muda yang mantap (Ditjen POM, 1995).

3.5.2 Penetapan Kadar Asam Mefenamat Baku

(37)

3.5.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Asam Mefenamat Dalam Larutan

Dapar Fosfat pH 7.4

Ditimbang seksama 25,0 mg asam mefenamat yang telah dikeringkan pada suhu 105oC selama 3 jam. Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu tentukur 250 ml dilarutkan dengan NaOH 0,1 N sampai serbuk larut lalu dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 hingga garis tanda.

3.5.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Mefenamat Dalam

Larutan Dapar Fosfat pH 7,4

Dari larutan induk baku dipipet 5 ml, dimasukkan kedalam labu tentukur 50 ml, dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda. Diukur panjang gelombang maksimum.

3.5.5 Pembuatan Kurva Kalibrasi Asam Mefenamat Dalam Dapar Fosfat

pH 7,4

Dari larutan induk baku dipipet masing-masing 2 ml; 2,5 ml; 5 ml; 8 ml;

dan 8,5 ml atau setara dengan konsentrasi 4,0 mcg/ml; 5,0 mcg/ml; 10,0 mcg/ml; 16,0 mcg/ml; dan 18 mcg/ml, lalu dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda. Diukur pada

panjang gelombang maksimum.

3.5.6 Pembuatan Larutan Obat Dari Asam mefenamat Dengan Konsentrasi

0,001 M, 0,0015 M, 0,002 M, dan 0,005 M Dalam Larutan Dapar Fosfat

pH 7,4

(38)

3.5.7 Penentuan Pola Penembusan Membran Oleh Asam Mefenamat

3.5.7.1 Pembuatan Usus Terbalik

Hewan percobaan berupa kelinci dengan berat antara 1,5 – 2 kg. Setelah kelinci dianestesi dengan eter, kemudian dilakukan pembedahan pada bagian perut tetapi jangan sampai mengenai tulang dada. Seluruh usus dikeluarkan dan dibersihkan bagian dalamnya dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat, pembuluh darah halus, dan sebagainya dengan bantuan pinset dan gunting. Kemudian usus diikat pada jarak ± 25 cm dari pilorus yang merupakan duodenum, diikat ± 30 cm dari ujung duodenum yang merupakan jejunum, dan diikat ± 45 cm dari ujung jejunum yang merupakan ileum. Kemudian setiap bagian dipotong lalu dimasukkan dalam larutan NaCl dingin didiamkan beberapa menit, kemudian diangkat dan dibalik dengan menggunakan batang pengaduk berpenampang 2 mm. Lalu dilepaskan dengan pinset dari batang pengaduk, dicelupkan kedalam larutan NaCl dingin ( Kooshapur and Chaiden, 1999).

3.5.7.2 Pengambilan Mukosa dan Pembuatan Mukosa Homogen

Bagian usus duodenum yang sudah dibalik dijepit dengan pinset, lalu diangkat dan dimasukkan kedalam alat yang sudah dimodifikasi kemudian dikikis mukosa dari usus dengan menggunakan alat yang sudah dimodifikasi tersebut.

Mukosa yang diperoleh ditampung dalam beaker glass yang dikelilingi es. Kemudian mukosa yang diperoleh ditimbang lalu diencerkan sebanyak 5 kali dari berat mukosa dengan dapar fosfat pH 7,4. Kemudian mukosa dihomogenkan dengan alat homogenizer mixer yang sudah dimodifikasi selama 15 menit. Dilakukan cara yang sama dengan cara diatas terhadap bagian usus jejunum dan ileum (Tamai, I., et.al., 1987).

3.5.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Dalam Mukosa Usus Halus Kelinci

(39)

Kemudian ditambahkan etanol sebanyak 600 µl lalu disentrifusi dengan 3000 rpm selama 3 menit. Bagian supernatan dipipet 0,5 ml lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda. Kemudian diukur pada panjang gelombang maksimum (Tamai, I., et.al., 1987).

3.5.7.4 Percobaan Up-take Asam Mefenamat dengan variasi Konsentrasi dan

variasi waktu pada Mukosa Usus Halus Kelinci

Masing-masing mukosa yang sudah dihomogenkan dipipet 50 µl dimasukkan kedalam politube dan disimpan dalam es. Kemudian di pre inkubasi selama 3 menit pada suhu 370 C, dilakukan up-take larutan obat asam mefenamat sebanyak 100 µl pada suhu 370 C dengan variasi waktu 20 detik, 25 detik, 30 detik, 2 menit, 5 menit, dan 10 menit dan konsentrasi 0,001 M. Kemudian ditambahkan etanol sebanyak 600 µl lalu disentrifusi dengan 3000 rpm selama 3 menit. Bagian supernatan dipipet 0,5 ml lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum 285 nm dengan

spektrofotometer ultraviolet. Dilakukan cara yang sama dengan cara diatas untuk konsentrasi 0,0015 M, 0,002 M, dan 0,005 M (Tamai, I., et.al., 1987).

3.5.8 Analisis Data

Untuk mengetahui ketergantungan konsentasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat, dilakukan pengujian dalam dapar fosfat 7,4 pada temperatur 370 C sehingga diperoleh data laju absorpsi asam mefenamat pada berbagai konsentrasi. Data hasil perhitungan diuji dengan menggunakan ANOVA program SPSS dengan taraf kepercayaan 95 % (α = 0,05). Dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui antar perlakuan.

(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Normalitas NaOH

Untuk mengetahui normalitas NaOH maka dilakukan pembakuan dengan menggunakan lebih kurang 150 mg kalium biftalat P yang sebelumnya telah dihaluskan dan dikeringkan pada suhu 1200 C selama 2 jam dan dilarutkan dengan air bebas karbondioksida P dalam labu tentukur 50 ml. Ditambahkan 2 tetes fenolftalein LP dan dititrasi dengan larutan natrium hidroksida hingga terjadi warna merah muda yang mantap. Normalitas NaOH yang diperoleh adalah sebesar 0,0948 N. Hasil dapat dilihat pada lampiran 2.

4.2 Penetapan Kadar Asam Mefenamat

Penetapan kadar asam mefenamat dilakukan secara titrasi semi bebas air yaitu dengan menggunakan NaOH 0,0948 N sebagai pentiter dan indikator fenolftalein sehingga diperoleh kadar asam mefenamat sebesar 99,88 %. Hasil

dapat dilihat pada lampiran 2.

4.3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Mefenamat Dalam

Larutan Dapar Fosfat pH 7,4

Untuk mengetahui panjang gelombang maksimum asam mefenamat dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 maka dilakukan pengukuran pada larutan induk baku asam mefenamat (10 mcg/ml) dengan menggunakan alat spektrofotometer ultraviolet. Dari pengukuran diperoleh panjang gelombang asam mefenamat dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 adalah 285,0 nm. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam literatur (Moffat, 1986).

4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Asam Mefenamat Pada Larutan Dapar

Fosfat pH 7,4

(41)

mcg/ml; 16,0 mcg/ml; dan 18 mcg/ml sehingga diperoleh absorbansi dari masing-masing konsentrasi. Hasil dapat dilihat pada lampiran 7.

4.5 Ketergantungan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Asam Mefenamat

Pada Mukosa Usus Halus Kelinci

Untuk mengetahui ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat dilakukan pengujian dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 pada bagian duodenum, jejunum, dan ileum dengan temperatur 370 C. Hasil yang diperoleh seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Data Laju Absorpsi Asam Mefenamat Berbagai Konsentrasi Pada

Mukosa Duodenum (mcg/µl/detik)

Konsentrasi (M) 0,001 0,0015 0,002 0,005

Laju Absorpsi (mcg/µl/detik) 0,3703 0,3666 0,4852 1,0282

Dari hasil uji statistik (lampiran 15.a) data pada tabel 1 diperoleh bahwa pada konsentrasi 0,001 M, 0,0015 M, dan 0,002 M tidak terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan diantara ketiganya, namun pada konsentrasi 0,005 M terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan terhadap konsentrasi 0,001 M, 0,0015 M, dan 0,002 M. Dimana laju absorpsi paling tinggi adalah pada konsentrasi 0,005 M. Hal ini mengasumsikan bahwa adanya ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa duodenum kelinci.

Tabel 2. Data Laju Absorpsi Asam Mefenamat Berbagai Konsentrasi Pada

Mukosa Jejunum (mcg/µl/detik)

Konsentrasi (M) 0,001 0,0015 0,002 0,005

Laju Absorpsi (mcg/ µl /detik) 0,4028 0,2147 0,4406 1,042

(42)

0,001 M dan 0,002 M tidak terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan diantara keduanya, tetapi terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan terhadap konsentrasi 0,0015 M dan 0,005 M. Pada konsentrasi 0,005 M terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan terhadap konsentrasi 0,001 M, 0,0015 M, dan 0,002 M. Dimana laju absorpsi paling tinggi adalah pada konsentrasi 0,005 M dan laju absorpsi paling rendah adalah pada konsentrasi 0,0015 M. Hal ini mengasumsikan bahwa adanya ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa jejunum kelinci.

Tabel 3. Data Laju Absorpsi Asam Mefenamat Berbagai Konsentrasi Pada

Mukosa ileum (mcg/µl/detik)

Konsentrasi (M) 0,001 0,0015 0,002 0,005

Laju Absorpsi (mcg/ µl /detik) 0,4069 0,3181 0,4798 1,1319

Dari hasil uji statistik (lampiran 15.c) data pada tabel 3 diperoleh bahwa pada masing-masing konsentrasi terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan. Dimana urutan laju absorpsi pada mukosa ileum kelinci dari yang paling tinggi sampai terendah secara berurutan adalah pada konsentrasi 0,005 M > 0,002 M > 0,001 M > 0,0015 M. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh konsentrasi terhadap laju absorpsi pada mukosa ileum kelinci.

4.6 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Untuk

Masing-Masing Bagian Usus Halus Kelinci

Dari data laju absorpsi asam mefenamat pada berbagai konsentrasi di atas, ditentukan laju absorpsi pada masing-masing bagian usus halus kelinci.

Tabel 4. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing Bagian Usus Halus

Kelinci Dengan Konsentrasi 0,001 M

Bagian usus Laju Absorpsi (mcg/ µl /detik)

Duodenum 0,3703

Jejunum 0,4027

(43)

Dari hasil uji statistik (lampiran 15.d) data pada tabel 4 diperoleh bahwa pada konsentrasi 0,001 M yang diujikan tidak terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan pada duodenum, jejunum dan ileum. Hal ini menunjukkan bahwa laju absorpsi asam mefenamat pada bagian usus duodenum, jejunum dan ileum tidak berbeda.

Tabel 5. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing Bagian Usus Halus

Kelinci Dengan Konsentrasi 0,0015 M

Bagian usus Laju Absorpsi (mcg/ µl /detik)

Duodenum 0,3666

Jejunum 0,2147

Ileum 0,3181

Dari hasil uji statistik (lampiran 15.e) data pada tabel 5 diperoleh bahwa pada konsentrasi 0,0015 M yang diujikan tidak terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan pada duodenum dan ileum. Tetapi pada bagian jejunum terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan terhadap duodenum dan ileum. Dimana laju absorpsi asam mefenamat yang paling tinggi dengan konsentrasi 0,0015 M adalah pada bagian usus duodenum dan ileum. Dan laju absorpsi yang paling rendah adalah pada bagian jejunum.

Tabel 6. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing Bagian Usus Halus

Kelinci Dengan Konsentrasi 0,002 M

Bagian usus Laju Absorpsi (mcg/ µl /detik)

Duodenum 0,4852

Jejunum 0,4406

Ileum 0,4798

Dari hasil uji statistik (lampiran 15.f) data pada tabel 6 diperoleh bahwa

(44)

perbedaan laju absorpsi yang signifikan terhadap duodenum dan ileum. Dimana laju absorpsi asam mefenamat yang paling tinggi dengan konsentrasi 0,002 M adalah pada bagian usus duodenum dan ileum. Dan laju absorpsi yang paling rendah adalah pada bagian jejunum.

Tabel 7. Data Laju Absorpsi Pada Masing-Masing Bagian Usus Halus

Kelinci Dengan Konsentrasi 0,005 M

Bagian usus Laju Absorpsi (mcg/ µl /detik)

Duodenum 1,0282

Jejunum 1,0420

Ileum 1,1319

Dari hasil uji statistik (lampiran 15.g) data pada tabel 7 diperoleh bahwa pada konsentrasi 0,005 M yang diujikan tidak terdapat perbedaan laju absorpsi yang signifikan pada duodenum, jejunum dan ileum. Hal ini menunjukkan bahwa pada percobaan dengan konsentrasi 0,005 M tidak ada perbedaan laju absorpsi pada ketiga bagian usus halus tersebut.

4.7 Ketergantungan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Dari Asam

Mefenamat Pada Mukosa Usus Halus Kelinci

Untuk mengetahui ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci dilakukan dengan menggunakan persamaan Michaelis Menten menggunakan data pada tabel 7, tabel 8, dan tabel 9,

dan digambarkan dalam bentuk kurva seperti yang terlihat pada gambar. Persamaan Michaelis Mentens:

V =

Dimana; V = Kecepatan absorpsi awal (mcg/ml/menit) Vmaks = Kecepatan absorpsi maksimum (mcg/ml/menit)

Km = Tetapan Michaelis Mentens (M)

[C] = Konsentrasi (M)

(45)

Tabel 8. Data Variasi Konsentrasi Up-take Dari Asam Mefenamat Pada

Mukosa Duodenum

Konsentrasi

Awal(M) (C)

Kecepatan Awal

Pada 20 Detik (V) V ± SD 1/C 1/V

0,001 370,2571 325,3699 – 415,1444 1 0,0027

0,0015 366,6308 278,6335 – 454,6281 0,6667 0,0027

0,002 485,2022 457,6361 – 512,7683 0,5 0,0021

0,005 1028,1692 829,4932 – 1226,8452 0,2 0,0010

Gambar 1. Kurva Lineweaver-Burk Plot Dari Absorpsi Asam Mefenamat

Pada Mukosa Duodenum Kelinci. Temperatur ± 370C, pH = 7,4,

n=6

y = 0,0022x + 0,0008 R 2 = 0,8034

-0.002 -0.001 0.000 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007

-1. -0.8 -0.60 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

1/Km = 0,3636

1/Vmaks = 0,0008

1/V (mcg/50 µl/20detik) detik)

(46)

Tabel 9. Data Variasi Konsentrasi Up-take Dari Asam Mefenamat Pada

Mukosa Jejunum

Konsentrasi

Awal (M) (C)

Kecepatan Awal

Pada 20 Detik

(V) V ± SD 1/C 1/V

0,001 402,6747 356,4686 - 448.8808 1 0,0025

0,0015 214,6527 191,7817 - 237.5238 0,6667 0,0047

0,002 440,5868 405,6483 - 475.5254 0,5 0,0023

0,005 104,0154 957,2613 - 1126.7693 0,2 0,0010

Gambar 2. Kurva Lineweaver-Burk Plot Dari Absorpsi Asam Mefenamat

Pada Mukosa Jejunum Kelinci. Temperatur ± 370C, pH = 7,4,

n=6

y = 0,0023x + 0,0012 R 2 = 0,2579

-0.002 0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01 0.012

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

1/V (mcg/50 µl/20 detik) detik)

1/C (1/10-3 M ) 1/Km = 0,5217

(47)

Tabel 10. Data Variasi Konsentrasi Up-take Dari Asam Mefenamat Pada

Mukosa ileum

Konsentrasi

Awal (M) (C)

kecepatan awal

pada 20 detik

V V ± SD 1/C 1/V

0,001 406,8725 375,3915 – 438,3535 1 0,0025

0,0015 318,0593 275,2581 – 360,8606 0,6667 0,0031

0,002 479,7810 451,75482 – 507,8071 0,5 0,0021

0,005 1131,9421 1045,7034 – 1218,1809 0,2 0,0009

Gambar 3. Kurva Lineweaver-Burk Plot Dari Absorpsi Asam Mefenamat

Pada Mukosa Ileum Kelinci. Temperatur ± 370C, pH = 7,4, n = 6

y = 0,0021x + 0,0009 R 2 = 0,5485

-0.002 -0.001 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

1/Vmaks = 0,0009

1/Km = 0,4286

1/V (mcg/50 µl/20 detik) detik)

(48)

Tabel 11. Data Harga Vmaks dan Km dari Asam Mefenamat Pada

Masing-Masing Bagian Usus Halus

Bagian Usus Halus Vmaks Km

Duodenum 1,25 mcg/µl/detik 2,7503 x 10-3 M

Jejunum 0,8333 mcg/µl/detik 1,9168 x 10-3 M

Ileum 1,1111 mcg/µl/detik 2,3332 x 10-3 M

Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai Vmaks dan nilai Km dari masing-masing

bagian usus adalah berbeda. Dimana nilai Vmaks yang terbesar adalah pada bagian

duodenum, kemudian ileum dan terkecil pada bagian jejunum. Demikian juga dengan nilai Km dari masing-masing bagian usus adalah berbeda. Dimana nilai Km

berurutan dari terbesar adalah pada bagian duodenum, kemudian ileum dan terkecil pada bagian jejunum.

Tabel 12. Data Harga AUC Asam Mefenamat Pada Berbagai Konsentrasi

Dalam mcg.detik/µl Pada Mukosa Duodenum Kelinci

n Konsentrasi 0,001

Konsentrasi 0,0015

Konsentrasi 0,002

Konsentrasi 0,005

1 36,5807 37,1147 48,3572 105,6667

2 33,0898 37,4700 47,7565 104,6942

3 616,1222 625,7618 1032,1859 1660,9134

4 1331,2114 1225,0048 1970,1653 3282,8993

5 2230,0484 2199,3231 2755,0813 6267,3230

Rata-rata 849,4105 824,9349 1170,7092 2284,2993

(49)

Tabel 13. Data harga AUC Asam Mefenamat Pada Berbagai Konsentrasi

Dalam mcg.detik/µl Pada Mukosa Jejunum Kelinci

n Konsentrasi

0,001

3 612,0343 467,3090 929,7112 1866,8716

4 1244,8773 997,6642 1672,9081 3533,3037

5 2240,1802 1667,3011 2369,7626 5947,3890 Rata-rata 834,5279 637,9707 1013,7651 2310,5799

Dari hasil uji statistik (lampiran 15,i) data tabel 13, diperoleh bahwa harga AUC dari masing-masing konsentrasi tidak terdapat perbedaan yang signifikan, Hal ini menunjukan bahwa perbedaan konsentrasi tidak mempengaruhi jumlah obat yang terdapat pada mukosa jejunum kelinci.

Tabel 14. Data harga AUC Asam Mefenamat Pada Berbagai Konsentrasi

Dalam mcg.detik/µl Pada Mukosa Ileum Kelinci

n Konsentrasi 0,001

3 742,1815 443,3486 725,7376 1930,5837

4 1504,2884 973,9938 1649,4884 3894,2664 5 2433,7407 1785,2571 2837,0593 6325,3890

Rata-rata 952,7733 651,4254 1061,2621 2472,9336

(50)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Laju absorpsi dari asam mefenamat pada mukosa usus halus kelinci dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi.

b. Pada konsentrasi 0,005 M, laju absorpsi asam mefenamat lebih besar dibandingkan pada konsentrasi 0,002 M, 0,0015 M, dan 0,001 M untuk semua bagian usus halus. Dimana laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,005 M pada duodenum sebesar 1,0282 mcg/µl/detik, pada jejunum sebesar 1,042 mcg/µl/detik dan pada ileum sebesar 1,1319 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,002 M pada duodeum sebesar 0,4852 mcg/µl/detik, pada jejunum sebesar 0,4406 mcg/µl/detik dan pada ileum sebesar 0,4798 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,0015 M pada duodenum sebesar

0,3666 mcg/µl/detik, pada jejunum sebesar 0,2147 mcg/µl/detik dan pada ileum sebesar 0,3181 mcg/µl/detik. Laju absorpsi asam mefenamat dengan konsentrasi 0,001 M pada duodenum sebesar 0,3703 mcg/µl/detik, pada

jejunum sebesar 0,4027 mcg/µl/detik dan pada ileum sebesar 0,4175 mcg/µl/detik.

5.2 Saran

a. Disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari pendukung penelitian ini dengan melakukan percobaan mempergunakan struktur analog terhadap absorpsi asam mefenamat pada mukosa duodenum, jejunum dan ileum.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M., Devissaguet, J., and Guyot-herman, A.M. (1993). Farmasetika Biofarmasi. Penerjemah : Widji Soerartri. Surabaya: Airlangga University

Press. hal. 32-42, 178-179 dan 247-248.

Ansel, C.H. (1989). Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah: Farida Ibrahim. Cetakan I. edisi IV. Universitas Indonesia Press. Jakarta. hal. 112-113

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. hal. 262,648,672, 674,746 dan 755.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. hal. 400-401.

Fawcett, D.W. (2002). Textbook of Histologi. Penerjemah : Jan Tambayong. Edisi XII. EGC. Jakarta. hal. 553-559.

Ganiswara, G.S. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia Press. hal. 217.

Gennaro, A. R. (2000). Remington : The Science and Practice of Pharmacy. Volume II. International Student Edition. p. 684-688.

Gillman and Goodman. (1996). The Pharmacological Basis of Theraupeutics.

Ninth Edition. p. 635-636

(52)

Joseph, R.D. (1971). Pharmacology in Medicine. Mc Graw-Hill Book Company. p.409-410.

Kooshapur, H., and Chaiden, M. (1999). Intestinal Transport of Human Insulin in Rat. Medical Journal of Islamic Academic of Sciences 12. No: 1.

Leeson, C.R. (1996). Textbook of Histologi. Penerjemah: Staf Ahli Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi V. Cetekan VI. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hal. 359-366.

Martin, D.W., Peter A.M., Victor, W.R., and Daryl, K.G.(1987). Biokimia Harper. Alih Bahasa : Iyan Darmawan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta. hal. 91-94.

Moffat, C.A. (1986). Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Second Edition. Pharmaceutical Press. London. p.

Neuvonen, P.J., Kivisto, K.T. (1994). Enhancement of Drug Absorption by Antacid. An unrecognized Drug Interaction. Clin Pharmakokinet.

27:120-8. Tall, A.R., Mistilits S.P. (1975). Studies on Ponstan (mefenamic acid): I. Gastro-intestinal blood loss; II. Absorption and excretion of a new formulation. J Int Med Res (UK). p.176-182. Winder, C.V., Kaump, D.H. (1967). Experimental Observations of Flufenamic, Mefenamic, and Meclonamic Acids. AnnPhys Med (Eng). Suppl. p. 7-49. Champion, G.D.,

Graham, G.G. (1978). Pharmacokinetics of Non-Steroidal Anti-Inflammatory Agents. Aust NZ J Med. Supp. p. 94-100. McGurk, KA.,

et.al. (1996). Reactivity of Mefenamic Acid 1-o-Acyl Glucoronide with

Proteins in-Vitro and ex-Vitro. Drug Metab Dispos. p. 842-911.

Panggabean, J. (2006). Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi Furosemid Pada Kantung Terbalik (Everted sac) Ileum Kelinci. Medan:

(53)

Qamar, S., Bukhari, Nadem, Bukhari, I., Ahmad, M., and Muzaffar, N. (1997). The Bioavailability and Pharmacokinetics of Mefenamic acid in

Alloxan-diabetic Rabbits. Journal Of Medical Sciences Vol. 22. No:4, pp. 163-166.

Qamar, S., Bukhari, Nadem, Bukhari, I., Ahmad, M., and Muzaffar, N. (1999). Effect of Dehydration on the Pharmacokinetics of Mefenamic Acid.

Journal Of Medical Sciences 29. No: 101-104.

Sianipar , E. (2007). Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Tablet Furosemid Generik Pada Kantung Tebalik (everted sac) Jejunnum

Kelinci. Medan: Skripsi Fakultas Farmasi USU.

Siregar, M.K. (2006). Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi Furosemida Pada Kantung Terbalik (Everted sac) Duodenum Kelinci.

Medan: Skripsi Departemen Farmasi FMIPA USU.

Siswandono, M.S. (1995). Kimia Medisinal. Cetakan I. Airlangga University Press. hal. 32-33.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: Penerbit UII Press. hal : 12-15. Tamai, I., Ling, H. Y., Simanjuntak, M. T., Nishikido, J., and Tsuji, A. (1987).

Stereospecific Absorption and Degradation of Cephalexin. Journal

Pharmacy and Pharmacology 40. No: 320-324.

Tjay, T. H., dan Kirana R. (2002). Obat-Obat Penting. Cetakan Kedua. Edisi Kelima. Jakarta: PT Elexmedia Komputindo. hal. 314.

Yagi, N., Kenmotsu, H., Sekikawa, H., and Takada, M. (1990). Studies on the Photolysis and Hydrolysis of Furosemide in Aqueous Solution. Vol 39.

(54)

Lampiran 1. Diagram Rancangan Percobaan

Asam Mefenamat

Asam mefenamat adalah obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) yang memberikan efek anti inflamasi, analgesik dan antipiretik (Gillman, 1996).

Asam mefenamat diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral. Pemberian 500 mg dosis tunggal yang diujikan, laju absorpsi rata-rata sekitar 30,5 mcg/ml/jam. Konsentrasi puncak pada plasma dicapai dalam 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam. (Neuvonen, et all, 1994). Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan (Ganiswara, 1995).

Dilakukan proses up-take

Variasi konsentrasi dengan waktu berbeda

Diukur secara spektrofotometer UV (285 nm)

Hasil Sifat Fisikokimia

Serbuk hablur putih atau hampir putih, melebur pada suhu lebih kurang 2300 C disertai peruraian Larut dalam larutan alkali

hidroksida, agak sukar larut dalam kloroform, sukar larut dalam etanol dan methanol, praktis tidak larut dalam air

(55)

Lampiran 2. Contoh Perhitungan Kadar Asam Mefenamat

1. Pembakuan NaOH 0,1 N

No Berat Kalium Biftalat (mg) Volume Titrasi (ml)

1 150 6,2

Dipipet 40 ml lalu dititrasi dengan NaOH

N1NaOH =

Dihitung harga Nrata-rata dan deviasi (d)

Nr1 = N

Maka, normalitas NaOH adalah harga Nrata-rata dengan deviasi terkecil yaitu d2 = 0

% dengan N = 0,0948 N

2. Penetapan Kadar Asam mefenamat

No Berat Sampel (mg) Volume Titrasi (ml)

(56)

2 150 6,6

3 150 6,55

Contoh Perhitungan :

Kadar (K) = x100%

Dihitung harga Krata-rata dan deviasi (d)

Kr1 = 100,27%

Maka, kadar Asam Mefenamat baku adalah harga Krata-rata dengan deviasi terkecil

(57)

Lampiran 3. Flowsheet Pembuatan Larutan Induk Baku Asam mefenamat

Dalam Dapar Fosfat pH 7,4

Asam mefenamat baku

Dikeringkan pada suhu 105°C selama 3 jam

Ditimbang seksama 25,0 mg

Dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu

tentukur 250 ml

Ditambah tetes demi tetes NaOH 0,1 N sampai larut.

Dicukupkan dengan dapar posfat pH 7,4 sampai

dengan garis tanda

(58)

Lampiran 4. Flowsheet Penentuan λ Maksimum Asam Mefenamat dalam Dapar Fosfat pH 7,4

Lampiran 5. Flowsheet Pembuatan Kurva Kalibrasi Asam Mefenamat Baku

dalam Dapar Fosfat pH 7,4

Larutan induk baku

Dipipet 5 ml

Dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml

Dicukupkan dengan dapar posfat pH 7,4

sampai dengan garis tanda

Diukur pada panjang gelombang

200– 400 nm.

Panjang Gelombang Maksimum

Larutan Induk Baku

Dipipet masing-masing 2; 2,5; 5; 8; 8,5 ml atau setara dengan 4; 5; 10; 16; 17 mcg/ml

Dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml.

Dicukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 sampai dengan garis tanda

Diukur pada panjang gelombang maksimum 285,0 nm.

(59)

Lampiran 6. Penentuan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Asam

Mefenamat Baku dalam Larutan Dapar Fosfat pH 7,4

(60)

Jadi persamaan regresi Asam mefenamat dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 adalah : Y = 0,0405X – 0,0025

Nilai koefisien korelasi (r) = 0,9984

y = 0.0405x - 0.0025

Lampiran 7. Flowsheet Pembuatan Usus Terbalik

Kelinci jantan

Berat 1,5 - 2 kg.

Dipuasakan selama 20-24 jam

Dianastesi dengan eter sampai pingsan Perutnya dibuka dan ususnya

dikeluarkan

Dibersihkan dari jaringan ikat, pembuluh darah halus dan jaringan saraf

Usus bersih

Diikat pada jarak 25 cm dari pylorus merupakan bagian duodenum

Diikat 30 cm dari ujung duodenum merupakan yeyunum

Diikat 45 cm dari ujung yeyunum merupakan ileum

(61)

Lampiran 8. Flowsheet Pengambilan Mukosa dan Pembuatan mukosa

homogen

Usus Terbalik

Dijepit dengan pinset

Dimasukkan kedalam alat yang sudah dimodifikasi

Dikikis mukosa dengan cara ditarik perlahan-lahan

Ditampung dalam beaker yang dikelilingi es

Mukosa

Ditimbang

Diencerkan sebanyak 5 kalinya dengan dapar fosfat pH 7,4

Dihomogenkan dengan homogenizer mixer modifikasi selama 15 menit

(62)

Lampiran 9. Flowsheet Pembuatan Kurva Kalibrasi Dalam Mukosa Usus

Halus Kelinci

Mukosa homogen Usus terbalik

Dijepit dengan pinset

Dimasukkan kedalam alat yang sudah dimodifikasi

Dikikis mukosa dengan cara ditarik perlahan-lahan

Ditampung dalam beaker yang dikelilingi es

Mukosa

Ditimbang

Diencerkan sebanyak 5 kalinya dengan dapar fosfat pH 7,4 Dihomogenkan dengan homogenizer mixer modifikasi selama 15 menit

Dipipet 50 µl dimasukkan kedalam politube Dipreinkubasi selama 3 menit pada suhu 370C Dilakukan up-take larutan obat asam mefenamat sebanyak 100 µl pada suhu 370 C Diinkubasi selama 3 menit dengan variasi konsentrasi larutan asam mefenamat 4 mcg/ml, 5 mcg/ml, 10 mcg/ml, 16 mcg/ml, dan 17 mcg/ml

Ditambahkan etanol sebanyak 600 µl Disentrifusi dengan 3000 rpm selama 3 menit

Terbentuk dua lapisan

Larutan jernih Endapan (dibuang)

Dipipet 0,5 ml dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml

Diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda

Diukur pada panjang gelombang maksimum

(63)

Lampiran 10. Penentuan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Asam

Mefenamat Baku dalam Mukosa Usus halus Kelinci

Konsentrasi

Jadi persamaan regresi asam mefenamat dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 adalah

: Y = 0,0005X + 0,0049

Gambar

Gambar 1. Stuktur Membran Sel
Gambar 2. Difusi Pasif Melalui Pori
Gambar 3. Difusi dengan Fasilitas
Gambar 4. Sistem Pengangkutan Aktif
+7

Referensi

Dokumen terkait