PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN
BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR
DI KOTA TANJUNGBALAI
T E S I S
Oleh
FIBLIA 077035003/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN
BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR
DI KOTA TANJUNGBALAI
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FIBLIA 077035003/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA
PENANGGULANGAN BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN
PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KOTA TANJUNGBALAI
Nama Mahasiswa : Fiblia Nomor Induk Mahasiswa : 077035003
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, S.E, M.Si) (Abdul Muthalib, S.H, M.A.P) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 28 Juli 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, S.E, M.Si Anggota : 1. Abdul Muthalib, S.H, M.A.P
PERNYATAAN
PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DAN PSIKOLOGIS TERHADAP KINERJA PETUGAS SATUAN PELAKSANA PENANGGULANGAN
BENCANA (SATLAK PB) PADA FASE KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR
DI KOTA TANJUNGBALAI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2010
ABSTRAK
Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami berbagai kejadian bencana diantaranya banjir. Dampak yang ditimbulkan akibat banjir ini menyebabkan kerugian diberbagai aspek yaitu ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dll. Kinerja petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai sebagai wadah non struktural yang memiliki tugas dan fungsi dalam penanggulangan bencana perlu dianalisa kembali oleh karena tingginya dampak yang disebabkan bencana ini.
Penelitian ini merupakan survey eksplanatori dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan, latar belakang) dan psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, motivasi) terhadap kinerja petugas Satuan Pelaksanan Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai. Populasi penelitian ini adalah seluruh unsur petugas Satlak PB yang meliputi beberapa instansi diantaranya Kesbanglinmas, Kepolisian Daerah Resor Tanjungbalai, Pangkalan TNI AL-Tanjungbalai Asahan, Komando Rayon Militer 09 Tanjungbalai, Dinas Sosial Kota Tanjungbalai, Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai, Dinas Perhubungan dan Komunikasi Informatika Kota Tanjungbalai, Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai, Rumah Sakit Umum Daerah, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Tanjungbalai pada tahun 2010, berjumlah 43 orang. Pengambilan sampel secara total (sampel jenuh). Pengumpulan data melalui kuisioner terstruktur. Penelitan dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2010. Analisis data menggunakan uji regresi linear berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian (X6) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ= 0,002) terhadap kinerja petugas, motivasi (X8) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ = 0,000) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai. Sedangkan kemampuan, keterampilan, latar belakang, persepsi, sikap dan pembelajaran tidak berpengaruh terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai serta kinerja petugas Satlak PB dinilai tidak optimal.
Disarankan kepada Satlak PB agar dalam perekrutan anggota lebih mengutamakan faktor psikologis petugas yaitu kepribadian dan motivasi. Perlu dipercepat pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menggantikan peran Satlak PB.
ABSTRACT
Tanjungbalai city in this last some months of 2008,was facing some of disasters, one of them was flood.The effect because of it caused damages in many aspects such as economic,social,health,education and etc. Performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers as a non structural division was needed tobe analyse again because of a lot of effect by the disaster.
This study is an explanatory survey which aim is to analyse the influence of the individual factors (capacity, skill and background) and psychological factors (perceptions, attitudes, personality, learning and motivation) in the performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers.The population of this study are all elements of the Satlak PB officers that includes several agencies including Kesbanglinmas,Tanjungbalai police Resorts in the region, chips of the Base Naval-Tanjungbalai, 09 military command Tanjungbalai rayon, service Social Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of health, Office of communications and information technologies of the Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of public works, General Regional Hospital, the Indonesian Red Cross (PMI) city Tanjungbalai, in number of 43 people.The case sample were taken by total sampling. Data collection through structured questionnaire. The research activities carried out in February 2010 - March 2010. Analysis of data using multiple linear regression on the 95% level.
The results showed that personality (X 6) has a positive and significant ( ρ = 0.002) to the officials performance, motivation (X 8) has a positive and significant (ρ = 0.000)to the performance of Satlak Pb of Tanjungbalai city’s officials. While capacity, skills, background, perceptions, attitudes and the learning did not affect the performance of Satlak PB of Tanjungbalai city’s officials and the performance of Satlak PB is not optimize.
It is suggested to the Satlak PB in recruting the officials need to concentrate the psychological factors : personality and motivation so that the performance of Satlak PB can be optimize. Reform Satlak PB to BPBD as soon as posibble.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap alhamdulillahi rabbil’alamin, atas segala rahmat, karunia,
ijin dan ridho-Nya, sehingga tesis yang berjudul: “Pengaruh Faktor Individu dan
Psikologis terhadap Kinerja Petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana
(Satlak PB) pada Fase Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Banjir di Kota
Tanjungbalai” dapat diselesaikan. Dalam menyusun tesis ini, peneliti mendapatkan
berbagai masukan, saran, pendapat, kritik, bantuan, dorongan, bimbingan, dari
berbagai pihak dan keluarga.
Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat.
3. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan selaku dosen yang dengan penuh kesabaran membimbing dan
memahamkan filosofis kepemimpinan yang baik dan benar.
4. Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, S.E, M.Si, selaku Ketua Pembimbing, dan selaku
dan mengarahan ke arah pola pikir dan pola tindak dalam berproses sebagai
peneliti yang baik dan benar.
5. Abdul Mutholib, S.H, M.A.P, selaku Anggota Pembimbing, dan selaku dosen
yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan materi tesis dari
aspek filosofi penanggulangan kesehatan bencana yang baik dan benar.
6. Prof. dr. Amri Amir, Sp.F(K), D.F.M, S.H, Sp.Ak selaku Pembanding, dan
selaku dosen sekaligus penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan
memahamkan filosofi materi tesis yang baik dan benar.
7. Suherman, S.K.M, M.Kes selaku Pembanding, dan selaku dosen sekaligus
penguji yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memahamkan filosofi
materi tesis dan metode penelitian yang baik dan benar.
8. Ibunda tercinta serta kakak, abang dan adik yang sangat besar peranannya dalam
suka dan duka, yang selalu memberikan dukungan dorongan moril dan doa.
9. Direktur dan seluruh sejawat, rekan kerja di RSU Tanjungbalai dan RSU Hadi
Husada Tanjungbalai yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dalam membantu
kegiatan operasional penyusunan tesis.
10. Rekan-rekan mahasiswa S2 IKM minat studi Manajemen Kesehatan Bencana,
yang selalu tukar pikiran dalam memberikan masukan demi penyempurnaan
Peneliti menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini masih banyak kekurangan,
kelemahan, keterbatasan dalam penelitian dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu
mohon kritik dan saran demi perbaikan tesis ini.
Medan, September 2010
Peneliti,
RIWAYAT HIDUP
Fiblia, lahir di Kisaran, 17 Februari 1982, beragama Islam, bertempat tinggal
di jalan Pancakarsa Tanjungbalai, Sumatera Utara. Anak ke-3 dari empat bersaudara
dari Ibunda Darwati Siregar dan Ayahanda M. Idris.
Riwayat pendidikan umum, SDN 013858 Kisaran (1994), SMPN 2 Kisaran
1997, SMAN 2 Plus Matauli Pandan Tapteng (2000), Sarjana (S1) Pendidikan Dokter
USU Medan (2006).Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Manajemen Kesehatan Bencana (2007-sekarang)
Riwayat pekerjaan/jabatan, Dokter PTT Brigade Siaga Bencana 2007–2008,
Dokter Kontrak Polda Sumut 2007–2008, Dokter Triase RSUD Dr. Tengku Mansyur
Tanjungbalai 2008–sekarang. Dokter Umum RSU Hadi Husada Tanjungbalai, Dosen
Akbid Bina Daya Husada Kisaran 2009-sekarang. Riwayat kepangkatan/Golongan,
Dokter umum RSUD Dr Tengku Mansyur Tanjungbalai dengan golongan IIIb
(2010).
Riwayat Organisasi: Anggota Palang Merah Indonesia cabang Kota
Tanjungbalai (2010). Pelatihan yang pernah diikuti : Emergency Life Support (2008),
Advance Trauma Life Support (2008), Advance Cardiac Life Support (2010),
Pelatihan Manajemen Penanggulangan Bencana Sumatera Utara (2008), Simulasi
Penanggulangan Bencana Dinas Kesehatan Kota Medan (2008), International
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 11
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Hipotesis ... 12
1.5. Manfaat Penelitian ... 12
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Kinerja Petugas ... 13
2.2.Faktor Individu yang Memengaruhi Kinerja Petugas... 18
2.3. Faktor Psikologi yang Memengaruhi Kinerja Petugas ... 19
2.4. Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Banjir………... .. 37
2.5. Landasan Teori………... 42
2.6. Kerangka Konsep Penelitian……….... 44
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45
3.1. Jenis Penelitian... 45
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… . 45
3.3. Populasi dan Sampel……….. 45
3.3.1. Populasi……… 45
3.3.2. Sampel………. 46
3.4. Metode Pengumpulan Data……… 46
3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas………... 47
3.5. Variabel dan Definisi Operasional………. 53
3.6. Metode Pengukuran……… .. 57
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 64
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 64
4.2. Profil Responden ... 77
4.3. Deskripsi Variabel Penelitian ... 78
4.4. Uji Prasyarat untuk Regresi Linear Berganda ... 81
4.5. Uji Regresi Linear Berganda ... 84
BAB 5 PEMBAHASAN ... 92
5.1. Kinerja Petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai ... 92
5.2. Pengaruh Faktor Individu (Kemampuan) terhadap Kinerja Petugas Satlak PB... 94
5.3. Pengaruh Faktor Individu (Keterampilan) terhadap Kinerja Petugas Satlak PB... 95
5.4. Pengaruh Faktor Individu (Latar belakang) terhadap Kinerja Petugas Satlak PB... 95
5.5. Pengaruh Faktor Psikologis terhadap Kinerja Petugas Satlak PB ... 96
5.6. Keterbatasan Penelitian... 96
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
6.1. Kesimpulan ... 97
6.2. Saran... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Proses persepsi... 19
2.2. Faktor persepsi menurut Robins………... 20
2.3. Teori atribusi………. 21
2.4. Model teori kinerja Gibson………... 44
2.5. Kerangka konsep penelitian……….. 44
4.1. Struktur organisasi Kesbanglinmas………... 69
4.2. Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai... 70
4.3. Struktur organisasi penanggulangan bencana Lanal Tanjungbalai Asahan………...
72
4.4. Bagan prosedur penanggulangan bencana alam Lanal
Tanjungbalai Asahan………...
4.5. Struktur organisasi Dinas perhubungan Kota
Tanjungbalai………...
74
4.6.
4.7.
4.8.
Struktur organisasi Palang Merah Indonesia Kota
Tanjungbalai………...
Grafik normalitas data responden Satlak PB………
Grafik heteroskedastisitas………
75
82
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Master Tabel... ... 103
2. Kuisioner Tesis... 105
3. Tabel Distribusi Frekuensi Responden... 114
4.
5.
Tabel Hasil Uji Validitas ...
Tabel Hasil Uji Reliabilitas...
116
120
ABSTRAK
Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami berbagai kejadian bencana diantaranya banjir. Dampak yang ditimbulkan akibat banjir ini menyebabkan kerugian diberbagai aspek yaitu ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dll. Kinerja petugas Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai sebagai wadah non struktural yang memiliki tugas dan fungsi dalam penanggulangan bencana perlu dianalisa kembali oleh karena tingginya dampak yang disebabkan bencana ini.
Penelitian ini merupakan survey eksplanatori dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan, latar belakang) dan psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, motivasi) terhadap kinerja petugas Satuan Pelaksanan Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai. Populasi penelitian ini adalah seluruh unsur petugas Satlak PB yang meliputi beberapa instansi diantaranya Kesbanglinmas, Kepolisian Daerah Resor Tanjungbalai, Pangkalan TNI AL-Tanjungbalai Asahan, Komando Rayon Militer 09 Tanjungbalai, Dinas Sosial Kota Tanjungbalai, Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai, Dinas Perhubungan dan Komunikasi Informatika Kota Tanjungbalai, Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai, Rumah Sakit Umum Daerah, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Tanjungbalai pada tahun 2010, berjumlah 43 orang. Pengambilan sampel secara total (sampel jenuh). Pengumpulan data melalui kuisioner terstruktur. Penelitan dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2010. Analisis data menggunakan uji regresi linear berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian (X6) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ= 0,002) terhadap kinerja petugas, motivasi (X8) berpengaruh secara positif dan signifikan (ρ = 0,000) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai. Sedangkan kemampuan, keterampilan, latar belakang, persepsi, sikap dan pembelajaran tidak berpengaruh terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai serta kinerja petugas Satlak PB dinilai tidak optimal.
Disarankan kepada Satlak PB agar dalam perekrutan anggota lebih mengutamakan faktor psikologis petugas yaitu kepribadian dan motivasi. Perlu dipercepat pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menggantikan peran Satlak PB.
ABSTRACT
Tanjungbalai city in this last some months of 2008,was facing some of disasters, one of them was flood.The effect because of it caused damages in many aspects such as economic,social,health,education and etc. Performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers as a non structural division was needed tobe analyse again because of a lot of effect by the disaster.
This study is an explanatory survey which aim is to analyse the influence of the individual factors (capacity, skill and background) and psychological factors (perceptions, attitudes, personality, learning and motivation) in the performance of the Executive Unit for reduction management (Satlak PB) of Tanjungbalai city’s officers.The population of this study are all elements of the Satlak PB officers that includes several agencies including Kesbanglinmas,Tanjungbalai police Resorts in the region, chips of the Base Naval-Tanjungbalai, 09 military command Tanjungbalai rayon, service Social Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of health, Office of communications and information technologies of the Tanjungbalai city, Tanjungbalai City Department of public works, General Regional Hospital, the Indonesian Red Cross (PMI) city Tanjungbalai, in number of 43 people.The case sample were taken by total sampling. Data collection through structured questionnaire. The research activities carried out in February 2010 - March 2010. Analysis of data using multiple linear regression on the 95% level.
The results showed that personality (X 6) has a positive and significant ( ρ = 0.002) to the officials performance, motivation (X 8) has a positive and significant (ρ = 0.000)to the performance of Satlak Pb of Tanjungbalai city’s officials. While capacity, skills, background, perceptions, attitudes and the learning did not affect the performance of Satlak PB of Tanjungbalai city’s officials and the performance of Satlak PB is not optimize.
It is suggested to the Satlak PB in recruting the officials need to concentrate the psychological factors : personality and motivation so that the performance of Satlak PB can be optimize. Reform Satlak PB to BPBD as soon as posibble.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Sumatera Utara terletak antara 1-40 LU dan 980-1000 BT
merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang terletak di kawasan Palung Pasifik
Barat. Luas wilayah ± 71.680 KM2, secara geografis terbagi atas wilayah Pantai
Timur dan Pantai Barat. Pantai Timur merupakan dataran rendah seluas 26.360 KM2
atau 36,8% luas dari seluruh Provinsi Sumatera Utara dengan kelembaban tinggi dan
curah hujan yang relatif tinggi. Salah satu kota yang terdapat di Pantai Timur
Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Tanjungbalai.
Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami
berbagai kejadian bencana. Salah satu bencana yang intensitasnya tinggi yang terjadi
di Kota Tanjungbalai adalah bencana banjir. Bencana banjir ini merupakan agenda
besar untuk segera diberikan tindak lanjut dan bukan hanya sekedar perhatian, baik
bagi pihak pemerintah maupun non pemerintah.
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai
melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008, bencana banjir memiliki angka kejadian
tertinggi diantara angka kejadian bencana alam yang lain yaitu sekitar 7 kejadian dari
10 kejadian yang ada. Adapun urutan angka kejadian bencana yang terjadi sepanjang
tahun 2008 mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu : banjir, kebakaran,
Fakta ini juga didukung oleh laporan Dinas Pekerjaan Umum daerah Kota
Tanjungbalai, yang menyatakan bahwa telah terjadi 7 kali bencana banjir selama
kurun waktu 2008 sampai 2009 di kota ini, namun tidak terjadi di seluruh kecamatan,
hanya beberapa kecamatan tertentu diantaranya yaitu Kecamatan Datuk Bandar dan
Kecamatan Datuk Bandar Timur. Begitu juga angka ketinggian air pada bencana
banjir ini bervariasi, mulai dari 10 cm sampai dengan 70 cm.
Banjir di Tanjungbalai menurut Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai
terjadi akibat banjir kiriman yaitu dibukanya pintu air pembangkit listrik Sigura-gura
dan mengalir ke Sungai Asahan, sehingga luapan airnya mengalir ke Sungai Bandar
Jepang di Kota Tanjung Balai. Berbagai aspek lain yang juga menyebabkan Kota
Tanjungbalai merupakan daerah rawan bencana banjir diantaranya adalah salah satu
kota yang terletak pada ketinggian 0-3 m dari permukaan laut.
Kedudukan Kota Tanjungbalai secara geografis sangat khas oleh karena
berada pada pertemuan dua sungai besar yaitu Sungai Asahan dan Sungai Silau.
Selain itu juga Kota Tanjungbalai memiliki 23 buah anak sungai yang beresiko
banjir. Luas daerah perairan sungai dan rawa ini mencapai lebih kurang 10% dari
keseluruhan luas Tanjungbalai. Sebagian wilayah Kota Tanjungbalai berada di
sepanjang tepi sungai berawa dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Profil
Tanjungbalai, 2006).
Wilayah kota Tanjungbalai termasuk wilayah tropis dan dipengaruhi oleh 2
musim yaitu musim kemarau dan musim hujan dengan curah hujan tinggi rata-rata
Maret, April, Mei, Oktober, November, Desember (Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika). Suhu udara luar berkisar antara 250-320C. Dengan kelembaban
udara 50-90%. Topografi Tanjungbalai relatif datar dengan kemiringan 0-2% dengan
dominasi tanah jenis alluvial, latosol dan pasir. Kondisi demikian yang menyebabkan
Kota Tanjungbalai sangat berpotensi untuk terjadinya banjir (Profil Tanjungbalai,
2006).
Surat kabar baik lokal maupun nasional banyak memuat berita banjir di Kota
Tanjungbalai. Salah satu surat kabar nasional yaitu Harian Analisa (2009)
menberitakan sebagai berikut :
“ ribuan warga korban banjir di Kota Tanjungbalai mulai mengungsi, setelah dua minggu terendam air. Hujan deras di hulu Sungai Asahan terus menambah tinggi air di pemukiman penduduk, hingga air sudah merendam lebih dari 5000 rumah warga “.
Pemberitaan lain juga mengemukakan bahwa masyarakat sangat menyesalkan
kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai. Korban banjir menyatakan bahwa Pemerintah
Kota (PEMKO) Tanjungbalai tidak serius dalam menangani bencana banjir ini.
Penanggulangan bencana banjir di Kota Tanjungbalai ini merupakan dilema
yang selalu dihadapi baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Dilema ini
belum dapat teratasi oleh karena permasalahan dalam lingkup bencana sangat
kompleks dan dalam penanggulangannya melibatkan multisektor. Prosedur tetap
penanggulangan bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan sesuai
terlaksana oleh karena sosialisasinya minimal kepada instansi terkait dan aplikasinya
juga tidak optimal.
Hasil observasi sementara yang dilakukan peneliti menyatakan bahwa dampak
yang ditimbulkan akibat bencana banjir ini sangat banyak. Hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat terganggu akibat banjir. Namun, disadari bahwa kualitas
terganggunya aspek kehidupan masyarakat ini tidaklah total dan hal ini sangat
bergantung kepada besar kecilnya hazard (ancaman) bencana tersebut dan juga
dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat yang ada serta ketidakmampuan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan konsep pengurangan resiko bencana bahwa resiko bencana
ditentukan oleh tiga konsep yaitu hazard (ancaman) x vulnerability (kerentanan) x
ketidakmampuan (Benson & Twigg, 2007:103).
Rendahnya kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai dalam mengatasi hal ini
disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah kinerja individu (petugas). Sesuai
dengan pendapat Thoha (2007) yang yang menyatakan bahwa kinerja petugas
merupakan salah satu hal yang dapat menggambarkan kinerja organisasi. Sehingga
tingginya beban kerja yang menjadi kewajiban Satlak PB sebagai suatu organisasi
resmi pemerintah untuk melaksanakan penanggulangan bencana sesuai dengan
Peraturan Presiden No.83 Tahun 2005 harus dilaksanakan dengan optimal. Pada
dasarnya resiko yang diakibatkan oleh bencana merupakan salah satu dampak dari
rendahnya kinerja Satlak PB. Namun secara lebih jelas belum pernah dilakukan
dengan kondisi masyarakatnya sendiri dan juga kondisi demografi, geografis dan
potensi ancaman daerah tersebut.
Kondisi hazard (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) yang tinggi dan
kapasitas yang rendah akan menimbulkan risk (resiko) bencana yang tinggi. Untuk itu
upaya penanggulangan bencana harus melakukan penilaian awal terlebih dahulu
terhadap ketiga faktor tersebut.
Bahaya (hazard) diartikan sebagai ”suatu peristiwa, fenomena atau aktivitas
manusia secara fisik yang mempunyai potensi yang merusak yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial, ekonomi dan
kerusakan lingkungan (UN/ISDR, Geneva, 2004)”.
Kerentanan menurut Carter (1991:325) meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi
dan kesehatan. Menurut Anderson & Woodrow (1998:9-26) yakni:
“ Pemetaan kerentanan adalah suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu tertentu”.
Proses ini lebih mengidentifikasi kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang rawan
terhadap suatu ancaman. Vulnerability memiliki dua aspek yaitu : susceptibility yaitu
tingkat pemaparan masyarakat terhadap hazard dan resilience yaitu kapasitas atau
kemampuan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi kerusakan yang
disebabkan oleh emergensi atau bencana ( Dirjen Yanmed, 2005:8).
Kerentanan di Kota Tanjungbalai meliputi aspek fisik meliputi kondisi
rendahnya persepsi tentang resiko bencana, sikap masyarakat dan Pemerintah Kota
Tanjungbalai yang pasrah terhadap bencana banjir, pengetahuan masyarakat yang
rendah serta budaya masyarakat yang masih tidak perduli dengan bencana banjir.
Kerentanan ekonomi yaitu berupa tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dan
APBD Pemko yang rendah dalam pengalokasian untuk kesiapsiagaan bencana. Dan
kerentanan kesehatan yaitu berupa rendahnya derajat kesehatan masyarakat sehingga
sangat rentan untuk menjadi sakit dalam kondisi bencana, begitu juga dengan kondisi
kesehatan petugas Satlak PB yang masih perlu diperhatikan. Sedangkan dari segi
kapasitas sendiri belum dapat dijelaskan. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor yaitu
baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri.
Bencana banjir yang terjadi dalam beberapa bulan pada tahun 2008-2009 ini
sangat mengakibatkan banyak kerugian. Sesuai dengan beberapa penjelasan di atas
maka angka kerugian yang harus ditanggung baik oleh pihak masyarkat dan
pemerintah sangat besar dan multikomples.
Hasil laporan sementara mengenai jumlah kerugian yang ada yaitu meliputi
rusaknya pemukiman penduduk beserta isinya, fasilitas jalan, gedung-gedung sekolah
dan sarana prasarana pemerintah dan non pemerintah lainnya, lahan pertanian
masyarakat dan bermuara kepada rendahnya kondisi perekonomian masyarakat
sehingga angka kemiskinan bertambah di kota ini. Hal ini juga berdampak pada
kondisi kesehatan dan sosial masyarakat.
Tingginya angka kerugian yang diakibatkan bencana banjir disebabkan oleh
Baik pihak pemerintah maupun masyarakat masih belum menyadari arti pentingnya
manajemen penanggulangan bencana sebagai suatu problem solving yang sangat
efektif dan efisien. Fakta yang terdapat di masyarakat Kota Tanjungbalai
mengindikasikan bahwa masyarakat belum mengerti hak serta kewajiban mereka
dalam wacana kebencanaan. Hal ini mengakibatkan masyarakat sebagai customer
bencana tidak mengetahui kedudukannya sehingga penanggulangan bencana berjalan
tidak seimbang karena hanya berharap penuh pada pemerintah atau lembaga non
pemerintah saja. Kondisi yang lebih memprihatinkan lainnya adalah bahwa
pemerintah sendiri sebagai badan resmi masyarakat yang melaksanakan
penanggulangan bencana belum memiliki kinerja sesuai dengan yang diharapkan.
Indeks pembangunan manusia meliputi 3 hal yaitu indikator ekonomi,
kesehatan dan pendidikan yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam pembangunan
sesuai dengan amanah good governance, maka penanggulangan bencana juga
merupakan proses pembangunan yang berarah kepada prinsip-prinsip good
governance.
Data yang dikutip dari konfrensi sedunia tentang peredaman bencana tahun
2005 di Kobe Jepang, dinyatakan bahwa terdapat rata-rata lebih dari 200 juta jiwa
telah terkena bencana setiap tahunnya dalam dua dekade terakhir, sehingga
Pemerintah Internasional mengambil sikap untuk melaksanakan suatu sistem
kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Kerangka kerja Aksi Hyogo 2005-2015
memuat bahwa sasaran-sasaran pembangunan milineum (Millineum Development
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan resiko bencana
tidak diutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan.
Kelembagaan penanggulangan bencana baik pusat dan daerah di Indonesia
telah dibuat pemerintah sejak tahun 2001 yaitu berdasarkan Keputusan Presiden RI
No.3 Tahun 2001, tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) serta disempurnakan dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No.85 Tahun 2005. Landasan hukum terbaru yang
dikeluarkan pemerintah adalah pada bulan April Tahun 2007 tentang Undang-Undang
Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007 (pasal : 5, 12 huruf h, 18 dan 25) serta
Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 pasal 63.
Kebijakan tersebut merupakan produk hukum baru yang dibuat pemerintah
sebagai acuan sistem manajemen penanggulangan bencana. Dengan harapan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat terlaksana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman, resiko dan dampak bencana. (PP No.21 Tahun 2008, pasal
2). Oleh karena UU No.24 Tahun 2007 dan PP serta Perpres terbaru ini telah
diberlakukan namun belum diaplikasikan secara keseluruhan maka sistem
penanggulangan bencana masih diemban oleh Satuan Koordinasi Pelaksanaan
Penangulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PB) pada daerah
pada tingkat pusat, Bakornas PBP telah digantikan tugas dan fungsinya oleh Badan
Nasional Penangulangan Bencana (BNPB).
Konsep penanganan bencana mengalami pergeseran dari konvensional
menjadi holistik. Pandangan konvensional menggambarkan bahwa bencana
merupakan kejadian yang tidak terhindari dan korban harus mendapat pertolongan,
sehingga fokus penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan
kegawatdaruratan (emergency). Tujuan penanganan bencana pada paradigma ini
adalah menekan tingkat kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan.
Perkembangan paradigma ini berkembang terus melputi paradigma mitigasi,
paradigma pembangunan dan paradigma pengurangan resiko bencana. Dengan
terjadinya perubahan paradigma ini maka tujuan dan target penanggulangan bencana
semakin realitas dan bermanfaat nyata bagi pihak manapun baik pemerintah maupun
non pemerintah.
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Kesiapsiagaan adalah setiap
aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan
kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana
terjadi (Heru Susetyo). Indikator dalam kesiapsiagaan ada 5 meliputi (1) pengetahuan
dan sikap (knowledge and attitude), (2) kebijakan dan panduan (policy statement), (3)
system), (5) mobilisasi sumber daya.
Prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan amanah UU No.24 Tahun
2007 yaitu cepat, tepat, prioritas, koordinasi, keterpaduan, berdayaguna, hasil guna,
transparansi, akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non diskriminatif dan non
proletisi. Prinsip–prinsip ini demikian lengkap agar tujuan sistem penangulangan
bencana dapat tercapai dan merupakan suatu indikator kinerja yang baik.
Kinerja Satlak PB sebagai suatu badan pemerintah yang berperan dalam
penanggulangan bencana dipertanyakan kembali dengan adanya beberapa kejadian
bencana banjir di kota Tanjungbalai ini. Mulai dari struktur organisasi maupun dari
prosedur pelaksanaan serta kelengkapan sarana dan prasarana yang mendukung
kinerja Satlak PB. Sesuai dengan pendapat Ilyas tahun 1993, bahwa kinerja
merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja
organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dari agregasi kinerja sejumlah
individu dalam organisasi.
Teori yang dikemukakan oleh Gibson (1987) dan Simamora (1995:500)
tentang kinerja bahwa dapat disimpulkan kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
faktor individu, faktor psikologi dan faktor organisasi. Yang termasuk pada faktor
individu adalah terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang
pribadi dan demografis. Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan
berhubungan dengan tugas.
Sedangkan yang termasuk kelompok faktor psikologis terdiri dari variabel
persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Persepsi adalah proses yang
digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka
dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan.
Yang dimaksud sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan
kecendrungan bertindak terhadap aspek lingkungannya (Milton, 1981). Sedangkan
kepribadian menurut Robbins tahun 1993 adalah cara dengan mana seseorang
bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Motivasi juga dapat diartikan sebagai
kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam
diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi
ekstrinsik).
Penelitian ini juga ingin mengeksplorasi lebih dalam lagi apakah kinerja
petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai memiliki kinerja yang standar atau tidak dan
faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kinerja petugas tersebut.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut : Apakah ada pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan
dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran
kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah : Mengetahui dan menganalisa pengaruh faktor
individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi
(persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas
Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota
Tanjungbalai.
1.4. Hipotesis
1. Terdapat pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar
belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan
motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase
kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai.
2. Tidak terdapat pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar
belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan
motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain
1. Manfaat teoritis
Dapat menambah sumber kepustakaan tentang manajemen penanggulangan
bencana dan menjadi sumber ataupun sebagai pembanding bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat praktis
Menjadi masukan bagi Satlak PB Kota Tanjungbalai pada khususnya dan
Sumut pada umumnya dalam memperbaiki kinerja organisasinya dalam sistem
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Petugas
2.1.1. Pengertian kinerja petugas
Kinerja petugas merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance
atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai
seseorang). Definisi kinerja petugas/karyawan yang dikemukakan Kusriyanto (1991:
3) adalah : “perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja
persatuan waktu (lazimnya per jam).” Gomes (1995:195) mengemukakan definisi
kinerja karyawan sebagai : “ungkapan seperti output, efisiensi serta efektifitas sering
dihubungkan dengan produktivitas.” Selanjutnya, definisi kinerja karyawan menurut
Mangkunegara (2000:67) bahwa “kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.”
Oleh karena itu disimpulkan bahwa kinerja petugas adalah prestasi kerja atau hasil
kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai petugas persatuan periode
waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Kemudian menurut Sulistiyani (2003:223) “kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil
memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya (1)
berorientasi pada prestasi; (2) memiliki percaya diri; (3) berpengendalian diri; (4)
kompetensi.
2.1.2. Penilaian kinerja
Penilaian kinerja menurut Mengginson (1981 dalam Mangkunegara 2000:69)
adalah suatu proses yang digunakan pemimpin untuk menentukan apakah seorang
karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya.
Selanjutnya Sikula (1981 dalam Mangkunegara 2000:69), mengemukakan bahwa
penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan
potensi yang dapat dikembangkan . Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan
nilai, kualitas atau status dari beberapa objek orang ataupun sesuatu.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi
kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil
pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi.
2.1.3. Tujuan penilaian kinerja
Adapun tujuan dilakukannya penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari sumberdaya
manusia (SDM) organisasi. Tujuan penilaian kinerja menurut Sunyoto (1999:1)
adalah :
2) Mencatat dan mengakui hasil kerja seseorang karyawan, sehingga mereka
termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi
sama dengan prestasi yang terdahulu.
3) Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan
yang diembannya sekarang.
4) Mendefenisikan kembali atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga
karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
5) Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat dan kemudian menyetujui rencana itu
jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
2.1.4. Faktor–faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja
Menurut Mathis dan Jackson (2001:82), faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja individu tenaga kerja, yaitu: (1) kemampuan; (2) motivasi; (3) dukungan yang
diterima; (4) keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan; (5) hubungan mereka
dengan organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2000), faktor yang
mempengaruhi kinerja antara lain : (1) faktor kemampuan, secara psikologis
kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan
realita (pendidikan) dan oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan
yang sesuai dengan keahliannya; (2) faktor motivasi, yaitu motivasi terbentuk dari
sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi
kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk
berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David C.Mc Cleland (1997),
seperti dikutip Mangkunegara (2001:68), berpendapat bahwa ada hubungan yang
positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah
suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas
dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat
terpuji.
Menurut Gibson (1987), ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja : (1)
Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman
kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang; (2) Faktor psikologis : persepsi, sikap,
kepribadian, pembelajaran dan motivasi; (3) Faktor organisasi : struktur organisasi,
desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).
Menurut Simamora (1995:500), kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu faktor individu, psikologis dan organisasi. Adapun yang termasuk ke
dalam faktor pribadi adalah kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi.
Faktor psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi.
Sedangkan faktor organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan,
struktur dan job design.
Menurut Timple (1992:31), faktor–faktor kinerja terdiri dari faktor internal
dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dihubungkan dengan sifat–sifat
seseorang. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor–faktor yang memengaruhi
2.1.5. Aspek–aspek standar pekerjaan dan kinerja
Hasibuan mengemukakan bahwa aspek–aspek yang dinilai kinerja mencakup
sebagai berikut : (1) kesetiaan; (2) hasil kerja; (3) kejujuran; (4) kedisiplinan; (5)
kreativitas; (6) kerjasama; (7) kepemimpinan; (8) kepribadian; (9) prakarsa; (10)
kecakapan; (11) tanggungjawab. Sedangkan menurut Husein (1997:266) membagi
aspek–aspek kinerja sebagai berikut : (1) mutu pekerjaan; (2) kejujuran karyawan; (3)
inisiatif; (4) kehadiran; (5) sikap; (6) kerjasama; (7) keandalan; (8) pengetahuan
tentang pekerjaan; (9) tanggung jawab; (10) pemanfaatan waktu kerja.
Berdasarkan pendapat Gibson (1987), kelompok variabel individu terdiri dari
variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis.
Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi
perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai
pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel
persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson
(1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja
sebelumnya dan variabel demografis.
Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja
merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun
kelompok dalam suatu aktifitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau
2.2. Faktor Individu yang Memengaruhi Kinerja Petugas
Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi
kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Menurut Gibson (1987),
variabel-variabel individu terbagi tiga yaitu kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan
demografik. Masing-masing variabel tersebut membantu menerangkan
perbedaan-perbedaan individual dalam perilaku dan performa.
2.2.1. Kemampuan dan keterampilan
Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas
dalam suatu pekerjaan. Kemampuan terbagi dua yaitu kemampuan intelektual dan
kemampuan fisik. Kemampuan intelektual merupakan kemampuan yang diperlukan
untuk mengerjakan kegiatan mental. Berdasarkan penelitian terakhir bahwa
inteligensia diuraikan menjadi empat sub-bagian : kognitif, sosial, emosi dan budaya.
Yang dimaksud dengan kecerdasan kognitif adalah kecerdasan sesuai dengan tes-tes
inteligensia. Sedangkan kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain secara efektif. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengindentifikasi, memahami dan mengelola emosi. Kecerdasan budaya adalah
kesadaran atas keberagaman antar kebudayaan dan kemampuan untuk menjalankan
fungsi secara sukses dalam situasi lintas budaya. Kemampuan fisik merupakan
kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina,
kecekatan, kekuatan dan karateristik-karakteristik serupa. Keterampilan adalah
2.3. Faktor Psikologi yang Memengaruhi Kinerja Petugas
Adapun variabel-variabel psikologikal meliputi persepsi, sikap, kepribadian,
pembelajaran dan motivasi
2.3.1. Persepsi
Persepsi menurut Robbins (2006:169) adalah proses yang digunakan individu
untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka
memberikan makna kepada lingkungan. Persepsi sangat penting untuk dipelajari
dalam suatu perilaku organisasi karena perilaku manusia pada umumnya didasarkan
pada persepsi mereka mengenai apa realitas yang ada, bukan mengenai realitas itu
sendiri. Persepsi meliputi kognisi (pengetahuan), jadi dengan demikian persepsi
mencakup penafsiran objek-objek, simbol-simbol dan orang-orang, dipandang dari
sudut pengalaman penting. Persepsi terbentuk melalui proses memperhatikan,
menyeleksi, mengorganisasikan dan menapsirkan stimulus lingkungan. Secara
skematis dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2.1. Proses persepsi
Faktor–faktor yang memengaruhi persepsi menurut Robbins (2006:170) ada
tiga faktor yaitu faktor pada pemersepsi, faktor dalam situasi dan faktor pada target.
Ketiga faktor tersebut digambarkan pada gambar berikut :
stimulus lingkungan perhatian dan seleksi pengorganisasian
Gambar 2.2. Faktor persepsi menurut Robbins (2006:170)
Ketika individu memandang ke objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa
yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu
pelaku persepsi tersebut dan juga tergantung pada apa yang dipersepsikannya serta
kondisi atau situasi saat melakukan persepsi.
Teori atribusi merupakan teori penilaian persepsi yang didasarkan atas faktor
eksternal dan internal. Perilaku yang disebabkan faktor internal adalah perilaku yang
diyakini berada di bawah kendali pribadi individu tersebut. Sedangkan perilaku yang
disebabkan faktor eksternal adalah dilihat sebagai hasil dari sebab–sebab luar yaitu
orang tersebut dipandang terpaksa berperilaku demikian oleh situasi. Selain Faktor pada pemersepsi
. Sikap
. Motif
Kepentingan
Faktor pada target
. Hal baru
. Gerakan
. Bunyi Faktor dalam situasi
. Waktu
Keadaan/Tempat kerja
didasarkan atas faktor eksternal dan internal, perilaku ini juga meliputi tiga hal yaitu;
(1) keunikan; (2) konsensus; (3) konsistensi.
Keunikan merujuk ke apakah individu memperlihatkan perilaku–perilaku
yang berlainan dalam situasi berlainan. Konsensus adalah jika setiap orang yang
dihadapkan pada situasi yang sama bereaksi dengan cara yang sama. Dan konsistensi
adalah apakah orang tersebut memberi reaksi yang sama dengan cara yang sama dari
waktu ke waktu.
tinggi
rendah
tinggi
rendah
tinggi
rendah
Gambar 2.3. Teori atribusi (teori penilaian persepsi yang didasarkan atas
faktor eksternal dan internal)
Ada sejumlah tehnik persepsi yang sering digunakan dalam menilai orang
lain. Namun tehnik persepsi ini angka kebenarannya masih diragukan. Yang termasuk
kedalam tehnik ini adalah persepsi selektif, efek halo, efek kontras, proyeksi dan
membuat stereotipe. Pada persepsi selektif, setiap karakteristik yang membuat eksternal
internal eksternal
internal
eksternal
internal keunikan
konsensus
seseorang objek atau peristiwa mencolok akan meningkatkan kemungkinan hal
tersebut akan dipersepsikan. Orang akan secara selektif menafsirkan apa yang mereka
lihat atas dasar kepentingan, latar belakang, pengalaman dan sikap mereka. Dari
penelitian yang telah dilakukan dinyatakan bahwa setiap orang akan berpersepsi
sesuai dengan kegiatan dan unitnya sendiri. Tehnik ini yang dianggap sangat dominan
pada kondisi bencana
Efek halo yaitu menggambarkan kesan umum tentang individu berdasarkan
karakteristik tunggal misalnya kecerdasan, kemampuan bergaul atau penampilan.
Efek kontras adalah evaluasi terhadap karakteristik–karakteristik seseorang yang
terpengaruh oleh perbandingan–perbandingan dengan orang lain yang baru masuk
yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah berdasarkan karakteristik yang sama.
Proyeksi adalah mencirikan karakteristik pribadi seseorang ke orang lain. Stereotipe
adalah mengkatagorikan atau menilai seseorang hanya atas dasar satu atau beberapa
sifat dari kelompoknya. Stereotipe seringkali didasarkan atas jenis kelamin,
keturunan, umur, agama, sifatnya saja. Projection merupakan kecendrungan
seseorang untuk menilai orang lain atas dasar perasaan dan sifatnya atau mekanisme
pertahanan dari konsep diri seseorang sehingga lebih mampu menghadapi yang
dilihatnya tidak wajar.
Persepsi memiliki hubungan dengan kinerja. Jika dalam suatu organisasi
dilengkapi dengan petugas yang berkompetensi meskipun jumlahnya tidak besar
maka peresepsi dalam kondisi ini akan menyatakan bahwa organisasi tersebut akan
Dari penjelasan di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa persepsi merupakan
salah satu faktor psikologis individu yang digunakan individu untuk
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan inderawi untuk memberi makna pada
lingkungan. Indikator dalam menilai persepsi yaitu sesuai teori atribusi adalah faktor
internal dan eksternal dan juga bergantung kepada keunikan, konsensus dan
konsistensi. Peran persepsi dalam suatu organisasi adalah sebagai alat dalam
wawancara petugas, pengharapan kinerja, evaluasi kinerja dan upaya karyawan. Pada
proses pengharapan dan evaluasi kinerja, persepsi merupakan hal yang penting.
Persepsi juga berperan dalam pengambilan keputusan individu.
2.3.2. Sikap
Sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecendrungan
bertindak terhadap aspek lingkungannya (Milton, 1981). Sikap seseorang tercermin
dari kecendrungan perilakunya dalam menghadapi suatu situasi lingkungan yang
berhubungan dengannya. Adapun yang menjadi komponen sikap yaitu kognitif,
afektif dan perilaku. Komponen kognitif sikap adalah segmen pendapat atau
keyakinan dari sikap. Komponen afektif adalah komponen emosional atau perasaan
seseorang. Komponen afektif dipelajari dari orang tua, teman, guru.
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk
berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Dari batasan-batasan
dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus
sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana
motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan
merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi
bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek. Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: (1) kepercayaan (keyakinan), ide dan
konsep terhadap suatu objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi emosional
terhadap suatu objek; (3) kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga
komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).
Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap berita bencana yaitu terlihat
b. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan
itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan dan berdiskusi mengenai suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang petugas yang mengajak
petugas atau pihak lain untuk menilai resiko bencana yang ada didaerahnya
masing-masing serta melakukan mitigasi terhadap resiko bencana tersebut.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana
pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.
Adapun tipe-tipe sikap menurut Robbins adalah (1) kepuasan kerja yaitu
merujuk kepada sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Seorang yang memiliki
sikap kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap dunia kerjanya; (2)
Keterlibatan kerja yaitu mengukur derajat sejauh mana seseorang secara psikologis
mengkaitkan dirinya dengan pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya
penting bagi harga dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi terbukti berkaitan
organisasi yaitu suatu keadaan dimana karyawan mengkaitkan dirinya ke organisasi
tertentu dan sasaran-sasarannya serta berharap mempertahankan keanggotaannya
dalam organisasi itu.
2.3.3. Kepribadian
Kepribadian adalah cara dengan mana seseorang bereaksi dan berinteraksi
dengan orang lain (Robbins,1993). Menurut para psikolog, kepribadian adalah konsep
dinamik yang menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem
psikologis seseorang. Sedangkan menurut Allport dalam Robinns (2006:126)
kepribadian adalah organisasi dinamik dalam individu yang memiliki sistem
psikologis yang menentukan penyesuaian uniknya terhadap lingkungannya.
Kepribadian manusia pada saat ini dipengaruhi oleh faktor keturunan,
lingkungan dan diperlemah oleh kondisi situasi. Sampai saat ini belum dapat
ditentukan faktor mana yang lebih dominan dalam mempengaruhi kepribadian
namun, situasi merupakan faktor yang selalu dapat mempengaruhi dampak
kepribadian dan lingkungan pada kepribadian.
Indikator kepribadian yang paling banyak digunakan pada saai ini adalah
indikator tipe Myers-Briggs (MBTI). MBTI merupakan tes kepribadian yang
menggunakan empat karakteristik dan mengklasifikasikan orang ke dalam 1 sampai
16 tipe kepribadian. Sedangkan indikator lainnya adalah model “Lima Besar”.
Faktor–faktor lima besar tersebut adalah ekstroversi, kemampuan untuk bersepakat,
pengalaman. Dari beberapa hasil penelitian yang menghubungkan dimensi
kepribadian dengan kinerja pekerjaan adalah bahwa individu yang dapat dipercaya,
andal, dll, cendrung memiliki kinerja tinggi. Individu yang juga memiliki suara hati
yang tinggi menyumbangkan kinerja tinggi.
Atribut-atribut kepribadian utama yang mempengaruhi perilaku individu
adalah lokus kendali, machiavelliansime, harga diri, pemantauan diri, pengambilan
resiko dan kepribadian tipe A. Namun dalam suatu sistem penanggulangan bencana,
atribut–atribut kepribadian ini tidak sesuai oleh karena konsep penanggulangan
bencana adalah konsep sosial.
Penyesuaian syarat-syarat pekerjaan dengan karakteristik kepribadian
diungkapkan dengan sangat baik dalam teori kecocokan kepribadian – pekerjaan yang
dikemukaakan oleh John Holland. Holland menyajikan enam tipe kepribadian dan
mengemukakan bahwa kepuasan dan kecendrungan untuk meninggalkan pekerjaan
tergantung pada sejauh mana individu tersebut berhasil mencocokkan kepribadian
mereka dengan lingkungan pekerjaan. Hubungan antara tipologi kepribadian dan
pekerjaan yang kongruen dari Holland dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Tipologi kepribadian dan pekerjaan yang kongruen dari Holland dikutip
Tipe Ciri kepribadian Pekerjaan yang
kongruen
Realistis yaitu lebih menyukai
kegiatan-kegiatan fisik yang
mensyaratkan keterampilan,
kekuatan dan koordinasi
Investigasi yaitu lebih menyukai
kegiatan- kegiatan yang
melibatkan pemikiran,
pengorganisaian dan
pemahaman
Sosial yaitu lebih menyukai
kegiatan- kegiatan yang
melibatkan pemberian
pertolongan dan pengembangan
orang lain
Pemalu, tulus, stabil, patuh,
praktis
Analitik,tulus, penasaran,
independen
Supel, ramah, kooperatif,
Konvensional yaitu lebih
menyukai kegiatan -kegiatan
yang berperaturan, tertata dan
tidak bermakna ganda
Inovatif yaitu lebih menyukai
aktivitas verbal yang
didalamnya terdapat peluang
untuk mempengaruhi orang lain
untuk meraih kesuksesan
Artistik yaitu lebih menyukai
aktivitas – aktivitas yang
bermakna ganda yang
memungkinkan ekspresi kreatif
Patuh, efisien, praktis, tidak
imajinatif, tidak fleksibel
Percaya diri, ambisius, enerjik,
mendominasi
Imajinatif, tidak tertata,
idealistis, emosional dan tidak
praktis
agen real estat,
spesialis
Dari tabel di atas terdapat tiga poin utama yaitu : (1) terdapat
perbedaan-perbedaan intrinsik dalam kepribadian di kalangan individu; (2) terdapat jenis-jenis
pekerjaan yang berbeda; (3) orang dalam lingkungan-lingkungan yang kongruen
dengan tipe kepribadian mereka akan lebih puas dan berpeluang lebih kecil untuk
mengundurkan diri dibandingkan dengan orang yang menduduki pekerjaan yang
tidak kongruen.
2.3.4. Belajar
Belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menghubungkan
tanggapan-tanggapan dengan mengulang-ulang. Tanggapan-tanggapan tersebut
diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsangan-rangsangan. Makin banyak
dan sering diberikan stimulus maka makin memperkaya tanggapan pada subjek
belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran menurut Robbins (2006:56)
adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil
dari pengalaman. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
melibatkan perubahan dan perubahan tersebut harus relatif permanen dan
pembelajaran berlangsung ketika terjadi perubahan tindakan. Adapun teori proses
belajar adalah sebagai berikut :
a. Teori stimulus dan transformasi
Perkembangan teori proses belajar yang ada dapat dikelompokkan kedalam 2
kelompok besar, yakni stimulus-respons yang kurang memperhitungkan faktor
stimulus kurang memperhitungkan faktor internal yang terjadi pada subjek belajar.
Kelompok teori proses belajar yang kedua sudah memperhitungkan faktor internal,
antar lain :
1) Teori transformasi yang berlandaskan pada psikologi kognitif seperti yang
dirumuskan oleh Neiser, yang mengatakan bahwa proses belajar adalah
transformasi dari masukan (input) kemudian input tersebut direduksi, diuraikan,
disimpan, ditemukan kembali dan dimanfaatkan. Transformasi dari input sensoris
bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam ingatan
(memory). Meskipun teori ini dikembangkan berdasarkan psikologi kognitif
tetapi tidak membatasi penelaahannya pada domain pengetahuan (kognitif) saja
tetapi juga meliputi domain yang lain (afektif dan psikomotor). Para ahli
psikologi kognitif juga memperhitungkan faktor eksternal dan internal dalam
mengembangkan teorinya. Mereka berpendapat bahwa kegiatan belajar
merupakan proses yang bersifat internal dimana setiap proses tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain metode pengajaran.
2) Teori Gestalt mendasarkan pada teori belajar pada psikologi Gestalt yang
beranggapan bahwa setiap fenomena terdiri dari suatu kesatuan esensial yang
melebihi jumlah unsur-unsurnya. Bahwa keseluruhan itu lebih daripada
bagian-bagiannya. Didalam peristiwa belajar, keseluruhan situasi belajar itu amat
penting karena belajar merupakan interaksi antara subjek belajar dengan
lingkungannya. Selanjutnya para ahli psikologi Gestalt tersebut menyimpulkan,
situasi problematis. Pemahaman itu ditandai dengan adanya : (1) suatu perubahan
yang tiba-tiba dari keadaan yang tak berdaya menjadi keadaan yang mampu
menguasai atau memecahkan masalah (problem); (2) adanya retensi; (c) adanya
peristiwa transfer. Pemahaman yang diperoleh dari situasi, dibawa dan
dimanfaatkan atau ditransfer ke dalam situasi lain yang mempunyai pola atau
struktur yang sama atau hampir sama secara keseluruhannya (bukan detailnya).
b. Teori-teori belajar sosial (Social learning)
Untuk melangsung kehidupan, manusia perlu belajar. Dalam hal ini ada 2 macam
belajar, yaitu belajar secara fisik, misalnya menari, olah raga, mengendarai mobil,
dan sebagainya serta belajar psikis. Dalam belajar psikis ini termasuk juga belajar
sosial (social learning) dimana seseorang mempelajari perannya dan peran-peran
orang lain dalam konteks sosial. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan
tingkah lakunya dengan peran orang lain atau peran sosial yang telah dipelajari. Cara
yang sangat penting dalam belajar sosial menurut teori stimulus-respons adalah
tingkah laku tiruan (imitation). Teori dengan tingkah laku tiruan yang penting
disajikan disini adalah teori dari Millers, NE dan Dollard, serta teori Bandura A. dan
Walter RH.
1) Teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan Dollard
Pandangan Millers dan Dollard bertitik tolak pada teori Hull yang kemudian
dikembangkan menjadi teori tersendiri. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku
manusia itu merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk memahami tingkah laku
belajar. Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni dorongan (drive), isyarat (cue),
tingkah laku balas (respons), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini saling
mengait satu sama lain, yaitu dorongan menjadi isyarat, isyarat menjadi respons,
respons menjadi ganjaran, dan seterusnya. Dorongan adalah rangsangan yang sangat
kuat terhadap organisme (manusia) untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang
cukup kuat pada umumnya bersifat biologis seperti lapar, haus, seks, kejenuhan, dan
sebagainya. Stimulus-stimulus ini disebut dorongan primer yang menjadi dasar utama
untuk motivasi. Menurut Miller dan Dollard semua tingkah laku (termasuk tingkah
laku tiruan) didasari oleh dorongan-dorongan primer ini. Isyarat adalah rangsangan
yang menentukan bila dan dimana suatu respons akan timbul dan terjadi. Isyarat ini
dapat disamakan dengan rangsangan diskriminatif. Didalam belajar sosial, isyarat
yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik yang langsung ditujukan orang
tertentu maupun yang tidak, misalnya anggukan kepala merupakan isyarat untuk
setuju, uluran tangan merupakan isyarat untuk berjabat tangan. Mengenai tingkah
laku balas (respons), mereka berpendapat bahwa manusia mempunyai hirarki bawaan
tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu
rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada
hirarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka
tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi
hirarki resultan (resultant hierarchy of respons).
Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba dan ralat (trial and error learning).
seseorang tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat memberikan respons
yang tepat. Sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba-ralat.
Ganjaran adalah rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku balas diulang atau
tidak dalam kesempatan yang lain. Menurut Miller dan Dollard ada 2 reward atau
ganjaran, yakni ganjaran primer yang memenuhi dorongan-dorongan primer dan
ganjaran sekunder yang memenuhi dorongan-dorongan sekunder.
2)Teori Belajar Sosial dari Bandura dan Walter
Teori belajar sosial yang dikemukakan Bandura dan Walter ini disebut teori proses
pengganti. Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk
asosiasi dari rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat (reinforcement) memang
memperkuat tingkah laku balas (respons) tetapi dalam proses belajar sosial, hal ini
tidak terlalu penting. Aplikasi teori ini adalah apabila seseorang melihat suatu
rangsang dan ia melihat model bereaksi secara tertentu terhadap rangsang itu maka
dalam khayalan atau imajinasi orang tersebut, terjadi rangkaian simbol-simbol yang
menggambarkan rangsang dari tingkah laku tersebut. Rangkaian simbol-simbol ini
merupakan pengganti dari hubungan rangsang balas yang nyata dan melalui asosiasi,
si peniru akan melakukan tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model.
Terlepas dari ada atau tidak adanya rangsang, proses asosiasi tersembunyi ini sangat
dibantu oleh kemampuan verbal seseorang. Selain dari itu, dalam proses ini tidak ada
cara-coba dan ralat (trial and error) yang berupa tingkah laku nyata karena semuanya
berlangsung secara tersembunyi dalam diri individu. Hal yang penting disini adalah