• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Dari Suatu Negara Ke Negara Lain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Dari Suatu Negara Ke Negara Lain"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA DARI SUATU NEGARA KE NEGARA LAIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DESY KARTIKA. C.SITEPU NIM : 070200357

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA DARI SUATU NEGARA KE NEGARA LAIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DESY KARTIKA.C.SITEPU NIM : 070200357

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 195703261986011001

Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum

Dosen Pembimbing I, DosenPembimbing II,

Dr.Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

NIP. 197302202002121001 NIP.19750307200122002 Dr. Marlina,S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih setia Nya

yang selalu memenuhi hari-hari saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini untuk melengkapi tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah “Pemindahan Pelaku Tindak

Pidana dari Suatu Negara ke Negara Lain ”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala, namun Penulis

berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada

pihak yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.untuk itu semua,

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses

(4)

6. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan

penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS sebagai Dosen Wali saya selama saya

berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Keluarga saya yang sangat saya cintai, untuk Bapak ku Josua Sitepu,SH dan Mama

ku Dra. Salamah Perangin-angin, hal yang terindah yang diberikan Tuhan ke dalam

kehidupan saya, yang selalu mendukung saya secara jasmani dan rohani, yang selalu

mendoakan saya dan memberikan saya semangat dan kasih sayang, yang menjadi

inspirasi terbesar dalam kehidupan saya. Untuk adik-adik saya, Alm. Benyamin

Sitepu, Jeremia sitepu, Marisa K.C. Sitepu yang selalu memberikan semangat dan

selalu membuat saya tersenyum sehingga saya menjadi kuat dan dapat menyelesaikan

skripsi ini.

10.Kelompok Kecil Jingle Bells, abang saya Erwin A.P Silaban, saudara-saudara saya

Dian Natalia simbolon, Sarah Simanjuntak S.H, Julieta Simorangkir, R.N Abdelina,

Linda, Jepta Panjaitan, Andryanto Pasaribu. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum

USU: Rotua Hasibuan, Peggy Siahaan, Rina Stephanie, Rini Laura, Elsamaria,

Diandes Siahaan. Dan saudara saya Kak Lia Sitepu,kak Rina Ginting.

11.Rekan-rekan saya di GMKI komisariat Fakultas Hukum USU, PERMAHI

(Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) cabang Medan dan saudara-saudara

saya di UKM KMK UP FH USU.

12.Untuk seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

(5)

Saya menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi

ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima Kasih.

Medan, Februari 2011

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Tindak Pidana ... 9

2. Pengertian Ekstradisi ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : Prosedur Pemindahan Pelaku Tindak Pidana dari Suatu Negara ke Negara Lain Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 A. Asas-asas dalam ekstradisi... 17

B. Syarat-syarat Penahanan yang Diajukan oleh Negara-Peminta ... 22

C. Syarat-syarat yang harus Dipenuhi dalam Mengajukan Permintaan Ekstradisi ... 25

(7)

E. Keputusan Mengenai Permintaan Ekstradisi ... 32

F. Penyerahan Orang yang Dimintakan Ekstradisi ... 34

G. Perjanjian Ekstradisi yang Telah dilakukan Indonesia

dengan Negara-negara Lain ... 35

BAB III : JENIS KEJAHATAN YANG DAPAT DILAKUKAN PERMINTAAN PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA

A. Kejahatan-kejahatan yang Dapat dilakukan Pemindahan

Pelaku Tindak Pidana ... 42

A.1. Jenis Kejahatan yang Dapat Dilakukan Pemindahan pelaku Tindak Pidana

berdasarkan Transfer of Sentenced Persons ... 43

A.2. Jenis Kejahatan yang Dapat Dilakukan Pemindahan Pelaku Tindak Pidana

Berdasarkan Lembaga ekstradisi ... 49

B. Jenis Kejahatan yang Tidak Dapat dilakukan Pemindahan ... 55

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

(8)

Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Dari suatu Negara ke Negara Lainnya

Desy K. C. Sitepu∗

Dr. Mahmud Mulyadi, S.H. M.Hum

∗∗ Dr. Marlina, S.H. M.Hum∗∗∗

ABSTRAKSI

Ekstradisi yang diartikan sebagai penyerahan penjahat dari suatu negara kepada negara lain Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemindanaan Karena itu patut dan tepatlah penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang mempunyai yurisdiksi. Permasalahan yang diangkat adalah prosedur ekstradisi menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, jenis kejahatan yang dapat dilakukan permintaan peemindahan pelaku tindak pidana.

Metode yang digunakan adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari data sekunder, adapun data sekunder adalah bahan hukum primer berupa literatur hukum pidana,ekstradisi dan bahan hukum sekunder lainnya. Sedangkan, bahan hukum tertier yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan yang didapat dari internet.

Prosedur ekstradisi menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 adalah syarat-syarat yang harus dilakukan dalam proses pemindahan pelaku tindak pidana dari suatu negara ke negara lain. Pelaku tindak pidana yang dapat diekstradisi adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta kepada indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan untuk dapat menjalani pidana,sedangkan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi adalah kejahatan politik.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara ada demi manusia karena itu, negara harus berusaha mencapai kebahagiaan

untuk setiap manusia (warga negaranya)1

Setiap negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban didalam wilayah negaranya masing-masing oleh karenanya hakim dari setiap negara dapat mengadili setiap orang yang di dalam wilayah negaranya masing-masing yang telah melakukan suatu tindak pidana, dengan memberlakukan Undang-Undang Pidana yang berlaku di negaranya ini berarti bahwa Undang-Undang Pidana suatu negara itu bukan saja dapat diberlakukan terhadap warga negara dari negara tersebut, melainkan juga terhadap setiap orang asing yang di dalam wilayah negaranya diketahui telah melakukan suatu tindak pidana

. Dengan demikian negara memberikan kebahagiaan

dan kesejahteraan terhadap warga negaranya kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut dapat

tercapai hanya melalui hukum, karena hukum dapat menciptakan keteraturan, keadilan, dan

ketentraman hidup yang kemudian tercipta suatu kehidupan masyarakat (warga negara) yang

sejahtera, adil, dan makmur. Sehubungan hal tersebut Van Hattum menyatakan bahwa:

2

Praktek negara–negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidaklah

semata-tergantung pada adanya perjanjian tersebut kemungkinan besar jauh sebelumnya

terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian meskipun antara kedua .

Permintaan pemindahan pelaku tindak pidana tersebut dapat dilakukan bagi pelaku

tindak pidana yang berstatus tersangka dan narapidana, Dimana pelaku tindak pidana yang

berstatus tersangka adalah pelaku tindak pidana yang masih menjalani proses peradilan atau

pemeriksaan, sedangkan pelaku tindak pidana yang berstatus narapidana (terpidana) adalah

pelaku tindak pidana yang sudah dijatuhi hukuman dengan kekuatan hukum tetap.

1

Whisnu Situni, Identifikasi Dan Formulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. C.V. Mandar Maju, Bandung, 1989, halaman.1.

2

(10)

belah pihak belum membuat perjanjiannya bukti–bukti untuk menguatkan dugaan ini masih

belum dapat ditunjukkan hubungan baik dan bersahabat antara dua negara, dapat lebih

memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian, sebaliknya jika hubungan

antara dua negara saling bermusuhan dapat dipastikan amat sukar untuk saling menyerahkan

penjahat pelarian. Perlindungan kepada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan

pula didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi apabila

hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan maka

kerjasama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi

penjahat pelarian demikian juga sebaliknya praktek–praktek penyerahan penjahat pelarian

belum didasarkan atas keinginan untuk berkerjasama dalam mencegah dan memberantas

kejahatan, Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih

jauh lebih sederhana.

Masalah ekstradisi yang diartikan sebagai penyerahan penjahat dari suatu negara

kepada negara lain, di indonesia dewasa ini semakin populer dan mulai memasyarakat. Hal

ini antara lain disebabkan oleh:

1. Timbulnya kasus-kasus tentang ekstradisi yang melibatkan indonesia, terutama antara

tahun 1965 sampai sekarang, seperti kasus Tan Hoa 1968, kasus kapal mimi tahun

1975 dan masih banyak lagi kasus lainnya.

2. Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi, antara lain perjanjian antara

Indonesia dengan pilipina, perjanjian antara Indonesia dengan malaysia serta

penjajakan ke negara–negara tetangga lainnya.

3. Pemberitaan-pemberitaan pers dan masmedia lainnya turut membantu

mempopulerkan istilah dan pengertian ekstradisi

4. Khusus di kalangan ahli hukum, masalah ekstradisi sangat erat hubungannya dengan

(11)

mempelajari tentang ekstradisi tersebut. Lebih–lebih lagi dalam rangka pembentukan

undang–undang ekstradisi nasional.

Setelah kehidupan bernegara sudah mulai nampak agak lebih maju, terutama mulai

abad ke 17, 18, 19 sampai abad ke duapuluh ini dengan tumbuhnya negara–negara nasional

hubungan dan pergaulan internasional pun mulai mencari dan menemukan bentuknya yang

baru, Negara–negara dalam membuat perjanjian–perjanjian sudah mulai mengadakan

pengkhususan mengenai bidang–bidang tertentu instrumen hukum berbentuk perjanjian

internasional yang mengatur masalah pelaku tindak pidana yang berstatus tersangka adalah

Lembaga Ekstradisi, yaitu suatu perjanjian internasional antar dua negara sesuai dengan

tindak pidana yang tertuang dalam perjanjian tersebut. Ekstradisi sebagai pranata hukum

yang sudah cukup tua umurnya kini tidak perlu diragukan lagi keberadaannya baik sebagai

bagian dari hukum internasional pada umumnya ataupun sebagi bagian dari hukum pidana

internasional pada khususnya bahkan juga sebagai bagian dari hukum internasional,

ekstradisi tampak dalam bentuk-bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral ataupun

multilateral-regional sedangkan sebagai bagian dari hukum nasional ekstradisi tampak dalam

bentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara tentang ekstradisi3

Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak

dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemindanaan, karena seringkali suatu negara

yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut

atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis

hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi untuk menuntut atau menjatuhkan pidana

pada penjahat tersebut karena itu patut dan tepatlah penjahat tersebut diserahkan untuk

diperiksa dan diadili oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas penjahat tersebut penjahat .

3

(12)

harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat

dan mau memidananya4

Terdapat 2 (dua) aspek dalam ekstradisi, yaitu: .

5

1. Adanya tindakan suatu pemerintah yang melepaskan wewenang atas

seseorang dengan menyerahkan kepada pemerintahan negara lain.

2. Langkah-langkah yang telah diambil yang membuktikan bahwa si pelanggar

memang ditahan, baik untuk dituntut maupun untuk menjalani hukuman.Hal

ini adalah tanggung jawab dari badan peradilan yang juga harus menunjukkan

bahwa orang dimaksud memang sah menurut hukum yang berlaku di negara

pemberi ekstradisi agar dapat diekstradisikan. Lembaga yang mempunyai

peranan dalam prosedur ekstradisi adalah lembaga eksekutif dan yudikatif.

Permintaan penyerahan pelaku kejahatan atau ekstradisi dapat juga dibarengi

pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawah pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua

bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini

berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam

masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan6

Untuk lebih mengenali tentang lembaga ekstradisi ada beberapa asas dalam ekstradisi,

semua asas ini secara akumulatif disamping ketentuan-ketentuan tentang ekstradisi lainnya,

harus dipenuhi,jika dua negara atau lebih menghadapi kasus tentang ekstradisi. Asas-asas

tersebut, antara lain adalah

.

7

1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality :

2. Asas kekhususan atau spesialitas

4

M budiarto, Masalah Ekstradisi dan jaminan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.(buku 1),jakarta: Ghalia,1980,halaman 13.

5

ibid

6

Romli Atmasasmita, kebijakan hukum kerjasama di bidang ekstradisi dalam era globalisasi, diakses dari situs:http://www.legalitas.org diakses tanggal 19 februari 2011

7

(13)

3. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik

4. Asas tidak menyerahkan warga negara.

5. Asas Non Bis In Idem atau Ne Bis In Idem

6. Asas daluwarsa8

Ekstradisi merupakan jembatan yang yang dapat menghubungkan dua negara atau

lebih dalam menghadapi pelaku-pelaku tindak pidana yang menyangkut kepentingan dari dua

negara atau lebih. Khususnya bagi indonesia yang wilayahnya terletak di persimpangan lalu

lintas internasional, merupakan sarang empuk bagi para pelaku tindak pidana seperti

penyeludupan, perdagangan gelap manusia dan tenaga kerja, terorisme dan lainnya Oleh

karena itu perjanjian –perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga dan negara

lainnya, merupakan salah satu kebutuhan yang cukup mendesak. Demikian juga bagi para

ahli hukum sudah selayaknya juga memahami tentang ekstradisi sebab ekstradisi sebagian

merupakan hukum nasional khususnya berhubungan erat dengan hukum pidana.

Berdasarkan hal yang telah di uraikan di atas, maka penulis tertarik untuk

mempelajari, memahami dan meneliti secara lebih mendalami mengenai praktek negara

dalam melakukan pemindahan pelaku tindak pidana. dan penulis menggunakan UU No.1

Tahun 1979 sebagai pedoman.

Selanjutnya penulis menyusunnya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul:

“PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA DARI SUATU NEGARA KE NEGARA

.

B. Perumusan Masalah

Berlatar belakang pada uraian di atas, maka maka ada beberapa pokok permasalahan

yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur ekstradisi menurut UU No 1 Tahun 1974?

8

(14)

2. Apa saja jenis kejahatan yang dapat dimintakan untuk dilakukan pemindahan

pelaku tindak pidana (ekstradisi)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar

sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu berdasarkan

permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis

dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur ataupun tata cara melakukan ekstradisi.

2. Untuk mengetahui jenis kejahatan-kejahatan yang dapat dilakukan permintaan

pemindahan pelaku tindak pidana

Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Secara teoritis, untuk menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana

Tanggung Jawab Negara Dalam Melakukan Pemindahan Pelaku Tindak Pidana

Dari suatu Negara Ke Negara Lain

2. Secara praktis, untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran juridis dan

masukan-masukan yang bermanfaat demi perkembangan ilmu pengetahuan

terhadap pemindahan pelaku tindak pidana dari suatu negara ke negara lain.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “pemindahan pelaku tindak pidana dari suatu negara

ke negara lain”. Setelah melakukan penelusuran ke perpustakaan fakultas dan

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, hal ini belum pernah dingkat ataupun ditulis,

kalaupun ada substansi pembahasannya berbeda dengan pembahasan yang dipaparkan

(15)

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis menyusun skripsi ini melalui referensi

buku-buku, media cetak dan elektronik dan bantuan dari berbagai pihak.

D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar yang dimana diatur oleh aturan

hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah

Het Strafbaar Feit9

a) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

. Akan tetapi ada beberapa terjemahan dari Het Strafbaar Feit, yaitu:

b) Peristiwa pidana

c) Perbuatan pidana

d) Tindak pidana

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah Het Strafbaar Feit

antara lain10

a) vos

:

Merumuskan Tindak Pidana adalah suatu kelakuan manusia yang dilarang dan oleh

undang-undang diancam dengan pidana.

b) Pompe

Merumuskan bahwa Tindak Pidana adalah suatu pelanggaran kaidah, (gangguan

terhadap ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana

pemidanaan adalah hal yang wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan

menjamin kesejahteraan hukum.

c) E. Utrecht

9

S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem, Jakarta, 1996, halaman.117-119.

10

(16)

Menerjemahkan bahwa tindak Pidana adalah istilaah peristiwa pidana yang sering

juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu peristiwa handelen/ doen- positif

atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkaan

oleh perbuatan orang). Peristiwa pidana merupakan suaatu peristiwa hukum, yaitu

peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum11

Para sarjana Indonesia juga telah memberikan defenisi mengenai tindak pidana,

yaitu

.

12

a) Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum :

b) R.Tresna mendefenisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c) Moelyatno mendefenisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang

siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat

bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan

orang, sedangkan ancaman pidanannya ditujukan pada orang yang menimbulkan

kejahatan).

d) Wirdjono Prodjodikoro mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana serta pelakunya juga dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.

Kitab undang-undang hukum pidana dapat dijabarkan kedalaam unsur-unsur yang

dapat dibagi menjadi 2 unsur yakni : unsur subjektif dan unsur objektif.

1. Unsur Subjektif

11

Evi,Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Semarang, 2005, halaman 5.

12

(17)

Unsur –unsur yang melihat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku

dan termaksud kedalamnya yaitu segala sesuat yang terkandung di dalam hati

sipelaku.unsur-unsur tersebut meliputi:

a) Kesegajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa)

b) Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging), seperti yang dimaksud dalam

pasal 53 ayat 1 KUHP.

c) Macam-macam maksud (oogmerk), seperti yang dimaksud di terdapat dalam

kejahatan pencurian,penipuan,pemalsuan,dll.

d) Merencanakan lebih dahulu (voorbedachte road) seperti yang terdapat dalam

kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

e) Perasaan takut (uness) seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut

pasal 308 KUHP.

2. Unsur Objektif

Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yaitu didalam

keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan unsur tersebut meliputi:

a) Sifat melanggar hukum

b) Kualitas dari sipelaku

c) Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan

sesuatu kenyataan sebagai suatu akibat.

2. Pengertian Ekstradisi

Eksradisi berasal dari bahasa latin extradere (kata kerja) yang terdiri dari kata ex yang

artinya;keluar dan Tradere,artinya: memberikan/menyerahkan, kata ini lebih dikenal/atau

(18)

negara peminta. Ekstradisi merupakan penyerahan secara formal seseorang oleh suatu negara

kepada negara lain guna penuntutan atau dijatuhi hukuman13

Menurut starke, istilah ekstradisi menunjukan suatu proses dimana berdasarkan suatu

perjanjian atau atas dasar timbal balik suatu negara menyerahkan kepada negara lain, atas

permintaan negara terakhir ini, seseorang yang dituduh atau dihukum karena suatu tindak

pidana yang melanggar hukum negara peminta yang berwenang mengadili orang yang

diserahkan

.

14

Istilah ekstradisi menunjukkan kepada proses dimana berdasarkan traktat atau atas

dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya

seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang

dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta

ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut .

15

Adanya permintaan ekstradisi oleh suatu negara ke negara lain didasarkan pada 4 hal

yaitu

.

Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1979, bahwa pengertian Ekstradisi adalah:

“Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang

yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatn di luar wilayah negara yang

menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara yang meminta penyerahan

tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.

16

1. Perundang-Undangan Nasional :

Pada abad ke-19 banyak negara yang telah menetapkan uu ekstradisi. Dalam

penetapan tersebut, sebagian mereka dipengaruhi keinginan untuk menyelamatkan

13

Adami Chazawi, Hukum pidana materil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia, Malang ,2005, halaman 3.

14

Eddy Damian, Kapita Selekta Hukum Internasional, Bandung:Alumni,1991,halaman 67

15

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman. 469.

16

(19)

kemerdekaan seseorang dan sebagian lagi oleh pandangan mereka, bahwa segala

hukum pidana dan prosedur harus didasarkan pada perundang-undangan.

2. Perjanjian Ekstradisi

Menetapkan perjanjiaan ekstradisi, selanjutnya diteruskan dengan usaha membuat

perjanjian atau konvensi untuk mengadakan keseragaman.

3. Perluasan konvensi Internasional

Ekstradisi dapat didasarkan atas perluasan suatu konvensi tertentu yang

menyatakan bahwa ekstradisi dapat diberikan dalam hal pelanggaran yang disebut

dalam perjanjian.

4. Tata Krama Internasional

Dalam hal ini tidak terdapat hukum, perjanjian atau konvensi yang mengatur

sebagaimana tersebut diatas, ekstradisi dapat dilaksanakan atas dasar suatu tata

krama oleh negaraa terhadap negara yang lain disebut “Disguished Extradition.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

yang dilakukan terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,

penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dan penelitian sejarah hukum. Penelitian

ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan

permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian yurisid normatif melihat hukum dalam

arti normatif (law in the book).17

2. Sumber Data

17

(20)

Adapun data yang dikumpul dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan

pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dibagi atas

3 (tiga), yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat, seperti

perundang-undangan,sumber-sumber hukum nasional dan sumber hukum internasional

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan

memahami bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi

dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (Studi Kepustakaan), yaitu mempelajari dan menganalisa

secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan, catatan kuliah

dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas

dalam skripsi ini sehingga diperoleh data ilmiah sebagai bahan dalam uraian

teoritis.

4. Analisis Data, Analisa data dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu

suatu analisi data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga

diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan

permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan

yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke

dalam lima bab terperinci. Adapun bagian-bagiannya adalah :

(21)

Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Prosedur Ekstradisi Menurut UU No 1 Tahun 1974

Pada bab ini akan diuraikan mengenai syarat-syarat untuk penahanan yang

diajukan oleh negara peminta, syarat-syarat yang harus dipenuhidalam

mengajukan ekstradisi,pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan

ekstradisi, keputusan mengenai permintaan ekstradisi, penyerahan orang yang

dimintakan ekstradisi.

Bab III : Jenis Kejahatan Yang Dapat Dilakukan Permintaan Ekstradisi

Pada bab ini akan diuraikan mengenai, jenis kejahatan yang dapat dilakukan

ekstradisi, jenis kejahatan yang tidak dapat dilakukan ekstradisi,dan hubungan

bilateral antara Indonesia dengan negar-negara lain dalm hubungan ekstradisi.

Bab IV : Penutup

Bab ini merupakan bab akhir dari skripsi ini, dan merupakan penutup dari

rangkaian bab-bab sebelumnya dimana dalam bab ini penulis membuat suatu

kesimpulan atas pembahasan skripsi ini yang kemudian dilanjutkan dengan

memberi saran-saran atas masalah-masalah yang tidak terpecahkan yang

diharapkan akan berguna dalam kehidupan masyarakat dan praktek

(22)

BAB II

PROSEDUR EKSTRADISI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979

A. Asas-asas dalam Ekstradisi, antara lain adalah18 1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality

:

Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta

ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana)

baik menurut hukum negara-peminta maupun hukum negara-diminta. Dalam hal

ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat

sistem hukum masing-masing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum

kedua negara sama-sama mengklasifikasikan kejahatan itu sebagai kejahatan atau

tindak pidana.

2. Asas kekhususan atau spesialitas

Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh

mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada

kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh

diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang

dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi.

3. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik

Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan

untuk meminta ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan

politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa

yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada

18

(23)

kesatuan pendapat, baik dikalangan para ahli maupun dalam praktek

negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah

tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subjektif. Karena sukarnya

menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam

perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian

maupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif,

yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara

tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai

kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan

orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan

sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun

mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan

perundang-undangan.

4. Asas tidak menyerahkan warga negara.

J.G.Starke mengatakan bahwa Kewarganegaraan itu tiada lain daripada

keanggotaan seseorang pada suatu negara. Sebagai anggota dari suatu negara

sudah tentu hubungannya dengan negara dimana dia menjadi anggota atau

kewarganegaraan, mengandung segi kekhususan tersendiri pula19

19

Akrial, Zul. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara sendiri dikaitkan dengan politik Hukum nasional, diakses dari situs WWW. Legalitas.org, tanggal 19 februari 2011.

.Jika orang

diminta ternyata adalah warga negara dari negara-diminta, maka negara-diminta

“dapat” menolak permintaan dari negara-peminta. Asas ini berlandaskan pada

pemikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan

sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari

(24)

negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum

warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.

5. Asas Non Bis In Idem atau Ne Bis In Idem

Perbuatan yang telah diputuskan dengan putusan yang telah menjadi tetap (in

kracht van gewijsde). Dalam Hukum Pidana Nasional Asas ini terdapat dalam KUHP

yang berbunyi:

Pasal 76:

(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh

dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim indonesia terhadap

dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam arti hakim

Indonesia, termaksud juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di

tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

Ketentuan pasal 76 ayat 1 diletakkan suatu dasar yang disebut dengan asas ne bis in

idem( bahasa latin) yang melarang negara untuk menuntut yang kedua kalinya terhadap si

pembuat yang perbuatannya telah diputus oleh pengadilan yang putusan mana telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap ialah putusan yang tidak dapat lagi dilawan dengan upaya hukum biasa.20

Dalam UU No 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam

pasal 10 yang berbunyi:permintaaan ekstradisi ditolak, jika putusan yang dijatuhkan oleh

pengadilan Republik Indonesia yang berwenang mengenai kejahatan yang dimintakan

ekstradisinya mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

21

Asas ini sebagai salah satu Hukum pidana (nasional dan internasional) juga

merupakan asas ekstradisi. Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan kepastian

20

Adami Chazawi, pelajaran hukum pidana bagian II (buku 2) , jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, halaman 152.

21

(25)

hukum bagi setiap orang pada umumnya. Orang yang sudah dijatuhi putusan pidana dengan

kekuatan mengikat dan tetap tidak dapat diadili atau dijatuhi hukuman untuk kedua kali atau

lebih atas kasus kejahatan yang sama.22

6. Asas daluwarsa23

Daluwarsa atau lewat waktu dikenal dalam hampir semua sistem hukum

negara-negara di dunia.makna dari daluwarsa ini adalah memberikan adanya suatu

kepastian hukum bagi semua piha, bahwa suatu peristiwa hukum apabila sudah

sedemikian lama terjadinya, misalnya: sudah terjadi sekian tahun yang lampau

dan selama ini tetap dibiarkan saja dalam semua pihak, sehingga sudah dilupakan

orang seolah-olah tidak pernah terjadi maka setelah sampai atau melewati jangka

waktu tertentu tidak bisa diapa-apakan lagi, mengenai berapa lama suatu

peristiwa hukum sudah dianggap daluwarsa, hal ini berbeda-beda dalam setiap

sistem hukum. Permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau

pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk

meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum

dari satu atau kedua pihak. .

Bab mengenai prosedur ekstradisi, meliputi antara lain, syarat–syarat untuk menahan

orang yang diminta berdasarkan permintaan dari negara peminta, yaitu syarat apa yang harus

dipenuhi oleh negara peminta agar orang yang diminta bisa ditahan, syarat–syarat permintaan

ekstradisi untuk dapar dipertimbangkan, tentang pemeriksaan terhadap orang yang di

ekstradisikan, pencabutan dan perpanjangan penahanan, keputusan mengenai permintaan

ekstradisi yakni apakah permintaan ekstradisi itu akan dikabulkan ataukah ditolak serta

mengenai penyerahan orang yang diminta, barang – barang bukti dan lain – lain. 24

22

I wayan Parthiana, Loc.cit (buku 4), halaman.131.

23

Ibid, Halaman.172.

24

(26)

B. Syarat–syarat penahanan yang diajukan oleh negara peminta

Ada kalanya negara peminta sebelum mengajukan permintaan ekstradisi secara resmi

kepada negara diminta, memandang perlu untuk terlebih dahulu menahan orang yang perlu

diminta itu. Sudah tentu negara peminta tidak boleh secara langsung menangkap dan

menahan orang tersebut sebab dia berada dalam wilayah peminta.

Untuk itu, negara peminta dapat meminta kepada negara diminta supaya melakukan

penahanan terhadap orang yang bersangkutan. Setelah itu dapat segera disusul dengan

pengajuan permintaan ekstradisinya. Tujuan penahanan ini adalah agar supaya orang yang

bersangkutan tidak melarikan diri ke negara lain sampai diajukan permintaan ekstradisi.

Negara diminta stelah menerima permintaan untuk menahan tersebut, terlebih dahulu

mempertimbangkan apakah penahanan itu dapat dilakukan ataukah tidak. Sudah barang tentu

penahanan tersebut haruslah berdasarkan hukum (hukum acara pidana) negara diminta. Yang

memerintahkan penahan tersebutadalah pejabat yang berwenang dari negara – diminta.

Kepala Kepolisian R.I atau Jaksa agung R.I dapat memerintahkan penahanan yang

dimintakan oleh negara lain atas dasar alasan yang mendesak jika penahanan itu tidak

bertentangan dengan hukum negara R.I25

Dengan jelas dapat kita lihat, alasan untuk menahan tersebut yaitu, atas dasar alasan

yang mendesak konkritnya alasan yang mendesak itu, pertimbangannya tergantung pada

pihak peminta dan keputusan untuk menerima atau tidaknya permintaan penahanan itu

sepenuhnya terletak pada pemerintah indonesia. Syarat untuk dapat dilakukan penahanan

adalah jika hukum Indonesia memperbolehkannya atau tidak bertentangan dengan hukum

Indonesia.

.

26

Agar supaya orang yang diminta itu tidak ditahan berlarut – larut, sampai melebihi

dari batas waktu yang diperkenankan oleh hukum Indonesia, negara peminta di dalam

25

(27)

mengajukan permintaan untuk menahan itu harus pula menyertai dengan suatu penegasan

bahwa dokumen-dokumen serta persyartan lain untuk mengajukan permintaan ekstradisi

sudah siap/tersedia, dan dalam tempo yang secepatnya akan menyampaikan permintaan

ekstradisi. Dengan penegasan ini dapat lebih menyakinkan pihak Indonesian bahwa negara

peminta itu benar-benar akan mengajukan permintaan ekstradisi pada waktu yang secepatnya,

Dalam permintaan untuk penahanan itu negara peminta harus menerangkan bahwa dokumen

sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 sudah tersedia dan bahwa negara tersebut segera

dalam waktu tersebut dalam pasal 21 akan menyampaikan permintaan ekstradisi27

1. Kepala Kepolisian R.I., atau

.

Selanjutnya diatur tentang prosedur yang harus ditempuh oleh negara peminta dalam

menyampaikan permintaan penahanan tersebut. Permintaan untuk penahanan disampaikan

oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta kepada Kepala Kepolisian R.I atau kepada

Jaksa Agung R.I melalui INTERPOL Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau

langsung dengan pos atau telegram .permintaan penhanan tersebut dapat disampaikan

kepada:

2. Jaksa Agung R.I.

Sedangkan saluran yang harus dilakukan adalah:

1. Melalui INTERPOL Indonesia, atau

2. Melalui saluran diplomatik28

Surat permintaan penahanan itu dapat disampaikan lewat pos atau dengan telegram.

Setelah surat permintaan ekstradisi untuk menahan itu diterima oleh Kepala Kepolisian atau

Jaksa Agung, dan setelah dipertimbangkan ternyata permintaan penahanan itu dapat

dikabulkan, maka pejabat yang berwenang/ jaksa agung atau kepala kepolisian R.I

mengeluarkan surat perintah untuk menangkap dan atau menahan orang ynag bersangkutan. .

27

Lihat pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

28

(28)

Semuanya itu dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan – ketentuan dalam Hukum

Acara Pidana Indonesia (pasal 19 (2)). Penyimpangan dari ketentuan Hukum Acara Pidana

Indonesia diperkenankan seperti ditentukan dalam pasal 19 (3). Pasal 19 (3) ini berbunyi:

Menyimpang dari ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia yang berlaku, maka terhadap

mereka ynag melakukan kejahatan yang dapat diekstradisikan berdasarkan undang-undang

ini dapat dilakukan penahanan.

Apabila setelah orang yang bersangkutan ditahan, ternyata dalam waktu yang

dipandang cukup sejak dia ditahan, permintaan ekstradisi dari negara peminta belum juga

diterima oleh pemerintahan indonesia, maka pemerintah indonesia harus melepaskan orang

tersebut dari tahanan. Mengenai berapa lama jangka waktu tersebut, ditentukan dalam

perjanjian ekstradisi dengan negara peminta tersebut, misalnya: perjanjian ekstradisi antara

indonesia dengan pilipina menentukan waktu 20 hari (pasal 11 (5) ) , demikian juga

perjanjian ekstradisi Indonesia – Malaysia pasal 2 (5) dalam hal perjanjian ekstradisi tersebut

masih belum ada, maka jangka waktu penahanan29

C. Syarat-Syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan Permintaan Ekstradisi.

tersebut tunduk pada hukum indonesia

(ketentuan hukum acara pidana indonesia).

Jika antara ketentuan mengenai lamanya penahanan (sementara) dalam perjanjian

ekstradisi bertentangan dengan yang terdapat dalam hukum acara pidana indonesia, maka

ketentuan dalam perjanjian ekstradisilah yang diterapkan. Sebab ketentuan dalam perjanjian

ekstradisi merupakan peraturan yang bersifat khusus, merupakan perkecualian dari ketentuan

umum yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana. Ini sesuai dengan adagium; lex specialis

derogat legi generali.

Oleh karena masalah ekstradisi adalah masalah antar negara (negara-peminta dan

negara-diminta) maka permintaan harus diajukan melalui saluran diplomatik sebagaimana

29

(29)

lazimnya dalam hubungan-hubungan internasional. Dalam hal ini adalah pejabat-pejabat

tinggi masing-masing negara yang ruang lingkup tugas dan kewenangannya mengenai

masalah hubungan luar negeri,seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar

negeri, dan dutabesar sepanjang menyangkut hubungan antara negara dengan negara dimana

dutabesar yang bersangkutan diakreditasi.30

a) Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik

kepada Menteri kehakiman R.I untuk selanjutnya oleh Menteri Kehakiman diteruskan

kepada Presiden.

Syarat-syarat untuk permintaan ekstradisi adalah:

b) Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk

menjalani pidana, harus disertai lembaran asli atau salinan otentik dari putusan

pengadilan yang berupa pemindanaan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang

pasti,lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara-peminta.

c) Sedangkan surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahtan

(dia belum diadili atau disangkakan hukuman), harus disertai: lembaran asli atau

salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang dari negara peminta, uraian mengenai kejahatan yang dijadikan dasar atau

alasan untuk meminta ekstradisi, dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahtan

dilakukan, dengan disertai bukti tertulis yang diperlukan, keterangan-keterangan saksi

di bawah sumpah mengenai pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan,

keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan orang

yang dimintakan ekstradisinya, permohonan pensitaan barang.

30

(30)

Dengan ketiga surat-surat ini sudahlah cukup untuk menguatkan permintaan

ekstradisi. Dalam putusan pengadilan yang berisi atas penghukuman orang tersebut,

dipandang sudah mencakup keterangan saksi-saksi, uraian kejahatan yang ditunduhkan,

pemerikaan barang dan lain-lainnya. Sedangkan untuk permintaan seorang tersangka,

terdakwa, tertuduh, oleh karena proses pemeriksaannya di negara-peminta masih agak

mentah, maka uraian kejahatan yang dituduhkan dan yang dijadikan dasar untuk meminta

ekstradisi, ketentuan-ketentuan hukum (pidana) yang dituduhkan, keterangan saksi-saksi,

memang sangat diperlukan. Disamping untuk memperkuat permintaan ekstradisi bagi

negara-peminta, juga bagi negara-diminta dalam mempertimbangkan permintaan ekstradisi tersebut

betul-betul lebih meyakinkan sehingga akan dapat mengambil keputusan yang

tepat.surat-surat tersebut merupakan alat bukti tertulis.

Menurut penjelasan pasal demi pasal Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tersebut,

bukti tertulis ialah dokumen-dokumen yang erat hubungannya dengan kejahatan tersebut,

misalnya: surat hak milik, atau apabila bukti-bukti tersebut berupa alat, benda atau senjata,

cukup foto-foto dari barang tersebut, atau apa yang dinamakan “copie collatione”31

D. Pemeriksaan Terhadap Orang Yang Dimintakan Ekstradisi

Diperkenankannya untuk mengajukan copy/salinan atau foto-foto saja, jadi berbeda

dengan alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara biasa menurut penjelasan UU tersebut

disebabkan oleh karena dalam ekstradisi, pemeriksaan oleh pengadilan hanya akan untuk

menetapkan apakah orang tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat diekstradisikan

ataukah tidak. Jadi tidak untuk memutuskan salah satu atau tidaknya orang tersebut.

Setelah instansi yang berwenang kejaksaan atau kepolisian, menerima permintaan

ekstradisi dari Menteri Kehakiman yang setelah mempelajarinya berpendapat bahwa,

31

(31)

kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan itu dapat dikenakan penahanan

menurut hukum acara pidana indonesia, maka terhadap orang yang bersangkutan dapat

dikenakan penahanan sementara. Pengeluaran surat perintah atau penahanan orang yang

bersangkutan juga dilakukan menurut hukum acara pidana Indonesia. Hal ini sesuai dengan

Pasal 19 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1979.

Namun demikian, penyimpangan dari hukum acara pidanan Indonesia juga

diperkenankan, yaitu jika kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat di

ekstradisikan berdasarkan undang-undang ekstradisi Indonesia maka orang tersebut dapat

dikenakan penahanan, walaupun menurut hukum acara pidana Indonesia terhadap

kejahatannya itu tidak boleh dikenakan penahanan. Tegasnya, walaupun menurut KUHAP

atas kejahatannya itu orang yang bersangkutan tidak boleh dikenakan penahanan, tetapi jika

negara-peminta meminta kepada negara-diminta (Indonesia) supaya orang tersebut ditahan,

maka Indonesia harus menahannya32

Dalam pasal 26 (1) ditentukan, apabila yang melakukan penahan tersebut kepolisian

R.I maka setelah menerima surat permintaan ekstradisi, kepolisian melakukan pemeriksaan

tentang orang tersebut atas dasar keterangan atau bukti-bukti dari negara peminta itu. Hasil

pemeriksaan itu dicatat dalam berita acara dan segera diserahkan kepada kejaksaan R.I

setempat (pasal 26 (2) ). Jika yang melakukan penahanan adalah kejaksaan, maka pihak

kejaksaanpun juga harus melakukan pemeriksaan seperti ketentuan pasal 26 (1), walaupun

tidak ditegaskan demikian. Dengan dibatasinya pemeriksaan hanya atas dasar surat

permintaan ekstradisi dan bukti atau keterangan dari peminta, ini berarti bahwa kejaksaan

ataupun kepolisian tidak diperkenankan mendasarkan pemeriksaannya pada hukum acara

pidana indonesia. Jika sudah terpenuhi sesuai dengan surat permintaan ekstradisi dan bukti

atau keterangan dari negara peminta, walaupun masih terdapat kekurangan berdasarkan .

32

(32)

Hukum acara pidana Indonesia, maka kepolisian ataupun kejaksaan tidak boleh melengkapi

atau mengharuskan melengkapinya agar sesuai dengan ketentuan Hukum acara pidana

indonesia.

Hal ini pelu, demi kepentingan terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak,

terutama bagi orang yang bersangkutan. Sebab orang yang diminta itu, nantinya akan

diperiksa dan diadili di negara-peminta, di negara –peminta dan dengan berdasarkan hukum

negara-peminta itu sendiri. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa kejaksaan atau kepolisian

dalam memeriksa orang yang bersangkutan, harus mendasarkan pada surat permintaan

ekstradisi dan keterangan atau bukti dari negara peminta33

Jika pemerintah indonesia memandang lebih baik ditahan dan diperiksa oleh pihak

yang kejaksaan ataupun kepolisian di tempat yang lain, misalnya di jakarta, surabaya, medan,

hal ini bisa saja dilakukan. Misalnya untuk lebih amannya pemeriksaan atau karena di tempat

yang dipilih itu lebih lengkap perlatannya dan personil pemeriksaan dibandingkan dengan di

tempat yang terpencil dimana orang yang bersangkutan ditahan semula. Pihak kejaksaan

setelah selesai memeriksa kasus tersebut atau setelah selesai memeriksa berita acara perkara

dari polisi, meminta kepada Pengadilan Negeri di daerah tempat ditahannya orang itu disertai

dengan alasan-alasannya secara tertulis supaya Pengadilan Negeri memeriksa dan kemudian

menetapkan apakah orang tersebut dapat diekstradisikan atau tidak .

34

Memang pada akhirnya, penentuan terakhir ada pada Presiden setelah memperoleh

pertimbangan-pertimbangan Menteri Kehakiman, Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kepala

Kepolisia R.I.namun di pengadilannlah orang yang dimintai itu secara langsung dapat . Hal ini diatur dalam

pasal 27. Oleh karena pemeriksaan di Pengadilan adalah boleh dikatakan sebagai penentu

tentang dapat atau tidaknya orang yang bersangkutan diekstradisikan, sehingga diberikan

kesempatan kepadannya untuk didampingi penasehat hukumnya dan mengajukan pembelaan.

33

I Wayan Parthiana,op.cit(buku ke-3),halaman 228

34

(33)

memberikan keterangna-keterangannya 35

. Selanjutnya pasal 28 menegaskan bahwa perkara

ekstradisi termaksud perkara-perkara yang didahulukan. Artinya hakim Pengadilan Negeri

wajib untuk lebih memprioritaskan atau mendahulukan pemeriksaan perkara mengenai

ekstradisi daripada perkara-perkara biasa. Sebab dalam perkara ekstradisi tersangkut

kepentingan negara lain yaitu negara-peminta. Selain daripada itu, perkara yang ekstradisi

menyangkut kejahatan berat dan mungkin menggoncangkan masyarakat luas tertama di

negara-peminta 36

a) Apakah identitas dan kewarganegaraan dari orang yang dimintakan ekstradisi itu

sesuai dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan ileh negara. .

Dalam pasal 32 ditegaskan hal-hal yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah:

b) Apakah kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat diekstradisi

menurut pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer.

c) Apakah hak penuntut atau hak melaksanakan putusan Pengadilan sudah atau belum

kadaluwarsa.

d) Apakah terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau

belum dijatuhkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

e) Apakah kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara-peminta sedangkan

di Indonesia tidak.

f) Apakah orang tersebut diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama.

Dalam pasal 33 (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 ditentukan bahwa dari hasil

pemeriksaan tersebut pada pasal 32 Undang-undang No 1 tahun 1979 Pengadilan

menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan. Selanjutnya dalam ayat 2

ditegaskan, pengadilan tersebut beserta surat-suratnya yang berhubungan dengan perkara itu

35

Ibid. Halaman 230.

36

(34)

segera diserahkan kepada Menteri kehakiman untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan

penyelesaian lebih lanjut.

E. Keputusan mengenai permintaan ekstradisi

Dalam pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, ditegaskan setelah

Presiden menerima penetapan Pengadilan beserta pertimbangan-pertimbangan tersebut dalam

ayat (1), maka presiden memberikan keputusan tentang dapat atau tidaknya orang yang

diminta itu diekstradisikan. Di dalam ayat (3) ditegaskan bahwa jika menurut penetapan

Pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman R.I

memerlukan tambahan keterangan, maka Menteri kehakiman R.I meminta keterangan yang

dimaksud kepada negara-peminta dalam waktu yang dianggap cukup. Mengenai berapa lama

waktu yang dianggap cukup tersebut, didasarkan pada pertimbangan jarak serta luasnya

negara yang meminta ekstradisi. Misalnya, jika negara-peminta tersebut di benua eropah

haruslah diberikan batas waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengna kawasan Asia

Tenggara, di dalam melengkapi permintaan tersebut.

Juga perlu dipertimbangkan luas peminta yang bersangkutan. Jika

negara-peminta tersebut wilayahnya demikian luas tentulah akan memerlukan waktu yang lebih lama

untuk mengumpulkan kelengkapan atau tambahan keterangan, jika dibandingkan dengan

negara kecil. Oleh karena itu,untuk menetapkan berapa lama waktu yang dianggap cukup itu,

ditentukan dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara-peminta yang

bersangkutan37

Keputusan terakhir mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan ekstradisi

negara-peminta itu terletak di tangan presiden, setelah menerima penetapan Pengadilan serta

pertimbangan-pertimbangan dari Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa agung dan .

37

(35)

Kepala Kepolisian R.I Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi itu diberitahukan

atau disampaikan oleh mnteri Kehakiman R.I kepada negara-peminta melalui saluran

diplomatik (pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979).

F. Penyerahan Orang Yang Dimintakan Ekstradisi

Jika permintaan negara-peminta dikabulkan oleh negara-diminta dan sudah dilakukan

pemberitahuannya secara tertulis kepada negara-peminta yang biasanya pemberitahuan itu

disertai pula dengan penentuan mengenai tempat dan waktu dilakukan penyerah-terimaannya,

maka selanjutnya dilakukanlah proses penyerah-terimaan orang yang diminta tersebut oleh

pejabat yang berwenang dari diminta kepada pejabat yang berwenang dari

peminta. Mengenai tempat penyerah-terimaannya, ditentukan sebelumnya oleh

negara-diminta, yakni, di suatu tempat atau di wilayah negara-diminta itu sendiri, meskipun boleh

juga dilakukan di suatu tempat di wilayah negara-ketiga , namun harus ada persetujuan dari

negara-ketiga yang bersangkutan.

Negara-peminta setelah menerima pemberitahuan dari negara-diminta tentang

dikabulkannya permintaan untuk pengekstradisiannya, dalam jangka waktu yang dipandang

layak, harus menyampaikan surat pemberitahuan kepada negara-diminta mengenai rencana

pengambilan orang yang diminta atau yang akan diekstradisikan. Surat tersebut, antara lain

berisi: nama dan identitas dari pejabatnya yang berwenang yang akan menerima

penyerah-terimaan orang yang bersangkutan, dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang terkait dengan

pengekstradisian tersebut kalau memang dibutuhkan 38

Pada waktu dan tempat yang sudah ditetapkan oleh negara-diminta, dilakukanlah

penyerah-terimaan orang yang bersangkutan beserta dengan penyerah-terimaan

barang-barang yang terkait (kalau memang barang-barang itu ada) oleh pejabat yang berwenang dari negara-.

38

(36)

diminta kepada pejabat yang berwenang dari negara-diminta kepada pejabat yang berwenang

dari negara-peminta pada suatu dokumen berita acara serah terima yang otentik yang

sebelumnya sudah disiapkan oleh negara yang diminta39

G. Perjanjian Bilateral Ekstradisi antara Indonesia dengan negara-negara Lain .

. Negara-diminta dapat saja

menentukan tempat penyerah-terimaan tersebut, misalnya, di suatu kota yang jauh dari garis

perbatasan darat antara kedua negara, atau disuatu kota yang di wilayahnya sendiri yang jauh

dari bandara ataupun pelabuhan. Hal ini tentu saja akan membutuhkan waktu ynag cukup

lama untuk membawa orang yang bersangkutan dari kota tempat penyerah-terimaan melalui

perjalanan darat untuk menuju ke garis perbatasan atau bandara ataupun pelabuhan di

negara-diminta. Hal inipun juga bisa menimbulkan suatu resiko yang tidak kecil. Misalnya, jika

orang yang bersangkutan ketika dalam perjalanan darat dari tempat serah-terima ke

pelabuhan atau bandara (di wilayah negara-diminta) yang jaraknya puluhan bahkan ratusan

kilometer, ternyata berhasil melarikan diri dari penjagaan pejabat yang berwenang dari

negara-peminta. Jika larinya baru beberapa meter saja dari kendaraan pengangkutnnya dan

bisa ditangkap langsung oleh pejabat tersebut dan dimasukkan kembali ke dalam kendaraan

yang mengangkutnya, tentulah tidak ada persoalan apa-apa. Sebaliknya jika kemudian dia

berhasil menyelinap dan tidak bisa ditangkap oleh pejabat negara-peminta, maka pejabat

negara-peminta tersebut tentu saja tidak bisa langsung mencari dan menangkap sendiri orang

itu di wilayah negara-diminta. Dia harus meminta bantuan dari pejabat yang berwenang dari

negara-diminta. Hal ini tentu akan merepotkan kedua pihak. Namun,demi memperkecil atau

menghapuskan resiko tersebut, serah terima secara resmi sebaiknya dilakukan tempat yang

sudah ditentukan.

Ekstradisi diakui sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam mencegah dan

memberantas kejahtan lintas negara yang selanjutnya disebut sebagai kejahatan transnasiona

39

(37)

lekstradisi sebagai suatu prananta hukum memang sudah dikenal sejak lama, asas-asas

hukumnya sudah diakui dan diterima serta dipraktekkan secara luas diseluruh dunia dengan

berbagai variasi.indonesia sudah memiliki enam perjanjian bilateral soal ekstradisi yang telah

diratifikasi, yakni sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara

Pemerintahan Republik Indonesia Dan Pemerintahan Malaysia Mengenai Ekstradisi.40

Dalam perjanjian ekstradisi dengan Malaysia tersebut sudah dimasukkan semua

azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional mengenai

ekstradisi seperti:

a. azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana baik menurut

sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Malaysia ("double criminality")

b. kejahatan politik tidak diserahkan,

c. hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri dan lain-lainnya.

Prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum

nasional negara masing-masing.

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi

Antara Republik Indonesia Dan Republik Phillipina41

Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini

merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina

ini sudah dimasukkan azas azasumum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum

internasional mengenai ekstradisi seperti:

a. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut

sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Philipina (Double Criminality); .

b. Kejahatan politik tidak diserahkan;

40

http://Hukum .Unsrat.ac.id, Diakses tanggal 18 februari 2011

41

(38)

c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, dan lainlainnya.

Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula,

bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan.Prosedur

penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional

masing-masing negara.

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah

Republik Indonesia Dan Pemerintahan Kerajaan Thailand Tentang Ekstradisi42

Dalam perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Thailand tersebut sudah dimasukkan

semua azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam Hukum Internasional

mengenai ekstradisi, seperti:

a. Azas bahwa tentang yang bersangkutan merupakan tindakPidana, baik menurut

sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Thailand (double criminality) ;

b. Pelaku kejahatan politik tidak diekstradisikan ;

c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, kecuali apabila demi penegakan

Hukum dan Keadilan dikehendaki lain;

d. Dan azas-azas lainnya.

Tata cara penangkapan, penahanan dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada

hukum nasional negara masing-masing.

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara

Republik Indonesia Dan Australia.

Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Australia bertujuan

meningkatkan kerjasama dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan

yaitu, dengan cara mencegah lolosnya pelaku tindak pidana dari tuntutan dakwaan dan

pelaksanaan hukuman.

Tatacara Ekstradisi antara Australia dan Indonesia, adalah:

42

(39)

Ekstradisi akan ditempuh dengan cara Negara Peminta mengajukan permintaan ekstradisi

kepada Negara yang diminta. Permintaan harus tertulis dan disampaikan melalui saluran

diplomatik disertai dokumen-dokumen otentik yang diperlukan. Apabila permintaan atas

orang yang sama datang dari dua negara atau lebih maka Negara yang Diminta harus

menentukan kepada negara mana ekstradisi itu akan dilakukan.

5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah

Republik Indonesia Dan Pemerintah Hongkong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum

Yang Melarikan Diri43

Dalam Persetujuan ini mengenai penyerahan pelanggar hukum ditempuh dengan tata cara

(pasal 17) sebagai berikut :

a. Pihak diminta harus, segera sesudah mengambil keputusan mengenai permintaan

penyerahan, memberitahukan keputusan tersebut kepada Pihak Peminta.

b. Jika seseorang akan diserahkan, orang itu harus dikirim oleh pejabat dari Pihak

diminta ke suatu tempat pemberangkatan yang berada dalam yurisdiksinya.

c. Pihak Peminta harus mengambil orang tersebut dalam waktu yang ditentukan oleh

Pihak Diminta dan jika tidak diambil dalam jangka waktu tersebut Pihak Diminta

dapat menolak penyerahan orang itu untuk pelanggaran yang sama.

d. Jika ada keadaan yang berada di luar kuasa menghalangi salah satu pihak untuk

menyerahkan dan mengambil orang yang akan diserahkan, pihak yang bersangkutan

harus memberitahukan pihak yang lain. Dalam kasus yang demikian, kedua belah

pihak harus menyetujui suatu tanggal yang baru untuk penyerahan yang telah

ditentukan.

6) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara

Republik Indonesia Dan Republik Korea44

43

Ibid

(40)

Karakteristik yang membedakan perjanjian ekstradisi ini dengan perjanjian ekstradisi lain

adalah:

a. Tidak ada Daftar Kejahatan (List of Crime)

Kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah semua kejahatan yang dipidana dengan

pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun atau lebih. Ketentuan sistem tanpa daftar

dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional yang baru.

b. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi apabila orang yang diminta sedang

Dalam proses pemeriksaan atau telah diadili dan dipidana, atau dibebaskan oleh

pengadilan di Negara yang Diminta, atas kejahatan yang dimintakan ekstradisinya.

c. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi apabila didasarkan pada alasan

ras,agama, kebangsaan, jenis kelamin, atau pandangan politik.

d. Kebijaksanaan untuk Mengekstradisi Warga Negara Sendiri Pada dasarnya

ekstradisi terhadap warga negara sendiri harus ditolak, kecuali atas

dasarkebijaksanaan dari Negara yang Diminta jika hal tersebut dianggap layak untuk

dilakukan. Kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisi ditentukan pada saat

kejahatan dilakukan.

e. Pengecualian terhadap Asas Kriminalitas Ganda Tidak diberlakukannya asas

kriminalitas ganda (double criminality) dalam bidangpajak, kepabeanan, pengawasan

valuta asing, atau masalah penerimaan negara lainnya.

f. Pidana Mati

Perjanjian ini tidak mengatur tentang penolakan ekstradisi terhadap kejahatan yang

diancam pidana mati.

g. Ekstradisi Sederhana

Ekstradisi dapat segera dilakukan apabila pelaku kejahatan setuju terhadap

44

(41)

permintaan ekstradisi tersebut. Negara yang Diminta harus segera mengambil

langkah-langkah untuk mempercepat ekstradisi ekstradisi tersebut, sepanjang hukum

nasionalnya memperbolehkan hal tersebut.

h. Pemindahan Narapidana

Ekstradisi terhadap narapidana diperbolehkan sepanjang narapidana tersebut telah

menjalani pidana dan mempunyai sisa masa pidana paling sedikit 6 (enam) bulan.

i. Penundaan Ekstradisi

Apabila orang yang diminta sedang diperiksa atau sedang menjalani pidana di Negara

yang Diminta untuk kejahatan yang dilakukan selain kejahatan yang dimintakan

ekstradisi, Negara yang Diminta dapat mengekstradisikan atau menunda ekstradisinya

sampai selesai proses pemeriksaan atau orang yang diminta selesai menjalani sebagian

atau keseluruhan pidananya.

j. Wilayah Negara Pihak

Menurut perjanjian ini yang dimaksud wilayah Negara Pihak adalah :

1. wilayah yang berada di bawah kedaulatan salah satu Pihak, dan laut yang

berbatasan dengannya, di mana Pihak tersebut melaksanakan kedaulatannya sesuai

dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982;

2. Laut yang berbatasan lainnya dan landas kontinen di mana para Pihak

melaksanakan hak berdaulat atau hak lainnya menurut Konvensi Hukum Laut

Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982, tetapi hanya yang berkaitan dengan

pelaksanaan hak berdaulat atau hak lainnya;

3.kapal dan pesawat udara yang dimiliki oleh Pemerintah atau yang terdaftar di salah

satu Negara Pihak, jika kapal tersebut berada di laut bebas atau jika pesawat udara

tersebut sedang dalam penerbangan, pada saat dilakukannya kejahatan yang

(42)

BAB III

JENIS KEJAHATAN YANG DAPAT DILAKUKAN PERMINTAAN EKSTRADISI

A. Jenis kejahatan yang dapat dilakukan pemindahan pelaku tindak pidana (Ekstradisi)

Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan menunjukkan, batas-batas

teritorial antara satu negara dengan negara lain di dunia, baik di dalam satu kawasan maupun

berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada dewasa ini, hampir dapat dipastikan

bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak dapat hanya dipandang sebagai yuridiksi

kriminil lebih dari satu negara atau dua negara sehingga menimbulkan masalah konflik

yuridiksi yang sangat mengganggu hubungan internasional antara negara yang

berkepentingan di dalam kasus tindak pidana tertentu yang bersifat lintas batas teritorial.

Masyarakat internasional mengakui bahwa perkembangan tindak pidana lintas batas

teritorial tersebut makin mempertinggi tingkat kesulitan kerjasama antar negara dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan kejahatan terutama jika dalam tindak pidana tersebut terlibat

warga negara asing.

Pandangan pakar hukum internasional yaitu Bassioni tentang Hukum Pidana

Internasional, yang menyatakan bahwa45

Hukum pidana internasional semakin relevan dengan perkembangan dunia dewasa,

dan semakin pasti berkelanjutan menjadi disiplin hukum penting, mahasiswa ilmu hukum

memerlukan pengetahuan tentang masalah kejahatan transnasional dan internasional yang

terus meningkat jumlahnya, intensitas dan ancaman kedamaian dan stabilitas dunia serta

keamanan dan keselamatan individu dan seluruh dunia. Bahaya ini berasal dari negara, :

45

(43)

perorangan serta kelompok dari seluruh penjuru dunia terlepas dari ideologi, kepercayaan,

dan faktor-faktor penting lainnya.

Istilah kejahatan internasional menunjukkan adanya suatu peristiwa kejahatan yang

sifatnya internasional, atau yang lintas batas negara, atau yang menyangkut kepentingan dari

dua negara atau lebih negara. Terhadap kejahatan internasional tersebut diatur dalam hukum

pidana internasional, yaitu kaidah-kaidah atau asas-asas hukum pidana yang menunjukkan

adanya kejahatan yang benar-benar internasional.

1. Berdasarkan Perjanjian Transfer Of Sentenced Persons46

Sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional yang multilateral dan

terbuka, dalam bidang hukum pidana maka perjanjian Transfer Of Sentenced Persons

dewasa ini telah menduduki tempat yang cukup terhormat. Hal ini terbukti dari

bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya baik dalam bentuk perjanjian-perjanjian

internasional bilateral, regional, dan multilateral, maupun berbentuk

perundang-undangan nasional negara-negara.

Perjanjian Transfer Of Sentenced Persons mengkhususkan dirinya pada

bidang hukum pidana, terkait dengan pemindahan narapidana (sentenced persons)

dari negara tempat narapidana di hukum (sentencing state) ke negara asal terpidana

(administering state) dengan menggunakan perjanjian internasional. Pengaturan

perjanjian Transfer Of Sentenced Persons diatur dalam sebuah konvensi yaitu

Convention On The Transfer Of Sentecend Persons, yang disahkan pada tanggal 21

Maret di Strasbourg.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio kontak dengan penderita TB paru BTA positif ; mengetahui proporsi kontak yang memeriksakan dahak dalam rangka

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, mengolah,menganalisis dan membahas tentang Perilaku Masyarakat Dalam Melestarikan lingkungan Pantai Tiku Di Nagari Tiku Selatan

KHODAM BAKRODIN 202004

- Isi cukup dan lengkap/releven dengan tugasan dan ayat gramatis 4 - Isi cukup dan lengkap/releven tetapi ayat kurang gramatis 3 - Isi tidak cukup/kurang lengkap tetapi ayat

Imdonesia.Fenomena ini menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengulasnya, karena merupakan realita pendidikan kita dewasa ini.Sertifikasi menjadi buruan yang tak terelakkan bagi

x Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menentukan lokasi yang akan digunakan untuk mendirikan blok angkur kabel angin sesuai dengan jarak yang diperbolehkan.. x

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) permintaan beras secara nyata dipengaruhi oleh harga riil beras Indonesia, jumlah penduduk, dan permintaan beras tahun sebelumnya,

Dilakukan kembali penimbangan untuk mendapatkan berat kerupuk kulit mentah untuk perhitungan rendemen. b) Menggoreng pada suhu ±160 0 C selama 3 menit sampai mengembang