BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
DALAM KAJIAN KETATANEGARAAN ISLAM
SKRIPSI
Disusun Oleh :
RINI WULANDARI 104045201524
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala nikmat, rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan tuntunan dan petunjuk
kepada umat manusia menuju kehidupan serta peradaban dan berkeadilan serta keluarga
dan para sahabat yang dicintainya.
Skripsi yang berjudul “BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM
KAJIAN KETATANEGARAAN ISLAM” akhirnya dapat diselesaikan dengan yang diharapkan penulis. Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah
dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orang tua, seluruh keluarga dan
pihak-pihak yang selalu ikut andil mensukseskan harapan penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat dan bentuk
penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis menyampaikan terima kasih kepada
Bapak/Ibu :
1. Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati, M.Ag. Kajur dan Sekjur yang memberikan
3. Dr.Abdurahman Dahlan. MA, pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta petunjuk-petunjuk
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalani studi di UIN Jakarta.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta
Perpustakaan Utama yang telah memberikan faslitas dan pelayanan kepada
penulis untuk mengadakan studi perpustakaan.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Sukasno dan Ibunda Supriyatin
terima kasih atas do’a, kasih sayang dan perhatiannya serta pengorbanan yang
tiada terhingga selama membesarkan dan mendidik penulis sampai saat ini. Tak
terkecuali keluarga besarku yang selama ini mendampingi penulis.
7. Adik-adikku tersayang Rudy Arizona dan Resyita Kaylanatha yang
mengukuhkanku sebagai seorang kakak...I Luv U !!
8. Special one....Dhany (Leeekk)...yang tak pernah lepas keberadaannya sehingga aku mengerti akan arti Ketulusan...Pengorbanan...dan Kesabaran....’Meskipun
Kenyataan Tak Seindah Harapan‘...
9. Aa Iman (terima kasih atas do’a dan supportnya), Mhamas (yang selalu sabar
mendengarkan curahan hati Dede), Uwah dan Atul (yang selalu memberikan
support dan menemaniku disaat jenuh), Ana dan Jeny (yang dengan sabar
menemani dan memberikan motivasi serta membantuku selama ini).... !!!
abang-abangku...Chayoo !! serta sahabat-sahabatku Katren, Lina, Edet, Ana, Giarti...I
luv u all... !! Tak lupa untuk keluarga ke’2 ku (Mbah Wir, mas nanang, ka’ eng, om gotil, mba kiki) terima kasih atas perhatiannya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan. Semoga Allah
membalas semua kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda. Terakhir penulis
berharap semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca
pada umumnya. Amiin
Jakarta, Desember 2008
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi sala
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2008
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 8
E. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 10
F. Metode Penelitian... 12
G. Sistematika Penulisan... 14
BAB II. TINJAUAN TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DI INDONESIA A. Pengertian Badan Pemeriksa Keuangan... 16
B. Sejarah dan Praktek Badan Pemeriksa Keuangan... 17
C. Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan ... 22
D. Lembaga BPK Pasca Amandemen UUD 1945... 31
A. Tinjauan BPK Dalam Ketatanegaraan Islam ... 38
B. Wilayah Mazhalim Dalam Islam... 43
b.1 Sejarah Lembaga Mazhalim ... 45
b.2. Tugas dan Wewenang Wilayah Mazhalim ... 46
BAB IV. ANALISIS PERBANDINGAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM KAJIAN KETATANEGARAAN INDONESIA DAN KETATANEGARAAN ISLAM A. Persamaan dan Perbedaan BPK Dengan Wilayah Mazhalim... 54
B. Relevansi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dengan Wilayah Mazhalim ...64
BABV. PENUTUP A. Kesimpulan ... 66
B. Saran... 68
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu lembaga negara yang bebas dan
mandiri, berkaitan dengan pelaksanaan atau realisasi anggaran pendapatan dan
belanja negara yang telah disetujui oleh rakyat melalui DPR. Dalam pelaksanaan
tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan pada pokoknya adalah partner atau mitra
DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan (control) terhadap kinerja
pemerintahan, serta mengawasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara. Hasil-hasil pemeriksaan keuangan yang telah dilakukan kemudian
diberitahukan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana
mestinya.
Keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan didalam penyelenggaraan negara
dipertegas dalam UUD 1945 setelah perubahan, dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945
disebutkan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.1
Pada Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001, ditegaskan kembali
mengenai struktur organisasi dan kewenangan BPK, tetapi maksud dari bagian pasal
ini mengalami berubah secara sangat mendasar. Tujuan adanya perubahan ini agar
1
penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan daerah sejalan dengan apa yang
telah dicita-citakan oleh BPK itu sendiri. BPK membentuk perwakilan disetiap
propinsi dan meningkatkan ruang lingkup kerjanya, sehingga jumlah anggota Badan
Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan) orang.
Hasil pemeriksaan keuangan didaerah oleh BPK diserahkan kepada DPR,
DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya.2 Karena sebelum diubah hasil
pemeriksaan hanya diserahkan kepada DPR saja. Bahkan ditegaskan pula dalam
pasal 23E ayat (3), “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang”. Artinya meskipun BPK
tidak diwajibkan untuk atas insiatifnya sendiri menyampaikan hasil pemeriksaan itu
kepada lembaga penegak hukum, tetapi ketika terdapat dugaan adanya tindak pidana
dalam hasil pemeriksaan tersebut, lembaga-lembaga penegak hukum yang sah
menurut ketentuan undang-undang, dapat saja berinsiatif untuk menindaklanjuti
temuan-temuan BPK itu.
Badan Pemeriksa Keeuangan dapat menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik yang
disengaja atau karena kelalaian yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Penilaian kerugian keuangan
negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian
2
ditentukan dengan keputusan BPK. Karena itu, pada hakikatnya, lembaga BPK ini
juga memiliki fungsi yang bersifat semi atau quasi peradilan.3
Secara struktural keorganisasian Badan Pemeriksa Keuangan terdiri atas
Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas
penunjang, perwakilan, pemeriksa dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai
dengan kebutuhan.4 Wilayah yuridiksi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikuatkan
oleh pasal 23G ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “Badan Pemeriksa Keuangan
berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”.
Artinya, UUD mewajibkan bahwa perwakilan BPK itu harus ada di setiap provinsi.
Padahal sebelumnya, kantor-kantor perwakilan BPK hanya ada di beberapa provinsi
yang besar-besar saja, karena terkait dengan tugas-tugas pemeriksaan atas
pelaksanaan APBN di daerah-daerah yang volumenya berbeda-beda satu sama lain.
Dalam kedudukannya yang semakin kuat dan kewenangan yang semakin
besar, fungsi BPK sebenarnya pada pokoknya tetap terdiri atas tiga bidang, yaitu
fungsi operatif, fungsi yustisi, dan fungsi advisory. Bentuk pelaksanaan ketiga fungsi itu adalah sebagai berikut:
1. Fungsi operatif berupa pemeriksaan, pengawasan dan penyelidikan atas
penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan negara;
2. Fungsi yudikatif berupa kewenangan menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi terhadap bandaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena
3
Jimly, Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT.Bhuana Ilmu Populer, 2007)
4
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan
kerugian keuangan dan kekayaan negara;
3. Fungsi advisory yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai
pengurusan dan pengelolaan keuangan negara.5
Islam secara umum mengandung dasar-dasar global untuk melindungi harta
kekayaan. Dasar ini sudah cukup bagi seorang muslim untuk dapat menerapkan
dengan benar bahwa suatu harta kekayaan harus dijauhkan dari sentuhan
orang-orang yang tamak terhadap harta umum atau dengan keinginan yang terlalu
berlebihan. Dengan demikian, dalam ketaatanegaraan Islam terdapat lembaga yang
memeriksa perkara yang terkait dengan pemeriksaan terhadap harta milik negara.
Lembaga tersebut adalah Wilayah mazhalim, awal berdirinya lembaga ini
dimaksudkan untuk dapat mencegah kezhaliman seperti memeriksa pejabat negara
yang merugikan masyarakat umum dengan menangani perkara terhadap orang-orang
yang melakukan tindakan korupsi terhadap kekayaan milik negara.
Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam
wewenang hakim biasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam
lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan
sebagiannya tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang
jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.6
Pengadilan mazhalim adalah salah satu dari tiga kekuasaan negara disamping
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Peradilan ini merupakan kemanfaatan
5
Jimly, Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006)
6
umum yang bertujuan mengukuhkan dasar-dasar keadilan diantara individu
masyarakat.
Pada pengadilan majelis mazhalim hendaknya dihadiri oleh lima petugas inti
dalam beracara sidang, oleh sebab itu, tugas mengadili suatu perkara tidak dapat
berlangsung dengan baik tanpa kehadiran mereka. Mereka itu adalah:
1. Para penjaga dan pembantu untuk menarik kekuatan dan meluruskan pihak
yang berani;
2. Para qadhi dan pejabat pemerintah yang berfungsi untuk mengetahui fakta-fakta kebenaran yang kemudian ditemukan dan menyaksikan penanganan kasus
yang sedang diurus ditempat itu;
3. Para fuqaha yang berfungsi sebagai sumber rujukan dalam masalah yang sulit
dan menjadi tempat bertanya tentang masalah yang problematis dan rumit;
4. Para sekretaris yang bertugas mencatat pembicaraan yang berlangsung dalam
majelis itu serta ketetapan-ketetapan yang dibuat kemudian, baik hak-hak
seseorang maupun kewajibannya; dan
5. Para saksi yang berfungsi sebagai saksi atas hak yang telah ditetapkan dan
hukum yang diputuskan.
Wilayah mazhalim mempunyai tugas, diantaranya yaitu menangani sikap korup para pejabat pemerintah atas harta yang mereka pungut dari rakyat. Untuk
menangani hal ini, petugas mazhalim perlu undang-undang yang adil dalam catatan
memeriksa kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan
zakat dan harta-harta kekayaan Negara.7
Dari uraian diatas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam sekaligus penulisan
skripsi yang berjudul “ BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Dalam Kajian
Ketatanegaraan Islam”. Di ambilnya judul tersebut karena penulis belum
menemukan tulisan yang membahas tentang lembaga Badan Pemeriksa Keuangan
yang dikaji dalam struktur pemerintahan Islam.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah,
maka dapat disusun pembatasan masalah guna memudahkan penyusunan skripsi ini
adalah tentang Kewenangan Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan di
Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam.
Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang ada menjadi
:
1. Apa kewenangan lembaga BPK dalam ketatanegaraan Indonesia ?
2. Apa kewenangan Wilayah Mazhalim dalam pemerintahan Islam ?
3. Apa yang menjadi persamaan dan perbedaan kewenangan antara wilayah
mazhalim dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
7
1. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kewenangan Badan Pemeriksa
Keuangan dalam mengelola keuangan negara.
2. Untuk mengetahui wewenang wilayah mazhalim dalam struktur pemerintahan
Islam.
3. Untuk mengetahui persamaan ataupun perbedaan antara kewenangan lembaga
wilayah mazhalim dengan Badan Pemeriksa Keuangan.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Murni untuk menambah pengetahuan tentang Badan Pengawas Keuangan pada
umumnya.
2. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat adalah untuk
mengetahui apa saja yang menjadi tugas dan wewenang BPK di Negara RI
maupun dalam kajian ketatanegaraan Islam.
3. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akdemisi Fakultas Syari’ah dan
Hukum pada umumnya dan program studi Siyasah Syar’iyyah khususnya,
sebagai penambah referensi tentang BPK dalam kajian ketatanegaran Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam proposal
skripsi ini perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi
bahan pertimbangan. Yang diantaranya, yaitu:
Buku yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia oleh Jimly
berlaku di Indonesia, setelah reformasi. Yang menyangkut diantaranya tentang
hukum keuangan negara yang berkaitan dengan tugas dan wewenang lembaga
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Buku ini juga membahas tentang persoalan
ketatanegaraan Republik Indonesia dalam rangka berpartisipasi dalam membina dan
memperkembangkan perwujudan prinsip negara konstitusional Indonesia yang
demokratis sekaligus negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.8
Dalam buku yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia oleh Ni’matul
Huda, membahas tentang masalah ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD
1945. Di samping itu, juga membahas lembaga-lembaga negara independent
diantaranya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang wewenangnya berdasarkan
perintah UUD 1945. mulai dari pemisahan kekuasaan dan chek and balances sampai
dengan penyelesaian konflik politik melalui jalur hukum.9
Buku yang berjudul Peradilan dan Hukum Acara Islam yang ditulis oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, membahas tentang tata cara peradilan
dalam Islam dan membahas lembaga peradilan dalam Islam seperti membahas tugas
lembaga wilayah mazhalim dalam menangani perkara.10
Buku yang berjudul Standar Pemeriksaan Keuangan Negara oleh Peraturan
BPK RI No.01 Tahun 2007 mempertegas bahwa BPK sebagai lembaga negara, yang
berdasarkan UU No.10 Tahun 2004 dapat menetapkan peraturan
perundang-undangan. Buku ini membahas tentang standar pemeriksaan standar umum, standar
8
Jimly, Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT.Bhuana Ilmu Populer, 2007)
9
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
10
pelaksanaan pemeriksaan keuangan, standar pelaporan pemeriksaan keuangan, serta
hal-hal lain yang terkait dengan standar pemeriksaan keuangan negara.11
UU Badan Pemeriksa Keuangan (UU RI No.15 Tahun 2006), dalam undang-undang ini diatur tentang hal-hal baru dalam proses dinamika lembaga BPK, antara
lain penambahan jumlah anggota BPK, pembaruan strukutur organisasi BPK,
perluasan kewenangan BPK, penegasan kemandirian BPK dan adanya dewan
kehormatan BPK. Undang-undang ini juga memuat tentang, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan ruang lingkup tugas dan fungsi BPK, seperti UU
Keuangan Negara, UU tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara.12
E. Kerangka Teori Dan Konseptual
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang
independent mempunyai tugas untuk memeriksa pengelolaan terhadap keuangan
negara. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya
yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Negara berusaha
memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat. Oleh karena itu, dengan tugas
yang dimiliki oleh lembaga BPK dalam hal pengelolaan keuangan negara
diharapkan dapat terciptanya pemerintahan yang baik.
Dalam hal ini peran BPK sebagai lembaga pemeriksa yang bebas dan
mandiri di tuntut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas.
11
Peraturan BPK RI No.1 Th 2007 “Standar Pemeriksaan Keuangan Negara”, (Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2007)
12
Terkait dengan tugasnya tersebut BPK dapat memeriksa apa saja yang termasuk
dalam harta kekayaan milik negara demi menghindari terjadinya penyelewengan
ataupun korupsi.
Dengan pemaparan diatas selain ingin mengkaji bagaimana peran BPK
dalam ketatanegaraan Indonesia, disini penulis juga ingin mengkaji dari segi
ketatanegaraan Islam. Hal ini dimaksudkan penulis ingin mengetahui apakah secara
kelembagaan dalam pemerintahan Islam juga memiliki suatu lembaga yang
mempunyai peran yang sama dengan lembaga BPK. Sehingga dapat diketahui
persamaan dan perbedaan yang dimiliki lembaga tersebut.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang
dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya
“pengetahuan yang benar”,dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai Tugas dan Wewenang
Tinjauan Dalam Ketatanegaraan Indonesia
BPK Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam
Tinajuan Dalam Perspektif Islam
untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.13 Penelitian ini dimaksudkan
untuk menggali peran lembaga Badan Pemeriksa Keuangan dalam menjalankan
wewenangnya dalam ketatanegaraan RI dan dikaji dalam ketatanegaraan Islam.
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian yang berbentuk studi deskriptif analisis. Sedangkan pendekatan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha
mengkombinasikan pendekatan normative dan empiris.14 Pendekatan empiris
diharapkan dapat menggali data dan informasi sedetail mungkin tentang Kajian
BPK dalam Tata Negara Islam.
b. Instrumen Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode kepustakaan
atau penelitian studi pustaka (library research).
c. Sumber Data
Dalam penelitian ini yang dijadikan sumber data adalah sebagai berikut:
1. Data primer : UU RI No.15 Th 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan,
Peraturan BPK RI No.1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara. Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007 Tentang Kode Etik Badan
Pemeriksa Keuangan RI, Peradilan dan Hukum Acara Dalam Islam, Hukum
Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam.
13
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), h.27-28
14
2. Data sekunder : buku-buku yang membahas tentang hal-hal yang terkait
dengan pembahasan.
3. Data tertier : buku, kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah, situs,
internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.
d. Analisa data
Dalam menganalisis data peneliti menggunakan metode analisis
komparatif. Peneliti mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang
terkumpul dalam penelitian ini
e. Teknik Penarikan Kesimpulan
TPK dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif, yakni proses
penalaran yang berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus
sehingga mencapai suatu kesimpulan.
f. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2007”.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan skripsi ini secara sistematis, maka penulis menyusun
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas sub-sub bab yang menjelaskan latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan konsepsional, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan umum tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di
Indonesia yang terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan pengertian Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), sejarah dan praktek BPK, tugas dan wewenang BPK
serta lembaga BPK pasca amandemen 1945.
Bab III Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dalam perspektif Islam yang
terdiri dari tinjauan BPK dalam ketatanegaraan Islam, Wilayah mazhalim dalam
Islam yang meliputi sejarah, tugas dan wewenang wilayah mazhalim.
Bab IV Tentang Analisis perbandingan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
dalam ketatanegaraan Indonesia dan ketatanegaraan Islam yang meliputi persamaan
dan perbedaan BPK dan wilayah mazhalim, relevansi BPK dengan Wilayah
mazhalim.
Bab V Penutup, pada bab ini penulis menarik kesimpulan yang diambil
berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga
BAB II
TINJAUAN TENTANG BPK DI INDONESIA
A. Pengertian Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan atau disingkat dengan BPK adalah lembaga
negara yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.15 Algemene Rekenkamer adalah nama lain dari apa yang kini disebut
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan tertinggi atas
pemeriksa keuangan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu lembaga negara yang bebas
dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan sebelumnya merupakan bagian dari Bab VIII yang
membahas tentang Hal Keuangan negara, dipisahkannya Badan Pemeriksa
Keuangan dalam bab tersendiri dimaksudkan untuk memberi dasar hukum yang
lebih kuat serta pengaturan lebih rinci mengenai BPK. Dengan adanya ketentuan
mengenai hal ini dalam UUD 1945, diharapkan pemeriksaan terhadap
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dilakukan secara lebih
optimal. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan
tanggung jawab (akuntabilitas) terhadap keuangan negara. 16
15
UU RI No. 15 Th.2006 BadanPemeriksa Keuangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.2
16
BPK mempunyai visi dan misi yaitu terwujudnya BPK RI sebagai
lembaga pemeriksa yang bebas dan mandiri, profesional, efektif dan modern
dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang setiap entitasnya memiliki
pengendalian intern yang kuat, memiliki aparat pemeriksa intern yang kuat dan
hanya diperiksa oleh satu aparat pemerintah ekstern untuk mewujudkan
pemerintahan yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).17
Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi. Pembentukan perwakilan ditetapkan
dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan
negara.
B. Sejarah dan praktek Badan Pemeriksa Keuangan
Pada Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 telah ditetapkan bahwa untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil
pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat
Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang
pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang
berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa
Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya,
Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah
17
mengumumkan kepada semua instansi di wilayah Republik Indonesia mengenai
tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang keuangan
negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang
dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa
Keuangan) pada zaman Hindia Belanda, yaitu ICW (Indische Comptabiliteitswet)
dan IAR (Instructie en verdure bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer).18
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948
tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke
Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap
mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun
1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK
Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus
1949.19
Berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949
terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS), berbarengan
dengan itu maka terbentuk pula Dewan Pengawas Keuangan yang merupakan
salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno.
Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor
Tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali
terbentuk, Dewan Pengawas Keuangan RIS sejak tanggal 1 Oktober 1950
digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950.
Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa
Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.21
Sampai pada dikeluarkannya Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959,
yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian
Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan
Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.22
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan
Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan
RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih
tetap menggunakan ICW dan IAR.23
Dalam perkembangan fungsi BPK, berdasarkan Ketetapan MPRS No.
11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan
keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan,
sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka
pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No.7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun
21
Ibid, h.58
22
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.178
23
1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun
1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.24
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun
1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar
Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas
penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI
berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan
BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi
Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya
direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.25
Diluar struktur BPK pemerintah orde baru membentuk Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai struktur
organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Sementara itu organisasi BPK jauh lebih kecil. Di daerah ada
beberapa kantor perwakilan, misalnya, perwakilan BEPEKA Wilayah II di
Yogyakarta, Wilayah III di Ujung Pandang dan Wilayah IV di Medan. Untuk
menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah, maka pasal 23E
ayat (1) menegaskan bahwa, “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas
dan mandiri”. Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri.
24
http://www.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_keuangan, diakses pada tanggal 9 April 2008
25
Oleh karena itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi, dan digantikan
fungsinya dengan BPK.26
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah
mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun
2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal
di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR
No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen
dan profesional.27
C. Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem
pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh lembaga negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang dimaksud mempunyai tugas dan
kewenangan yang harus dilaksanakan dengan baik.
Di jelaskan dalam UU RI No.15 Tahun 2006 tentang BPK bahwa pada
Bab III pasal 6 ayat (1) Badan Pemeriksa Keuangan bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh:
(i) Pemerintah Pusat;
26
Padmo Wahjono, Perkembangan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h.277
27
(ii) Pemerintah Daerah;
(iii) Lembaga Negara;
(iv) Bank Indonesia (BI);
(v) Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
(vi) Badan Layanan Umum;
(vii) Badan Usaha Milik Negara;
(viii) Lembaga atau badan lain yang mengeola keuangan negara.
Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah
pemeriksaan atas laporan keuangan. Kemudian yang dimaksud dengan
pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang
terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek
efektifitas. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk
memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa.28
Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh akuntan publik, berdasarkan
ketentuan undang-undang laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan
kepada BPK dan dipublikasikan. Kemudian dalam melaksanakan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK melakukan pembahasan
atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar
pemeriksaan keuangan negara. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
28
meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan
yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. 29
Selanjutnya, BPK bertugas menyerahkan hasil pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD dan DPRD
sesuai dengan kewenanganya. Kemudian DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti
hasil pemeriksaan sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga
perwakilan. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD
dinyatakan terbuka untuk umum.30
Dijelaskan pula bahwa untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan,
BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Tindak lanjut dari hasil
pemeriksaan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota kepada BPK. Namun, apabila dalam pemeriksaan ditemukan
unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Selanjutnya laporan BPK
sebagaimana dimaksud dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan BPK memantau
29
Ibid, 57
30
pelaksanaan tindak pemeriksaan tersebut yang hasilnya kemudian diberitahukan
secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.31
Seperti yang telah dikemukakan diatas, dalam melaksanakan tugasnya,
BPK juga mempunyai wewenang. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa BPK
berwenang :32
a. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan
menyajikan laporan pemeriksaan.
b. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, BUMN, BUMD, dan lembaga lain atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.
c. Melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik
negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan
negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan surat-surat,
bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan
dengan pengelolaan keuangan negara.
d. Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK.
31
UU BPK, Pasal 8
32
e. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan
Pemerintah Pusat/Pemeritah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
f. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara.33
g. Menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa diluar BPK yang bekerja
untuk dan atas nama BPK.
h. Membina jabatan fungsional pemeriksa.
i. Memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan, dan
j. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah.
BPK menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD,34 dan lembaga atau badan
lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Penilaian kerugian
keuangan negara dan /atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti
33
Ibid, Kode etik memuat pedoman tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemeriksa keuangan negara guna menjaga mutu pemeriksaan, citra, dan martabat BPK. Kode etik ini berlaku bagi anggota BPK dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
34
kerugian ditetapkan dengan keputusan BPK. Dan untuk menjamin pelaksanaan
pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:35
a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian dijelaskan pula bahwa, BPK dapat memberikan: 1). pendapat
kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara Lain, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, Yayasan,
dan Lembaga atau Badan Lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. 2).
pertimbangan atas penyelesaian kerugian/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah, dan 3). keterangan ahli dalam proses peradilan
mengenai kerugian negara/daerah.36
Terkait dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) di Mahkamah Konstitusi
(MK). Penjelasan pengujian UU tersebut menyatakan pasal 34 ayat (2a) huruf b
35
Ibid, pasal 10, h.9
36
dan penjelasan pasal tersebut telah mengurangi hak konstitusional BPK sehingga
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.37
Ketentuan UU Perpajakan itu menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli
pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang berhak memeriksa
keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 23E ayat (1)
tentang kewenangan BPK, yang menegaskan BPK didirikan sebagai suatu lembaga
negara yang bebas dan mandiri hanya untuk satu tujuan saja. “Tujuan tunggal
pendirian BPK itu adalah untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut oleh
negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apa pun
dipergunakan”. Dan jika hal itu bertentangan maka dapat diartikan bahwa sebagai
lembaga negara yang bebas dan mandiri BPK belum dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya.
Lebih lanjut, prosedur izin dari Menteri Keuangan dalam hal pemeriksaan
pajak itu juga tidak lazim. Hal itu disebabkan BPK adalah lembaga tinggi negara
yang kedudukannya lebih tinggi dari Departemen Keuangan. Kedudukan Ketua
BPK sebagai lembaga negara adalah lebih tinggi daripada Menteri Keuangan.38
Untuk memahami tentang wewenang Badan Pemeriksa Keuangan yaitu kita
harus mengerti, apa yang dimaksud dengan pemeriksaan. Pemeriksaan adalah
terjemahan dari auditing. Pada saat ini, tidak ada pengelolaan keuangan yang dapat
dibebaskan dari keharusan auditing sebagai jaminan bahwa pengelolaan keuangan
itu memang sesuai dengan norma-norma aturan yang berlaku (rule of the games).
37
http://www.setneg.go.id/index/php, diakses pada tanggal 15 Juni 2008
38
Oleh sebab itu, setiap pengelolaan keuangan harus dilakukan sesuai aturan yang
benar sehingga diperlukan mekanisme pemeriksaan yang disebut financial audit.39
Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum.
Kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintahan haruslah dilakukan secara
simultan dan menyeluruh sejak dari tahap perencanaan sampai ke tahap evaluasi dan
penilaian, mulai dari tahap rule making sampai ke tahap rule enforcing. Auditing atau pemeriksaan tidak selalu bertujuan mencari kesalahan, melainkan juga untuk
meluruskan yang bengkok dan memberikan arah dan bimbingan agar pelaksanaan
tugas-tugas dan fungsi lembaga ini dapat tetap berada di dalam koridor aturan yang
berlaku. Artinya, pemeriksaan dapat berfungsi preventif dan dapat pula berfungsi
korektif dan kuratif.40
Selama ini, pemeriksaan pajak hanya menggunakan mekanisme pemeriksaan
dan perhitungan pajak dilakukan secara internal (self assessment) oleh kelengkapan
Departemen Keuangan. Pemeriksaan tertutup itu, bisa memunculkan berbagai upaya
penggelapan pajak. Oleh karena itu, jika tidak ada pemeriksaan eksternal oleh BPK,
sistem `self assessment` itu hanya merupakan lisensi untuk melakukan kejahatan
penggelapan pajak.
Pembatasan wewenang BPK dalam UU Perpajakan itu juga bertentangan
dengan beberapa ketentuan lain, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor
39
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) Cet.II, h.162
40
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara.
Sebagai penyelesaian pertentangan diatas, maka diharapkan undang-undang
yang menjadi faktor pendukung penguatan peran BPK merupakan
landasan-landasan yuridis terbaru era reformasi yang semakin memperluas dan memperkuat
kewenangan dan fungsi BPK. Kalau sebelumnya objek pemeriksaan olek BPK lebih
pada pemeriksaan kewajaran laporan keuangan oleh Pemerintah Daerah, maka ke
depan menyangkut seluruh obyek pemeriksaan dari pusat sampai ke daerah yaitu
Pemerintah Daerah dan BUMD. Tidak saja sisi pengelolaan keuangannya, tetapi
juga kinerja dan audit investigasi dalam rangka lebih mengakomodasi
laporan-laporan masyarakat.41
D. Lembaga BPK Pasca Amandemen UUD 1945
Sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya
mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum
tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum
administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga
menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi
perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan
hubungan internasional.42
41
Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h.53
42
Sebelum UUD 1945 diubah, pasal 23 ayat (5) diartikan secara restriktif
yaitu mengenai pelaksanaan APBN. Namun, menurut Harun Al Rasid, tidak
tertutup kemungkinan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang
menugaskan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa badan hukum
yang lain dari negara.43
Namun, dengan adanya perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai Badan
Pemeriksa Keuangan mencakup 7 butir ketentuan yang cukup luas dan rinci
pengaturannya, maka kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan mengalami
perluasan yang substantif. Pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dikaitkan dengan objek pemeriksaan pertanggungjawaban hasil
pemeriksaan yang lebih luas dan melebar. BPK juga diharuskan menyampaikan
hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan dalam hal hasil
pemeriksaan itu mengindikasikan perlunya penyelidikan dan penyidikan diproses
secara hukum oleh lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum inilah
yang dimaksud oleh pasal 23E UUD 1945 dengan istilah “badan sesuai dengan
undang-undang”. Dalam rumusan ayat (3) yang berbunyi: “Hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan
undang-undang”.
Pasal 23 E ayat (1) hasil amandemen UUD 1945 memberi peran strategis
kepada BPK, yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
melalui suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Sebagai
institusi resmi pemeriksa eksternal independen, keberadaan BPK diakui secara
43
konstitusional dan perannya direvitalisasi menjadi lembaga negara yang sejajar
dengan MPR, DPR, DPD, Presiden dan MA.
Sudah tentu, BPK sendiripun juga tidak dapat dikatakan salah jika beritikad
baik untuk menyampaikan hasil-hasil pemeriksaannya itu kepada lembaga
penegak hukum. Kemungkinan lain, dapat pula terjadi bahwa yang berinsiatif
untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK itu adalah DPR sebagai lembaga
pengawas kinerja pemerintah dan pemerintahan. DPR-lah yang meneruskan hasil
pemeriksaan BPK itu kepada kepolisian atau badan-badan lain seperti KPK dan
sebagainya. Namun, setelah hasil pemeriksaan oleh BPK itu disampaikan kepada
DPR, maka semua informasi mengenai hasil pemeriksaan itu sudah menjadi milik
umum atau publik, sehingga dengan sendirinya setiap lembaga penegak hukum
dapat berinisiatif sendiri untuk menegakkan hukum dan menyelamatkan kekayaan
negara dari kegiatan yang tidak terpuji yang merugikan kekayaan negara.44
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bagai momok menakutkan bagi
lembaga dan instansi pemerintah di negeri ini. Sebagai auditor negara, BPK kerap
menemukan penyimpangan anggaran di beberapa instansi. Sebab itu, tak jarang
tim audit BPK dihalang-halangi untuk melakukan proses audit. Pasca Amandemen
UUD 1945, BPK memang mulai menjadi lembaga tinggi negara yang
diperhitungkan. Sesuai dengan perubahan konstitusi, maka keberadaan BPK harus
disesuaikan karena ada keluasan kewenangan yang diberikan. Kewenangan ini
menyangkut tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, ada beberapa UU yang
turut mengganjal kewenangan BPK dalam tugasnya antara lain UU BUMN, UU
Pasar Modal, UU Wajib Pajak, dan UU Kerahasiaan Bank. Sebelum
44
diamandemen, BUMN diaudit oleh auditor atau akuntan publik, tapi setelah
amandemen seharusnya BPK yang melakukannya,
Selain terhambat oleh beberapa UU, dari pihak BUMN sendiri juga ada
keengganan untuk diperiksa BPK. Dengan alasan, bila BPK yang memeriksa maka
saham perusahaan plat merah itu akan turun nilainya. Ada sentimen negatif bila
BPK yang mengaudit karena sifatnya terbuka publik.45 Hal tersebut dimaksud
dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik undang-undang
menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan
kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan demikian,
masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan.
Sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memeriksa
keuangan dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, BPK dapat
memeriksa uang negara yang dikelola oleh para penyelenggara negara. Misalnya,
BPK dapat memeriksa Menteri Keuangan dan Menteri BUMN ataupun menteri
lain yang membidangi pembinaan teknis badan usaha milik negara tersebut. BPK
tidak perlu memeriksa fisik uang dan pembukuannya, tetapi cukup memeriksa
tanggung jawab pengelolaan uang negara oleh pejabat negara yang terkait dengan
uang negara itu.46 Bahkan, jika di perusahaan-perusahaan negara tersebut terdapat
wakil pemerintah yang duduk sebagai komisaris, maka BPK dan aparat penyidik
bisa saja memeriksa komisaris yang bersangkutan sebagai tindakan dalam rangka
45
Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006)
46
menilai pelaksanaan tanggung jawabnya mengawasi kekayaan negara yang
dikelola oleh perusahaan yang bersangkutan.
Pemanggilan yang dilakukan oleh BPK adalah tindakan terakhir yang
dilakukan oleh BPK untuk menghadirkan seseorang setelah upaya dalam rangka
memperoleh, melengkapi, dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam
kaitan dengan pemeriksaan.47
Untuk menjamin integritas dalam menjalankan kewenangannya, BPK wajib
bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai dan keputusan. Juga dalam
mengemukakan dan/atau melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan yang
menurut keyakinannya.48
Sebagaimana telah dtetapkan dalam UUD 1945, pemeriksaan yang menjadi
tugas BPK meliputi (i) pemeriksaan atas pengelolaan, dan (ii) pemeriksaan atas
tanggung jawab mengenai keuangan negara. Dengan demikian, berarti lingkup
kewenangan pemeriksaan keuangan negara oleh BPK ini menjadi sangat luas.49
BPK pasca reformasi dapat dikatakan memiliki kewenangan yang sangat
besar dan luas, mencakup bidang-bidang pengaturan (legislatif), pelaksanaan
(eksekutif), dan bahkan juga penjatuhan sanksi (yudikatif). Disamping fungsinya
yang demikian, BPK tentu saja juga memiliki wewenang untuk menetapkan
keputusan-keputusan yang bersifat administratif. Karena itu, BPK setelah
47
Peraturan BPK RI No.3 Tahun 2008, Tentang Cara Pemanggilan dan Permintaan Keterangan Oleh BPK
48
Peraturan BPK RI No.2 Tahun 2007, Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
49
reformasi memiliki kewenangan yang bersifat campuran. Padahal, pengertian
keuangan negara yang menjadi objek kewenangannya juga telah diperluas
sedemikian rupa sehingga pemeriksaan yang dilakukannya menjangkau objek
pengelola keuangan negara dalam arti yang sangat luas, baik dari segi sustansial
sektoral maupun struktural horizontal dan struktural vertikal sampai
kedaerah-daerah. Akibatnya, format organisasi BPK mau tidak mau juga harus diperbaiki
dan diperbesar sedemikian rupa, sehingga kapasitas kelembagaannya benar-benar
dapat memenuhi panggilan tugasnya secara efektif. 50
Karena pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam
kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui
kegiatan berbagai lembaga pemerintahan, negara berusaha memberikan jaminan
kesejahteraan kepada rakyat. Oleh karena itu, dengan adanya perluasan
kewewenangan yang dimiliki BPK, tidak hanya memeriksa keuangan lembaga
negara atau lembaga lain yang menggunakan angggaran negara tetapi juga diberi
kewenangan mengaudit kebijakan lembaga negara. Dengan demikian, diharapkan
BPK dapat meningkatkan kinerja dan mampu mengaudit laporan keuangan yang
lebih rumit.51 Sehingga keberadaan dan kedudukan BPK diperkokoh sebagai satu
lembaga negara pemeriksa keuangan agar dapat melaksanakan tugas yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
50
Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara , h.863 51
BAB III
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Tinjauan BPK Dalam Ketatanegaraan Islam
BPK suatu badan independen yang dibentuk oleh pemerintah sebagai lembaga
pemeriksa keuangan negara berikut juga mengaudit keuangan pejabat, baik di tingkat
pusat maupun di level daerah. Lembaga kontrol ini diharapkan akan memberikan
efek yang yang sangat positif baik di tingkat masyarakat intern atau masyarakat
ekstern sehingga tercipta masyarakat yang lebih sejahtera. Kontrol yang baik dan
berkelanjutan, dapat meminimalisir penyalahgunaan keuangan dan mencegah gejala
korupsi disemua level, sehingga dana yang diproyeksikan untuk kesejahteraan rakyat
tersalurkan sesuai jalurnya. Di sisi lain, efektitifitas dari kinerja lembaga ini akan
menarik minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia.52
Prinsip utama dalam mengatur kekayaan negara adalah mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kedudukan serta peran BPK sangat
diperlukan dalam tata kelola keuangan negara untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Berdasarkan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK memiliki peran dan fungsi
sentral untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan dan kinerja pemerintah
(Pasal 4). BPK juga dapat melakukan pemeriksaan secara bebas dan mandiri, meliputi
penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan
waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan
52
(pasal 6). Kendati dalam penentuan standar pemeriksaan BPK melakukan konsultasi
dengan pemerintah, tetapi dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK lebih independen
dan relatif jauh dari konflik kepentingan.
Secara umum keberadaan Lembaga BPK ini lebih dilatarbelangi atas dasar
fungsionalnya, secara keseluruhan melaksanakan pengelolaan keuangan negara
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif dan
transparan dengan memperhatikan rasa keadilan. 53 Keadilan dalam Islam adalah
sebagai alasan pembenaran adanya semua lembaga dan perangkat negara, dan asas
diberlakukannya perundang-undangan, hukum dan seluruh ketetapan, juga tujuan
segala sesuatu yang bergerak di negara dan masyarakat.54 Sebagaimana Allah
berfirman:
!"#$
%& ' (
)& * )+ , % (
(
-+' + (
./+
0 1$
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (An-Nisaa’:58)
Pada dasarnya harta kekayaan negara adalah milik Allah swt, pemerintah dan
pejabat hanyalah sebagai orang-orang yang mendapat kepercayaan (amanat) untuk
mengatur dan mengelola dengan baik dan benar.
Dalam menjaga kestabilan keuangan, negara tidak hanya bertugas mengatur
sistem ekonomi dan politik secara global tetapi juga berkewajiban meletakkan sistem
53
Ridwan HR, Fiqh Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h.280
54
pengawasan, perlindungan, dan pengarahan yang efektif dan sistematis. 55 Secara
garis besar sistem pengawasan dan pemeriksa keuangan, yaitu
ada dua yaitu intern dan ekstern. Pengawasan intern lahir dari keimanan personal dan
kesadaran individu yang meyakini bahwa semua perilakunya akan dimintai
pertanggungjawaban di sisi Allah swt, dan bahwa harta itu adalah amanat yang harus
dikelola dengan semestinya. Pengawasan seperti ini akan melahirkan sugesti untuk
menjaga diri dari penyalahgunaan, penyelewengan, dan korupsi. Sebagaimana contoh
yang ditunjukkan Rasulullah saw, dari Anas dinyatakan; Harga-harga melambung
tinggi pada masa Rasulullah saw, lalu para sahabat berkata, “wahai Rasulullah, seandainya anda menetapkan patokan harga (tentu tidak melambung seperti ini).”
Kemudian Nabi saw bersabda:56
Sesungguhnya Allahlah Yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki; dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta. (HR Ahmad)
Dengan demikian , Rasulullah saw, telah menjadikan penetapan patokan harga
sebagai suatu bentuk kezaliman. Karena itu, seandainya Beliau melakukannya,
artinya Beliau melakukan sesuatu yang tidak menjadi hak Beliau untuk
melakukannya. Demikian juga, Rasulullah saw. Pun telah menjadikan pemeriksaan
55
Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta dan Kekayaan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.20
56
atas perkara-perkara yang terjadi dalam masalah hak-hak semua orang yang diatur
negara untuk masyarakat merupakan kewenangan lembaga mazhalim pada saat itu.57
Sedangkan pengawasan ekstern yaitu, pengawasan serta pemeriksaan yang dilakukan
oleh suatu lembaga negara.
Dalam Islam suatu lembaga dalam sebuah negara harus memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut :58
1. Sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat islam;
2. Meletakkan persamaan (al-musawah) kedudukan manusia didepan hukum dan
pemerintahan;
3. Tidak memberatkan masyarakat yang akan melaksanakannya (‘adam al-haraj);
4. Menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat (tahqiq al-‘adalah);
5. menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan (jalb al-masalih wa
daf’al-mafasid).
Sesuai dengan tujuan negara menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia,
maka negara mempunyai tugas-tugas untuk merealisasikan tujuan tersebut. Dalam
sistem Islam telah mengenal prinsip pemisahan antara tiga kekuasaan umum di
negara, yaitu legislatif (sulthah tasryi’iyah), eksekutif (sulthah
al-tanfidziyah) dan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga yudikatif meliputi wilayah al-hisbah, wilayah al-qadha dan
wilayah al-mazhalim. Majelis peradilan dan hukum (yudikatif) berada di luar
57
Ibid
58
batas lembaga eksekutif sepenuhnya. Sedangkan tugas peradilan bersifat mandiri dan
terbebas dari ketundukan terhadap para pejabat negara.59
Peradilan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan merupakan
peradilan semu, karakteristik keputusannya mengandung norma konkrit dan bersifat
individual yang sama dengan isi putusan pengadilan. Searah dengan tujuan agar
tercapainya tertib administrasi keuangan negara, yang meliputi: tata pengaturan, cara
penguasaan, tata pengurusan, tata pembagian wewenang, tata usaha, pengawasan
yang efektif dan efisien serta pertanggungjawabannya, untuk usaha-usaha pencegahan
terhadap penyelewengan korupsi dan manipulasi di bidang keuangan negara.60
B. Wilayah Mazhalim Dalam Islam
Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah
perkembangan masyarakat dan politik Islam. Dalam sejarah Islam yang paling
banyak menguasai lembaga peradilan Islam adalah ahli praktisi hukum. Dalam
peraturan perundang-undangan sekarang posisi para praktisi hukum itu selain sebagai
ulama ahli juga sebagai pemisah antara kekuasaan.61
Al-Mazhalim kata jama’ dari Mazlimah, yaitu nama bagi sesuatu yang diambil
oleh orang zalim. Menurut istilah fuqaha, Wilayah Mazhalim merupakan suatu
jabatan kehakiman, akan tetapi lebih luas dari jabatan hakim biasa karena Wilayah
Mazhalim yaitu suatu jabatan gabungan dari pengaruh kekuasaan dan peradilan kehakiman.62
Dalam kajian fikih, Mazhalim merupakan salah satu bentuk lembaga peradilan
selain peradilan umum dan peradilan hisbah (peradilan khusus yang menangani
pelanggaran terhadap prinsip amar ma’ruf nahi mungkar). Mazhalim adalah lembaga
peradilan yang secara khusus menangani kelaliman para penguasa dan keluarganya
terhadap hak-hak rakyat. Peradilan Mazhalim ini bertujuan agar hak-hak rakyat dapat
dikembalikan, serta dapat menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan warga
negara.63
Dalam kasus-kasus Mazhalim, peradilan dapat bertindak tanpa harus
menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Penyelesaian kasus-kasus
Mazhalim telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw. kasus yang sangat terkenal adalah kelaliman yang dilakukan oleh Zubair bin Awwam terhadap seorang Ansar.
Dalam kasus ini disebutkan bahwa Zubair tidak mau mengalirkan air ke ladang orang
Ansar yang menjadi tetangganya, sehingga tanaman orang tersebut kering. lalu orang
Ansar tersebut mengadu kepada Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw berkata:64
itu berkata, “Ya Rasulullah saw, ia adalah anak bibimu sehingga pantas saja engkau memutuskan seperti itu.” Mendengar komentar itu Rasulullah saw marah dan
bersabda, Alirkanlah air itu meskipun di atas perutnya, hingga genangan air mencapai tinggi mata kaki. (HR.Bukhari dari Urwah bin Zubair)
Dalam hadis ini terlihat bahwa meskipun Zubair bin Awwam adalah anggota
keluarga Nabi SAW, secara tegas Rasulullah saw memutuskan bahwa air tetap dibagi
kepada tetangganya. Tidak ada keistimewaan bagi anggota keluarga Nabi SAW jika
hal itu memudaratkan orang lain.
b.1. Sejarah Lembaga Mazhalim
Di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin persoalan mazhalim ditangani sesuai dengan kebiasaan yang ditunjukan oleh Nabi SAW. Semua kasus yang
menyangkut peradilan mazhalim ditangani langsung oleh khalifah. Di zaman
Dinasti Umayah, kasus yang menyangkut mazhalim semakin banyak karena sejalan dengan semakin luasnya wilayah Islam. Atas inisiatif Khalifah Abdul
Malik bin Marwan, semua kasus mazhalim diselesaikan dalam peradilan khusus,
yaitu pengadilan mazhalim. Kedudukan pengadilan mazhalim semakin kuat dan tegas ketika masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Dalam sejarah diketahui
bahwa tindakan yang dilakukannya sebagai khalifah adalah mengembalikan
seluruh harta rakyat yang diambil para penguasa secara zhalim, sehingga ia dapat
mewujudkan kembali kehidupan dan prilaku yang adil.65
Didalam risalah Al Kharady, Abu Yusuf menganjurkan kepada khalifah Harun Ar Rasyid supaya mengadakan sidang-sidang untuk memeriksa
pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para pejabat. Kerap kali para khulafa
menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim.
Meskipun hal ini pada awalnya adalah suatu tindakan jahiliah yang didorong oleh
65
kepentingan politik, namun dengan kehadiran Rasulullah saw, pada saat peristiwa
itu membuat hal tersebut menjadi hukum syariat dan tindakan kenabian yang harus diikuti oleh insan muslim.
Rasulullah saw bersabda, “Aku pernah mengikuti persidangan tentang
hilful-fudhul dirumah Abdullah bin Judan dan jika aku diundang untuk menghadiri acara seperti itu niscaya aku akan penuhi. Perundingan seperti itu lebih aku sukai daripada aku mendapatkan unta yang harganya mahal” (HR
Ahmad, Bukhari, Ibnu Hibban, dan al-Haakim).66
b.2. Tugas dan Wewenang Wilayah mazhalim
Sebagai peradilan yang dapat bertindak tanpa harus menunggu suatu
gugatan dari yang dirugikan, maka Wilayah mazhalim memiliki tugas dan
kewenangan untuk hal-hal sebagai berikut :
Wilayah Mazhalim merupakan suatu lembaga yudikatif yang dapat memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya dari orang-orang yang
berseteru dan menerapkan hukum perundang-undangan kepadanya dalam rangka
menegakan keadilan di muka bumi dan menetapkan kebenaran diantara orang-orang
yang meminta peradilan. Termasuk memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang
dilakukan oleh penguasa ataupun pejabat negara.
Dalam menangani pelanggaran yang dilakukan pejabat pemerintah atas
rakyat, majelis mazhalim mempunyai wewenang untuk meneliti perilaku pejabat
yang disinyalir bermasalah, kemudian menghukumnya. Akan tetapi majelis
mazhalim ini tidak segan-segan mendukung mereka jika mereka berlaku adil dan jujur walau tidak sertamerta. Karena harus tetap melihat undang-undang yang adil,
66