• Tidak ada hasil yang ditemukan

Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

DALAM KAJIAN KETATANEGARAAN ISLAM

SKRIPSI

Disusun Oleh :

RINI WULANDARI 104045201524

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

segala nikmat, rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan

kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan tuntunan dan petunjuk

kepada umat manusia menuju kehidupan serta peradaban dan berkeadilan serta keluarga

dan para sahabat yang dicintainya.

Skripsi yang berjudul “BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM

KAJIAN KETATANEGARAAN ISLAM” akhirnya dapat diselesaikan dengan yang diharapkan penulis. Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah

dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orang tua, seluruh keluarga dan

pihak-pihak yang selalu ikut andil mensukseskan harapan penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dan

motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat dan bentuk

penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis menyampaikan terima kasih kepada

Bapak/Ibu :

1. Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati, M.Ag. Kajur dan Sekjur yang memberikan

(3)

3. Dr.Abdurahman Dahlan. MA, pembimbing skripsi yang telah meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta petunjuk-petunjuk

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalani studi di UIN Jakarta.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta

Perpustakaan Utama yang telah memberikan faslitas dan pelayanan kepada

penulis untuk mengadakan studi perpustakaan.

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Sukasno dan Ibunda Supriyatin

terima kasih atas do’a, kasih sayang dan perhatiannya serta pengorbanan yang

tiada terhingga selama membesarkan dan mendidik penulis sampai saat ini. Tak

terkecuali keluarga besarku yang selama ini mendampingi penulis.

7. Adik-adikku tersayang Rudy Arizona dan Resyita Kaylanatha yang

mengukuhkanku sebagai seorang kakak...I Luv U !!

8. Special one....Dhany (Leeekk)...yang tak pernah lepas keberadaannya sehingga aku mengerti akan arti Ketulusan...Pengorbanan...dan Kesabaran....’Meskipun

Kenyataan Tak Seindah Harapan‘...

9. Aa Iman (terima kasih atas do’a dan supportnya), Mhamas (yang selalu sabar

mendengarkan curahan hati Dede), Uwah dan Atul (yang selalu memberikan

support dan menemaniku disaat jenuh), Ana dan Jeny (yang dengan sabar

menemani dan memberikan motivasi serta membantuku selama ini).... !!!

(4)

abang-abangku...Chayoo !! serta sahabat-sahabatku Katren, Lina, Edet, Ana, Giarti...I

luv u all... !! Tak lupa untuk keluarga ke’2 ku (Mbah Wir, mas nanang, ka’ eng, om gotil, mba kiki) terima kasih atas perhatiannya.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan. Semoga Allah

membalas semua kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda. Terakhir penulis

berharap semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca

pada umumnya. Amiin

Jakarta, Desember 2008

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi sala

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 12 Desember 2008

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 10

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Penulisan... 14

BAB II. TINJAUAN TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DI INDONESIA A. Pengertian Badan Pemeriksa Keuangan... 16

B. Sejarah dan Praktek Badan Pemeriksa Keuangan... 17

C. Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan ... 22

D. Lembaga BPK Pasca Amandemen UUD 1945... 31

(7)

A. Tinjauan BPK Dalam Ketatanegaraan Islam ... 38

B. Wilayah Mazhalim Dalam Islam... 43

b.1 Sejarah Lembaga Mazhalim ... 45

b.2. Tugas dan Wewenang Wilayah Mazhalim ... 46

BAB IV. ANALISIS PERBANDINGAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM KAJIAN KETATANEGARAAN INDONESIA DAN KETATANEGARAAN ISLAM A. Persamaan dan Perbedaan BPK Dengan Wilayah Mazhalim... 54

B. Relevansi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dengan Wilayah Mazhalim ...64

BABV. PENUTUP A. Kesimpulan ... 66

B. Saran... 68

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas

untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu lembaga negara yang bebas dan

mandiri, berkaitan dengan pelaksanaan atau realisasi anggaran pendapatan dan

belanja negara yang telah disetujui oleh rakyat melalui DPR. Dalam pelaksanaan

tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan pada pokoknya adalah partner atau mitra

DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan (control) terhadap kinerja

pemerintahan, serta mengawasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja

negara. Hasil-hasil pemeriksaan keuangan yang telah dilakukan kemudian

diberitahukan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana

mestinya.

Keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan didalam penyelenggaraan negara

dipertegas dalam UUD 1945 setelah perubahan, dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945

disebutkan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara

diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.1

Pada Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001, ditegaskan kembali

mengenai struktur organisasi dan kewenangan BPK, tetapi maksud dari bagian pasal

ini mengalami berubah secara sangat mendasar. Tujuan adanya perubahan ini agar

1

(9)

penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan daerah sejalan dengan apa yang

telah dicita-citakan oleh BPK itu sendiri. BPK membentuk perwakilan disetiap

propinsi dan meningkatkan ruang lingkup kerjanya, sehingga jumlah anggota Badan

Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan) orang.

Hasil pemeriksaan keuangan didaerah oleh BPK diserahkan kepada DPR,

DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya.2 Karena sebelum diubah hasil

pemeriksaan hanya diserahkan kepada DPR saja. Bahkan ditegaskan pula dalam

pasal 23E ayat (3), “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga

perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang”. Artinya meskipun BPK

tidak diwajibkan untuk atas insiatifnya sendiri menyampaikan hasil pemeriksaan itu

kepada lembaga penegak hukum, tetapi ketika terdapat dugaan adanya tindak pidana

dalam hasil pemeriksaan tersebut, lembaga-lembaga penegak hukum yang sah

menurut ketentuan undang-undang, dapat saja berinsiatif untuk menindaklanjuti

temuan-temuan BPK itu.

Badan Pemeriksa Keeuangan dapat menilai dan/atau menetapkan jumlah

kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik yang

disengaja atau karena kelalaian yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan

Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Penilaian kerugian keuangan

negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian

2

(10)

ditentukan dengan keputusan BPK. Karena itu, pada hakikatnya, lembaga BPK ini

juga memiliki fungsi yang bersifat semi atau quasi peradilan.3

Secara struktural keorganisasian Badan Pemeriksa Keuangan terdiri atas

Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas

penunjang, perwakilan, pemeriksa dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai

dengan kebutuhan.4 Wilayah yuridiksi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikuatkan

oleh pasal 23G ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “Badan Pemeriksa Keuangan

berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”.

Artinya, UUD mewajibkan bahwa perwakilan BPK itu harus ada di setiap provinsi.

Padahal sebelumnya, kantor-kantor perwakilan BPK hanya ada di beberapa provinsi

yang besar-besar saja, karena terkait dengan tugas-tugas pemeriksaan atas

pelaksanaan APBN di daerah-daerah yang volumenya berbeda-beda satu sama lain.

Dalam kedudukannya yang semakin kuat dan kewenangan yang semakin

besar, fungsi BPK sebenarnya pada pokoknya tetap terdiri atas tiga bidang, yaitu

fungsi operatif, fungsi yustisi, dan fungsi advisory. Bentuk pelaksanaan ketiga fungsi itu adalah sebagai berikut:

1. Fungsi operatif berupa pemeriksaan, pengawasan dan penyelidikan atas

penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan negara;

2. Fungsi yudikatif berupa kewenangan menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti

rugi terhadap bandaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena

3

Jimly, Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT.Bhuana Ilmu Populer, 2007)

4

(11)

perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan

kerugian keuangan dan kekayaan negara;

3. Fungsi advisory yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai

pengurusan dan pengelolaan keuangan negara.5

Islam secara umum mengandung dasar-dasar global untuk melindungi harta

kekayaan. Dasar ini sudah cukup bagi seorang muslim untuk dapat menerapkan

dengan benar bahwa suatu harta kekayaan harus dijauhkan dari sentuhan

orang-orang yang tamak terhadap harta umum atau dengan keinginan yang terlalu

berlebihan. Dengan demikian, dalam ketaatanegaraan Islam terdapat lembaga yang

memeriksa perkara yang terkait dengan pemeriksaan terhadap harta milik negara.

Lembaga tersebut adalah Wilayah mazhalim, awal berdirinya lembaga ini

dimaksudkan untuk dapat mencegah kezhaliman seperti memeriksa pejabat negara

yang merugikan masyarakat umum dengan menangani perkara terhadap orang-orang

yang melakukan tindakan korupsi terhadap kekayaan milik negara.

Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam

wewenang hakim biasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam

lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan

sebagiannya tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang

jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.6

Pengadilan mazhalim adalah salah satu dari tiga kekuasaan negara disamping

kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Peradilan ini merupakan kemanfaatan

5

Jimly, Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006)

6

(12)

umum yang bertujuan mengukuhkan dasar-dasar keadilan diantara individu

masyarakat.

Pada pengadilan majelis mazhalim hendaknya dihadiri oleh lima petugas inti

dalam beracara sidang, oleh sebab itu, tugas mengadili suatu perkara tidak dapat

berlangsung dengan baik tanpa kehadiran mereka. Mereka itu adalah:

1. Para penjaga dan pembantu untuk menarik kekuatan dan meluruskan pihak

yang berani;

2. Para qadhi dan pejabat pemerintah yang berfungsi untuk mengetahui fakta-fakta kebenaran yang kemudian ditemukan dan menyaksikan penanganan kasus

yang sedang diurus ditempat itu;

3. Para fuqaha yang berfungsi sebagai sumber rujukan dalam masalah yang sulit

dan menjadi tempat bertanya tentang masalah yang problematis dan rumit;

4. Para sekretaris yang bertugas mencatat pembicaraan yang berlangsung dalam

majelis itu serta ketetapan-ketetapan yang dibuat kemudian, baik hak-hak

seseorang maupun kewajibannya; dan

5. Para saksi yang berfungsi sebagai saksi atas hak yang telah ditetapkan dan

hukum yang diputuskan.

Wilayah mazhalim mempunyai tugas, diantaranya yaitu menangani sikap korup para pejabat pemerintah atas harta yang mereka pungut dari rakyat. Untuk

menangani hal ini, petugas mazhalim perlu undang-undang yang adil dalam catatan

(13)

memeriksa kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan

zakat dan harta-harta kekayaan Negara.7

Dari uraian diatas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam sekaligus penulisan

skripsi yang berjudul “ BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Dalam Kajian

Ketatanegaraan Islam”. Di ambilnya judul tersebut karena penulis belum

menemukan tulisan yang membahas tentang lembaga Badan Pemeriksa Keuangan

yang dikaji dalam struktur pemerintahan Islam.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah,

maka dapat disusun pembatasan masalah guna memudahkan penyusunan skripsi ini

adalah tentang Kewenangan Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan di

Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam.

Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang ada menjadi

:

1. Apa kewenangan lembaga BPK dalam ketatanegaraan Indonesia ?

2. Apa kewenangan Wilayah Mazhalim dalam pemerintahan Islam ?

3. Apa yang menjadi persamaan dan perbedaan kewenangan antara wilayah

mazhalim dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

7

(14)

1. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kewenangan Badan Pemeriksa

Keuangan dalam mengelola keuangan negara.

2. Untuk mengetahui wewenang wilayah mazhalim dalam struktur pemerintahan

Islam.

3. Untuk mengetahui persamaan ataupun perbedaan antara kewenangan lembaga

wilayah mazhalim dengan Badan Pemeriksa Keuangan.

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Murni untuk menambah pengetahuan tentang Badan Pengawas Keuangan pada

umumnya.

2. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat adalah untuk

mengetahui apa saja yang menjadi tugas dan wewenang BPK di Negara RI

maupun dalam kajian ketatanegaraan Islam.

3. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akdemisi Fakultas Syari’ah dan

Hukum pada umumnya dan program studi Siyasah Syar’iyyah khususnya,

sebagai penambah referensi tentang BPK dalam kajian ketatanegaran Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam proposal

skripsi ini perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi

bahan pertimbangan. Yang diantaranya, yaitu:

Buku yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia oleh Jimly

(15)

berlaku di Indonesia, setelah reformasi. Yang menyangkut diantaranya tentang

hukum keuangan negara yang berkaitan dengan tugas dan wewenang lembaga

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Buku ini juga membahas tentang persoalan

ketatanegaraan Republik Indonesia dalam rangka berpartisipasi dalam membina dan

memperkembangkan perwujudan prinsip negara konstitusional Indonesia yang

demokratis sekaligus negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.8

Dalam buku yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia oleh Ni’matul

Huda, membahas tentang masalah ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD

1945. Di samping itu, juga membahas lembaga-lembaga negara independent

diantaranya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang wewenangnya berdasarkan

perintah UUD 1945. mulai dari pemisahan kekuasaan dan chek and balances sampai

dengan penyelesaian konflik politik melalui jalur hukum.9

Buku yang berjudul Peradilan dan Hukum Acara Islam yang ditulis oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, membahas tentang tata cara peradilan

dalam Islam dan membahas lembaga peradilan dalam Islam seperti membahas tugas

lembaga wilayah mazhalim dalam menangani perkara.10

Buku yang berjudul Standar Pemeriksaan Keuangan Negara oleh Peraturan

BPK RI No.01 Tahun 2007 mempertegas bahwa BPK sebagai lembaga negara, yang

berdasarkan UU No.10 Tahun 2004 dapat menetapkan peraturan

perundang-undangan. Buku ini membahas tentang standar pemeriksaan standar umum, standar

8

Jimly, Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT.Bhuana Ilmu Populer, 2007)

9

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)

10

(16)

pelaksanaan pemeriksaan keuangan, standar pelaporan pemeriksaan keuangan, serta

hal-hal lain yang terkait dengan standar pemeriksaan keuangan negara.11

UU Badan Pemeriksa Keuangan (UU RI No.15 Tahun 2006), dalam undang-undang ini diatur tentang hal-hal baru dalam proses dinamika lembaga BPK, antara

lain penambahan jumlah anggota BPK, pembaruan strukutur organisasi BPK,

perluasan kewenangan BPK, penegasan kemandirian BPK dan adanya dewan

kehormatan BPK. Undang-undang ini juga memuat tentang, peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan ruang lingkup tugas dan fungsi BPK, seperti UU

Keuangan Negara, UU tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara.12

E. Kerangka Teori Dan Konseptual

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang

independent mempunyai tugas untuk memeriksa pengelolaan terhadap keuangan

negara. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya

yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Negara berusaha

memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat. Oleh karena itu, dengan tugas

yang dimiliki oleh lembaga BPK dalam hal pengelolaan keuangan negara

diharapkan dapat terciptanya pemerintahan yang baik.

Dalam hal ini peran BPK sebagai lembaga pemeriksa yang bebas dan

mandiri di tuntut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan

undang-undang yang berlaku untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas.

11

Peraturan BPK RI No.1 Th 2007 “Standar Pemeriksaan Keuangan Negara”, (Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2007)

12

(17)

Terkait dengan tugasnya tersebut BPK dapat memeriksa apa saja yang termasuk

dalam harta kekayaan milik negara demi menghindari terjadinya penyelewengan

ataupun korupsi.

Dengan pemaparan diatas selain ingin mengkaji bagaimana peran BPK

dalam ketatanegaraan Indonesia, disini penulis juga ingin mengkaji dari segi

ketatanegaraan Islam. Hal ini dimaksudkan penulis ingin mengetahui apakah secara

kelembagaan dalam pemerintahan Islam juga memiliki suatu lembaga yang

mempunyai peran yang sama dengan lembaga BPK. Sehingga dapat diketahui

persamaan dan perbedaan yang dimiliki lembaga tersebut.

F. Metode Penelitian

Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang

diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang

dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya

“pengetahuan yang benar”,dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai Tugas dan Wewenang

Tinjauan Dalam Ketatanegaraan Indonesia

BPK Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam

Tinajuan Dalam Perspektif Islam

(18)

untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.13 Penelitian ini dimaksudkan

untuk menggali peran lembaga Badan Pemeriksa Keuangan dalam menjalankan

wewenangnya dalam ketatanegaraan RI dan dikaji dalam ketatanegaraan Islam.

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis

penelitian yang berbentuk studi deskriptif analisis. Sedangkan pendekatan dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha

mengkombinasikan pendekatan normative dan empiris.14 Pendekatan empiris

diharapkan dapat menggali data dan informasi sedetail mungkin tentang Kajian

BPK dalam Tata Negara Islam.

b. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode kepustakaan

atau penelitian studi pustaka (library research).

c. Sumber Data

Dalam penelitian ini yang dijadikan sumber data adalah sebagai berikut:

1. Data primer : UU RI No.15 Th 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan,

Peraturan BPK RI No.1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara. Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007 Tentang Kode Etik Badan

Pemeriksa Keuangan RI, Peradilan dan Hukum Acara Dalam Islam, Hukum

Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam.

13

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), h.27-28

14

(19)

2. Data sekunder : buku-buku yang membahas tentang hal-hal yang terkait

dengan pembahasan.

3. Data tertier : buku, kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah, situs,

internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.

d. Analisa data

Dalam menganalisis data peneliti menggunakan metode analisis

komparatif. Peneliti mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang

terkumpul dalam penelitian ini

e. Teknik Penarikan Kesimpulan

TPK dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif, yakni proses

penalaran yang berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus

sehingga mencapai suatu kesimpulan.

f. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2007”.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menyajikan skripsi ini secara sistematis, maka penulis menyusun

(20)

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas sub-sub bab yang menjelaskan latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan konsepsional, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan umum tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di

Indonesia yang terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan pengertian Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK), sejarah dan praktek BPK, tugas dan wewenang BPK

serta lembaga BPK pasca amandemen 1945.

Bab III Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dalam perspektif Islam yang

terdiri dari tinjauan BPK dalam ketatanegaraan Islam, Wilayah mazhalim dalam

Islam yang meliputi sejarah, tugas dan wewenang wilayah mazhalim.

Bab IV Tentang Analisis perbandingan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)

dalam ketatanegaraan Indonesia dan ketatanegaraan Islam yang meliputi persamaan

dan perbedaan BPK dan wilayah mazhalim, relevansi BPK dengan Wilayah

mazhalim.

Bab V Penutup, pada bab ini penulis menarik kesimpulan yang diambil

berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga

(21)

BAB II

TINJAUAN TENTANG BPK DI INDONESIA

A. Pengertian Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan atau disingkat dengan BPK adalah lembaga

negara yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.15 Algemene Rekenkamer adalah nama lain dari apa yang kini disebut

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan tertinggi atas

pemeriksa keuangan negara.

Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu lembaga negara yang bebas

dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Badan Pemeriksa Keuangan sebelumnya merupakan bagian dari Bab VIII yang

membahas tentang Hal Keuangan negara, dipisahkannya Badan Pemeriksa

Keuangan dalam bab tersendiri dimaksudkan untuk memberi dasar hukum yang

lebih kuat serta pengaturan lebih rinci mengenai BPK. Dengan adanya ketentuan

mengenai hal ini dalam UUD 1945, diharapkan pemeriksaan terhadap

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dilakukan secara lebih

optimal. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan

tanggung jawab (akuntabilitas) terhadap keuangan negara. 16

15

UU RI No. 15 Th.2006 BadanPemeriksa Keuangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.2

16

(22)

BPK mempunyai visi dan misi yaitu terwujudnya BPK RI sebagai

lembaga pemeriksa yang bebas dan mandiri, profesional, efektif dan modern

dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang setiap entitasnya memiliki

pengendalian intern yang kuat, memiliki aparat pemeriksa intern yang kuat dan

hanya diperiksa oleh satu aparat pemerintah ekstern untuk mewujudkan

pemerintahan yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).17

Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara dan

memiliki perwakilan di setiap provinsi. Pembentukan perwakilan ditetapkan

dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan

negara.

B. Sejarah dan praktek Badan Pemeriksa Keuangan

Pada Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 telah ditetapkan bahwa untuk

memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan

Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil

pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat

Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang

pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang

berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa

Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan

Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya,

Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah

17

(23)

mengumumkan kepada semua instansi di wilayah Republik Indonesia mengenai

tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang keuangan

negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang

dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa

Keuangan) pada zaman Hindia Belanda, yaitu ICW (Indische Comptabiliteitswet)

dan IAR (Instructie en verdure bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer).18

Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948

tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke

Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap

mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun

1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK

Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus

1949.19

Berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949

terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS), berbarengan

dengan itu maka terbentuk pula Dewan Pengawas Keuangan yang merupakan

salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno.

Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor

(24)

Tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali

terbentuk, Dewan Pengawas Keuangan RIS sejak tanggal 1 Oktober 1950

digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950.

Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa

Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.21

Sampai pada dikeluarkannya Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959,

yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian

Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan

Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.22

Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan

Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan

RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan

berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih

tetap menggunakan ICW dan IAR.23

Dalam perkembangan fungsi BPK, berdasarkan Ketetapan MPRS No.

11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan

keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan,

sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka

pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang No.7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun

21

Ibid, h.58

22

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.178

23

(25)

1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun

1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.24

Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun

1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar

Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas

penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI

berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.

Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan

BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi

Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya

direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan

Pemeriksa Keuangan.25

Diluar struktur BPK pemerintah orde baru membentuk Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai struktur

organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di

seluruh Indonesia. Sementara itu organisasi BPK jauh lebih kecil. Di daerah ada

beberapa kantor perwakilan, misalnya, perwakilan BEPEKA Wilayah II di

Yogyakarta, Wilayah III di Ujung Pandang dan Wilayah IV di Medan. Untuk

menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah, maka pasal 23E

ayat (1) menegaskan bahwa, “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab

tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas

dan mandiri”. Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri.

24

http://www.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_keuangan, diakses pada tanggal 9 April 2008

25

(26)

Oleh karena itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi, dan digantikan

fungsinya dengan BPK.26

Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah

mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun

2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal

di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR

No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan

Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan

negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen

dan profesional.27

C. Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan

Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan

menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem

pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh lembaga negara yang telah

ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang dimaksud mempunyai tugas dan

kewenangan yang harus dilaksanakan dengan baik.

Di jelaskan dalam UU RI No.15 Tahun 2006 tentang BPK bahwa pada

Bab III pasal 6 ayat (1) Badan Pemeriksa Keuangan bertugas memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh:

(i) Pemerintah Pusat;

26

Padmo Wahjono, Perkembangan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h.277

27

(27)

(ii) Pemerintah Daerah;

(iii) Lembaga Negara;

(iv) Bank Indonesia (BI);

(v) Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

(vi) Badan Layanan Umum;

(vii) Badan Usaha Milik Negara;

(viii) Lembaga atau badan lain yang mengeola keuangan negara.

Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,

dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah

pemeriksaan atas laporan keuangan. Kemudian yang dimaksud dengan

pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang

terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek

efektifitas. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk

memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa.28

Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh akuntan publik, berdasarkan

ketentuan undang-undang laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan

kepada BPK dan dipublikasikan. Kemudian dalam melaksanakan pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK melakukan pembahasan

atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar

pemeriksaan keuangan negara. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk

melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang

28

(28)

meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan

yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. 29

Selanjutnya, BPK bertugas menyerahkan hasil pemeriksaan atas

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD dan DPRD

sesuai dengan kewenanganya. Kemudian DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti

hasil pemeriksaan sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga

perwakilan. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD

dinyatakan terbuka untuk umum.30

Dijelaskan pula bahwa untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan,

BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden,

Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Tindak lanjut dari hasil

pemeriksaan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur,

Bupati/Walikota kepada BPK. Namun, apabila dalam pemeriksaan ditemukan

unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan

sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Selanjutnya laporan BPK

sebagaimana dimaksud dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang

berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan BPK memantau

29

Ibid, 57

30

(29)

pelaksanaan tindak pemeriksaan tersebut yang hasilnya kemudian diberitahukan

secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.31

Seperti yang telah dikemukakan diatas, dalam melaksanakan tugasnya,

BPK juga mempunyai wewenang. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa BPK

berwenang :32

a. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan

pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan

menyajikan laporan pemeriksaan.

b. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap

orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara

lainnya, BUMN, BUMD, dan lembaga lain atau badan lain yang mengelola

keuangan negara.

c. Melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik

negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan

negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan surat-surat,

bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan

dengan pengelolaan keuangan negara.

d. Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi mengenai pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK.

31

UU BPK, Pasal 8

32

(30)

e. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan

Pemerintah Pusat/Pemeritah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

f. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara.33

g. Menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa diluar BPK yang bekerja

untuk dan atas nama BPK.

h. Membina jabatan fungsional pemeriksa.

i. Memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan, dan

j. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah

Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah

Pusat/Pemerintah Daerah.

BPK menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang

diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang

dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD,34 dan lembaga atau badan

lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Penilaian kerugian

keuangan negara dan /atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti

33

Ibid, Kode etik memuat pedoman tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemeriksa keuangan negara guna menjaga mutu pemeriksaan, citra, dan martabat BPK. Kode etik ini berlaku bagi anggota BPK dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK.

34

(31)

kerugian ditetapkan dengan keputusan BPK. Dan untuk menjamin pelaksanaan

pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:35

a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah

terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;

b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara,

pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola

keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan

c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kemudian dijelaskan pula bahwa, BPK dapat memberikan: 1). pendapat

kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga

Negara Lain, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, Yayasan,

dan Lembaga atau Badan Lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. 2).

pertimbangan atas penyelesaian kerugian/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah

Pusat/Pemerintah Daerah, dan 3). keterangan ahli dalam proses peradilan

mengenai kerugian negara/daerah.36

Terkait dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) di Mahkamah Konstitusi

(MK). Penjelasan pengujian UU tersebut menyatakan pasal 34 ayat (2a) huruf b

35

Ibid, pasal 10, h.9

36

(32)

dan penjelasan pasal tersebut telah mengurangi hak konstitusional BPK sehingga

harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.37

Ketentuan UU Perpajakan itu menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli

pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang berhak memeriksa

keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 23E ayat (1)

tentang kewenangan BPK, yang menegaskan BPK didirikan sebagai suatu lembaga

negara yang bebas dan mandiri hanya untuk satu tujuan saja. “Tujuan tunggal

pendirian BPK itu adalah untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut oleh

negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apa pun

dipergunakan”. Dan jika hal itu bertentangan maka dapat diartikan bahwa sebagai

lembaga negara yang bebas dan mandiri BPK belum dapat menjalankan tugas dan

wewenangnya sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya.

Lebih lanjut, prosedur izin dari Menteri Keuangan dalam hal pemeriksaan

pajak itu juga tidak lazim. Hal itu disebabkan BPK adalah lembaga tinggi negara

yang kedudukannya lebih tinggi dari Departemen Keuangan. Kedudukan Ketua

BPK sebagai lembaga negara adalah lebih tinggi daripada Menteri Keuangan.38

Untuk memahami tentang wewenang Badan Pemeriksa Keuangan yaitu kita

harus mengerti, apa yang dimaksud dengan pemeriksaan. Pemeriksaan adalah

terjemahan dari auditing. Pada saat ini, tidak ada pengelolaan keuangan yang dapat

dibebaskan dari keharusan auditing sebagai jaminan bahwa pengelolaan keuangan

itu memang sesuai dengan norma-norma aturan yang berlaku (rule of the games).

37

http://www.setneg.go.id/index/php, diakses pada tanggal 15 Juni 2008

38

(33)

Oleh sebab itu, setiap pengelolaan keuangan harus dilakukan sesuai aturan yang

benar sehingga diperlukan mekanisme pemeriksaan yang disebut financial audit.39

Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum.

Kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintahan haruslah dilakukan secara

simultan dan menyeluruh sejak dari tahap perencanaan sampai ke tahap evaluasi dan

penilaian, mulai dari tahap rule making sampai ke tahap rule enforcing. Auditing atau pemeriksaan tidak selalu bertujuan mencari kesalahan, melainkan juga untuk

meluruskan yang bengkok dan memberikan arah dan bimbingan agar pelaksanaan

tugas-tugas dan fungsi lembaga ini dapat tetap berada di dalam koridor aturan yang

berlaku. Artinya, pemeriksaan dapat berfungsi preventif dan dapat pula berfungsi

korektif dan kuratif.40

Selama ini, pemeriksaan pajak hanya menggunakan mekanisme pemeriksaan

dan perhitungan pajak dilakukan secara internal (self assessment) oleh kelengkapan

Departemen Keuangan. Pemeriksaan tertutup itu, bisa memunculkan berbagai upaya

penggelapan pajak. Oleh karena itu, jika tidak ada pemeriksaan eksternal oleh BPK,

sistem `self assessment` itu hanya merupakan lisensi untuk melakukan kejahatan

penggelapan pajak.

Pembatasan wewenang BPK dalam UU Perpajakan itu juga bertentangan

dengan beberapa ketentuan lain, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor

39

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) Cet.II, h.162

40

(34)

15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara.

Sebagai penyelesaian pertentangan diatas, maka diharapkan undang-undang

yang menjadi faktor pendukung penguatan peran BPK merupakan

landasan-landasan yuridis terbaru era reformasi yang semakin memperluas dan memperkuat

kewenangan dan fungsi BPK. Kalau sebelumnya objek pemeriksaan olek BPK lebih

pada pemeriksaan kewajaran laporan keuangan oleh Pemerintah Daerah, maka ke

depan menyangkut seluruh obyek pemeriksaan dari pusat sampai ke daerah yaitu

Pemerintah Daerah dan BUMD. Tidak saja sisi pengelolaan keuangannya, tetapi

juga kinerja dan audit investigasi dalam rangka lebih mengakomodasi

laporan-laporan masyarakat.41

D. Lembaga BPK Pasca Amandemen UUD 1945

Sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya

mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum

tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum

administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga

menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi

perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan

hubungan internasional.42

41

Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h.53

42

(35)

Sebelum UUD 1945 diubah, pasal 23 ayat (5) diartikan secara restriktif

yaitu mengenai pelaksanaan APBN. Namun, menurut Harun Al Rasid, tidak

tertutup kemungkinan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang

menugaskan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa badan hukum

yang lain dari negara.43

Namun, dengan adanya perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai Badan

Pemeriksa Keuangan mencakup 7 butir ketentuan yang cukup luas dan rinci

pengaturannya, maka kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan mengalami

perluasan yang substantif. Pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) dikaitkan dengan objek pemeriksaan pertanggungjawaban hasil

pemeriksaan yang lebih luas dan melebar. BPK juga diharuskan menyampaikan

hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan dalam hal hasil

pemeriksaan itu mengindikasikan perlunya penyelidikan dan penyidikan diproses

secara hukum oleh lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum inilah

yang dimaksud oleh pasal 23E UUD 1945 dengan istilah “badan sesuai dengan

undang-undang”. Dalam rumusan ayat (3) yang berbunyi: “Hasil pemeriksaan

tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan

undang-undang”.

Pasal 23 E ayat (1) hasil amandemen UUD 1945 memberi peran strategis

kepada BPK, yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

melalui suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Sebagai

institusi resmi pemeriksa eksternal independen, keberadaan BPK diakui secara

43

(36)

konstitusional dan perannya direvitalisasi menjadi lembaga negara yang sejajar

dengan MPR, DPR, DPD, Presiden dan MA.

Sudah tentu, BPK sendiripun juga tidak dapat dikatakan salah jika beritikad

baik untuk menyampaikan hasil-hasil pemeriksaannya itu kepada lembaga

penegak hukum. Kemungkinan lain, dapat pula terjadi bahwa yang berinsiatif

untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK itu adalah DPR sebagai lembaga

pengawas kinerja pemerintah dan pemerintahan. DPR-lah yang meneruskan hasil

pemeriksaan BPK itu kepada kepolisian atau badan-badan lain seperti KPK dan

sebagainya. Namun, setelah hasil pemeriksaan oleh BPK itu disampaikan kepada

DPR, maka semua informasi mengenai hasil pemeriksaan itu sudah menjadi milik

umum atau publik, sehingga dengan sendirinya setiap lembaga penegak hukum

dapat berinisiatif sendiri untuk menegakkan hukum dan menyelamatkan kekayaan

negara dari kegiatan yang tidak terpuji yang merugikan kekayaan negara.44

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bagai momok menakutkan bagi

lembaga dan instansi pemerintah di negeri ini. Sebagai auditor negara, BPK kerap

menemukan penyimpangan anggaran di beberapa instansi. Sebab itu, tak jarang

tim audit BPK dihalang-halangi untuk melakukan proses audit. Pasca Amandemen

UUD 1945, BPK memang mulai menjadi lembaga tinggi negara yang

diperhitungkan. Sesuai dengan perubahan konstitusi, maka keberadaan BPK harus

disesuaikan karena ada keluasan kewenangan yang diberikan. Kewenangan ini

menyangkut tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, ada beberapa UU yang

turut mengganjal kewenangan BPK dalam tugasnya antara lain UU BUMN, UU

Pasar Modal, UU Wajib Pajak, dan UU Kerahasiaan Bank. Sebelum

44

(37)

diamandemen, BUMN diaudit oleh auditor atau akuntan publik, tapi setelah

amandemen seharusnya BPK yang melakukannya,

Selain terhambat oleh beberapa UU, dari pihak BUMN sendiri juga ada

keengganan untuk diperiksa BPK. Dengan alasan, bila BPK yang memeriksa maka

saham perusahaan plat merah itu akan turun nilainya. Ada sentimen negatif bila

BPK yang mengaudit karena sifatnya terbuka publik.45 Hal tersebut dimaksud

dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik undang-undang

menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan

kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan demikian,

masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan.

Sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memeriksa

keuangan dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, BPK dapat

memeriksa uang negara yang dikelola oleh para penyelenggara negara. Misalnya,

BPK dapat memeriksa Menteri Keuangan dan Menteri BUMN ataupun menteri

lain yang membidangi pembinaan teknis badan usaha milik negara tersebut. BPK

tidak perlu memeriksa fisik uang dan pembukuannya, tetapi cukup memeriksa

tanggung jawab pengelolaan uang negara oleh pejabat negara yang terkait dengan

uang negara itu.46 Bahkan, jika di perusahaan-perusahaan negara tersebut terdapat

wakil pemerintah yang duduk sebagai komisaris, maka BPK dan aparat penyidik

bisa saja memeriksa komisaris yang bersangkutan sebagai tindakan dalam rangka

45

Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006)

46

(38)

menilai pelaksanaan tanggung jawabnya mengawasi kekayaan negara yang

dikelola oleh perusahaan yang bersangkutan.

Pemanggilan yang dilakukan oleh BPK adalah tindakan terakhir yang

dilakukan oleh BPK untuk menghadirkan seseorang setelah upaya dalam rangka

memperoleh, melengkapi, dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam

kaitan dengan pemeriksaan.47

Untuk menjamin integritas dalam menjalankan kewenangannya, BPK wajib

bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai dan keputusan. Juga dalam

mengemukakan dan/atau melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan yang

menurut keyakinannya.48

Sebagaimana telah dtetapkan dalam UUD 1945, pemeriksaan yang menjadi

tugas BPK meliputi (i) pemeriksaan atas pengelolaan, dan (ii) pemeriksaan atas

tanggung jawab mengenai keuangan negara. Dengan demikian, berarti lingkup

kewenangan pemeriksaan keuangan negara oleh BPK ini menjadi sangat luas.49

BPK pasca reformasi dapat dikatakan memiliki kewenangan yang sangat

besar dan luas, mencakup bidang-bidang pengaturan (legislatif), pelaksanaan

(eksekutif), dan bahkan juga penjatuhan sanksi (yudikatif). Disamping fungsinya

yang demikian, BPK tentu saja juga memiliki wewenang untuk menetapkan

keputusan-keputusan yang bersifat administratif. Karena itu, BPK setelah

47

Peraturan BPK RI No.3 Tahun 2008, Tentang Cara Pemanggilan dan Permintaan Keterangan Oleh BPK

48

Peraturan BPK RI No.2 Tahun 2007, Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

49

(39)

reformasi memiliki kewenangan yang bersifat campuran. Padahal, pengertian

keuangan negara yang menjadi objek kewenangannya juga telah diperluas

sedemikian rupa sehingga pemeriksaan yang dilakukannya menjangkau objek

pengelola keuangan negara dalam arti yang sangat luas, baik dari segi sustansial

sektoral maupun struktural horizontal dan struktural vertikal sampai

kedaerah-daerah. Akibatnya, format organisasi BPK mau tidak mau juga harus diperbaiki

dan diperbesar sedemikian rupa, sehingga kapasitas kelembagaannya benar-benar

dapat memenuhi panggilan tugasnya secara efektif. 50

Karena pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam

kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui

kegiatan berbagai lembaga pemerintahan, negara berusaha memberikan jaminan

kesejahteraan kepada rakyat. Oleh karena itu, dengan adanya perluasan

kewewenangan yang dimiliki BPK, tidak hanya memeriksa keuangan lembaga

negara atau lembaga lain yang menggunakan angggaran negara tetapi juga diberi

kewenangan mengaudit kebijakan lembaga negara. Dengan demikian, diharapkan

BPK dapat meningkatkan kinerja dan mampu mengaudit laporan keuangan yang

lebih rumit.51 Sehingga keberadaan dan kedudukan BPK diperkokoh sebagai satu

lembaga negara pemeriksa keuangan agar dapat melaksanakan tugas yang

diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

50

Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara , h.863 51

(40)

BAB III

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Tinjauan BPK Dalam Ketatanegaraan Islam

BPK suatu badan independen yang dibentuk oleh pemerintah sebagai lembaga

pemeriksa keuangan negara berikut juga mengaudit keuangan pejabat, baik di tingkat

pusat maupun di level daerah. Lembaga kontrol ini diharapkan akan memberikan

efek yang yang sangat positif baik di tingkat masyarakat intern atau masyarakat

ekstern sehingga tercipta masyarakat yang lebih sejahtera. Kontrol yang baik dan

berkelanjutan, dapat meminimalisir penyalahgunaan keuangan dan mencegah gejala

korupsi disemua level, sehingga dana yang diproyeksikan untuk kesejahteraan rakyat

tersalurkan sesuai jalurnya. Di sisi lain, efektitifitas dari kinerja lembaga ini akan

menarik minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia.52

Prinsip utama dalam mengatur kekayaan negara adalah mewujudkan

kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kedudukan serta peran BPK sangat

diperlukan dalam tata kelola keuangan negara untuk mewujudkan kesejahteraan

rakyat. Berdasarkan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK memiliki peran dan fungsi

sentral untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan dan kinerja pemerintah

(Pasal 4). BPK juga dapat melakukan pemeriksaan secara bebas dan mandiri, meliputi

penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan

waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan

52

(41)

(pasal 6). Kendati dalam penentuan standar pemeriksaan BPK melakukan konsultasi

dengan pemerintah, tetapi dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK lebih independen

dan relatif jauh dari konflik kepentingan.

Secara umum keberadaan Lembaga BPK ini lebih dilatarbelangi atas dasar

fungsionalnya, secara keseluruhan melaksanakan pengelolaan keuangan negara

secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif dan

transparan dengan memperhatikan rasa keadilan. 53 Keadilan dalam Islam adalah

sebagai alasan pembenaran adanya semua lembaga dan perangkat negara, dan asas

diberlakukannya perundang-undangan, hukum dan seluruh ketetapan, juga tujuan

segala sesuatu yang bergerak di negara dan masyarakat.54 Sebagaimana Allah

berfirman:

!"#$

%& ' (

)& * )+ , % (

(

-+' + (

./+

0 1$

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (An-Nisaa’:58)

Pada dasarnya harta kekayaan negara adalah milik Allah swt, pemerintah dan

pejabat hanyalah sebagai orang-orang yang mendapat kepercayaan (amanat) untuk

mengatur dan mengelola dengan baik dan benar.

Dalam menjaga kestabilan keuangan, negara tidak hanya bertugas mengatur

sistem ekonomi dan politik secara global tetapi juga berkewajiban meletakkan sistem

53

Ridwan HR, Fiqh Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h.280

54

(42)

pengawasan, perlindungan, dan pengarahan yang efektif dan sistematis. 55 Secara

garis besar sistem pengawasan dan pemeriksa keuangan, yaitu

ada dua yaitu intern dan ekstern. Pengawasan intern lahir dari keimanan personal dan

kesadaran individu yang meyakini bahwa semua perilakunya akan dimintai

pertanggungjawaban di sisi Allah swt, dan bahwa harta itu adalah amanat yang harus

dikelola dengan semestinya. Pengawasan seperti ini akan melahirkan sugesti untuk

menjaga diri dari penyalahgunaan, penyelewengan, dan korupsi. Sebagaimana contoh

yang ditunjukkan Rasulullah saw, dari Anas dinyatakan; Harga-harga melambung

tinggi pada masa Rasulullah saw, lalu para sahabat berkata, “wahai Rasulullah, seandainya anda menetapkan patokan harga (tentu tidak melambung seperti ini).”

Kemudian Nabi saw bersabda:56

Sesungguhnya Allahlah Yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki; dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta. (HR Ahmad)

Dengan demikian , Rasulullah saw, telah menjadikan penetapan patokan harga

sebagai suatu bentuk kezaliman. Karena itu, seandainya Beliau melakukannya,

artinya Beliau melakukan sesuatu yang tidak menjadi hak Beliau untuk

melakukannya. Demikian juga, Rasulullah saw. Pun telah menjadikan pemeriksaan

55

Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta dan Kekayaan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.20

56

(43)

atas perkara-perkara yang terjadi dalam masalah hak-hak semua orang yang diatur

negara untuk masyarakat merupakan kewenangan lembaga mazhalim pada saat itu.57

Sedangkan pengawasan ekstern yaitu, pengawasan serta pemeriksaan yang dilakukan

oleh suatu lembaga negara.

Dalam Islam suatu lembaga dalam sebuah negara harus memenuhi

kriteria-kriteria sebagai berikut :58

1. Sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat islam;

2. Meletakkan persamaan (al-musawah) kedudukan manusia didepan hukum dan

pemerintahan;

3. Tidak memberatkan masyarakat yang akan melaksanakannya (‘adam al-haraj);

4. Menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat (tahqiq al-‘adalah);

5. menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan (jalb al-masalih wa

daf’al-mafasid).

Sesuai dengan tujuan negara menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia,

maka negara mempunyai tugas-tugas untuk merealisasikan tujuan tersebut. Dalam

sistem Islam telah mengenal prinsip pemisahan antara tiga kekuasaan umum di

negara, yaitu legislatif (sulthah tasryi’iyah), eksekutif (sulthah

al-tanfidziyah) dan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga yudikatif meliputi wilayah al-hisbah, wilayah al-qadha dan

wilayah al-mazhalim. Majelis peradilan dan hukum (yudikatif) berada di luar

57

Ibid

58

(44)

batas lembaga eksekutif sepenuhnya. Sedangkan tugas peradilan bersifat mandiri dan

terbebas dari ketundukan terhadap para pejabat negara.59

Peradilan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan merupakan

peradilan semu, karakteristik keputusannya mengandung norma konkrit dan bersifat

individual yang sama dengan isi putusan pengadilan. Searah dengan tujuan agar

tercapainya tertib administrasi keuangan negara, yang meliputi: tata pengaturan, cara

penguasaan, tata pengurusan, tata pembagian wewenang, tata usaha, pengawasan

yang efektif dan efisien serta pertanggungjawabannya, untuk usaha-usaha pencegahan

terhadap penyelewengan korupsi dan manipulasi di bidang keuangan negara.60

B. Wilayah Mazhalim Dalam Islam

Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah

perkembangan masyarakat dan politik Islam. Dalam sejarah Islam yang paling

banyak menguasai lembaga peradilan Islam adalah ahli praktisi hukum. Dalam

peraturan perundang-undangan sekarang posisi para praktisi hukum itu selain sebagai

ulama ahli juga sebagai pemisah antara kekuasaan.61

Al-Mazhalim kata jama’ dari Mazlimah, yaitu nama bagi sesuatu yang diambil

oleh orang zalim. Menurut istilah fuqaha, Wilayah Mazhalim merupakan suatu

jabatan kehakiman, akan tetapi lebih luas dari jabatan hakim biasa karena Wilayah

(45)

Mazhalim yaitu suatu jabatan gabungan dari pengaruh kekuasaan dan peradilan kehakiman.62

Dalam kajian fikih, Mazhalim merupakan salah satu bentuk lembaga peradilan

selain peradilan umum dan peradilan hisbah (peradilan khusus yang menangani

pelanggaran terhadap prinsip amar ma’ruf nahi mungkar). Mazhalim adalah lembaga

peradilan yang secara khusus menangani kelaliman para penguasa dan keluarganya

terhadap hak-hak rakyat. Peradilan Mazhalim ini bertujuan agar hak-hak rakyat dapat

dikembalikan, serta dapat menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan warga

negara.63

Dalam kasus-kasus Mazhalim, peradilan dapat bertindak tanpa harus

menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Penyelesaian kasus-kasus

Mazhalim telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw. kasus yang sangat terkenal adalah kelaliman yang dilakukan oleh Zubair bin Awwam terhadap seorang Ansar.

Dalam kasus ini disebutkan bahwa Zubair tidak mau mengalirkan air ke ladang orang

Ansar yang menjadi tetangganya, sehingga tanaman orang tersebut kering. lalu orang

Ansar tersebut mengadu kepada Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw berkata:64

itu berkata, “Ya Rasulullah saw, ia adalah anak bibimu sehingga pantas saja engkau memutuskan seperti itu.” Mendengar komentar itu Rasulullah saw marah dan

(46)

bersabda, Alirkanlah air itu meskipun di atas perutnya, hingga genangan air mencapai tinggi mata kaki. (HR.Bukhari dari Urwah bin Zubair)

Dalam hadis ini terlihat bahwa meskipun Zubair bin Awwam adalah anggota

keluarga Nabi SAW, secara tegas Rasulullah saw memutuskan bahwa air tetap dibagi

kepada tetangganya. Tidak ada keistimewaan bagi anggota keluarga Nabi SAW jika

hal itu memudaratkan orang lain.

b.1. Sejarah Lembaga Mazhalim

Di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin persoalan mazhalim ditangani sesuai dengan kebiasaan yang ditunjukan oleh Nabi SAW. Semua kasus yang

menyangkut peradilan mazhalim ditangani langsung oleh khalifah. Di zaman

Dinasti Umayah, kasus yang menyangkut mazhalim semakin banyak karena sejalan dengan semakin luasnya wilayah Islam. Atas inisiatif Khalifah Abdul

Malik bin Marwan, semua kasus mazhalim diselesaikan dalam peradilan khusus,

yaitu pengadilan mazhalim. Kedudukan pengadilan mazhalim semakin kuat dan tegas ketika masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Dalam sejarah diketahui

bahwa tindakan yang dilakukannya sebagai khalifah adalah mengembalikan

seluruh harta rakyat yang diambil para penguasa secara zhalim, sehingga ia dapat

mewujudkan kembali kehidupan dan prilaku yang adil.65

Didalam risalah Al Kharady, Abu Yusuf menganjurkan kepada khalifah Harun Ar Rasyid supaya mengadakan sidang-sidang untuk memeriksa

pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para pejabat. Kerap kali para khulafa

menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim.

Meskipun hal ini pada awalnya adalah suatu tindakan jahiliah yang didorong oleh

65

(47)

kepentingan politik, namun dengan kehadiran Rasulullah saw, pada saat peristiwa

itu membuat hal tersebut menjadi hukum syariat dan tindakan kenabian yang harus diikuti oleh insan muslim.

Rasulullah saw bersabda, “Aku pernah mengikuti persidangan tentang

hilful-fudhul dirumah Abdullah bin Judan dan jika aku diundang untuk menghadiri acara seperti itu niscaya aku akan penuhi. Perundingan seperti itu lebih aku sukai daripada aku mendapatkan unta yang harganya mahal” (HR

Ahmad, Bukhari, Ibnu Hibban, dan al-Haakim).66

b.2. Tugas dan Wewenang Wilayah mazhalim

Sebagai peradilan yang dapat bertindak tanpa harus menunggu suatu

gugatan dari yang dirugikan, maka Wilayah mazhalim memiliki tugas dan

kewenangan untuk hal-hal sebagai berikut :

Wilayah Mazhalim merupakan suatu lembaga yudikatif yang dapat memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya dari orang-orang yang

berseteru dan menerapkan hukum perundang-undangan kepadanya dalam rangka

menegakan keadilan di muka bumi dan menetapkan kebenaran diantara orang-orang

yang meminta peradilan. Termasuk memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang

dilakukan oleh penguasa ataupun pejabat negara.

Dalam menangani pelanggaran yang dilakukan pejabat pemerintah atas

rakyat, majelis mazhalim mempunyai wewenang untuk meneliti perilaku pejabat

yang disinyalir bermasalah, kemudian menghukumnya. Akan tetapi majelis

mazhalim ini tidak segan-segan mendukung mereka jika mereka berlaku adil dan jujur walau tidak sertamerta. Karena harus tetap melihat undang-undang yang adil,

66

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Program dan Kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kota Blitar pada Tahun 2017 telah disusun dalam dokumen RENJA

(2) Camat atas nama Bupati menandatangani naskah dinas dalam bentuk dan susunan surat sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 terdiri atas:..

[r]

Penulis merasa bahwa informasi yang ada di buku tersebut dapat disalurkan menggunakan medium instalasi guna memberikan pengalaman baru bagi audiens dalam mempelajari gaya

Berdasarkan hasil penelitian, penambahan tepung kedelai dalam tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar pada pembuatan biskuit memberikan pengaruh yang berbeda nyata.

Windows Firewall with Advanced Security offers many more options for administrators, including configuring their own inbound, outbound, and connection security rules,

[r]

Pada penelitian ini, perlu diidentifikasikan dahulu berbagai permasalahan yang terjadi agar menghasilkan suatu tujuan penelitian yang diharapkan, maka perlu