Nurul Qhalifah dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar
Lampung pada tanggal 31 Juli 1990. Penulis merupakan
anak ke-3 dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak
Sutrisnani (alm) dan Ibu Dra. Rusmiati. Penulis
menyelesaikan pendidikan di TK Kartika II-31 Bandar
Lampung pada tahun 1996, SD Kartika II-5 Bandar Lampung pada tahun 2002,
SLTP Negri 14 Bandar Lampung pada tahun 2005, dan SMA Negri 7 Bandar
Lampung pada tahun 2008. Saat duduk di bangku SMP penulis aktif di organisasi
Sanggar Tari SLTPN 14 dan sempat ditunjuk sebagai ketua sanggar, penulis juga
pernah 2 kali menjadi juara 1 lomba tari daerah SMP. Saat SMA penulis aktif di
organisasi Sanggar Tari SMAN 7 dan Seven English Club(7EC) ditunjuk sebagai
leader(ketua).
Selain itu penulis juga aktif di organisasi luar sekolah yaitu Sanggar Tari Radin
Intan. Bersama Sanggar Radin Intan penulis sering ikut mementaskan tarian
daerah untuk acara-acara besar seperti: Peresmian Bendungan Batu Tegi oleh
(Mantan) Presiden Megawati, Penyambutan Ketua PKB (Bapak Abdurrahman
Wahid), Penyambutan Kunjungan Presiden SBY di Kota Bandar Lampung,
Festival Krakatau XVII , Peringatan Hari Pangan Sedunia oleh Presiden SBY,
Festival Krakatau XVIII, pementasan tarian daerah Lampung di Jakarta, dan
Agustus 2011 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Negla Sari
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Prengsewu. Selama masa perkuliahan penulis
aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara. Selain itu
...Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo a apabila ia memohon kepada-Ku,...
(QS 2:186)
Pray, struggle, and pray again. (nq)
“Maybe you are the reason why all the doors are close
So you could open one that lead you to the perfect road”
This little work is dedicated to:
The Greatest One, my Allah SWT
For Your abounded bless and love.My wonder mother (Mamma) and my beloved Pappa
My wise granny (Mbah Putri) and my beloved grandpa (Mbah Kakung) My sisters (mba Alil n Rahma) and my brother (Aat).
No place like home, I love you all. May Allah bless us all.
My man, Amal Ramadius
Alhamdulillahirabbil‘alamiin, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Pengaruh Implementasi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (Studi pada Bank
BRI Unit Bambu Kuning tahun2011)”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena segala
keterbatasan penulis, sehingga selama penyusunan skripsi penulis telah banyak
mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan
ini, penulis menyampaikan penghargaan, penghormatan, dan terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Ibu Rahayu Sulistiowati, S.Sos, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Administrasi Negara Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Bambang Utoyo S., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Utama
yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan selalu memberikan
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Suripto S.Sos., M.AB., selaku Ketua Jurusan Administrasi
Bisnis dan Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dan
saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Eko Budi Sulistyo S.Sop., M.AP., selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis, yang telah memberikan arahan dan bantuan kepada
penulis selama menjadi mahasiswi di Jurusan Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
7. Segenap civitas akademika, dosen pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi
Negara Prof. Yuli, Pak Syamsul yang bijaksana, Ibu Dian, Bu Meili, Bu
Indri, Miss Intan, Miss Devi, Pak Husnan, Pak Dedy, Pak Fery, Pak Nana,
Pak Simon, dan seluruh dosen ANE, terimakasih atas ilmu yang diberikan.
8. Kedua Orang Tuaku Tercinta, especially my mamma you are my hero and
I dont know how my life would be without you, and my beloved papa I
miss you (I do). I will always pray for you both, and may Allah bless us.
9. Kakak-kakak dan adikku tersayang: Layli Rahmawati S.Pd. my oldest
sister who is currently living in Jambi, I miss you and I mis my little
nephew Fahriy, As’ad Qhozali my oldest brotherthe independent one, and my little sister Rachmadhania.
10. Sahabat-Sahabatku di bangku kuliah, Merliana Wati S.AN dan Wiwik
(teman senasib yang kompre di tanggal yg sama), Wiwik Nurhayati, Siah,
Manda (lanjutkan perjuangan kalian), dan Sila. Teman-teman spesialku,
Sari, Seva, Devita, Regina dan Shendy Edo (semangat nyusun skripsinya).
11. Teman-teman ANE’08: Nita, Rahma, Nanda, Cici, Step, Tiara, Rosta Intan, Rendi, Beni, Andreas, Okta, Rima, Yani, Upik, Joko, dan lain-lain.
12. Kakak-kakak di Administrasi Negara mbak Deby dan kak Rio (maaf yah
kalau aku banyak tanya soal SPSS sama kalian), mba Yunita, Mba Melli,
Mbak Sinta, Kak Angga, Kak Tomas (Ayo dilanjutin perjuangannya).
13. Teman-teman (keluarga) selama KKN di Negla Sari (desa di pelosok
Prengsewu yang akses jalannya bergradasi dan belum disentuh PLN),
Effelina (my bathmath), mbak dokter Ayu (si ketua), Vivi Dwi Eli Yana
Sari (teman adu debatku), Irshad dan Derry. Kangen kalian semua.
14. Seluruh pihak yang telah membantu dan menemani penulis selama
penelitian dan semasa kuliah yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terimakasih yang tulus selalu untuk semuanya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat. Amin.
Bandar Lampung, 14 Februari 2013
Penulis
Halaman
1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan ... 18
1.3 Podel Implementasi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat ... 24
2. Konsep Kredit Usaha Rakyat ... 26
2.1 Pengertian Kredit ... 26
2.2 Tinjauan tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) ... 28
3. Konsep Pemberdayaan ... 32
3.1 Pengertian Pemberdayaan ... 32
3.2 Dimensi dan Indikator Pemberdayaan... 34
3.3 Indikator Pemberdayaan UMKM ... 38
4. Konsep UMKM ... 40
4.1 Pengertian UMKM ... 40
4.1 Kelebihan dan Kelemahan UMKM ... 44
5. Hubungan Implementasi Kebijakan dan Pemberdayaan ... 45
6. Kerangka Pikir ... ... 46
7. Hipotesis ... 48
BAB III METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian ... 49
2. Lokasi Penelitian ... 49
5.2 Sample ... 52
5.3 Teknik Pengambilan Sampel... 51
6. Teknik Pengumpulan Data ... 53
7. Teknik Pengolahan Data ... 54
8. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 55
8.1 Uji Validitas .... ... 55
8.2 Uji Reliabilitas ... 57
9. Teknik Analisis Data... 59
9.1 Statistik Deskriptif ... 59
9.2 Uji Normalitas .. ... 60
9.3 Statistik Inferensial ... 60
9.3.1 Analisis Regresi Linear Sederhana ... 61
10.Uji Hipotesis ... ... 62
10.1. Uji t-statistik ... 62
10.1. Uji F-statistik ... 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 64
2. Deskripsi Umum Responden ... 69
3. Analisis Statistik Deskriptif ... 72
4. Uji Normalitas ... 97
5. Analisis Statistik Inferensial ... 99
5.1 Analisis Regresi Linear Sederhana... 99
Tabel 1. Data Perkembangan UMKM Kota Bandar Lampung Tahun
2009-2011 ... 4
Tabel 2. Perkembangan KUR Nasional menurut Bank Pelaksana Per Desember 2011... 9
Tabel 3. Data Realisasi KUR Mikro BRI Kota Bandar Lampung per Desember 2011... 10
Tabel 4. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Ekonomi ... 37
Tabel 5. Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 51
Tabel 6. Interpretasi Skor Jawaban ... 53
Tabel 7. Pengujian Validitas ... 56
Tabel 8. Indikator Tingkat Reliabilitas ... 58
Tabel 9. Uji Reliabilitas ... 58
Tabel 10. Klasifikasi Nilai Kategorisasi Rata-Rata ... 60
Tabel 11. Pedoman Interpretasi Terhadap Koeisien Korelasi... 61
Tabel 12. Jumlah Responden Berdasarkan Kelompok Usia ... 70
Tabel 13. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 71
Tabel 14. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71
Tabel 15. Jumlah Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 72
Tabel 16. Statistik Deskriptif Penjaminan Kredit oleh Pemerintah ... 73
Tabel 17. Statistik Deskriptif Bunga Kredit ... 77
Tabel 18. Statistik Deskriptif Prosedur Penyaluran KUR ... 80
Tabel 19. Statistik Deskriptif Bersifat Kredit Umum (serba Usaha) ... 83
Tabel 20. Statistik Deskriptif Ketersediaan Lembaga Keuangan/Bank ... 85
Tabel 21. Statistik Deskriptif Pengembalian Pinjaman ... 86
Tabel 22. Statistik Deskriptif Penggunaan Pinjaman ... 88
Tabel 23. Statistik Deskriptif Omzet/Volum Usaha ... 90
Tabel 24. Statistik Deskriptif Laba Usaha ... 93
Tabel 25. Statistik Deskriptif Penyerapan Tenaga Kerja ... 95
Tabel 26. Korelasi ... 99
Tabel 27. Koefisien Determinasi ... 100
Tabel 28. ANOVA ... 101
Tabel 29. Uji Regresi ... 102
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 48
Gambar 2. Bagan Struktur Organisasi BRI ... 66
Gambar 3. Grafik Histogram ... 97
1. Latar Belakang
Negara memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakatnya,
hampir tidak satupun aspek kehidupan masyarakat yang tidak tersentuh atau
dipengaruhi oleh negara. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan hukum tertulis bangsa Indonesia menyebutkan bahwa tujuan yang
ingin dicapai oleh bangsa Indonesia adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia, namun dalam pelaksanaan tujuan tersebut tentunya tidaklah lepas dari
permasalahan-permasalahan yang ada.
Suatu masalah didefinisikan sebagai suatu kondisi atau situasi yang menimbulkan
kebutuhan atau ketidakpuasan dari sebagian orang yang menginginkan
pertolongan atau perbaikan (Winarno, 2012:80). Sementara itu, suatu masalah
akan menjadi permasalahan publik jika melibatkan banyak orang dan mempunyai
akibat tidak hanya pada orang-orang yang secara langsung terlibat, tetapi juga
sekelompok orang lain secara tidak langsung terlibat (Winarno, 2012:80).
Salah satu sarana bagi pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah publik
yaitu melalui kebijakan publik. Chandler dan Plano (Tangkilisan, 2003:1)
berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap
pemerintahan. Apapun bentuk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tujuan
akhirnya adalah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Setiap kementrian bisa saja
mempunyai kebijakan yang berbeda antara satu dengan lainnya, akan tetapi pada
akhirnya kebijakan tersebut akan bermuara pada satu muara yaitu kesejahteraan
bangsa Indoneasia.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan
publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar memberi dampak
atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian
yang luas merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan
undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna
pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan
teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk
meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program (Lester dan Stewart dalam
Winarno, 2012:47).
Memajukan kesejahteraan umum merupakan agenda utama pemerintah dalam
membuat kebijakan, akan tetapi permasalahan ini tidak pernah selesai. Kondisi ini
menjadi indikator bahwa masyarakat belum berperan sebagai subyek dalam
pembangunan nasional. Rakyat perlu dibekali modal material dan mental, untuk
sampai pada tujuan tersebut. Indikator ini juga telah menginspirasikan perlunya
pemberdayaaan ekonomi rakyat yaitu perekonomian yang bercorak kerakyatan.
Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan
rakyat yang lebih tinggi. Memberdayakan ekonomi rakyat sesungguhnya
berazaskan Pancasila, menggerakkan ekonomi adalah untuk mencapai tujuan
kemakmuran bersama seperti yang dinyatakan dalam sila ke lima dari Pancasila
yaitu “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Selain itu dalam pembangunan di bidang ekonomi harus menekankan azas
kekeluargaan, dan penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasarkan atas
demokrasi ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu cara meningkatkan peran masyarakat
dalam memajukan kesejahteraan sebagian besar rakyat Indonesia.
UMKM merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian
Indonesia dan terbukti menjadi pengaman perekonomian nasional dalam masa
krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi paska krisis
ekonomi (DEPKOMINFO, 2008:13). Secara nyata UMKM juga sebagai sektor
usaha yang berperan besar terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam
rangka perluasan kesempatan berusaha bagi wirausaha baru dan terbukti telah
mampu menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam
negeri sehingga sangat membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran.
UMKM di Kota Bandar Lampung khususnya, hingga tahun 2011 telah mengalami
peningkatan jumlah dan penyerapan tenaga kerja. Usaha mikro yang berjumlah
17.797 unit telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 20.674, usaha kecil
yang berjumlah 13.378 menyerap tenaga kerja sebanyak 26.754, dan usaha
menengah yang berjumlah 5.065 menyerap tenaga kerja sebanyak 10.032 orang.
Tabel 1. Data Perkembangan UMKM Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2011
No. Bidang Usaha Jumlah Usaha (Unit) Tenaga Kerja (Orang) 2009 2010 2011 2009 2010 2011 1 Usaha Mikro 16.987 17.752 17.797 33.974 35.504 35.611 2 Usaha Kecil 12.749 13.337 13.378 25.498 26.674 26.754 3 Usaha Menengah 4.824 5.041 5.065 9.648 10.002 10.032 Jumlah Total 34.560 36.130 36.240 69.120 72.180 72.397
Sumber: Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandar Lampung tahun 2011
Berdasarkan data tersebut, terlihat peningkatan jumlah unit dan tenaga kerja yang
dihasilkan UMKM Kota Bandar Lampung setiap tahunnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa UMKM merupakan bagian integral dari usaha nasional
yang mampu menyerap tenaga kerja dan memiliki peran terhadap pertumbuhan
ekonomi rakyat. Keunggulan UMKM dalam hal ini karena adanya beberapa
karakter spesifik UMKM (DEPKOMINFO, 2008:13), yaitu : (1) lebih fleksibel,
(2) cepat merespon perubahan pasar, (3) dapat mengalami peningkatan
produktivitas apabila terjadi perubahan investasi, (4) tahan terhadap fluktuasi
ekonomi, dan (5) penggunaan modal yang relatif efisien.
Selain memiliki keunggulan yang sangat prospektif di atas, UMKM juga
menghadapi permasalahan yang tidak sedikit. Pemberdayaan UMKM sampai
sekarang ini masih bergelut pada masalah-masalah klasik seperti (1) kesulitan
akses terhadap permodalan, (2) kurangnya kemampuan dalam identifikasi pasar,
(3) keterbatasan teknologi dan informasi, (4) kualitas SDM yang belum maksimal,
dan (5) keterbatasan sarana (www.kemenperin.go.id, diakses pada tanggal 20
Mempertimbangkan kondisi UMKM sebagaimana telah disebutkan di atas,
akhirnya Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No. 6 tanggal 8
Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan
Pemberdayaan UMKM yang diikuti dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama
antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang
ditandatangani pada tanggal 9 Oktober 2007. Kebijakan pengembangan dan
pemberdayaan UMKM mencakup:
a. Peningkatan akses pada sumber pembiayaan
b. Pengembangan kewirausahaan
c. Peningkatan pasar produk UMKM dan koperasi
d. Reformasi regulasi UMKM dan koperasi.
Upaya peningkatan akses pada sumber pembiayaan antara lain dilakukan dengan
memberikan kredit modal kerja atau investasi dengan pola penjaminan
kredit bagi UMKM. Pada tanggal 5 November 2007, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM dengan pola penjaminan dengan
nama Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Kantor Pusat BRI Jakarta (DEPKOMINFO,
2008:19).
Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disebut KUR adalah kredit modal kerja dan
atau kredit investasi yang diberikan oleh perbankan kepada UMKM dan koperasi
yang feasible, maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang
baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan tetapi belum bankable atau
belum dapat memenuhi persyaratan perkreditan atau pembiayaan dari bank
pemenuhan persyaratan perkreditan atau pembiayaan yang sesuai dengan
ketentuan bank pelaksana termasuk sektor UMKM, memiliki usaha produktif
yang didukung dengan program penjaminan (komite-kur.com, diakses pada
tanggal 10 April 2012).
Peluncuran KUR tersebut merupakan tindak lanjut dari ditandatanganinya Nota
Kesepahaman Bersama (MoU) pada tanggal 9 Oktober 2007 tentang Penjaminan
Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah (Menteri
Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri
Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan
Penjamin (Perum Jaminan Kredit Indonesia dan PT Asuransi Kredit Indonesia)
dan Perbankan (Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin,
dan Bank Syariah Mandiri). KUR ini didukung oleh Kementerian Negara BUMN,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank Indonesia.
Pemberdayaan UMKM perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan
berkesinambungan melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif, pemberian
kesempatan berusaha, dukungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya.
Sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi UMKM dalam
mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan
rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Diharapkan
dengan adanya KUR, UMKM mampu bertahan menguatkan dan memulihkan
perekonomian nasional disamping bisa lebih berdaya yang menuju kepada
kesejahteraan. KUR bertujuan memberikan bantuan secara materil terhadap
mengembangkan usahanya. KUR merupakan kebijakan nasional yang bertujuan
untuk memberdayakan UMKM.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum KUR
(komite-kur.com, diakses pada 10 April 2012), antara lain:
a. Instruksi Presiden nomor 6 tahun 2007 tanggal 8 Maret 2007 tentang
Kebijakan Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dan Koperasi
guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
b. MoU (Memorandum of Understanding) antara Departemen Teknis,
Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9
Oktober 2007.
c. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan
Kredit.
d. Addendum I MoU antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan
Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 14 Februari 2008.
e. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 5 tahun 2008
tentang Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan bagi UMKM dan
Koperasi.
f. Perjanjian Kerja Sama antara Bank Pelaksana dengan Lembaga Penjaminan.
g. Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan KUR.
h. Addendum II MoU antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan
Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2010.
i. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor :
KEP-07/M.EKON/01/2010 tentang Penambahan Bank Pelaksana Kredit Usaha
j. Keputusan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor :
KEP-01/D.I.M.EKON/01/2010 tentang Standar Operasional dan Prosedur
Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.
Salah satu landasan operasional KUR adalah Peraturan Presiden nomor 2 tahun
2008 tentang Lembaga Penjaminan, yang mengatur lembaga penjaminan baik
lembaga keungan yang berbentuk bank maupun lembaga keuangan bukan bank
yang akan memberikan penjaminan kredit. KUR dengan fasilitas penjaminan
kredit dari pemerintah melalui PT. Asuransi Kredit indonesia (ASKRINDO) dan
Perum Jaminan Kredit Indonesia (JAMKRINDO).
Tahap awal dilaksanakan KUR hanya terbatas oleh 6 bank nasional yang ditunjuk
oleh pemerintah saja. Pemerintah melalui Peraturan Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian Nomor: KEP-07/M.EKON/01/2010 tentang Penambahan
Bank Pelaksana KUR, bank pelaksana tambahan tersebut antara lain melibatkan
13 Bank Pembangunan Daerah (BPD) di seluruh Indonesia.
Penelitian ini memfokuskan pada salah satu bank penyelenggara KUR yaitu Bank
BRI. Bank BRI membagi KUR menjadi dua jenis yaitu KUR ritel dan KUR
mikro. KUR ritel yaitu KUR dengan plafond kredit Rp. 20 juta sampai dengan Rp.
500 juta, yang dilayani hanya oleh Kantor Cabang dan Kantor Cabang Pembantu.
Sedangkan KUR mikro yaitu KUR dengan plafond kredit Rp. 500 ribu sampai
dengan Rp. 20 juta yang dilayani melalui seluruh kantor BRI Unit (www.bri.co.id,
diakses pada 16 Mei 2012). Keunikan dari Bank BRI yaitu Bank BRI merupakan
pemerintah untuk menyalurkan KUR mikro. Bank BRI sendiri merupakan bank
pelopor KUR, selain itu Bank BRI juga tercatat sebagai bank dengan debitur KUR
terbanyak dan penyalur KUR terbesar di Indonesia dibandingkan bank-bank
penyelenggara KUR lainnya. Hal ini terbukti dari data perkembangan KUR
nasional menurut bank pelaksana periode tahun 2011 di bawah ini:
Tabel 2. Perkembangan KUR Nasional menurut Bank Pelaksana per Desember 2011
2. BRI (KUR Ritel) 64.373 4.661,74 3. BRI (KUR Mikro) 5.319.572 10.550,35 4. Bank Mandiri 151.188 4.706,66
10. Bank Jabar Banten 16.922 1.132,45 11. Bank Jateng 12.290 527,96 Sumber: Statistik Perekonomian Triwulan IV, 2011:72-73.
Sebagian besar penyaluran dana KUR hingga Desember 2011 disalurkan melalui
Bank BRI yaitu BRI KUR Mikro 47%, dan BRI KUR Ritel 15% (Statistik
Perekonomian Triwulan IV, 2011:70). Berdasarkan pada data di atas jumlah
itu peneliti lebih memilih debitur KUR mikro sebagai objek penelitian dalam
penelitian ini. Berikut merupakan data realisasi KUR mikro Bank BRI di Kota
Bandar Lampung:
Tabel 3. Data Realisasi KUR Mikro BRI Kota Bandar Lampung per Desember 2011 2. Unit Bambu Kuning 326 2.260.885.242 3. Unit Panjang 304 1.092.194.338 4. Unit Bandar Lampung 166 1.271.538.025 5. Unit Kedaton 325 1.263.053.345 6. Unit Kemiling 80 410.640.850 7. Unit Pasar Tugu 244 877.779.300 8. Unit Way Halim 212 1.479.589.147 9. Unit Bumi Waras 74 246.792.850 10. Unit Pasar Induk 102 334.885.013 11. Unit Teluk Betung 64 361.664.613
Sumber: Data Realisasi KUR BRI Kantor Cabang Tanjung Karang
Peneliti memilih Bank BRI Unit Bambu Kuning sebagai lokasi penelitian karena
berdasarkan data realisasi KUR mikro BRI Kota Bandar Lampung di atas, BRI
Unit Bambu Kuning adalah unit BRI yang memiliki debitur KUR mikro
terbanyak, selain itu dana yang tersalurkan juga lebih besar jika dibandingkan
dengan BRI unit lainnya di Kota Bandar Lampung. Diharapkan dengan adanya
KUR, UMKM Kota Bandar Lampung dapat lebih berdaya dan bisa memberikan
kontribusi yang lebih terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, dan
sekaligus meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
Sama seperti berbagai kebijakan pemerintah dibidang perkreditan lainnya, dari
aspek jumlah dana yang tersalur dan jumlah nasabah yang mendapatkan
KUR nasional tahun 2011 meningkat sangat pesat mencapai Rp 29 triliun, naik
68,6% dari penyaluran tahun 2010 sebesar Rp 17,2 triliun atau mencapai 45%
diatas target tahun 2011 sebesar Rp 20 triliun, dengan jumlah debitur 1,9 juta
UMKM (komite-kur.com, diakses pada 04 November 2012). Selain
keberhasilannya dalam melampui target, dalam implementasinya KUR juga
mengalami kendala-kendala.
Antara lain masih adanya berbagai isyu yang menyatakan bahwa program ini
masih sulit di akses karena kalangan bank penyalur masih mensyaratkan adanya
agunan yang cukup besar, selain itu ditemukan beberapa masyarakat yang
menggunakan KUR bukan dipakai sebagai modal usaha melainkan untuk kredit
konsumtif (Syarif, 2011:2). Paradigma ini harus dirubah dalam masyarakat, sebab
penyaluran KUR merupakan bentuk bantuan pemerintah untuk memotivasi
UMKM untuk dapat mengembangkan usahanya. KUR yang disalahgunakan oleh
masyarakat hanya akan menghambat kebijakan ini karena akan menyebabkan
kepercayaan perbankan kepada masyarakat akan menurun.
Akibat kurangnya sosialisasi juga mengakibatkan sulitnya memperoleh calon
debitur yang kredibel. Sedangkan dari sisi debitur, kendala-kendala yang dihadapi
UMKM adalah sulitnya pemenuhan aspek legalitas seperti izin usaha, analisis
kebutuhan kredit, dan agunan tambahan. Selain itu masih adanya anggapan bahwa
KUR adalah dana bantuan pemerintah sehingga kadang dianggap masyarakat
tidak perlu dikembalikan, hal ini mempengaruhi tingkat pengembalian KUR dari
debitur kepada BRI dan juga tingkat realisasi KUR BRI secara keseluruhan (PRG
Masalah lain juga muncul dari segi manajemen UMKM, tidak adanya kompetensi
pengalaman dan kemampuan pengambilan keputusan yang rendah dari pemilik
usaha adalah masalah utama dari kebanyakan UMKM. Para manajer yang
sebagian merangkap sebagai pemilik usaha biasanya tidak mempunyai kapasitas
untuk mengoperasikan usaha, kemampuan kepemimpinan dan pengetahuan
tentang bisnis yang rendah, dan pengendalian keuangan yang rendah
menyebabkan lemahnya manajemen strategi usaha.
Melihat permasalahan yang timbul dari implementasi kebijakan KUR dan
pemberdayaan UMKM di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Implementasi Kebijakan KUR Terhadap Pemberdayaan
UMKM (Studi pada Bank BRI Unit Bambu Kuning di Tahun 2011)”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan
diteliti dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah implementasi kebijakan KUR berpengaruh signifikan terhadap
pemberdayaan UMKM?
b. Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan KUR terhadap
3. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui pengaruh implementasi kebijakan KUR terhadap pemberdayaan
UMKM.
b. Mengetahui besarnya pengaruh implementasi kebijakan KUR terhadap
pemberdayaan UMKM.
4. Kegunaan Penelitian
a. Manfaat teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan
memberikan tambahan informasi bagi perkembangan ilmu Administrasi
Negara, khususnya studi implementasi kebijakan publik.
b. Manfaat Praktis: diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan
pertimbangan bagi pemerintah dan perbankan dalam mengimplementasikan
kebijakan KUR, dan diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan informasi dan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan
1. Konsep Kebijakan
1.1 Pengertian Kebijakan dan Implementasi Kebijakan
Kebijakan pemerintah sangat terkait dengan masalah-masalah publik atau
masalah-masalah pemerintah yang ada pada suatu negara. Kenyataannya
kebijakan telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi
pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik.
Kebijakan publik dapat dikatakan merupakan suatu bentuk intervensi yang
dilakukan oleh pemerintah demi kepentingan kelompok-kelompok yang kurang
beruntung dalam masyarakat.
Pengertian dari kebijakan dikemukakan oleh Anderson (Wahab, 2005:3) sebagai
langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah
aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.
Konsep tersebut membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dan
keputusan (decision), yang mengandung arti pemilihan di antara sejumlah
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Wahab, 2005:2), kebijakan
diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat
sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau
jelas, longgar atau sempit, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.
Kebijakan dalam maknanya seperti ini mengkin berupa suatu deklarasi mengenai
suatu dasr pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program
mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencan.
Salah satu pengertian mengenai kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye
(Santoso: 2009:27) yang mendefinisikannya sebagaiwhatever government choose
to do or not to do (pilihan pemerintah untuk bertindak atau tidak bertindak). Dye
mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu harus ada
tujuannya dan kebijakan publik itu meliputi semua tindakan pemerintah, jadi
bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat
pemerintah saja.
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan
(Nugroho, 2008:53) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program
yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan
prakti-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices). Selanjutnya
Carl I. Friedrick (Nugroho, 2008:53) mendefinisikannya sebagai serangkaian
tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang
diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi
Lebih lanjut Richard Rose (Winarno, 2012:20) menyarankan bahwa kebijakan
hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak
berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Berdasarkan definisi ini
Rose menegaskan bahwa kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan
bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan Chaizi Nasucha (Pasolong, 2010:39), berpendapat bahwa kebijakan
publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang
digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan
perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis. Selanjutnya
Robert Eyestone (Winarno, 2012:20), mengatakan bahwa ”secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya”.
Riant Nugroho (2008:55) merumuskan definisi yang sederhana bahwa kebijakan
publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai
strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik
adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki
masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang
dicita-citakan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan publik
adalah aturan/kegiatan/program yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan
pola kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu agar tercipta hubungan yang
harmonis antara pemerintah dan lingkungannya.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan
publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Ripley dan Franklin (Winarno, 2012:148)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang
ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit),
atau suatu jenis pengeluaran yang nyata (tangible output).
Sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sebatier (Wahab,
2005:65) implementasi kebijakan didefinisikan sebagai memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan
kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan
negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya
maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau
kejadian-kejadian.
Sementara itu, Grindle (Winarno, 2012:149) juga memberikan pandangannya
tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas
implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan
tujuaan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “sebuah
sistem pengiriman kebijakan”, di mana sarana-sarana tertentu dirancang dan
Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn (Wahab, 2005:65) membatasi
implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijaksanaan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan implementasi kebijakan
dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan,
perintah eksekutif, atau dekrit presiden) yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang diharapkan.
1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan
Penggunaan model implementasi dalam rangka keperluan penelitian/analisis
sedikit banyak akan bergantung pada kompleksitas yang dikaji serta tujuan dan
analisis itu sendiri. Terdapat beberapa model implementasi kebijakan yang
dirumuskan oleh para ahli, diantaranya yaitu:
1.2.1 Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn
Model implementasi Donald Van Meter dan Carl Van Horn (Nugroho, 2008:438)
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari
kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable
a. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorgaanisasi.
b. Karakteristik agen pelaksana/implementor.
c. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik.
d. Kecendrungan (disposition) pelaksana/implementor.
1.2.2 Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Wahab, 2005:81) berpendapat bahwa
peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah
mengidentifikasikan variable-variable yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada proses implementasi.Variable-variable yang dimaksud dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori besar, yaitu:
a. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.
b. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat
proses implementasinya, dan
c. Pengaruh langsung berbagai variable politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang memuat dalam keputusan kebijaksanaan
tersebut.
1.2.3 Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III
Model implementasi kebijakan selanjutnya adalah model yang dikembangkan
oleh George Edward III. Menurut George Edward III (Winarno, 2012:177)
mengemukakan bahwa dalam implementasi kebijakan diperlukan
variabel-variabel pelaksanaan yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
a. Komunikasi memegang peranan penting dalam proses kebijakan, yaitu
transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Persyaratan pertama bagi
implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang
melakasanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan
perintah-perintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus akurat dan harus
dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Perintah-perintah
implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi
jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung
tidak efektif.
b. Sumber-sumber dapat merupakan faktor yang penting, meliputi staf yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas
mereka, keefektifan wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
c. Kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan
faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi
implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik
terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan,
kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang
d. Struktur birokrasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh
penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling
dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya
(Standard Operating Prosedure, SOP). Prosedur-prosedur biasa ini dalam
menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan dalam
organisasi-organisasi publik dan swasta, dengan menggunakan SOP para pelaksana
dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga
menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam
organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan fleksibilitas yang besar, dan menghindari fragmentasi
organisasi.
1.2.4 Model Implementasi Kebijakan Hogwood dan Gunn
Selanjutnya yaitu model yang dikemukakan oleh dua orang ahli Brian W.
Hogwood dan Lewis A. Gunn (Wahab, 2005:71) berpendapat untuk dapat
melaksanakan kebijakan Negara secara sempurna (perfect Implementation)
diperlukan beberapa syarat yang dikenal dengan “The Top Down Approach”
meliputi :
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
b. Pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang diperlukan
benar-benar tersedia.
d. Kebijaksanaan yang diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubung.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
1.2.5 Model Implementasi Kebijakan Elmore
Model ini disusun oleh Richard Elmore, Michael Lipsky, dan Benny Hjern &
David O’Porter (Nugroho, 2008:446). Model ini diberi label “RE, dkk” yang terletak di kuadran “bawah ke puncak” dan lebih berada di “mekanisme pasar”.
Model ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses
pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan
kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis
kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri
implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun
hanya di tataran harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau klientnya,
dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya.
Kebijakan model seperti ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
1.2.6 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle
Menurut model Grindle (Agustino, 2008:154) pengukuran keberhasilan
implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah
pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada
action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program
tersebut tercapai. Kebijakan implementasi publik dipengaruhi oleh
implementabilitykebijakan itu senditi, meliputi:
a. Content of policy, meliputi: (1) kepentingan-kepentingan yang
mempengaruhi, (2) tipe manfaat, (3) derajat perubahan yang ingin dicapai,
(4) letak pengambilan keputusan, (5) pelaksanaan program, (6)
sumber-sumber daya yang digunakan.
b. Context of policy, meliputi: (1) kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan
strategi dari aktor-aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga-lembaga dan
rezim yang berkuasa, (3) tingkat kepatuhan dan adanya respon dari
pelaksana.
Keunikan model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan
konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima
implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor
implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan
1.2.7 Model Implementasi Kebijakan menurut Hoogerwerf
Model implementasi kebijakan yang ketujuh adalah model kerangka pemikiran
yang dikemukakan oleh Hoogerwerf. Menurut Hoogerwerf (Tachjan, 2003:42)
sebab dan musabab yang mungkin menjadi dasar dari kegagalan implementasi
kebijakan sangat berbeda-beda satu sama lain. Sebab musabab ini ada sangkut
pautnya berturut-turut dengan isi (content) dari kebijakan yang harus
diimplementasikan, tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat pada
implementasi kebijakan, banyaknya dukungan dari kebijakan yang harus
diimplementasikan dan akhirnya pembagian dari potensi-potensi yang ada
(struktur organisasi, perbandingan kekuasaan, dan sebagainya).
1.3. Podel Implementasi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat
Menurut Syarif (2011:5-7) ada beberapa aspek pola pelaksanaan KUR yang
menjadikan program kebijakan ini layak untuk dikembangkan dalam rangka
mendukung perkuatan permodalan dan pemberddayaan UMKM, antara lain:
a. Adanya penjaminan kredit dari pemerintah. KUR merupakan satu-satunya
kebijakan perkreditan yang dirancang berdasarkan permasalahan yang
dihadapi oleh UMKM di lapangan yaitu kesulitan mengakses kredit,
karena rendahnya kepemilikan asset UMKM untuk dijadikan agunan.
Melalui KUR pemerintah memfasilitasi UMKM untuk mengakses kredit
dengan sistem penjaminan sehingga UMKM tidak perlu menghawatirkan
b. Rendahnya bunga kredit. Bunga kredit KUR berkisar antara 14 sampai
dengan 22% dirancang untuk memberikan solusi dari opini yang
menyatakan bahwa UMKM tidak mampu membayar tingkat bunga bank
komersial yang dinilai relatif tinggi
c. Prosedur penyaluran. Prosedur penyaluran KUR tidak melibatkan banyak
pihak, karena KUR merupakan kredit komersial yang sebagian jaminan
ditanggung pemerintah melalui perusahaan penjaminan. Bank sebagai
pemilik uang dan sebagai eksekutor kredit dalam menyalurkan kredit tidak
terikat atau perlu meminta rekomendasi dari pihak manapun. Bank
langsung dapat memutuskan pemberian kredit berdasarkan kelayakan
usaha yang akan dilaksanakan (feasiblelity) dan kelayakan pengusaha
sebagai debitur (bankablelity).
d. Bersifat kredit umum. Pinjaman KUR dapat digunakan untuk berbagai
keperluan produktif atau kredit serba usaha yang tidak terikat untuk
mendukung suatu kegiatan program pemerintah. Hal ini juga menjadi
salah satu ciri khusus dari program KUR yang membedakan dari berbagai
program perkreditan yang bersumber dari pemerintah sejak era tahun
tujuhpuluhan yang lalu. KUR juga merupakan terobosan yang inovatif
sesuai dengan kebutuhan kalangan UMKM.
e. Ketersediaan lembaga keuangan/bank. KUR dilaksanakan oleh 6 bank
nasional baik BUMN maupun bank milik swasta, dibantu oleh 13 BPD.
Jumlah bank yang melaksanakan KUR tersebut diseluruh indonesia
diprediksikan sekarang ini terdapat 36.276 unit kantor cabang atau kantor
Berkaitan dengan pengaruh implementasi kebijakan KUR terhadap pemberdayaan
UMKM teraplikasi sebagai berikut: berhasil atau tidaknya dalam rangka
pencapaian tujuan memerlukan tindakan lebih lanjut yaitu implementasi
kebijakan. Model implementasi kebijakan yang akan dipakai dalam penelitian ini
adalah model implementasi kebijakan KUR yang dikemukakan oleh Syarif karena
model ini dinilai memiliki korelasi yang kuat terhadap pemberdayaan UMKM
dibandingkan dengan model-model lainnya.
2. Konsep Kredit Usaha Rakyat
2.1 Pengertian Kredit
Pengertian kredit menurut asal mula kata “kredit” dari kata credere, yang dalam bahasa Yunani artinya adalah kepercayaan, maksudnya adalah apabila seseorang
memperoleh kredit maka berarti mereka memperolah kepercayaan. Sedangkan
bagi si pemberi kredit artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang bahwa
uang yang dipinjamkan pasti kembali (Muljono, 2007:8). Pengertian kredit dalam
praktik sehari-hari selanjutnya berkembang lebih luas lagi.
Menurut Kohler (Muljono, 2007:9) kredit adalah kemampuan untuk
melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu
janji pembayarannya akan dilakuakan ditangguhkan pada sewaktu jangka waktu
yang disepakati. Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan
perbankan Indonesia, pengertian kredit ini telah dirumuskan dalam Bab 1, pasal 1
ayat 12 Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang merumuskan
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Muljono (2007:10) memberikaan beberapa kesimpulannya mengenai kredit, yaitu:
a. Adanya suatu penyerahan uang/tagihan atau dapat juga barang yang
menimbulkan tagihan tersebut kepada pihak lain dengan harapan memberi
pinjaman ini bank akan memperoleh suatu tambahan nilai dari pokok
pinjaman tersebut yang berupa bunga sebagai pendapatan bagi bank yang
bersangkutan.
b. Proses kredit itu telah didasarkan pada suatu perjanjian yang saling
mempercayai kedua belah pihak akan mematuhi kewajibannya
masing-masing.
c. Suatu pemberian kredit terkandung kesepakatan perlunasan utang dan bunga
akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa kredit dapat berupa uang
atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya kesepakatan
antara bank sebagai kreditur dan nasabah penerima kredit sebagai debitur, dengan
perjanjian yang telah dibuat. Sebuah perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban
masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan
bersama. Demikian pula dengan masalah sangsi apabila debitur ingkar janji
2.2 Tinjauan tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Tanggal 5 November 2007, presiden meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR),
dengan fasilitas penjaminan kredit dari pemerintah melalui PT. Askrindo dan
Perum Jamkrindo. Adapun bank pelaksana yang menyalurkan KUR ini adalah
Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri, Bank
Bukopin, dan 13 BPD. KUR ini merupakan fasilitas pembiayaan yang dapat
diakses oleh UMKM dan Koperasi terutama yang memiliki usaha yang layak
namun belum bankable. UMKM dan Koperasi yang diharapkan dapat mengakses
KUR adalah yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain: pertanian,
perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan dan jasa keuangan simpan
pinjam.
Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung, maksudnya UMKM dapat langsung
mengakses KUR di kantor cabang atau kantor cabang pembantu bank pelaksana.
Supaya lebih mendekatkan pelayanan kepada usaha mikro, maka penyaluran KUR
dapat juga dilakukan secara tidak langsung, maksudnya usaha mikro dapat
mengakses KUR melalui Lembaga Keuangan Mikro dan KSP/USP Koperasi, atau
melalui kegiatan linkage program lainnya yang bekerja sama dengan bank
pelaksana (http://komite-kur.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2012).
KUR adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
pelaksana dengan debitur KUR yang mewajibkan debitur KUR untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Mantik,
Pengertian KUR Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.05/2009
tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat, pengertian KUR adalah kredit
atau pembiayaan kepada UMKM-K (Usaha Mikro, Kecil, Menengah-Koperasi)
dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas
penjaminan untuk usaha produktif .
Sedangkan pengertian KUR menurut Komite KUR yaitu kredit/pembiayaan yang
diberikan oleh perbankan kepada UMKM-K yang feasible tapi belum bankable.
Maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki
kemampuan untuk mengembalikan. UMKM dan Koperasi yang diharapkan dapat
mengakses KUR adalah yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain:
pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, dan jasa keuangan
simpan pinjam.
Tim Pelaksana Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan Kepada
UMKMK (2010:4) mendefinisikan KUR sebagai kredit/pembiayaan modal kerja
dan atau investasi kepada UMKMK di bidang usaha yang produktif dan layak
namun belum bankable yang sebagian dijamin oleh Perusahaan Penjamin. Yang
dimaksud usaha produktif, usaha layak, dan belumbankableadalah:
a. Usaha produktif adalah usaha untuk menghasilkan barang atau jasa untuk
memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi pelaku
usaha.
b. Usaha layak (feasible) adalah usaha calon debitur yang
menguntungkan/memberikan laba sehingga mampu membayar
Kredit/Pembiayaan dalam jangka waktu yang disepakati antara bank
pelaksana dengan debitur KUR
c. Belum bankable adalah UMKMK yang belum dapat memenuhi
persyaratan perkreditan/pembiayaan dari bank.
Pengertian KUR menurut Bank Mandiri adalah kredit untuk pembiayaan usaha
produktif segment mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang layak/feasible
namun belum bankable untuk modal kerja dan/atau kredit investasi melalui pola
pembiayaan secara langsung maupun tidak langsung (linkage) yang dijamin oleh
Lembaga Penjamin Kredit dengan kriteria sebagai berikut:
a. Tidak sedang menerima kredit dari perbankan/kredit program dari
pemerintah.
b. UMKM yang sedang menerima kredit konsumtif dari perbankan: Kredit
Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), kartu kredit,
dan kredit konsumtif lainnya diperbolehkan menerima KUR
(www.bankmandiri.co.id, diakses pada tanggal 16 Mei 2012).
Menurut Kementrian Koperasi dan UKM, KUR adalah skema kredit/pembiayaan
yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak
namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan
perbankan. Tujuan akhir diluncurkan KUR adalah meningkatkan perekonomian,
pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja (www.depkop.go.id,
Selanjutnya Departemen Komunikasi dan Informatika memberikan pengertian
mengenai KUR sebagai kredit/pembiayaan dalam bentuk pemberian modal kerja
dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif.
Penjaminan KUR tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan akses Usaha
Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKM-K) pada sumber pembiayaan
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (DEPKOMINFO,
2008:10).
Lebih lanjut Bank BRI mendefinisikan KUR sebagai kredit atau pembiayaan
modal kerja dan atau Investasi kepada UMKM dan Koperasi di bidang usaha yang
produktif dan layak namun belum bankable dengan plafon kredit sampai dengan
Rp. 500 juta yang dijamin oleh perusahaan penjamin dan besarnya coverage
penjaminan maksimal 70% dari plafon kredit. Dana KUR 100% bersumber dari
dana bank (PRG BRI, 2011:4).
Berdasarkan beberapa definisi KUR di atas dapat disimpulkan bahwa KUR adalah
kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMKM yang
memiliki usaha yang produktif dan layak (feasible) namun belum mampu
memenuhi persyaratan perkreditan/pembiayaan dari bank (bankable) dalam
bentuk pemberian kredit modal kerja dan kredit investasi yang dijamin oleh
pemerintah melalui lembaga penjamin kredit sebesar 70%, tujuan dari KUR yaitu
3. Konsep Pemberdayaan
3.1 Pengertian Pemberdayaan
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal
dari kata ’power’ (kekuasaan atau keberdayaan), karenanya ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep kekuasaan (Suharto, 2010:57).
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, komunitas
diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport
dalam Suharto, 2010:59).
Menurut Parsons (Suharto, 2010:58) pemberdayaan adalah sebuah proses dengan
mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan
atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang
mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya.
Selanjutnya Suharto (2010:60) memberi pengertian pemberdayaan sebagai sebuah
proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan
untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individi yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang
ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya,
memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial
seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai
mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri,
menjelaskan definisi pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk
menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun
berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan
kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat
memerlukan keterlibatan yang lebih besar dari perangkat pemerintah daerah serta
berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan
berbagai hasil yang dicapai (www.pnpm-perdesaan.or.id, diakses pada tanggal 16
Mei 2012).
Pengertian lain dari pemberdayaan dikemukakan oleh Prijono (Wrihatnolo dan
Nugroho, 2007:17-18). Prijono menjelaskan bahwa istilah pemberdayaan sering
kali diartikan dalam konteks kemampuan meningkatkan keadaan ekonomi
individu. Selain itu pemberdayaan merupakan konsep yang mengandung makna
perjuangan bagi mereka yang terlibat dalam perjuangan tersebut, dengan demikian
proses pemberdayaan merupakan tindakan usaha perbaikan atau peningkatan
ekonomi, politik, sosial budaya, psikologi baik secara individual maupun kolektif
Memberdayakan orang berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibat dalam
keputusan dan aktivitas yang mempengaruhi pekerjaan mereka (Smith dalam
Wibowo, 2007: 112). Sementara itu Greenberg dan Baron memberikan pengertian
pemberdayaan sebagai suatu proses dimana pekerja diberi peningkatan sejumlah
otonomi dan keleluasaan dalam hubungannya dalam pekerjaan mereka (Wibowo,
2007: 112).
Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan masyarakat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses membangun
individu atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat,
perubahan prilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Tujuan dari
pemberdayaan yaitu untuk mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah
prilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat yaitu, kemampuan untuk berusaha, kemampuan
dalam mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, dan masih
banyak lagi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat.
3.2 Dimensi dan Indikator Pemberdayaan
Upaya untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional,
maka perlu diketahui barbagai indikator pemberdayaan yang dapat menunjukkan
seseorang itu berdaya atau tidak. Menurut Kieffer (Suharto, 2010:63)
pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan,
Wrihatnolo dan Nugroho (2007:68) dimensi dan indikator dalam pemberdayaan,
antara lain:
a. Dimensi masyarakat sebagai subjek pembangunan, dengan indikator:
1) Partisipatif
2) Desentralisasi
3) Demokrasi
4) Transparansi
5) Akuntabilitas
b. Dimensi penguatan kelembagaan masyarakat, dengan indikator:
1) Pembentukan dan penguatan kelembagaan
2) Pelatihan bagi pengelolaan masyarakat
3) Desentralisasi kepada lembaga masyarakat
4) Partisipasi lembaga masyarakat
c. Dimensi kapasitas dan dukungan pemerintah, dengan indikator:
1) Kepastian aparat dalam memberikan fasilitas
2) Kepastian aparat dalam mendukung dan melakukan pendampingan
d. Dimensi upaya penanggulangan kemiskinan, dengan inndikator:
1) Pemetaan kemiskinan
2) Kesesuaian kebutuhan dengan kebutuhan
3) Coverageprogram
4) Ketetapan pemberian dana dan kemampuan pengelolaan secara
Selanjutnya Schuler, Hashemi, dan Riley mengembangkan delapan indikator
pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai indeks pemberdayaan (Suharto, 2010:
63), antara lain:
a. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau
wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, rumah ibadah, dan lain-lain.
b. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk
membeli barang-barang kebutuhan. Individu dianggap mampu melakukan
kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa
meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang
tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
c. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk
membeli barang-barang sekunder atau tersier.
d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga: mampu
membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri mengenai
keputusan-keputusan rumah tangga.
e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai
apakah satu tahun terkhir ada orang yang melarang bekerja di luar rumah
atau mempunyai anak dan lain-lain.
f. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui pentingnya memiliki surat nikah
dan hukum-hukum waris, dan lain-lain.
g. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap
berdaya jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau protes.
h. Jaminan ekonomi atau kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah,
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan
masyarakat yang menyangkut kemampuan ekonomi dan dikaitkan dengan empat
dimensi kekuasaan. Berikut ini tabel indikator pemberdayaan ekonomi yang
dikontrol melalui empat dimensi kekuasaan:
Tabel 4. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Ekonomi
No. Hubungan Kekuasaan Kemampuan Ekonomi terhadap sumber yang ada pada rumah tangga dan masyarakat
a. Akses terhadap pelayanan keuangan mikro b. Akses terhadap pendapatan
c. Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumahtangga
a Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya
b Kontrol atas pendapatan aktifitas produktif keluarga yang lainnya
c Kontrol atas aset produktif dan kepemilikan keluarga
d Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga e Tindakan individu menghadapi
a. Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern
b. Mampu memberi gaji terhadap orang lain c. Tindakan bersama menghadapi
diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah), pasar dan diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro.
3.3 Indikator Pemberdayaan UMKM
Pemberdayaan UMKM tidak terlepas dari konsepsi dasar pembangunan yang
menjadi media penumbuhan UMKM. Merancang konsepsi dasar pemberdyaan
UMKM adalah membangun sistem yang mampu mengeliminir semua masalah
yang menyangkut keberhasilan usaha UMKM. Menurut Sijabat (2008:11)
pemberdayaan UMKM dapat dilakukan melalui:
a. Revitalisasi posisi UMKM dalam Sistem perkonomian nasional
b. Revitalisasi perkuatan UMKM dilakukan dengan memperbaiki akses
UMKM terhadap permodalan, tekologi, informasi dan pasar serta
memperbaiki iklim usaha
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan
d. Mengembangkan potensi sumberdaya lokal.
Menurut Sriyana (2010, 98-21) mengemukakan strategi yang dapat dilakukan
dalam pemberdayaan UMKM, yaitu:
a. Kemudahan dalam akses permodalan. Salah satu permasalahan yang
dihadapi UMKM adalah aspek permodalan. Lambannya akumulasi kapital
di kalangan pengusaha UMKM merupakan salah satu penyebab
lambannya laju perkembangan usaha dan rendahnya surplus usaha di
sektor UMKM. Faktor modal juga menjadi salah satu sebab tidak
munculnya usaha-usaha baru di luar sektor ekstraktif.
b. Bantuan pembangunan prasarana. Komponen penting dalam usaha
pemberdayaan UMKM adalah pembangunan prasarana produksi dan
lokasi produksi ke pasar, akan mengurangi rantai pemasaran dan pada
akhirnya akan meningkatkan penerimaan petani dan UMKM.
c. Pengembangan skala usaha. Pemberdayaan ekonomi pada masyarakat
lemah, pada mulanya dilakukan melalui pendekatan individual.
Pendekatan individual ini tidak memberikan hasil yang memuaskan, oleh
sebab itu, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kelompok.
Pengelompokan atau pengorganisasian ekonomi diarahkan pada
kemudahan untuk memperoleh akses modal ke lembaga keuangan yang
telah ada, dan untuk membangun skala usaha yang ekonomis.
d. Pengembangan jaringan usaha, pemasaran dan kemitraan usaha. Upaya
mengembangkan jaringan usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam pola jaringan misalnya dalam bentuk jaringan sub kontrak maupun
pengembangan kluster. Selain jaringan usaha, jaringan pemasaran juga
menjadi salah satu kendala yang selama ini juga menjadi faktor
penghambat bagi UMKM untuk berkembang.
e. Pengembangan sumber daya manusia. Kelemahan utama pengembangan
UMKM di Indonesia adalah karena kurangnya ketrampilan SDM dan
manajemen usaha yang ada relatif masih tradisional.
f. Peningkatan akses teknologi. Strategi yang perlu dilakukan dalam
peningkatan akses teknologi bagi pengembangan UMKM adalah
memotivasi berbagai lembaga penelitian teknologi yang lebih berorientasi
g. Mewujudkan iklim bisnis yang lebih kondusif. Perkembangan UMKM
akan sangat ditentukan dengan ada atau tidaknya iklim bisnis yang
menunjang perkembangan Usaha Kecil Menengah.
Kebijakan KUR diluncurkan oleh pemerintah sebagai upaya dalam percepatan
pemberdayaan UMKM. Selanjutnya menurut Syarif (2011:4) terdapat lima
indikator untuk mengukur keberdayaan UMKM yang menerima KUR, yaitu:
a. Pengembalian pinjaman
b. Persentase penggunaan pinjaman untuk kegiatan produktif
c. Kenaikan omzet atau volum usaha peminjam
d. Kenaikan laba usaha dari peminjam
e. Kenaikan jumlah penyerapan tenaga kerja dari unit usaha peminjam.
Sehubungan dengan pemberdayaan UMKM dalam penelitian ini, maka peneliti
akan menggunakan indikator pemberdayaan UMKM yang dikemukakan oleh
Syarif untuk mengetahui seberapa besar keberdayaan UMKM yang telah
mengakses KUR.
4. Konsep Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
4.1 Pengertian UMKM
UMKM merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian
Indonesia dan terbukti menjadi pengaman perekonomian nasional dalam masa
krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi paska krisis
ekonomi (DEPKOMINFO, 2008:13). Secara nyata UMKM juga sebagai sektor
rangka perluasan kesempatan berusaha bagi wirausaha baru dan terbukti telah
mampu menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam
negeri sehingga sangat membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran.
Pengertian usaha mikro berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
40/KMK.06/2003 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil, didefinisikan
sebagai usaha produktif milik keluarga atau perorangan warga negara Indonesia
dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000,00 per tahun.
Selanjutnya menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian usaha
kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk
mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Bank Indonesia (BI) mendefinisikan usaha kecil sebagai perusahaan atau industri
dengan karakteristik berupa: (1) modalnya kurang dari Rp 20.000.000,00; (2)
untuk satu putaran dari usahanya hanya membutuhkan dana Rp 5.000.000,00; (3)
memiliki aset maksimal Rp 600.000.000,00 di luar tanah dan bangunan; dan (4)
omzet tahunan kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (www.bi.go.id, diakses pada
tanggal 31 Juli 2011).
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM), maka batasan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha