• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI LAMPUNG DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KOORDINASI ANTARA PENYIDIK BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI LAMPUNG DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI BANDAR LAMPUNG"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI LAMPUNG DAN PENYIDIK POLRI DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI BANDAR LAMPUNG

Oleh NURHADI

Penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten. Salah satu lembaga yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam penanggulangan narkotika di Provinsi Lampung adalah Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian adalah penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu cara berfikir yang didasarkan pada berbagai hal yang bersifat khusus dan kemudian ditarik suatu kesimpulan umum.

(2)
(3)

A. Latar Belakang Masalah

Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting, penyalahgunaan narkotika dapat berdampak negatif, merusak dan mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat bangsa dan negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. Maraknya penyalah gunaan narkotika tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Bahaya penyalahgunaan narkotika berpangkal dari mengkonsumsi jenis obat-obatan terlarang dan karena dampak yang ditimbulkannya adalah merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. (Dharana Lastarya, 2006: 3).

(4)

Penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten.

Kejahatan dan penyalahgunaan narkotika menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum yang tegas dan komprehensif. Data kasus tindak pidana narkoba di Kota Bandar Lampung dan kasus yang telah selesai pada tingkat Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang tahun 2008-2011, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkoba di Kota Bandar Lampung Tahun 2007-2010

Tahun Jumlah Kasus Jumlah Tersangka Kasus Selesai

2008 67 92 67

2009 72 104 72

2010 86 117 86

2011 93 121 121

Sumber: BNN Provinsi Lampung Tahun 2011

(5)

di atas menunjukkan bahwa tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang harus ditangani secara konsisten demi masa depan bangsa dan negara.

Perangkat pelaksana penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Indonesia pada dasarnya telah dikoordinasikan oleh Bakolak Inpres 6/1971 sebagai focal point. Dengan semakin maraknya perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkotika pada masa krisis ekonomi (1997 –1999), maka Pemerintah pada masa reformasi merasa perlu untuk merevisi Lembaga Bakolak Inpres 6/1971 sekaligus memperkuat posisinya sebagai lembaga yang berada langsung dibawah Presiden dan dipimpin oleh Kapolri. Badan baru yang bernama Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) ini mulai bekerja aktif sejak tahun 2000 dan mengambil alih fungsi Bakolak Inpres 6/1971 termasuk menjadi focal point kerjasama ASEAN di bidang penanggulangan bahaya narkoba (Dharana Lastarya, 2006: 5).

(6)

dituangkan dalam Keppres RI Nomor 17 Tahun 2002, tanggal 22 maret 2002 menjadi Badan Narkotika Nasional atau BNN (Dharana Lastarya, 2006: 6).

Selain itu pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2002 Tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba yang menginstruksikan kepada para Menteri, Panglima TNI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Kepala Lembaga Departemen dan Non Departemen, Kepala Kesekretariatan Tertinggi/Tinggi Negara, Para Gubernur sampai kepada para Bupati/Walikota, agar dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di lingkungannya selalu berkoordinasi dengan Ketua Badan Narkotika Nasional.

Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa dinyatakan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

(7)

Penyidik sesuai dengan ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

Sesuai dengan ketentuan kedua pasal di atas maka diketahui bahwa penyidik Kepolisian dan penyidik BNN melakukan koordinasi dan hubungan kerja sama yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya dalam upaya mengungkap kasus peredaran gelap narkotika. Hal ini disebabkan karena peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor dari pihak-pihak yang berwajib serta membutuhkan adanya partisipasi masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten agar penyalahgunaan narkotika tidak semakin luas dan membesar serta berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

(8)

Ketentuan pasal di atas menunjukkan bahwa dalam upaya melakukan penyidikan terhadap peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, penyidik kepolisian juga melakukan koordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya dengan petugas atau Pegawai Bea dan Cukai yang memiliki tugas untuk memeriksa barang-barang yang diangkut melalui pelabuhan untuk mengantisipasi penyelundupan narkotika. Hubungan dan koordinasi yang terlaksana dengan baik antara Penyidik Kepolisian dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil ini tentunya akan memperlancar kinerja kepolisian dalam hal mengungkap kasus peredaran gelap narkotika.

Menurut Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa: (a) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1) tulisan, suara, dan/atau gambar; 2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau 3) huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

(9)

B. Pokok Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung serta faktor-faktor yang menghambat koordinasi tersebut. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung. Penelitian dilaksanakan tahun 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

(10)

a. Untuk mengetahui koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung serta faktor-faktor yang menghambat koordinasi tersebut

b. Kegunaan Praktis

(11)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 73), kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Koordinasi

Menurut Inu Kencana (2001: 22), koordinasi adalah suatu mekanisme hubungan dan kerjasama antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Koordinasi antara pemerintahan daerah dengan organisasi eksternal dilakukan dalam upaya untuk pelaksanaan kebijakan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.

(12)

Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

b. Teori Penanggulangan Kejahatan

Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 156), penanggulangan kejahatan atau tindak pidana disebut dengan kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa mendatang.

Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 158), penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua sarana, yaitu: 1. Kebijakan kriminal dengan sarana penal

(13)

2. Kebijakan kriminal dengan sarana non penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.

c. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto (1996: 8), penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. 2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

(14)

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakkannya.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 112), konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Koordinasi adalah suatu mekanisme hubungan dan kerjasama antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu (Inu Kencana, 2001: 22).

(15)

c. Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal Pasal 64 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika). d. Penyidik Polri adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Penyidik

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

e. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2002: 156).

f. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku (Moeljatno, 1983: 54).

g. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika).

(16)

dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disusun untuk agar mempermudah pemahaman terhadao isi skripsi secara keseluruhan, yaitu sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian koordinasi, penyidikan, tindak pidana dan tinda pidana narkotika.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(17)

Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung.

V PENUTUP

(18)

A. Penyidikan dalam Tindak Pidana Narkotika

Penyidikan dalam tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyidikan oleh penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidikan oleh penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi.

1. Penyidikan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

(19)

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu). Ketentuan di atas dengan pengecualian, jika disuatu tempat tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud maka Komandan Sektor karena jabatannya adalah penyidik kepolisian berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi.

Penyidik dari Polri yang berwenang melakukan penyidikan saat ini minimal harus seorang polisi dengan pangkat minimal Ajun Inspektur Polisi Dua (AIPDA), sedangkan untuk seorang polisi yang bertugas sebagai penyidik pembantu berasal dari Bintara polisi dengan pangkat minimal Brigadir Polisi Dua (BRIPDA), Brigadir Polisi Satu (BRIPTU), Brigadir atau Brigadir Kepala (BRIPKA).

Sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian bahwa untuk meringankan beban penyidik juga telah diatur adanya penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan yang diberi wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.

(20)

tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda atau yang disamakan dengan itu. Penyidik Pembantu tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang pengangkatan ini dapat dilimpahkan pada pejabat Kepolisian Negara yang lain (Sutarto, 2003: 43).

Wewenang Penyidik Pembantu ini hampir sama dengan penyidik pada umumnya, kecuali pada kewenangan penahanan. Dalam hal penahanan, penyidik pembantu harus menunggu terlebih dahulu pelimpahan wewenang dari penyidik. Dalam pembuatan berita acara dan berkas perkara yang tidak langsung diserahkan kepada penuntut umum, tetapi diserahkan kepada penyidik, kecuali dalam perkara dengan pemeriksaan singkat.

Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada 1961 sejak dimuatnya istilah tersebut dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian (UU Nomor 13 tahun

1961). Sebelum dipakai istilah “pengusutan” yang merupakan terjemahan dari

bahasa Belanda opsporing (Sutarto, 2003: 45). Dalam rangka sistem peradilan pidana tugas polisi terutama sebagai petugas penyidik tercantum dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai petugas penyidik, polisi bertugas untuk menanggulangi pelanggaran ketentuan peraturan pidana, baik yang tercantum dalam maupun di luar ketentuan KUHP. Inilah antara lain tugas polisi sebagai alat negara penegak hukum.

Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa: “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

(21)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.

Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-bukti yang ada kedepan persidangan. Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan disidang pengadilan. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan.

Menurut Sutarto (2003: 46), tujuan penyidikan secara konkrit tindakan penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang:

a. Tindak pidana apa yang dilakukan. b. Kapan tindak pidana dilakukan. c. Dengan apa tindak pidana dilakukan. d. Bagaimana tindak pidana dilakukan. e. Mengapa tindak pidana dilakukan.

(22)

Secara keseluruhan hal menyelidik dan hal menyidik bersama-sama termasuk tugas kepolisian yustisiil, akan tetapi ditinjau pejabatnya maka kedua tugas tersebut merupakan dua jabatan yang berbeda-beda, karena jika tugas menyelidik diserahkan hanya kepada pejabat polisi negara, maka hal menyidik selain kepada pejabat tersebut juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Pengertian mulai melakukan penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro yustisia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya.

Menurut Sutarto (2003: 47), persangkaan atau pengetahuan adanya tindak pidana dapat diperoleh dari empat kemungkinan, yaitu:

a. Kedapatan tertangkap tangan. b. Karena adanya laporan. c. Karena adanya pengaduan. d. Diketahui sendiri oleh penyidik

(23)

Penyidikan memerlukan beberapa upaya agar pengungkapan perkara dapat diperoleh secara cepat dan tepat. Upaya–upaya penyidikan tersebut mulai dari surat panggilan, penggeledahan, hingga penangkapan dan penyitaan. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik membertahukan hal itu kepada Penuntut Umum (sehari-hari dikenal dengan SPDP atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) hal ini sesuai dengan KUHAP Pasal 109 ayat (1). Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum. Pemberhentian penyidikan ini dibertahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka atau keluarganya.

Berdasarkan pemberhentian penyidikan tersebut, jika Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan penyidik maka penghentian penyidikan sah, tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat dengan penyidikan, maka penyidikan wajib dilanjutkan. Setelah selesai penyidikan, berkas diserahkan pada penuntut Umum (KUHAP Pasal 8 ayat (2)). Penyerahan ini dilakukan dua tahap:

a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.

(24)

Apabila pada penyerahan tahap pertama, Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas kurang lengkap maka ia dapat mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk dan yang kedua melengkapi sendiri. Menurut sistem KUHAP, penyidikan selesai atau dianggap selesai dalam hal: a. Dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas

perkara, atau apabila sebelun berakhirnya batas waktu tersebut penuntut umum memberitahukan pada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. b. Sesuai dengan ketentuan pasal 110 ayat (4) KUHAP jo pasal 8 ayat (3)

huruf b, dengan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.

c. Dalam hal penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat (2), yakni karena tidak terdapatnya cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.

(25)

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 pada Pasal 14 ayat (1) huruf (g) menyatakan bahwa wewenang penyidik adalah melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 pada Pasal 15 ayat (1), menyatakan bahwa wewenang penyidik adalah:

a. Menerima laporan atau pengaduan.

b. Melakukan tindakan pertama pada tempat kejadian.

c. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang. d. Menerima dan menyimpan barang temuan sementara waktu.

2. Penyidikan oleh Penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi

Penyidikan terhadap tindak pidana narkotika oleh Penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, BNN mempunyai tugas:

a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

(26)

d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat

e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika

i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

(27)

Selanjutnya menurut Pasal 72 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.

(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini.

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.

(28)

Pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika: Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:

a. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;

d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

e. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;

i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;

(29)

k. Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

l. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;

m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;

n. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;

o. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; p. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang

disita;

q. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;

r. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

s. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.

(30)

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.

(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 78 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.

(2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 79 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika:

(31)

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika: Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang:

a. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;

b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;

c. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;

d. Untuk mendapat informasi dari pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait; g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,

dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan

(32)

B. Kinerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Menurut Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (3) menyatakan bahwa BNN Provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN Kabupaten/Kota berkedudukan di ibukota Kabupaten /Kota. Selanjutnya menurut Pasal 66 BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 Ayat (3) merupakan instansi vertikal.

Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2009 Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Lain sebagai Bagian Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Lampung, BNNP memiliki tugas pokok membantu Gubernur dalam:

a. Mengordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN); b. Membentuk satuan tugas sesuai kebijakan operasional Badan Narkotika

(33)

Tugas tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya

Selanjutnya Pasal 15 Ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2009, menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Ayat (1), fungsi Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung adalah sebagai berikut:

a. Pengkoordinasian perangkat daerah dan instansi pemerintah di daerah dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan pelaksanaan operasional di bidang ketersediaan dan P4GN;

b. Pengoperasian satuan tugas yang terdiri atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di daerah di bidang P4GN sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing;

c. Pelaksanaan pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui Satuan Tugas di lingkungan pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan operasional Badan Narkotika Nasional;

(34)

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 tahun 2009 tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Lain sebagai Bagian Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Lampung merupakan unsur pendukung tugas Gubernur, merupakan lembaga non struktural yang dipimpin oleh Ketua badan yang secara ex-officio dijabat oleh Wakil Gubernur.

Kinerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilaksanakan dengan Program Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) merupakan kebijakan dan pelaksaaan kebijakan operasional dibidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, serta bahan adiktif lainnya yang dilaksanakan oleh BNN yang berkoordinasi dengan BNNP ditingkat provinsi dan BNNK ditingkat kabupaten atau kota.

Program P4GN disesuaikan dengan misi BNNP yaitu menciptakan terwujudnya masyarakat lampung bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya atau mewujudkan kondisi Drugs Zero Tolerance (Toleransi nol untuk Narkoba). Dalam rangka mencapai visi tersebut maka disusun misi sebagai berikut:

(35)

b. Melakukan upaya pencegahan yang lebih efektif dan efisien serta Meningkatkan penegakan hukum dibidang narkoba secara tegas dan tuntas; c. Melakukan penelitian dan pengembangan dalam penyusunan data base yang

akurat sehingga tercipta sistem informatika yang sesuai dengan perkembangan teknologi;

d. Meningkatkan peran serta Badan Narkotika Provinsi melalui kerjasama regional dan sektoral yang efektif dalam pemberantasan peredaran gelap narkoba, termasuk HIV/AIDS;

e. Menciptakan SDM profesional siap pakai yang memiliki kompetensi di bidang ketersediaan, pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba serta penanggulangan HIV/AIDS;

(36)

Program P4GN dilaksanakan secara terpadu, mengingat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dapat menimbulkan dampak yang sangat luas, yaitu sebagai berikut:

a) Kelembagaan, dilakukan dengan peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaan BNNP, BNNK, Satgas Narkotika dan unit kerja P4GN lainnya sehingga lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab. b) Peningkatan Sumber Daya Manusia, melalui pelatihan dan pendidikan, baik

bagi personil Badan Narkotika Provinsi, aparat pemerintah, maupun masyarakat

c) Pencegahan, dilakukan secara komprehenasif dan multi dimensional, melibatkan berbagai pihak terkait, baik pemerintah maupaun masyarakat. d) Sosialisasi, dilakukan untuk menghilangkan stigma atau pandangan bahwa

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bukan hanya masalah pemerintah semata, tetapi merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama, dan untuk menghilangkan pandangan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah aib keluarga, tetapi dijadikan sebagai musibah nasional.

e) Koordinasi, diperlukan upaya terpadu dari semua pihak, pemerintah dan non pemerintah, perlu memiliki komitmen yang sama, serta melakukan upaya secara konsisten dan sungguh-sungguh.

f) Peran Serta Masyarakat, dilakukan dengan membangun upaya pencegahan berbasis masyarakat, dengan menggugah dan mendorong kesadaran, kepedulian dan keaktifan masyarakat.

(37)

bagi produsen dan pengedar gelap narkoba, serta kewajiban untuk menjalani terapi dan rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah bagi penyalahguna narkoba.

h) Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan terapi dan rehabilitasi sesuai dengan standarisasi pelayanan yang telah ditentukan. i) Komunikasi, Informasi dan Edukasi, pemanfaatan media massa, baik

elektronik maupun cetak, termasuk kemajuan teknologi internet dan alat komunikasi, dalam memberikan akses informasi dari dan kepada masyarakat secara luas.

j) Pengawasan dan Pengendalian, meningkatkan dan memperketat pengawasan dan pengendalian terhadap narkoba dan prekursor legal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan ke pasaran gelap.

Tujuan pelaksanaan Program P4GN adalah sebagai berikut:

a) Tercapainya komitmen yang tinggi dari segenap komponen pemerintahan dan masyarakat untuk memerangi narkoba.

b) Terwujudnya sikap dan perilaku masyarakat untuk berperan serta dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. c) Terwujudnya kondisi penegakan hukum dibidang narkoba sesuai dengan

supremasi hukum.

d) Tercapainya peningkatan sistem dan metode dalam pelayanan terapi dan rehabilitasi penyalahguna narkoba.

(38)

f) Beroperasinya Satuan-satuan Tugas yang telah dibentuk berdasarkan analisis situasi.

g) Berperannya Badan Narkotika Kabupaten/Kota, dalam melaksanakan program P4GN.

h) Terjalinnya kerjasama regional dan sektoral yang efektif yang dapat memberikan bantuan solusi penanganan masalah narkoba di Provinsi.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mafia perdagangan gelap selalu berusaha memasok narkoba. Terjalin hubungan antara pengedar atau bandar dan korban sehingga tercipta pasar gelap. Oleh karena itu, sekali pasar terbentuk, akan sulit untuk memutus mata rantai peredarannya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan, sehingga kesinambungan pembangunan terancam. Negara menderita kerugian, karena masyarakatnya tidak produktif dan tingkat kejahatan meningka; belum lagi sarana dan prasarana yang harus disediakan, disamping itu rusaknya generasi penerus bangsa.

Sasaran pelaksanaan Program P4GN adalah sebagai berikut:

a) Meningkatnya kesadaran dan pengetahuan/pendidikan masyarakat umum tentang bahaya penyalahgunaan Narkoba;

b) Terwujudnya masyarakat berbasis IPTEK sehingga penyampaian data dan informasi tentang Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN);

(39)

d) Menegakkan Supremasi Hukum dalam upaya menekan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba.

(40)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris merupakan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus (Soerjono Soekanto, 1983: 41).

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

(41)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

4) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

(42)

ini adalah seluruh penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung, Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.

Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah:

a. Penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung 3 orang b. Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung 2 orang +

Jumlah 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

(43)

perundang-undangan terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti. b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(44)
(45)

A. Karakteristik Responden

Responden penelitian ini adalah para subjek hukum yang terkait dengan koordinasi antara penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan penyidik Polri dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung, yang berjumlah lima orang, dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Nama : Abdul Haris Jenis Kelamin : Laki-Laki

NRP : 64100403

Pangkat : Komisaris Polisi

Jabatan : Kepala Bidang Pemberantasan

Unit Kerja : Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung

2. Nama : Asnawi, S.E. Jenis Kelamin : Laki-Laki

NIP : 1969102319861006 Pangkat : Penata Tingkat I/IIID

(46)

3. Nama : Drs. Rusfian Effendy Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pangkat : Pembina Utama Madya Golongan : IVa

Jabatan : Kepala Subbidang Promotif dan Preventif Unit Kerja : Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung

4. Nama : Soenanto Jenis Kelamin : Laki-Laki Pangkat : AIPDA

Jabatan : Kasubnit II Reserse Narkoba Unit Kerja : Polresta Lampung

5. Nama : Supardi Jenis Kelamin : Laki-Laki Pangkat : Briptu

Jabatan : Bamin Reserse Narkoba

Satuan : Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung

B. Koordinasi Antara Penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dan Penyidik Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika di Kota Bandar Lampung

(47)

hukum di daerah merupakan usaha mengadakan kerjasama yang erat dan efektif antara dinas-dinas sipil di daerah dengan aparat penegak hukum. Menurut Inu Kencana (2001: 24), pelaksaaan koordinasi dapat dilakukan sesuai dengan lingkup dan arah sebagai berikut:

a) Koordinasi dan Kerjasama Menurut Lingkupnya

Koordinasi dan kerjasama menurut lingkupnya terdiri dari internal dan ekternal. Internal adalah koordinasi antarpejabat atau antar unit dalam suatu organisasi dan eksternal yaitu koordinasi antar pejabat dari bagian organisasi atau antar organisasi.

b) Koordinasi dan Kerjasama Menurut Arahnya

Koordinasi dan kerjasama menurut arahnya terdiri dari horizontal dan vertikal. Horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit yang mempunyai tingkat hierarki yang sama dalam suatu organisasi, dan agar pejabat dari organisasi-organisasi yang sederajat atau organisasi yang setingkat.Vertikal yaitu koordinasi antara pejabat- pejabat dan unit-unit tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat atasnya langsug, juga cabang-cabang suatu organisasi oleh organisasi induknya.

(48)

dengan memperoleh imbalan (Pasal 1 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika).

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pemberlakuan undang-undang tentang narkotika bertujuan:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. Memberantas tindak pidana narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

(49)

Menurut penjelasan Soenanto pada hari Selasa 7 Agustus 2012, diketahui bahwa dalam praktiknya di lapangan menunjukkan tindak pidana tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Oleh BNN Provinsi Lampung berkoordinasi dengan dengan Pihak Kepolisian untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Koordinasi tersebut dilakukan dalam proses penyidikan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Abdul Haris pada hari Kamis 9 Agustus 2012, maka diketahui bahwa dalam upaya menanggulangi tindak pidana narkotika maka penyidik Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung melaksanakan penyidikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.

(50)

dengan kewenangan menunjukkan adanya kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan menunjukkan adanya hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika (Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika). Dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya (Pasal 84 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika).

(51)

Menurut penjelasan Soenanto pada hari Selasa 7 Agustus 2012, diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, maka dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Ketentuan pasal di atas menunjukkan bahwa dalam upaya melakukan penyidikan terhadap peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, penyidik kepolisian juga melakukan koordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu. Hubungan dan koordinasi yang terlaksana dengan baik antara Penyidik Kepolisian dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil ini tentunya akan memperlancar kinerja kepolisian dalam hal mengungkap kasus tindak pidana narkotika.

Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan: (1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

(52)

yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Ketentuan pasal di atas menunjukkan bahwa peranan penyidik dalam mengungkap kasus tindak pidana narkotika adalah dengan mengumpulkan berbagai alat bukti sebagaimana ditentukan oleh Pasal 184 KUHAP. Alat bukti dalam kasus tindak pidana narkotika ini sangat beragam mengingat tindak pidana tindak pidana narkotika dewasa ini dilakukan dengan berbagai perangkat teknologi yang semakin canggih.

Sesuai dengan Pasal 184 KUHAPtersebut maka dapat dianalisis mengenai alat bukti tersebut, yaitu sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi

Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali dikecualikan oleh Undang-Undang. Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana (Penjelasan Pasal 159 Ayat (2) KUHAP). Semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam pasal 168 KUHAP yaitu:

1) Keluarga berdarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari atau yang sama-sama sebagai terdakwa.

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

(53)

b. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat.

c. Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut Pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah: 1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya

(54)

d. Petunjuk

Menurut Pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Pasal 188 Ayat (2), Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

e. Keterangan Terdakwa

(55)

sendiri. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

Selanjutnya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan:

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan narkotika dan prekursor narkotika, atau yang diduga narkotika dan prekursor narkotika, atau yang mengandung narkotika dan prekursor narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat: (a) nama, jenis, sifat, dan jumlah; (b). keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; (c) keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika dan Prekursor Narkotika; dan (d). tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib memberitahukan

penyitaan yang dilakukannya kepada kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

(56)

puluh empat). Hal ini menunjukkan bahwa penyidik kepolisian melakukan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Langkah penyidikan selanjutnya diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan:

(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(57)

telah cukup petunjuk-petunjuk bahwa seorang atau para tersangka telah melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan.

Menurut penjelasan Supardi, pada hari Selasa 4 September 201, diketahui bahwa upaya untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas tindak pidana narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai prekursor narkotika karena prekursor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Sanksi pidana bagi penyalahgunaan prekursor narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Kewenangan penyidik sebagaimana diatur oleh Pasal 6 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidik mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

(58)

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorag.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Ayat (1) huruf (g) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, wewenang penyidik adalah melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menurut Pasal 15 Ayat (1), wewenang penyidik adalah:

a. Menerima laporan atau pengaduan.

b. Melakukan tindakan pertama pada tempat kejadian.

c. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang. d. Menerima dan menyimpan barang temuan sementara waktu.

(59)

Pasal 18 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1, hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Ayat2).

Menurut penjelasan Supardi, pada hari Selasa 7 Agustus 2012, diketahui bahwa bertindak menurut penilaiannya sendiri yang dimaksud adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan landasan bagi diskresi kepolisian. Peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana sangat penting karena perundang-undangan memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum kebijakan yang diterapkan.

(60)

Proses selanjutnya adalah setelah lengkap dan memenuhi persyaratan maka semua tindakan yang telah dilakukan maka penyidik menuangkannya ke dalam berita acara secara tertulis untuk selanjutnya dibuat dalam 1 bendel kertas yang bersampul berkas perkara lengkap dengan daftar isi, daftar saksi, daftar tersangka dan daftar barang bukti. Setelah berkas perkara tersebut diterima oleh kejaksaan, maka penelitian dan pemeriksaan segera dilakukan oleh kejaksaan melalui penuntut umum. Dalam waktu maksimal 7 hari setelah berkas perkara diserahkan oleh penyidik, maka penuntut umum wajib memberitahukan apakah hasil penyidikan telah lengkap atau belum, apabila dinyatakan belum lengkap maka segera mengembalikannya dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan dan dalam waktu 14 hari setelah penerimaan wajib menyampaikan kembali berkas tersebut kepada penuntut umum [KUHAP Pasal 110 Ayat (2), (3) dan Pasal 138 Ayat (2)].

(61)

Sesuai dengan penjelasan Asnawi pada hari Kamis 9 Agustus 2012, maka diketahui bahwa selain melaksanakan penyidikan, BNN Provinsi Lampung juga melaksanakan Program Pencegahan, Pemberantasan, Tindak pidana narkotika(P4GN) untuk terwujudnya masyarakat lampung bebas dari penyalahgunaan dan tindak pidana narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya atau mewujudkan kondisi Drugs Zero Tolerance (Toleransi nol untuk Narkotika). Program P4GN memiliki misi sebagai berikut:

a. Menentukan kebijakan Daerah dalam membangun komitmen bersama memerangi penyalahgunaan dan tindak pidana narkotika, dengan tetap memperhatikan dan tidak bertentangan dengan kebijakan Nasional;

b. Melakukan upaya pencegahan yang lebih efektif dan efisien serta Meningkatkan penegakan hukum dibidang narkotika secara tegas dan tuntas; c. Melakukan penelitian dan pengembangan dalam penyusunan data base yang

akurat sehingga tercipta sistem informatika yang sesuai dengan perkembangan teknologi;

d. Meningkatkan peran serta BNN Provinsi melalui kerjasama regional dan sektoral yang efektif dalam pemberantasan tindak pidana narkotika;

e. Menciptakan SDM profesional siap pakai yang memiliki kompetensi di bidang ketersediaan, pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan tindak pidana narkotika;

(62)

pelajar dan mahasiswa dapat memahami dampak buruk yang ditimbulkan narkotika serta dapat membentuk insan pembangunan yang produktif bebas dari narkotika baik individu, keluarga maupun masyarakat. Melalui penyuluhan ini, para remaja dapat lebih berperan aktif untuk menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Para pelajar yang ikut serta dalam penyuluhan ini pun dapat menyampaikan seluruh materi penyuluhan yang didapatkan kepada orang lain.

Program P4GN dilaksanakan secara terpadu, mengingat tindak pidana narkotikadapat menimbulkan dampak yang sangat luas, yaitu:

a) Kelembagaan, dilakukan dengan peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaan BNN Provinsi Lampung, Satgas narkotika dan unit kerja P4GN lainnya sehingga lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab.

b) Peningkatan Sumber Daya Manusia, melalui pelatihan dan pendidikan, baik bagi personil BNN Provinsi, aparat pemerintah, maupun masyarakat

c) Pencegahan, dilakukan secara komprehenasif dan multi dimensional, melibatkan berbagai pihak terkait, baik pemerintah maupun masyarakat. d) Sosialisasi, dilakukan untuk menghilangkan stigma atau pandangan bahwa

tindak pidana narkotikabukan hanya masalah pemerintah semata, tetapi merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama, dan untuk menghilangkan pandangan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah aib keluarga, tetapi dijadikan sebagai musibah nasional.

(63)

f) Peran Serta Masyarakat, dilakukan dengan membangun upaya pencegahan berbasis masyarakat, dengan menggugah dan mendorong kesadaran, kepedulian dan keaktifan masyarakat.

g) Penegakan Hukum, dilakukan secara tegas, konsisten dan sungguh-sungguh sesuai ketentuan yang berlaku, dan mendorong penerapan hukum maksimal bagi produsen dan pengedar gelap narkotika, serta kewajiban untuk menjalani terapi dan rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah bagi penyalahguna narkotika.

h) Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan terapi dan rehabilitasi sesuai dengan standarisasi pelayanan yang telah ditentukan. i) Komunikasi, Informasi dan Edukasi, pemanfaatan media massa, baik

elektronik maupun cetak, termasuk kemajuan teknologi internet dan alat komunikasi, dalam memberikan akses informasi dari dan kepada masyarakat secara luas.

j) Pengawasan dan Pengendalian, meningkatkan dan memperketat pengawasan dan pengendalian terhadap narkotika dan prekursor legal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan ke pasaran gelap.

(64)

(LSM), organisasi profesi, dan swasta terhadap pelaksanaan pengawasan, pengendalian ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dalam pencegahan, pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika yang semakin terarah dan sistimatis.

Menurut keterangan Rusfian Effendy pada hari Jumat 10 Agustus 2012, maka diketahui bahwa Program P4GN diformulasikan dalam lima pola yaitu:

a) Promotif

Pola promotif atau pola pembinaan. Pola ini ditunjukkan kepada masyarakat yang belum memakai narkoba atau bahkan belum mengenal narkoba. Prinsipnya adalah dengan meningkatkan peranan atau kegiatan agar kelompok ini secara nyata lebih sejahtera sehingga tidak pernah berfikir memperoleh kebahagian semu dengan memakai narkoba.

Pola promotif ini telah dilaksanakan dengan melaksanakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya. Pada tahun 2011 BNN Provinsi Lampung telah melakukan sosialisasi sebanyak 22 kali dengan cara turun langsung kepada masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Kepolisian, Tokoh Agama dan tokoh masyarakat.

b) Preventif

Gambar

Tabel 1. Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkoba di KotaBandar Lampung Tahun 2007-2010

Referensi

Dokumen terkait

material dasar perairan dengan kriteria karang berpasir merupakan daerah yang berada pada. ujung-ujung

Komputer generasi kedua menggantikan bahasa mesin dengan bahasa assembly. Bahasa assembly adalah bahasa yang menggunakan singkatansingkatan untuk menggantikan kode biner. Pada

Fokus dalam penelitian ini adalah stres yang dimiliki oleh anak Pra TK (3-4 tahun) yang mengikuti les calistung (membaca, menulis, dan berhitung). dana anak yang tidak

While delivering significant economic benefits to the island and Indonesia more generally (Pambudi, McCaughey, and Smyth 2009), tourism and global integration also challenged Bali ’

[r]

METAMORFOSA adalah jurnal ilmiah elektronik yang diterbitkan secara berkala oleh S2 Ilmu Biologi Pasca Sarjana Universitas Udayana, memuat karya-karya ilmiah Ilmu Biologi.. Karya

Merespon makna dalam percakapan transaksional ( to get things done) dan interpersonal (bersosialisasi) resmi dan tak resmi secara akurat, lancar dan berterima yang

Maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitian, siswa SMP N 2 Petarukan mengalami kesulitan belajar dalam memahami pokok bahasan gerak lurus dan metode